Anda di halaman 1dari 40

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL TAHUN 2021/2022

Mata kuliah : Agama Hindu

Hari/tanggal : Kamis/28 Oktober 2021

Nama : I Gusti Agung Ayu Diah Darmayanti

NPM : 202133121217

Absen : 19

Kelas : Akuntansi D4

Soal

1. Dalam perkembangan sejarah semua Agama-agama mengalami pasang surut, begitu juga
dengan perkembangan dengan Agama Hindu, dari zaman prasejarah Brahmana,
Upanisad, dan sampai zaman Veda, khusus di Indonesia perkembangan Agama Hindu
dimulai pada waktu zaman kerajaan Kutai di Kalimantan timur, Sriwijaya di Sumatra
Selatan, dan Kerajaan Tarumanegara di Jawa barat, Mataram di jawa Tengah, Singasari
dan Kediri di Jawa Timur sampai akhirnya di Bali. Jelaskan dengan bukti sejarah
peninggalan perkembangan Agama Hindu tersebut di atas sampai di Bali.
2. Sebelum agama masuk ke wilayah Indonesia semua suku, ras dan golongan sudah
mempunya cara untuk menghormati Tuhan dengan sebutan bermacam-macam, berbeda-
beda sesuai dengan keyakinannya. Tak terkecuali Agama Hindu di Bali, oleh karana itu
apa yang disebut dengan:
a. Animisme
b. Pantheisme
c. Totemisme
d. Monotheisme
3. Semua Agama memiliki dasar-dasar keyakinan yang merupakan Iman dan Taqwa, dalam
Agama Hindu disebut Sradha dan Bhakti. Sebutkan dan jelaskan dasar-dasar keimanan
dalam Agama Hindu (Pancasradha)
4. Kerangka dasar dalam Agama Hindu meliputi Tatwa, Susila, dan Upacara, ketiganya
memiliki hubungan dan kontribusi satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan
dalam mencapai tujuan hidup. Tatwa berisi tentang membahas ketuhanan, sedangkan
susila tentang baik buruk/moral/etika dan upacara adalah tentang ritual. Dalam ajaran
susila berisi ajaran tentang berpikir yang benar, berkata yang benar dan berbuat yang
benar. Coba sebutkan uraian dari pada Tri Kaya Parisudha tersebut.
5. Dalam Agama hindu sudah diatur fase serta pembabakan dalam tingkat kehidupan yang
disebut dengan catur asrama. Sebutkan dan jelaskan masing-masing asrama tersebut.
Jawaban

1. A. Kerajaan Kutai, Kalimantan Timur

Kerajaan bercorak Hindu di Indonesia yang muncul pertama kali adalah Kerajaan Kutai yang
terletak di daerah Muara Kaman, lebih tepatnya di tepi sungai Mahakam, Kalimantan Timur.
Itulah alasan kerajaan ini dinobatkan sebagai kerajaan bercorak Hindu tertua di tanah air, karena
merupakan kerajaan pertama. Kutai, didirikan oleh Kudungga pada masa abad ke-44 Masehi, hal
tersebut dibuktikan dengan ditemukannya sebuah peninggalan berupa Yupa. Peninggalan
tersebut merupakan tiang batu yang digunakan untuk mengikat hewan korban yang akan
dipersembahkan kepada para Brahmana pemilik kasta tertinggi.

Raja-raja

 Kudungga

Raja Kudungga merupakan raja pertama yang berkuasa di Kerajaan Kutai dan merupakan pendiri
kerajaan tersebut untuk pertama kalinya. Raja Kudungga memiliki nama yang berasal dari
bahasa lokal yang belum dipengaruhi oleh budaya luar. Hal tersebut membuktikan bahwa pada
masa kerajaan Kutai berdiri, kepercayaan Hindu baru masuk ke wilayahnya.

 Aswawarman

Kekuasaan Kudungga dilanjutkan oleh putranya yaitu Raja Aswawarman yang diketahui dari
Yupa merupakan raja yang cakap dan kuat pada zamannya. Pada masa pemerintahan
Aswawarman, kerajaan Kutai mulai memperluas wilayah kekuasaan yang dibuktikan dengan
dilakukannya upacara Asmawedha pada masa tersebut.

 Mulawarman

Selanjutnya kekuasaan diambil alih oleh Raja Mulawarman yang merupakan putra mahkota dari
Raja sebelumnya yaitu Aswawarman. Menurut sejarah, Raja Mulawarman merupakan raja
terbesar dari kerajaan Kutai karena pada masa pemerintahannya kerajaan ini mengalami
kemajuan dan kejayaan yang luar biasa.
Peninggalan-peninggalan Kerajaan Kutai
- Tujuh Buah Prasasti Yupa
Salah satu bukti kehadiran Kerajaan Kutai di Indonesia ditandai dengan
ditemukannya peninggalan prasasti yang berwujud Yupa. Yupa yang ditulis
menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta tersebut berbentuk seperti
tiang batu, yang digunakan untuk mengikat kurban untuk persembahan kepada
Dewa. Prasasti Yupa berisi tentang kehidupan politik, kehidupan sosial,
kehidupan berbudaya, dan kehidupan agama.
Pada prasasti tersebut, diceritakan bahwa Raja Mulawarman merupakan
cucu dari Raja Kudungga, raja pertama Kerajaan Kutai serta putra dari Raja
Aswawarman. Dituliskan bahwa Raja Mulawarman merupakan raja yang
tegas, kuat, sabar, sekaligus dermawan. Masih tentang kehidupan politik,
tertulis pula bahwa Kerajaan Kutai mengadakan Upacara Aswamedha, yakni
upacara pelepasan kuda untuk menentukan batas wilayah Kerajaan Kutai.
Upacara ini terjadi di masa pemerintahan Aswawarman.
Untuk kehidupan sosial, tercatat di Prasasti Yupa bahwa masyarakat sudah
banyak yang menganut agama Hindu, sehingga pola pengaturan kerajaan
kepada masyarakat sangat teratur seperti pemerintahan Kerajaan India.
Dituliskan pula bahwa kehidupan sosial masyarakat sudah berkembang serta
mulai menerima unsur kehidupan sosial dari India.
Prasasti Yupa dari aspek kehidupan berbudaya mencatat bahwa
masyarakat sudah sangat erat dengan agama Hindu, terutama karena pengaruh
kebudayaan Kerajaan Pallawa. Selain itu, Prasasti Yupa adalah hasil budaya
masyarakat Kutai yang diwariskan dari budaya nenek moyang Indonesia pada
jaman Megalithikum.
- Ketopong Sultan
Ketopong Sultan yaitu mahkota raja dari Kerajaan Kutai yang terbuat dari
bahan-bahan emas dengan berat 1,98 kg. Mahkota Ketopong Sultan
ditemukan sekitar tahun 1890 di daerah Muara Kaman, Kutai Kartanegara.
Hingga sekarang mahkota tersebut masih tersimpan rapi di Musem Nasional
Jakarta.

- Kalung Uncal
Kalung Uncal merupakan kelengkapan utama atribut Raja Kutai selain
Mahkota Emas (Ketopong Sultan) yang dipakai semenjak Kutai Martadipura
bisa dijajah dan ditaklukkan. Kalung Uncal ini adalah benda pusaka turun
menurun yang dipergunakan jika hendak melakukan penobatan Raja. Kalung
Uncal berbahan emas ini memiliki bobot 170 gram dengan hiasan liontin
berelief Kisah Ramayana.

- Kalung Ciwa
Peninggalan Kerajaan Kutai selanjutnya yaitu Kalung Ciwa. Kalung ini
ditemukan oleh warga di sekitar Danau Lipan, Muara Kaman pada 1890.
Hingga sekarang Kalung Ciwa ini masih dipakai sebagai perhiasan kerajaan
yang juga digunakan oleh raja ketika ada pesta pengangkatan raja baru.
- Kura-Kura Emas
Kura-Kura emas merupakan salah satu peninggalan sejarah dari Kerajaan
Kutai yang sekarang berada di Museum Mulawarman. Benda sebesar setengah
kepalan tangan ini merupakan salah satu persembahan pangeran yang berasal
dari Kerajaan China kepada Putri Sultai Kutai yang bernama Aji Bidara Putih.
Kura-kura emas ini terbuat dari emas 23 karat. Kura-kura emas ini merupakan
perwujudan Dewa Wisnu yang digunakan untuk melantik Raja Kutai.

