Anda di halaman 1dari 2

Insiden pemindahan paksa oleh ratusan mahasiswa terhadap

pengungsi Rohingya di Banda Aceh menyisakan


trauma dan ketakutan bagi korban.

“Karena bersaudara seiman, saya tidak menyangka mereka memperlakukan kami


dengan tidak manusiawi seperti itu,” kata seorang pengungsi Rohingya.
Sementara, kelompok masyarakat sipil menyesalkan aksi pengusiran yang disertai
kekerasan dan intimidasi.
Badan PBB yang menangani pengungsi, UNHCR, menyerukan agar pihak berwenang
menjamin keselamatan para pengungsi yang kini totalnya berjumlah 1.608 orang di
Aceh.
Secara terpisah, Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan, pemerintah pusat akan
mengambil langkah pemindahan sementara para pengungsi Rohingya di Aceh.
Sehari setelah pengepungan dan pemindahan paksa yang dilakukan gerombolan
mahasiswa, sekitar 137 pengungsi Rohingya akhirnya kembali lagi ke penampungan
di rubanah Gedung Balee Meuseraya Aceh (BMA), Kota Banda Aceh.
Mereka sebelumnya dipaksa dan digiring agar pindah dengan dua truk ke kantor
Kementerian Hukum dan HAM Aceh dari Gedung BMA.
Pengungsi sebagian besar perempuan dan anak-anak, pipinya masih terlihat basah
karena air mata.
“Mereka masih merasa ketakutan dan menghindar,” kata wartawan di Aceh,
Hidayatullah yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (28/12).
Di antara mereka terdapat Rohimatun sedang mengelus badan anaknya yang
diselimuti kain sarung. Bocah itu terlihat pulas.
Perempuan 27 tahun ini bersedia bercerita dan mengutarakan isi hatinya.
Ia mengatakan, anaknya sedang demam. Kemungkinan sakitnya itu dipicu peristiwa
kemarin, saat dipindahkan paksa ke halaman Kantor Wilayah Kemenkumham Aceh.
"Saat mahasiswa datang beramai-ramai menyerbu kami, melempar semua pakaian,
tas, dan segala macam ke atas kami, padahal di dalam tas itu ada Al.-Qur’an, ada Iqra,
tapi itu dicampakkan ke atas kami…
"Kami sangat ketakutan dan kesakitan, sehingga menangis. Karena bersaudara
seiman, saya tidak menyangka mereka memperlakukan kami dengan tidak manusiawi
seperti itu,“ kata orang tua tunggal yang membawa serta tiga anaknya ke Aceh.
Syakhi mengatakan terpaksa mengungsi ke Aceh karena tidak ada jaminan keamanan
di lokasi pengungsian di Bangladesh. “Setiap hari ada penculikan, tembak menembak,
tidak ada kehidupan yang luas,” katanya.
Awalnya ia pergi ke Aceh karena mendengar “masyarakatnya baik-baik”.
“Rupanya berbeda. Kami sangat ketakutan, apa yang kami bayangkan di sini rupanya
berbeda, karena itulah kami menangis,” tambah Syakhi.
Ia menambahkan, saat gerombolan mahasiswa datang untuk mengusir, "Kami kira
akan mati di sini. Jika ada kehidupan yang lebih baik di sana [Bangladesh], untuk apa
kami pergi. Kalau dikembalikan ke sana [Bangladesh], bunuh saja kami di sini”.
“Kami [laki-laki] tidak apa-apa diperlakukan seperti itu, tapi kami sedih ketika
perempuan-perempuan kami diperlakukan dengan kejam. Tas dilempar-lempar begitu
saja, tapi kami tidak bisa melakukan apapun, makanya kami menangis,” kata Syakhi.
Sumber:
https://www.bbc.com/indonesia/articles/cyr3ykvjxp0o

Anda mungkin juga menyukai