Anda di halaman 1dari 4

SELAMAT JALAN PAHLAWAN REFORMASI

Bendera setengah tiang dipancangkan. Masyarakat Indonesia berduka, gaung reformasi


telah merenggut empat nyawa mahasiswa calon pemimpin bangsa

Gema Takbir, shalawat, lagu Gugur Bunga, dan isak tangis keluarga korban mengiringi
pemakaman empat mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, Rabu pekan lalu. Setelah
disemayamkan di almamaternya semalam, jenazah para “pahlawan reformasi” itu dikebumikan,
diiringi ribuan pelayat. Elang Mulia dan Heri Hartanto dimakamkan di Taman Pemakaman
Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Hendriawan Lesmana dimakamkan di TPU Al
Kamal, Jakrta Barat, sedangkan jenazah Hafidin Royan dikebumikan di Pemakaman Sinargalih,
Padasuka, Bandung.

Para pahlawan reformasi itu tertembak ketika berada di halaman kampus di kawasan Grogol,
Jakarta Barat, Selasa sore pekan lalu. Peluru memang tak mengenal sasaran. Dan itu yang terjadi
pada empat mahasiswa Trisakti tersebut. Soalnya, mereka bukanlah aktivis yang menggerakkan
massa di lapangan. Bukan pula konseptor dari demo-demo yang digelar. Mereka adalah
mahasiswa yang ikut berunjuk rasa karena simpati atas perjuangan rekan-rekannya yang
menghendaki perubahan di republik ini. Siapakah mereka? Inilah profil singat para pahlawan
reformasi itu:

ELANG MULIA, Fakultas Teknik Arsitektur, Angkatan 1996

Penampilannya gagah, berwajah tampan, berkulit putih bersih, dan berambut hitam berombak.
Pemuda murah senyum ini selalu menyapa siapa saja yang berpapasan dengannya. Itulah Elang
Mulia, kelahiran Jakarta, 5 Juli 1978, buah hati dari pasangan Boy Bagus Yoganadita Rahman
dan Heratety.

Sebagai pengunjuk rasa, Elang bukanlah aktor ataupun konseptornya. Keponakan penyanyi
“Sendu” Nia Daniaty itu, sesuai dengan pembawaannya, lebih suka bercanda. Dalam suasana
yang serius dan emosi pun, Elang masih bisa bercanda. Lihat misalnya ketika rekan-rekannya
menggelar spanduk dan poster yang “keras-keras”, Elang berani tampil beda dan kocak. Dengan
santai ia mangacung-acungkan poster bertuliskan: “Turunkan Harga Fotokopi dan Minyak
Wangi!” Inilah, barangkali, satu-satuya poster “lain” yang digelar oleh seseorang pengunjuk rasa
dalam atmosfer demonstrasi keras dan memanas itu.

“Saya ikhlas, Elang mati sebagai pejuang,” tutur Heratety, ketika mengantar kepergian anaknya
ke liang lahat, dengan suara berat tertelan. Anak kedua dari enam bersaudara yang tinggal di
kawasan Graha Permai, Ciputat, itu sejak kecil sudah punya hobi melukis. Ketika menginjak
remaja, penggemar seafood ini gandrung dengan olahraga basket.

Kegemarannya melukis itulah yang mengantarkannya studi ke jurusan arsitektur. “itu sudah cita-
citanya sejak kecil,” kata salah seorang pamannya, Untung. Sebagai mahasiswa, Elang sangat
rajin belajar, jujur, dan cerdas. Buku tentang arsitektur, baik yang berbahasa Inggris dan
Indonesia, mendominasi rak bukunya.

“Ia tak pernah menyusahkan orang tua,” kenang sang ibu. Bahkan, selama tiga hari sebelum
lehernya tertembus peluru petugas keamanan, di malam hari, Elang tidur minta ditemani ibunya.
Dengan tulus sang ibu menuruti permintaan anaknya.