B. Kerajaan Sriwijaya, Sumatera Selatan


Lokasi pemerintahan Kerajaan Sriwijaya sebenarnya masih diperdebatkan sampai saat ini.
Menurut catatan yang tertulis pada Prasasti Kedudukan Bukit (683), pusat pemerintahan
Kerajaan Sriwijaya berada di tepian Sungai Musi, Palembang. Teori ini diperkuat oleh hasil
penelitian George Coedes dan disebut sebagai Teori Palembang. Raja pertama Kerajaan
Sriwijaya adalah Dapunta Hyang atau yang dikenal sebagai Sri Jayanasa. Nama Dapunta sebagai
raja Kerajaan Sriwijaya didasarkan pada catatan I Tshing dan catatan pada prasasti seperti Prasati
Kedudukan Bukit dan Prasasti Talang Tuo. Dalam catatan I Tsing dan prasasti disebutkan
Dapunta Hyang menjadi raja Kerajaan Sriwijaya setelah melakukan perjalanan suci atau
Siddhayatra menggunakan perahu. Dapunta membawa ribuan prajurit dan armada untuk
menaklukkan beberapa daerah di Jambi, Palembang, Lampung, dan Bangka. Beberapa catatan
menyebut Dapunta juga mencoba menyerang kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa. Kejayaan
Sriwijaya berada saat masa pemerintahan Balaputradewa. Kerajaan Sriwijaya banyak berhasil
menaklukkan jalur perdagangan strategis dan banyak kerajaan-kerajaan lain. Disebut-sebut,
kekuasaan dan pengaruh Kerajaan Sriwijaya mencapai Thailand dan Kamboja. Hal ini terlihat
Pagoda Borom That yang bergaya arsitektur Sriwijaya di Chaiya, Thailand. Letaknya yang
berada di jalur perdagangan membuat Sriwijaya mudah menjual hasil alam seperti kapur barus,
kayu gaharu, cengkih, kayu cendana, pala dan kapulaga.
Raja-raja
 Dapunta Hyang Sri Jayanasa (683 M)

 Indrawarman (702 M)
 Rudra Wikrama (728-742 M)
 Sangramadhananjaya (775 M)
 Dharanindra/Rakai Panangkaran (778 M)
 Samaragrawira/Rakai Warak (782 M)
 Dharmasetu (790 M)
 Samaratungga/Rakai Garung (792 M)
 Balaputradewa (856 M)

Peninggalan-peninggalan Kerajaan Sriwijaya


- Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti ini ditemukan pertama kali oleh orang Belanda bernama C.J.
Batenburg pada 29 November 1920 di Kedukan Bukit, Palembang, Sumatera
Selatan, di tepi Sungai Tatang, anak Sungai Musi. Kemudian pada 1924,
prasasti ini ditranskripsikan dan diterjemahkan oleh Philippus Samuel van
Ronkel, seorang ahli Bahasa Melayu kenamaan. Prasasti Kedukan Bukit
ditulis dengan huruf Pallawa dan Bahasa Indonesia.
Isi prasasti Kedukan Bukit tersebut dapat ditafsirkan sebagai berikut: Pada
tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682) raja Sriwijaya yang bergelar Dapunta
Hyang naik perahu dari suatu tempat untuk menggabungkan diri dengan
balatentaranya yang baru saja menaklukkan Minanga (Binanga). Lalu pada
tanggal 7 Jesta (19 Mei) Dapunta Hyang memimpin balatentaranya berangkat
dari Minanga untuk kembali ke ibu kota. Mereka bersuka cita karena pulang
dengan kemenangan. Tanggal 5 Asada (16 Juni) mereka tiba di Muka Upang,
sebelah timur Palembang. Sesampainya di ibu kota, Dapunta Hyang
menitahkan pembuatan wanua (bangunan) berupa sebuah wihara, sebagai
manifesti rasa syukur dan gembira.

- Prasasti Talang Tuo


Prasasti ini pertama kali ditemukan oleh Louis Constant Westenenk pada
17 November 1920. Prasasti Talang Tuo ditemukan di daerah kaki Bukit
Seguntang, dekat Palembang, dan saat ini disimpan di Museum Nasional
Indonesia. Prasasti ini ditulis dengan huruf Pallawa dan Bahasa Sansekerta.
Isi Prasasti Talang Tuo yang cukup panjang tersebut memuat beberapa
informasi penting, salah satunya tentang pembangunan Taman Sriksetra atas
perintah Dapunta Hyang Sri Jayanasa, pendiri Kerajaan Sriwijaya. Selain itu,
banyak doa dan harapan, serta disebutkan pembangunan vihara, yang jelas
menunjukkan sifat agama Buddha. Prasasti Talang Tuo juga mengungkapkan
bahwa Kerajaan Sriwijaya tengah berkonsentrasi untuk memakmurkan
negerinya. Sementara dari letak penemuannya, prasasti ini semakin
mendukung argumen bahwa Kadatuan Sriwijaya berpusat di tepian Sungai
Musi, di daerah Palembang, Sumatera Selatan.
- Prasasti Telaga Batu
Prasasti ini ditemukan di Telaga Batu, Kelurahan 2 Ilir, Kecamatan Ilir
Timur II, Kota Palembang. Prasasti ini ditulis dengan huruf Pallawa dan
bahasa Sansekerta. Prasasti Telaga Batu berisi tentang kutukan terhadap siapa
saja yang melakukan kejahatan di Kadatuan Sriwijaya dan tidak taat kepada
perintah raja, termasuk para pejabatnya, pengrajin, tukang cuci, sampai tukang
sapu kerajaan. Kehadiran prasasti ini mengandung maksud agar seluruh aparat
pemerintahan dan rakyat Kerajaan Sriwijaya tetap setia kepada rajanya.

- Prasasti Kota Kapur


Prasasti ini ditemukan di Kota Kapur, Pulau Bangka, Bangka Belitung,
berupa tiang batu bersurat. Diperkirakan ada sejak 656 Masehi, prasasti Kota
Kapur berisi pesan mengenai permintaan kepada Dewa untuk menjaga
kesatuan dan persatuan Sriwijaya. Selain itu, pesan lain dari prasasti ini
memuat tentang hukuman bagi siapa saja yang melakukan kejahatan atau
berkhianat atas titah Raja. Sebelumnya, prasasti Kota Kapur berada di
Museum Kerajaan Negeri Belanda. Tapi saat ini, prasasti itu telah disimpan di
Museum Nasional Jakarta dengan nomor inventaris D90.
- Prasasti Karang Berahi
Prasasti ini ditemukan di Desa Karang Berahi, Kecamatan Pamenang,
Kabupaten Merangin, Jambi. Prasasti ini bertuliskan aksara Pallawa dan
berbahasa Melayu Kuno, ditemukan pada tahun 1904 oleh L. Berkhout,
seorang kontrolir Belanda. Keberadaan prasasti Karang Berahi ditaksir sejak
686 Masehi, yang berisi tulisan kutukan untuk wilayah yang tidak tunduk
pada Kerajaan Sriwijaya. Prasasti Karang Berahi peninggalan Kerajaan
Sriwijaya ini, satu-satunya yang ada di Jambi, karena wilayah tersebut
strategis, untuk menguasai jalur pelayaran dan pedagangan di Selat Malaka.

C. Kerajaan Tarumanegara, Jawa Barat

Setelah kerajaan Kutai, munculah kerajaan baru bernama Tarumanegara yang kini dipercaya
sebagai kerajaan Hindu tertua kedua di Indonesia. Nama Tarumanegara berasal dari dua kata
yaitu Taruma dan Negara yang keduanya memiliki arti sungai Citarum dan negara. Kerajaan ini
didirikan pada tahun 358 Masehi dan terletak di tepi Sunga Citarum, Banten. Menurut sejarah,
Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman yang sebelumnya merupakan
seorang raja yang berhasil meloloskan diri dari musuh ke Nusantara. Sebelum mendirikan
Tarumanagara, sang raja juga memiliki kerajaan di daerah lain.

Raja-raja

 Jayasingawarman

Raja pertama dan merupakan pendiri kerajaan Tarumanegara yang memerintah selama 24 tahun
lamanya, mulai dari tahun 358 hingga tahun 382 Masehi. Sebelum menjadi raja di
Tarumanegara, Raja Jayasingawarman merupakan pewaris tahta di kerajaan Salakanagara untuk
menggantikan ayah mertuanya.

