PENDAHULUAN
Pada hasil yang sudah terlampir, dapat diketahui bahwa kedua suhu pada
perlakuan hari yang berbeda adalah ±27,5℃. Mikroorganisme memiliki respon
terhadap perubahan suhu yang mempengaruhi perubahan laju reaksi atau perubahan
populasi. Reaksi-reaksi yang terjadi dalam digester membutuhkan temperatur
dengan kisaran 25-30℃ untuk bakteri-bakteri di dalam pemrosesan biogas agar
dapat melakukan proses dekomposisi dengan baik (Sholeh et al., 2012). Pada
praktikum ini memiliki temperatur dengan kisaran angka yang telah sesuai dengan
referensi yang ada. Temperatur berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme di
dalam substrat, semakin tinggi temperaturnya (temperatur optimum hidup bakteri),
maka aktivitas mikroorganisme juga semakin meningkat. Adapun, pada
pengukuran pH sludge didapatkan hasil pada perlakuan hari yang berbeda
sebesar >7,5. Menurut Anugrah et al. (2017), parameter pH sangat berperan penting
dalam proses fermentasi dan produksi biogas saat tahapan hidrolisis dikarenakan
pH yang tidak sesuai dapat memberikan pengaruh yang kurang optimal pada
kandungan gas metana yang dihasilkan. Kestabilan pH fermentasi dapat dijaga
dengan menggunakan kapasitas penyangga (buffer capacity). Produksi biogas
secara optimal dapat dicapai apabila pH berkisar di dalam rentang 6-7 (Sholeh et
al., 2012). Bila nilai pH di bawah 6,5, maka aktivitas mikroorganisme atau bakteri
akan menurun. Namun, saat nilai pH di bawah 5,0, maka fermentasi akan terhenti.
Pada pengukuran praktikum dapat disimpulkan bahwa nilai pH yang dimiliki
bernilai sedikit basa dikarenakan melebihi nilai netral. Hal ini dapat disebabkan
karena faktor lingkungan dimana saat terjadi hujan, maka cairan lain yang berada
di lingkungan sekitarnya akan meresap ke dalam tampungan limbah tersebut.
Menurut Utami et al. (2014), pemberian limbah biogas dapat meningkatkan
nilai pH, C-organik, dan N total limbah. Hal ini dapat menunjukkan bahwa limbah
dapat juga dimanfaatkan sebagai pupuk organik. pH biogas akan semakin menurun
atau akan menuju ke dalam rentang asam ketika waktu yang berjalan semakin lama
saat berada di dalam digester. Sementara itu, bakteri metanogen yang berada di
dalam biogas tidak lagi dapat bertahan pada pH di bawah 6,6. Semakin tinggi rasio
kotoran sapi, maka semakin cepat laju produksi biogas (Tangko et al., 2018).
Produksi biogas dapat dipengaruhi oleh faktor temperatur yang terdapat di dalam
digester dimana dapat berpengaruh pada aktivitas bakteri dan optimasi laju biogas
yang dihasilkan. Kandungan gas metana dalam perlakuan berbeda hari tersebut juga
tergolong ke dalam skala yang cukup kecil dimana bernilai <55%. Hal ini dapat
diakibatkan karena pH yang ada belum sesuai dengan kriteria yang sudah
ditetapkan oleh referensi yang ada sehingga kandungan gas metana juga belum
optimal. Adapun, kualitas biogas dapat ditingkatkan dengan menghilangkan
kandungan H2S, H2O, dan CO2 dengan proses purifikasi menggunakan adsorben.
Dalam pengolahan biogas, terdapat beberapa keuntungan, seperti
pengurangan dalam menggunakan bahan bakar fosil sehingga dapat diganti dengan
pemanfaatan limbah kotoran hewan sebagai biogas. Hal ini dapat membantu
masyarakat agar tidak mengeluarkan biaya dalam pembelian bahan bakar. Selain
itu, pemanfaatan biogas dapat mengurangi pencemaran lingkungan akibat kotoran
hewan yang menumpuk serta hasil samping dari biogas dapat diolah menjadi pupuk
organik (Oktavia dan Firmansyah, 2016). Namun, proses pembuatan biogas ini
dapat mencemari udara yang ada di sekitar unit pengolahan biogas. Penanganan
dan perawatan dalam instalasi biogas yang digunakan juga tergolong memerlukan
biaya yang tidak sedikit serta memerlukan lahan yang cukup luas agar tidak
berdekatan dengan pemukiman warga.
