Anda di halaman 1dari 5

Review Buku Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran

Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Indonesia Masa Demokrasi Liberal dan
Terpimpin

Dosen Pengampu :

Tsabit Azinar Ahmad, S.Pd., M.Pd.

Dr. Hamdan Tri Atmaja, S.Pd., M.Pd

Disusun oleh :

Muhammad Farhan Fernandi

3111417022

JURUSAN SEJARAH

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

SEMARANG

2019
Review Buku “Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran”

Judul Buku : Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran

Penyunting : Ismid Hadad, Fuad Hashem, Aswab Mahasin, Ismet Nasir dan Daniel
Dhakidae

Penerbit : Pustaka LP3ES Indonesia

Terbit : VII, Mei 2005

Tebal : xx+385 halaman/15,5 x 23 cm

ISBN : 978-979-3330-33-3

Dialek Hokkian (Soe Hok Gie) yang lahir pada 17 Desember 1942 ketika perang
tengah berkecamuk di Pasifik, adalah salah seorang aktivis Indonesia dan Mahasiswa
Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah. Belajar di Fakultas Sastra, Universitas
Indonesia. Universitas tersebut menjadi ajang pertarungan intelektual bagi yang mendukung
serta membela Soekarno dan yang menentang Soekarno.
Gie mulai menulis catatan harianya antara Desember 1959, Gie membuat catatan
harianya sehari dua kali, yakni pada pagi hari dan menjelang tidur sampai terakhir tanggal 16
Desember 1969 ketika Gie tak dapat menulis lagi karena meninggal dalam pendakian di atap
pulau Jawa (Gunung Semeru).
Banyak yang tak percaya Gie meninggal secepat itu, di usia yang masih muda.
Tukang kayu di Malang yang sedang membuat peti matinyapun terkejut dan menangis karena
yang sedang dia buat adalah peti mati untuk Gie. Ketika ditanya mengapa menangis, tukang
kayu tersebut terus menangis dan hanya menjawab “Dia orang berani. Sayang dia
meninggal”. Hal ini berlanjut saat jenazah Gie dibawa oleh pesawat terbang AURI, dari
Malang transit di Yogya dan kemudian ke Yogyakarta. Pilot yang mengemudikan bertanya
kepada Arief Budiman apakah jenazah tersebut memang Soe Hok Gie dia membenarkan,
pilot tersebut kemudian berkata: “Saya kenal namanya. Saya senang membaca karangan-
karanganya. Sayang sekali dia meninggal. Dia mungkin bisa berbuat lebih banyak, kalau dia
hidup terus”.
Kritikan-kritikan pedas Gie terhadap hal yang dia anggap benar membuat Gie dikenal
keras, sifat lain Gie bukan hanya Idealis, sejak berumur empat belas tahun dia sudah
berfilsafat cinta. Kemudian ketika umurnya makin meningkat menjadi sembilan belas tahun
kesimpulan yang sama diberikanya pula dengan ketandasan baru dan kontan: “Cinta =
Nafsu”, titik! Namun ini hanya berlangsung sementara, karena lama-lama dia sendiri juga
menjadi sangsi. Di catatan harianya dia sempat menulis: “Aku kira ada yang disebut cinta
yang suci. Tapi itu cemar bila kawin. Akupun telah pernah merasa jatuh simpati dengan
orang-orang tertentu, dan aku yakin itu bukan nafsu”. Kisah percintaan Gie terbilang rumit,
buntut dari kritik-kritik pedasnya membuat orangtua cewek yang Gie cintai berfikir dua kali
akan menjodohkanya denganya, semakin dia mengejar cinta maka semakin jauh pula larinya.
Karena dalam rasa putus asa dia sendiri berdendang dimabuk kerinduan dalam kehampaan,
seperti yang ada di buku catatanya: “...aku ingin mati disisimu, manisku. Setelah kita bosan
hidup dan terus bertanya-tanya. Tentang tujuan hidup yang tak satu syetan pun tahu. Mari
sisni sayangku. Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku. Tegaklah
ke langit luas atau awan yang mendung. Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita takan
kehilangan apa-apa”.
Catatan Seorang Demonstran (CSD) terbagi menjadi delapan bagian, pertama “Soe
Hok Gie: Sang Demonstran” yang telah dijelaskan sebelumnya. Kemudian bagian CSD
