Anda di halaman 1dari 11

Siapa di Balik Narasi Kebencian Pengungsi Rohingya

Narasi kebencian mengiringi isu pengungsi Rohingya. Diduga ada penggalangan penolakan dan
pengusiran secara terorganisasi.

Koran Tempo, Sabtu, 30 Desember 2023

Imigran Rohingya asal Myanmar menaiki kendaraan menuju tempat penampungan sementara di
Banda Aceh, Aceh, 10 Desember 2023. ANTARA/Irwansyah Putra. tempo : 170389650372.234906

Ringkasan Berita Ini

 Penolakan atas pengungsi Rohingya disuarakan sebagian warga Aceh, termasuk mahasiswa.

 Di media sosial, kabar bohong tentang pengungsi Rohingya terus berdengung.

 Aparat keamanan diduga menggalang gerakan penolakan terhadap pengungsi yang terbuang
dari Myanmar itu.

KEDATANGAN rombongan Emily Bojovic disambut isak tangis para perempuan pengungsi
Rohingya di gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA) di Banda Aceh, Aceh. Kamis siang itu, 28
Desember lalu. Emily yang juga Senior Protection Officer Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR)
berkunjung setelah pada malam sebelumnya sejumlah orang yang mengatasnamakan mahasiswa
menggeruduk dan mengangkut paksa para imigran.

Azharul Husna, Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(Kontras) Aceh, yang turut dalam pertemuan itu mengatakan fisik para pengungsi tampak baik-baik
saja. "Tapi kasatmata mereka ketakutan akibat pengusiran paksa. Mereka memohon pertolongan,"
kata Azharul kepada Tempo, Jumat, 29 Desember 2023.
Ratusan orang yang tergabung dalam kelompok BEM Nusantara mendatangi gedung BMA, Banda
Aceh, pada Rabu lalu. Ruang bagian bawah gedung di seberang kantor Gubernur Aceh tersebut
sudah dua pekan lebih menjadi tempat penampungan sementara bagi 137 pengungsi Rohingya.
Massa datang dengan satu tujuan: memindahkan para pengungsi ke Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Aceh. Mereka menuntut kantor Imigrasi, di bawah
naungan Kemenkumham, segera mengusir pengungsi Rohingya dari Aceh.

Dalam pemindahan itu, yang rekaman gambarnya tersebar luas, kelompok massa melakukan
pemaksaan. Sebagian di antara mereka menarik para pengungsi yang menolak dipindahkan.
Sebagian lainnya melemparkan botol air ke arah para imigran. Para pengungsi akhirnya diangkut
paksa menggunakan truk ke kantor Kemenkumham Aceh yang berjarak sekitar 500 meter dari
gedung BMA. Namun pada Kamis dinihari, sekitar 03.00 WIB, kelompok massa mengembalikan para
pengungsi ke gedung BMA.

Mahasiswa bersama polisi membantu menaikkan sejumlah imigran kelompok etnis Rohingya ke truk
saat berlangsung pemindahan paksa di penampungan sementara gedung Balai Meuseuraya Aceh
(BMA), Banda Aceh, Aceh, 27 Desember 2023. ANTARA/Ampelsa

Azharul mengecam pengusiran paksa itu. Di antara para pengungsi itu terdapat 68 anak-anak. "Tidak
ada luka fisik, tapi mereka trauma," ujarnya.

Dia juga menyayangkan sikap pemerintah pusat yang tak kunjung turun tangan. Padahal, kata dia,
pemerintah sempat berjanji segera memindahkan para pengungsi ke lokasi aman, seperti gedung
PMI Aceh dan gedung Yayasan Aceh. Lokasi penampungan sementara di Gedung BMA selama ini
bukan saja tidak aman, tapi juga tak layak. “Tempat ini di basement, sempit, dan tidak ada alas untuk
tidur,” kata Azharul.

Menurut dia, kondisi memprihatinkan juga dialami sekitar 1.600 pengungsi Rohingya lainnya yang
kini tersebar di enam lokasi. Kondisi ini bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden
Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Diteken Presiden Joko
Widodo pada 31 Desember 2016, peraturan tersebut menyatakan tempat penampungan pengungsi
harus didukung kondisi keamanan yang memadai, dekat dengan fasilitas pelayanan kesehatan dan
ibadah, serta tersedia kebutuhan dasar lainnya.