BAB V
KESIMPULAN
Al-Rubaye, A. F., Hameed, I. H., dan Kadhim, M. J. (2017). A review: uses of gas
chromatography-mass spectrometry (GCMS) technique for analysis
of bioactive natural Compounds of some plants. International
Journal of Toxicological and Pharmacological Research, 9(1), 81-
85.
Anugrah, E. T., Nurhasanah, dan Nurhanisa, M. (2017). Pengaruh pH dalam
produksi biogas dari limbah kecambah kacang hijau. PRISMA
FISIKA, 5(2), 72-76.
Bhui, I., Mathew, A. K., Chaudhury, S., dan Balachandran, S. (2018). Influence of
volaitile fatty acids in different incolum to substrate ratio and
enhancement of biogas production using water hyacinth and salvinia.
Bioresource Technology, 270(6), 409-415.
Darmapatni, K. A. G., Basori, A., dan Suaniti, N. M. (2016). Pengembangan
metode GC-MS untuk penetapan kadar acetaminophen pada
specimen rambut manusia. Jurnal Biosains Pascasarjana, 18(3), 1-
15.
Hartono, H. S. O., H. Soetjipto, dan A. I. Kristijanto. (2017). Extraction and
chemical compounds identification of red rice bran oil using gas
chromatography-mass spectrometry (GC-MS) method. Eksakta:
Jurnal Ilmu-ilmu MIPA, 1(1), 13-25.
Kusumasari, A. C. dan Muryanto. (2019). Pemanfaatan limbah biogas sapi sebagai
media tanam perbenihan jambu biji., Agrosains, 21(2), 39-42.
Nasiruddin, S. M., Li, Z., Mang, H. P., Uddin, S. M. N., Zhou, X., Cheng, S., dan
Wang, X. (2020). Assessment of organic loading rate by using a
water tank digester for biogas production in Bangladesh. Journal of
Cleaner Production, 265(12), 1-10.
Nugroho, C. (2012). Macam-macam Pupuk Organik. Jakarta: Penebar Swadaya.
Oktavia, I. dan Firmansyah, A. (2016). Pemanfaatan teknologi biogas sebagai
sumber bahan bakar alternatif di sekitar wilayah operasional PT
Pertamina EP Asset 2 Prabumulih Field. Jurnal Resolusi Konflik,
1(1), 32-36.
Rasapoor, M., Young, B., Brar, R., Sarmah, A., Zhuang, W. Q., dan Baroutian, S.
(2020). Recognizing the challenges of anaerobic digestion: critical
steps toward improving biogas generation. J. Fuel, 26(1), 1-12.
Regmi, B. P. dan Agah, M. (2018). Micro gas chromatography: an overview of
critical components and their integration. Analytical Chemistry,
90(1), 13113-13150.
Ritonga, A. M. dan Masrukhi. (2017). Optimasi kandungan metana biogas kotoran
sapi menggunakan berbagai jenis adsorben. Jurnal Rona Teknik
Pertanian, 10(2), 8-17.
Sholeh, A., Sunyoto, dan Al-Janan, D. H. (2012). Analisis komposisi campuran air
dengan limbah kotoran sapi dan peletakan posisi digester terhadap
tekanan gas yang dihasilkan. Journal of Mechanical Engineering,
1(1), 1-7.
Tangko, J., Sonong, Chaerul, M. A., dan Salam, J. (2018). Analisis faktor-faktor
yang mempengaruhi produksi biogas dari limbah ternak di
Kecamatan Baroko Kabupaten Enrekang. Sinergi, 16(1), 68-69.
Utami W.S, B.H. Sunarminto, E. Hanudin. (2014). Pengaruh limbah biogas sapi
terhadap ketersediaan hara makro-mikro inceptisol. Jurnal Tanah
dan Air, 11(1):12-21.
Wahyuni, S. (2013). Panduan Praktis Biogas. Jakarta Timur: Penebar Swadaya
Grup.
LAMPIRAN
Lampiran 1.
Foto Alat Micro GC
Lampiran 2.
Form Pengukuran Data
Lampiran 3.
Jurnal Referensi
Lampiran 1.
Foto alat Micro GC