Namun, karena daerah kekuasaanya di serang oleh musuh maka sang raja memindahkan pusat
pemerintahan kerajaan di daerah pasundan dan berganti nama menjadi kerajaan Tarumanegara,

 Dharmayawarman

Kekuasaan kerajaan Tarumanegara kemudian dilanjutkan oleh Raja Dharmayawarman yang


merupakan putra dari raja pertama. Raja kedua ini memiliki nama lengkap Rajarsi
Dharmawayarmanguru, pasalnya beliau juga merupakan seorang pemimpin agama pada masa
itu.

 Purnawarman

Purnawarman berkuasa dari tahun 395 hingga 434 Masehi sebagai raja ke-3 kerajaan
Tarumanegara sekaligus raja terbesar sepanjang sejarahnya. Raja Purnawarman menggantikan
posisi ayahnya yaitu Dharmayawarman dan memiliki gelar Sang Pramdara Saktipurusa. Di
bawah kepemimpinannya, Tarumanegara berhasil meraih zaman keemasan.

Peninggalan-peninggalan Kerajaan Tarumanegara


- Prasasti Ciaruteun
Ditemukan pada tahun 1863 di aliran sungai Ciaruteun, Bogor, Jawa
Barat. Prasasti Ciaruteun bercorak agama Hindu dan ditulis di sebongkah batu
andesit dengan tinggi 151 cm, diameter atas 72 cm, serta diameter bawah 134
cm. Prasasti ini ditulis dengan huruf Pallawa Bahasa Sansekerta.
Isi dari prasasti Ciaruteun adalah “Inilah (tanda) sepasang telapak kaki
yang seperti kaki Dewa Wisnu (pemelihara) ialah telapak yang mulia sang
Purnnawarmman, raja di negri Taruma, raja yang gagah berani di dunia”.
Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tempat
ditemukannya prasasti tersebut. Hal ini berarti menegaskan kedudukan
Purnawarman yang diibaratkan Dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa
sekaligus pelindung rakyat. Penggunaan cetakan telapak kaki pada masa itu
mungkin dimaksudkan sebagai tanda keaslian, mirip dengan tanda tangan
zaman sekarang. Hal ini mungkin sebagai tanda kepemilikan atas tanah. Jadi,
dalam prasasti Ciaruteun menggambarkan kedudukan Purnawarman yang
diibaratkan Dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus
pelindung rakyat.

- Prasasti Jambu
Prasasti Jambu dikenal pula dengan sebutan Prasasti Pasir Koleangkak.
Pasalnya, prasasti ini ditemukan di bukit Koleangkak, perkebunan jambu.
Letaknya yakni 30 km sebelah barat dari kota Bogor. Prasasti ini ditemukan
oleh Jonathan Rigg pada 1854 dan terletak di atas Gunung Batutulis (Pasir
Koleangkak). Lokasi ditemukannya prasasti ini masuk ke dalam wilayah
perkebunan karet “Sadeng Djamboe” yang terletak di Desa Parakanmuncang,
Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.
Prasasti ini ditulis dengan huruf Pallawa dan Bahasa Sansekerta. Isi dari
prasasti ini adalah ”Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya,
adalah pemimpin manusia yang tiada taranya, yang termashur Sri
Purnawarman, yang sekali waktu (memerintah) di Tarumanegara dan yang
baju zirahnya yang terkenal tiada dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah
sepasang telapak kakinya, yang senantiasa berhasil menggempur musuh,
hormat kepada para pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging musuh-
musuhnya”.

- Prasasti Kebon Kopi


Prasasti Kebon Kopi ditemukan oleh para penebang hutan yang sedang
membuat perkebunan kopi pada tahun 1863. Kemudian pemilik kebun
tersebut yakni bernama Jonathan Rig melaporkan penemuan prasasti tersebut
kepada pihak kepurbakalaan yang saat itu masih pada masa penjajahan
Belanda atau sekarang dikenal dengan Museum Nasional Indonesia. Prasasti
Kebon Kopi memiliki tinggi 69 cm, sementara lebarnya 105 sampai 164 cm.
Prasasti Kebon Kopi berbentuk pahatan telapak kaki gajah pada sebuah batu
besar dan berisi mengenai sejarah raja atau penguasa di Kerajaan
Tarumanegara pada saat itu.
Prasasti ini ditulis dengan huruf Pallawa dan Bahasa Sansekerta. Isi dari
prasasti Kebon Kopi adalah "Ditempat ini atau disini kelihatannya terdapat
gambar sepasang telapak kaki yang mirip dengan Airawata, gajah yang
sangat kuat atau penguasa di Taruma atau lebih dikenal Tarumanegara dan
Kejayaan Kerajaan".
Dari isi Prasasti Kebon Kopi tersebut, kita dapat menganalisis bahwa di
suatu tempat terdapat sebuah sepasang telapak kaki gajah yang mirip dengan
telapak kaki gajah penguasa kerajaan Tarumanegara yang bernama Airawata.
- Prasasti Tugu
Prasasti Tugu ditemukan di Kampung Batutumbuh, Desa Tugu, yang kini
masuk dalam wilayah Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta
Utara. Prasasti Tugu dipahatkan pada sebuah batu andesit berbentuk bulat
panjang setinggi satu meter. Pada batu prasasti tersebut terpahat lima baris
pesan yang ditulis menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta.
Isi dari prasasti ini adalah “Dulu (kali yang bernama) Candrabhaga telah
digali oleh maharaja yang mulia dan mempunyai lengan kencang dan kuat,
(yakni Raja Purnawarman), untuk mengalirkannya ke laut, setelah (kali ini)
sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang
Mulia Raja Purnawarman yang berkilauan-kilauan karena kepandaian dan
kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja, (maka sekarang)
beliau memerintahkan pula menggali kali yang permai dan berair jernih,
Gomati namanya, seteleh kali itu mengalir di tengah-tengah tanah kediaman
Yang Mulia Sang Pandeta Nenekda (Sang Purnawarman). Pekerjaan ini
dimulai pada hari yang baik, tanggal delapan paroh gelap bulan Phalguna
dan selesai pada tanggal 13 paroh terang bulan Caitra, jadi hanya dalam 21
hari saja, sedang galian itu panjangnya 6.122 busur (± 11 km). Selamatan
baginya dilakukan oleh brahmana disertai persembahan 1.000 ekor sapi”.
Dari isi prasasti tersebut dapat kita simpulkan isi di dalamnya disebutkan
nama dua sungai yang terkenal di Punjab, yaitu Sungai Candrabhaga dan
Gomati, yang menimbulkan berbagai tafsiran para ahli. Walaupun tidak
lengkap, prasasti ini merupakan satu-satunya peninggalan Purnawarman yang
menyebutkan unsur penanggalan. Prasasti ini menyebutkan dilakukannya
upacara selamatan oleh kaum Brahmana disertai dengan 1.000 ekor sapi yang
dihadiahkan. Prasasti ini menyebutkan dua nama lain di samping
Purnawarman.

- Prasasti Pasir Awi


Ditemukan di kawasan perbukitan Desa Sukamakmur, Jonggol, Bogor.
Prasasti ini pertama kali ditemukan oleh N.W. Hoepermans pada tahun
1864.Prasasti Pasir Awi berpahatkan gambar dahan dengan ranting dan
dedaunan serta buah-buahan (bukan aksara) juga berpahatkan gambar
sepasang telapak kaki. Menurut Rogier Diederik Marius Verbeek piktograf
tersebut menggambarkan angka tahun. Namun hingga saat ini belum ada
satupun peneliti yang dapat membaca dan mengartikannya secara pasti.

- Prasasti Muara Cianten


Prasasti Muara Cianten ditemukan di tepi sungai Cisadane tepatnya di
Kampung Muara / Pasir Muara, Bogor. Prasasti ini dipahatkan dalam bentuk
“aksara” yang menyerupai sulur-suluran, dan oleh para ahli disebut aksara ikal
sampai saat ini belum ada yang bisa membaca prasasti yang ditemukan ditepi
sungai tersebut.

- Prasasti Cidanghiang (Lebak)


Prasasti Cidanghian ditemukan di tepi kali Cidanghiang, Desa Lebak, Munjul,
Banten Selatan. Prasasti ini ditulis dengan huruf Pallawa dan Bahasa
Sansekerta. Isi dari prasasti ini adalah “Inilah (tanda) keperwiraan,
keagungan, dan keberanian yang sesungguhnya dari Raja Dunia, Yang Mulia
Purnwarman, yang menjadi panji sekalian raja-raja”.

