Disusun oleh :
LAPORAN PENELITIAN
Semarang,
Telah menyetujui.
Dosen Pembimbing
ii
RINGKASAN
Biogas merupakan gas yang mudah terbakar yang dihasilkan dari proses
fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri anaerob. Prinsip pembuatan biogas
adalah adanya dekomposisi bahan organik secara anaerobik (tertutup dari udara
bebas) untuk menghasilkan gas yang sebagian besar berupa gas metan (CH4) dan
karbondioksida (CO2). Proses dekomposisi anaerobik dibantu oleh sejumlah
mikroorganisme, terutama bakteri penghasil metan. Biogas generasi pertama yaitu
biogas yang dihasilkan oleh turunan bahan baku pangan dan prosesnya masih
secara konvensional sedangkan biogas generasi kedua menggunakan bahan baku
limbah lignoselulosa. Bahan baku lignoselulosa bisa didapat dari limbah residu
organik. Salah satu limbah pertanian yang dapat dikembangkan menjadi biogas
yaitu kombinasi limbah ampas jamu. Ampas jamu memiliki kandungan karbon dan
nitrogen yang cukup tinggi yang dinyatakan dal mengandung kandungan selulosa
yang cukup tinggi yaitu 39,72% dari berat keringnya. Dimana selulosa dalam
bahan lignoselulosa dianggap sebagai bahan baku alternatif dalam pembuatan
biogas. Dalam penelitian ini akan dikaji mengenai pengaruh waktu terhadap
produksi biogas dengan perbandingan komposisi tertentu antara bahan baku
limbah ampas jamu dan rumen sapi, pengaruh pre-treatment rasio C/N substrat
terhadap produksi biogas dan pengaruh Total Solid Substrate terhadap produksi
biogas. Produksi biogas dilakukan melalui tahap hidrolisis, acidogenesis dan
metanogenesis. Rasio Total Solid diatur pada kondisi Liquid State dengan kadar 3,
7, 11 dan 15% TS dengan pre-treatment rasio nutrisi substrat C/N 20, 22, 24 dan
26. Proses pembentukan biogas dilakukan selama kurang lebih 2 bulan, dengan
respon uji hasil kuantitatif berupa volume biogas dan kadar CODMn tiap 2 hari.
Berdasarkan penelitian didapatkan hasil produksi gas yang paling besar serta laju
reaksi yang paling tinggi yaitu pada variabel dengan kondisi Liquid state 15%TS
dengan rasio C/N 26.
Kata Kunci : Biogas, total padatan, limbah ampas jamu, Rasio C/N, rumen sapi.
iii
SUMMARY
iv
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat allah swt yang telah memberikan
segala rahmat dan karunia-nya sehingga laporan penelitian dengan judul Produksi
Biogas Dari Limbah Padat Produksi Jamu Tradisional Dengan Proses Anaerobik
Metode Liquid State (Ls-Ad) dapat diselesaikan. Dalam penyusunan laporan ini
tidak terlepas dari bantuan pihak-pihak lain. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ing. Suherman, S.T., M.T., selaku Ketua Departemen Teknik Kimia
Universitas Diponegoro.
2. Prof. Dr. Ir. Bakti Jos, DEA selaku dosen pembimbing.
3. Luqman Buchori, S.T., MT. sebagai koordinator penelitian yang telah
memberikan izin untuk melakukan penelitian.
4. Semua pihak yang telah membantu terselesainya laporan penelitian ini.
Disadari adanya keterbatasan di dalam penyusunan laporan penelitian ini.
Untuk itu, diharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan dalam
laporan penelitian ini. Namun demikian, diharapkan semoga laporan penelitian ini
dapat bermanfaat bagi pembaca secara umum.
Penyusun
v
DAFTAR ISI
vi
4.3 Pengaruh rasio C/N terhadap Volume Biogas yang Dihasilkan ........... 67
4.4 Pengaruh rasio C/N terhadap kadar CODMn dalam Slurry .................... 80
4.5 Kinetika Reaksi Produksi Biogas ......................................................... 86
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 89
5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 89
5.2 Saran ...................................................................................................... 89
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 90
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Hasil Analisis Proksimat pada Limbah Jamu (% Berat Kering) ..............9
Tabel 2.2 Hasil Analisis Kandungan Oligosakarida pada Limbah Jamu ...............10
Tabel 2.3 C/N Rasio Kotoran Sapi .........................................................................13
Tabel 2.4 Komposisi Biogas ..................................................................................14
Tabel 2.5 Sifat Khusus Biogas ...............................................................................14
Tabel 2.6 Karakteristik jenis substrat untuk anaerobic digestion ..........................20
Tabel 2.7 Penelitian Terdahulu ..............................................................................22
Tabel 3.1 Variabel Penelitian .................................................................................30
Tabel 4.1Data-data kinetika reaksi produksi biogas ..............................................87
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
Gambar 4.17. Hubungan Waktu dan Volume Biogas Kumulatif pada 7% TS .... 64
Gambar 4.18. Hubungan Waktu dan Volume Biogas per-Hari pada 11% TS ..... 64
Gambar 4.19. Hubungan Waktu dan Volume Biogas Kumulatif pada 11% TS .. 66
Gambar 4.20. Hubungan Waktu dan Volume Biogas per-Hari pada 15% TS ..... 68
Gambar 4.21. Hubungan Waktu dan Volume Biogas Kumulatif pada 15% TS .. 70
Gambar 4.22. Hubungan Waktu dan Volume Kadar CODMn Slurry pada
3% TS ............................................................................................ 71
Gambar 4.23. Hubungan Waktu dan Volume Kadar CODMn Slurry pada
7% TS ............................................................................................ 73
Gambar 4.24. Hubungan Waktu dan Volume Kadar CODMn Slurry pada
11% TS .......................................................................................... 74
Gambar 4.25. Hubungan Waktu dan Volume Kadar CODMn Slurry pada
15% TS .......................................................................................... 76
x
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Selama beberapa dekade terakhir, dunia sangat bergantung pada bahan
bakar fosil (misalnya, minyak, batu bara, dan gas alam) sebagai sumber energi
utama, bahan bakar fosil diperkirakan akan habis dalam 200 tahun. Selain itu,
sejumlah besar gas rumah kaca karbon dioksida (CO2) dilepaskan selama
pembakaran bahan bakar fosil, menyebabkan masalah lingkungan yang serius
termasuk pemanasan global dan perubahan iklim. Misalnya, tingginya baru 136
miliar ton CO2 dihitung untuk dilepaskan ke atmosfer pada tahun 2018 yang
disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil (Le Quéré et al., 2018).
Indonesia adalah negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang
signifikan yang membutuhkan pasokan energi yang cukup untuk pembangunan
nasional lebih lanjut. Namun, produksi energi domestik saat ini tidak mampu
memenuhi permintaan domestik, yang mengakibatkan kebutuhan impor
meningkat. Berdasarkan populasi hampir 270 juta penduduk (dengan tingkat
pertumbuhan tahunan 1,1-1,2% pada tahun-tahun terakhir) (Badan Pusat
Statistik, 2019), diperkirakan akan tumbuh menjadi lebih dari 320 juta pada
tahun 2050 (WPP, 2019).
Oleh karena itu, mengeksplorasi sumber energi baru, andal, terbarukan,
dan berkelanjutan telah menjadi upaya utama untuk mengatasi krisis
kekurangan energi di seluruh dunia. Minat global terhadap energi terbarukan
meningkat pesat dalam beberapa dekade terakhir karena kekhawatiran
perubahan iklim, keinginan untuk kemandirian energi dari negara-negara
penghasil minyak dan gas utama, dan ketidakstabilan yang signifikan dari
biaya sumber daya fosil. Transisi energi terbarukan diperlukan untuk
mengurangi penipisan bahan bakar fosil dan secara dramatis mengurangi jejak
karbon global. Tingkat penggunaan bahan bakar fosil sangat melebihi
pengisiannya dan oleh karena itu diperlukan bahan bakar alternatif seperti
bioetanol, biodiesel, biogasolin, dan biogas (Vasantha et al., 2021). Produksi
energi dari biomassa dapat mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK),
memitigasi perubahan iklim, mendorong kelestarian lingkungan, dan
1
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan manusia (Kang et al., 2021).
Diperkirakan bahwa total produksi global biomassa adalah sekitar 150 miliar
metrik ton per tahun namun, sebagian besar biomassa berakhir di aliran limbah,
termasuk limbah, sisa makanan, jerami, batang, residu hortikultura, dan
kotoran ternak. Indonesia telah berkomitmen untuk memvariasikan kisaran
sumber energi pada tahun 2025 yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden
Republik Indonesia No. Mei 2006. Segmen energi terbarukan direncanakan
mencakup 17% dari energi yang dihasilkan termasuk 5% biofuel, 5% energi
panas bumi, 5% biomassa, tenaga nuklir, hidro dan energi surya dan 2%
batubara cair (Roubik and Mazancova, 2020).
Energi yang tertanam dalam biomassa dapat diperoleh kembali melalui
anaerobik digestif (AD), bioproses yang kuat dan diterapkan secara luas yang
mengubah limbah karbon organik menjadi biogas, biofuel penting dengan
metana (CH4) sebagai komponen utama. Diperkirakan setidaknya 25% dari
semua bioenergi sebagai komponen utama. Diperkirakan setidaknya 25% dari
semua bioenergi dapat berasal dari biogas di masa depan (Lai et al., 2021).
Kandungan nutrien utama untuk bahan pengisi biogas adalah nitrogen, fosfor
dan kalium. Kandungan nitrogen dalam bahan sebaiknya sebesar 1,45%,
sedangkan fosfor dan kalium masing-masing sebesar 1,10%. Kotoran ternak
kaya akan bahan organik dan nutrien, dan pencucian nutrisi ke air dapat
menyebabkan eutrofikasi dan emisi gas rumah kaca (GRK) besar dan bau
(Zubair et al., 2020). Salah satu hal yang mempengaruhi produksi gas metan
(CH4) di dalam biogas adalah hubungan antara jumlah Karbon (C) dan
Nitrogen (N) yang terdapat pada bahan organik dinyatakan dalam terminologi
rasio C/N. Rasio C/N yang baik pada substrat adalah berkisar antara 25 – 30
(Zulkarnaen, 2018). Jika rasio C/N terlalu tinggi, menunjukkan bahwa
peningkatan C/N bubur biogas dapat mencegah pelindian N, sehingga
meningkatkan fiksasi N dan denitrifikasi. Selain itu, dengan peningkatan C/N,
komunitas mikroba tanah akan memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi dan
meningkatkan emisi CO2 tanah sekaligus mengurangi emisi N2O dan CH4
tanah maka nitrogen akan terkonsumsi sangat cepat oleh bakteri-bakteri
metanogen untuk memenuhi kebutuhan protein dan tidak akan lagi bereaksi
2
dengan sisa karbonnya. Sebagai hasilnya produksi gas akan rendah. Di lain
pihak, jika rasio C/N sangat rendah, nitrogen akan dibebaskan dan terkumpul
dalam bentuk NH4OH (Yan, 2021).
Salah satu limbah pertanian yang dapat dikembangkan menjadi biogas
yaitu limbah jamu. Jamu merupakan warisan budaya bangsa yang sudah
digunakan secara turun temurun. Indonesia memiliki keunggulan dalam hal
pengembangan jamu dengan jenis tanaman obat yang dapat digunakan sebagai
bahan dasar jamu. Peningkatan angka konsumen jamu tidak diiringi dengan
pengolahan limbah jamu. Sisanya hanya dibuang begitu saja. Hanya limbah
beras kencur, kunir asem, dan cabe puyang yang dimanfaatkan sebagai pakan
ayam. Oleh karena itu, perlu usaha untuk mengolah limbah jamu menjadi
sesuatu yang bermanfaat, salah satunya adalah menjadikan limbah jamu
menjadi bahan dasar pembuatan biogas. Ekstraksi beberapa bahan organik
tertentu dalam biomassa dengan pelarut organik merupakan metode penting
untuk menghasilkan beberapa obat tradisional. Setelah ekstraksi sering
diperlakukan sebagai limbah padat, yang biasanya dikubur atau dibakar, yang
menyebabkan pemborosan sumber daya biomassa atau pencemaran
lingkungan (Zhang et al., 2020).
Perusahan produsen membuat produk jamu tradisional yang diproses
melalui proses ekstraksi dengan menggunakan material rempah-rempah jamu.
Sementara proses ekstraksi menghasilkan ampas ekstrak. Jumlah ampas yang
dihasilkan dari proses ekstraksi industri jamu tersebut 300 kg/hari. Selama ini
limbah belum termanfaatkan secara maksimal sehingga akan mengalami
permasalahan yang serius. Daun pepaya memiliki kandungan karbohidrat
(dalam bentuk pati) sebesar 11,9 gram/100 gram daun, tanaman kencur
mengandung pati sebesar 4,14 gram dan beras mengandung karbohidrat (dalam
bentuk pati) sebesar 78,9 g/100 g bahan. Kandungan karbohidrat dari limbah
jamu inilah yang membuat bahan-bahan ini dapat dijadikan sebagai bahan
dasar pembuatan biogas (Usman, 2019).
Anaerobic digestion merupakan proses dekomposisi bahan organik
secara biokimia (menggunakan mikroorganisme), memanfaatkan mikroba
anaerobik dalam kondisi tanpa oksigen. Anaerobic digestion dapat digunakan
3
untuk mengolah berbagai limbah organik dan mengubahnya menjadi bio-
energi (biogas), yang mengandung CH4 dan CO2. Substrat untuk AD sangat
bervariasi diantaranya berupa kotoran hewan, limbah pertanian, limbah sisa
makanan organik, sampah sayuran, sewage sludge dan lain-lain. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Hashemi et al, 2021 menunjukan bahwa
semakin banyak bakteri consortium yang digunakan dalam proses pembuatan
biogas akan meningkatkan yield yang dihasilkan. Substrat yang memiliki
kandungan lignin, selulosa dan hemiselulosa tinggi dapat juga digunakan untuk
proses digestion, namun harus dilakukan pretreatment terlebih dahulu dengan
tujuan meningkatkan sifat digestibility.
Banyak penelitian sebelumnya telah dilakukan untuk memperoleh
jumlah biogas yang optimum, seperti pengaruh jenis kotoran ternak,
mikroorganisme, kombinasi senyawa organik dengan perbandingan C/N,
pengaruh pH, dan lain sebagainya. Seperti penelitian yang dilakukan oleh
penelitian Usman (2019) dengan bahan baku yang sama yaitu limbah jamu,
yang bertujuan untuk mengolah limbah ampas ekstrasi jamu menjadi pupuk
kompos, diperoleh hasil bahwa bahan ampas ekstrasi jamu yang dicampur
dengan EM 4 dengan komposisi yang sudah ditentukan sebagai kompos atau
pupuk. Kelemahan yang diperoleh adalah perlunya biaya yang mahal pada
bahan yang digunakan untuk metode pembuatan pupuk kompos. Pada
penelitian lainnya yaitu Fardad (2018) dengan menggunakan teknologi yang
sama yaitu biodegradasi limbah tanaman obat dalam reaktor anaerobic
digestion untuk produksi biogas, diperoleh kelemahan yaitu produksi biogas
memiliki nilai (yield) yang sangat rendah yang menunjukkan jaringan
lignoselulosanya sangat sulit untuk dicerna oleh mikroorganisme, waktu tunda
yang lama untuk fermentasi dan produksi biogas.
Pemanfaatan limbah jamu saat ini adalah sebagai pupuk organik dan
biogas, namun kelemahan yang diperoleh pada penelitian menjadi pupuk
organic adalah kadar unsur karbon (C), N, P, dan K masih belum memenuhi
standar baku mutu Permentan/SR.140/10/2011 yang telah ditetapkan, sehingga
dalam penggunaanya perlu dilakukan penambahan unsur hara untuk memenuhi
kebutuhan unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Kadar karbon yang rendah
4
disebabkan adanya proses degradasi bahan organik kompleks seperti selulosa
dan hemiselulosa yang membutuhkan waktu cukup lama. Mikroorganisme
pendegradasi juga membutuhkan senyawa karbon sebagai sumber energinya
untuk degradasi bahan organik selama proses fermentasi, sehingga kadar unsur
karbon yang dihasilkan rendah (Jumirah, 2018). Berdasarkan penelitian
Lewicki et al., (2019), yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat
potensi biogas yang besar dalam industri jamu. Beberapa limbah yang
dihasilkan dicirikan oleh produksi biometana yang sebanding dengan substrat
biogas paling populer, silase jagung dan pulp bit. Rami yang diandaikan
sebagai pembangkit biogas mirip jagung ternyata memiliki potensi biogas yang
rendah. Sangat penting untuk menunjukkan bahwa limbah dari produksi herbal
tersedia dengan biaya rendah atau bahkan gratis. Ini membuktikan bahwa
efektivitas biaya investasi biogas dapat ditingkatkan dengan menggunakan
substrat murah, misal limbah jamu. Potensi rami dan semanggi merah sebagai
substrat biogas sangat bergantung pada harganya yang terkait dengan biaya
budidaya dan skala produksi. Maka dari itu perlunya penelitian dalam produksi
biogas menggunakan limbah jamu yang sesuai dalam hal biaya yang rendah
karena menggunakan substrat yang murah serta produksi biogas dari limbah
ini, mengurangi kerusakan lingkungan dan merupakan subjek penelitian yang
berharga dan dapat memulihkan metana sebagai sumber energi terbarukan dari
limbah ini daripada membakar atau menguburnya dan juga pencernaan
anaerobik dari limbah ini tampaknya merupakan pilihan yang sangat
menjanjikan untuk sistem pengelolaan limbah padat terpadu.
5
menghasilkan yield biogas yang tinggi. Pada penelitian ini digunakan variabel
pretreatment fisika yaitu dengan penggilingan substrat limbah dan dengan
metode fermentasi Liquid State Fermentation yang dalam hal ini mempengaruhi
terkait dengan keberadaan air dan substrat untuk medium tumbuh
mikroorganisme, pretreatment biologi dengan mengkombinasikan antara
substrat yang kaya nutrisi dengan substrat yang banyak mengandung bakteri
pengurai, pretreatment secara kimia dilakukan dengan cara penambahan
memodifikasi persen total solid (%TS) dari substrat 3, 7, 11 dan 15 %TS,
penambahan NaOH dan HCl untuk mengubah pH menjadi 7, serta rasio C/N
20, 22, 24 dan 26.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
mulai Sabang sampai Merauke. Jamu adalah warisan leluhur bangsa yang telah
dimanfaatkan secara turun temurun untuk pengobatan dan pemeliharaan
kesehatan. Riset menunjukkan bahwa 49,53% penduduk Indonesia
menggunakan jamu baik untuk menjaga kesehatan maupun untuk pengobatan
karena sakit. Penduduk yang mengkonsumsi jamu sebanyak 95,6%
menyatakan merasakan manfaat minum jamu. Hasil Riskesdas tahun 2010 juga
menunjukkan bahwa dari masyarakat yang mengkonsumsi jamu, 55,3%
mengkomsumsi jamu dalam bentuk cairan (infusum/decoct), sementara
sisanya (44,7%) mengkonsumsi jamu dalam bentuk serbuk, rajangan, dan
pil/kapsul/tablet (Andriati, 2016)
Pengertian jamu dalam Permenkes No.003/Menkes/Per/I/2010 adalah
bahan atau ramuan bahan yang berupa tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral,
sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun
temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat. Sebagian besar masyarakat
mengkonsumsi jamu karena dipercaya memberikan andil yang cukup besar
terhadap kesehatan baik untuk pencegahan dan pengobatan terhadap suatu
penyakit maupun dalam hal menjaga kebugaran, kecantikan dan meningkatkan
stamina tubuh. Menurut WHO, sekitar 80 % dari penduduk dibeberapa negara
Asia dan Afrika menggunakan obat tradisional untuk mengatasi masalah
kesehatannya, sedangkan beberapa negara maju, 70%-80% dari masyarakatnya
telah menggunakan beberapa bentuk pengobatan komplementer atau alternatif
serta obat herbal (Biofarmaka IPB, 2013).
Perkembangan industri jamu sebagai obat tradisional semakin
meningkat, hal tersebut terlihat dari konsumsi jamu di kalangan masyarakat
yang terus mengalami peningkatan. Namun, permintaan jamu sebagai obat
tradisional masih lebih rendah dibandingkan permintaan obat modern dari
industri farmasi di kalangan masyarakat. Walaupun begitu, pangsa pasar
industri jamu masih tetap rendah dibandingkan dengan industri farmasi tetapi
pertumbuhan pangsa pasar industri jamu jauh lebih baik dibandingkan dengan
tingkat pertumbuhan industri farmasi yang malah mengalami penurunan
(Lestari, 2017).
8
Jamu adalah sebutan untuk obat tradisional dari Indonesia. Bahan baku
jamu yang sekitar 95 persen tersebut, berasal dari bumi kita, ditanam oleh
petani di berbagai pelosok tanah air. Belakangan populer dengan sebutan herba
atau herbal. Jamu dari bahan-bahan alami, berupa bagian dari tumbuhan seperti
rimpang (akar- akaran), daun-daunan, kulit batang, dan buah. Ada juga
menggunakan bahan dari tubuh hewan, seperti empedu kambing, empedu ular,
atau tangkur buaya. Seringkali kuning telur ayam kampung juga dipergunakan
untuk tambahan campuran pada jamu gendong. Agar pembuangan limbah tidak
merusak lingkungan, maka perlu adanya suatu proses tambahan
(Sulistyaningsih, 2019).