Baca Juga:

 Pengungsi Rohingya Terkatung-katung

 Pengungsi Rohingya Telantar di Segara

Kecaman juga dilontarkan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas


Perempuan). Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan serangan pada Rabu lalu itu
membuat pengungsi yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak semakin menderita. Dia
mengingatkan bahwa kelompok etnis Rohingya selama ini telah mengalami diskriminasi berlapis
karena tak memiliki kewarganegaraan, terus mengalami persekusi di Myanmar, serta menghadapi
kekerasan dan bencana kemiskinan di Bangladesh—tempat pengungsian sebelumnya. "Penolakan
dan serangan semacam ini bertentangan dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan," katanya.

Menurut Andy, persoalan pengungsi Rohingya memang membutuhkan penanganan di tingkat hulu
melalui kerja sama lintas negara. Namun, sementara menunggu proses dan waktu penanganan yang
tak mudah itu, sikap mengusir pengungsi bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.
"Mengembalikan pengungsi berarti membiarkan mereka kembali menghadapi ancaman persekusi
dan terkatung-katung di laut dengan risiko kematian," ujarnya.

Imigran Rohingya kembali ke perahu setelah menerima air dan makanan setelah diizinkan mendarat
sementara oleh warga di pantai Ulee Madon, Aceh Utara, Indonesia, 16 November 2023.
REUTERS/Stringer
Dugaan Narasi Kebencian dan Massa Bayaran

Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, warga di sebagian wilayah pesisir Aceh menolak pengungsi
Rohingya yang datang bergelombang dalam beberapa bulan terakhir. Namun aksi pengusiran paksa
oleh kelompok massa pada Rabu lalu, yang dikecam oleh banyak kalangan, terjadi di tengah
meningkatnya narasi yang seakan-akan hendak membenarkan resistansi terhadap para imigran.
Media sosial beberapa waktu terakhir diramaikan dengan narasi kebencian terhadap kelompok etnis
Rohingya. Sebagian di antaranya mengamplifikasi pernyataan sejumlah pejabat publik bahwa para
imigran yang datang tak sepenuhnya adalah pengungsi, melainkan bagian dari praktik sindikat tindak
pidana perdagangan orang (TPPO).

Azharul mencermati eratnya hubungan antara penyebaran informasi menyesatkan di media sosial
dan tindakan anarkistis menolak pengungsi Rohingya. Kontras, kata dia, sempat mewawancarai
sejumlah orang yang turut dalam demonstrasi menuntut pengusiran pengungsi Rohingya pada Rabu
lalu. Sebagian peserta aksi menyatakan bahwa para pengungsi ingin meminta tanah di Indonesia dan
bersikap arogan lantaran tak puas dengan bantuan yang telah diberikan selama ini. Sebagian massa
lainnya bahkan menyamakan pengungsi Rohingya dengan zionis Israel, yang semula disambut baik
oleh warga Palestina kemudian menjajah.

"Mereka menelan mentah-mentah informasi menyesatkan di media sosial," kata Azharul.

Dia menduga penyebaran narasi kebencian ini dilakukan sengaja, terorganisasi, dan sistematis. Narasi
itu juga semakin banyak bermunculan di media massa dalam memberitakan pengungsi Rohingya.
Kabar bohong, kata dia, kemudian disebarkan secara masif oleh akun-akun anonimus di media sosial.
“Mustahil ini dilakukan satu-dua orang. Ada yang sengaja menciptakan situasi ini,” kata Azharul.

Imigran Rohingya histeris dipindah paksa dari penampungan sementara gedung Balai Meuseuraya
Aceh (BMA), Banda Aceh, Aceh, 27 Desember 2023. ANTARA/Ampelsa
Komnas Perempuan juga menyoroti indikasi serupa. Andy Yentriyani menilai peristiwa serangan dan
pemindahan paksa terhadap pengungsi Rohingya patut diduga berkaitan dengan politisasi isu,
provokasi melalui media sosial, perilaku massa terhadap disinformasi, dan daya aparat keamanan
dalam menangani kekerasan. "Aspek-aspek ini perlu diurai untuk mencegah peristiwa serupa
berulang," katanya.

