Anda di halaman 1dari 7

Transmigran Etnis Jawa di Kecamatan Singkohor Kabupaten Aceh Singkil, 1982-

Sekarang.

Migrasi adalah tanda pergerakan horizontal, yaitu cara berpindah tempat tinggal

untuk mendapatkan awal yang baru. Perpindahan tersebut harus melintasi batas-batas

administratif, seperti antar desa, kabupaten, kota, atau negara bagian. Dengan kata lain,

migrasi adalah perpindahan penduduk dari satu unit geografis ke unit geografis lainnya.

Transmigrasi adalah program pemerintah yang memindahkan penduduk dari daerah

padat penduduk ke daerah lain di Indonesia. Transmigran adalah orang yang berpindah

dari satu lokasi ke lokasi lain.

Interaksi sosial adalah ketika dua orang bertemu satu sama lain dengan saling

memarahi, berjabat tangan, bercanda atau mungkin berdebat. Interaksi sosial adalah

pertemuan dua individu. Secara umum, ada tiga jenis interaksi sosial dalam masyarakat:

kerjasama, persaingan, dan konflik. Setiap jenis interaksi memiliki beberapa bentuk

yang berbeda, seperti akomodasi, asimilasi, akulturasi, dan lain-lain. Pemerintah

Indonesia melaksanakan program transmigrasi setelah memperoleh kemerdekaan pada

akhir tahun 1940-an. Setelah kemerdekaan dari Belanda pada tahun 1950, fokus upaya

transmigrasi adalah mengurangi kepadatan di wilayah Pulau Jawa. Hal ini dilakukan

dalam upaya untuk mendorong pertumbuhan penduduk di tempat lain di Indonesia.

Konsep mobilitas sosial dikemukakan oleh Pitirim A. Sorokin yang diartikan

sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya.

Pergerakan yang terjadi dalam dua arah yaitu secara vertikal dan horizontal. (Rahayu:

1995: 55). Kecamatan Singkohor merupakan salah satu kecamatan yang menjadi tujuan

daerah transmigrasi di Kabupaten Aceh Singkil. Pada masyarakat transmigrasi mobilitas


sosial terjadi melalui pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Meski adanya perubahan-

perubahan dalam keluarga transmigran namun tidak semuanya mengalami mobilitas

sosial sehingga beberapa dari transmigran memilih untuk kembali ke asal karena

menganggap transmigrasi tidak memiliki dampak perbaikan kondisi sosial ekonomi

transmigran. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana mobilitas sosial

yang terjadi pada keluarga transmigrasi dan bagaimana perbedaan mobilitas sosial yang

terjadi antara generasi pertama dengan generasi kedua pada keluarga transmigrasi.

Transmigran di Aceh berasal dari berbagai daerah dan berbagai suku bangsa,

namun Suku Jawa menjadi suku yang paling dominan dalam transmigrasi tersebut.

Etnik Jawa telah bermigrasi ke daerah ini cukup lama dan menjalani kehidupan seperti

masyarakat lokal serta sudah beranak pinak. Ketika mereka datang ke Aceh, telah

membawa budaya mereka yang berakar sangat kuat dan diturunkan oleh nenek

moyangnya.

Di Aceh, orang Jawa dikenal sebagai suku yang santun karena menggunakan

semboyan hidup “Asih Ing Sesami” yang artinya cinta kepada sesama. Selain dikenal

karena tutur katanya yang lembut, orang Jawa juga dikenal rajin, gigih, dan rajin.

Dalam mengembangkan budayanya masing-masing, agar tidak menimbulkan

konflik antar etnis yang ada. Etnis Jawa yang sebagai pendatang terlebih dulu

memulainya dengan beradaptasi kepada masyarakat setempat agar terjalin komunikasi

dengan baik. Jika sudah jelas bahwa cara masyarakat berkomunikasi berjalan dengan

baik, inilah yang membantu mempercepat proses akulturasi antara dua kelompok, Jawa

dan Aceh. Meski kedua suku tersebut hanya berpegang pada prinsip masing-masing,

namun mereka saling menghormati dan menghargai adat budaya masing-masing.


Pada saat itu transmigran Jawa belum bisa beradaptasi dengan penduduk asli

Aceh, mereka hanya saling beradaptasi sesama orang jawa saja. Hal yang membuat

orang-orang Jawa susah beradaptasi dengan penduduk asli Aceh, karena mereka

mempunyai kebudayaan yang berbeda. Orang Jawa lebih memilih mempertahankan

budaya nenek moyangnya, karena itu mereka sulit beradaptasi dengan masyarakat Aceh.