Kepergian Elang yang begitu cepat itu menyebabkan bukan hanya keluarganya saja yang merasa
kehilangan, juga teman-teman kuliahnya. “Kami kehilangan seorang teman yang ramah dan suka
menolong,” tutur seorang teman almarhum. “Elang telah tiada, perjuangan harus dilanjutkan,”
kata Boy, sang ayah, yang dengan tegar memberi semangat pada rekan-rekan Almarhum,
mahasiswa Indonesia, yang kini gencar menuntut reformasi itu.

HAFIDIN ROYAN, Fakultas Teknik Sipil, Angkatan 1996

Penampilan pemuda yang lahir di Bandung, 28 September 1976, ini kalem. Anak keempat dari
lima bersaudara pasangan Ir. Enus Yunus, pegawai Binamarga Pusat, dan Ir. Sunarmi, pegawai
Puslitbang Pengairan, Jawa Barat, ini menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja di Bandung.

Setelah menamatkan SMU di Bandung tahun 1966, Royan melanjutkan pendidikannya ke


Trisakti. Di Jakarta, Royan ikut ayahnya dan tinggal di perumahan Cipayung, Jakarta Timur.
Bila tak ada kesibukan di Kampus, hampir setiap akhir pekan Royan pulang ke Bandung.

Royan adalah satu-satunya anak lelaki yang dipunyai pasangan Enus Yunus dan Sunarmi. Meski
berpenampilan kalem, Royan suka bercanda, terutama pada kakak dan adiknya. Menurut
penuturan seorang kakaknya, Husnun, Royan tak jarang menggoda saudara-saudaranya itu.
Kalau candaannya itu membuat kesal sang kakak atau adik, Royan selalu mengatakan, “Ah,
begitu saja kok marah!”

Di mata orangtuanya, Royan adalah anak baik, tak pernah macam-macam. “Dia itu anak saleh
dan giat belajar,” kata Sunarmi, sang ibu. Pengakuan sang ibu tak berlebihan. Di kampusnya,
Almarhum dikenal sebagai seorang ustad. “Soalnya, ia sangat rajin mengajak teman-temannya
shalat tepat waktu,” begitu kata salah seorang temannya.

Sebagai aktivis, Royan tak pernah berada di garis depan, dan tak pula menyemburkan umpatan.
Ia berhati-hati, dan sopan. “Dia hanya ikut-ikutan saja, sebagai solidaritas,” kata seorang
temannya yang enggan disebut jati dirinya. Ia hanya berdiri, dan sesekali ikut memberi semangat
berupa tepukan.

Di hari Selasa sore pekan lalu, ketika salah seorang temannya, Agung, mau mengambil posisi di
depan dalam berunjuk rasa, Almarhum sempat mengingatkannya. “Jangan jauh-jauh, nanti
kena,” tutur Agung menirukan saran Almarhum. Saat itulah keduanya pisah, karena Agung tetap
berada di barisan terdepan. Maka, ketika kepala Royan tertembus peluru, Agung pun tak tahu.
Di akhir minggu, Royan sempat ditanya ibundanya, kapan akan pulang ke Bandung? “Mungkin
hari Rabu,” jawabnya. Ternyata benar. Di hari Rabu itu Royan datang ke Bandung, untuk
dimakamkan di TPU Pasir Layung, yang berjarak 200 meter dari rumah duka di Gang Sirnagalih,
Padasuka, Bandung.

HENDRIAWAN LESMANA, Fakultas Ekonomi, Angkatan 1996

Rabu dini hari pekan lalu, telepon di rumah Hendriksie di Balikpapan berdering nyaring. Si
penelepon, Subaning, tak lain adalah adik iparnya, mengabarkan bahwa Hendriawan Lesmana
telah gugur sebagai pahlawan reformasi. “Dada ini langsung terasa sesak,” kata Hendriksie, ayah
Hendriawan. Berita duka itu pun diteruskan pada istrinya, Karsiah, yang langsung pingsan.
Kedua orangtua Almarhum baru bisa terbang ke Jakarta, Rabu pagi.

“Syukur alhamdulillah, kami masih bisa melihat dan mengantarkan jenazahnya,” tutur sang
Ayah dengan mata berkaca-kaca. “Aksi di dalam kampus kok ditembak, kan sah-sah saja,” kata
sang ayah dengan wajah yang tak bisa menyembunyikan kesedihan.