Perusahaan dengan produsen pembuatan produk jamu tradisional di
Indonesia memiliki salah satu produk yang dihasilkan adalah teh celup yang
diproses melalui ekstraksi dengan menggunakan material rempah-rempah,
seperti jahe, temu kunci, kencur, jati belanda, tempuyung, kunyit, pulo sari,
kayu manis, temu ireng, bangle, temu lawak, kedaung, ADAS dan lempuyang
wangi. Setelah proses ekstraksi, akan timbul ampas ekstrak atau limbah ekstrak
dan harus dibuang. Jumlah limbah ampas ekstrak jamu dari proses ekstraksi
tersebut sebanyak 300 kg/hari. Saat ini, limbah tersebut belum termanfaatkan
secara maksimal. Volume limbah ini menimbulkan permasalahan bagi
lingkungan (Rusmiland, 2017).
2.1.2. Komposisi Limbah Padat Jamu Tradisional
Berkembangnya industri jamu berpengaruh terhadap limbah yang
dihasilkannya. Limbah padat jamu yang dihasilkan, dibiarkan menumpuk
hingga bertahun-tahun dan warnanya sampai menghitam (Purnamasari, 2013).
Limbah padat jamu merupakan salah satu limbah padat yang dihasilkan dari
proses penggilingan simplisia maupun penyaringan serbuk jamu (Chrisniani,
2016). Salah satu pabrik yang memproduksi obat herbal (jamu) di Jawa
Tengah, menghasilkan limbah padat yang terdiri dari ampas rempah-rempah
jumlahnya mencapai 17.000 kg/hari (Amir dan Lestari, 2013). Menurut
peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 09 tahun 2009 bahwa
usaha dan/atau kegiatan pengolahan obat tradisional/jamu berpotensi
menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sehingga
9
perlu dilakukan upaya pencegahan pencemaran air dengan menetapkan baku
mutu air limbahnya. Obat tradisional/jamu adalah bahan atau ramuan bahan
yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian
(galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
Adanya limbah padat jamu di dalam lingkungan hidup dapat
menimbulkan pencemaran seperti kerusakan permukaan tanah dan timbulnya
gas beracun seperti H2S, NH3, CH4 dan CO2 yang dihasilkan dari pembusukan
limbah padat yang ditimbun. Selain itu, limbah padat jamu juga menimbulkan
penurunan kualitas udara yang mengakibatkan mabuk dan pusing. Limbah
padat yang dibuang dalam perairan juga menyebabkan air menjadi keruh dan
mengubah pH air. Apabila air tercemar limbah yang mengandung logam berat
digunakan oleh manusia maka akan menyebabkan gangguan infeksi pada kulit,
sedangkan bila dikonsumsi maka dapat menimbulkan gangguan yang
mengarah pada kerusakan ginjal (Chrisniani, 2016).
Beberapa limbah jamu mengandung fenol dan senyawa turunannya yang
mempunyai efek yang berbahaya bagi lingkungan. Sebuah industri jamu
mampu menghasilkan limbah dengan COD sekitar 200 - 20000 ppm dan fenol
9,8 ppm. Limbah jamu mempunyai kadar COD yang tinggi harus diproses
terlebih dahulu sebelum dibuang ke sungai. Biasanya limbah jamu diproses
menggunakan proses biologi dan kimia seperti koagulasi, sedimentasi, aerasi,
dan menggunakan lumpur aktif (Hadiyanto, 2012). Hasil limbah diduga
berpotensi sebagai aditif pakan ternak dikarenakan memiliki kandungan serat
kasar yang tinggi sehingga tidak digunakan sebagai bahan pakan akan tetapi
memiliki kandungan oligosakarida antara lain rafinosa, mannosa, sukrosa,
fruktosa dan arabinosa (Balai Penelitian Ternak Bogor, 2016). Limbah padat
industri jamu juga mengandung antioksidan, yang dibuktikan dengan aktivitas
antioksidan sebesar 150,39 ppm (Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan, 2016),
serta kandungan total fenol sebesar 649,651 mg/100g dan total flavonoid
sebesar 2.778,388 mg/100g (Cahyadi, 2017).
10
Beberapa kandungan yang terdapat dalam limbah padat jamu tradisional
dapat disebutkan dalam Tabel 2.1 Hasil Analisis Proksimat pada Limbah Jamu
dan Tabel 2.2 Hasil Analisis Proksimat pada Limbah Jamu (Cahyadi, 2017).
Tabel 2.1 Hasil Analisis Proksimat pada Limbah Jamu (% Berat Kering)
No. Bahan Organik Dalam 100% Bahan Kering
1. Air (%) 16,08
2. Abu (%) 4,62
3. Serat Kasar (%) 39,72
4. Lemak (%) 1,94
5. Protein (%) 10,09
Sumber : (Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan, 2016)
11
biak (Gunawan, 2013). Selulosa yang terkandung pada kotoran sapi akan
dimanfaatkan untuk memproduksi biogas. Sapi merupakan salah satu hewan
ruminansia yang memiliki saluran pencernaan khusus yaitu rumen. Sisa hasil
pencernaan sapi (kotoran sapi) juga mengandung beberapa jenis bakteri. Salah
satu bakteri rumen adalah bakteri yang terkandung di dalam kotoran sapi yaitu
bakteri metanogen (Here, 2012).
Produksi biogas dari kotoran hewan, terutama sapi sangat potensial dan
memiliki kelebihan, energi yang berasal darinya sangat ramah lingkungan
karena selain memanfaatkan limbah dari ternak, yang tersisa dari proses
(biogas bubur) dapat digunakan sebagai pupuk organik yang kaya akan unsur-
unsur yang dibutuhkan oleh tumbuhan (Maryani, 2016).
Kotoran sapi adalah limbah organik yang sangat potensial untuk diolah
menjadi biogas. Kotoran sapi memiliki rasio C/N sekitar 26. Rasio C/N tersebut
menunjukkan hubungan antara jumlah karbon dan nitrogen yang yang terdapat
pada kotoran sapi. Jika rasio C/N tinggi, produksi biogas akan menurun hal ini
disebabkan karena nitrogen akan dikonsumsi secara cepat oleh bakteri
metanogen dan mengakibatkan kesetimbangan reaksi bergeser ke arah kiri dan
laju produksi biogas menurun. Sebaliknya jika rasio C/N rendah, produksi
biogas akan meningkat karena kesetimbangan reaksi bergerser ke arah kanan
dan laju produksi biogas meningkat (Miah et al., 2016). Rasio C/N yang
optimum untuk produksi biogas adalah sekitar 24-30. Dengan demikian,
kotoran sapi dapat menghasilkan biogas dalam jumlah yang besar (Kangle et
al., 2012)
2.2.2. Komposisi Kotoran Sapi
Kotoran sapi tersusun atas 22.59% selulosa, 18.32% hemiselulosa,
10.20% lignin, 34.72% total karbon organik, dan 1.26% total nitrogen. Selain
itu, kotoran sapi juga mengandung 0.37% fosfor dan 0.68% kalium. Dengan
kandungan selulosa yang tinggi, kotoran sapi dapat menghasilkan biogas dalam
jumlah yang banyak. Susunan kotoran sapi juga bisa dinyatakan dengan jumlah
kotoran padat dan jumlah kotoran cair. Pada kotoran sapi, padatan-cairan
berjumlah 23,59 kg padat/hari dan 9,07 kg cair/hari. Semakin tinggi jumlah
kotoran padat, produksi biogas akan menjadi lebih banyak. Sebaliknya jika
12
jumlah kotoran padat rendah, produksi biogas akan menjadi lebih sedikit pula.
Dengan demikian, kotoran sapi dapat menghasilkan biogas dalam jumlah
banyak karena kotoran sapi memiliki jumlah kotoran padat yang tinggi
(Gunawan,2013).
Kadar air pada kotoran sapi juga dapat menyatakan susunan kotoran sapi.
Artinya, kadar air pada kotoran sapi digunakan untuk menentukan berapa
banyak air yang harus ditambahkan untuk menghidrolisis kotoran sapi tersebut.
Kadar air harus diperhatikan agar tidak terlalu banyak tetapi juga tidak terlalu
sedikit. Hal tersebut disebabkan kadar air pada kotoran sapi penting dalam
proses biologis pembuatan biogas. Kotoran sapi berpotensi untuk
dimanfaatkan sebagai energi alternatif berupa biogas. Hal tersebut disebabkan
jumlah produksi biogas per kg kotoran sapi relatif lebih besar dibandingkan
kotoran ternak lainnya. Biogas dapat menyalakan bunga api dengan energi
6400 – 6600 kcal/m3 (Wahyuni, 2011). Kandungan 1 m3 biogas setara dengan
energi 0.62 liter minyak tanah, 0.46 liter elpiji, kemudian 0.52 liter minyak
solar, 0.08 liter bensin dan 3.5 kg kayu bakar. Pada penelitian Hanif (2010)
menyatakan bahwa 1 ekor sapi menghasilkan kotoran 25 kg/ekor maka dari
411 ekor sapi dapat menghasilkan 10.275 kg dengan kandungan bahan kering
sebesar 2.055 kg. Maka akan menghasilkan biogas 82,2 m3/hari. Sedangkan
setiap 1 m3 biogas menghasilkan 4,7 kWh. Oleh karena itu dari kotoran dari
441 ekor sapi berpotensi menghasilkan energi listrik sebesar 386,6 kWh/ hari
(Widyastuti et al., 2016).
Hasil pengukuran di Laboratorium Tanah Universitas Lampung,
menunjukkan bahwa hasil C/N rasio kotoran sapi menunjukkan hasil yang
tinggi. Kandungan karbon dan nitrogen serta rasio C/N disajikan dalam bentuk
Tabel 2.2 C/N Rasio Kotoran Sapi (Fairuz, et al., 2015) sebagai berikut :
Tabel 2.3 C/N Rasio Kotoran Sapi
Komponen % berat kering
C (Carbon) 28.36
N (Nitrogen) 1.07
C/N rasio 26.5
Sumber : (Fairuz, et al., 2015)
13
2.3 Rumen Sapi
Biogas merupakan bahan bakar terbarukan yang dibentuk dari bahan
organik melalui proses metanogenesis oleh bakteri metanogenik. Salah satu
sumber bahan organik yang dapat dijadikan bahan baku pembuatan biogas
adalah limbah isi rumen sapi. Isi rumen sapi merupakan salah satu limbah
terbesar yang dihasilkan dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH), berupa
rumput yang belum terfermentasi dan tercerna sepenuhnya oleh hewan. Di
dalam isi rumen telah terkandung bakteri Methanosarcina sp. yang berperan
dalam proses pembentukan biogas (Fithry, 2010) dan bakteri selulotik yang
mampu mencerna selulosa dari pakan ternak yang berupa rumput (Gamayanti,
2012). Fakta yang sama juga diungkapkan oleh Yenni dkk (2012) bahwa
penambahan limbah isi rumen sapi dapat meningkatkan volume biogas yang
terbentuk. Menurut Padmono (2015) dalam 1 ekor sapi dihasilkan limbah isi
rumen sebesar 25-35 kg. Di RPH Tamangapa, kota Makassar jumlah
pemotongan sapi sehari rata- rata berjumlah 58 ekor, maka estimasi jumlah
limbah isi rumen sehari mencapai 1,5-2 ton. Pada tahun 2012 jumlah ternak
sapi yang dipotong mencapai 19.733 ekor. Jadi dalam setahun RPH
Tamangapa menghasilkan limbah isi rumen sebanyak 50-60 ribu ton (Hartono,
2015), dimana limbah tersebut tidak dimanfaatkan sama sekali, sehingga
limbah isi rumen ini dapat dijadikan sebagai bahan baku biogas yang potensial.
Pada penelitian Wati (2014), diperoleh interaksi antara jenis feses dan
volume cairan rumen sapi dalam menghasilkan biogas. Terdapat interaksi
antara jenis feses dan volume cairan rumen dalam menghasilkan biogas.
Penambahan cairan rumen berpengaruh nyata terhadap feses sapi, kambing dan
kerbau dalam menghasilkan biogas. Hasil yang sama juga di dapatkan oleh
Susilowati (2019) dalam penelitiannya memfermentasikan kotoran sapi dengan
bantuan cairan rumen sapi dan diketahui bahwa penambahan cairan rumen sapi
dapat mempersingkat jangka waktu yang dibutuhkan untuk proses awal
penguraian dalam tahap pembentukan biogas, dimana puncak volume biogas
dengan penambahan cairan rumen sapi adalah hari ke 20, sedangkan tanpa
penambahan cairan rumen sapi yaitu pada hari ke 30.
14
2.4 Biogas
2.4.1. Pengertian Biogas
Biogas merupakan gas mudah terbakar yang dihasilkan dari proses
fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri anaerob seperti
Methanosarcina, sp. dengan kandungan utama berupa metana (CH4) dan
karbon dioksida (CO2). Komponen yang terkandung dalam biogas dapat
dilihat melalui Tabel 2.4 Komposisi Biogas sebagai berikut :
Tabel 2.4 Komposisi Biogas
Gas %
Metana (CH4) 55 – 75
Karbondioksida (CO2) 25 -45
Hidrogen Sulfida (H2S) <1
Hidrogen (H2) <1
Amonia (NH3) <1
Air (H2O) 2-7
Nitrogen (N2) <2
Oksigen (O2) <2
Sumber : (Deublein and Steinhauser, 2008)
Pada pembuatan biogas akan membutuhkan bahan-bahan organik yang
selanjutnya akan terurai oleh beberapa mikroorganisme. Untuk pembuatan
biogas yang didominasi oleh gas metana (CH4), proses produksi biogas
membutuhkan mikroorganisme berupa bakteri anaerob yang memiliki produk
utama berupa metana (CH4) (Gill et al., 2014). Bakteri metanogenik dapat
mengubah bahan-bahan rganic sisa atau limbah menjadi produk biogas.
Effisiensi pembentukan biogas bergantung pada kondisi produksinya harus
sesuai dengan mikroorganismenya (Al Seadi et al., 2008). Untuk memulai
pembentukan biogas perlu adanya inokulasi mikroorganisme untuk menunjang
proses fermentasi produksi biogas (Akwaka et al., 2014). Berikut ini adalah
sifat-sifat dari biogas yang ditampilkan pada Tabel 2.5 Sifat Khusus Biogas
(Deublein & Steinhaunser, 2013) sebagai berikut:
Tabel 2.5 Sifat Khusus Biogas
Sifat Nilai
Jumlah Energi 6.0 – 6.5 KWhm-3
Fuel Equivalent 0.60 – 0.65 L oil/m3 biogas
Explosion Limit 6 – 12%
Suhu Pengapian 650 – 7500C
15
Tekanan Kritis 75 – 89 bar
Suhu Kritis - 82.50C
Densitas 1.2 kg.m-3
Bau Telur busuk
Berat molekul 16.043 g.mol-1
Sumber : (Deublein & Steinhaunser, 2013)
16
gliserol, purin, dan piridin. Mikroorganisme hidrolitik mengeluarkan
enzim hidrolitik, mengubah biopolimer menjadi senyawa yang lebih
sederhana dan mudah larut seperti yang ditunjukkan di bawah ini :
lipase
Lipid Asam Lemak, Gliserol
selulase, selobiase, xylanase, amilase
Polisakarida Monosakarida
protease
Protein Asam Amino
17
berasal dari asetat, sedangkan 30% sisanya dihasilkan dari konversi
hidrogen (H) dan karbon dioksida (CO2), menurut persamaan berikut :
Bakteri Metanogenik
Asam Asetat Metana + Karbondioksida
Bakteri Metanogenik
Hidrogen + Karbondioksida Metana + Air
18
pembentukan biogas. Jenis mikroba yang berbeda akan memberikan
hasil yang berbeda pada biogas yang dihasilkan. Pada penelitian yang
dilakukan oleh (Windyasmara et al., 2015) setelah membandingkan gas
metana yang dihasilkan mendapatkan bahwa penggunaan kotoran kuda
memiliki yield yang lebih baik dibandingkan kotoran sapi. Selain itu
factor jumlah mikroba yang terkandung di dalam substrat maupun
sampel juga mempengaruhi biogas yang dihasilkan. Pada penelitian yang
dilakukan oleh (Agnesia and Nugraha, 2017) menunjukan bahwa
semakin banyak bakteri consortium yang digunakan dalam proses
pembuatan biogas akan meningkatkan yield yang dihasilkan.
• Lama Fermentasi
Dalam proses fermentasi setiap bakteri maupun substrat memiliki
waktu yang berbeda-beda. Secara umum proses fermentasi bakteri
metanogenik atau bakteri biogas memerlukan waktu sekitar 60-90 hari
untuk membuat biogas (Al Seadi et al., 2008).
• Temperatur
Proses digester anaerob dapat dilakukan pada berbagai temperatur,
umumnya dibagi menjadi 3 kisaran temperatur, yaitu psikrofilik (<35ºC),
mesofilik (25-45ºC) dan termofilik (45-70ºC). Temperatur stabil
dibutuhkan untuk proses pertumbuhan mikroba jika terjadi perubahan
suhu yang mendadak dapat menyebabkan bakteri harus kembali
beradaptasi dan proses fermentasi menjadi terhambat. Pemilihan
temperatur didasarkan pada pengunaan bahan baku dan kebutuhan panas
didalam digester (Al Seadi et al., 2008).
• Derajat Keasaman (pH)
Nilai derajat keasaaman atau pH merupakan faktor yang
mempengaruhi terbentuknya biogas. Jika pH terlalu asam maupun basa
maka bakteri akan sulit berkembang atau bahkan mati. Salah satu faktor
yang mempengaruhi pH dalam bioreactor adalah kandungan senyawa
asam, senyawa basa dan CO2 Nilai pH optimum pada mesofilik adalah
diantara 6,5f-8,0 (Seadi et al., 2008).
2.4.4. Potensi Biogas
19
Biogas merupakan salah satu jenis energi terbarukan, energi
terbarukan adalah jenis energi yang berasal dari alam dan dapat
diperbarui terus menerus (Lyberatos et al., 2016). Saat ini seluruh dunia
sedang berusaha mengembangkan energi terbarukan untuk
menggantikan energi fosil yang semakin menipis. Jika penggunaan
energi fosil dapat dikurangi maka dapat menghemat devisa negara.
Bahan bakar minyak atau BBM yang terus menerus disubsidi oleh
pemerintah akan meningkatkan anggaran serta beban negara karena
47% dari total sumber bahan bakar energi yang paling sering digunakan
adalah bahan bakar minyak (Kementerian ESDM, 2016). Selain itu
dapat membantu program atau target pemerintah yang ingin pada tahun
2025 yaitu pengalihan dari bahan bakar fosil menuju bahan bakar yang
bersifat energi terbarukan.
20
Biogas
C/N DM VS
Jenis umpan Bahan organik yield m3kg-
ratio % % of DM 1 VS
Karbohidrat,
Kotoran Babi 3-10 3-8 70-80 0,25-0,50
protein, lemak
Kotoran Karbohidrat,
6-20 5-12 80 0,20-0,30
Ternak protein, lemak
Kotoran Karbohidrat,
3-10 10-30 80 0,35-0,60
Unggas protein, lemak
Stomach /
Karbohidrat,
intenstine 3-5 15 80 0,40-0,68
lemak, protein
content
75-80% laktosa
Whey - 8-12 90 0,35-0,80
20-25% protein
Concentrated 75-80% laktosa
- 20-25 90 0,80-0,95
whey 20-25% protein
Flotation 65-70% protein
-
sludge 30-35% lemak
Ferment slops Karbohidrat 4-10 1-5 80-95 0,35-0,78
Karbohidrat,
Jerami 80-100 70-90 80-90 0,15-0,35
lemak
Limbah 100-
60-70 90 0,20-0,50
perkebunan 150
Rumput 12-25 20-25 90 0,55
Grass silage 10-25 15-25 90 0,56
Limbah buah-
35 15-20 75 0,25-0,50
buahan
Minyak ikan 30-50% lemak -
90% minyak
Soya oil -
nabati
Alkohol 40% alcohol -
Sisa makanan 10 80 0,50-0,60
Sumber : (Al Seadi, et al., 2012)
Keterangan :
C/N = Rasio kadar karbon dan kadar nitrogen suatu bahan
DM = Dry Matter (Bahan Kering)
VS = Volatil Solids
Besarnya potensi dari biogas membuat para peneliti melakukan banyak
penelitian untuk memaksimalkan potensi-potensi dari biogas itu sendiri. Upaya
yang saat ini sedang dikembangkan adalah penggunaan Codigestion
(pemakaian lebih dari satu bahan baku), pretreatment bahan dan penambahan
jenis mikroba yang telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir terutama
untuk menemukan cara meningkatkan produksi biogas dengan biomassa yang
21
berbeda. Salah satu pilihan untuk meningkatkan hasil digestion anaerobik
bahan organik adalah co-digestion (Romano and Zhang, 2008). Co-digestion
didefinisikan sebagai upaya pengolahan secara anaerobik dari campuran dua
substrat organik atau lebih yang berbeda dengan tujuan meningkatkan efisiensi
proses digestasi anaerobik (Álvarez et al., 2010). Proses co-digestion biasanya
dilakukan dengan mencampurkan substrat dasar dengan substrat tambahan
dalam jumlah yang kecil (Dandage, 1996) Co-digestion mempunyai
keseimbangan nutrisi dan kerja digester lebih baik sehingga kemampuan dalam
memproduksi biogas lebih tinggi (Wu, 2007). Pada penelitian yang dilakukan
oleh (Agnesia and Nugraha, 2017) menunjukan bahwa semakin banyak bakteri
consortium yang digunakan dalam proses pembuatan biogas akan
meningkatkan yield yang dihasilkan. Substrat yang memiliki kandungan lignin,
selulosa dan hemiselulosa tinggi dapat juga digunakan untuk proses digestion,
namun harus dilakukan pretreatment terlebih dahulu dengan tujuan
meningkatkan sifat digestibility (Al Seadi et al., 2008).