Seorang sumber Tempo di Jakarta mengamini dugaan adanya mobilisasi dalam gelombang penolakan
yang semakin masif terhadap pengungsi Rohingya akhir-akhir ini. Dia, yang namanya cukup dikenal
dalam jaringan masyarakat Aceh, mengaku sempat dihubungi oleh koleganya yang seorang aparatur
keamanan negara di Aceh pada dua pekan lalu. Kenalannya itu mengabarkan ingin menggalang
massa untuk meramaikan isu Rohingya. "Namun saat itu tidak jelas detailnya," kata dia.

Upaya menggalang massa itu mulai terang sepekan lalu ketika sumber Tempo bertemu dengan
sejumlah mahasiswa asal Aceh yang kuliah di Jakarta. Kelompok mahasiswa itu, kata dia, menyatakan
sempat juga dihubungi oleh aparatur keamanan di Aceh. Mereka diminta menggelar aksi mahasiswa
menolak pengungsi Rohingya pada pekan ini. "Orderan angkanya (untuk menggelar demonstrasi) Rp
100-200 juta," kata sumber Tempo.

Dia hakulyakin pengusiran paksa pada Rabu lalu itu berhubungan dengan penggalangan massa ini.
Pasalnya, dalam pertemuan itu, mahasiswa asal Aceh di Jakarta sudah menyebutkan bahwa
komunikasi mereka berlanjut ke seorang mahasiswa di Aceh bernama Warija Arismunandar,
koordinator massa dalam aksi pengusiran paksa di gedung BMA.

Koordinator aksi BEM Nusantara, Warija Arismunandar, saat menggelar aksi menolak Rohingya di
kantor DPR Aceh, Banda Aceh, Rabu, 27 Desember 2023. HABAACEH.COM/Julinar Nora Novianti

Beberapa tahun terakhir, nama Warija Arismunandar bermunculan di pemberitaan media sebagai
koordinator sejumlah unjuk rasa dengan jubah organisasi berbeda-beda, seperti Aliansi Pemuda
Peduli Aceh (APPA) serta Koalisi Pemuda dan Mahasiswa Aceh (KPMA). Terakhir kali, pada 6
September 2022, Pengadilan Negeri Banda Aceh memvonis Warija dengan hukuman 2 tahun penjara
karena terbukti bersalah dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotik. Sebelumnya, pada akhir
Maret tahun lalu, polisi menangkap pria kelahiran 1998 ini di Desa Jeunglingke, Kecamatan Syiah
Kuala, Banda Aceh, dengan barang bukti sabu seberat 0,31 gram.

Dalam pengusiran paksa pengungsi pada Rabu lalu, Warija dan sebagian massa aksi mengenakan jas
hijau almamater Perguruan Tinggi Al Washliyah Banda Aceh. Sebagian massa aksi juga membawa
bendera Pemerintah Mahasiswa (Pema) Perguruan Tinggi Al Washliyah Banda Aceh.

Namun Presiden Pema Perguruan Tinggi Al Washliyah Banda Aceh Mohd. Azis membantah
lembaganya terlibat dalam aksi memboyong paksa pengungsi Rohingya. "Kami atas nama mahasiswa
Al Washliyah Banda Aceh mengutuk keras tindakan individu mahasiswa yang ikut aksi
mengatasnamakan Pema Perguruan Tinggi Al Washliyah Banda Aceh," kata Azis, Kamis lalu.

Kepada Tempo, kemarin, Warija membantah aksinya pada Rabu lalu sebagai pesanan aparatur
keamanan dengan balasan uang. “Itu fitnah,” ujarnya. Dia mengklaim unjuk rasa itu murni didasari
keresahan masyarakat yang menolak pengungsi Rohingya. Baginya, pengungsi Rohingya sudah
bertindak kurang ajar karena pernah membuang air besar di tambang udang masyarakat, meminta
tempat tinggal yang layak, dan melakukan mogok makan.

Warija khawatir pengungsi Rohingya akan melakukan perlawanan sehingga menjadi seperti Israel.
“Apalagi pemerintah bilang di balik pengungsi ini ada oknum yang melakukan TPPO,” ujarnya.
Kendati demikian, Warija membantah aksi pada Rabu lalu berlangsung anarkis. Menurut dia,
tindakan kekerasan yang tersebar luas di media merupakan ulah provokator. "Kami tidak anarkistis.
Namun ada indikasi di luar kendali kami."

