Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Biogas merupakan salah satu energi terbarukan dimana banyak
dikembangkan oleh manusia dikarenakan bahannya yang cukup ramah
lingkungan. Biogas juga dapat diartikan sebagai gas yang dihasilkan dari
pemecahan senyawa organik oleh bakteri anaerob dalam kondisi kedap udara
(Bhui et al., 2018). Limbah dari kotoran hewan, seperti sapi, kambing, ayam,
dan lain-lain dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan biogas.
Kandungan gas yang berada di dalam biogas terdiri dari CH4 (metana), CO2
(karbon dioksida), H2S (hidrogen sulfida), NH3 (amonia), H2 (hidrogen), N2
(nitrogen), O2 (oksigen), dan CO (karbon monoksida) dengan persentase gas
metana yang cukup tinggi (Rasapoor et al., 2020). Sifat-sifat tersebut
merupakan kelebihan dari biogas dibandingkan dengan bahan bakar fosil
sebagai alternatif bahan bakar untuk kebutuhan rumah tangga. Kandungan gas
metana tersebut juga dapat dipakai sebagai bahan bakar untuk memasak,
penerangan, pembangkit listrik, dan lain-lain.
Oleh karena itu, praktikum ini dilakukan agar praktikan dapat
mempelajari prinsip kerja dan komponen alat analisis komposisi biogas, yaitu
Micro GC (Micro Gas Chromatography). Hal ini dapat berguna agar praktikan
mampu mengamati dan mengukur kadar metana pada proses pembuatan biogas
di unit pengolahan biogas. Hasil dari pengolahan biogas tersebut akan
dibandingkan dengan referensi apakah sudah memenuhi standar atau tidak.
Kandungan gas metana sangat berpengaruh pada besarnya nilai kalor yang
dimiliki oleh biogas. Semakin tinggi kadar gas metana di dalam biogas, maka
nilai kalor yang dihasilkan oleh biogas juga akan semakin besar (Ritonga dan
Masrukhi, 2017).
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dilakukannya praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Mengukur pH sampel sludge digester
2. Menguji komposisi biogas dengan Micro GC
3. Menganalisis pembacaan hasil pembacaan kandungan senyawa
biogas
4. Mengetahui komponen-komponen pada unit Micro GC
5. Mengetahui prinsip pengujian dengan kromatografi gas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Biogas merupakan gas hasil proses penguraian bahan-bahan organik dalam