22
Pretreatment kimia dilakukan dengan cara menambahkan senyawa asam
kuat, alkali kuat ataupun asam organik dengan tujuan untuk
mendekomposisi lignin yang merupakan faktor penggangu dari substrat
biomass pada produksi biogas. Pretreatment ini juga dapat bertujuan untuk
mengatur pH dari medium produksi biogas agar sesuai dengan pH
optimum produksi (Athidira & Noviansyah, 2017).
2.7 Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian tentang pembuatan biogas :
Tabel 2.7 Penelitian Terdahulu
No Referensi Judul Hasil Penelitian
Pada penelitian ini biogas diproduksi dari
kotoran sapi dikombinasikan rumen sapi
Biogas dan air. Hasilnya menunjukkan bahwa
Budiyono
1. Production variable kotoran sapi dan air dengan
et al.,
From Cow perbandingan 1:3 dan variabel kotoran sapi
(2012)
Manure dan rumen sapi dengan perbandingan 1:2
menghasilkan biogas tertinggi
dibandingkan dengan rasio lainnya.
Produksi biogas dilakukan pada batch
anaerobic thermophilic digestion selama 90
hari. Variasi karakteristik diamati pada
produksi nilai metana yang dapat
Production of dipengaruhi karena populasi methylotroph
Mohan and
Biogas by pada lumpur aktif, yang menggunakan
2. Jagadeesan
Using Food metana sebagai sumber karbon untuk
(2013)
Waste pertumbuhannya. Total biogas pada sistem
dihitung dari jumlah metana dan karbon
dioksida. Produksi biogas dari dekomposisi
limbah makanan yaitu campuran 76%
metana dan 24% karbon dioksida.
Enhancement
Dengan bahan baku kotoran babi dianalisa
of Biogas
kadar TS, SS, VS, COD dan menyiapkan
Production
consortium. Dari hasil penelitian
from Swine
Tuesorn et menunjukkan bahwa consortium memiliki
3. Manure by
al. (2013) kemampuan lebih tinggi untuk
Lignocellulol
meningkatkan degradasi lignoselulosa
ytic
sebagai pemacu dan produksi biogas dalam
Microbial
proses pengolahan Anaerobik co-digestion.
Consortium
Biogas Hasil eksperimen menunjukkan coAD
4. Xiao et al., production by thermophilic dua tahap dapat beroperasi
2018 two-stage secara stabil setelah periode penyesuaian
thermophilic pada semua rasio PW. PH, total asam lemak
23
anaerobic co- volatil, alkalinitas total, dan total amonium
digestion of dari sludge pada tahap kedua AD, menurun
food waste dengan meningkatnya rasio PW. Pada rasio
and paper PW-20% dapat meningkatkan degradasi
waste: Effect (TS, VS dan TCOD).
of paper
waste ratio
Produksi biogas dari 55, 31 dan 29 mL dan
Co-digestion hasil metana 236, 179 dan 144 mL CH4 / g
of substrat volatile solids (VS) dicatat untuk
Rhodosporidi campuran yang dipelajari MIX I (YR +
5. Marques et um toruloides GS), MIX II (YR + CS) dan MIX III (YR +
al (2018) biorefinery CS + CR) masing-masing. Co-digestion
wastes for dari bahan substrat yang dihasilkan oleh
biogas biorefaksi ragi berhasil menghasilkan
production biogas dengan proporsi metana yang lebih
tinggi.
Biogas
Biogas yang terkumpul dari kotoran anjing
Production
10% berat dan 20% berat dihitung
from
menggunakan total jumlah biogas yang
Phetym et Vegetable
6. diproduksi per hari; hasilnya masing-
al (2015) Waste by
masing 0,602 m3 dan 0,711 m3. Kandungan
Using Dog
metana meningkat menggunakan
and Cattle
persentase kotoran anjing yang lebih tinggi.
Manure
Proses produksi biogas dari kopi telah
dilakukan dalam reaktor anaerobik 45 L
Optimization
yang bekerja dalam mode kontinyu dan
of biogas
dalam kondisi mesofilik (35°C) dengan
7. Battista et production
Waktu Retensi Hidraulik (HRT) sekitar 40
al (2016) from coffee
hari. Produksi biogas tinggi sebesar 1,14
production
NL / L d, dengan persentase metana 65% v
waste
/ v diperoleh, sehingga memungkinkan
hasil proses dihasilkan sekitar 83%.
Penelitian ini menggunakan batch
Biogas
anaerobic digester dalam skala
production
laboratorium yang dioperasikan pada suhu
from co-
mesofilik dalam 30 hari. Rasio optimal SM:
digestion
RS adalah 60: 40–0: 100 (C / N 29.50–
Salvinia
8. Syaichurro 39.17) yang menghasilkan total hasil biogas
molesta and
zi, I (2018) 103,83-113,92 mL / g VS. Hasil biogas
rice straw and
tertinggi (113,92 ± 6,90 mL / g VS)
kinetics
diperoleh dari SM: RS 40:60 (C / N 34,80).
Author links
Biogas yang dihasilkan dari SM: RS 40:60
open overlay
mengandung 60,58% CH4, 38,69% CO2,
panel
0,73% H2.
24
Biogas
Produksi biogas maksimum dapat diperoleh
potential
dari co-digestion dari substrat yang
from spent
mengandung 30% ampas teh dan 70% CM,
tea waste: A
untuk waktu pencernaan 25 hari.AD3
laboratory
9. Khayum et menunjukkan nilai pH maksimum 7,16,
scale
al., (2018) yang menunjukkan baik untuk pencernaan
investigation
anaerob. Biogas yang diperoleh dari
of
digester AD3 memiliki nilai kalor dan
codigestion
kandungan energi masing-masing 26,4 MJ /
with cow
kg dan 5,1-5,7 kW / m3.
manure
Production Pencernaan dilakukan selama 50 hari pada
Of Biogas suhu kamar, 32 ± 3°C. Di antara reaktor
Miah, M, From Poultry eksperimental, R2 (kotoran sapi 25%,
10. R et al. Litter Mixed kotoran unggas 75%) memberikan hasil
(2015). With The Co- optimal: pengurangan VS 51,99%, hasil gas
Substrate spesifik 0,469 l / g dan hasil metana 72,5%
Cow Dung
Comparative Waktu fermentasi biogas yang lebih lama,
study of kadar metana puncak yang lebih tinggi dan
reactor akumulasi asam lemak volatil (VFA) yang
performance lebih rendah ditemukan pada kondisi
and microbial psikofilik dibandingkan dengan pada
community in kondisi mesofilik meskipun produksi
Wei, S., &
11. psychrophilic biogas pada kedua kondisi suhu serupa.
Guo, Y.
and Produksi biogas kumulatif pada 35 ° C dan
(2018).
mesophilic 15 ° C adalah 246 (± 5) dan 225 (± 7) ml / g
biogas padatan volatil. Total konsentrasi VFA
digesters tertinggi di bawah 35 ° C adalah 10.796 (±
under solid 310) mg / kg total padatan, sementara itu
state hanya mencapai 2346 (± 87) mg / kg total
condition. padatan pada kondisi 15 ° C.
Mixing Rasio FW ke STP optimal 3: 1 pada tinggi
Strategies of OLR Frekuensi resirkulasi biogas 15 menit
High Solids / jam menghasilkan biogas maksimum
Anaerobic (0,28-0,86 L / gVSr). Peningkatan hasil
Co-Digestion biogas diamati pada intensitas resirkulasi
12. Latha et al. using Food biogas intermiten 2000mL / menit (0,25-
(2018). Waste with 0,92L / gVSr). Ini dikaitkan dengan efek
Sewage sinergis dari pengasaman CO2 dan produksi
Sludge for VFA yang tinggi pada OLR 6 gVS / Ld.
Enhanced
Biogas
Production
25
Kopi merupakan salah satu bahan organic
yang dapat menjadi bahan baku pembuatan
biogas. Produksi biogas dalam fermentasi
anaerobik sebanding dengan laju
Biodegradabi pemanfaatan substrat, kondisi lingkungan
lity seperti pH dan suhu dan gabungan bakteri
Elida Simulation of beragam dalam prosesnya. Kombinasi
13. Novita Coffee lumpur flokuler dan lumpur granular adalah
(2016) Wastewater jenis bakteri terbaik untuk mengubah bahan
Using Instant organik menjadi biogas. Selain itu, bakteri
Coffee tersebut dapat mengatasi lingkungan asam
di air pada limbah kopi. Karena akumulasi
gas metana mencapai persentase tertinggi
dalam konsentrasi bahan organik yang
tinggi.
Corn silage Rata-rata laju produksi metana adalah
fungal-based 0,167m3CH4kgVS−1. Pada fase kedua,
solid-state butiran jagung dan silase jagung digantikan
pretreatment dengan silase jagung yang diberi perlakuan
for enhanced awal dengan T. versicolor, dan rata-rata laju
14. Tišma et al
biogas pembangkitan metana meningkat hingga
(2018).
production in 0,236m3CH4kgVS-1. Hasil penelitian ini
anaerobic co- menunjukkan bahwa penerapan silase
digestion jagung pretreated berbasis-kondisi-jamur
with cow berpengaruh positif terhadap stabilitas pH
manure. dan meningkatkan produktivitas biogas.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menemukan efek pretreatment mikroba
Pretreatment
alami pada tangkai lignin, degradasi
for biogas
selulosa dan hemiselulosa, dan produksi
production by
biogas. Hasilnya menunjukkan bahwa kulit
15. Zhou et al., anaerobic
jagung yang telah ditumpuk sebelumnya
(2012). fermentation
selama 20 hari mengurangi isi selulosa,
of mixed corn
hemi-selulosa dan lignin masing-masing
stover and
sebesar 5,8%, 16,8% dan 5,7% lebih rendah
cow dung
daripada sampel yang tidak dilakukan
pretreatment.
Phytoremedia Fitoremediasi menggunakan eceng gondok
tion lebih efektif daripada menggunakan
Application menggunakan teratai untuk mengurangi
Hadiyanto
16. of Herbal kontaminan pada limbah jamu. Spirulina
et al.,
Waste and Its akan tumbuh secara baik dalam limbah
(2013)
Utilization jamu dengan konsentrasi 80% V yang
for Protein sudah difitoremediasi menggunakan teratai
Production selama 3 hari.
26
2.8 Kinetika Produksi Biogas
Kinetika produksi biogas dalam dipelajari dengan mengembangkan
persamaan yang paling mendekati dasar untuk produksi biogas dalam sistem
batch. Dengan mengasumsikan laju produksi biogas dalam kondisi batch sesuai
dengan laju pertumbuhan spesifik bakteri metanogenik dalam biodigester, laju
produksi biogas diprediksi akan mengikuti beberapa persamaan seperti :
Gompertz equation yang dimodifikasi (Sunarso et al., 2010), kinetika
persamaan reaksi orde 1 dengan asumsi penurunan kadar COD dalam slurry
sebanding dengan produksi biogas (Zhang et al., 2018) dan logistic function
yang mengasumsikan bahwa produksi metana sebanding dengan ukuran
populasi mikroba dan substrat yang dapat dicerna (Pramanik et al., 2019).
• Persamaan Gompertz
27
𝑑2𝑦
= 𝑎𝑐. 𝑒 −𝑒(𝑏−𝑐𝑡)+(𝑏−𝑐𝑡) ((−𝑐) + [−𝑒 (𝑏−𝑐𝑡) ]𝑑𝑡)
𝑑𝑡
𝑑2𝑦
= 𝑎𝑐. 𝑒 −𝑒(𝑏−𝑐𝑡)+(𝑏−𝑐𝑡) ((−𝑐) − [𝑒 (𝑏−𝑐𝑡) ]𝑑𝑡)
𝑑𝑡
𝑑2 𝑦
= 𝑎𝑐. 𝑒 −𝑒(𝑏−𝑐𝑡)+(𝑏−𝑐𝑡) ((−𝑐) − 𝑒 (𝑏−𝑐𝑡) . [(𝑏 − 𝑐𝑡)]𝑑𝑡)
𝑑𝑡
𝑑2𝑦
= 𝑎𝑐. 𝑒 −𝑒(𝑏−𝑐𝑡)+(𝑏−𝑐𝑡) ((−𝑐) − 𝑒 (𝑏−𝑐𝑡) . (−𝑐)) 𝑑𝑡
𝑑𝑡
𝑑2 𝑦
2
= 𝑎𝑐. 𝑒 −𝑒(𝑏−𝑐𝑡)+(𝑏−𝑐𝑡) ((−𝑐) − 𝑒 (𝑏−𝑐𝑡) . (𝑐))
𝑑 𝑡
𝑑2𝑦
= 𝑎𝑐. 𝑒 −𝑒(𝑏−𝑐𝑡)+(𝑏−𝑐𝑡) . 𝑐. (𝑒 (𝑏−𝑐𝑡) − 1)
𝑑2𝑡
𝑑2𝑦
= 𝑎𝑐 2 . 𝑒 −𝑒(𝑏−𝑐𝑡)+(𝑏−𝑐𝑡) . (𝑒 (𝑏−𝑐𝑡) − 1)
𝑑2𝑡
Pada titik belok, di mana t = ti, d2y/d2t = 0
0 = 𝑎𝑐 2 . 𝑒 −𝑒(𝑏−𝑐𝑡𝑖 )+(𝑏−𝑐𝑡𝑖 ) . (𝑒 (𝑏−𝑐𝑡𝑖 ) − 1)
0 = 𝑎𝑐 2 . 𝑒 −𝑒(𝑏−𝑐𝑡𝑖 )+(𝑏−𝑐𝑡𝑖 ) . 𝑒 (𝑏−𝑐𝑡𝑖 ) - 𝑎𝑐 2 . 𝑒 −𝑒(𝑏−𝑐𝑡𝑖 )+(𝑏−𝑐𝑡𝑖 )
𝑎𝑐 2 . 𝑒 −𝑒(𝑏−𝑐𝑡𝑖 )+(𝑏−𝑐𝑡𝑖 ) = 𝑎𝑐 2 . 𝑒 −𝑒(𝑏−𝑐𝑡𝑖 )+(𝑏−𝑐𝑡𝑖 ) . 𝑒 (𝑏−𝑐𝑡𝑖 )
1 = 𝑒 (𝑏−𝑐𝑡𝑖 )
ln 1 = ln 𝑒 (𝑏−𝑐𝑡𝑖 )
0 = (𝑏 − 𝑐𝑡𝑖 )
𝑏
𝑡𝑖 =
𝑐
(2.3)
𝑑𝑦
= ac. 𝑒 −e(b−ct) . 𝑒 (b−ct)
𝑑𝑡
𝑑𝑦 𝑏 𝑏
{ } = ac. 𝑒 −e(b−c 𝑐 ) . 𝑒 (b−c 𝑐 )
𝑑𝑡 𝑡𝑖
𝑑𝑦
{ } = ac. 𝑒 −e(0) . 𝑒 (0)
𝑑𝑡 𝑡𝑖
𝑑𝑦
{ } = ac. 𝑒 −1 .1
𝑑𝑡 𝑡𝑖
28
𝑑𝑦 ac
μ𝑚 = { } =
𝑑𝑡 𝑡𝑖 𝑒
μ .𝑒
𝑐= 𝑚
𝑎
(2.4)
Deskripsi garis singgung melalui titik belok adalah :
𝑎
𝑦 = μ𝑚 . 𝑡 + − μ𝑚 . 𝑡𝑖
𝑒
(2.5)
Lag time didefinisikan sebagai tangen intercept sumbu-t melalui titik belok :
𝑎
0 = μ𝑚 . λ + − μ𝑚 . 𝑡𝑖
𝑒
(2.6)
Substitusikan persamaan 2.3, 2.4 dan 2.5 ke persamaan 2.6
𝑎. 𝑐 𝑎 𝑎. 𝑐 𝑏
0= .λ + − .
𝑒 𝑒 𝑒 𝑐
𝑎
0 = . [𝑐λ + 1 − b]
𝑒
0 = [𝑐λ + 1 − b]
𝑐λ = 𝑏 − 1
(2.7)
𝑏−1
𝑐λ =
𝑐
(2.8)
Parameter gompertz dapat diganti dengan mensubstitusikan persamaan 2.4 ke
persamaan 2.8 :
𝑐λ = 𝑏 − 1
μ𝑚 . 𝑒
λ= 𝑏−1
𝑎
μ𝑚 . 𝑒
λ+1= 𝑏
𝑎
(2.9)
Nilai asimptotik tercapai untuk t yang mendekati tak terhingga :
𝑡 ⟶ ∞: 𝑦 ⟶ 𝑎 ⟹ 𝐴 = 𝑎
Parameter a dalam persamaan Gompertz dapat diganti dengan A agar
29
membedakan bektuk persamaan Gompertz original dan yang dimodifikasi,
menghasilkan persamaan Gompertz yang dimodifikasi:
μ𝑚 . 𝑒
𝑌 = 𝐴 × 𝑒𝑥𝑝 {−𝑒𝑥𝑝 [ (λ − t) + 1]}
𝐴
𝑈 .𝑒
𝑌 = 𝐴 × 𝑒𝑥𝑝 {−𝑒𝑥𝑝 [ (λ − t) + 1]}
𝐴
Keterangan:
Y = produksi biogas kumulatif per satuan waktu t hari (mL / grTS.hari)
A = produksi biogas maksimum yang dapat dihasilkan (mL / grTS)
U = laju produksi biogas maksimum (mL / grTS.hari)
𝜆 = waktu lag phase yang dibutuhkan sebelum terbentuk gas metana
(hari)
𝑡 = waktu kumulatif untuk produksi biogas (hari)
𝑒 = Bilangan Euler (e = 2,71828)
(Siripatna et. al, 2016)
• Kinetika Orde 1
-dCA
-rA= =k.CA
dt
dCA
=-k.dt
CA
CA t
1
∫ dCA=-k. ∫ dT
CA0 CA 0
ln CA- ln CA0=-k.t
CA
ln =-k.t
CA0
CA0
ln =k.t
CA
Keterangan :
-rA = laju pengurangan substrat
CA = kadar COD akhir (ppm)
CA0 = kadar COD awal (ppm)
30
k = konstanta laju produksi biogas
t = waktu (hari)
• Logistik
Pmax
VCH4 (t) =
4R (λ − t)
1 + exp [ max + 2]
Pmax
Sumber : (Donoso-Bravo et al., 2010)
Keterangan:
VCH4 = produksi biogas kumulatif per satuan waktu t hari
(mL/hari)
Pmax = produksi biogas maksimum yang dapat dihasilkan (mL)
Rmax = laju produksi biogas maksimum (mL/hari)
𝜆 = waktu lag phase yang dibutuhkan sebelum terbentuk gas
metana (hari)
𝑡 = waktu kumulatif untuk produksi biogas (hari)
31
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini akan dibuat biogas dengan bahan baku utama dari limbah
padat jamu tradisonal. Proses fermentasi perubahan bahan baku menjadi biogas
didapatkan dari bakteri metanogenik yang didapatkan rumen sapi yang berjenis
Methanosarcina, sp. (Fithry, 2010). Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 4
Maret 2021 di Laboratorium Dasar Teknik Kimia yang tertutup dan tanggal 19
Maret 2021 di Laboratorium Pengolahan Limbah Teknik Kimia, Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro yang terbuka.
32
fase sampel (ampas jamu) dari fase padat ke fase cair. Atur pH netral
dengan menggunakan Asam Asetat dan NaOH. Proses fermentasi mulai
dilakukan. Catat volume gas yang terbentuk dalam gas collector setiap dua
hari sekali hingga 60 hari.
3. Tahap Analisis Data
Data volume biogas dianalisis dalam bentuk grafik hubungan volume
biogas dan kadar COD removal terhadap waktu. Analisis secara grafis dan
berdasarkan teori fenomena untuk pengaruh variabel terhadap hasil yang
didapatkan pada grafik hasil.
33
3.2 Diagram Alir Percobaan
PERSIAPAN
TAHAP Blender selama 5 menit
Pengayakan
Pengeringan
Penambahan Aquadest
TAHAP
Proses fermentasi
34
2. % TS = 3, 7, 11 dan 15%
3.3.2 Variabel Kontrol
1. pH = 7
2. Bakteri metanogenik berasal dari rumen sapi
3. Lama pengamatan minimal 60 hari
4. Proses batch
5. Suhu dan tekanan ruangan
6. Ukuran sampel (60 mesh)
7. Metode fermentasi= liquid state fermentation
3.3.3 Variabel Terikat
1. Yield volume biogas yang diukur setiap 2 hari.
2. CODMn yang diukur awal dan akhir penelitian.
35
3.5 Rangkaian Alat Biodigester
36
Tabel 3.1 Variabel Penelitian
Kondisi Operasi Rasio C/N
Liquid State
Variabel
3% 7% 11% 15% 20 22 24 26
gr TS/v gr TS/v gr TS/v gr TS/v
1. √ √
2. √ √
3. √ √
4. √ √
5. √ √
6. √ √
7. √ √
8. √ √
9. √ √
10. √ √
11. √ √
12. √ √
13. √ √
14. √ √
15. √ √
16. √ √
37
destruksi atau digestion membutuhkan waktu 2 jam dan selama
prosesnya, labu Kjeldahl (digester) sering diputar-putar agar tidak
terjadi pemanasan setempat.
5. Dinginkan labu dan tambahkan air suling secukupnya, masukkan
dalam labu destilasi. Tambahkan 4 gr serbuk Zn untuk mencegah
terjadinya bumping serta percikan serta NaOH 5 N 100 ml.
6. Pasang rangkaian peralatan untuk destilasi lengkap dengan
pendingin Leibig serta adaptor yang tercelup dalam larutan asam
borat. Tutup celah adaptor dan erlenmeryer dengan kapas sampai
cukup rapat.
7. Panaskan diatas kompor listrik. Destilat yang terbentuk dialirkan
ke dalam erlenmeyer yang berisi asam borat jenuh 150 ml yang
telah ditetesi MO 3 tetes. Lakukan destilasi selama 30-45 menit.