Dia membenarkan saat ini juga menjadi Koordinator Barisan Muda Hadi Surya (BMHS). Hadi Surya
adalah Ketua Gerindra Aceh Selatan yang kembali menjadi calon Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
periode 2024-2029 dari daerah pemilihan Aceh 9. Namun Warija menyatakan aksinya menolak
pengungsi Rohingya tak berhubungan dengan kepentingan politik kelompok tertentu. Soal kasus
hukumnya, Warija menyatakan pengalaman masa lalu itu telah ia sesali. "Saya sudah bebas," kata
dia.
Sejumlah imigran etnis Rohingya beristirahat setelah terdampar di Blang Raya, Kecamatan Muara
Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh, 14 November 2023. ANTARA/Joni Saputra

Penanganan Pengungsi Minim Solusi

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Siti Ruhaini Dzuhayatin mengatakan Indonesia tak
meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Karena itu, Indonesia hanya bisa memberikan bantuan
kemanusiaan. Pemberian bantuan itu dilakukan oleh Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan
Keamanan berkoordinasi dengan UNHCR. Sebab, kata dia, UNHCR memiliki kewajiban menangani
pengungsi itu. “Pak Menkopolhukam terus berkoordinasi dengan UNHCR,” kata Siti kepada Tempo,
kemarin.

Siti memastikan pemerintah terus berjuang untuk menyelesaikan masalah Rohingya. Di tingkat
ASEAN, misalnya, Indonesia mendorong penyelesaian konflik di Myanmar yang menjadi akar masalah
timbulnya pengungsi kelompok etnis Rohingya. “Kita terus mendorong, tapi belum kunjung selesai,”
kata dia.

Di sisi lain, Siti mengatakan, masalah pengungsi Rohingya juga berhubungan dengan dugaan TPPO.
Kejahatan ini, kata dia, muncul karena kelonggaran dan kebaikan masyarakat yang sebelumnya
menerima pengungsi Rohingya. Hal itu dimanfaatkan oknum untuk melawan tindakan hukum.
“Kejahatan ini melibatkan warga lokal,” ujarnya.

Menurut Siti, semua permasalahan tersebut menjadi pertimbangan pemerintah untuk melakukan
pembenahan, di antaranya dengan lebih selektif menerima pengungsi Rohingya ataupun pengungsi
lainnya. “UNHCR juga harus melakukan verifikasi, mana yang warga Rohingya atau bukan,” kata dia.

Setelah pengusiran paksa pengungsi Rohingya pada 27 Desember lalu, Menteri Koordinator Politik,
Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. menyatakan pemerintah akan memindahkan 137 pengungsi
Rohingya dari gedung BMA ke gedung PMI Aceh dan gedung Yayasan Aceh. "Pengungsi Rohingya itu
ditempatkan di satu tempat yang aman," kata Mahfud, Kamis lalu.
Gelombang Pengungsi Rohingya

Adapun penjabat Gubernur Aceh, Achmad Marzuki, menyatakan forum koordinasi pimpinan daerah
Aceh akan segera berembuk membahas permintaan pemerintah pusat. Mereka sepakat
memindahkan para pengungsi Rohingya itu ke gedung PMI Aceh dan gedung Yayasan Aceh. Namun,
menurut dia, rencana tersebut urung dilakukan karena masyarakat masih menolak. “Muncul
demonstrasi penolakan rakyat,” ujar Marzuki kepada Tempo, kemarin.

Marzuki mengatakan pemerintah provinsi sebetulnya tidak memiliki kewenangan untuk menunjuk
lokasi pengungsian. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016, kewenangan itu berada
di tangan pemerintah kabupaten/kota setempat. Untuk itu, dia memastikan akan berkoordinasi
dengan pemerintah kabupaten/kota guna menyediakan tempat.

Menurut dia, sejauh ini, pemerintah daerah sudah melakukan empat kali upaya relokasi, yakni di
Camp Pramuka di Seulawah, UPTD Beujroh Meukarya di Desa Ladong, Lapangan Speak Bola Opak
Aceh Tamiang, dan lahan kosong di Kabupaten Gayo Lues. Namun, kata Marzuki, masyarakat di lokasi
tersebut menolak. “Sehingga pengungsi tidak bisa dipindahkan,” ujarnya.