Akan tetapi pada tahun 1977 arus migrasi tetap berlangsung melalui program

transmigrasi yang sedang digiat-giatkan oleh presiden Soeharto pada tahun itu, untuk

memindahkan penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa. Selain itu, masih terdapat

migrasi penduduk spontan yang terjadi tanpa bantuan pemerintah. Sebagian dari mereka

hanya ingin mencari keberuntungan dengan bekerja di Aceh karena sudah terbatasnya

lapangan pekerjaan di Jawa. Para transmigran ini juga sudah mulai menetap di Aceh

mereka mulai menyebar dibeberapa daerah di Aceh. Banyak dari mereka sulit untuk

beradaptasi dengan masyarakat Aceh. Oleh karena itu, untuk dapat bertahan dan

diterima ditenggah masyarakat Aceh, awalnya asimilasi sebagai bentuk penyesuaian

budaya yang dipandang jalan keluar paling baik ternyata juga sulit dilaksanakan kerena

perbedaan kebiasaan dan hambatan budaya.

Pada saat itu alkuturasi dijadikan jalan dalam proses pertukaran budaya tersebut,

alkuturasi ini terwujud dari adanya interaksi dua etnis dalam proses begitu lama

sehingga salah satunya menikmati kebudayaan menjadi bagian dari budayanya. Setelah

adanya alkuturasi budaya antara etnis Jawa dan masayarakat Aceh mereka mulai bisa

menyesuaikan atau beradaptasi dengan masyarakat Aceh sendiri, bahkan ada beberapa

dari etnis Jawa telah dapat menguasai bahasa Aceh begitu juga dengan orang Aceh

sendiri mereka sedikit-sedikit memahami bahasa Jawa Hal itu dikarenakan mereka
sering duduk atau melakukan kegiatan bersama, dan hingga saat ini banyak terjadi

perkawinan campuran diantara kedua kelompok masyarakat tersebut.

Seiring perkembangan waktu kehidupan etnis Jawa yang ada di Aceh berjalan

cukup baik, ada beberapa dari mereka yang tidak lagi bekerja sebagai buruh di pabrik-

pabrik, mereka mulai mencari mata pencaharian sendiri dengan berdagang, banyak dari

mereka berjualan makanan yang mereka bawa dari tempat asal mereka seperti:

berjualan jamu, berjualan bakso, berjualan es cream dorong, dan makanan khas Jawa,

dan ada beberapa dari mereka bekerja sebagai tukang bangunan karena ketulenan yang

dimiliki orang Jawa maka banyak orang Aceh sendiri lebih memilih perkeja bangunan

dari orang Jawa. Karena peluang kerja yang ada di Aceh cukup terjamin maka pada

tahun 1987 banyak orang-orang Jawa yang mulai datang ke Aceh mereka dari keluarga,

kerabat dan juga teman sekampung dari orang-orang Jawa yang telah berada di Aceh

sebelumnya.

Etnis Jawa yang berada di Aceh sempat mengalami masa suram, pada tahun

2000 mendadak muncul sekelompok gerilya masyarakat Aceh mengenal mereka

sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM), konflik berkepanjangan antara Gerakan Aceh

Merdeka dan Pemerintah Pusat awalnya tidak berpengaruh kepada orang-orang Jawa

yang berada di Aceh tetapi konflik yang semakin meningkat membuat mereka sulit

beraktifitas dan bekerja, ditambah lagi dengan adanya unsur keterlibatan orang-orang

etnis Jawa yang dicurigai sebagai mata-mata Pemerintah Pusat. Hal itu tentu membuat

situasi keseharian etnis Jawa semakin rumit apalagi beberapa dari mereka yang

bertempat tinggal diperkampungan Aceh. Tidak sedikit diantara mareka mendapat

perlakukan kurang baik, mareka disuruh kembali ke kota asalnya oleh para kelompok

Gerakan Aceh Merdeka karena pihak GAM mengklaim para etnis Jawa menjadi mata-
mata untuk Pemerintah Pusat. Ada juga etnis Jawa kembali ke pulau Jawa bukan karena

disuruh tetapi kemauan mereka sendiri karena konflik yang berkecamuk membuat

mereka merasa takut dan tidak nyaman dalam berkehidupan dan berkerja sehari-hari.

