Anda di halaman 1dari 73

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen


a. Uji validitas
Penelitian ini menggunakan validasi isi (content validity) untuk
mengukur instrumen penelitian. Uji validitas yang pada penelitian ini
dilakukan pada instrumen kuesioner untuk mengukur keterlaksanaan
pendidikan inklusif di Sekolah Dasar Kota Surakarta. Instrumen penelitian
yang telah disusun selanjutnya diujikan keada ahlii atau expert judgement
dalam bidang pendidikan luar biasa, pendidikan inklusi, dan psikologi
pengukuran. Instrumen penelitian disesuaikan dengan teori Grindle dan
Pemendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta
Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau
Bakat Istimewa. Hasil uji validasi dari 3 ahli adalah sebagai berikut:
Tabel 4. 1 Hasil Validasi Instrumen

Nama Bidang Keahlian Hasil Validasi


Prof. Drs. Gunarhadi, M.A., Ph.D Pendidikan Dapat digunakan dengan revisi
Inklusif pada beberapa aitem
Dr. Joko Yuwono, M.Pd Pendidikan Luar Dapat digunakan dengan revisi
Biasa pada beberapa aitem
Mahardika Supratiwi, S.Psi., M.A Psikologi Dapat digunakan dengan
Pengukuran beberapa revisi pada beberapa
aitem

Berdasarkan hasil validasi tersebut, peneliti melakukan perbaikan


instrumen sesuai dengan saran dan catatan validator. Selanjutnya, instrumen
diujicobakan kepada 26 subjek yang memiliki criteria yang sama dengan
subjek penelitian. 26 subjek terdiri dari GPK, guru kelas, guru mata pelajaran
dan kepala sekolah dari beberapa sekolah penyelenggara pendidikan inklusi
commit kemudian
di Indonesia. Hasil uji coba tersebut to user dianalisis mengguakan analisis

58
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

59

korelasi product moment pearson. Adapun hasil yang diperoleh adalah


sebagai berikut:
Tabel 4. 2 Hasil Validasi Aitem Instrumen

Nomor Nomor
Hasil Keterangan Hasil Keterangan
Soal Soal
1 0.430 Valid 26 0.663 Valid
2 0.514 Valid 27 0.675 Valid
3 0.506 Valid 28 0.631 Valid
4 0.548 Valid 29 0.700 Valid
5 0.605 Valid 30 0.537 Valid
6 (-)0.520 Valid 31 0.584 Valid
7 (-)0.103 Tidak Valid 32 0.609 Valid
8 0.677 Valid 33 0.678 Valid
9 0.379 Tidak Valid 34 0.152 Tidak Valid
10 0.652 Valid 35 0.312 Tidak Valid
11 0.666 Valid 36 (-)0.096 Tidak Valid
12 0.633 Valid 37 0.540 Valid
13 0.683 Valid 38 0.803 Valid
14 0.681 Valid 39 0.727 Valid
15 0.666 Valid 40 0.548 Valid
16 0.707 Valid 41 0.585 Valid
17 0.540 Valid 42 0.746 Valid
18 0.586 Valid 43 (-)0.089 Tidak Valid
19 0.551 Valid 44 0.287 Tidak Valid
20 0.432 Valid 45 0.704 Valid
21 0.591 Valid 46 0.577 Valid
22 0.312 Tidak Valid 47 0.787 Valid
23 0.685 Valid 48 0.694 Valid
24 0.606 Valid 49 0.659 Valid
25 0.799 Valid

Berdasarkan hasil uji validitas instrumen yang dianalisis mengguakan


analisis korelasi product moment pearson diperoleh hasil bahwa dari 49 aitem
yang diujicobakan kepada 26 subjek, terdapat 8 aitem instrumen yang
dinyatakan gugur atau tidak valid, yaitu aitem nomor 7, 9, 22, 34, 35, 36, 43,
dan 44.

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

60

b. Uji reliabilitas
Aitem yang dinyatakan valid, selanjutnya diuji tingkat reliabilitasnya. Uji
reliabilitas instrumen menggunakan teknik analisis Alpha Cronbach's. Dalam
Sujarweni (2014) menjelaskan bahwa (a) Jika nilai Cronbach's Alpha > 0.060
maka kuesioner atau angket dinyatakan reliable; dan (b) jika nilai Cronbach's
Alpha < 0.060 maka kuesioner atau angket dinyatakan tidak reliable. Hasil
uji realibitas instrumen adalah sebagai berikut:
Tabel 4. 3 Hasil Uji Reliabilitas

Reliability Statistics
Cronbach's Cronbach's N of
Alpha Alpha Based Items
on
Standardized
Items
0,744336 0,962304 41

Hasil uji instrumen diperoleh nilai 0,744. Dari penjelasan ahli dan uji
analisis yang telah dilakukan maka dapat dinyatakan bahwa instrumen
penelitian berupa kuesioner dinyatakan reliable.
Instrumen penelitian yang telah divalidasi oleh ahli dan diujicobakan
memperoleh hasil bahwa dari 49 aitem yang diujicobakan kepada 26 subjek,
terdapat 8 aitem instrumen yang dinyatakan gugur atau tidak valid, yaitu
aitem nomor 7, 9, 22, 34, 35, 36, 43, dan 44. Keseluruhan aitem instrumen
yang valid kemudian diuji tingkat realibilitasnya menggunakan analisis
Alpha Cronbach's dan diperoleh hasil 0,744 sehingga aitem instrumen
dinyatakan reliable. Berdasarkan hasil validitas dan reliabilitas instrumen
yang telah dilakukan, maka dalam pelaksanaan penelitian, peneliti hanya
menggunakan 41 aitem instrumen yang dianggap valid dan telah diuji
realibilitasnya, yaitu aitem intrumen nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 10, 11, 12, 13,
14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 37,
38, 39, 40, 41, 42, 45, 46, 47, 48 dan 49.

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

61

2. Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui
implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Sekolah Dasar Negeri Kota
Surakarta telah diperoleh data dari 102 responden melalui metode kuesioner
yang merupakan data primer dengan jenis data kuantitatif, sedangkan 9
responden melalui wawancara dengan jenis data kualitatif. Data tersebut peneliti
analisis berdasarkan tujuan penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu:
(a) mendeskripsikan kondisi faktual implementasi kebijakan pendidikan inklusif
di Sekolah Dasar Kota Surakarta; (b) mendeskripsikan permasalahan
implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah Dasar
Kota Surakarta; (c) mendeskripsikan kebutuhan Sekolah Dasar Kota Surakarta
dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif; dan (d) merumuskan
rekomendasi penelitian. Semua data hasil penelitian diuraikan berdasarkan
tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

a. Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar


Kondisi faktual dalam implementasi kebijakan pendidikan inklusif di
Sekolah Dasar Kota Surakarta ditinjau dengan menggunakan teori Grindle
adalah sebagai berikut:
1) Isi Kebijakan
Isi kebijakan oleh teori Grindle berupa implementator dan sumber daya
ditinjau berdasarkan Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang
Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa berupa aspek tenaga
pendidik, dukungan masyarakat, dana dan sarana prasarana.

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

62

a) Tenaga pendidik
(1) Kegiatan untuk meningkatkan pemahaman mengenai peserta
didik berkebutuhan khusus
Tabel 4. 4 Frekuensi Kegiatan untuk meningkatkan pemahaman

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 17 17
Sering 46 45
Kadang-kadang 35 34
Tidak Pernah 4 4
Jumlah 102 100%
Berdasarkan Tabel 4.4, dapat dilihat bahwa terdapat 17 responden yang
menjawab Selalu, 46 responden (45%) menjawab sering mengikuti kegiatan
untuk meningkatkan pemahaman mengenai peserta didik berkebutuhan
khusus. 35 responden (34%) menjawab kadang-kadang, dan 4 responden
(4%) menjawab tidak pernah mengikuti kegiatan untuk meningkatkan
pemahaman terkait anak berkebutuhan khusus. Persentase respon jawaban
dari 102 responden tersebut dapat digambarkan dalam diagram pie berikut
ini.