Karena banyaknya penolakan itu, Marzuki mengambil kesimpulan, seluruh masyarakat Aceh menolak
pengungsi Rohingya. Marzuki khawatir, bila para pengungsi tetap berada di Aceh, ancaman kekerasan
akan terus terjadi. “Kami tidak mengherankan karena kasus pengungsi Rohingya di Aceh sudah
terjadi sejak 2016 dan sampai sekarang tidak pernah ada solusi konkret, khususnya dari UNHCR,”
ujarnya. “Dalam hal ini, UNHCR dan IOM harus lebih jelas lagi."

Petugas United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) mendata pengungsi Rohingya di
penampungan sementara di gedung SKB Bireuen, Aceh, 16 Oktober 2023. ANTARA/Rahmad

Rohingya Tanggung Jawab Bersama


Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Diaspora Global Aceh (DGA) Mustafa Abubakar mengatakan
lembaganya telah bertemu dengan perwakilan UNHCR dan IOM Indonesia di Jakarta, Kamis kemarin.
Pertemuan itu menghasilkan sejumlah kesepakatan, di antaranya pemerintah Indonesia dan UNHCR-
IOM bertanggung jawab terhadap penanganan pengungsi Rohingya di Aceh. “Keduanya bertanggung
jawab sesuai dengan Perpres Nomor 125,” ujar Mustafa, kemarin.

Pemerintah Indonesia juga harus bertanggung jawab memastikan penyelamatan dan penurunan
penumpang kapal-kapal pengangkut pengungsi yang mengalami kesulitan serta mengidentifikasi
lokasi-lokasi penampungan sementara. Sedangkan, PBB melalui UNHCR dan IOM, akan memastikan
kebutuhan dasar pengungsi ini terpenuhi. “PBB (UNHCR dan IOM) menggunakan sumber daya dan
pendanaan mereka sendiri dalam respons ini,” kata Mustafa.

Adapun Senior Communications Assistant UNHCR Muhammad Yanuar Farhanditya dan Public
Information Officer UNHCR Indonesia Mitra Salima belum merespons permintaan
wawancara Tempo mengenai hal ini.

Direktur Pusat Studi ASEAN Universitas Gadjah Mada (UGM) Dafri Agussalim mengatakan Indonesia
sebagai warga dunia punya kewajiban memiliki simpati dan empati terhadap isu kemanusiaan.
Kewajiban itu sudah tercantum dalam konstitusi dan Pancasila. Indonesia memang belum
meratifikasi Konvensi Pengungsi. Namun, dia mengingatkan, Indonesia adalah negara yang
meratifikasi berbagai kovenan dan konvensi hak asasi manusia, termasuk yang berkaitan dengan isu
pengungsi. “Dengan meratifikasi berbagai konvensi dan kovenan HAM internasional itu, berarti
Indonesia telah sepakat dan bersedia memikul tanggung jawab untuk menghormati, melindungi,
memenuhi, dan memajukan HAM,” ujar Dafri kepada Tempo, kemarin.

Dia berharap pemerintah pusat dan daerah segera memindahkan pengungsi Rohingya ke tempat
penampungan sementara yang aman untuk menghindari gesekan dengan masyarakat lokal. Setelah
itu, pemerintah bisa melakukan identifikasi. Mereka yang bukan pengungsi bisa dikembalikan ke
negara asalnya. “Sedangkan pengungsi ditampung sementara untuk dicarikan negara tujuan akhir,”
kata Dafri.

Karena itu, menurut Dafri, pemerintah pusat perlu melakukan diplomasi internasional untuk
mencarikan tempat pengungsian sebagai tujuan akhir. Diplomasi juga diperlukan untuk mendapatkan
dana bantuan yang bisa menutup kebutuhan para pengungsi Rohingya selama di Indonesia.
“Indonesia harus menggalang dana dari negara lain atau juga dari filantropi lain. Bahkan kalau bisa
dari perusahaan multinasional,” ujarnya. Semua itu, kata Dafri, juga perlu melibatkan masyarakat
setempat yang juga berhak mendapatkan insentif. "Ini perlu untuk mencegah konflik."

HENDRIK YAPUTRA | SUSENO

https://koran.tempo.co/read/berita-utama/486426/di-balik-pengusiran-pengungsi-rohingya

Anda mungkin juga menyukai