keadaan anaerob yang disebabkan oleh bakteri metagonik (Wahyuni, 2013). Biogas
juga dapat diartikan sebagai gas yang dihasilkan dari fermentasi senyawa organik
oleh bakteri anaerob dalam kondisi kedap udara (Bhui et al., 2018). Biogas yang
dihasilkan oleh aktivitas anaerobik dapat digunakan untuk mengolah limbah
biodegradable dikarenakan mampu menghasilkan bahan bakar dan mengurangi
volume limbah buangan dengan cara menghancurkan bakteri patogen. Biogas
terbentuk melalui beberapa tahapan, yaitu hidrolisis, asidogenesis, dan
metanogenesis (Nasiruddin et al., 2020). Pada tahapan hidrolisis, rantai panjang
akan berubah menjadi rantai pendek dan mudah larut ke dalam air. Hal ini
disebabkan oleh terjadinya dekomposisi rantai panjang karbohidrat, protein, dan
lemak oleh bakteri. Pada tahapan asidogenesis atau pengasaman terjadi perubahan
senyawa oleh bakteri, yaitu senyawa pendek hasil hidrolisis kemudian diubah
menjadi beberapa asam organik sederhana, seperti asam asetat, H2, dan CO2.
Adapun, pada tahapan metanogenesis terjadi proses pembentukan gas metana oleh
bakteri melalui proses anaerobik.
Alat yang digunakan untuk mengolah limbah organik menjadi biogas
disebut sebagai digester. Kandungan gas yang berada di dalam biogas terdiri dari
CH4 (metana), CO2 (karbon dioksida), H2S (hidrogen sulfida), NH3 (amonia), H2
(hidrogen), N2 (nitrogen), O2 (oksigen), dan CO (karbon monoksida) dengan
persentase gas metana yang cukup tinggi (Rasapoor et al., 2020). Kandungan gas
metana dalam biogas tersebut dapat diukur menggunakan alat Micro Gas
Chromatography (Micro GC). Micro Gas Chromatography (Micro GC) merupakan
suatu instrumen yang dapat mendeteksi suatu senyawa sampai kandungan < 1 ng/g
(Darmapatni et al., 2016). Alat tersebut biasanya digunakan untuk menganalisis
senyawa organik yang mudah menguap (volatile). Secara garis besar, Micro GC
akan bekerja dengan cara me-record data dari sampel senyawa organik yang
dimasukan ke dalam instrumen. Alat ini juga berfungsi untuk memisahkan senyawa
dalam suatu sampel, menghitung kadar senyawa dalam suatu sampel, menguji
kemurnian suatu senyawa, mengidentifikasi senyawa yang ada pada suatu sampel,
dan menyiapkan suatu senyawa murni dari suatu sampel. Hasil keluaran dari
alat Micro GC berupa data hasil pembacaan senyawa yang dapat teridentifikasi
pada chromatogram dan spektrometri massa (Al-Rubaye et al., 2017). Kandungan
gas metana sangat berpengaruh pada besarnya nilai kalor yang dimiliki oleh biogas.
Semakin tinggi kadar gas metana di dalam biogas, maka nilai kalor yang dihasilkan
oleh biogas juga akan semakin besar (Ritonga dan Masrukhi, 2017).
Limbah kotoran sapi dapat menghasilkan pupuk organik berupa slurry dan
sludge (limbah biogas padat dan cair) (Kusumasari dan Muryanto, 2019). Limbah
biogas (sludge) memiliki kandungan unsur hara, seperti nitrogen, fosfor, dan
material organik lainnya. Limbah biogas termasuk ke dalam pupuk organik yang
tepat guna dari limbah peternakan untuk produksi pertanian yang berkelanjutan,
ramah lingkungan, dan bebas polusi. Limbah biogas dapat meningkatkan produksi
pertanian dikarenakan terdapat kandungan hara, enzim, dan hormon pertumbuhan
yang terdapat di dalamnya. Pupuk limbah biogas mempunyai manfaat yang sama
dengan pupuk kandang, yaitu untuk memperbaiki struktur tanah dan memberikan
unsur hara yang diperlukan oleh tanaman (Nugroho, 2012). Sludge memiliki
kelebihan lain, yaitu setelah keluar dari digester, maka sludge telah matang
dikarenakan telah mengalami proses penguraian di dalam digester tersebut.
BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
Adapun alat yang digunakan pada praktikum ini adalah hidrogen
generator sebagai penghasil H2, pH meter sebagai pengukur pH, Micro GC
sebagai alat pemisah senyawa-senyawa dari suatu senyawa campuran,
laptop dengan software peak simple sebagai pembaca hasil kandungan di
dalam sampel, microliter syringe sebagai alat untuk memasukkan sampel
ke dalam Micro GC sebesar 200 mL, dan sample injector sebagai (lubang)
tempat sampel akan diinjeksikan pada Micro GC.
3.1.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah aquades
sebagai campuran bahan input dalam pengukuran pH dan sampel biogas
sebagai bahan dalam pengukuran kandungan senyawa.
3.2 Cara Kerja
Adapun cara kerja yang digunakan dalam praktikum ini, dapat dibagi
menjadi beberapa langkah sebagai berikut:
3.2.1 Pengukuran pH
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah pH meter harus
sudah terkalibrasi dengan baik. Jika belum terkalibrasi, maka dilakukan
kalibrasi dengan aquades untuk agar nilainya netral (pH 7). Selanjutnya,
disiapkan bahan organik dan ditimbang 1 g bahan organik. Bahan organik
tersebut dilarutkan dalam 100 ml aquades dan diaduk merata. Terakhir, pH
tersebut diukur dengan pH meter hingga angka hasil pengukuran stabil
dengan dua kali perlakuan, yaitu pada pengukuran on site lokasi dan
laboratorium.
3.2.2 Pengukuran Suhu
Langkah pertama yang harus dilakukan pengukuran gas metana
dengan alat Micro GC. Jarum suntik disiapkan untuk pengambilan sampel
gas metana kemudian dimasukkan ke dalam venoject. Setiap tabung yang
akan diuji diberi label sebagai penanda. Tabung venoject kemudian
dimasukkan ke alat Micro GC untuk dilakukan analisis komposisi senyawa
biogas. Pengoperasian Micro GC harus dilakukan sesuai prosedur.
Selanjutnya, hasil analisis tersebut dapat dibaca melalui grafik dan data
yang sudah tertera.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa


pengolahan limbah padat pada praktikum ini adalah kotoran sapi sebagai bahan
utama pembuatan biogas. Kandungan gas metana dalam biogas tersebut dapat
diukur menggunakan alat Micro Gas Chromatography (Micro GC). Micro Gas
Chromatography (Micro GC) merupakan suatu instrumen yang dapat mendeteksi
suatu senyawa sampai kandungan < 1 ng/g (Darmapatni et al., 2016). Micro Gas
Chromatography (Micro GC) juga dapat didefinisikan sebagai metode pemisahan
senyawa dengan chromatography gas (GC) untuk menganalisis jumlah suatu
senyawa dan spektrometri massa (MS). Perpaduan antara chromatography gas
(GC) dan spektroskopi massa dapat menghasilkan data yang lebih akurat dalam
proses identifikasi senyawa. Alat Micro Gas Chromatography (Micro GC) juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu senyawa yang berbeda dalam
analisis sampel. Alat tersebut biasanya digunakan untuk menganalisis senyawa
organik yang mudah menguap (volatile). Alat ini juga berfungsi untuk memisahkan
senyawa dalam suatu sampel, menghitung kadar senyawa dalam suatu sampel,
menguji kemurnian suatu senyawa, mengidentifikasi senyawa yang ada pada suatu
sampel, dan menyiapkan suatu senyawa murni dari suatu sampel. Hasil keluaran
dari alat Micro GC berupa data hasil pembacaan senyawa yang dapat teridentifikasi
pada chromatogram dan spektrometri massa (Al-Rubaye et al., 2017). Menurut
Regmi dan Agah (2018), prinsip kerja dari Micro Gas Chromatography (Micro GC)
adalah menginjeksikan sampel ke dalam sample injector kemudian diuapkan.
Sampel yang berbentuk uap dibawa oleh carrier gas menuju column untuk proses
pemisahan. Setelah terpisah, masing-masing komponen senyawa akan melalui
ruang pengion dan dianalisis oleh elektron sehingga terjadi ionisasi. Fragmen-
fragmen ion yang dihasilkan akan ditangkap oleh detector dan dihasilkan
spektrometri massa (MS).
Menurut Hartono et al. (2017), Micro Gas Chromatography (Micro GC)
terdiri menjadi beberapa bagian, seperti carries gas, flow injector, sample injector,
chromatogram, waste, detector (Flame Ionization Detector), column, dan oven
column. Carrier gas digunakan sebagai gas pembawa dimana gas yang digunakan
harus terbebas dari oksigen, kering, dan inert. Flow injector digunakan sebagai
pengatur banyaknya gas pembawa dimana akan dikontrol tekanan dan laju fase
gerak yang masuk di dalam column dan sebagai pengontrol suhu oven column.
Adapun, sample injector digunakan sebagai (lubang) tempat sampel akan
diinjeksikan pada mesin menggunakan jarum yang menembus lempengan karet
tebal (septum). Chromatogram digunakan sebagai detector untuk mendeteksi
senyawa yang terkandung di dalam biogas. Waste digunakan sebagai buangan hasil
pengujian kandungan biogas yang sudah diuji. Selanjutnya, ada detector (Flame
Ionization Detector) yang berfungsi sebagai pendeteksi ionisasi nyala untuk
mengukur analit dalam aliran gas. Column digunakan sebagai jantung dari Micro
GC atau sebagai tempat pemisahan senyawa. Terakhir, oven column digunakan
sebagai pengatur suhu untuk memanaskan column agar mempermudah proses
pemisahan senyawa.
Berdasarkan pengukuran kadar metana yang telah dilakukan dengan Micro
GC, diperoleh hasil yang dapat diamati pada gambar 4.1 dan 4.2 sebagai berikut:

Gambar 4.1 Waktu retensi metana


Gambar 4.2 Hasil pengukuran kadar metana yang terkandung dalam biogas
Berdasarkan gambar 4.1, dapat dilihat grafik terkait waktu retensi gas
metana sebesar 0,583 menit. Grafik tersebut terdiri dari satu buah puncak (peak)
dimana dapat mendeskripsikan jumlah senyawa metana yang ada. Waktu retensi
(waktu tinggal/waktu lambat) merupakan waktu yang digunakan oleh senyawa gas
metana untuk bergerak melalui column menuju ke detector (FID). Hal ini dapat
diartikan juga sebagai waktu yang dibutuhkan senyawa gas metana dari waktu
injeksi (running) hingga keluar puncak chromatogram. Waktu retensi ini diukur
saat sampel diinjeksikan pada titik dimana puncak (peak) tersebut menunjukkan
tinggi maksimum untuk senyawa gas metana. Waktu retensi akan semakin kecil
apabila suhu yang berada pada oven column semakin tinggi. Selain suhu, waktu
retensi dapat dipengaruhi karena tekanan yang digunakan, titik didih senyawa,
kelarutan dalam fase cair, dan kondisi dari fase diam. Menurut Ritonga dan
Masrukhi (2017), produk biogas terdiri dari metana (CH4) dengan kandungannya
sekitar 55-75%. Berdasarkan gambar 4.2, kadar gas metana yang dihasilkan sebesar
4,2706% dimana termasuk ke dalam skala yang cukup kecil. Nilai yang kurang
sesuai ini dapat disebabkan karena adanya perbandingan kotoran sapi yang justru
lebih banyak daripada air sehingga proses fermentasi akan lebih lambat dan
produksi biogas semakin berkurang. Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi
produksi biogas, seperti pH, tekanan biogas, kondisi anaerob, kandungan yang
berada di dalam bahan, pengadukan kadar air, ketersediaan nutrisi, zat beracun,
komposisi campuran limbah, dan rasio kotoran sapi dengan air. Komposisi bahan
baku biogas dapat berpengaruh terhadap nilai kadar air, nilai pH, serta rasio C/N.
Selanjutnya, dapat diamati pengukuran suhu, pH sludge, dan metana pada instalasi
biogas pada perlakuan berbeda hari, yaitu pada tanggal 24-25 September 2022
dengan tempat yang sama dimana dapat diamati pada tabel 4.1 sebagai berikut:
Tabel 4.1 Pengukuran suhu, pH sludge, dan metana pada instalasi biogas
Parameter 24 September 2022 24 September 2022
Suhu (℃) 27,2 27,6
pH sludge 7,71 8,02
Metana (%) 4,2706 7,3696