Tidak Pernah Kadang Sering Series1;


Selalu
Series1; Tidak
Selalu; 17; Pernah; 4;
17% 4%
Series1;
Sering; 46; Series1;
45% Kadang;
35; 34%

Gambar 4. 1 Persentase Responden terhadap Pernyataan " Frekuensi


Kegiatan untuk meningkatkan pemahaman mengenai peserta didik
berkebutuhan khusus"

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

63

(2) Kemampuan dalam menangani peserta didik berkebutuhan khusus


Tabel 4. 5 Frekuensi Kemampuan dalam menangani peserta didik
berkebutuhan khusus

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 8 8
Sering 38 37
Kadang-kadang 53 52
Tidak Pernah 3 3
Jumlah 102 100%
Berdasarkan Tabel 4.5, dapat dilihat bahwa terdapat 8 responden yang
menjawab Selalu mampu menangani peserta didik berkebutuhan khusus
tanpa permasalahan, 38 responden (37%) menjawab sering. 53 responden
(52%) menjawab kadang-kadang, dan 3 responden (3%) menjawab tidak
pernah. Persentase respon jawaban dari 102 responden tersebut dapat
digambarkan dalam diagram pie berikut ini.
Series1
Tidak Pernah Kadang Sering Series1;
Selalu
; Tidak
Selalu; Pernah; 3;
8; 8% Series1; 3%
Sering; 38; Series1;
37% Kadang; 53;
52%

Gambar 4. 2 Persentase Responden terhadap Pernyataan “Frekuensi


Kemampuan dalam menangani peserta didik berkebutuhan khusus”

(3) Kegiatan mencari informasi mengenai anak berkebutuhan khusus


Tabel 4. 6 Frekuensi Kegiatan mencari informasi mengenai anak
berkebutuhan khusus

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 34 33
Sering 50 49
Kadang-kadang 16 16
Tidak Pernah 2 2
Jumlah 102 100%
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

64

Berdasarkan Tabel 4.6, dapat dilihat bahwa terdapat 34 responden yang


menjawab Selalu, 50 responden (49%) menjawab sering. 16 responden
(16%) menjawab kadang-kadang, dan 2 responden (2%) menjawab tidak
pernah mencari informasi mengenai anak berkebutuhan khusus. Persentase
respon jawaban dari 102 responden tersebut dapat digambarkan dalam
diagram pie berikut ini.
Series Series1;
Series1;
1; Kadang;
Selalu; 34;
Tidak 16; 16%
33%
Perna
h; 2;…

Series1;
Sering; 50;
49%

Gambar 4. 3 Persentase Responden terhadap Pernyataan “Frekuensi


Kegiatan mencari informasi mengenai anak berkebutuhan khusus”

(4) Pemantauan kemampuan peserta didik berkebutuhan khusus


Tabel 4. 7 Frekuensi Pemantauan kemampuan peserta didik
berkebutuhan khusus

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 62 61
Sering 28 27
Kadang-kadang 11 11
Tidak Pernah 1 1
Jumlah 102 100%

Berdasarkan Tabel 4.7, dapat dilihat bahwa terdapat 62 responden yang


menjawab Selalu, 28 responden (27%) menjawab sering melakukan
Pemantauan kemampuan peserta didik berkebutuhan khusus. 11 responden
(11%) menjawab kadang-kadang, dan 1 responden (1%) menjawab tidak
pernah mencari informasi mengenai anak berkebutuhan khusus. Persentase
respon jawaban dari 102 responden tersebut dapat digambarkan dalam
diagram pie berikut ini.
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

65

Series Series1;
1; Kadang;
Tidak 11; 11%
Perna Series1;
h; 1;… Selalu; 62; Series1;
61% Sering;
28; 27%

Gambar 4. 4 Persentase Responden terhadap Pernyataan “Frekuensi


Pemantauan kemampuan peserta didik berkebutuhan khusus”

(5) Pengelolaan kelas sesuai karakteristik peserta didik


Tabel 4. 8 Frekuensi Pengelolaan kelas sesuai karakteristik peserta
didik

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 39 38
Sering 42 41
Kadang-kadang 17 17
Tidak Pernah 4 4
Jumlah 102 100%

Berdasarkan Tabel 4.8, dapat dilihat bahwa terdapat 39 responden yang


menjawab Selalu, 42 responden (41%) menjawab sering melakukan
pengelolaan kelas. 17 responden (17%) menjawab kadang-kadang, dan 4
responden (4%) menjawab tidak pernah melakukan pengelolaan kelas.
Persentase respon jawaban dari 102 responden tersebut dapat digambarkan
dalam diagram pie berikut ini.
Series Series1;
Series1;
1; Kadang;
Selalu; 39;
Tidak 17; 17%
38%
Perna
h; 4;…

Series1;
Sering; 42;
41%

Gambar 4. 5 Persentasecommit
Responden terhadap Pernyataan “Frekuensi
to user
Pengelolaan kelas sesuai karakteristik peserta didik berkebutuhan”
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

66

(6) Kesulitan dalam mengajar peserta didik berkebutuhan khusus


Tabel 4. 9 Frekuensi Kesulitan dalam mengajar peserta didik berkebutuhan khusus

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 2 2
Sering 15 15
Kadang-kadang 82 80
Tidak Pernah 3 3
Jumlah 102 100%
Berdasarkan Tabel 4.9, dapat dilihat bahwa terdapat 2 responden yang
menjawab Selalu mengalami kesulitan dalam mengajar peserta didik
berkebutuhan khusus, 15 responden (15%) menjawab sering. 82 responden
(80%) menjawab kadang-kadang, dan 3 responden (3%) menjawab tidak
pernah mengalami kesulitan. Persentase respon jawaban dari 102 responden
tersebut dapat digambarkan dalam diagram pie berikut ini.
Series1; Series1; Series1;
Sering; 15; Selalu; 2; Tidak
15% 2% Pernah; 3;
3%

Series1;
Kadang;
82; 80%

Gambar 4. 6 Persentase Responden terhadap Pernyataan “Frekuensi


Kesulitan dalam mengajar peserta didik berkebutuhan khusus”

b) Dukungan Masyarakat
(1) Keterlibatan wali peserta didik berkebutuhan khusus dalam
kegiatan sekolah
Tabel 4. 10 Frekuensi Keterlibatan wali peserta didik berkebutuhan khusus
dalam kegiatan sekolah

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 51 50
Sering 34 33
Kadang-kadang 16 16
Tidak Pernah 1 1
Jumlah commit to102
user 100%
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

67

Berdasarkan Tabel 4.10, dapat dilihat bahwa terdapat 51 responden


yang menjawab Selalu melibatkan wali peserta didik berkebutuhan khusus,
34 responden (33%) menjawab sering. 16 responden (16%) menjawab
kadang-kadang, dan 1 responden (1%) menjawab tidak pernah. Persentase
respon jawaban dari 102 responden tersebut dapat digambarkan dalam
diagram pie berikut ini.
Series1; Series1;
Tidak Kadang;
Pernah; 16; 16%
Series
1; 1%
1;
Selalu
; 51;…
Series1;
Sering; 34;
33%

Gambar 4. 7 Persentase Responden terhadap Pernyataan “Frekuensi


Keterlibatan Wali Peserta Didik Berkebutuhan Khusus dalam Kegiatan
Sekolah”

(2) Pelaporan hasil belajar peserta didik berkebutuhan khusus setiap


bulan kepada wali peserta didik
Tabel 4. 11 Frekuensi Pelaporan Hasil Belajar Peserta Didik
Berkebutuhan Khusus

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 45 44
Sering 31 30
Kadang-kadang 22 22
Tidak Pernah 4 4
Jumlah 102 100%