Hendriawan lahir di Balikpapan, 3 Mei 1978. Anak tunggal pasangan Hendriksie dan Karsiah ini
menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja di kota minyak Balikpapan. Pemuda bertampang
macho dengan rambut sebahu yang disisir rapi itu juga dikenal sebagai pemusik, dengan petikan
gitarnya yang cukup memukau. Tak hanya itu, berjalan di atas catwalk, sebagai peragawan, juga
pernah dilakoninya.

Pada 1996, usai tamat SMU di kota kelahirannya, Hendriawan masuk Fakultas Ekonomi di
Universitas Trisakti. Di Jakarta, Hendriawan ikut pamannya, Subaning –Pegawai Pemerintah
DKI- di Kawasan Kedoya, Jakarta Barat. Di kalangan anak-anak di kawasan Kedoya itu,
Hendriawan dikenal sebagai pencerita yang suka memberi permen. “Sejak kecil ia memang
sudah pandai bercerita,” tutur Subaning.

Sehari sebelum putranya gugur, Hendriksie -bekerja di PT THIESS Contractor- menerima dua
pucuk surat dari Almarhum. Isinya, ia meminta uang, karena koceknya sudah menipis, minta
didoakan juga agar ujian semester bisa dijalaninya dengan baik, dan ceritanya panjang lebar
tentang gerakan reformasi yang diperjuangkan mahasiswa Indonesia. “Tentang aparatur
keamanan bentrok dengan mahasiswa, dan soal PHK juga diceritakan,” tutur Hendriksie.

Karena itu, Selasa pagi, sang ayah langsung mentransfer sejumlah rupiah ke rekening
Almarhum. Tapi rupanya uang itu belum sempat diambil, karena sore harinya Hendriawan
terkena tembakan yang mematikan itu.

HERI HARTANTO, Fakultas Teknik Mesin, Angkatan 1995

Pemuda berusia 21 tahun yang bertubuh gempal dengan tinggi 170 cm itu gugur setelah bagian
tulang belakangnya tertembus peluru yang bersarang di dada bagian kiri. Heri meninggalkan
kedua orang tuanya, Sjahrir Mulyo Utomo, 70, dan Lasmiati, 40, serta dua orang adik
perempuannya.

Sebagai mahasiswa Fakultas Teknik Mesin, Almarhum dikenal sebagai mahasiswa baik-baik. Ia
tak dikenal sebagai aktivis suatu organisasi apa pun. “Jangankan berorganisasi, baca koran saja
jarang,” kata Sjahrir, pensiuanan Zeni Angkatan Darat berpangkat letnan dua itu. “Anak saya
bukan perusuh, kenapa ditembak,” begitu jerit Lasmiati ketika mengetahui anak sulungnya gugur
tertembus peluru petugas keamanan.

Meski tak aktif berorganisasi, Heri mudah bergaul dan banyak teman. Kepeduliannya terhadap
rekan-rekannya, baik di kampus maupun di kampungnya, di Jalan Cempaka Timur XVII, Jakarta
Timur, sangatlah kental. Itu terbukti ketika ia merintis mambuka usaha bengkel dan fotokopi.
Usahanya itu dimaksudkan untuk menampung teman-temannya yang menganggur dan tak
mampu meneruskan kuliah.

Di kalangan teman-temannya, Heri dikenal mempunyai jiwa wirausaha dan solidaritas yang
tinggi. Untuk memulai usahanya, Heri pernah mengajukan proposal untuk meminta pinjaman
dana ke Bank Rakyat Indonesia, Rp200 juta. Tapi suratan takdir telah menggariskan bahwa ia
gugur bersama cita-cita yang tengah dirintisnya.

Almarhum, yang sesekali ikut menjadi pengibar bendera di arena balap Sentul itu, memang
sangat gandrung mesin mobil. Terakhir, ia sedang asyik mengutak-atik dan meneliti mesin VW
kodok.

Anda mungkin juga menyukai