D. Kerajaan Mataram, Jawa Tengah


Sejarah Kerajaan Mataram Kuno cukup panjang yang dimulai sejak abad ke-6 M. Kerajaan
Mataram Kuno atau sering juga disebut dengan Kerajaan Mataram Hindu atau Kerajaan Medang.
Mataram Kuno yang bercorak Hindu (dan Buddha) biasanya disebut untuk membedakan dengan
Kerajaan Mataram Islam yang berdiri sekitar abad ke 16 M. Bhumi Mataram adalah sebutan
lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya, di daerah inilah diperkirakan Kerajaan Mataram Kuno
pertama berdiri. Kerajaan Mataram Kuno memiliki dua periode berdasarkan lokasi atau ibu kota
pemerintahannya. Pertama adalah periode awal Kerajaan Medang yaitu di Jawa Tengah di bawah
Wangsa Sanjaya dan Sailendra (732-929 M), serta yang kedua ketika pindah ke Jawa Timur dan
dikuasai oleh Wangsa Isyana (929-1016 M). Pada 929 M, Kerajaan Mataram Kuno dipindahkan
ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok. Lokasi tepatnya pusat Kerajaan Mataram Kuno periode Jawa
Tengah diperkirakan berada di Bhumi Mataram atau Yogyakarta pada masa awal berdirinya di
bawah pemerintahan Rakai Mataram Sang Sanjaya. Kemudian, lokasi ibu kota kerajaan ini
sempat berpindah-pindah, antara lain ke Mamrati pada masa Rakai Pikatan, pada era Dyah
Balitung (Rakai Watukura) dipindahkan ke Poh Pitu, dan sempat kembali lagi ke Bhumi
Mataram pada masa Dyah Wawa (Rakai Sumba). Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan berada di
antara wilayah Yogyakarta hingga Jawa Tengah bagian selatan (Magelang atau Kedu). Setelah
dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok yang kemudian bergelar Sri Maharaja Rakai Hino
Sri Isana Wikramadharmottunggadewa (929-947), Kerajaan Mataram Kuno menempati pusat
pemerintahan di daerah yang disebut Tamwlang. Masa-masa berikutnya terjadi lagi perpindahan
pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno periode Jawa Timur atau era Dinasti Isyana, yakni
dipindahkan ke Watugaluh. Dikutiip dari buku Antologi Sejarah Candi Boyolangu (2016) tulisan
Lailatul Mahfudhoh, Tamwlang maupun Watugaluh diperkirakan terletak di sekitar Jombang,
Jawa Timur. Setelah Kerajaan Medang runtuh pada awal abad ke-9 M, selanjutnya muncul
kerajaan-kerajaan penerus Wangsa Mataram, dari Kahuripan, Jenggala, Kediri, Singhasari,
Majapahit, Demak, Jipang, Giri, Kalinyamat, Pajang, hingga era Mataram Islam yang
memunculkan Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran, serta
Pakualaman.

Raja-raja

 Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732-760 M)


 Rakai Panangkaran (760-780 M)
 Rakai Panunggalan alias Dharanindra (780-800 M)
 Rakai Warak alias Samaragrawira (800-820 M)
 Rakai Garung alias Samaratungga (820-840 M)
 Rakai Pikatan dan Maharatu Pramodawardhani (840-856 M)
 Rakai Kayuwani alias Dyah Lokapala (856-882 M)
 Rakai Watuhumalang (882-899 M)
 Rakai Watukura Dyah Balitung (898-915 M)

Peninggalan-peninggalan Kerajaan Mataram


- Candi Prambanan
Candi Prambanan merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang
terletak 17 km dari pusat Kota Yogyakarta. Kompleks candi yang dikenal juga
sebagai Candi Loro Jonggrang ini dibangun pada abad ke-10 pada masa
pemerintahan Rakai Pikatan dan Rakai Balitung untuk menunjukkan kejayaan
Hindu di tanah Jawa. Kompleks Candi Prambanan memiliki tiga candi yang
menghadap Timur di halaman utama, yaitu Candi Wisnu, Brahma, dan Siwa,
yang merupakan lambang Trimurti dalam kepercayaan Hindu. Masing-masing
candi tersebut memiliki satu candi pendamping yang menghadap ke Barat,
yaitu Nandini untuk Siwa, Angsa untuk Brahma, dan Garuda untuk Wisnu.
Selain itu, masih terdapat dua candi apit, empat candi kelir, dan empat candi
sudut. sementara halaman kedua memiliki 224 candi

- Candi Dieng
Kelompok Candi Dieng termasuk candi bercorak Hindu, yang letaknya
berada di Kecamatan Kejajar, berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara.
Candi yang tersebar di dataran tinggi Dieng terdiri atas beberapa candi yang
berdiri sendiri maupun candi yang membentuk satu kompleks kecil. Candi-
candi tersebut dinamai dengan nama tokoh-tokoh wayang, seperti Candi
Bima, Candi Arjuna, Candi Gatotkaca, Candi Puntadewa, Candi Srikandi, dan
Candi Semar. Tokoh yang membangun Candi Dieng belum dapat dipastikan,
hanya saja pembangunannya diperkirakan berlangsung antara abad ke-7
sampai abad ke-13.

- Prasasti Canggal
Prasasti Canggal dibuat tahun 654 Saka atau 732 Masehi. Prasasti ini
peninggalan Dinasti Sanjaya. Tulisan di atas prasasti menggunakan huruf
Pallawa dalam bahasa Sansekerta. Isinya menceritakan tentang Raja Sanjaya
yang memerintahkan didirikannya sebuah lingga Siwa di atas Bukit
Kuntjarakunja. Disebutkan pula bahwa Jawadwipa (Pulau Jawa) yang kaya
akan hasil bumi diperintah oleh Raja Sannaha dan anaknya Raja Sanjaya. Di
masa kekuasaan mereka, wilayah Kerajaan Mataram Kuno diperluas
mencapai Bali.
- Prasasti Balitung
Prasasti Balitung disebut juga dengan prasasti Mantyasih atau prasasti
Kedu. Prasasti ini dibuat pada tahun 829 Saka atau 907 Masehi oleh Raja Diah
Balitung. Prasasti yang terbuat dari tembaga ini berisikan nama-nama raja
yang pernah memerintah Kerajaan Mataram Kuno selama Dinasti Sanjaya
berkuasa hingga masa Raja Diah Balitung. Selain itu, prasasti ini juga
mengisahkan Diah Balitung yang memberi hadiah lima patih yang dianggap
berjasa kepada kerajaan.

E. Kerajaan Singasari, Jawa Timur

Kerajaan Hindu yang terkenal pada masanya adalah Kerajaan Singasari yang berdiri sekitar
tahun 1222 Masehi, tepat setelah terjadinya perang raja terakhir kerajaan Kediri yaitu Kertajaya
dengan Ken Arok. Pada saat perang berlangsung, Ken Arok berhasil menggulingkan kekuasaan
kerajaan Kediri. Kerajaan Singosari berdiri karena adanya dukungan dari para Brahmana juga.

Raja-raja

 Ken Arok, pada masa pemerintahannya Raja Ken Arok lebih memilih untuk fokus
membersihkan namanya dengan mendirikan dinasti Girindrawangsa dari banyaknya
skandal yang beredar. Mulai dari membunuh Mpu Gandring, Tunggal Ametung dan
mengawini Ken Dedes dan memberontak terhadap Kerajaan Kediri.
 Anusapati, raja kedua yang juga merupakan putra dari raja sebelumnya. Raja Anusapati
memiliki banyak sekali perilaku buruk. Ia sangat senang melakukan hal-hal yang
melanggar seperti sabung ayam, bahkan ia juga yang membunuh Ken Arok ayahnya
sendiri.
 Tohjaya, raja setelah Anusapati ini merupakan anak Ken Arok juga. Ia merebut
kekuasaan Anusapati dengan cara membunuhnya dengan keris yang sama digunakan
untuk membunuh Ken Arok.
 Wisnuwardhana/Ranggawuni, kedua raja tersebut memimpin kerajaan Singosari setelah
berhasil menggulingkan Tohjaya. Penggulingan raja sebelumnya dilakukan atas dasar
tuntutan terhadap hak kekuasaan bersama Mahisa Cempaka.
 Kartanegara, Raja termuda di sepanjang sejarah kerajaan Singosari. Meskipun menjadi
raja saat usia muda, Kartanegara tergolong raja yang ulung namun totaliter. Kebijakan
yang diambil olehnya didukung oleh rakyat namun juga menimbulkan kebencian.