Berdasarkan Tabel 4.11, dapat dilihat bahwa terdapat 44 responden


yang menjawab Selalu dan 31 responden (30%) menjawab sering
melakukan pelaporan hasil belajar peserta didik berkebutuhan khusus setiap
bulan. 22 responden (22%) menjawab kadang-kadang, dan 4 responden
(4%) menjawab tidak pernah. Persentase respon jawaban dari 102
responden tersebut dapat digambarkan dalam diagram pie berikut ini.
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

68

Series Series1;
Series1; 1; Kadang;
Selalu; 45; Tidak 22; 22%
44% Perna
h; 4;…

Series1;
Sering; 31;
30%

Gambar 4. 8 Persentase Responden terhadap Pernyataan “Frekuensi


Pelaporan Hasil Belajar Peserta Didik Berkebutuhan Khusus

(3) Mengadakan rapat dalam membahas penyelenggaraan pendidikan


inklusif
Tabel 4. 12 Frekuensi Pengadaan Rapat Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 33 32
Sering 33 32
Kadang-kadang 33 33
Tidak Pernah 3 3
Jumlah 102 100%

Berdasarkan Tabel 4.12, dapat dilihat bahwa terdapat 33 responden


yang menjawab Selalu mengadakan rapat untuk membahas
penyelenggaraan pendidikan inklusif, 33 responden (32%) menjawab
sering. 33 responden (33%) menjawab kadang-kadang, dan 3 responden
(3%) menjawab tidak pernah. Persentase respon jawaban dari 102
responden tersebut dapat digambarkan dalam diagram pie berikut ini.
Series1; Series1;
Selalu; 33; Tidak
32% Pernah; 3;
3%
Series1;
Kadang;
33; 33%
Series1;
Sering; 33;
32%

Gambar 4. 9 Persentasecommit to user


Responden terhadap Pernyataan “Frekuensi
Pengadaan Rapat Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif”
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

69

(4) Mengadakan rapat khusus yang melibatkan wali peserta didik


untuk membahas penyelenggaraan pendidikan inklusif
Tabel 4. 13 Frekuensi Keterlibatan Wali Peserta Didik dalam Rapat
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 21 21
Sering 37 36
Kadang-kadang 38 37
Tidak Pernah 6 6
Jumlah 102 100%
Berdasarkan Tabel 4.13, dapat dilihat bahwa terdapat 21 yang
menjawab Selalu dan 37 responden (36%) menjawab sering mengadakan
rapat penyelenggaran pendidikan inklusif yang melibatkan wali peserta
didik. 38 responden (37%) menjawab kadang-kadang, dan 6 responden
(6%) menjawab tidak pernah. Persentase respon jawaban dari 102
responden tersebut dapat digambarkan dalam diagram pie berikut ini.
Series1; Series1;
Selalu; 33; Tidak
32% Pernah; 3;
3%

Series1;
Kadang;
Series1; 33; 33%
Sering; 33;
32%

Gambar 4. 10 Persentase Responden terhadap Pernyataan “Frekuensi


Pelibatan Wali Peserta Didik dalam Rapat Penyelenggaraan Pendidikan
Inklusif”

Sejalan dengan data yang diperoleh dari kuesioner, berdasarkan hasil


wawancara dengan informan yang berperan sebagai wali peserta didik
mengatakan bahwa sekolah sudah terbuka dengan mengadakan kegiatan
seperti rapat dengan wali peserta didik berkebutuhan khusus untuk
melaporkan hasil belajar peserta didik. Salah satu informan D mengatakan:
“Ya, ada (rapat) dan saya datang ketika ada kegiatan sekolah yang
terkait dengan laporan atau sosialisasi tentang perkembangan anak
saya.” commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

70

c) Dana
(1) Penyusunan rencana anggaran sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif
Tabel 4. 14 Frekuensi Penyusunan Rencana Anggaran Pendidikan Inklusif

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 31 30
Sering 34 33
Kadang-kadang 26 26
Tidak Pernah 11 11
Jumlah 102 100%

Berdasarkan Tabel 4.14, dapat dilihat bahwa terdapat 31 responden


yang menjawab Selalu menyusun rencana anggaran pendidikan inklusif di
sekolah, 34 responden (33%) menjawab sering. 26 responden (26%)
menjawab kadang-kadang, dan 11 responden (11%) menjawab tidak
pernah. Persentase respon jawaban dari 102 responden tersebut dapat
digambarkan dalam diagram pie berikut ini.
Series1; Series1;
Selalu; 31; Tidak
30% Pernah;
11; 11%

Series1; Series1;
Sering; 34; Kadang;
33% 26; 26%

Gambar 4. 11 Persentase Responden terhadap Pernyataan “Frekuensi


Penyusunan Rencana Anggaran Pendidikan Inklusif”

(2) Pengalokasian dana untuk pendidikan inklusif setiap bulan


Tabel 4. 15 Frekuensi Pengalokasian Dana Pendidikan Inklusif

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 29 28
Sering 31 30
Kadang-kadang 28 28
Tidak Pernah 14 14
commit to user
Jumlah 102 100%
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

71

Berdasarkan Tabel 4.15, dapat dilihat bahwa terdapat 29 responden


yang menjawab Selalu dan 31 responden (30%) menjawab sering
mengalokasikan dana setiap bulan untuk pendidikan inklusif. 28 responden
(28%) menjawab kadang-kadang, dan 14 responden (14%) menjawab tidak
pernah. Persentase respon jawaban dari 102 responden tersebut dapat
digambarkan dalam diagram pie berikut ini.
Series1; Series1;
Selalu; 29; Tidak
28% Pernah;
14; 14%

Series1; Series1;
Sering; Kadang;
31; 30% 28; 28%
Gambar 4. 12 Persentase Responden terhadap Pernyataan “Frekuensi
Pengalokasian Dana Pendidikan Inklusif”

(3)Anggaran dana untuk penunjang pendidikan inklusif dialokasikan


untuk melengkapi sarana prasana peserta didik berkebutuhan khusus

Tabel 4. 16 Frekuensi Pengalokasian Dana untuk Fasilitas Penunjang


Pendidikan Inklusif

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 24 24
Sering 33 32
Kadang-kadang 36 35
Tidak Pernah 9 9
Jumlah 102 100%
Berdasarkan Tabel 4.16, dapat dilihat bahwa terdapat 24 responden
yang menjawab Selalu mengalokasikan dana untuk sarana-prasarana
penunjang pendidikan inklusif, 33 responden (32%) menjawab sering. 36
responden (35%) menjawab kadang-kadang, dan 9 responden (9%)
menjawab tidak pernah. Persentase respon jawaban dari 102 responden
tersebut dapat digambarkan dalam diagram pie berikut ini.

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

72

Series1; Series1;
Selalu; 24; Tidak
24% Pernah; 9;
Series1; 9%
Series1; Kadang;
Sering; 33; 36; 35%
32%

Gambar 4. 13 Persentase Responden terhadap Pernyataan “Frekuensi


Pengalokasian Dana untuk Fasilitas Penunjang Pendidikan Inklusif”

(4)Penyediaan dana yang memadai untuk menunjang pendidikan


inklusif
Tabel 4. 17 Frekuensi Pengalokasian Dana yang Memadai untuk Menunjang
Pendidikan Inklusif”

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 28 28
Sering 29 28
Kadang-kadang 31 30
Tidak Pernah 14 14
Jumlah 102 100%
Berdasarkan Tabel 4.17, dapat dilihat bahwa terdapat 28 responden
yang menjawab Selalu dan 29 responden (28%) menjawab sering. 31
responden (30%) menjawab kadang-kadang, dan 14 responden (14%)
menjawab dana tidak memadai untuk menunjang pendidikan inklusif.
Persentase respon jawaban dari 102 responden tersebut dapat digambarkan
dalam diagram pie berikut ini.
Series1; Series1;
Selalu; 28; Tidak
28% Pernah;
14; 14%

Series1; Series1;
Sering; 29; Kadang;
28% 31; 30%

Gambar 4. 14 Persentase Responden terhadap Pernyataan “Frekuensi


commit to user
Pengalokasian Dana yang Memadai untuk Menunjang Pendidikan Inklusif”
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

73

d) Sarana Prasarana
(1) Pemanfaatan sarana-prasarana oleh semua warga sekolah
Tabel 4. 18 Frekuensi Pemanfaatan Sarana-Prasarana

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 37 36
Sering 41 40
Kadang-kadang 22 22
Tidak Pernah 2 2
Jumlah 102 100%
Berdasarkan Tabel 4.18, dapat dilihat bahwa terdapat 36 responden
yang menjawab Selalu memanfaatkan sarana-prasarana secara optimal, 41
responden (40%) menjawab sering. 22 responden (22%) menjawab kadang-
kadang, dan 2 responden (2%) menjawab tidak pernah mengoptimalkan
pemanfaatan sarana-prasarana. Persentase respon jawaban dari 102
responden tersebut dapat digambarkan dalam diagram pie berikut ini.