Ukur volume destilat dan asam borat dalam erlenmeyer (V
larutan).
8. Ambil sejumlah volume tertentu destilat (V2).
9. Titrasi (V2) yang diperoleh dengan menggunakan HCl 0,02 N.
Catat kebutuhan titran (V1).
10. Hitung kadar nitrogen dengan persamaan berikut :
(V1. N) HCl x BA Nitrogen x Vlarutan
Kadar Nitrogen, % = × 100%
V2 titrasi x Berat sampel kering x 1000
38
5. Titrasi sampel dengan larutan FeSO4 1 N hingga warna berubah
jadi hijau.
6. Catat volume titran. Kemudian hitung kadar C organik dengan
persamaan :
(N K 2 Cr2 O7 × V K 2 Cr2 O7 ) − (N FeSO4 × V FeSO4 ) × 0,33
C − Organik, = × 100%
Berat Sampel × 0,77
➢ Pengujian
39
1. Siapkan kertas saring yang telah diketahui beratnya pada
alat penyaring
2. Sampel dikocok hingga merata, kemudian pipet 100 mL
sampel limbah cair.
3. Masukkan sampel kedalam beaker glass 100 mL, kemudian
masukkan ke dalam alat penyaring sedikit demi sedikit
4. Saring sampel air kemudian residu tersuspensi di bilas
dengan aquadest sebanyak 10 mL dan dilakukan 3 kali
pembilasan.
5. Ambil kertas saring, keringkan di dalam oven pada suhu
103–1050C selama 2 jam
6. Dinginkan kertas saring di dalam desikator selama 10
menit.
7. Timbang dengan neraca analitik
8. Ulangi langkah 5 sampai dengan 8 hingga diperoleh berat
tetap ( kehilangan berat < %) misalkan A mg
➢ Perhitungan
Rumus yang digunakan dalam perhitungan adalah :
(𝐴−𝐵)𝑥1000
mg/L 𝑟𝑒𝑠𝑖𝑑𝑢 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑢𝑠𝑝𝑒𝑛𝑠𝑖 = 𝑚𝐿 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ
Keterangan :
A = berat kertas saring berisi residu tersuspensi dalam mg
B = berat kertas saring kosong dalam mg
40
(𝑉. 𝑁)𝐻2 𝐶2 𝑂4
𝑁 𝐾𝑀𝑛𝑂4 =
𝑚𝑙 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛
➢ Analisa COD
1. Ambil sampel dari substrat yang akan dianalisis
sebanyak 1 ml kemudian diencerkan hingga 10 ml,
kemudian masukkan ke dalam erlenmeyer.
2. Tambahkan 5 ml H2SO4 4 N dan a ml larutan KMnO4
hasil standarisasi kemudian panaskan hingga mendidih
sekitar 10 menit.
3. Tambahkan 5 ml Na2C2O4 0,01 N, lalu panaskan
hingga 70o-80o C.
4. Titrasi dengan larutan KMnO4 yang telah
distandarisasi sampai terjadi TAT (b ml)
𝐶𝑂𝐷 𝑀𝑛 (𝑝𝑝𝑚) = {(𝑎 + 𝑏)𝑁 𝐾𝑀𝑛𝑂4 − (𝑁 ∗ 𝑉)𝑁𝑎2 𝐶2 𝑂4 } × 8000
41
• Persamaan Gompertz
𝑈 .𝑒
𝑌 = 𝐴 × 𝑒𝑥𝑝 {−𝑒𝑥𝑝 [ (λ − t) + 1]}
𝐴
Keterangan:
Y = produksi biogas kumulatif per satuan waktu t hari (mL / grTS.hari)
A = produksi biogas maksimum yang dapat dihasilkan (mL / grTS)
U = laju produksi biogas maksimum (mL / grTS.hari)
𝜆 = waktu lag phase yang dibutuhkan sebelum terbentuk gas metana
(hari)
𝑡 = waktu kumulatif untuk produksi biogas (hari)
𝑒 = Bilangan Euler (e = 2,71828)
(Siripatna et. al, 2016)
• Kinetika Orde 1
CA0
ln =k.t
CA
Keterangan :
-rA = laju pengurangan substrat
CA = kadar COD akhir (ppm)
CA0 = kadar COD awal (ppm)
k = konstanta laju produksi biogas
t = waktu (hari)
• Logistic function
Pmax
VCH4 (t) =
4R (λ − t)
1 + exp [ max + 2]
Pmax
Sumber : (Donoso-Bravo et al., 2010)
Keterangan:
VCH4 = produksi biogas kumulatif per satuan waktu t hari
(mL/hari)
Pmax = produksi biogas maksimum yang dapat dihasilkan (mL)
Rmax = laju produksi biogas maksimum (mL/hari)
42
𝜆 = waktu lag phase yang dibutuhkan sebelum terbentuk gas
metana (hari)
𝑡 = waktu kumulatif untuk produksi biogas (hari)
43
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaruh besar Total Solid terhadap Volume Biogas yang dihasilkan
Pretreatment secara fisik dilakukan dengan menggunakan blender dan
pengeringan menggunakan oven. Setelah dilakukan pretreatment fisik, lalu
dilakukan pretreatment secara kimia, yaitu pengaturan pH pada kondisi netral
(pH=7) limbah padat jamu dengan rumen sapi dan kotoran sapi. Setelah itu
substrat limbah padat jamu dan rumen sapi dicampur sesuai dengan variabel
Total Solid (3, 7, 11, 15 % TS), sehingga campuran substrat dalam biodigester
sesuai dengan takaran total solid nya yaitu dalam kondisi liquid state 3, 7, 11,
15 % gr TS/v. Penelitian ini memiliki 16 variabel yang masing-masing
divariasikan pretreatment yang dilakukan pada rasio C/N (20, 22, 24, dan 26)
dan pada % Total Solid (3, 7, 11, dan 15) pengecekan dilakukan setiap 2 hari
sekali selama 60 hari. Berikut ini adalah hasil dari penelitian yang dilakukan
beserta pembahasannya.
4.1.1 Pengaruh Total Solid terhadap Volume Biogas yang Dihasilkan
pada rasio C/N 20
Pada gambar 4.1 dan gambar 4.2 dapat dilihat perbandingan jumlah
produksi biogas dari limbah padat jamu dengan rumen sapi pada rasio C/N
20 dengan berbagai perbedaan kondisi biodigester.
600
Volume Produk Gas (ml)
3%TS 7%TS
500
11%TS 15%TS
400
300
200
100
0
0 10 20 30 40 50 60
Waktu (hari ke-)
44
Gambar 4.1. Hubungan Waktu dan Volume Biogas per-Hari pada Rasio
C/N 20
Gambar 4.1 menunjukkan laju produksi biogas harian limbah padat
jamu dan rumen sapi pada berbagai nilai %Total Solid, untuk variabel Liquid
State Fermentation (LS-AD) diwakili dengan data variabel 3, 7, 11, dan 15
%,TS dengan rasio C/N 20.
Pada kondisi rasio C/N 20 variabel LS-AD dengan 3%TS didapatkan
fase belum terbentuknya gas dari hari ke-0 hingga hari ke-2, selanjutnya
produksi biogas mengalami kenaikan pesat pada hari ke-20 dan mengalami
fase stasioner setelahnya hingga hari ke-32, pada hari ke-33 sampai hari ke-
55 menuju fase kematian kemudian pada hari ke-56 sampai hari ke-60 sudah
tidak terjadi lagi proses produksi biogas yang ditandai dengan volume biogas
pada hari tersebut sebesar 0 mL. Pada kondisi rasio C/N 20 variabel LS-AD
dengan 7%TS didapatkan fase belum terbentuknya gas dari hari ke-0 hingga
hari ke-2, selanjutnya produksi biogas mengalami kenaikan pesat pada hari
ke-20 dan mengalami fase stasioner setelahnya hingga hari ke-32, pada hari
ke-33 sampai hari ke-55 menuju fase kematian kemudian pada hari ke-56
sampai hari ke-60 sudah tidak terjadi lagi proses produksi biogas yang
ditandai dengan volume biogas pada hari tersebut sebesar 0 mL. Pada kondisi
rasio C/N 20 variabel LS-AD dengan 11%TS didapatkan fase belum
terbentuknya gas dari hari ke-0 hingga hari ke-2, selanjutnya produksi biogas
mengalami kenaikan pesat pada hari ke-20 dan mengalami fase stasioner
setelahnya hingga hari ke-32, pada hari ke-33 sampai hari ke-55 menuju fase
kematian kemudian pada hari ke-56 sampai hari ke-60 sudah tidak terjadi lagi
proses produksi biogas yang ditandai dengan volume biogas pada hari
tersebut sebesar 0 mL. Pada kondisi rasio C/N 20 variabel LS-AD dengan
15%TS didapatkan fase belum terbentuknya gas dari hari ke-0 hingga hari ke-
2, selanjutnya produksi biogas mengalami kenaikan pesat pada hari ke-18 dan
mengalami fase stasioner setelahnya hingga hari ke-32, pada hari ke-33
sampai hari ke-55 menuju fase kematian kemudian pada hari ke-56 sampai
hari ke-60 sudah tidak terjadi lagi proses produksi biogas yang ditandai
dengan volume biogas pada hari tersebut sebesar 0 mL. Produksi biogas
45
harian tertinggi terdapat pada variabel 15%TS yaitu metode Liquid State
dengan volume gas mencapai 485 ml pada hari ke 24.
Pada fase awal menunjukkan bahwa belum ada produksi biogas selama
2 hari awal hal ini dikarenakan pada saat awal produksi biogas, mikroba
masih mengalami penyesuaian terhadap substrat/medium baru sehingga
masih belum ada produksi biogas. Produksi biogas lambat pada awal dan
akhir pengamatan percobaan. Produksi biogas umumnya lambat dalam
beberapa hari pertama percobaan karena fase lag pertumbuhan mikroba di
mana metanogen (komunitas mikroba) menjadi media di dalam digester
(Imologie et al.,2017). Fase lag ini disertai dengan fase stasioner di mana
komunitas mikroba minimum dan kemudian pertumbuhan eksponensial.
Pertumbuhan terlihat, tetapi sel-sel hidup dipertahankan. Laju produksi
biogas dalam kondisi batch terutama bergantung pada pertumbuhan bakteri
metanogenik yang menghasilkan metana (Nopharatana et al., 2007). Pada
penelitian kami telah tercapai fase kematian.
46
5000
3000
2000
1000
0
0 10 20 30 40 50 60
Waktu (hari ke-)
Gambar 4.3. Hubungan Waktu dan Volume Biogas Kumulatif pada Rasio
C/N 20
Pada Gambar 4.3. ditunjukkan hubungan antara lama waktu dengan
volume kumulatif produksi biogas selama 60 hari pada rasio C/N 20 dan
berbagai variabel %TS yaitu 3, 7, 11 dan 15 % TS. Pada kondisi rasio C/N 20
variabel LS-AD dengan 3%TS didapatkan volume total produksi biogas
selama 60 hari mencapai 2.265,5 ml. Pada kondisi rasio C/N 20 variabel LS-
AD dengan 7%TS didapatkan volume total produksi biogas selama 60 hari
mencapai 3.413 ml. Pada kondisi rasio C/N 20 variabel LS-AD dengan
11%TS didapatkan volume total produksi biogas selama 60 hari mencapai
3.775 ml. Pada kondisi rasio C/N 20 variabel LS-AD dengan 15%TS
didapatkan volume total produksi biogas selama 60 hari mencapai 4.340 ml.
Produksi biogas tertinggi dihasilkan oleh limbah padat jamu dan
kotoran sapi pada kondisi liquid state 15% TS, yaitu sebesar 4.340 ml.
Produksi optimum terjadi pada kondisi biodigester liquid state (15% TS)
dibandingkan dengan kondisi lain liquid state 3%TS, 7%TS dan 11%TS. Hal
ini menunjukkan bahwa dengan meningkatnya TS, laju hidrolisis menjadi
lebih lambat karena peningkatan tekanan organik. Namun, pencernaan
anaerobik memiliki keterbatasan mengenai substrat padat. Laju degradasinya
dibatasi oleh langkah hidrolisis, yang merupakan langkah yang sangat lambat
ketika berhadapan dengan substrat padat. Dalam proses ini, bahan organik
kompleks (protein, lipid, karbohidrat) menjadi bahan terlarut sederhana
(asam amino, gula, asam lemak) (Cano et al., 2014). Untuk mempercepat
langkah hidrolisis, pretreatment hidrolisis termal (TH) adalah salah satu
47
teknik yang paling efisien, yang mengarah ke solubilisasi tinggi, pengurangan
patogen, dewaterability yang baik dan peningkatan produksi biogas. Selain
itu, input energi yang dibutuhkan untuk proses hidrolisis adalah energi termal
dan dapat dipenuhi dari produksi energi dari proses itu sendiri, sehingga
menghasilkan proses yang mandiri secara energi (Perez-Elvira et al., 2008).
Pada penelitian didapatkan bahwa variabel dengan 15% TS kondisi
Liquid State menghasilkan volume biogas yang lebih besar. Hal ini
disebabkan keberadaan lebih banyak air mendorong terjadinya reaksi
hidrolisis pada interaksi timbal balik dan sintrofik dari konsorsium
mikroorganisme untuk memecah bahan organik kompleks menjadi monomer
terlarut seperti asam amino, asam lemak, gula sederhana, dan gliserol. yang
untuk dikonsumsi oleh mikroorganisme penghasil metana seuai dengan
reaksi berikut (Anukam et al., 2019).
Mikroorganisme Mikroorganisme
Asidogen Metanogen
VS VFA CH4 + CO2
4.1.2 Pengaruh besar Total Solid terhadap Volume Biogas yang dihasilkan
pada Rasio C/N 22
Pada gambar 4.4 dan gambar 4.5 dapat dilihat perbandingan jumlah
produksi biogas dari limbah padat jamu dengan rumen sapi pada rasio C/N
22 dengan berbagai perbedaan kondisi biodigester.
48
600
3%TS 7%TS
400
300
200
100
0
0 10 20 30 40 50 60
Waktu (hari ke-)
Gambar 4.4. Hubungan Waktu dan Volume Biogas per-Hari pada Rasio
C/N 22
Gambar 4.4 menunjukkan laju produksi biogas harian limbah padat
jamu dan rumen sapi pada berbagai nilai %Total Solid, untuk variabel Liquid
State Fermentation (LS-AD) diwakili dengan data variabel 3, 7, 11, dan 15
%,TS dengan rasio C/N 22.
Pada kondisi rasio C/N 22 variabel LS-AD dengan 3%TS didapatkan
fase belum terbentuknya gas dari hari ke-0 hingga hari ke-2, selanjutnya
produksi biogas mengalami kenaikan pesat pada hari ke-26 dan mengalami
fase stasioner setelahnya hingga hari ke-32, pada hari ke-33 sampai hari ke-
55 menuju fase kematian kemudian pada hari ke-56 sampai hari ke-60 sudah
tidak terjadi lagi proses produksi biogas yang ditandai dengan volume biogas
pada hari tersebut sebesar 0 mL. Pada kondisi rasio C/N 22 variabel LS-AD
dengan 7%TS didapatkan fase belum terbentuknya gas dari hari ke-0 hingga
hari ke-2, selanjutnya produksi biogas mengalami kenaikan pesat pada hari
ke-24 dan mengalami fase stasioner setelahnya hingga hari ke-32, pada hari
ke-33 sampai hari ke-55 menuju fase kematian kemudian pada hari ke-56
sampai hari ke-60 sudah tidak terjadi lagi proses produksi biogas yang
ditandai dengan volume biogas pada hari tersebut sebesar 0 mL. Pada kondisi
rasio C/N 22 variabel LS-AD dengan 11%TS didapatkan fase belum
terbentuknya gas dari hari ke-0 hingga hari ke-2, selanjutnya produksi biogas
49
mengalami kenaikan pesat pada hari ke-26 dan mengalami fase stasioner
setelahnya hingga hari ke-32, pada hari ke-33 sampai hari ke-55 menuju fase
kematian kemudian pada hari ke-56 sampai hari ke-60 sudah tidak terjadi lagi
proses produksi biogas yang ditandai dengan volume biogas pada hari
tersebut sebesar 0 mL. Pada kondisi rasio C/N 22 variabel LS-AD dengan
15%TS didapatkan fase belum terbentuknya gas dari hari ke-0 hingga hari ke-
2, selanjutnya produksi biogas mengalami kenaikan pesat pada hari ke-20 dan
mengalami fase stasioner setelahnya hingga hari ke-32, pada hari ke-33
sampai hari ke-55 menuju fase kematian kemudian pada hari ke-56 sampai
hari ke-60 sudah tidak terjadi lagi proses produksi biogas yang ditandai
dengan volume biogas pada hari tersebut sebesar 0 mL. Produksi biogas
harian tertinggi terdapat pada variabel 15%TS yaitu metode Liquid State
dengan volume gas mencapai 480 ml pada hari ke 24.
Pada fase awal menunjukkan bahwa belum ada produksi biogas selama
2 hari awal hal ini dikarenakan pada saat awal produksi biogas, mikroba
masih mengalami penyesuaian terhadap substrat/medium baru sehingga
masih belum ada produksi biogas. Produksi biogas lambat pada awal dan
akhir pengamatan percobaan. Produksi biogas umumnya lambat dalam
beberapa hari pertama percobaan karena fase lag pertumbuhan mikroba di
mana metanogen (komunitas mikroba) menjadi media di dalam digester
(Imologie et al.,2017). Fase lag ini disertai dengan fase stasioner di mana
komunitas mikroba minimum dan kemudian pertumbuhan eksponensial.
Pertumbuhan terlihat, tetapi sel-sel hidup dipertahankan. Laju produksi
biogas dalam kondisi batch terutama bergantung pada pertumbuhan bakteri
metanogenik yang menghasilkan metana (Nopharatana et al., 2007). Pada
penelitian kami telah tercapai fase kematian. Fase pertumbuhan mikroba
dapat dilihat digambar 4.2.
50
5000
3000
2000
1000
0
0 10 20 30 40 50 60
Waktu (hari ke-)
Gambar 4.5. Hubungan Waktu dan Volume Biogas Kumulatif pada Rasio
C/N 22
Pada Gambar 4.5. ditunjukkan hubungan antara lama waktu dengan
volume kumulatif produksi biogas selama 60 hari pada rasio C/N 22 dan
berbagai variabel %TS yaitu 3, 7, 11 dan 15 % TS. Pada kondisi rasio C/N 22
variabel LS-AD dengan 3%TS didapatkan volume total produksi biogas
selama 60 hari mencapai 2.286 ml. Pada kondisi rasio C/N 22 variabel LS-
AD dengan 7%TS didapatkan volume total produksi biogas selama 60 hari
mencapai 2.991 ml. Pada kondisi rasio C/N 22 variabel LS-AD dengan
11%TS didapatkan volume total produksi biogas selama 60 hari mencapai
3.520 ml. Pada kondisi rasio C/N 22 variabel LS-AD dengan 15%TS
didapatkan volume total produksi biogas selama 60 hari mencapai 4.300 ml.
Produksi biogas tertinggi dihasilkan oleh limbah padat jamu dan rumen
sapi pada kondisi liquid state 15% TS, yaitu sebesar 4.300 ml. Produksi
optimum terjadi pada kondisi biodigester liquid state (15% TS) dibandingkan
dengan kondisi lain liquid state 3%TS, 7%TS dan 11%TS. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan meningkatnya TS, laju hidrolisis menjadi lebih
lambat karena peningkatan tekanan organic (Abid et al., 2021). Namun,
pencernaan anaerobik memiliki keterbatasan mengenai substrat padat. Laju
degradasinya dibatasi oleh langkah hidrolisis, yang merupakan langkah yang
sangat lambat ketika berhadapan dengan substrat padat. Dalam proses ini,
bahan organik kompleks (protein, lipid, karbohidrat) menjadi bahan terlarut
51
sederhana (asam amino, gula, asam lemak) (Cano et al., 2014). Untuk
mempercepat langkah hidrolisis, pretreatment hidrolisis termal (TH) adalah
salah satu teknik yang paling efisien, yang mengarah ke solubilisasi tinggi,
pengurangan patogen, dewaterability yang baik dan peningkatan produksi
biogas. Selain itu, input energi yang dibutuhkan untuk proses hidrolisis adalah
energi termal dan dapat dipenuhi dari produksi energi dari proses itu sendiri,
sehingga menghasilkan proses yang mandiri secara energi (Perez-Elvira et al.,
2008).
Pada penelitian didapatkan bahwa variabel dengan 15% TS kondisi
Liquid State menghasilkan volume biogas yang lebih besar. Hal ini
disebabkan keberadaan lebih banyak air mendorong terjadinya reaksi
hidrolisis pada interaksi timbal balik dan sintrofik dari konsorsium
mikroorganisme untuk memecah bahan organik kompleks menjadi monomer
terlarut seperti asam amino, asam lemak, gula sederhana, dan gliserol. yang
untuk dikonsumsi oleh mikroorganisme penghasil metana seuai dengan
reaksi berikut (Anukam et al., 2019).
Mikroorganisme Mikroorganisme
Asidogen Metanogen
VFA CH4 + CO2
VS
Selain itu, keberadaan air juga mengencerkan sistem reaksi sehingga
tidak terjadi lonjakan VFA yang akan bersifat self-inhibitor terhadap
mikroorganisme anaerob (Angelin & Fatimah, 2017).
4.1.3 Pengaruh besar Total Solid terhadap Volume Biogas yang dihasilkan
pada Rasio C/N 24
Pada gambar 4.6 dan gambar 4.7 dapat dilihat perbandingan jumlah
produksi biogas dari limbah padat jamu dengan rumen sapi pada rasio C/N
24 dengan berbagai perbedaan kondisi biodigester.