Pasca MoU-Helsinki tahun 2005 situasi keamanan Aceh mulai membaik, Aceh

mulai membenahi kehidupan yang baru setelah diluluh lantakkan bencana maha dahsyat

yaitu Gempa dan Tsunami tahun 2004. Semua elemen dalam dan luar Negeri ikut serta

membantu proses pemulihan situasi kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi

masyarakat Aceh.

Etnis Jawa yang semula meninggalkan Aceh karena situasi keamanan mulai

berdatangan kembali untuk berkerja dan ikut membantu memulihkan trauma yang

dirasakan masyarakat Aceh. Walaupun situasi Aceh sudah aman ada juga diantara etnis

Jawa tersebut tidak berani lagi kembali ke Banda Aceh dan memilih menetap di pulau

Jawa

Pada tahun 2007-2008 Aceh masih dalam tahap pemulihan sosial kehidupan dan

sosial ekonomi, oleh karenanya hampir semua instansi pemerintah ataupun swasta

membuka lowongan pekerjaan secara bersama untuk merekrut tenaga kerja sebanyak

mungkin dalam proses pemulihan tersebut. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh

masyarakat luar Aceh untuk ikut serta membantu, begitu juga dengan etnisJawa mereka

mulai mengambil pekerjaan di Banda Aceh. Bahkan tidak sedikit dari mareka juga

kembali ke Aceh untuk berkerja sebagai buruh bangunan, pedangang, petani, nelayan,

wiraswasta dan lain-lain.

Menurut Pitirim A. Sorokin mobilitas sosial dapat dipahami sebagai transisi dari

objek atau individu dari satu tingkatan ke tingkatan yang lebih tinggi. Dimana tingkatan

tersebut dilakukan oleh individu dari satu posisi sosial ke posisi sosial lainnya. Mobitas
sosial dapat terjadi melalui beberapa saluran yaitu pendidikan, pekerjaan, dan

penghasilan.

Kehadiran para etnis ini merupakan suatu kenyataan yang terjadi saat ini dan

masih tetap bertahan mereka telah menjalani kehidupan seperti masyarakat penduduk

asli serta mereka telah mempunyai keluarga besar, harta benda dan bahkan tanah milik

pribadi baik itu lahan perkebunan kopi dan lain-lain.

Hal serupa juga yang terjadi pada keluarga transmigran di Kecamatan Singkohor

dimana salah satu cara untuk terjadinya mobilitas sosial adalah melului jalur

pendidikan. Pada saat ini, setiap individu memiliki hak untuk bersekolah atau

mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Dengan adanya kesempatan

tersebut maka setiap individu memiliki pelung untuk dapat meningkatkan kedudukan

serta taraf hidupnya melalui pendidikan. Melalui pendidikan seorang individu akan

memiliki ketrampilan, keahlian, pengetahuan. Misalnya anggota keluarga dari keluarga

transmigran pada generasi kedua yang kuliah di bidan kesehatan setelah selesai kuliah ia

bekerja di rumah sakit sehingga hal tersebut maka akan berdampak pada peningkatan

pendapatannya.

Berdasarkan permasalahan tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti

“Transmigran Etnis Jawa di Kecamatan Singkohor Kabupaten Aceh Singkil,

1982- Sekarang”
Referensi :

Ahmadi, A. (1991). Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Fitriani, R. (2019). MOBILITAS SOSIAL PADA KELUARGA TRANSMIGRASI

(Studi Deskriptif Kuantitatif di Kecamatan Singkohor Kabupaten Aceh Singkil).

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, 4(2).

RAYA, M. N. SEJARAH KEDATANGAN, PERUBAHAN SOSIAL, DAN

AKULTURASI ETNIS JAWA PERANTAUAN DI DARUL.

Syahri, E., & Yoesoef, A. (2017). INTERAKSI SOSIAL ANTARA ETNIS JAWA,

ACEH DAN GAYO DI KAMPUNG PUJA MULIA KECAMATAN BANDAR

KABUPATEN BENER MERIAH TAHUN 1950-2015. JIM: Jurnal Ilmiah

Mahasiswa Pendidikan Sejarah, 2(2).

Wahyuningsih, S., & Abdullah, T. (2018). PERKEMBANGAN ETNIS JAWA DI

KOTA BANDA ACEH, 1945-2015. JIM: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan

Sejarah, 3(2).

Anda mungkin juga menyukai