Series1; Series1; Series1;


Selalu; 37; Tidak Kadang;
36% Pernah; 22; 22%
2; 2%

Series1;
Sering; 41;
40%

Gambar 4. 15 Frekuensi Persentase Responden terhadap Pernyataan


“Pemanfaatan Sarana Prasarana”

(2) Perencanaan sarana prasarana berupa alat pembelajaran dan media


pembelajaran untuk peserta didik berkebutuhan khusus
Tabel 4. 19 Perencanaan Sarana-Prasarana Berupa Alat Pembelajaran dan
Media Pembelajaran Untuk Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
Respon jawaban Persentase (%)
Selalu 23 23
Sering 46 45
Kadang-kadang 30 29
Tidak Pernah 3 3
Jumlah 102 100%
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

74

Berdasarkan Tabel 4.19, dapat dilihat bahwa terdapat 23 responden


yang menjawab Selalu merencaranakan sarana-prasarana untuk menunjang
pembelajaran peserta didik berkebutuhan khusus, 46 responden (45%)
menjawab sering. 30 responden (29%) menjawab kadang-kadang, dan 3
responden (3%) menjawab tidak pernah merencanakan sarana-prasarana
yang menunjang pembelajaran peserta didik berkebutuhan khusus.
Persentase respon jawaban dari 102 responden tersebut dapat digambarkan
dalam diagram pie berikut ini.
Series1; Series1;
Selalu; 23; Tidak Series1;
23% Pernah; 3; Kadang;
3% 30; 29%
Series1;
Sering; 46;
45%

Gambar 4. 16 Persentase Responden terhadap Pernyataan “Frekuensi


Perencanaan Sarana-Prasarana Berupa Alat Pembelajaran dan Media
Pembelajaran Untuk Peserta Didik Berkebutuhan Khusus”

(3) Identifikasi dan penyediaan fasilitas sesuai karakteristik peserta


didik berkebutuhan khusus
Tabel 4. 20 Frekuensi Pengidentifikasian dan Penyediaan Fasilitas

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 25 24
Sering 47 46
Kadang-kadang 24 24
Tidak Pernah 6 6
Jumlah 102 100%

Berdasarkan Tabel 4.20, dapat dilihat bahwa terdapat 25 responden


yang menjawab Selalu mengidentifikasi dan menyediakan sarana-prasarana
yang sesuai dengan karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus, 47
responden (46%) menjawab sering. 24 responden (24%) menjawab kadang-
commit
kadang, dan 6 responden (6%) to user tidak pernah. Persentase respon
menjawab
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

75

jawaban dari 102 responden tersebut dapat digambarkan dalam diagram pie
berikut ini.

Series1; Series Series1;


Selalu; 25; 1; Kadang;
24% Tidak 24; 24%
Perna
h;Series1;
6;…
Sering; 47;
46%

Gambar 4. 17 Persentase Responden terhadap Pernyataan “ Frekuensi


Pengidentifikasian dan Penyediaan Fasilitas”

(4) Pengadaan media pelajaran yang menyesuaikan dengan


karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus

Tabel 4. 21 Frekuensi Pengadaan Media Pembelajaran yang Sesuai dengan


Karakteristik Peserta Didik Berkebutuhan Khusus

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 27 26
Sering 52 51
Kadang-kadang 22 22
Tidak Pernah 1 1
Jumlah 102 100%

Berdasarkan Tabel 4.21, dapat dilihat bahwa terdapat 27 responden


yang menjawab selalu dan 52 responden (51%) menjawab sering
mengadakan media pembelajaran yang menyesuaikan dengan karakteristik
peserta didik berkebutuhan khusus. 22 responden (22%) menjawab kadang-
kadang, dan 1 responden (1%) menjawab tidak pernah. Persentase respon
jawaban dari 102 responden tersebut dapat digambarkan dalam diagram pie
berikut ini.

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

76

Series1; Series
Series1;
Selalu; 27; 1;
Kadang;
26% Tidak
22; 22%
Perna
Series1;
h; 1;…
Sering; 52;
51%

Gambar 4. 18 Persentase Responden terhadap Pernyataan “Frekuensi


Pengadaan Media Pembelajaran yang Sesuai dengan Karakteristik Peserta
Didik Berkebutuhan Khusus”

(5) Sekolah memiliki ruang sumber (kelas khusus) dengan berbagai


macam sumber belajar
Tabel 4. 22 Frekuensi Pengadaan Ruang Sumber (Kelas Khusus)

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 28 27
Sering 27 27
Kadang-kadang 30 29
Tidak Pernah 17 17
Jumlah 102 100%
Berdasarkan Tabel 4.22, dapat dilihat bahwa terdapat 28 responden
yang menjawab Selalu memiliki ruang sumber (kelas khusus) dengan
berbagai macam sumber belajar, 27 responden (27%) menjawab sering. 30
responden (29%) menjawab kadang-kadang, dan 17 responden (17%)
menjawab tidak pernah. Persentase respon jawaban dari 102 responden
tersebut dapat digambarkan dalam diagram pie berikut ini.
Series1; Series1;
Selalu; 28; Tidak
27% Pernah;
17; 17%
Series1; Series1;
Sering; 27; Kadang;
27% 30; 29%

Gambar 4. 19 Persentasecommit
Responden terhadap Pernyataan “ Frekuensi
to user
Pengadaan Ruang Sumber (Kelas Khusus)”
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

77

(6) Pemanfaatan sarana prasarana yang ada dalam pembelajaran


yang melibatkan peserta didik berkebutuhan khusus
Tabel 4. 23 Frekuensi Pemanfaaan Sarana Prasarana Pembelajaran yang
Melibatkan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 29 28
Sering 42 41
Kadang-kadang 27 27
Tidak Pernah 4 4
Jumlah 102 100%

Berdasarkan Tabel 4.23, dapat dilihat bahwa terdapat 29 responden


yang menjawab Selalu memanfaatkan sarana prasarana yang ada dalam
pembelajaran yang melibatkan peserta didik berkebutuhan khusus, 42
responden (41%) menjawab sering. 27 responden (27%) menjawab kadang-
kadang, dan 4 responden (4%) menjawab tidak pernah. Persentase respon
jawaban dari 102 responden tersebut dapat digambarkan dalam diagram pie
berikut ini.
Series1; Series1;
Selalu; 29; Tidak
28% Pernah; 4;
4%
Series1; Series1;
Sering; 42; Kadang;
41% 27; 27%

Gambar 4. 20 Persentase Responden terhadap Pernyataan “Frekuensi


Pemanfaaan Sarana Prasarana Pembelajaran yang Melibatkan Peserta
Didik Berkebutuhan Khusus”

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

78

(7) Guru pembimbing khusus berperan dalam pengadaan sarana –


prasarana yang menunjang kebutuhan peserta didik berkebutuhan
khusus
Tabel 4. 24 Frekuensi Peran Guru Pembimbing Khusus dalam Pengadaan
Sarana-Prasarana

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 32 31
Sering 40 39
Kadang-kadang 22 22
Tidak Pernah 8 8
Jumlah 102 100%

Berdasarkan Tabel 4.24, dapat dilihat bahwa terdapat 32 responden


yang menjawab bahwa Guru Pembimbing Khusus Selalu berperan dalam
pengadaan sarana-prasarana yang menunjang kebutuhan peserta didik
berkebutuhan khusus, 40 responden (39%) menjawab sering. 22 responden
(22%) menjawab kadang-kadang, dan 8 responden (8%) menjawab tidak
pernah. Persentase respon jawaban dari 102 responden tersebut dapat
digambarkan dalam diagram pie berikut ini.