52
500
3%TS 7%TS
11%TS 15%TS
300
200
100
0
0 10 20 30 40 50 60
Waktu (hari ke-)
Gambar 4.6. Hubungan Waktu dan Volume Biogas per-Hari pada Rasio
C/N 24
Gambar 4.6 menunjukkan laju produksi biogas harian limbah padat
jamu dan rumen sapi pada berbagai nilai %Total Solid, untuk variabel Liquid
State Fermentation (LS-AD) diwakili dengan data variabel 3, 7, 11, dan 15
%,TS dengan rasio C/N 24.
Pada kondisi rasio C/N 24 variabel LS-AD dengan 3%TS didapatkan
fase belum terbentuknya gas dari hari ke-0 hingga hari ke-2, selanjutnya
produksi biogas mengalami kenaikan pesat pada hari ke-22 dan mengalami
fase stasioner setelahnya hingga hari ke-32, pada hari ke-33 sampai hari ke-
55 menuju fase kematian kemudian pada hari ke-56 sampai hari ke-60 sudah
tidak terjadi lagi proses produksi biogas yang ditandai dengan volume biogas
pada hari tersebut sebesar 0 mL. Pada kondisi rasio C/N 24 variabel LS-AD
dengan 7%TS didapatkan fase belum terbentuknya gas dari hari ke-0 hingga
hari ke-2, selanjutnya produksi biogas mengalami kenaikan pesat pada hari
ke-24 dan mengalami fase stasioner setelahnya hingga hari ke-32, pada hari
ke-33 sampai hari ke-55 menuju fase kematian kemudian pada hari ke-56
sampai hari ke-60 sudah tidak terjadi lagi proses produksi biogas yang
ditandai dengan volume biogas pada hari tersebut sebesar 0 mL. Pada kondisi
rasio C/N 24 variabel LS-AD dengan 11%TS didapatkan fase belum
terbentuknya gas dari hari ke-0 hingga hari ke-2, selanjutnya produksi biogas
mengalami kenaikan pesat pada hari ke-24 dan mengalami fase stasioner
53
setelahnya hingga hari ke-32, pada hari ke-33 sampai hari ke-55 menuju fase
kematian kemudian pada hari ke-56 sampai hari ke-60 sudah tidak terjadi lagi
proses produksi biogas yang ditandai dengan volume biogas pada hari
tersebut sebesar 0 mL. Pada kondisi rasio C/N 24 variabel LS-AD dengan
15%TS didapatkan fase belum terbentuknya gas dari hari ke-0 hingga hari ke-
2, selanjutnya produksi biogas mengalami kenaikan pesat pada hari ke-20 dan
mengalami fase stasioner setelahnya hingga hari ke-32, pada hari ke-33
sampai hari ke-55 menuju fase kematian kemudian pada hari ke-56 sampai
hari ke-60 sudah tidak terjadi lagi proses produksi biogas yang ditandai
dengan volume biogas pada hari tersebut sebesar 0 mL. Produksi biogas
harian tertinggi terdapat pada variabel 15%TS yaitu metode Liquid State
dengan volume gas mencapai 470 ml pada hari ke 24.
Pada fase awal menunjukkan bahwa belum ada produksi biogas selama
2 hari awal hal ini dikarenakan pada saat awal produksi biogas, mikroba
masih mengalami penyesuaian terhadap substrat/medium baru sehingga
masih belum ada produksi biogas. Produksi biogas lambat pada awal dan
akhir pengamatan percobaan. Produksi biogas umumnya lambat dalam
beberapa hari pertama percobaan karena fase lag pertumbuhan mikroba di
mana metanogen (komunitas mikroba) menjadi media di dalam digester
(Imologie et al.,2017). Fase lag ini disertai dengan fase stasioner di mana
komunitas mikroba minimum dan kemudian pertumbuhan eksponensial.
Pertumbuhan terlihat, tetapi sel-sel hidup dipertahankan. Laju produksi
biogas dalam kondisi batch terutama bergantung pada pertumbuhan bakteri
metanogenik yang menghasilkan metana (Nopharatana et al., 2007). Pada
penelitian kami telah tercapai fase kematian. Fase pertumbuhan mikroba
dapat dilihat digambar 4.2.
54
5000
3000
2000
1000
0
0 10 20 30 40 50 60
Waktu (hari ke-)
Gambar 4.7. Hubungan Waktu dan Volume Biogas Kumulatif pada Rasio
C/N 24
Pada Gambar 4.7. ditunjukkan hubungan antara lama waktu dengan
volume kumulatif produksi biogas selama 60 hari pada rasio C/N 24 dan
berbagai variabel %TS yaitu 3, 7, 11 dan 15 % TS. Pada kondisi rasio C/N 24
variabel LS-AD dengan 3%TS didapatkan volume total produksi biogas selama
60 hari mencapai 3.428 ml. Pada kondisi rasio C/N 24 variabel LS-AD dengan
7%TS didapatkan volume total produksi biogas selama 60 hari mencapai 3.271
ml. Pada kondisi rasio C/N 24 variabel LS-AD dengan 11%TS didapatkan
volume total produksi biogas selama 60 hari mencapai 3.991 ml. Pada kondisi
rasio C/N 24 variabel LS-AD dengan 15%TS didapatkan volume total produksi
biogas selama 60 hari mencapai 4.557 ml.
Produksi biogas tertinggi dihasilkan oleh limbah padat jamu dan rumen
sapi pada kondisi liquid state 15% TS, yaitu sebesar 4.557 ml. Produksi
optimum terjadi pada kondisi biodigester liquid state (15% TS) dibandingkan
dengan kondisi lain liquid state 3%TS, 7%TS dan 11%TS. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan meningkatnya TS, laju hidrolisis menjadi lebih
lambat karena peningkatan tekanan organik (Abid et al., 2021). Namun,
pencernaan anaerobik memiliki keterbatasan mengenai substrat padat. Laju
degradasinya dibatasi oleh langkah hidrolisis, yang merupakan langkah yang
sangat lambat ketika berhadapan dengan substrat padat. Dalam proses ini,
bahan organik kompleks (protein, lipid, karbohidrat) menjadi bahan terlarut
55
sederhana (asam amino, gula, asam lemak) (Cano et al., 2014). Untuk
mempercepat langkah hidrolisis, pretreatment hidrolisis termal (TH) adalah
salah satu teknik yang paling efisien, yang mengarah ke solubilisasi tinggi,
pengurangan patogen, dewaterability yang baik dan peningkatan produksi
biogas. Selain itu, input energi yang dibutuhkan untuk proses hidrolisis adalah
energi termal dan dapat dipenuhi dari produksi energi dari proses itu sendiri,
sehingga menghasilkan proses yang mandiri secara energi (Perez-Elvira et al.,
2008).
Pada penelitian didapatkan bahwa variabel dengan 15% TS kondisi
Liquid State menghasilkan volume biogas yang lebih besar. Hal ini disebabkan
keberadaan lebih banyak air mendorong terjadinya reaksi hidrolisis pada
interaksi timbal balik dan sintrofik dari konsorsium mikroorganisme untuk
memecah bahan organik kompleks menjadi monomer terlarut seperti asam
amino, asam lemak, gula sederhana, dan gliserol. yang untuk dikonsumsi oleh
mikroorganisme penghasil metana seuai dengan reaksi berikut (Anukam et al.,
2019).
Mikroorganisme Mikroorganisme
Asidogen Metanogen
VS VFA CH4 + CO2
Selain itu, keberadaan air juga mengencerkan sistem reaksi sehingga tidak
terjadi lonjakan VFA yang akan bersifat self-inhibitor terhadap
mikroorganisme anaerob (Angelin & Fatimah, 2017).
4.1.4 Pengaruh besar Total Solid terhadap Volume Biogas yang dihasilkan pada
Rasio C/N 26
Pada gambar 4.8 dan gambar 4.9 dapat dilihat perbandingan jumlah
produksi biogas dari limbah padat jamu dengan rumen sapi pada rasio C/N 26
dengan berbagai perbedaan kondisi biodigester.
56
600
3%TS 7%TS
11%TS 15%TS
500
300
200
100
0
0 10 20 30 40 50 60
Waktu (hari ke-)
Gambar 4.8. Hubungan Waktu dan Volume Biogas per-Hari pada Rasio C/N
26
Gambar 4.8 menunjukkan laju produksi biogas harian limbah padat jamu
dan rumen sapi pada berbagai nilai %Total Solid, untuk variabel Liquid State
Fermentation (LS-AD) diwakili dengan data variabel 3, 7, 11, dan 15 %,TS
dengan rasio C/N 26.
Pada kondisi rasio C/N 26 variabel LS-AD dengan 3%TS didapatkan fase
belum terbentuknya gas dari hari ke-0 hingga hari ke-2, selanjutnya produksi
biogas mengalami kenaikan pesat pada hari ke-18 dan mengalami fase
stasioner setelahnya hingga hari ke-32, pada hari ke-33 sampai hari ke-55
menuju fase kematian kemudian pada hari ke-56 sampai hari ke-60 sudah tidak
terjadi lagi proses produksi biogas yang ditandai dengan volume biogas pada
hari tersebut sebesar 0 mL. Pada kondisi rasio C/N 26 variabel LS-AD dengan
7%TS didapatkan fase belum terbentuknya gas dari hari ke-0 hingga hari ke-2,
selanjutnya produksi biogas mengalami kenaikan pesat pada hari ke-24 dan
mengalami fase stasioner setelahnya hingga hari ke-32, pada hari ke-33 sampai
hari ke-55 menuju fase kematian kemudian pada hari ke-56 sampai hari ke-60
sudah tidak terjadi lagi proses produksi biogas yang ditandai dengan volume
biogas pada hari tersebut sebesar 0 mL. Pada kondisi rasio C/N 26 variabel LS-
AD dengan 11%TS didapatkan fase belum terbentuknya gas dari hari ke-0
hingga hari ke-2, selanjutnya produksi biogas mengalami kenaikan pesat pada
57
hari ke-16 dan mengalami fase stasioner setelahnya hingga hari ke-32, pada
hari ke-33 sampai hari ke-55 menuju fase kematian kemudian pada hari ke-56
sampai hari ke-60 sudah tidak terjadi lagi proses produksi biogas yang ditandai
dengan volume biogas pada hari tersebut sebesar 0 mL. Pada kondisi rasio C/N
26 variabel LS-AD dengan 15%TS didapatkan fase belum terbentuknya gas
dari hari ke-0 hingga hari ke-2, selanjutnya produksi biogas mengalami
kenaikan pesat pada hari ke-20 dan mengalami fase stasioner setelahnya
hingga hari ke-32, pada hari ke-33 sampai hari ke-55 menuju fase kematian
kemudian pada hari ke-56 sampai hari ke-60 sudah tidak terjadi lagi proses
produksi biogas yang ditandai dengan volume biogas pada hari tersebut sebesar
0 mL. Produksi biogas harian tertinggi terdapat pada variabel 15%TS yaitu
metode Liquid State dengan volume gas mencapai 500 ml pada hari ke 24.
Pada fase awal menunjukkan bahwa belum ada produksi biogas selama
2 hari awal hal ini dikarenakan pada saat awal produksi biogas, mikroba masih
mengalami penyesuaian terhadap substrat/medium baru sehingga masih belum
ada produksi biogas. Produksi biogas lambat pada awal dan akhir pengamatan
percobaan. Produksi biogas umumnya lambat dalam beberapa hari pertama
percobaan karena fase lag pertumbuhan mikroba di mana metanogen
(komunitas mikroba) menjadi media di dalam digester (Imologie et al.,2017).
Fase lag ini disertai dengan fase stasioner di mana komunitas mikroba
minimum dan kemudian pertumbuhan eksponensial. Pertumbuhan terlihat,
tetapi sel-sel hidup dipertahankan. Laju produksi biogas dalam kondisi batch
terutama bergantung pada pertumbuhan bakteri metanogenik yang
menghasilkan metana (Nopharatanaetal., 2007). Pada penelitian kami telah
tercapai fase kematian. Fase pertumbuhan mikroba dapat dilihat digambar 4.2.
58
6000
Gambar 4.9. Hubungan Waktu dan Volume Biogas Kumulatif pada Rasio
C/N 26
Pada Gambar 4.9. ditunjukkan hubungan antara lama waktu dengan
volume kumulatif produksi biogas selama 60 hari pada rasio C/N 26 dan
berbagai variabel %TS yaitu 3, 7, 11 dan 15 % TS. Pada kondisi rasio C/N 26
variabel LS-AD dengan 3%TS didapatkan volume total produksi biogas selama
60 hari mencapai 3.655 ml. Pada kondisi rasio C/N 26 variabel LS-AD dengan
7%TS didapatkan volume total produksi biogas selama 60 hari mencapai 3.491
ml. Pada kondisi rasio C/N 26 variabel LS-AD dengan 11%TS didapatkan
volume total produksi biogas selama 60 hari mencapai 3.984 ml. Pada kondisi
rasio C/N 26 variabel LS-AD dengan 15%TS didapatkan volume total produksi
biogas selama 60 hari mencapai 4.844 ml.
Produksi biogas tertinggi dihasilkan oleh limbah padat jamu dan rumen
sapi pada kondisi liquid state 15% TS, yaitu sebesar 4.844 ml. Produksi
optimum terjadi pada kondisi biodigester liquid state (15% TS) dibandingkan
dengan kondisi lain liquid state 3%TS, 7%TS dan 15%TS. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan meningkatnya TS, laju hidrolisis menjadi lebih
lambat karena peningkatan tekanan organik (Abid et al., 2021). Namun,
pencernaan anaerobik memiliki keterbatasan mengenai substrat padat. Laju
degradasinya dibatasi oleh langkah hidrolisis, yang merupakan langkah yang
sangat lambat ketika berhadapan dengan substrat padat. Dalam proses ini,
bahan organik kompleks (protein, lipid, karbohidrat) menjadi bahan terlarut
sederhana (asam amino, gula, asam lemak) (Cano et al., 2014). Untuk
59
mempercepat langkah hidrolisis, pretreatment hidrolisis termal (TH) adalah
salah satu teknik yang paling efisien, yang mengarah ke solubilisasi tinggi,
pengurangan patogen, dewaterability yang baik dan peningkatan produksi
biogas. Selain itu, input energi yang dibutuhkan untuk proses hidrolisis adalah
energi termal dan dapat dipenuhi dari produksi energi dari proses itu sendiri,
sehingga menghasilkan proses yang mandiri secara energi (Perez-Elvira et al.,
2008).
Pada penelitian didapatkan bahwa variabel dengan 15% TS kondisi
Liquid State menghasilkan volume biogas yang lebih besar. Hal ini disebabkan
keberadaan lebih banyak air mendorong terjadinya reaksi hidrolisis pada
interaksi timbal balik dan sintrofik dari konsorsium mikroorganisme untuk
memecah bahan organik kompleks menjadi monomer terlarut seperti asam
amino, asam lemak, gula sederhana, dan gliserol. yang untuk dikonsumsi oleh
mikroorganisme penghasil metana seuai dengan reaksi berikut (Anukam et al.,
2019).
Mikroorganisme Mikroorganisme
Asidogen Metanogen
VS VFA CH4 + CO2
Selain itu, keberadaan air juga mengencerkan sistem reaksi sehingga tidak
terjadi lonjakan VFA yang akan bersifat self-inhibitor terhadap
mikroorganisme anaerob (Angelin & Fatimah, 2017).
4.2 Pengaruh besar Total Solid terhadap Kadar CODMn dalam Slurry
4.2.1 Pengaruh besar Total Solid terhadap Kadar CODMn dalam Slurry
pada rasio C/N 20
Pada Gambar 4.10 disajikan sebuah grafik batang dimana menyatakan
nilai COD masing masing variabel Total Solid 3, 7, 11 dan 15% TS pada rasio
C/N 20.
60
1800
COD Awal
1600
COD Akhir
1400
COD (PPM) 1200
1000
800
600
400
200
0
TS 3% TS 7% TS 11% TS 15%
Variabel
Gambar 4.10. Hubungan Waktu dan Kadar CODMn Slurry pada Rasio C/N
20
Dapat dilihat pada Gambar 4.10 yang menyatakan selisih nilai antara
COD mula-mula dan setelah 60 hari pengamatan. Pada variabel Liquid State
(LS-AD) 3% TS didapatkan selisih COD mula-mula dikurangi COD akhir
sebesar 484,92 ppm. Pada variabel Liquid State (LS-AD) 7% TS didapatkan
selisih COD mula-mula dikurangi COD akhir sebesar 530,78 ppm. Pada
variabel Liquid State (LS-AD) 11% TS didapatkan selisih COD mula-mula
dikurangi COD akhir sebesar 735,02 ppm. Pada variabel Liquid State (LS-
AD) 15% TS didapatkan selisih COD mula-mula dikurangi COD akhir
sebesar 1.232,82 ppm.
COD adalah ukuran kualitas air yang digunakan tidak hanya untuk
menentukan jumlah zat aktif biologis seperti bakteri tetapi juga bahan organik
yang tidak aktif secara biologis dalam air (Khan, 2018). Chemical Oxygen
Demand (COD) adalah ukuran oksigen yang dikonsumsi selama oksidasi
bahan organik yang dapat dioksidasi dengan adanya zat pengoksidasi kuat.
Hal ini umumnya digunakan untuk secara tidak langsung menentukan jumlah
senyawa organik dalam sistem perairan. COD tinggi menunjukkan adanya
semua bentuk bahan organik, baik biodegradable dan nonbiodegradable dan
karenanya tingkat pencemaran di perairan (Shameem et al., 2019)
61
Pada penelitian didapatkan selisih nilai COD yang paling besar pada
rasio C/N 20 adalah variabel 15%TS. Berdasarkan data dapat dilihat bahwa
nilai COD removal (persentase selisih COD awal dengan COD akhir) variabel
Total Solid 15% TS sebesar 1.232,82 ppm sedangkan pada pada kondisi
Liquid State (LS-AD) 3% TS sebesar 484,92 ppm, kondisi kondisi Liquid
State (LS-AD) 7% TS sebesar 530,78 ppm, kondisi kondisi Liquid State (LS-
AD) 11% TS sebesar 735,02 ppm. Dari data ini dapat dikatakan bahwa selama
proses fermentasi nilai COD pada setiap variabel %TS mengalami penurunan.
Besarnya nilai COD removal pada variabel Liquid Ste (LS-AD) 15%TS ini
menunjukkan jumlah senyawa organik yang mampu teroksidasi secara
kimiawi pada variabel ini lebih tinggi dari variabel %TS lainnya pada rasio
C/N 20. Menurut Park et al. (2005), pengurangan COD sangat meningkat
dengan proses hidrolisis. Pada tahap tersebut, bahan organik dimanfaatkan
oleh mikroorganime sebagai nutrisi dan mengubahnya ke dalam bentuk
senyawa yang lebih sederhana.
4.2.2 Pengaruh besar Total Solid terhadap Kadar CODMn dalam Slurry pada
rasio C/N 22
Pada Gambar 4.11 disajikan sebuah grafik batang dimana menyatakan
nilai COD masing masing variabel Total Solid 3, 7, 11 dan 15% TS pada rasio
C/N 22.
1800
1600 COD Awal
1400 COD Akhir
COD (PPM)
1200
1000
800
600
400
200
0
TS 3% TS 7% TS 11% TS 15%
Variabel
Gambar 4.11Hubungan Waktu dan Kadar CODMn Slurry pada Rasio C/N
22
62
Dapat dilihat pada Gambar 4.11 yang menyatakan selisih nilai antara
COD mula-mula dan setelah 60 hari pengamatan. Pada variabel Liquid State
(LS-AD) 3% TS didapatkan selisih COD mula-mula dikurangi COD akhir
sebesar 550,15 ppm. Pada variabel Liquid State (LS-AD) 7% TS didapatkan
selisih COD mula-mula dikurangi COD akhir sebesar 571,76 ppm. Pada
variabel Liquid State (LS-AD) 11% TS didapatkan selisih COD mula-mula
dikurangi COD akhir sebesar 775,67 ppm. Pada variabel Liquid State (LS-
AD) 15% TS didapatkan selisih COD mula-mula dikurangi COD akhir
sebesar 1.265,47 ppm.
COD adalah ukuran kualitas air yang digunakan tidak hanya untuk
menentukan jumlah zat aktif biologis seperti bakteri tetapi juga bahan organik
yang tidak aktif secara biologis dalam air (Khan, 2018). Chemical Oxygen
Demand (COD) adalah ukuran oksigen yang dikonsumsi selama oksidasi
bahan organik yang dapat dioksidasi dengan adanya zat pengoksidasi kuat.
Hal ini umumnya digunakan untuk secara tidak langsung menentukan jumlah
senyawa organik dalam sistem perairan. COD tinggi menunjukkan adanya
semua bentuk bahan organik, baik biodegradable dan nonbiodegradable dan
karenanya tingkat pencemaran di perairan (Shameem et al., 2019)
Pada penelitian didapatkan selisih nilai COD yang paling besar pada
rasio C/N 22 adalah variabel 15%TS. Berdasarkan data dapat dilihat bahwa
nilai COD removal (persentase selisih COD awal dengan COD akhir) variabel
Total Solid 15% TS sebesar 1.265,47 ppm sedangkan pada pada kondisi
Liquid State (LS-AD) 3% TS sebesar 550,15 ppm, kondisi kondisi Liquid
State (LS-AD) 7% TS sebesar 571,76 ppm, kondisi kondisi Liquid State (LS-
AD) 11% TS sebesar 775,67 ppm. Dari data ini dapat dikatakan bahwa selama
proses fermentasi nilai COD pada setiap variabel %TS mengalami penurunan.