Peninggalan-peninggalan Kerajaan Singasari

- Candi Jago
Lokasi candi terletak di Kabupaten Malang atau sekitar 22 KM ke arah
timur Kota Malang, tepatnya di Dusun Jago, Kecamatan Tumpang. Bagi
masyarakat setempat julukan terhadapat candi tersebut ialah Candi Cungkup
atau Candi Tumpang. Berdirinya candi ,dilatarbelakangi untuk menghormati
raja keempat Kerajaan Singosari, Sri Jaya Wisnuwardhana (1248-1268) oleh
anaknya yaitu, raja Kertanegara. Kemudian, dalam pupuh 41 gatra keempat
Negarakertagama tertulis bahwa Raja Wisnuwardhana menganut agama
Syiwa Budha, yakni aliran keagaaman campuran antara Hindu dan Budha.

- Candi Kidal
Candi Kidal terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tepatnya di Desa
Rejokidal, Kecamatan Tumpang. Candi ini berjarak sekitar 20 kilometer ke
arah timur dari kota Malang. Dibangun pada 1248 Masehi, tak lama pasca
upacara pemakaman “Cradha” yang diadakan untuk Raja Anusapati. Ciri khas
atau keunikan dari Candi Kidal terletak pada ketiga relief cerita Garudeya
berbentuk fragmen yang dipahatkan pada kaki candi. Pada relief pertama
menunjukan gambar Garuda yang tengah menggendong 3 ekor ular besar,
relief kedua melukiskan Garuda dengan kendi di atas kepala, dan relief
terakhir Garuda menyangga seorang perempuan. Relief Garudeya ini
menggambarkan bakti Raja Anusapati kepada ibunya Kendedes.

- Prasasti Singasari
Prasasti Singhasari, yang bertarikh tahun 1351 M, ditemukan di Singosari,
Kabupaten Malang, Jawa Timur dan sekarang disimpan di Museum Gajah.
Ditulis dengan Aksara Jawa. Prasasti ini ditulis untuk mengenang
pembangunan sebuah caitya atau candi pemakaman yang dimainkan oleh
Mahapatih Gajah Mada. Paruh pertama prasasti ini merupakan pentarikhan
tanggal yang sangat terperinci, termasuk pemaparan kedudukan benda-benda
angkasa. Paruh kedua mengemukakan maksud prasasti ini, yaitu untuk
pariwara pembangunan sebuah caitya.
F. Kerajaan Kediri, Jawa Timur

Kerajaan Kediri merupakan salah satu kerajaan Hindu yang terletak diujung timur Pulau Jawa,
yaitu di provinsi Jawa Timur. Kerajaan Kediri muncul karena adanya perpecahan antara
Kerajaan Medang dengan ibukota Daha. Hal tersebut dikarenakan perebutan kekuasaan antara
kedua putra mahkota dari Raja Airlangga.

Raja-raja

 Raja Jayawarsa, raja yang memimpin kerajaan Kediri untuk pertama kalinya. Hal ini
dibuktikan dengan adanya peninggalan berupa prasasti Sirah Keting (1104 M)
 Raja Bameswara, pada masa kepemimpinannya Kerajaan Kediri berada di masa yang
stabil dan baik. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya prasasti yang banyak memuat
tentang hal-hal mengenai keagamaan dan kepercayaan.
 Prabu Jayabaya, raja yang menjadikan seluruh rakyat kerajaan Kediri makmur dengan
hasil perkebunan dan pertanian yang melimpah.
 Raja Saweswara, raja kerajaan Kediri yang terkenal dengan ketaatan kepada agama dan
senang berbudaya.
 Raja Aryeswara, berkuasa pada tahun 1171 Masehi dengan gelar Abhisekanya.
 Raja Gandra, saat memimpin kerajaan Kediri terdapat hal unik yang ia lakukan, yaitu
memberikan gelar kepangkatan dalam istana dengan nama hewan.
 Raja Kameswara, menurut sejarah pada masa kepemimpinannya kerajaan Kediri
mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat. Terbukti dari kitab yang ditemukan
yaitu kitab Smaradhana yang ditulis oleh Mpu Dharmaja.
 Raja Kertajaya, pemerintahannya berlangsung selama 32 tahun lamanya dan sangat
terkenal dengan nama “Dandang Gendis”. Pada masa ini, kerajaan Kediri mulai terpuruk
karena hubungan sang Raja dengan kaum Brahmana juga memburuk. Hal tersebut
mengakibatkan terjadinya perang antara Raja dan Ken Arok.

Peninggalan-peninggalan Kerajaan Kediri


- Prasasti Kamulan
Prasasti Kamulan ditemukan di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Isinya
menceritakan tentang sejarah berdirinya Kabupaten Trenggalek dan Kerajaan
Kediri ketika diserang oleh raja di kerajaan sebelah timur. Prasasti ini dibuat
pada masa pemerintahan Raja Kertajaya, pada 1194 Masehi.

- CandiPenataran
Candi Penataran terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok,
Kabupaten Blitar. Dibanding candi-candi di Jawa Timur lainnya, kompleks
Candi Penataran merupakan yang terluas dan terlengkap unsur-unsurnya.
Kompleks candi seluas 1,5 hektar ini terdiri dari tiga halaman. Pada halaman
ketiga, terdapat bangunan candi induk dengan ukuran terbesar. Di sebelah
selatan candi induk ini terdapat prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Srengga
dari Kerajaan Kediri. Isi prasasti tersebut adalah tentang peresmian sebuah
perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah (Candi Penataran).
- Kitab Bharatayudha
Kitab Bharatayudha ditulis pada zaman Raja Jayabaya, untuk memberikan
gambaran terjadinya perang saudara antara Panjalu melawan Jenggala. Perang
saudara tersebut digambarkan dengan perang antara Kurawa dan Pandawa
yang masing-masing merupakan keturunan Barata. Kitab Bharatayudha adalah
karangan Mpu Tantular dan Mpu Panuluh.

- Kitab Smaradhana
Kitab Smaradahana ditulis pada zaman Raja Kameswari oleh Mpu
Darmaja, yang terkenal dengan karyanya Cerita Panji. Isi kitab ini
menceritakan tentang sepasang suami istri, Smara dan Rati, yang menggoda
Dewa Syiwa yang sedang bertapa. Smara dan Rati akhirnya terkena kutukan
dan mati terbakar oleh api (dahana) karena kesaktian Dewa Syiwa. Akan
tetapi, mereka dihidupkan kembali dan menjelma sebagai Kameswara dan
permaisurinya.
G. Kerajaan Bali

Kerajaan Bali berdiri sekitar abad ke-10 hingga awal abad ke-20. Saat berdiri, Kerajaan Bali
berada di bawah kepemimpinan Dinasti Warmadewa. Saat itu, agama yang berkembang adalah
Buddha. Selang beberapa tahun kemudian, agama Hindu mulai masuk dan banyak dianut
warganya. Pusat dari kerajaan Bali terletak di Bedulu, Gianyar. Letak dari kerajaan Bali ini dekat
dengan Pulau Jawa bagian Timur. Keduanya memiliki kedekatan dalam hubungan kebudayaan,
termasuk ikatan dengan Dinasti Isyana di Jawa Timur. Kepemimpinannya sangat dihormati dan
dicintai karena perhatiannya yang sangat besar kepada rakyat. Karena kemuliaannya, bahkan ia
dianggap sebagai penjelmaan dari kebenaran hukum. Ia juga membangun sebuah tempat
pertapaan (prasada) di Gunung Kawi yang lokasinya berdekatan dengan Istana Tampak Siring.
Bangunan tersebut memiliki ciri khas yang unik berupa pahatan menyerupai candi. Pada bagian
dasarnya terdapat gua pertapaan. Hingga saat ini, bangunan pertapaan tersebut masih terawat dan
dilestarikan dengan baik dan juga menjadi salah satu objek wisata yang kerap dikunjungi oleh
para wisatawan di Bali. Sepeninggalan Marakata, tahta kerajaan diwariskan kepada putranya
yang bernama Anak Wungsu mulai tahun 1049 hingga 1077. Anak Wungsu meninggalkan 28
buah prasasti dan merupakan prasasti terbanyak dibanding raja-raja yang sempat memimpin
sebelumnya. Anak Wungsu sendiri tidak memiliki keturunan. Ia wafat dan kemudian
didharmakan di daerah Gunung Kawi. Pada tahun 1430, Kerajaan Bali dipimpin oleh Raja
Dalem Bedahulu, sebelum kemudian dikuasai Gajah Mada dari Majapahit.