Series1; Series
Selalu; 32; 1;
Series1;
31% Tidak
Kadang;
Perna
22; 22%
h; 8;…

Series1;
Sering; 40;
39%

Gambar 4. 21 Persentase Responden terhadap Pernyataan “ Frekuensi Peran Guru


Pembimbing Khusus dalam Pengadaan Sarana-Prasarana”

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

79

2) Lingkungan Implementasi
Lingkungan implementasi oleh teori Grindle berupa strategi aktor dan
responsivitas kelompok sasaran ditinjau berdasarkan Permendiknas Nomor 70
tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki
Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa berupa
aspek pemerimaan peserta didik berkebutuhan khusus, kurikulum dan
pembelajaran
a) Penerimaan Peserta Didik
(1) Sekolah merencanakan penerimaan peserta didik berkebutuhan
khusus dengan mempertimbangkan daya tampung sekolah

Tabel 4. 25 Frekuensi Perencanaan Penerimaan Peserta Didik Berkebutuhan


Khusus
Respon jawaban Persentase (%)
Selalu 63 62
Sering 29 28
Kadang-kadang 6 6
Tidak Pernah 4 4
Jumlah 102 100%
Berdasarkan Tabel 4.25, dapat dilihat bahwa terdapat 63 responden
yang menjawab Selalu merencanakan penerimaan peserta didik
berkebutuhan khusus dengan melihat daya tampung sekolah, 29 responden
(62%) menjawab sering. 29 responden (28%) menjawab kadang-kadang,
dan 6 responden (6%) menjawab tidak pernah. Persentase respon jawaban
dari 102 responden tersebut dapat digambarkan dalam diagram pie berikut
ini.
Series1; Series1;
Tidak Kadang; 6;
Pernah; 6%
Series1;
4; 4%
Selalu; 63; Series1;
62% Sering;
29; 28%

Gambar 4. 22 Persentase Responden terhadap Pernyataan “Frekuensi


commitpeserta
Kesulitan dalam mengajar to userdidik berkebutuhan khusus”
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

80

(2) Sekolah memberikan layanan bimbingan khusus kepada peserta


didik berkebutuhan khusus
Tabel 4. 26 Frekuensi Pemberian Layanan Bimbingan Khusus

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 53 52
Sering 34 33
Kadang-kadang 13 13
Tidak Pernah 2 2
Jumlah 102 100%
Berdasarkan Tabel 4.26, dapat dilihat bahwa terdapat 53 responden
yang menjawab sekolah selalu memberikan layanan bimbingan khusus
kepada peserta didik berkebutuhan khusus, 34 responden (33%) menjawab
sering. 13 responden (13%) menjawab kadang-kadang, dan 2 responden
(2%) menjawab tidak pernah. Persentase respon jawaban dari 102
responden tersebut dapat digambarkan dalam diagram pie berikut ini.

Series1; Series1;
Tidak Kadang;
Pernah; 13; 13%
Series1;
2; 2%
Selalu;
53; 52%
Series1;
Sering;
34; 33%

Gambar 4. 23 Persentase Responden terhadap Pernyataan “ Frekuensi


Pemberian Layanan Bimbingan Khusus”

(3) Keterlibatan peserta didik berkebutuhan khusus dalam kegiatan


sekolah
Tabel 4. 27 Frekuensi Keterlibatan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
dalam Kegiatan Sekolah

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 61 60
Sering 29 28
Kadang-kadang 9 9
Tidak Pernah 3 3
Jumlah commit to102
user 100%
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

81

Berdasarkan Tabel 4.27, dapat dilihat bahwa terdapat 61 responden


yang menjawab selalu melibatkan peserta didik berkebutuhan khusus dalam
kegiatan sekolah, 29 responden (28%) menjawab sering. 9 responden (9%)
menjawab kadang-kadang, dan 3 responden (3%) menjawab tidak pernah
mengalami kesulitan. Persentase respon jawaban dari 102 responden
tersebut dapat digambarkan dalam diagram pie berikut ini.
Series1; Series1;
Tidak Kadang;
Pernah; 9; 9%
Series1;
3; 3%
Selalu; 61;
60%

Series1;
Sering;
29; 28%

Gambar 4. 24 Persentase Responden terhadap Pernyataan “ Frekuensi


Keterlibatan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus dalam Kegiatan Sekolah”

(4) Setiap tahun sekolah menerima peserta didik berkebutuhan


khusus
Tabel 4. 28 Frekuensi Penerimaan Peserta Didik Bekebutuhan Khusus
Setiap Tahun

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 88 86
Sering 10 10
Kadang-kadang 3 3
Tidak Pernah 1 1
Jumlah 102 100%

Berdasarkan Tabel 4.28, dapat dilihat bahwa terdapat 88 responden


yang menjawab selalu menerima peserta didik berkebutuhan khusus setiap
tahun, 10 responden (10%) menjawab sering. 3 responden (3%) menjawab
kadang-kadang, dan 1 responden (1%) menjawab tidak pernah. Persentase
respon jawaban dari 102 responden tersebut dapat digambarkan dalam
diagram pie berikut ini.
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

82

Series Series1;
Series1;
1; Kadang;
Sering;3;10;
Tidak 3%10%
Perna
h; 1;… Series1;
Selalu; 88;
86%

Gambar 4. 25 Persentase Responden terhadap Pernyataan “ Frekuensi


Penerimaan Peserta Didik Bekebutuhan Khusus Setiap Tahun”

(5) Sekolah terbuka untuk menerima peserta didik berkebutuhan


khusus
Tabel 4. 29 Frekuensi Keterbukaan Sekolah dalam Penerimaan Peserta
Didik Berkebutuhan Khusus

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 85 83
Sering 12 12
Kadang-kadang 4 4
Tidak Pernah 1 1
Jumlah 0 100%

Berdasarkan Tabel 4.29, dapat dilihat bahwa terdapat 85 responden


yang menjawab sekolah selalu terbuka dalam penerimaan peserta didik
berkebutuhan khusus, 12 responden (12%) menjawab sering. 4 responden
(4%) menjawab kadang-kadang, dan 1 responden (1%) menjawab tidak
pernah. Persentase respon jawaban dari 102 responden tersebut dapat
digambarkan dalam diagram pie berikut ini.
Series1; Series1;
Series1;
Tidak Kadang;
Sering;
Pernah; 4;12;
4%12%
1; 1%
Series1;
Selalu;
85; 83%

Gambar 4. 26 Persentase Responden


commit terhadap Pernyataan “ Frekuensi
to user
Keterbukaan Sekolah dalam Penerimaan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus”
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

83

(6) Sekolah melakukan identifikasi dan asesmen terhadap peserta didik


berkebutuhan khusus
Tabel 4. 30 Frekuensi Identifikasi dan Asesmen Terhadap Peserta Didik
Berkebutuhan Khusus
Respon jawaban Persentase (%)
Selalu 71 70
Sering 20 19
Kadang-kadang 8 8
Tidak Pernah 3 3
Jumlah 102 100%
Berdasarkan Tabel 4.30, dapat dilihat bahwa terdapat 71 responden
yang menjawab selalu melakukan identifikasi dan asesmen terhadap peserta
didik berkebutuhan khusus. 20 responden (19%) menjawab sering. 8
responden (8%) menjawab kadang-kadang, dan 3 responden (3%)
menjawab tidak pernah. Persentase respon jawaban dari 102 responden
tersebut dapat digambarkan dalam diagram pie berikut ini.
Series Series1;
1; Kadang; 8;
Tidak 8%
Perna
Series1;
h; 3;… Series1; Sering;
Selalu; 71; 20; 19%
70%