Besarnya nilai COD removal pada variabel Liquid Ste (LS-AD) 15%TS ini
menunjukkan jumlah senyawa organik yang mampu teroksidasi secara
kimiawi pada variabel ini lebih tinggi dari variabel %TS lainnya pada rasio
C/N 22. Menurut Park et al. (2005), pengurangan COD sangat meningkat
dengan proses hidrolisis. Pada tahap tersebut, bahan organik dimanfaatkan
63
oleh mikroorganime sebagai nutrisi dan mengubahnya ke dalam bentuk
senyawa yang lebih sederhana.
4.2.3 Pengaruh besar Total Solid terhadap Kadar CODMn dalam Slurry pada
rasio C/N 24
Pada Gambar 4.12 disajikan sebuah grafik batang dimana menyatakan
nilai COD masing masing variabel Total Solid 3, 7, 11 dan 15% TS pada rasio
C/N 24.
2000
1800 COD Awal
COD Akhir
1600
1400
COD (PPM)
1200
1000
800
600
400
200
0
TS 3% TS 7% TS 11% TS 15%
Variabel
Gambar 4.12 Hubungan Waktu dan Volume Kadar CODMn Slurry pada
Rasio C/N 24
Dapat dilihat pada Gambar 4.12 yang menyatakan selisih nilai antara
COD mula-mula dan setelah 60 hari pengamatan. Pada variabel Liquid State
(LS-AD) 3% TS didapatkan selisih COD mula-mula dikurangi COD akhir
sebesar 582,77 ppm. Pada variabel Liquid State (LS-AD) 7% TS didapatkan
selisih COD mula-mula dikurangi COD akhir sebesar 857,96 ppm. Pada
variabel Liquid State (LS-AD) 11% TS didapatkan selisih COD mula-mula
dikurangi COD akhir sebesar 1.012,90 ppm. Pada variabel Liquid State (LS-
AD) 15% TS didapatkan selisih COD mula-mula dikurangi COD akhir
sebesar 1.314,45 ppm.
COD adalah ukuran kualitas air yang digunakan tidak hanya untuk
menentukan jumlah zat aktif biologis seperti bakteri tetapi juga bahan organik
64
yang tidak aktif secara biologis dalam air (Khan, 2018). Chemical Oxygen
Demand (COD) adalah ukuran oksigen yang dikonsumsi selama oksidasi
bahan organik yang dapat dioksidasi dengan adanya zat pengoksidasi kuat.
Hal ini umumnya digunakan untuk secara tidak langsung menentukan jumlah
senyawa organik dalam sistem perairan. COD tinggi menunjukkan adanya
semua bentuk bahan organik, baik biodegradable dan nonbiodegradable dan
karenanya tingkat pencemaran di perairan (Shameem et al., 2019)
Pada penelitian didapatkan selisih nilai COD yang paling besar pada
rasio C/N 24 adalah variabel 15%TS. Berdasarkan data dapat dilihat bahwa
nilai COD removal (persentase selisih COD awal dengan COD akhir) variabel
Total Solid 15% TS sebesar 1.314,45 ppm sedangkan pada pada kondisi
Liquid State (LS-AD) 3% TS sebesar 582,77 ppm, kondisi Liquid State (LS-
AD) 7% TS sebesar 857,96 ppm dan kondisi Liquid State (LS-AD) 11% TS
sebesar 1.012,90 ppm. Dari data ini dapat dikatakan bahwa selama proses
fermentasi nilai COD pada setiap variabel %TS mengalami penurunan.
Besarnya nilai COD removal pada variabel Liquid Ste (LS-AD) 15%TS ini
menunjukkan jumlah senyawa organik yang mampu teroksidasi secara
kimiawi pada variabel ini lebih tinggi dari variabel %TS lainnya pada rasio
C/N 24. Menurut Park et al. (2005), pengurangan COD sangat meningkat
dengan proses hidrolisis. Pada tahap tersebut, bahan organik dimanfaatkan
oleh mikroorganime sebagai nutrisi dan mengubahnya ke dalam bentuk
senyawa yang lebih sederhana.
4.2.4 Pengaruh besar Total Solid terhadap Kadar CODMn dalam Slurry pada
rasio C/N 26
Pada Gambar 4.13 disajikan sebuah grafik batang dimana menyatakan
nilai COD masing masing variabel Total Solid 3, 7, 11 dan 15% TS pada rasio
C/N 26.
65
2000
1800 COD Awal
1600 COD Akhir
1400
COD (PPM)
1200
1000
800
600
400
200
0
TS 3% TS 7% TS 11% TS 15%
Variabel
Gambar 4.12 Hubungan Waktu dan Volume Kadar CODMn Slurry pada
Rasio C/N 26
Dapat dilihat pada Gambar 4.13 yang menyatakan selisih nilai antara
COD mula-mula dan setelah 60 hari pengamatan. Pada variabel Liquid State
(LS-AD) 3% TS didapatkan selisih COD mula-mula dikurangi COD akhir
sebesar 619,69 ppm. Pada variabel Liquid State (LS-AD) 7% TS didapatkan
selisih COD mula-mula dikurangi COD akhir sebesar 898,94 ppm. Pada
variabel Liquid State (LS-AD) 11% TS didapatkan selisih COD mula-mula
dikurangi COD akhir sebesar 1.151,18 ppm. Pada variabel Liquid State (LS-
AD) 15% TS didapatkan selisih COD mula-mula dikurangi COD akhir
sebesar 1.363,43 ppm.
COD adalah ukuran kualitas air yang digunakan tidak hanya untuk
menentukan jumlah zat aktif biologis seperti bakteri tetapi juga bahan organik
yang tidak aktif secara biologis dalam air (Khan, 2018). Chemical Oxygen
Demand (COD) adalah ukuran oksigen yang dikonsumsi selama oksidasi
bahan organik yang dapat dioksidasi dengan adanya zat pengoksidasi kuat.
Hal ini umumnya digunakan untuk secara tidak langsung menentukan jumlah
senyawa organik dalam sistem perairan. COD tinggi menunjukkan adanya
semua bentuk bahan organik, baik biodegradable dan nonbiodegradable dan
karenanya tingkat pencemaran di perairan (Shameem et al., 2019)
66
Pada penelitian didapatkan selisih nilai COD yang paling besar pada
rasio C/N 26 adalah variabel 15%TS. Berdasarkan data dapat dilihat bahwa
nilai COD removal (persentase selisih COD awal dengan COD akhir) variabel
Total Solid 15% TS sebesar 1.363,43 ppm sedangkan pada pada kondisi
Liquid State (LS-AD) 3% TS sebesar 619,69 ppm, kondisi Liquid State (LS-
AD) 7% TS sebesar 898,94 ppm dan kondisi Liquid State (LS-AD) 11% TS
sebesar 1.151,18 ppm. Dari data ini dapat dikatakan bahwa selama proses
fermentasi nilai COD pada setiap variabel %TS mengalami penurunan.
Besarnya nilai COD removal pada variabel Liquid Ste (LS-AD) 15%TS ini
menunjukkan jumlah senyawa organik yang mampu teroksidasi secara
kimiawi pada variabel ini lebih tinggi dari variabel %TS lainnya pada rasio
C/N 26. Menurut Park et al. (2005), pengurangan COD sangat meningkat
dengan proses hidrolisis. Pada tahap tersebut, bahan organik dimanfaatkan
oleh mikroorganime sebagai nutrisi dan mengubahnya ke dalam bentuk
senyawa yang lebih sederhana.
67
Pada gambar 4.14 dan gambar 4.15 dapat dilihat perbandingan
jumlah produksi biogas dari limbah Ampas Jamu dengan Rumen Sapi
pada berbagai perbedaan rasio C/N.
500
C/N 20 C/N 22
C/N 24 C/N 26
400
Volume biogas (mL)
300
200
100
0
0 10 20 30 40 50 60
Hari
68
kemudian volumenya cenderung konstan dimana hanya terjadi sedikit
penurunan sampai hari ke-32 kemudian mengalami penurunan hingga
hari ke-54 dimana diproduksi biogas sebesar 9 mL, kemudian pada hari
ke-56 sampai hari ke-60 sudah tidak terjadi lagi proses produksi biogas
yang ditandai dengan volume biogas pada hari tersebut sebesar 0 mL.
Pada kondisi kondisi 3% total solid dengan rasio C/N 24 baru terbentuk
biogas pada hari ke-4 sebesar 20 mL, selanjutnya produksi biogas
mengalami kenaikan sampai mencapai puncaknya pada hari ke-24 yakni
dihasilkan biogas sebesar 460 mL, kemudian volumenya cenderung
konstan dimana hanya terjadi sedikit penurunan sampai hari ke-28
kemudian mengalami penurunan hingga hari ke-54 dimana diproduksi
biogas sebesar 10 mL, kemudian pada hari ke-56 sampai hari ke-60 sudah
tidak terjadi lagi proses produksi biogas yang ditandai dengan volume
biogas pada hari tersebut sebesar 0 mL. Pada kondisi 3% total solid
dengan rasio C/N 26 baru terbentuk biogas pada hari ke-4 sebesar 25 mL,
selanjutnya produksi biogas mengalami kenaikan sampai mencapai
puncaknya pada hari ke-22 yakni dihasilkan biogas sebesar 460 mL,
kemudian volumenya cenderung konstan dimana hanya terjadi sedikit
penurunan sampai hari ke-28 kemudian mengalami penurunan hingga
hari ke-54 dimana diproduksi biogas sebesar 14 mL, kemudian pada hari
ke-56 sampai hari ke-60 sudah tidak terjadi lagi proses produksi biogas
yang ditandai dengan volume biogas pada hari tersebut sebesar 0 mL.
Produksi biogas harian tertinggi terdapat volume biogas 3% TS dengan
rasio C/N 26 pada hari ke-22 dan C/N 24 pada hari ke-24, yaitu sebesar
460 mL.
69
4000
C/N 20 C/N 22
3500 C/N 24 C/N 26
70
proses metabolisme mikroorganisme (Teghammar, 2013). Sehingga
semakin kecil rasio C/N maka jumlah nitrogennya tidak dapat di
asimilasi yang akan hilang melalui volatilisasi sebagai amoniak
(terdenitrifikasi). Amoniak ini akan menjadi racun bagi bakteri sehingga
menyebabkan bakteri mati dan fase kematiannya lebih cepat dan biogas
yang dihasilkan pun akan semakin sedikit. Sejalan dengan itu, produksi
biogas paling optimum pada penelitian ini untuk kondisi 3% total solid
didapatkan pada rasio C/N sebesar 26 yakni sebesar 3.655 mL.
4.3.2. Pengaruh rasio C/N terhadap volume Biogas yang dihasilkan pada
Kondisi 7% TS
Pada gambar 4.16 dan gambar 4.17 dapat dilihat perbandingan
jumlah produksi biogas dari limbah jamu dengan rumen sapi pada
berbagai perbedaan rasio C/N.
500
C/N 20 C/N 22
450
C/N 24 C/N 26
400
Volume biogas (mL)
350
300
250
200
150
100
50
0
0 10 20 30 40 50 60
Hari
71
mengalami kenaikan sampai mencapai puncaknya pada hari ke-26
dimana dihasilkan biogas sebesar 455 mL kemudian volumenya
cenderung konstan dimana hanya terjadi sedikit penurunan sampai hari
ke-28, kemudian mengalami penurunan hingga hari ke-54 dimana
diproduksi biogas sebesar 4 mL, kemudian pada hari ke-56 sampai hari
ke-60 sudah tidak terjadi lagi proses produksi biogas yang ditandai
dengan volume biogas pada hari tersebut sebesar 0 mL. Pada kondisi 7%
total solid dengan rasio C/N 22 biogas baru terbentuk pada hari ke-4
sebesar 24 mL, selanjutnya produksi biogas mengalami kenaikan sampai
mencapai puncaknya pada hari ke-26 yakni dihasilkan biogas sebesar
450 mL, kemudian volumenya cenderung konstan dimana hanya terjadi
sedikit penurunan sampai hari ke-32, setelah itu mengalami penurunan
hingga hari ke-54 dimana diproduksi biogas sebesar 10 mL, kemudian
pada hari ke-56 sampai hari ke-60 sudah tidak terjadi lagi proses produksi
biogas yang ditandai dengan volume biogas pada hari tersebut sebesar 0
mL. Pada kondisi kondisi 7% total solid dengan rasio C/N 24 baru
terbentuk biogas pada hari ke-4 sebesar 29 mL, selanjutnya produksi
biogas mengalami kenaikan sampai mencapai puncaknya pada hari ke-
26 yakni dihasilkan biogas sebesar 450 mL, kemudian volumenya
cenderung konstan dimana hanya terjadi sedikit penurunan sampai hari
ke-28 kemudian mengalami penurunan hingga hari ke-54 dimana
diproduksi biogas sebesar 11 mL, kemudian pada hari ke-56 sampai hari
ke-60 sudah tidak terjadi lagi proses produksi biogas yang ditandai
dengan volume biogas pada hari tersebut sebesar 0 mL. Pada kondisi 7%
total solid dengan rasio C/N 26 baru terbentuk biogas pada hari ke-4
sebesar 37 mL, selanjutnya produksi biogas mengalami kenaikan sampai
mencapai puncaknya pada hari ke-26 yakni dihasilkan biogas sebesar
440 mL, kemudian volumenya cenderung konstan dimana hanya terjadi
sedikit penurunan sampai hari ke-28 kemudian mengalami penurunan
hingga hari ke-54 dimana diproduksi biogas sebesar 14 mL, kemudian
pada hari ke-56 sampai hari ke-60 sudah tidak terjadi lagi proses produksi
biogas yang ditandai dengan volume biogas pada hari tersebut sebesar 0
72
mL. Produksi biogas harian tertinggi terdapat volume biogas 7% TS
dengan rasio C/N 20 pada hari ke-26 yaitu sebesar 455 mL.
4000
C/N 20 C/N 22
73
dan akan menghambat produksi metana dan jika terlalu tinggi maka
bakteri pengurai akan kekurangan unsur nitrogen yang akan digunakan
untuk proses metabolisme mikroorganisme (Teghammar, 2013).
Sehingga semakin kecil rasio C/N maka jumlah nitrogennya tidak dapat
di asimilasi yang akan hilang melalui volatilisasi sebagai amoniak
(terdenitrifikasi). Amoniak merupakan nutrient yang penting bagi
mikroorganisme, tetapi dapat menjadi toksik bagi mikroorganisme
metanogen jika terdapat dalam konsentrasi yang tinggi (Derilus, 2014 ;
Calli B, et al., 2015 ). Sejalan dengan itu, produksi biogas paling
optimum pada penelitian ini untuk kondisi 7% total solid didapatkan
pada rasio C/N sebesar 26 yakni sebesar 3.491 mL.
4.3.3. Pengaruh rasio C/N terhadap volume Biogas yang dihasilkan pada
Kondisi 11% TS
Pada gambar 4.18 dan gambar 4.19 dapat dilihat perbandingan
jumlah produksi biogas dari limbah ampas jamu dengan rumen sapi pada
berbagai perbedaan rasio C/N
500
C/N 20 C/N 22
450
C/N 24 C/N 26
400
Volume biogas (mL)
350
300
250
200
150
100
50
0
0 10 20 30 40 50 60
Hari
74
sebesar 11%. Untuk variabel C/N yang digunakan adalah C/N 20, C/N
22, C/N 24 dan C/N 26.
Pada kondisi 11% total solid dengan rasio C/N 20 biogas baru
terbentuk pada hari ke-4 sebesar 21 mL, selanjutnya produksi biogas
mengalami kenaikan sampai mencapai puncaknya pada hari ke-22
dimana dihasilkan biogas sebesar 470 mL kemudian volumenya
cenderung konstan dimana hanya terjadi sedikit penurunan sampai hari
ke-26, setelah itu mengalami penurunan hingga hari ke-54 dimana
diproduksi biogas sebesar 13 mL, kemudian pada hari ke-56 sampai hari
ke-60 sudah tidak terjadi lagi proses produksi biogas yang ditandai
dengan volume biogas pada hari tersebut sebesar 0 mL. Pada kondisi
11% total solid dengan rasio C/N 22 biogas baru terbentuk pada hari ke-
4 sebesar 28 mL, selanjutnya produksi biogas mengalami kenaikan
sampai mencapai puncaknya pada hari ke-26 yakni dihasilkan biogas
sebesar 440 mL kemudian volumenya cenderung konstan dimana hanya
terjadi sedikit penurunan sampai hari ke-32, kemudian mengalami
penurunan hingga hari ke-54 dimana diproduksi biogas sebesar 15 mL,
kemudian pada hari ke-56 sampai hari ke-60 sudah tidak terjadi lagi
proses produksi biogas yang ditandai dengan volume biogas pada hari
tersebut sebesar 0 mL. Pada kondisi kondisi 11% total solid dengan rasio
C/N 24 baru terbentuk biogas pada hari ke-4 sebesar 30 mL, selanjutnya
produksi biogas mengalami kenaikan sampai mencapai puncaknya pada
hari ke-26 yakni dihasilkan biogas sebesar 460 mL kemudian volumenya
cenderung konstan dimana hanya terjadi sedikit penurunan sampai hari
ke-32, kemudian mengalami penurunan hingga hari ke-54 dimana
diproduksi biogas sebesar 17 mL, kemudian pada hari ke-56 sampai hari
ke-60 sudah tidak terjadi lagi proses produksi biogas yang ditandai
dengan volume biogas pada hari tersebut sebesar 0 mL. Pada kondisi
11% total solid dengan rasio C/N 26 baru terbentuk biogas pada hari ke-
4 sebesar 33 mL, selanjutnya produksi biogas mengalami kenaikan
sampai mencapai puncaknya pada hari ke-26 yakni dihasilkan biogas
sebesar 465 mL kemudian volumenya cenderung konstan dimana hanya
75
terjadi sedikit penurunan sampai hari ke-32 kemudian mengalami
penurunan hingga hari ke-54 dimana diproduksi biogas sebesar 18 mL,
kemudian pada hari ke-56 sampai hari ke-60 sudah tidak terjadi lagi
proses produksi biogas yang ditandai dengan volume biogas pada hari
tersebut sebesar 0 mL. Produksi biogas harian tertinggi terdapat volume
biogas 11% TS dengan rasio C/N 20 pada hari ke-22 yaitu sebesar 470
mL.
4500
Volume Gas Akumulatif (ml)
C/N 20 C/N 22
4000
C/N 24 C/N 26
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
0 10 20 30 40 50 60
Waktu (hari ke-)
76
Rasio C/N berfungsi sebagai makanan sekaligus nutrisi bagi
bakteri, agar pertumbuhan maksimal unsur-unsur nutrisi harus seimbang.
Mikroorganisme perombak dapat beraktivitas secara optimum jika rasio
C/N sebesar 20-30 (Kangle et al., 2012; Teghamar, 2013). Jika nilai rasio
C/N terlalu rendah maka menyebabkan peningkatan produksi amonia dan
akan menghambat produksi metana dan jika terlalu tinggi maka bakteri
pengurai akan kekurangan unsur nitrogen yang akan digunakan untuk
proses metabolisme mikroorganisme (Teghammar, 2013). Sehingga
semakin kecil rasio C/N maka jumlah nitrogennya tidak dapat di
asimilasi yang akan hilang melalui volatilisasi sebagai amoniak
(terdenitrifikasi). Amoniak ini akan menjadi racun bagi bakteri sehingga
menyebabkan bakteri mati dan fase kematiannya lebih cepat dan biogas
yang dihasilkan pun akan semakin sedikit. Sejalan dengan itu, produksi
biogas paling optimum pada penelitian ini untuk kondisi 11% total solid
didapatkan pada rasio C/N sebesar 26 yakni sebesar 3.991 mL.
4.3.4. Pengaruh rasio C/N terhadap volume Biogas yang dihasilkan pada
Kondisi 15% TS
Pada gambar 4.20 dan gambar 4.21 dapat dilihat perbandingan
jumlah produksi biogas dari limbah ampas jamu dengan rumen sapi pada
berbagai perbedaan rasio C/N
550
C/N 20 C/N 22
500
C/N 24 C/N 26
450
Volume biogas (mL)
400
350
300
250
200
150
100
50
0
0 10 20 30 40 50 60
Hari
77
Gambar 4.20 menunjukkan laju produksi biogas harian limbah
ampas jamu dan rumen sapi pada berbagai nilai C/N dan total solid
sebesar 15%. Untuk variabel C/N yang digunakan adalah C/N 20, C/N
22, C/N 24 dan C/N 26.