Raja-raja
 Sri Kesari Warmadewi

Di dalam Prasasti Blanjong bertuliskan angka tahun 914 menyebutkan istana kerajaan
berada di wilayah Singhadwalawa.

 Ratu Sri Ugrasena

Ratu Sri Ugrasena memimpin sejak tahun 915 hingga 942 dan istananya pada saat itu
didirikan di Singhamandawa. Selama masa kepemimpinannya, Ratu Sri Ugrasena
meninggalkan 9 buah prasasti. Prasasti tersebut secara keseluruhan berisi pembebasan
pajak pada daerah-daerah tertentu.

 Jayasingha Warmadewa

Ada pro dan kontra mengenai Jayasingha Warmadewa. Ada yang mengatakan bahwa ia
bukan keturunan Tabanendra, sebab di tahun 960 M bersamaan dengan masa
kepemimpinan Tabanendra, Jayasingha Warmadewa telah menjadi raja. Kemungkinan
lainnya, ia adalah seorang putra mahkota yang telah diangkat menjadi raja sebelum
ayahnya turun takhta. Semasa pemerintahannya, ia membuat sebuat telaga atau
pemandian dari sumber suci di Desa Manukraya. Pemandian tersebut kini dikenal dengan
nama Tirta Empul yang letaknya berada di dekat Tampaksiring. Raja Jayasingha
Warmadewa memimpin kerajaan hingga tahun 975 Masehi.

 Dharma Udayana Warmadewa

Pada saat pemeritahan Udayana, Kerajaan Bali mencapai puncak kejayaan. Ia memimpin
kerajaan bersama sang permaisuri yang bernama Mahendradatta, seorang putri dari
seorang raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur. Sebelum Udayana diangkat
menjadi raja, banyak yang menduga bahwa beliau pernah berada di Jawa Timur karena
namanya tercatat dalam Prasasti Jalatunda. Pernikahan antara Udayana dan
Mahendradatta menjadikan pengaruh kebudayaan Jawa di Bali menjadi semakin
berkembang. Misalnya, bahasa Jawa Kuno mulai dipergunakan dalam penulisan prasasti.
Selain itu, pembentukan dewan penasihat mulai dilakukan seperti pada umumnya
pemerintahan kerajaan-kerajaan di Jawa.

 Marakata

Raja Marakata bergelar Dharmawangsawardhana Marakata Pangkajasthana


Uttunggadewa. Ia memimpin kerajaan sejak tahun 1011 hingga 1022. Masa
pemerintahannya sezaman dengan Airlangga. Sejak memimpin, Marakata dijuluki
sebagai sumber kebenaran hukum karena selalu melindungi dan mengayomi masyarakat
kerajaan.

 Anak Wungsu

Anak Wungsu bergelar Paduka Haji Anak Wungsu Nira Kalih Bhatari Lumah i Burwan
Bhatara Lumah i Banu Wka. Beliau adalah Raja Bali Kuno yang paling banyak
meninggalkan prasasti dengan jumlah lebih dari 28 buah prasasti dan telah tersebar di
Bali Utara, Bali Tengah, dan Bali Selatan.

Peninggalan-peninggalan Kerajaan Bali


- Prasasti Blanjong
Prasasti Blanjong ditemukan di tidak jauh banjar Blanjong, desa Sanur
Kauh, di kawasan Sanur, Denpasar, Bali. Wujudnya berupa pilar batu setinggi
177 cm, dan bergaris tengah 62 cm. Prasasti ini unik karena bertuliskan dua
macam huruf; adalah huruf Pra-Nagari dengan memakai bahasa Bali Kuno,
dan huruf Kawi dengan memakai bahasa Sanskerta. Prasasti Blanjong memuat
sejarah tertulis tertua tentang Pulau Bali. Pada prasasti ini disebutkan kata
Walidwipa, yang merupakan sebutan bagi Pulau Bali. Prasasti ini bertarikh
835 çaka (913 M), dan dikeluarkan oleh seorang raja Bali yang bernama Sri
Kesari Warmadewa.
Isi dari prasasti ini adalah “Pada tahun 835 çaka bulan phalguna, seorang
raja yang mempunyai kekuasaan di seluruh penjuru dunia beristana di
keraton Sanghadwala, bernama Çri Kesari telah mengalahkan musuh-
musuhnya di Gurun dan di Swal. Inilah yang harus diketahui hingga
kesudahan hari” Berdasarkan pokok prasasti tersebut dikuatkan prasasti
Blanjong dikukuhkan pada tahun 835 Caka (913 M) atas Raja Adipatih Cri
Kesari Warmadewa sebagai tanda kemenangan.

- Prasasti Panglapuan
Prasasti Panglapuan adalah peninggalan kerajaan Bali yang berisi pesan
tentang para penguasa kerajaan seperti Udayana, Jayapangus dan Anak
Wungsu.

- Pura Agung Besakih


Pembangun Pura Besakih adalah seorang tokoh agama Hindu dari India
yang telah lama menetap di pulau Jawa, nama beliau adalah Rsi Markandeya.
Awal mulanya Rsi Markandeya pendiri dari Pura ini, bertapa di Gunung
Hyang (Gunung Dieng di Jawa Tengah). Setelah lama bertapa Rsi
Markandeya mendapat wahyu untuk merambas hutan di Pulau Dawa dari
selatan menuju ke utara. Ditempat perambasan hutan, Rsi Markandeya
menanam kendi yang berisikan logam dan air suci. Logam tersebut antara lain
logam emas, logam perak, logam tembaga, logam besi dan logam perunggu.
Kelima logam tersebut dimasyarakat Bali disebut dengan mama Pancadatu.
Selain logam juga turut serta ditanam permata yang disebut Mirahadi yang
artinya mirah utama. Tempat penanaman kendi inilah yang disebut dengan
nama Basuki yang artinya selamat. Diberikan nama Basuki atau selamat
dikarenakan dalam perambasan hutan para pengikut dari Rsi Markandeya
selamat melaksanakan tugasnya. Dengan berjalanyan waktu nama Basuki
berubah menjadi Besakih.