Gambar 4. 27 Persentase Responden terhadap Pernyataan “ Frekuensi


Identifikasi dan Asesmen Terhadap Peserta Didik Berkebutuhan Khusus”

(7) Sekolah melibatkan pihak lain dalam melakukan identifikasi peserta


didik berkebutuhan khusus
Tabel 4. 31 Frekuensi Keterlibatan Pihak Lain dalam Identifikasi Peserta
Didik Berkebutuhan Khusus

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 48 47
Sering 29 28
Kadang-kadang 19 19
Tidak Pernah 6 6
commit to user
Jumlah 102 100%
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

84

Berdasarkan Tabel 4.31, dapat dilihat bahwa terdapat 48 responden


yang menjawab selalu melibatkan pihak lain untuk melakukan identifikasi
peserta didik berkebutuhan khusus, 29 responden (28%) menjawab sering.
19 responden (19%) menjawab kadang-kadang, dan 6 responden (6%)
menjawab tidak pernah. Sejalan dengan hasil wawancara mengenai
mayoritas sekolah tidak melakukan identifikasi dan asesmen secara
langsung, namun kegiatan tersebut melibatkan pihak lain, salah satunya
Pusat Layanan Disabilitas dan Pendidikan Inklusi. Adapun hasil wawancara
terkait identifikasi dan asesmen dengan informan YW adalah sebagai
berikut
“Penerimaan ABK di sekolah inklusif sudah masuk pada tahun ke-
3, untuk penerimaan peserta didik semuanya atas rujukan dinas
pendidikan melalui PLA.”

“Sekolah belum melakukan identifikasi dan asesmen, hanya lewat


dinas. Semua kembali lagi pada kebijakan sekolah.”

Persentase respon jawaban dari 102 responden tersebut dapat digambarkan


dalam diagram pie berikut ini.

Series1; Series Series1;


Selalu; 48; 1; Kadang;
47% Tidak 19; 19%
Perna
h; 6;…

Series1;
Sering; 29;
28%

Gambar 4. 28 Persentase Responden terhadap Pernyataan “ Frekuensi


Keterlibatan Pihak Lain dalam Identifikasi Peserta Didik Berkebutuhan
Khusus”

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

85

(8) Informasi hasil identifikasi dan asesmen peserta didik


berkebutuhan khusus diberikan kepada tenaga pendidik
Tabel 4. 32 Frekuensi Informasi Hasil Identifikasi dan Asesmen Peserta Didik
Berkebutuhan Khusus diberikan Kepada Pendidik
Respon jawaban Persentase (%)
Selalu 66 65
Sering 28 27
Kadang-kadang 7 7
Tidak Pernah 1 1
Jumlah 102 100%
Berdasarkan Tabel 4.32, dapat dilihat bahwa terdapat 66 responden
yang menjawab informasi hasil identifikasi dan asesmen peserta didik
berkebutuhan khusus selalu diberikan kepada pendidik 28 responden (27%)
menjawab sering. 7 responden (7%) menjawab kadang-kadang, dan 1
responden (1%) menjawab tidak pernah mengalami kesulitan. Persentase
respon jawaban dari 102 responden tersebut dapat digambarkan dalam
diagram pie berikut ini.
Series1; Series1;
Tidak Kadang; 7;
Series1;
Pernah; 7%
Series1; Sering; 28;
1; 1%
Selalu; 66; 27%
65%

Gambar 4. 29 Persentase Responden terhadap Pernyataan “ Frekuensi Informasi


Hasil Identifikasi dan Asesmen Peserta Didik Berkebutuhan Khusus diberikan
Kepada Tenaga Pendidik”
(9) Hasil identifikasi dan asesmen digunakan untuk menyusun
perangkat pembelajaran
Tabel 4. 33 Frekuensi Hasil Identifikasi dan Asesmen digunakan untuk
Menyusun Perangkat Pembelajaran
Respon jawaban Persentase (%)
Selalu 57 56
Sering 28 27
Kadang-kadang 16 16
Tidak Pernah 1 1
commit to user
Jumlah 102 100%
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

86

Berdasarkan Tabel 4.33, dapat dilihat bahwa terdapat 57 responden


yang menjawab selalu menjadikan hasi identifikasi dan asesmen digunakan
untuk menyusun perangkat pembelajaran, 28 responden (27%) menjawab
sering. 16 responden (16%) menjawab kadang-kadang, dan 1 responden
(1%) menjawab tidak pernah mengalami kesulitan. Persentase respon
jawaban dari 102 responden tersebut dapat digambarkan dalam diagram pie
berikut ini.
Series Series1;
1; Kadang;
Tidak 16; 16%
Perna Series1;
h; 1;… Selalu; 57; Series1;
56% Sering; 28;
27%

Gambar 4. 30 Persentase Responden terhadap Pernyataan “ Frekuensi Hasil


Identifikasi dan Asesmen digunakan untuk Menyusun Perangkat
Pembelajaran”

b) Kurikulum
(1) Penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran khusus untuk
peserta didik berkebutuhan khusus
Tabel 4. 34 Frekuensi Penyusunan RPP Khusus Peserta Didik Berkebutuhan
Khusus

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 49 48
Sering 20 20
Kadang-kadang 22 21
Tidak Pernah 11 11
Jumlah 102 100%

Berdasarkan Tabel 4.34, dapat dilihat bahwa terdapat 49 responden


yang menjawab selalu menyusun RPP khusus peserta didik dengan
kebutuhan khusus, 20 responden (20%) menjawab sering. 22 responden
(21%) menjawab kadang-kadang,
commit dan 11 responden (11%) menjawab tidak
to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

87

pernah. Persentase respon jawaban dari 102 responden tersebut dapat


digambarkan dalam diagram pie berikut ini.
Series1;
Series1; Tidak
Selalu; 49; Pernah;
48% 11; 11%
Series1;
Kadang;
22; 21%
Series1;
Sering; 20;
20%

Gambar 4. 31 Persentase Responden terhadap Pernyataan “Frekuensi


Penyusunan RPP Khusus Peserta Didik Berkebutuhan Khusus”

(2) Kegiatan koordinasi antara GPK dan guru kelas/ guru mata
pelajaran dalam penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran
Tabel 4. 35 Frekuensi Koordinasi Antara GPK dan Guru Kelas/ Guru Mata
Pelajaran dalam Penyusunan RPP

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 41 40
Sering 32 31
Kadang-kadang 26 26
Tidak Pernah 3 3
Jumlah 0 100%

Berdasarkan Tabel 4.35, dapat dilihat bahwa terdapat 42 responden


yang menjawab selalu melakukan koordinasi antara GPK dan guru
kelas/guru mata pelajaran dalam menyusun RPP, 32 responden (31%)
menjawab sering. 26 responden (26%) menjawab kadang-kadang, dan 3
responden (3%) menjawab tidak pernah. Persentase respon jawaban dari
102 responden tersebut dapat digambarkan dalam diagram pie berikut ini.

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

88

Series1; Series1;
Tidak Kadang;
Pernah; 3; 26; 26%
3%

Series1; Series1;
Selalu; 41; Sering; 32;
40% 31%

Gambar 4. 32 Persentase Responden terhadap Pernyataan “ Frekuensi


Koordinasi Antara GPK dan Guru Kelas/ Guru Mata Pelajaran dalam
Penyusunan RPP”

(3) Penyesuaian materi pembelajaran dengan karakteristik peserta didik


berkebutuhan khusus
Tabel 4. 36 Frekuensi Pendidik Menyesuaian Materi Pembelajaran dengan
Karakteristik Peserta Didik Berkebutuhan Khusus

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 50 49
Sering 37 36
Kadang-kadang 12 12
Tidak Pernah 3 3
Jumlah 102 100%

Berdasarkan Tabel 4.36, dapat dilihat bahwa terdapat 50 responden


yang menjawab selalu menyesuaikan materi pembelajaran dengan
karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus, 37 responden (36%)
menjawab sering. 12 responden (12%) menjawab kadang-kadang, dan 3
responden (3%) menjawab tidak pernah mengalami kesulitan. Persentase
respon jawaban dari 102 responden tersebut dapat digambarkan dalam
diagram pie berikut ini.