Pada hasil yang sudah terlampir, dapat diketahui bahwa kedua suhu pada
perlakuan hari yang berbeda adalah ±27,5℃. Mikroorganisme memiliki respon
terhadap perubahan suhu yang mempengaruhi perubahan laju reaksi atau perubahan
populasi. Reaksi-reaksi yang terjadi dalam digester membutuhkan temperatur
dengan kisaran 25-30℃ untuk bakteri-bakteri di dalam pemrosesan biogas agar
dapat melakukan proses dekomposisi dengan baik (Sholeh et al., 2012). Pada
praktikum ini memiliki temperatur dengan kisaran angka yang telah sesuai dengan
referensi yang ada. Temperatur berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme di
dalam substrat, semakin tinggi temperaturnya (temperatur optimum hidup bakteri),
maka aktivitas mikroorganisme juga semakin meningkat. Adapun, pada
pengukuran pH sludge didapatkan hasil pada perlakuan hari yang berbeda
sebesar >7,5. Menurut Anugrah et al. (2017), parameter pH sangat berperan penting
dalam proses fermentasi dan produksi biogas saat tahapan hidrolisis dikarenakan
pH yang tidak sesuai dapat memberikan pengaruh yang kurang optimal pada
kandungan gas metana yang dihasilkan. Kestabilan pH fermentasi dapat dijaga
dengan menggunakan kapasitas penyangga (buffer capacity). Produksi biogas
secara optimal dapat dicapai apabila pH berkisar di dalam rentang 6-7 (Sholeh et
al., 2012). Bila nilai pH di bawah 6,5, maka aktivitas mikroorganisme atau bakteri
akan menurun. Namun, saat nilai pH di bawah 5,0, maka fermentasi akan terhenti.
Pada pengukuran praktikum dapat disimpulkan bahwa nilai pH yang dimiliki
bernilai sedikit basa dikarenakan melebihi nilai netral. Hal ini dapat disebabkan
karena faktor lingkungan dimana saat terjadi hujan, maka cairan lain yang berada
di lingkungan sekitarnya akan meresap ke dalam tampungan limbah tersebut.
Menurut Utami et al. (2014), pemberian limbah biogas dapat meningkatkan
nilai pH, C-organik, dan N total limbah. Hal ini dapat menunjukkan bahwa limbah
dapat juga dimanfaatkan sebagai pupuk organik. pH biogas akan semakin menurun
atau akan menuju ke dalam rentang asam ketika waktu yang berjalan semakin lama
saat berada di dalam digester. Sementara itu, bakteri metanogen yang berada di
dalam biogas tidak lagi dapat bertahan pada pH di bawah 6,6. Semakin tinggi rasio
kotoran sapi, maka semakin cepat laju produksi biogas (Tangko et al., 2018).
Produksi biogas dapat dipengaruhi oleh faktor temperatur yang terdapat di dalam
digester dimana dapat berpengaruh pada aktivitas bakteri dan optimasi laju biogas
yang dihasilkan. Kandungan gas metana dalam perlakuan berbeda hari tersebut juga
tergolong ke dalam skala yang cukup kecil dimana bernilai <55%. Hal ini dapat
diakibatkan karena pH yang ada belum sesuai dengan kriteria yang sudah
ditetapkan oleh referensi yang ada sehingga kandungan gas metana juga belum
optimal. Adapun, kualitas biogas dapat ditingkatkan dengan menghilangkan
kandungan H2S, H2O, dan CO2 dengan proses purifikasi menggunakan adsorben.
Dalam pengolahan biogas, terdapat beberapa keuntungan, seperti
pengurangan dalam menggunakan bahan bakar fosil sehingga dapat diganti dengan
pemanfaatan limbah kotoran hewan sebagai biogas. Hal ini dapat membantu
masyarakat agar tidak mengeluarkan biaya dalam pembelian bahan bakar. Selain
itu, pemanfaatan biogas dapat mengurangi pencemaran lingkungan akibat kotoran
hewan yang menumpuk serta hasil samping dari biogas dapat diolah menjadi pupuk
organik (Oktavia dan Firmansyah, 2016). Namun, proses pembuatan biogas ini
dapat mencemari udara yang ada di sekitar unit pengolahan biogas. Penanganan
dan perawatan dalam instalasi biogas yang digunakan juga tergolong memerlukan
biaya yang tidak sedikit serta memerlukan lahan yang cukup luas agar tidak
berdekatan dengan pemukiman warga.
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka dapat diambil


kesimpulan sebagai berikut:
1. Nilai pH pada pengukuran sampel sludge digester tergolong dalam skala
basa dengan nilai >7,5.
2. Komposisi biogas yang diuji dengan Micro GC adalah senyawa metana
(CH4).
3. Kadar gas metana yang dihasilkan dalam pembacaan kandungan senyawa
biogas adalah sebesar 4,2706% dimana termasuk ke dalam skala yang
cukup kecil dengan waktu retensi sebesar 0,583 menit.
4. Komponen-komponen yang ada pada unit Micro GC terdiri dari carries gas,
flow injector, sample injector, chromatogram, waste, detector (Flame
Ionization Detector), column, dan oven column.
5. Prinsip kerja dari Micro Gas Chromatography (Micro GC) adalah
menginjeksikan sampel ke dalam sample injector kemudian diuapkan.
Sampel yang berbentuk uap dibawa oleh carrier gas menuju column untuk
proses pemisahan. Setelah terpisah, masing-masing komponen senyawa
akan melalui ruang pengion dan dianalisis oleh elektron sehingga terjadi
ionisasi. Fragmen-fragmen ion yang dihasilkan akan ditangkap oleh
detector dan dihasilkan spektrometri massa (MS).
DAFTAR PUSTAKA