Pada kondisi 15% total solid dengan rasio C/N 20 biogas baru
terbentuk pada hari ke-4 sebesar 40 mL, selanjutnya produksi biogas
mengalami kenaikan sampai mencapai puncaknya pada hari ke-24
dimana dihasilkan biogas sebesar 485 mL kemudian volumenya
cenderung konstan dimana hanya terjadi sedikit penurunan sampai hari
ke-28 dan setelah itu mengalami penurunan hingga hari ke-54 dimana
diproduksi biogas sebesar 6 mL, kemudian pada hari ke-56 sampai hari
ke-60 sudah tidak terjadi lagi proses produksi biogas yang ditandai
dengan volume biogas pada hari tersebut sebesar 0 mL. Pada kondisi
15% total solid dengan rasio C/N 22 biogas baru terbentuk pada hari ke-
4 sebesar 35 mL, selanjutnya produksi biogas mengalami kenaikan
sampai mencapai puncaknya pada hari ke-24 yakni dihasilkan biogas
sebesar 480 mL kemudian volumenya cenderung konstan dimana hanya
terjadi sedikit penurunan sampai hari ke-28, kemudian mengalami
penurunan hingga hari ke-54 dimana diproduksi biogas sebesar 11 mL,
kemudian pada hari ke-56 sampai hari ke-60 sudah tidak terjadi lagi
proses produksi biogas yang ditandai dengan volume biogas pada hari
tersebut sebesar 0 mL. Pada kondisi kondisi 15% total solid dengan rasio
C/N 24 baru terbentuk biogas pada hari ke-4 sebesar 45 mL, selanjutnya
produksi biogas mengalami kenaikan sampai mencapai puncaknya pada
hari ke-24 yakni dihasilkan biogas sebesar 470 mL kemudian volumenya
cenderung konstan dimana hanya terjadi sedikit penurunan sampai hari
ke-28, kemudian mengalami penurunan hingga hari ke-54 dimana
diproduksi biogas sebesar 13 mL, kemudian pada hari ke-56 sampai hari
ke-60 sudah tidak terjadi lagi proses produksi biogas yang ditandai
dengan volume biogas pada hari tersebut sebesar 0 mL. Pada kondisi
15% total solid dengan rasio C/N 26 baru terbentuk biogas pada hari ke-
4 sebesar 42 mL, selanjutnya produksi biogas mengalami kenaikan
78
sampai mencapai puncaknya pada hari ke-24 yakni dihasilkan biogas
sebesar 500 mL, kemudian volumenya cenderung konstan dimana hanya
terjadi sedikit penurunan sampai hari ke-28, kemudian mengalami
penurunan hingga hari ke-54 dimana diproduksi biogas sebesar 15 mL,
kemudian pada hari ke-56 sampai hari ke-60 sudah tidak terjadi lagi
proses produksi biogas yang ditandai dengan volume biogas pada hari
tersebut sebesar 0 mL. Produksi biogas harian tertinggi terdapat volume
biogas 15% TS dengan rasio C/N 26 pada hari ke-24 yaitu sebesar 500
mL.
6000
C/N 20 C/N 22
Volume Gas Akumulatif (ml)
4000
3000
2000
1000
0
0 10 20 30 40 50 60
Waktu (hari ke-)
79
didapatkan volume total produksi biogas selama 60 hari mencapai 4.844
mL.
Rasio C/N berfungsi sebagai makanan sekaligus nutrisi bagi
bakteri, agar pertumbuhan maksimal unsur-unsur nutrisi harus seimbang.
Mikroorganisme perombak dapat beraktivitas secara optimum jika rasio
C/N sebesar 20-30 (Kangle et al., 2012; Teghamar, 2013). Jika nilai rasio
C/N terlalu rendah maka menyebabkan peningkatan produksi amonia
dan akan menghambat produksi metana dan jika terlalu tinggi maka
bakteri pengurai akan kekurangan unsur nitrogen yang akan digunakan
untuk proses metabolisme mikroorganisme (Teghammar, 2013).
Sehingga semakin kecil rasio C/N maka jumlah nitrogennya tidak dapat
di asimilasi yang akan hilang melalui volatilisasi sebagai amoniak
(terdenitrifikasi). Amoniak merupakan nutrient yang penting bagi
mikroorganisme, tetapi dapat menjadi toksik bagi mikroorganisme
metanogen jika terdapat dalam konsentrasi yang tinggi (Derilus, 2014 ;
Calli B, et al., 2015 ). Sejalan dengan itu, produksi biogas paling
optimum pada penelitian ini untuk kondisi 15% total solid didapatkan
pada rasio C/N sebesar 26 yakni sebesar 4.844 mL.
80
1200
COD Awal
1000 COD Akhir
800
COD (PPM)
600
400
200
0
C/N 20 C/N 22 C/N 24 C/N 26
Variabel
81
484,92 ppm. COD merupakan salah satu parameter terjadinya
pendegradasian selama proses (Putra, et al., 2016). Semakin besar
terjadinya penurunan COD, maka semakin besar pula terjadinya produksi
biogas (Gao, et al., 2018). Begitu juga sebaliknya, semakin kecil
penurunan nilai COD maka semakin kecil pula terjadinya produksi
biogas (Yulistiawati, 2018). Hasil pengamatan COD juga dapat
mengindikasikan bahwa C/N 26 menghasilkan volume total biogas
tertinggi.
4.4.2 Pengaruh rasio C/N terhadap kadar CODMn dalam Slurry pada
Kondisi 7% TS
Pada Gambar 4.23 disajikan sebuah grafik batang dimana
menyatakan nilai COD masing masing variabel C/N adalah 20, 22, 24
dan 26 pada kondisi 7% total solid.
1600
COD Awal
1400
COD Akhir
1200
COD (PPM)
1000
800
600
400
200
0
C/N 20 C/N 22 C/N 24 C/N 26
Variabel
82
Dari data ini dapat dikatakan bahwa selama proses fermentasi nilai
COD pada setiap variabel C/N mengalami penurunan. Selama proses
fermentasi, substrat akan mengalami penurunan jumlah bahan organik
yang dikandungnya, sehingga nilai COD juga akan mengalami
penurunan (Saputra, et al., 2010). Besarnya nilai penurunan COD
tergantung pada banyaknya bahan organik yang terdekomposisi menjadi
biogas. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin besar penurunan nilai
COD maka dapat menjadi indikator besarnya volume biogas yang
dihasilkan (Budiyono, et al., 2013).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan COD terbesar
terjadi pada C/N 26 yakni dengan terjadinya penurunan COD sebesar
906,94 ppm, sedangkan penurunan terkecil terjadi pada C/N 20 sebesar
530,78 ppm. COD merupakan salah satu parameter terjadinya
pendegradasian selama proses (Putra, et al., 2016). Semakin besar
terjadinya penurunan COD, maka semakin besar pula terjadinya produksi
biogas (Gao, et al., 2018). Begitu juga sebaliknya, semakin kecil
penurunan nilai COD maka semakin kecil pula terjadinya produksi
biogas (Yulistiawati, 2018). Hasil pengamatan COD juga dapat
mengindikasikan bahwa C/N 26 menghasilkan volume total biogas
tertinggi.
4.4.3 Pengaruh rasio C/N terhadap kadar CODMn dalam Slurry pada
Kondisi 11% TS
Pada Gambar 4.24 disajikan sebuah grafik batang dimana
menyatakan nilai COD masing masing variabel C/N adalah 20, 22, 24
dan 26 pada kondisi 11% total solid.
83
1800
1600 COD Awal
1400 COD Akhir
COD (PPM)
1200
1000
800
600
400
200
0
C/N 20 C/N 22 C/N 24 C/N 26
Variabel
84
pendegradasian selama proses (Putra, et al., 2016). Semakin besar
terjadinya penurunan COD, maka semakin besar pula terjadinya produksi
biogas (Gao, et al., 2018). Begitu juga sebaliknya, semakin kecil
penurunan nilai COD maka semakin kecil pula terjadinya produksi
biogas (Yulistiawati, 2018). Hasil pengamatan COD juga dapat
mengindikasikan bahwa C/N 26 menghasilkan volume total biogas
tertinggi.
4.4.4 Pengaruh rasio C/N terhadap kadar CODMn dalam Slurry pada
Kondisi 15% TS
Pada Gambar 4.25 disajikan sebuah grafik batang dimana
menyatakan nilai COD masing masing variabel C/N adalah 22, 22, 24
dan 26 pada rasio 15% Total Solid.
2000
COD Awal
1800 COD Akhir
1600
1400
COD (PPM)
1200
1000
800
600
400
200
0
C/N 20 C/N 22 C/N 24 C/N 26
Variabel
85
Dari data ini dapat dikatakan bahwa selama proses fermentasi nilai
COD pada setiap variabel C/N mengalami penurunan. Selama proses
fermentasi, substrat akan mengalami penurunan jumlah bahan organik
yang dikandungnya, sehingga nilai COD juga akan mengalami
penurunan (Saputra, et al., 2010). Besarnya nilai penurunan COD
tergantung pada banyaknya bahan organik yang terdekomposisi menjadi
biogas. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin besar penurunan nilai
COD maka dapat menjadi indikator besarnya volume biogas yang
dihasilkan (Budiyono, et al., 2013).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan COD terbesar
terjadi pada C/N 26 yakni dengan terjadinya penurunan COD sebesar
1363,43 ppm; sedangkan penurunan terkecil terjadi pada C/N 20 sebesar
1232,82 ppm. COD merupakan salah satu parameter terjadinya
pendegradasian selama proses (Putra, et al., 2016). Semakin besar
terjadinya penurunan COD, maka semakin besar pula terjadinya produksi
biogas (Gao, et al., 2018). Begitu juga sebaliknya, semakin kecil
penurunan nilai COD maka semakin kecil pula terjadinya produksi
biogas (Yulistiawati, 2018). Hasil pengamatan COD juga dapat
mengindikasikan bahwa C/N 26 menghasilkan volume total biogas
tertinggi.
86
Tabel 4.1 Data-data kinetika reaksi produksi biogas
Gompertz Orde 1 Logistic
Perlakuan k (laju
U (ml/g Rmax (ml/
Variabel A (ml/g TS) 𝜆 (hari) R2 Persamaan produksi Pmax (ml) 𝜆 (hari) R2
TS.hari) hari)
biogas)
TS (%) C/N
1 3 20 163,5365 2409,416 20,215 0,8373 y = 0,0188x 0,0188 173,4306 2248,956 20,876 0,8765
2 3 22 128,40495 2818,965 19,973 0,8375 y = 0,0211x 0,0211 146,3255 2276,121 21,097 0,8997
3 3 24 221,1594 3434,718 17,722 0,8852 y = 0,0222x 0,0222 218,1017 3365,903 18,065 0,887
4 3 26 223,2329 3667,871 16,829 0,8995 y = 0,0231x 0,0231 222,1353 3592,232 17,257 0,8893
5 7 20 198,5731 3693,26 15,957 0,9127 y = 0,0208x 0,0208 212,9887 3400,86 16,845 0,8843
6 7 22 140,7005 3816,963 15,555 0,9173 y = 0,0216x 0,0216 167,0742 2992,565 17,287 0,9059
7 7 24 156,2143 3799,674 15,079 0,9246 y = 0,0266x 0,0266 177,0746 3254,478 16,488 0,9055
8 7 26 147,8286 4303,34 13,884 0,9393 y = 0,0280x 0,028 169,3756 3483,384 15,486 0,9183
9 11 20 212,7975 3808,835 15,387 0,9201 y = 0,0254x 0,0254 214,0053 3707,334 15,918 0,8915
10 11 22 158,7498 4311,198 14,973 0,9256 y = 0,0266x 0,0266 182,4887 3515,935 16,523 0,9134
11 11 24 178,3978 4513,108 14,7 0,9295 y = 0,0302x 0,0302 196,2726 3958,696 15,978 0,9178
12 11 26 204,0006 4223,977 15,462 0,9198 y = 0,0335x 0,0355 217,0838 3930,086 16,419 0,9026
13 15 20 196,2781 4992,309 15,102 0,9241 y = 0,0348x 0,0348 215,8116 4335,036 16,334 0,919
14 15 22 183,3764 4993,005 14,969 0,9256 y = 0,0353x 0,0353 201,1636 4298,55 16,236 0,9279
15 15 24 194,5818 5252,263 15,195 0,9225 y = 0,0360x 0,036 211,8266 4559,328 16,394 0,9296
16 15 26 209,9773 5346,912 14,761 0,9287 y = 0,0367x 0,0367 224,7642 4829,9 15,866 0,9272
87
Berdasarkan persamaan Gompertz, kinetika orde 1 dan fungsi logistik
diketahui laju produksi biogas tertinggi ada pada variabel dengan %TS 15%
dan rasio kadar C/N 26. Hal ini menunjukkan proses produksi biogas pada
variabel ini berjalan cepat. Sedangkan nilai laju produksi biogas terendah
menurut metode gompertz dan logistik adalah variabel dengan %TS 3% dan
rasio kadar C/N 22. Nilai laju produksi berbanding lurus dengan nilai produksi
biogas maksimum yang dihasilkan. Semakin besar nilai laju produksinya maka
semakin besar pula nilai produksi biogas maksimumnya. Dengan begitu total
padatan, kandungan air dan rasio C/N mempengaruhi jalannya proses produksi
biogas, cepat lambatnya biogas terbentuk juga dipengaruhi faktor nutrisi yang
diberikan pada substrat yang digunakan sebagai bahan baku karena nutrisi
bersifat toksik yang bisa meningkatkan pH dan dapat mempengaruhi aktivitas
bakteri untuk merombak senyawa organik menjadi biogas (Ikrimah dan
Pramianshar, 2014).
Kemudian Mao et, al. (2015) dalam studinya mendapatkan bahwa
memlalui persamaan kinetika gompertz semakin besar kadar C/N suatu sampel
maka waktu lag phase akan semakin lama. Hal ini disebabkan karena semakin
besar rasio kadar C/N suatu sampel maka mikroba akan butuh lebih banyak
waktu untuk beradaptasi. Selain itu juga sumber nitrogen merupakan
komponen penting untuk perkembangan mikroba sehingga semakin kecil rasio
kadar C/N yang berarti semakin besar sumber nitrogennya makan akan
semakin cepat waktu lag phase. Hal ini berbanding terbalik dengan hasil yang
didapat dari percobaan ini dimana semakin besar rasio kadar C/N sampel,
didapat waktu lag phase yang lebih cepat. Hal ini disebabkan karena dalam
jumlah bannyak nitrogen bersifat racun, sehingga membuat lag phase menjadi
lebih lama dari seharusnya.
88
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Persentase Total Solid pada Biodigester liquid state mempengaruhi
produktivitas biogas dan penurunan kadar COD secara signifikan.
Berdasarkan analisis statistik, persentase total solid yang paling optimum
adalah 15% kemudian diikuti dengan 11%, 7% dan 3%.
2. Rasio kadar C/N pada Biodigester liquid state cukup mempengaruhi
produktivitas biogas dan penurunan kadar COD. Berdasarkan analisis
statistik, rasio kadar C/N yang paling optimum untuk produksi biogas
adalah 26 kemudian diikuti rasio kadar C/N dengan rasio kadar C/N 24, 20
dan 22. Sementara, rasio kadar C/N yang paling optimum untuk penurunan
kadar COD adalah 26 kemudian diikuti dengan rasio kadar C/N 24, 22 dan
20.
3. Kinetika laju produksi gas dengan persamaan Orde 1, logistic dan
Gompertz Equation paling besar pada variabel 16 dengan kondisi
fermentasi liquid state (15% TS) dan rasio C/N sebesar 26.
5.2 Saran
1. Penelitian berkelanjutan perlu dilakukan untuk mengetahui lamanya
fermentasi terhadap produksi biogas dan juga berapa kandungan gas
metana yang dihasilkan.
2. Dilakukan uji kandungan CH4, untuk mengetahui kadar CH4 yang
terbentuk.
3. Dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui agar yield biogas yang
dihasilkan memiliki kadar CH4 yang tinggi dibandingkan dengan CO2nya.
89
DAFTAR PUSTAKA
Abid, M., Wu, J., Seyedsalehi, M., Hu, Y., Tian, G., 2021. Novel insights of impacts
of solid content on high solid anaerobic digestion of cow manure: Kinetics
and microbial community dynamics. Bioresource Technology 333, 125205.
https://doi.org/10.1016/j.biortech.2021.125205
Abubakar, B.S.U.I. & Ismail, N. 2012. Anaerobic Digestion of Cow Dung For
Biogas Production. ARPN Journal of Engineering and Applied Sciences, 2.
Achinas, S. & Euverink, G.J.W., 2019. Elevated biogas production from the
anaerobic co-digestion of farmhouse waste: Insight into the process
performance and kinetics. Waste Management & Research. Volume 1-10.
Agnesia, S. S., & Nugraha, W. D., 2017. Penggunaan NaOH Dan Microbial
Consortium Pada Produksi Biogas Dari Sekam Padi Dengan Metode Solid
State Anaerobic Digesion ( Ss-AD ). Jurnal Teknik Lingkungan, 6(3),pp. 1-
10. Available at: http://ejournals1.undip.ac
Álvarez, J.A., Otero, L., & Lema, J. M., 2010. A methodology for optimising feed
composition for anaerobic co-digestion of agro-industrial wastes.
Bioresource Technology, 101(4), pp. 1153–1158.
Al Seadi, T., Rutz, D., Prassl, H., Köttner, M., Finsterwalder, T., Volk, R., Janssen,
R., 2012. Biogas Handbook. University of Southern Denmark Esbjerg,
Esbejerg.
Amir, A.N. & Lestari, P.F., 2013. Extraction of Oleoresin from Ginger Dregs Waste
of Jamu Industry (PT. Sido Muncul) With Extraction Method. Jurnal
Teknologi Kimia dan Industri. 2(3):88-95.
Andriati & Wahjudi, R.M.T., 2016. Tingkat penerimaan penggunaan jamu sebagai
alternatif penggunaan obat modern pada masyarakat ekonomi rendah
menengah dan atas. MKP 29, 133.
https://doi.org/10.20473/mkp.V29I32016.133-145
Angelin, G. & Fatimah, 2017. The Efect Of Trace Metal (Molybdenum &
Selenium) Addition On Biogas Production From Organic Waste And Cow
Manure. Jurnal Teknik Kimia USU 6, 4.
90
Anukam, A., Mohammadi, A., Naqvi, M., Granström, K., 2019. A Review of the
Chemistry of Anaerobic Digestion: Methods of Accelerating and
Optimizing Process Efficiency. Processes 7, 504.
https://doi.org/10.3390/pr7080504
Azka, N. 2019. Konstanta Pembentukan Biogas dari Limbah Cair Pabrik Kelapa
Sawit (LCPKS) Menggunakan Permodelan Gompertz yang Dimodifikasi
pada Variasi Laju Pengadukan. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan
BP 2019. Statistical Review of World Energy. 68th edition. https://www.bp.com,
diakses pada 10 Mei 2021 pukul 10.27.
Badan Pusat Statistik. 2019. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Juli. BPS Jawa
Tengah. Semarang. https://www.bps.go.id/index.shtml, diakses pada 12
Juni 2021 pukul 20.20.
Badan Pusat Statistik. 2020. Laporan Bulanan Suhu Udara Menurut Bulan di
Stasiun Klimatologi. Maret. BPS Jawa Tengah. Semarang.
https://semarangkota.bps.go.id/statictable/2021/03/02/135/suhu-udara-
menurut-bulan-di-stasiun-klimatologi-semarang-2020.html, diakses pada
20 Juli 2021 pukul 22.15.
Budiyono, B. dan Kusworo, T.D., 2012. Biogas Production From Cassava Starch
Effluent Using Microalgae As Biostabilisator. Internal Journal of Science
and Engineering 2, (1).
Budiyono, Khaerunnisa, G. & Rahmawati, I., 2013. Pengaruh pH dan Rasio COD:N
Terhadap Produksi Biogas dengan Bahan Baku Limbah Industri Alkohol
(Ninasse). Jurnal Teknologi Kimia dan Industri 2(3).
Budiyono, Syaichurrozi, I., & Sumardiono, S., 2013. Biogas Production From
Bioethanol Waste: The Effect Of Ph And Urea Addition To Biogas
Produstion Rate. Waste Technology 1(1), pp. 1-5.
Cahyadi, A.N. 2017. The Effect of Giving Solid Waste from the Herbal Medicine
Industry as a Feed Additive in the Ration on the Production of Carcass and
Abdominal Fat of Broiler Chickens. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri
1(2).
91
Cano, R., Nielfa, A., & Fdz-Polanco, M., 2014. Thermal hydrolysis integration in
the anaerobic digestion process of different solid wastes: Energy and
economic feasibility study. Bioresource Technology. 168 :14–22.
Chrisniani, F.J., Soetjipto, H., & Hartini, S., 2016. Optimization of Extraction of
Solid Waste Oil from the Herbal Medicine Industry in terms of Solvent
Ratio and Soaking Time. Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Das, A. & Mondal, C., 2016. Biogas Production from Co-digestion of Substrates:
A Review. International Research Journal of Environment Science, 5(1),
pp. 49-57. Available at: http://www.isca.in
Derilus, D .2014. Characterization of the Stucture and Dynamics of Microbial
Communities in Seawater Anaerobic Bioreactors by Using Next Generation
Sequencing. University of Puerto Rico, Puerto Rico.
Deublein, D. & Steinhauser, A., 2013. Biogas from Waste and renewable
Resources: An Introduction. Wiley-VCH, Weinheim, Volume 3, pp. 89-
290.
Donoso-Bravo A., Díaz I, Fdz- Polanco M., 2010. Effect of microaerobic conditions
on the degradation kinetics of cellulose. Bioresource Technology,
102(21):10139-10142.
Fairuz, A. 2015. Effect of Addition of Coconut Dregs and Banana Peel on Biogas
Production from Cow Manure. Jurnal Teknik Pertanian Lampung 4(2): 91-
98.
Fardad, K., Najafi, B., Ardabili, S.F., Mosavi, A., Shamshirband, S., Rabczuk, T.,
2018. Biodegradation of Medicinal Plants Waste in an Anaerobic Digestion
Reactor for Biogas Production. CMC 55(3), pp.381-392.
Fithry, Y & Sarto., 2010. Effect of addition of cow rumen fluid on the formation of
biogas from mango and watermelon waste. Program Pasca Sarjana
Universitas Gajah Mada.
Gamayanti, Kunty N., Pertiwiningrum, Anwar., Mira, Y.L., 2012. The Effect of
Using Waste Liquid and Peat Sludge as a Starter in the Methanogonic
Fermentation Process. Buletin Peternakan 36(1): 32-39.
Gao, S., Hu, C., Sun, S., Xu, J., Zhao, Y., & Zhang, H., 2018. Performance of
piggery wastewater treatment and biogas upgrading by three microalgal
92
cultivation technologies under different initial COD concentration. Energy
165, 360-369. doi:10.1016/j.energy.2018.09.190
Gill, S., Jana, A. & Shrivastav, A., 2014. Anaerobic Bacterial Degradation of
Kitchen Waste. International Journal of Research and Development in
Pharmacy and Life Sciences, 3(2), pp. 850-854.