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

89

Series Series1;
Series1; 1; Kadang;
Selalu; 50; Tidak 12; 12%
49% Perna
h; 3;… Series1;
Sering; 37;
36%

Gambar 4. 33 Persentase Responden terhadap Pernyataan “ Frekuensi


Pendidik Menyesuaian Materi Pembelajaran dengan Karakteristik Peserta
Didik Berkebutuhan Khusus”

(4) Modifikasi kurikulum sesuai dengan kebutuhan peserta didik


berkebutuhan khusus pada tingkat KKM mata pelajaran
Tabel 4. 37 Frekuensi Pendidik Memodifikasi Kurikulum Sesuai Kebutuhan Peserta
Didik Berkebutuhan Khusus Pada Tingkat KKM Mata Pelajaran

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 46 45
Sering 34 33
Kadang-kadang 17 17
Tidak Pernah 5 5
Jumlah 102 100%

Berdasarkan Tabel 4.37, dapat dilihat bahwa terdapat 46 responden


yang menjawab selalu melakukan modifikasi kurikulum pada tngkat KKM
mata pelajaran untuk peserta didik berkebutuhan khusus, 34 responden
(33%) menjawab sering. 17 responden (17%) menjawab kadang-kadang,
dan 5 responden (5%) menjawab tidak pernah. Persentase respon jawaban
dari 102 responden tersebut dapat digambarkan dalam diagram pie berikut
ini.

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

90

Series Series1;
Series1; 1; Kadang;
Selalu; 46; Tidak 17; 17%
45% Perna
h; 5;… Series1;
Sering; 34;
33%

Gambar 4. 34 Persentase Responden terhadap Pernyataan “ Frekuensi Pendidik


Memodifikasi Kurikulum Sesuai Kebutuhan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
Pada Tingkat KKM Mata Pelajaran”

(5) Memodifikasi rencana pelaksanaan pembelajaran untuk peserta didik


berkebutuhan khusus
Tabel 4. 38 Frekuensi Pendidik Memodifikasi RPP untuk Peserta Didik
Berkebutuhan Khusus

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 36 35
Sering 43 42
Kadang-kadang 19 19
Tidak Pernah 4 4
Jumlah 0 100%
Berdasarkan Tabel 4.38, dapat dilihat bahwa terdapat 36 responden
yang menjawab selalu melakukan modifikasi RPP untuk peserta didik
berkebutuhan khusus, 43 responden (42%) menjawab sering. 19 responden
(19%) menjawab kadang-kadang, dan 4 responden (4%) menjawab tidak
pernah mengalami kesulitan. Persentase respon jawaban dari 102 responden
tersebut dapat digambarkan dalam diagram pie berikut ini.

Series1; Series1; Series1;


Selalu; Tidak Kadang;
36; Pernah; 19; 19%
35% 4; 4%

Series1;
Sering;
43;
42%
Gambar 4. 35 Persentase Responden terhadap Pernyataan “Frekuensi
commit
Pendidik Memodifikasi RPP to user
untuk Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

91

c) Pembelajaran
(1) Penggunaan media pelajaran yang sesuai dengan karakteristik
peserta didik
Tabel 4. 39 Frekuensi Penggunaan Media Pembelajaran Sesuai
Karakteristik Peserta Didik

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 42 41
Sering 46 45
Kadang-kadang 13 13
Tidak Pernah 1 1
Jumlah 102 100%

Berdasarkan Tabel 4.39, dapat dilihat bahwa terdapat 42 responden


yang menjawab selalu menggunakan media pembelajaran yang sesuai
dengan karakteristik peserta didik, 46 responden (45%) menjawab sering.
13 responden (13%) menjawab kadang-kadang, dan 1 responden (1%)
menjawab tidak pernah mengalami kesulitan. Persentase respon jawaban
dari 102 responden tersebut dapat digambarkan dalam diagram pie berikut
ini.
Series Series1;
Series1; 1; Kadang;
Selalu; 42;Tidak 13; 13%
41% Perna
h; 1;… Series1;
Sering; 46;
45%

Gambar 4. 36 Persentase Responden terhadap Pernyataan “ Frekuensi


Penggunaan Media Pembelajaran Sesuai Karakteristik Peserta Didik”

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

92

(2) Mendiskusikan materi pelajaran yang akan disampaikan dengan


guru pembimbing khusus
Tabel 4. 40 Frekuensi Diskusi antara Guru Kelas/Mata pelajaran dengan
Guru Pembimbing Khusus terkait Materi Pelajaran
Respon jawaban Persentase (%)
Selalu 29 29
Sering 39 38
Kadang-kadang 31 30
Tidak Pernah 3 3
Jumlah 102 100%
Berdasarkan Tabel 4.40, dapat dilihat bahwa terdapat 29 responden
yang menjawab selalu mendiskusikan materi pembelajaran yang akan
disampaikan dengan guru pembimbing khusus, 39 responden (38%)
menjawab sering. 31 responden (30%) menjawab kadang-kadang, dan 3
responden (3%) menjawab tidak pernah. Persentase respon jawaban dari
102 responden tersebut dapat digambarkan dalam diagram pie berikut ini.
Series1; Series1;
Selalu; 29; Tidak
29% Pernah; 3; Series1;
3% Kadang;
31; 30%
Series1;
Sering; 39;
38%

Gambar 4. 37 Persentase Responden terhadap Pernyataan “ Frekuensi Diskusi


antara Guru Kelas/Mata pelajaran dengan Guru Pembimbing Khusus terkait
Materi Pelajaran”
(3) Pendampingan peserta didik berkebutuhan khusus oleh guru
pembimbing khusus
Tabel 4. 41 Frekuensi Pendampingan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
oleh Guru Pembimbing Khusus
Respon jawaban Persentase (%)
Selalu 46 45
Sering 32 31
Kadang-kadang 18 18
Tidak Pernah 6 6
Jumlah commit to102
user 100%
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

93

Berdasarkan Tabel 4.41, dapat dilihat bahwa terdapat 46 responden


yang menjawab Guru Pembimbing Khusus selalu melakukan
pendampingan pada peserta didik berkebutuhan khusus saat pembelajaran,
32 responden (31%) menjawab sering. 18 responden (18%) menjawab
kadang-kadang, dan 6 responden (6%) menjawab tidak pernah. Persentase
respon jawaban dari 102 responden tersebut dapat digambarkan dalam
diagram pie berikut ini.
Series Series1;
Series1; 1; Kadang;
Selalu; 46; Tidak 18; 18%
45% Perna
h; 6;…

Series1;
Sering; 32;
31%

Gambar 4. 38 Persentase Responden terhadap Pernyataan “ Frekuensi


Pendampingan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus oleh Guru Pembimbing
Khusus”

(4) Pelaksanaan diskusi antara guru kelas/guru mata pelajaran dengan


guru pembimbing khusus mengenai pembelajaran di dalam kelas
Tabel 4. 42 Frekuensi Diskusi Antara Guru Kelas/ Guru Mata Pelajaran
dengan Guru Pembimbing Khusus

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 27 27
Sering 40 39
Kadang-kadang 30 29
Tidak Pernah 5 5
Jumlah 102 100%

Berdasarkan Tabel 4.42, dapat dilihat bahwa terdapat 27 responden


yang menjawab guru kelas/guru mata pelajaran selalu melakukan diskusi
dengan guru pembimbing khusus mengenai pembelajaran di dalam kelas,
40 responden (39%) menjawab sering. 30 responden (29%) menjawab
kadang-kadang, dan 5 responden
commit (5%) menjawab tidak pernah mengalami
to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