- Candi Gunung Kawi


Candi ini terletak di Sungai Pakerisan, Dusun Penaka, Desa Tampaksiring,
Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, Indonesia.
Candi ini sangat unik karena biasanya candi berupa batuan utuh yang terbuat
dari bata merah atau batu gunung, namun candi ini tidak seperti itu melainkan
pahatan di dinding tebing batu padas ditepi sungai. Nama Gunung Kawi itu
sendiri konon berasal dari kata Gunung dan Kawi. Gunung berarti Gunung
atau Pegunungan dan Kawi Berarti Pahatan Jadi Candi Gunung Kawi berarti
Candi yang dipahat di atas gunung. Candi ini terletak sekitar 40 kilometer dari
Kota Denpasar dengan perjalanan sekitar 1 jam menggunakan mobil atau
motor.
2. a. Animisme berasal dari bahasa Latin anima atau "roh" adalah kepercayaan kepada
makhluk halus dan roh merupakan asas kepercayaan agama yang mula-mula muncul di
kalangan manusia purba. Kepercayaan animisme mempercayai bahwa setiap benda di
Bumi ini seperti kawasan tertentu, gua, pohon atau batu besar, mempunyai jiwa yang
mesti dihormati agar roh tersebut tidak mengganggu manusia. Selain daripada jiwa dan
roh yang mendiami di tempat-tempat yang dinyatakan di atas, kepercayaan animisme
juga mempercayai bahwa roh orang yang telah mati bisa masuk ke dalam tubuh hewan.
Roh-roh orang yang telah mati juga bisa memasuki tubuh babi atau harimau dan
dipercayai akan membalas dendam orang yang menjadi musuh bebuyutan pada masa
hidupnya. Bahkan hal tersebut dipercayai sampai turun temurun. Kepercayaan ini
berbeda dengan kepercayaan reinkarnasi seperti yang terdapat pada
agama Hindu dan Buddha, di mana dalam reinkarnasi, jiwa tidak pindah langsung ke
tubuh hewan lain yang hidup, melainkan melalui proses kelahiran kembali kedunia dalam
bentuk kehidupan baru. Pada agama Hindu dan Buddha juga terdapat konsep
Hukum karma yang berbeda dengan kepercayaan animisme ini.
b. Pantheisme atau panteisme berasal dari bahasa Yunani: πάν ( 'pan' ) artinya semua
dan θεός ( 'theos' ) artinya Tuhan, secara harafiah artinya "Tuhan adalah Semuanya" dan
"Semua adalah Tuhan". Pantheisme adalah suatu posisi yang menganggap Universe atau
Alam Semesta identik dengan ke Tuhanan. Dengan kata lain, Tuhan adalah alam semesta
itu sendiri. Panteisme merupakan konsep ketuhanan yang nonpersonal atau
tidak anthropomorphic.
c. Totemisme, secara bahasa totemisme berasal dari kata Ojibwa dari Suku Algonkin,
Amerika Utara. Arti totem dapat berupa burung, ikan, binatang, atau tumbuhan tertentu.
Totemisme meyakini bahwa ada daya atau sifat keilahian pada benda-benda tertentu,
selain manusia. Kepercayaan ini menganggap bahwa hewan atau tumbuhan tertentu dapat
memberi pengaruh, baik itu pengaruh baik atau dampak buruk bagi penganutnya.
Lazimnya, penganut totemisme menganggap keramat hewan atau tumbuhan yang
dipercaya sebagai totem, serta dilarang membunuh atau memakan hewan atau tumbuhan
tersebut.
d. Monoteisme berasal dari kata Yunani monon yang ruang lingkupnya tunggal dan
Theos yang ruang lingkupnya Tuhan. Monoteisme adalah meyakini konsep Tuhan itu
satu, sempurna, tak berubah, pencipta seluruh alam semesta, mewajibkan berbakti kepada
Tuhan sebagai entitas yang tertinggi. Berdasarkan konsep monoteisme, Tuhan adalah
Dzat yang berperan dalam penciptaan dan menguasai dunia serta layak disembah oleh
semua ciptaan-Nya.
3. Panca Sradha berasal dari dua akar kata yaitu Panca yang artinya lima dan Sradha yang
artinya keyakinan, jadi Panca Sradha adalah lima keyakinan yang dimiliki oleh Umat
Hindu yang dipegang teguh dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat demi
mencapai tujuan hidup di dunia. Bagian-bagian dari Panca Sradha adalah :
a. Brahman, artinya percaya akan adanya Sang Hyang Widhi.
b. Atman, artinya percaya akan adanya Sang Hyang Atman.
c. Karma, artinya percaya akan adanya hokum karma phala.
d. Samsara, artinya percaya akan adanya kelahiran kembali.
e. Moksa, artinya percaya akan adanya kebahagiaan rohani.

Penjelasan dari bagian-bagian Panca Sradha

a. Brahman (Percaya akan adanya Sang Hyang Widhi)


Umat Hindu meyakini bahwa Tuhan sesungguhnya hanya satu atau tunggal yang
kemudian disebut Brahman. Brahman secara etomologi berasal dari kata “brh” yang
artinya meluap atau melingkupi semua atau dengan bahasa sederhana; Brahman yang
melingkupi semua kehidupan. Kata ini kemudian berevolusi dan berkembang
sehingga menjadi beberapa arti, seperti roh universal tunggal, yang mutlak, yang
abadi dll. Sebagai puncaknya adalah adanya pengakuan akan ke-esa-an tuhan yang
meliputi segalanya.
Chandogya Upanisad III.14.1 menegaskan:
“Sarvam kalvidam brahma” artinya: Semua ini adalah Brahman. Alam semesta serta
kehidupannya adalah Brahman.
Atharvaveda IV.1.1 menyatakan:
“Brahma jajnanam prathanam purastat” artinya: Brahman (Tuhan) adalah yang
pertama dari yang ada di alam semesta.
Dalam ajaran Hindu, kata Brahman menunjukkan konsep ke-tak terbatasan. Sebagai
penjelasan atas Brahman, dikenal konsep Tri Suparna yang mengkategorikan
pemahaman Brahman pada tiga bentuk. Bentuk pemahaman yang pertama adalah
Brahman yang mutlak yang terlepas dari ciptaan apapun, dalam bentuk ini ia disebut
dengan Brahman. Bentuk pemahaman yang kedua adalah Brahman yang
bermanifestasi pada alam semesta, dalam bentuk ini ia disebut dengan Wiraj. Bentuk
pemahaman dimana Brahman dianggap sebagai roh yang bergerak dimanapun juga di
jagatraya ia disebut dengan Hiranyagarbha. Apabila ditambahkan pemahaman
Brahman yang berpribadi dan mengambil peran sebagai pencipta, pemelihara dan
pelebur maka ia disebut dengan Iswara yang diwujudkan dalam bentuk ritual
pemujaan Tri Murti.
Dalam kitab Narayana Upanisad diterangkan Tuhan dengan nama Narayana,
“Narayana ewedam sarwam yadbutham yacca bhawyam niskalanko niranjano
nirwikalpo nirakhyatah suddho dewo eko narayano na dwi tiyo sti kascit”
yang artinya:
Semuanya adalah narayana, baik keberadaan yang ada ini maupun yang akan ada,
Narayana hanyalah satu yang tanpa dosa, tak berubah dan tak dapat digambarkan,
yang murni dan ilahi, yang tak ada duanya.
Nama tidaklah penting dalam konsep Brahman, sebagaimana yang dinyatakan dalam
Rg Weda I.164.46
“Indram mitram warunamagnimahur
Atho diwyah sa suparno garutman
Ekam sad wipra bahudha wadanty
Agnim yamam matarisvanam ahuh“
yang artinya:
Mereka menamakannya indra, mitra, waruna, agni dan garutma yang bersayap indah.
Karena para bijak terpelajar menyebut yang satu itu dengan banyak nama, dimana
yang mulia juga disebut dengan yama (yang menakdirkan) dan matariswan (nafas
kosmis).
Pada dasarnya ada dua konsep penting tentang Brahman yaitu konsep Brahman yang
monotheis dan konsep Brahman yang Acintya (tak terpikirkan, ke-tak terbatasan)
b. Atman (Percaya akan adanya Sang Hyang Atman)
Kata Atman, diambil dari kata “an” yang berarti bernafas. Setelah secara bertahap
diperluas, maka artinya kemudian menjadi meliputi kehidupan, roh, jiwa.
Atman adalah sinar suci / bagian terkecil dari Brahman (Tuhan Yang Maha Esa).
Atman berasal dari bahasa Sansekerta kata yang berarti dalam diri, semangat, atau
jiwa. Dalam filsafat Hindu, atman adalah prinsip utama yang paling hakiki dari
identifikasi diri di luar individu dengan fenomena dan esensi dari setiap individu.
Untuk mencapai Moksa (pembebasan), seorang harus memperoleh pengetahuan diri
(atma Gyan). Untuk aliran pemikiran yang berbeda, realisasi diri adalah, bahwa diri
sejati seseorang (Jīvātman) dan realitas tertinggi (Brahman) merupakan sepenuhnya
identik (Advaita, Non-Dualis), sangat berbeda (Dvaita, Dualist), atau secara
bersamaan tidak berbeda namun berbeda (Bhedabheda, Non-Dualist + Dualist).
Agama Hindu percaya bahwa ada atman di setiap hidup makhluk yang disebut jiwa.
Ini adalah perbedaan utama dengan doktrin Buddhis tentang Anatta, yang
menyatakan bahwa tidak ada jiwa atau diri.