Al-Rubaye, A. F., Hameed, I. H., dan Kadhim, M. J. (2017). A review: uses of gas
chromatography-mass spectrometry (GCMS) technique for analysis
of bioactive natural Compounds of some plants. International
Journal of Toxicological and Pharmacological Research, 9(1), 81-
85.
Anugrah, E. T., Nurhasanah, dan Nurhanisa, M. (2017). Pengaruh pH dalam
produksi biogas dari limbah kecambah kacang hijau. PRISMA
FISIKA, 5(2), 72-76.
Bhui, I., Mathew, A. K., Chaudhury, S., dan Balachandran, S. (2018). Influence of
volaitile fatty acids in different incolum to substrate ratio and
enhancement of biogas production using water hyacinth and salvinia.
Bioresource Technology, 270(6), 409-415.
Darmapatni, K. A. G., Basori, A., dan Suaniti, N. M. (2016). Pengembangan
metode GC-MS untuk penetapan kadar acetaminophen pada
specimen rambut manusia. Jurnal Biosains Pascasarjana, 18(3), 1-
15.
Hartono, H. S. O., H. Soetjipto, dan A. I. Kristijanto. (2017). Extraction and
chemical compounds identification of red rice bran oil using gas
chromatography-mass spectrometry (GC-MS) method. Eksakta:
Jurnal Ilmu-ilmu MIPA, 1(1), 13-25.
Kusumasari, A. C. dan Muryanto. (2019). Pemanfaatan limbah biogas sapi sebagai
media tanam perbenihan jambu biji., Agrosains, 21(2), 39-42.
Nasiruddin, S. M., Li, Z., Mang, H. P., Uddin, S. M. N., Zhou, X., Cheng, S., dan
Wang, X. (2020). Assessment of organic loading rate by using a
water tank digester for biogas production in Bangladesh. Journal of
Cleaner Production, 265(12), 1-10.
Nugroho, C. (2012). Macam-macam Pupuk Organik. Jakarta: Penebar Swadaya.
Oktavia, I. dan Firmansyah, A. (2016). Pemanfaatan teknologi biogas sebagai
sumber bahan bakar alternatif di sekitar wilayah operasional PT
Pertamina EP Asset 2 Prabumulih Field. Jurnal Resolusi Konflik,
1(1), 32-36.
Rasapoor, M., Young, B., Brar, R., Sarmah, A., Zhuang, W. Q., dan Baroutian, S.
(2020). Recognizing the challenges of anaerobic digestion: critical
steps toward improving biogas generation. J. Fuel, 26(1), 1-12.
Regmi, B. P. dan Agah, M. (2018). Micro gas chromatography: an overview of
critical components and their integration. Analytical Chemistry,
90(1), 13113-13150.
Ritonga, A. M. dan Masrukhi. (2017). Optimasi kandungan metana biogas kotoran
sapi menggunakan berbagai jenis adsorben. Jurnal Rona Teknik
Pertanian, 10(2), 8-17.
Sholeh, A., Sunyoto, dan Al-Janan, D. H. (2012). Analisis komposisi campuran air
dengan limbah kotoran sapi dan peletakan posisi digester terhadap
tekanan gas yang dihasilkan. Journal of Mechanical Engineering,
1(1), 1-7.
Tangko, J., Sonong, Chaerul, M. A., dan Salam, J. (2018). Analisis faktor-faktor
yang mempengaruhi produksi biogas dari limbah ternak di
Kecamatan Baroko Kabupaten Enrekang. Sinergi, 16(1), 68-69.
Utami W.S, B.H. Sunarminto, E. Hanudin. (2014). Pengaruh limbah biogas sapi
terhadap ketersediaan hara makro-mikro inceptisol. Jurnal Tanah
dan Air, 11(1):12-21.
Wahyuni, S. (2013). Panduan Praktis Biogas. Jakarta Timur: Penebar Swadaya
Grup.
LAMPIRAN

Lampiran 1.
Foto Alat Micro GC

Lampiran 2.
Form Pengukuran Data

Lampiran 3.
Jurnal Referensi
Lampiran 1.
Foto alat Micro GC

Gambar 1. Alat Micro Gas Chromatography (Micro GC)

Gambar 2. Alat Micro Gas Chromatography (Micro GC)


beserta laptop dan software peak simple

Anda mungkin juga menyukai