Gunawan, D., 2013. Produksi Biogas sebagai Sumber Energi Alternatif dari
Kotoran Sapi. Scientific Article, 1(2), pp. 1-3.
Hadiyanto & Christwardana, M., 2012. Application of Phytoremediation of Herbal
Waste and Its Utilization for Protein Production. Reaktor 14, pp: 129-134.
Hanif, A., 2010. Studi Pemanfaatan Biogas Sebagai Pembangkit Listrik 10 Kw
Kelompok Tani Mekarsari Desa Dander Bojonegoro Menuju Desa Mandiri
Energi. Jurnal Teknik Sistem , Volume 1, pp. 1-10.
Hartono & Ramli. 2015. Produksi Biogas Limbah Isi Rumen Sapi Asal Rumah
Pemotongan Hewan(Rph). Jurnal Bionature, 16 (2): 122-126.
Hasanah, U., Mukaromah, A.H., Sitomurni, D.H., 2019. Perbandingan Metode
Analisis Permanganometri dan Bikromatometri pada Penentuan Kadar
Chemical Oxygen Demand (COD). Prosiding 2.
Hashemi, B., Sarker, S., Lamb, J.J., Lien, K.M., 2021. Yield improvements in
anaerobic digestion of lignocellulosic feedstocks, Journal of Cleaner
Production 288, 1254474.
Haslinda., 2017. Effect of Balance of Cow Stool and Labio-1 Herbal Waste on C/N
Ratio of Compost. Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin. Makassar.
Herawati, D.A., & Wibawa, A.A., 2010. Pengaruh Pretreatment Jerami Padi Pada
Produksi Biogas Dari Jerami Padi Dan Sampah Sayur Sawi Hijau Secara
Batch. Jurnal Rekayasa Proses, 4(1), pp. 25–29.
Here, R.R.M., 2012. Veterinary Physiology II: Rumen Microorganisms. Fakultas
Kedokteran, Universitas Udayana. Denpasar.
Hollas, C.E., Bolsan, A.C., Chini, A., Venturin, B., Bonassa, G., Antes, F.G.,
Steinmetz, R.L.R., Prado, N.V., Kunz, A., 2021. Effects of swine manure
storage time on solid-liquid separation and biogas production: A life-cycle
assessment approach. Renewable and Sustainable Energy Reviews 150,
111472.
93
Imologie S.M., Julius E. & Adegoke E.D., 2017. Biogas production from the co-
digestion of cow dung and poultry droppings using a plastic cylindrical
digester, Proceedings of the 2017 Annual Conference of the School of
Engineering & Engineering Technology (SEET), The Federal University of
Technology, Akure, Nigeria.
Jos, B., Sucipto, T.A., Pramianshar, A., Ikrimah, A.N., & Sumardiono, S., 2020.
Experimental and Kinetic Study of Biogas Production of Fish Processing
Industry in Anaerobic Digestion as Future Renewable Energy Resources,
AIP Conference Proceedings 2197, 03001.
https://doi.org/10.1063/1.5140905
IRENA. 2017. Renewable Energy Prospects: Indonesia, a REmap analysis,
International Renewable Energy Agency (IRENA), Abu Dhabi,
www.irena.org/remap. Diakses pada 20 Juli 2021 pukul 14.20.
Jumirah, Jati, A.W.N., & Yulianti, L.I.M. 2018. Kualitas Pupuk Cair Organik
dengan Kombinasi Limbah Ampas Jamu dan Limbah Ikan. Biota 3 (2): 53-
61.
Kang, K., Klinghoffer, N.B., ElGhamrawy, I., & Berrut, F. 2021. Thermochemical
conversion of agroforestry biomass and solid waste using decentralized and
mobile systems for renewable energy and products, Renewable and
Sustainable Energy Reviews 149, 11137.
Kangle, K.M., Kore, S. V., Kore. V. S., & Kulkarni G. S. 2012. Recent Trends in
Anaerobic Codigestion. Universal Journal of Environmental Research and
Technology, 2(4), pp.210–219.
Khan, S. & Ali, J. 2018. Chemical analysis of air and water. Bioassays, pp: 21-39.
http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-12-811861-0.00002-4
Lai, C.Y., Zhou, L., Yuan, Z., & Guo, J. 2021. Hydrogen-driven microbial biogas
upgrading: Advances, challenges and solutions. Water Research 197,
117120.
Lavenia, C., Adam, A.R., Dyasti, J.A., & Febrianti, N.F., 2019. Tumbuhan Herbs
and Compounds in Herbal Medicine as Traditional Medicines in Kayumas
Village, Situbondo (Ethnobotany Study). Jurnal KSM Eka Prasetya UI,
Volume 1 (5).
94
Le Quéré, C., Andrew, R.M., Friedlingstein, P., Sitch, S., Hauck, J., Pongratz, J.,
Pickers, P.A., Korsbakken, J.I., Peters, G.P., & Canadell, J.G, 2018. Global
carbon budget 2018. ESSD 10 (4), 2141–2194.
Lestari, S.M.R., 2017. Crude Protein and Crude Fiber Content of Biogas Sludge
With The Addition Of Organic Ingredients In The Digester. Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Lewicki, A., Pilarski, K., Janczak, D., Czekala, W., Carmona, P.C.R., Cieślik, M.,
& Witaszek, K., 2019, The Biogas Production From Herbs And Waste From
Herbal Industry. Journal Of Research And Applications In Agricultural
Engineering 58(1).
Lyberatos, G., Kiran, E, U., Stamatelatou, K., & Antonopoulou, G., 2016.
Production of Biogas via Anaerobic Digestion. National Technicals
Univesity of Athens. Greece.
Mao, C., Feng, Y., Wang, X., dan Ren, G., 2015. Review on Research
Achievements of Biogas from Anaerobic Digestion. Renewable and
Sustainable Energy Reviews, 45, 540–555.
Maryani, S., 2016. Potential of Mixed Vegetable Waste and Cow Manure as a
Biogas Producer. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim.
Miah, M, R., Rahman, A.K.M.L., Akanda, M.R., Pulak, A., d & Rouf, M.A., 2015.
Production Of Biogas From Poultry Litter Mixed With The Co-Substrate
Cow Dung. Jurnal Taibah. Volume 10 (4).
Morel, M. A., Brana, V. & Sowinsi, S. C., 2014. Legume Crops, Importance and
Use of Bacterial Inoculation to Increase Production. Antarctic
Microorganisms with Biotechnological Applications, 1(10), pp. 217-240.
Nomanbhay, S. M., Hussain, R., & Palanisamy, K., 2013. Microwave-Assisted
Alkaline Pretreatment And Microwave Assisted Enzymatic Saccharification
Of Oil Palm Empty Fruit Bunch Fiber For Enhanced Fermentable Sugar
Yield. Journal Of Sustainable Bioenergy Systems, 3(1), pp. 7–17.
doi:10.4236/jsbs.2013.31002
95
Nopharatana, A., Pullammanappallilac, P.C., & Clarke, W.P., 2007. Kinetics and
dynamic modelling of batch anaerobic digestion of municipal solid waste in
a stirred reactor. Waste Management 27 (5), pp 595-603.
O’Sullivan, M., 2011. Analytical Methods: Proximate and Other Chemical
Analyses. Encyclopedia of Dairy Sciences (Second Edition), pp. 76-82.
Park, C., Lee, C., Kim, S., Chen, Y., & Chase, H.A., 2005. Upgrading of Anaerobic
Digestion by Incorporating Two Different Hydrolysis Processes. Journal Of
Bioscience and Bioengineering 100, No. 2, 164–167.
Pasalari, H., Esrafil, A., Rezaee, A., Gholami, M., & Farzadkia, M., 2021.
Electrochemical oxidation pretreatment for enhanced methane potential
from landfill leachate in anaerobic co-digestion process: Performance,
Gompertz model, and energy assessment. Chemical Engineering Journal.
Volume 422, 130046
Pepper, I.L. & Maier, R.M. 2015. Bacterial Growth. Environmental Microbiology.
pp: 37-56.
Perez-Elvira, S.I., Casas, C., Barrio, D., Cantero, F.J., Fdz-Polanco, M., Rodriguez,
P., Panizo, L., Serrat, J., Rouge, P., Fdz-Polanco, F.,Velazquez, & R.
Continuous thermal hydrolysis and energy integration in sludge anaerobic
digestion plants. Water Science Technology 57(8):1221-6.
Pramanik, S.K., Suja,F.B., Porhemmat, M., & Pramanik, B.K. 2019. Performance
and Kinetic Model of a Single-Stage Anaerobic Digestion System Operated
at Different Successive Operating Stages for the Treatment of Food Waste.
Processes 7, 600.
Purnamasari, D.A., Mulyasari, D., Wuladari, P.M., & Lestari, T.A., 2013.
Improving the Community Economy through the Utilization of Herbal
Waste as Organic Fertilizer. Jurnal Hasil Penelitian, 3(4).
Putra, H.P., Andrio, D. & Elystia, S., 2016. Effect of Mixing Ratio of Tofu Liquid
Waste and Cow Manure on Anaerobic Process. JOM F Teknik 3(2).
Roubík, H. & Mazancová, J., 2020, Suitability of small-scale biogas systems based
on livestock manure for the rural areas of Sumatra. Environmental
Development 33, 10050.
96
Rusmiland, R. & Putra, M.F., 2017. Reduction of Waste Carrying Costs by
Utilizing Herbal Extract Dregs into Organic Fertilizer. Jurnal Sosio-E-Kons,
Vol. 9 (2).
Sienkiewicz, A., Niczyporuk, A.P., Bajguz, A., 2020. Herbal Industry Wastes as
Potential Materials for Biofuel Production. Proceedings, 51, 6
Siripatana, C., Jijai, S., dan Kongjan, P., 2016. Analysis and Extension Of
Gompertz-Type and Monod-Type Equations for Estimation of Design
Parameters from Batch Anaerobic Digestion Experiments. AIP Conference
Proceedings, 1775(October).
Sommer, S.G., Vu, C.C., Pham, C.H., & Bruun, S. 2013. Factors Affecting Process
Temperature and Biogas Production in Small-scale Rural Biogas Digesters
in Winter in Northern Vietnam. Asian-Australasian Journal of Animal
Sciences (AJAS) 27(7): 1050-1056.
Sulistyaningsih, C.R., 2019. Processing of Rice Straw Waste with Herbal Waste
into Organic Fertilizer Plus. Jurnal Surya Masyarakat 2(1).
Saputra, T., Triatmojo, S. & Pertiwiningrum, A., 2015. Production of biogas from
a mixture of cow feces and bagasse (bagasse) with different ratios of c/n.
Buletin Peternakan 34, pp. 2.
Sato, J.H., Figueiredo, C.C., Marchão, R.L., Madari, B.E., Benedito, L.E.C.,
Busato, J.G., & Souza, D.M., 2014. Methods of soil organic carbon
determination in Brazilian savannah soils. Scientia Agricola 71(4): 302-308.
Shameem, N., Islam, M.M.M., Shafi, S., & Bandh, S.A., 2019. Impact of
environmental changes and human activities on bacterial diversity of lakes.
Freshwater Microbiology. pp. 105-136.
Shidiqui, Z., Horan, N, J., & Anaman, K., 2011. Optimisation of C:N ratio for Co-
Disgested Process Industrial Food Waste and Sewage Sludge using BMP
Test. International Journal Of Chemical Reactor Engineering: Britania
Raya 9, pp. 1-12. Available at: https://www.researchgate.com/
Sunarso, Budiyono, Widiasa, I.N., & Johari, S., 2010. The Kinetic of Biogas
Production Rate from Cattle Manure in Batch Mode. International Journal
of Chemical and Biological Engineering, 3(1).
97
Sunarso & Sumardiono, S., 2012. Development of Anaerobic Biocodigester
Technology to Accelerate Biogas Production from Tapioca Waste and
Livestock Waste. Universitas Diponegoro. Semarang.
Susilowati E., 2019. Test of Utilization of Cow Rumen Liquid to Increase Biogas
Production Speed and Methane Gas Concentration in Biogas. Universitas
Gajah Mada. Yogyakarta.
Syukur, C., & Hernani, 2011, Commercial Medicinal Plant Cultivation, Penebar
Swadaya, Jakarta, 65.
Taherzadeh, M.J. & Karimi, K., 2018. Pretreatment of lignocellulosic wastes to
improve ethanol and biogas production: A Review. Int. J. Mol. Sci 9: 1621-
1651
Teghammar, A., 2013. Biogas Production from Lignocelluloses : Pretreatment,
Substrate Characterization, Co Digestion and Economic Evaluation.
Sweden: Chalmers University of Technology
Tyasenna, A.F.A., Sidharta, B.B.R., & Mursyanti, E., 2018. The Effect of
Variations in Molasses Levels and Herbal Waste (Rice Kencur and Papaya
Leaves) on Biogas Production by Methanogenic Bacteria. Universitas Atma
Jaya. Yogyakarta.
Usman, R., Putra, M.F., & Sari, R.I.P., 2019. Processing of Herbal Extraction
Dregs into Compost Fertilizer. Seminar Nasional Pengabdian Masyarakat,
Jakarta: Universitas Indraprasta PGRI.
Vasantha, V.L., Sharvari, S., Alfia, N.S., Praveen, N., 2021, Application of
nanotechnology toward improved production of sustainable bioenergy.
Nanomaterials, 445-479.
Wahyuni. S., 2011. Menghasilkan Biogas Dari Aneka Limbah. PT Agro Media
Pustaka. Jakarta.
Walkley, A.J. & Black, I.A. 1934. Estimation of soil organic carbon by the chromic
acid titration method. Soil Sci. 37, 29-38.
Wati, L., Ahda, Y. & Handayani, D., 2014. The Effect of Cow Rumen Fluid
Volume on Various Stools in Generating Biogas. Jurnal Sainstek 6 No. 1:
43-51
98
Widyastuti, I., Ace, B. & Hernandes, S. P., 2016. Biogas Potential Test from Water
Hyacinth (Eichhornia Crassipes) and Mixed Waste of Cork Fish Offal
(Channa Striata) Using Anaerobic Digester in Batch. Jurnal Teknologi Hasil
Perikanan, 5(2), pp. 146-156.
Windyasmara, L., Pertiwiningrum, A., & Yusiati, L.M., 2012. The Effect of Types
of Livestock Manure as Substrate with Addition of Teak Leaf Litter
(Tectona Grandis) on Biogas Characteristics in the Fermentation Process.
Jurnal Peternakan, Vol. 36(1): 40-47.
WPP, 2019. World Population Prospects. Available online:
https://population.un.org/wpp/. Diakses pada 20 Juni 2021 pukul 13.40.
Wu, W., 2017. Anaerobic Co-Digestion of Biomass for Methane Production.
Recent Research Achievements Optimization 1, pp. 1–10. Available at:
http://home.engineering.iastate.edu
Yan, L., Liu, C., Zhang, Y., Liu, S., & Zhang, Y., 2021. Effects of C/N ratio
variation in swine biogas slurry on soil dissolved organic matter: Content
and fluorescence characteristics. Ecotoxicology and Environmental Safety.
209: 111804.
Yenni., Dewilda, Yommi., S.M. & Sari, 2012. Test the formation of biogas from
vegetable and fruit waste substrate with cow rumen waste co-substrate.
Jurnal Teknik Lingkungan. Teknik Lingkungan: UNAND
Yulistiawati, E., 2018. Effect of Temperature and C/N Ratio on Biogas Production
Made from Organic Waste and Vegetables. Agro-Industrial Engineering,
2535
Zhang, H., Luo, L., Li, W., Wang, X., Sun, Y., & Sun, Y., 2018. Optimization of
mixing ratio of ammoniated rice straw and food waste co-digestion and
impact o f trace element supplementation on biogas production. Journal of
Material Cycles and Waste Management 20(2): 745-753. DOI:
10.1007/s10163-017- 0634-0
Zhang, C., Zhang, Z., Zhang, L., Zhang, H., Wang, Y., Hu, S., Xiang, J., & Hua,
X., 2020. Pyrolysis of herb waste: Effects of extraction pretreatment on
characteristics of bio-oil and biochar. Biomass and Bioenergy 143 : 105801.
99
Zubair, M., Wang, S., Zhang, P., Ye, J., Liang, J., Nabi, M., Zhou, Z., Tao, X.,
Chen, N., Sun, K., Xiao, J., & Cai, Y., 2020. Biological nutrient removal
and recovery from solid and liquid livestock T manure: Recent advance and
perspective. Bioresource Technology. 301, 122823.
Zulkarnaen, I.R., Tira, H.S., & Padang, Y.A. 2018. Effect of Carbon And Nitrogen
Ratio (C/N Ratio) In Cow Manure To Biogas Production From Anaerobic
Process Proses. Jurnal Dinamika Teknik Mesin. ISSN: 2502-1729.
100
LAMPIRAN A
LEMBAR PERHITUNGAN
101
TS Campuran : 3% x 1,5 L
: 45 gr Ts/ L Biodigester
Berat Limbah Jamu : 2/3 x 45 gr
: 30 gram TS Limbah Jamu
30 𝑔𝑟𝑎𝑚
Kebutuhan Limbah Jamu : 0,633 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑇𝑆/𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
• Variabel 7% TS
TS Campuran : 7% x 1,5 L
: 105 gr Ts/ L Biodigester
Berat Limbah Jamu : 2/3 x 105 gr
: 70 gram TS Limbah Jamu
70 𝑔𝑟𝑎𝑚
Kebutuhan Limbah Jamu : 0,633 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑇𝑆/𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
102
TS Campuran : 3% x 1,5 L
: 45 gr Ts/ L Biodigester
Berat Rumen Sapi : 1/3 x 45 gr
: 15 gram TS Rumen Sapi
15 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 1000 𝑚𝑙
Kebutuhan Rumen Sapi : 242 𝑔𝑟𝑎𝑚
103
Jumlah C Organik Rumen Sapi : 31,31 %
Jumlah Nitrogen Limbah Jamu : 0,517 %
Jumlah Nitrogen Kotoran Sapi : 1,07 %
Jumlah Nitrogen Rumen Sapi : 3,31 %
• Variabel Rasio C/N 20
𝐶 𝐿𝑖𝑚𝑏𝑎ℎ 𝐽𝑎𝑚𝑢 + 𝐶 𝑅𝑢𝑚𝑒𝑛 𝑆𝑎𝑝𝑖 + 𝐶 𝐾𝑜𝑡𝑜𝑟𝑎𝑛 𝑆𝑎𝑝𝑖
= 20
𝑁 𝐴𝑚𝑝𝑎𝑠 𝑇𝑒ℎ + 𝑁 𝑅𝑢𝑚𝑒𝑛 𝑆𝑎𝑝𝑖 + 𝑁 𝐾𝑜𝑡𝑜𝑟𝑎𝑛 𝑆𝑎𝑝𝑖
Berat Kotoran Sapi = 4,154 gram
• Variabel Rasio C/N 22
𝐶 𝐿𝑖𝑚𝑏𝑎ℎ 𝐽𝑎𝑚𝑢 + 𝐶 𝑅𝑢𝑚𝑒𝑛 𝑆𝑎𝑝𝑖 + 𝐶 𝐾𝑜𝑡𝑜𝑟𝑎𝑛 𝑆𝑎𝑝𝑖
= 22
𝑁 𝐴𝑚𝑝𝑎𝑠 𝑇𝑒ℎ + 𝑁 𝑅𝑢𝑚𝑒𝑛 𝑆𝑎𝑝𝑖 + 𝑁 𝐾𝑜𝑡𝑜𝑟𝑎𝑛 𝑆𝑎𝑝𝑖
Berat Kotoran Sapi = 7,786 gram
• Variabel Rasio C/N 24
𝐶 𝐿𝑖𝑚𝑏𝑎ℎ 𝐽𝑎𝑚𝑢 + 𝐶 𝑅𝑢𝑚𝑒𝑛 𝑆𝑎𝑝𝑖 + 𝐶 𝐾𝑜𝑡𝑜𝑟𝑎𝑛 𝑆𝑎𝑝𝑖
= 24
𝑁 𝐴𝑚𝑝𝑎𝑠 𝑇𝑒ℎ + 𝑁 𝑅𝑢𝑚𝑒𝑛 𝑆𝑎𝑝𝑖 + 𝑁 𝐾𝑜𝑡𝑜𝑟𝑎𝑛 𝑆𝑎𝑝𝑖
Berat Kotoran Sapi = 17,220 gram
• Variabel Rasio C/N 26
𝐶 𝐿𝑖𝑚𝑏𝑎ℎ 𝐽𝑎𝑚𝑢 + 𝐶 𝑅𝑢𝑚𝑒𝑛 𝑆𝑎𝑝𝑖 + 𝐶 𝐾𝑜𝑡𝑜𝑟𝑎𝑛 𝑆𝑎𝑝𝑖
= 26
𝑁 𝐴𝑚𝑝𝑎𝑠 𝑇𝑒ℎ + 𝑁 𝑅𝑢𝑚𝑒𝑛 𝑆𝑎𝑝𝑖 + 𝑁 𝐾𝑜𝑡𝑜𝑟𝑎𝑛 𝑆𝑎𝑝𝑖
Berat Kotoran Sapi = 101,142 gram
104
7. 7 24 110,58 144,63 17,220
8. 7 26 110,58 144,63 101,142
9. 11 20 173,78 227,27 4,154
10. 11 22 173,78 227,27 7,786
11. 11 24 173,78 227,27 17,220
12. 11 26 173,78 227,27 101,142
13. 15 20 236,97 309,92 4,154
14. 15 22 236,97 309,92 7,786
15. 15 24 236,97 309,92 17,220
16. 15 26 236,97 309,92 101,142
105
LAMPIRAN B
LEMBAR FOTO PENELITIAN
106
LEMBAR KONSULTASI BIMBINGAN
LAPORAN PENELITIAN
107