Bhagawadgita X.20 menjelaskan


“aham atma gudakesa, sarwabhutasaya-sthitah, aham adis ca madhyam ca,
bhutanam anta eva ca”
yang artinya:
O, Arjuna, aku adalah atma, menetap dalam hati semua makluk, aku adalah
permulaan, pertengahan, dan akhir daripada semua makluk.
c. Karma (Percaya akan adanya karma phala)
Secara etimologi karma phala berasal dari kata karma yang berarti perbuatan dan
phala yang berarti hasil. Jadi karmaphala berarti hasil dari perbuatan yang kita
lakukan. Istilah Karma adalah prinsip spiritual sebab dan akibat, secara deskriptif
disebut prinsip karma, di mana niat dan tindakan seseorang (sebab) mempengaruhi
masa depan individu tersebut (akibat), niat baik dan perbuatan baik berkontribusi
pada karma baik dan kelahiran kembali yang lebih bahagia, sementara niat buruk dan
perbuatan buruk berkontribusi pada karma buruk dan kelahiran kembali buruk.
Berdasarkan waktu diterimanya hasil dari perbuatan seseorang karmaphala dibedakan
menjadi tiga, yaitu:
 Sancita Karma phala: Perbuatan dimas lampau/kehidupan lalu pada kehidupan
sekerang kita terima hasilnya.
 Prarabda karma phala: Perbuatan sekarang sekarang juga kita terima hasilnya.
 Kryamana karma phala: Perbuatan pada kehidupan sekarang belum habis
diterima hasilnya maka akan kita terima dapa kehidupan yang akan datang.

d. Samsara (Percaya akan adanya kelahiran kembali)


Kelahiran kembali ini terjadi karena adanya atma masih diliputi oleh keinginan dan
kemauan yang berhubungan dengan keduniawian. Kelahiran dan hidup ini
sesungguhnya adalah sengsara, sebagai hukuman yang diakibatkan oleh perbuatan
atau karma di masa kelahiran yang lampau. Jangka pembebasan diri dari samsara,
tergantung pada perbuatan baik kita yang lampau (atita) yang akan datang (nagata)
dan sekarang (wartamana). Pembebasan dari samsara berarti mencapai
penyempurnaan atma dan mencapai moksa yang dapat dicapai di dunia ini juga.
Pengalaman kehidupan samsara ini dialami oleh Dewi Amba dalam cerita
Mahabharata yang lahir menjadi Sri Kandi.
Bhagawadgita IV.5 menjelaskan
“bahuni me vyatitani janmani tava carjuna, tany aham veda sarvani na tvam vettha
parantapa”
yang artinya:
Banyak kelahiran-Ku dimasa lalu, demikian pula kelahiranmu, Arjuna: semuanya ini
Aku mengetahuinya, tetapi engkau sendiri tidak, wahai Arjuna.
e. Moksa (Percaya akan adanya kebahagiaan rohani)
Agama Hindu mengajarkan umatnya jalan untuk mencapai tujuan akhir dalam setiap
kehidupan yaitu moksha dan bukanlah surga ataupun neraka. Moksa merupakan
tujuan akhir dari umat Hindu. Moksa sama artinya dengan kebahagian tertinggi atau
abadi. Ada beberapa tingkatan dalam moksa tersebut, diantaranya :
 Jiwamukti: Tingkatan moksa atau kebahagiaan/kebebasan yg dpt dicapai oleh
seseorang semasa hidupnya, dimana atmannya tidak lagi terpengaruh oleh
gejolak indrya dan maya (pengaruh duniawi). Dimana keadaan atma seperti
ini disamakan dengan Samipya dan Sarupya.
 Widehamukti: Tingkatan kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa
hidupnya, dimana atma telah meninggalkan badan wadagnya (jasadnya),
tetapi roh yang bersangkutan masih kena pengaruh maya yang tipis. Tingkat
keberadaan atma dalam posisi ini disetarakan dgn brahman, namun belum
dapat menyatu dengan-nya, sebagai akibat dari pengaruh maya yang masih
ada. Widehamukti dapat disejajarkan dengan salokya.
 Purnamukti: Tingkat kebebassan yang paling sempurna. Pada tingkat ini
posisi atma seseorang keberadaannya telah menyatu dgn Brahman. Setiap
orang dapat mencapai posisi ini, apabila bersungguh-sungguh dengan
kesadaran dan hati yg suci mau dan mampu melepaskan diri dari keterikatan
maya ini.
Berdasarkan pada keadaan tubuh ketika mencapai moksa, tingkatan-tingkatan moksha
dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu;
 Moksa – meninggalkan tubuh/wadah/jasad tanpa tahu kapan ajal kematian.
 Adi Mokssa – meninggalkan tubuh/wadah/jasad, namun sudah tahu waktu
kematian.
 Parama Moksa tanpa meninggalkan tubuh/wadah/jasad
4. Secara etimologi Tri Kaya Parisudha berasal dari bahasa Sanskerta dari kata Tri artinya
tiga dan Kaya artinya perbuatan atau prilaku dan pansudha artinya (amat) disucikan. Jadi
Tri Kaya Parisudha artinya tiga jenis tindakan yang merupakan landasan ajaran etika
Agama Hindu dalam menjalani hidup guna mencapai kesempurnaan dan kesucian
hidupnya. Adapun bagian-bagian dari Tri Kaya Parisudha terdiri dari:
a. Manacika, yaitu berpikir yang bersih dan suci.
b. Wacika, yaitu berkata yang baik, sopan dan benar
c. Kayika, yaitu berbuat yang jujur, baik dan benar.
Penjelasan dari bagian-bagian Tri Kaya Parisudha
a. Manacika artinya berfikir yang baik dan benar atau suci, setiap tindakan berawal dari
pikiran oleh sebab itu berusaha untuk berpikir yang positif untuk mengendalikan
perkataan dan tingkah laku agar selalu berkata dan berbuat yang baik. Pikiran baik
bisa dihasilkan dengan belajar meditasi dan mendekatkan diri dengan sang Pencipta.
b. Wacika artinya berkata yang benar dan baik, setiap orang lebih suka mendengar
perkataan yang benar dan jujur walau kadang menyakitkan, tetapi sakitnya hanya
sesaat. Semua orang tidak suka dicaci dan dimaki, kendalikanlah diri supaya tidak
sampai seperti itu, atau jangan suka menghina orang karena setiap manusia adalah
sama. Lebih seringlah mengucap mantra pemujaan atau bernyayi lagu-lagu
keagamaan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
c. Kayika artinya selalu berbuat atau bertingkah laku yang benar. Kadang ada istilah
perkataan tidak sesuai dengan tindakan artinya bilangnya mau ke pura eh malah tidur
di rumah atau maunya medana punia di Pura eh malah uangnya buat beli yang lain.
Nah itulah salah satu tindakan yang menyimpang antara perkataan dan tindakan.
Untuk bertingkah laku yang benar maka alangkah baiknya setiap anggota tubuh ini
untuk melakukan pekerjaan yang baik misalnya menyapu, mencuci, belajar dan lain-
lain. Janganlah kamu pakai badan ini untuk menyakiti, misalnya memukul orang lain
atau memukul hewan dan lain-lain.
5. Catur Asrama berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari kata Catur dan Asrama. Catur
berarti empat dan kata Asrama berarti tempat atau lapangan ’kerohanian’. Kata
’asrama’ sering juga dikaitkan dengan jenjang kehidupan. Jenjang kehidupan itu
berdasarkan atas tatanan rohani, waktu, umur, dan sifat perilaku manusia. Jadi Catur
Asrama adalah empat tahapan yang harus dilalui oleh umat hindu untuk
mencapai Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma. Bagian-bagian Catur Asrama:
a. Brahmacari Asrama
b. Grhasta Asrama
c. Wanaprasta Asrama
d. Saniasa / Bhiksuka/ Sanyasin Asrama
Penjelasan dari bagian-bagian Catur Asrama
a. Brahmacari Asrama adalah tingkat masa menuntut ilmu/masa mencari ilmu. Masa
Brahmacari diawali dengan upacara Upanayana dan diakhiri dengan pengakuan
dan pemberian Samawartana (Ijazah).
b. Grhasta Asrama adalah tingkat kehidupan berumahtangga. Masa Grehasta
Asrama ini adalah merupakan tingkatan kedua setelah Brahmacari Asrama.
Dalam memasuki masa Grehasta diawali dengan suatu upacara yang disebut
Wiwaha Samskara (Perkawinan) yang bermakna sebagai pengesahan secara
agama dalam rangka kehidupan berumahtangga (melanjutkan keturunan,
melaksanakan yadnya dan kehidupan sosial lainnya).
c. Wanaprastha Asrama adalah tingkat kehidupan ketiga. Dimana berkewajiban
untuk menjauhkan diri dari nafsu keduniawian. Pada masa ini hidupnya diabdikan
kepada pengamalan ajaran Dharma. Dalam masa ini kewajiban kepada keluarga
sudah berkurang, melainkan ia mencari dan mendalami arti hidup yang
sebenarnya, aspirasi untuk memperoleh kelepasan/moksa dipraktekkannya dalam
kehidupan sehari- hari.
d. Sanyasin Asrama (bhiksuka) adalah tingkat terakhir dari catur asrama, di mana
pengaruh dunia sama sekali lepas. Mengabdikan diri pada nilai-nilai dari
keutamaan Dharma dan hakekat hidup yang benar. Pada tingkatan ini, ini banyak
dilakukan kunjungan (Dharma yatra, Tirtha yatra) ke tempat suci, di mana seluruh
sisa hidupnya hanya diserahkan kepada Sang Pencipta untuk mencapai Moksa.

Anda mungkin juga menyukai