kedua adalah “Masa Anak Kecil”, pada masa ini Gie menghabiskan waktunya untuk
bersekolah dan bermain, kegemaranya membaca buku sastra dan sejarah mulai terlihat,
wawasanya yang luas membuat dia berbeda dengan teman-teman sejawadnya. Di CSD
tertulis pada Sabtu, 8 Februari dia sedang berdebat dengan gurunya tentang apa itu karangan,
pengetahuan Gie yang luas membuat dia lancar dan tajam dalam menjawab. Kelas itupun riuh
karena gurunya yang sebenarya kurang tahu masalah karangan selalu menyangkal argumen
Gie agar tidak malu di depan murid-muridnya yang lain. Sifat kritis Gie terhadap suatu hal
yang tak benar memang sudah terasah sejak dini, sampai tanggal 27 September 1961 Gie
mulai resmi diterima menjadi mahasiswa dan mengikuti perploncoan, inilah lahirnya seorang
aktivis mahasiswa.
Selama menjadi mahasiswa sifat kritis, pengalaman dan wawasan Gie semakin
banyak. Keseharianya disibukan dengan membaca buku, menonton film, berdiskusi, bermain
dan mencatat keseharianya dalam buku harianya. Kondisi politik nasional pada saat Gie
menjadi mahasiswa memang amat sangat kacau, dia mulai mengkritik pejabat-pejabat yang
tak pro-rakyat, mengkritik pemerintah yang korup dan memperjuangkan lengsernya orde
lama dengan terlibat langsung atau di belakang layar beberapa aksi demonstrasi mahasiswa di
Ibukota. Peranan Gie dalam beberapa aksi demonstrasi ini terbilang vital, dia yang bertugas
melobi para polisi untuk menjaga para demonstran agar aman dari intervensi luar.
Kondisi perpolitikan kampus pada zaman Gie terbilang kental, sebagai kampus
terpandang di Ibukota dan banyaknya organisasi-organisasi ekstra masuk kampus dia
menganggap ini bukanlah idealisme mahasiswa lagi melainkan kepentingan-kepentingan
yang membuat idealisme mahasiswa tergadaikan. Puncaknya pada pemilihan senat
fakultasnya, dia bersama teman-temanya sepakat untuk mendaftar menjadi calon senat, meski
bukan Gie yang menjadi calon senat akan tetapi peran dia di balik layar sangat vital yang
pada tahun selanjutnya Gie menjabat sebagai senat.
Dalam tulisan-tulisan kritiknya, Pemerintah adalah objek paling banyak yang ia
kritisi. Soekarno seringkali menjadi objek buruk dalam tulisan dan suara dalam
demonstrasinya. Bukan hanya isu kebangsaan, ia juga mengomentari kondisi lingkungannya.
Pernah ia mengkritisi dosen UI. Katanya, ada dosen ‘bodoh’, yang menyuruh mahasiswa
untuk mentranslate sebuah buku, lalu menjadikan buku hasil translate itu sebagai bahan ajar.
Kesenangan dia terhadap dunia sastra dan sejarah juga ditambah kecintaanya terhadap
alam membuat sosok Gie ini kuat, dikala libur dia sering menyempatkan waktunya untuk
mendaki gunung bahkan ketika telah menjadi dosen muda. Sebelum kematian menjemputnya
satu hal yang mungkin belum diketahui pembaca adalah Soe Hok Gie yang akan berumur 28
tahun itu belum bisa menaiki sepeda motor.
Secara internal, buku ini dapat kita lihat sebagai catatan-catatan yang dikumpulkan
menjadi satu. Kumpulan catatan-catatan yang dibukukan ini dapat menjadi gambaran bagi
kita terhadap situasi Indonesia pada ssaat iitu, tentunya juga tentang keadaan politik
Indonesia pada saat itu.
Secara fisik, buku ini cukup tebal namun isinya sangat berbobot dengan desain cover
yang mudah menarik perhatian. Tekstur cover juga sangat bagus dan memudahkan pembaca
dalam menggenggam buku ini. Buku karya Gie ini dapat membuka pikiran kita tentang wajah
pemerintahan Indonesia saat itu hingga kesatu-paduan mahasiswa yang melakukan aksi yang
jujur tanpa ada unsur politis didalamnya. Buku ini menjadi salah satu karya yang wajib
dibaca oleh para mahasiswa atau orang lain yang mengatasnamakan dirinya sebagai aktivis
namun kehilangan makna karena unsur politis.

Anda mungkin juga menyukai