94

kesulitan. Persentase respon jawaban dari 102 responden tersebut dapat


digambarkan dalam diagram pie berikut ini.
Series1; Series1;
Selalu; 27; Tidak
27% Pernah; 5;
5%
Series1; Series1;
Sering; 40; Kadang;
39% 30; 29%

Gambar 4. 39 Persentase Responden terhadap Pernyataan “ Frekuensi


Diskusi Antara Guru Kelas/ Guru Mata Pelajaran dengan Guru
Pembimbing Khusus”

(5) Penyusunan program layanan individual untuk peserta didik


berkebutuhan khusus dengan guru pembimbing khusus

Tabel 4. 43 Frekuensi Penyusunan Program Layanan Individual

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 30 29
Sering 35 34
Kadang-kadang 28 28
Tidak Pernah 9 9
Jumlah 102 100%

Berdasarkan Tabel 4.43, dapat dilihat bahwa terdapat 30 responden


yang menjawab selalu menyusun program pembelajara individual untuk
peserta didik berkebutuhan khusus, 35 responden (34%) menjawab sering.
28 responden (28%) menjawab kadang-kadang, dan 9 responden (9%)
menjawab tidak pernah mengalami kesulitan. Persentase respon jawaban
dari 102 responden tersebut dapat digambarkan dalam diagram pie berikut
ini.

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

95

Series1; Series1;
Selalu; 30; Tidak
29% Pernah; 9;
9%

Series1; Series1;
Sering; 35; Kadang;
34% 28; 28%

Gambar 4. 40 Persentase Responden terhadap Pernyataan “ Frekuensi


Penyusunan Program Layanan Individual”

(6) Membedakan metode penilaian belajar peserta didik berkebutuhan


khusus dengan peserta didik lainnya
Tabel 4. 44 Frekuensi Pendidik melakukan Pembedaan Target Belajar
Peserta Didik Berkebutuhan Khusus

Respon jawaban Persentase (%)


Selalu 44 43
Sering 39 38
Kadang-kadang 17 17
Tidak Pernah 2 2
Jumlah 102 100%

Berdasarkan Tabel 4.44, dapat dilihat bahwa terdapat 44 responden


yang menjawab selalu membedakan metode penilaian belajar antara peserta
didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik lainnya, 39 responden
(38%) menjawab sering. 17 responden (17%) menjawab kadang-kadang,
dan 2 responden (2%) menjawab tidak pernah mengalami kesulitan.
Persentase respon jawaban dari 102 responden tersebut dapat digambarkan
dalam diagram pie berikut ini.

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

96

Series Series1;
Series1; 1; Kadang;
Selalu; 44; Tidak 17; 17%
43% Perna
h; Series1;
2;…
Sering; 39;
38%

Gambar 4. 41 Persentase Responden terhadap Pernyataan “ Frekuensi


Pendidik melakukan Pembedaan Target Belajar Peserta Didik Berkebutuhan
Khusus”

Berdasarkan pada hasil perolehan data kuesioner dan hasil wawancara,


diketahui bahwa implementasi kebijakan pendidikan inklusif telah berjalan,
namun masih terdapat beberapa aspek yang belum terlaksana dengan
maksimal. Berdasarkan perolehan persentase dapat dikategorisasikan dalam
lima kategori sehingga secara ringkas dapat disajikan data kuantitatif sebagai
berikut:

Tabel 4. 45 Kategorisasi Tingkat Keterlaksanaan

Persentase Kategori
0 – 20% Sangat Rendah
21% - 40% Rendah
41% - 60% Sedang
61% - 80% Tinggi
81% - 100% Sangat Tinggi

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

97

Tabel 4. 46 Rekapitulasi implementasi kebijakan pendidikan inklusif di sekolah


dasar Kota Surakarta

Variabel Aspek Total Total Persentase Kategori


Skor Skor Tingkat sasi
Ideal Perole Keterlaksanaan
han
Isi Kebijakan Tenaga 2448 1721 70,3 % Tinggi
pendidik
Dukungan 1632 1259 77,14 % Tinggi
Masyarakat
Dana 1632 1156 70,83 % Tinggi
Sarana 3264 2393 73,31 % Tinggi
Prasarana
Rata-rata Isi Kebijakan 72,73 % Tinggi
Lingkungan Penerimaan 3672 3249 83,03 % Tinggi
Implementasi Peserta didik
Kurikulum 2040 1618 79,31 % Tinggi
Pembelajaran 2448 1876 76,63 % Tinggi
Rata-rata lingkungan kebijakan 80, 18% Tinggi
Rata-Rata keseluruhan 76,2% Tinggi

Berdasarkan tabel rekapitulasi implementasi kebijakan pendidikan inklusif di


sekolah dasar Kota Surakarta, menunjukan bahwa tingkat ketercapaian
implementasi kebijakan pendidikan inklusif lebih tinggi dalam variabel
lingkungan implementasi dengan perolehan rata-rata skor adalah 80,18%.
Sedangkan untuk variabel isi kebijakan perolehan skornya baru mencapai
72,73%, walaupun kedua variabel tersebut sudah berada pada kategori tinggi
dalam mengimplementasikan kebijakan pendidikan inklusif, dengan rata-rata
keseluruhan 76,2%. Hal tersebut sejalan dengan hasil wawancara dari beberapa
responden yang mengatakan bahwa implementasi kebijakan pendidikan
inklusif di sekolah dasar sudah cukup baik. Informan YW yang berperan
sebagai ketua kelompok kerja guru inklusi mengatakan:
“Untuk Kota Solo sampai tahun ini sudah lumayan bagus karena
ada ada perhatian dari dinas pendidikan dan pemerintah Kota sejak
tahun 2013. Pada tahun 2013 sudah ada pencanangan Solo sebagai
kota inklusi, dinas pendidikan dan pemerintah sudah mulai melirik,
pada tahun 2017 beberapa teman dari GPK sudah dibiayai
orangtua murid dan dibantu
commit dinas pendidikan. Pada tahun 2020
to user
GPK di sekolah negeri sudah diangkat sebagi tenaga kontrak, yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

98

honornya sudah hampir sama seperti PNS, walaupun menjadi PNS


masih harus diusahakan lagi. “
Hasil wawancara dengan informan F yang berperan sebagai wali peserta didik
berkebutuhan khusus mengatakan bahwa implementator kebijakan pendidikan
inklusif di sekolah sudah baik
“Baik”
Hasil wawancara dengan informan X yang juga berperan sebagai wali peserta
didik berkebutuhan khusus, mengatakan:
“Alhamdulillah, anak kami mendapat tempat yang sama di Sekolah.
Bapak/Ibu guru memperlakukan anak kami dengan rasa saying dan
perhatian yang sama seperti anak normal pada umumnya.”
Sejalan dengan hal tersebut, informan A yang juga berperan sebagai wali
peserta didik berkebutuhan khusus, mengatakan:
“Sudah baik bu, anak saya di bimbing dengan penuh kesabaran, gpk
sangat bertanggung jawab terhadap kondisi fisik dan mental anak
saya”
Informan B, mengatakan:
“Baik sangat baik bu. Novita diperlakukan sangat baik dia di didik
agar tau/punya rasa tanggung jawab, disiplin dan tidak ada
perbedaan cara memperlakukan anak berkebutuhan khusus.”
Informan D mengatakan:
“Sangat baik dan lingkungan sekolah dari siswa dan guru sangat
ramah dan paham terhadap kondisi anak, guru tidak mmemaksa
anak untuk belajar hal yang sama dengan anak lainnya.”
Sedangkan informan G mengatakan:
“Perlakuan sudah baik, tidak ada bulliying karena lingkungan
sudah terkondisikan untuk bisa menerima hambatan anak. GPK
sangat peduli dan tanggung jawab terhadap perkembangan dan
kondisi anak.”

Berdasarkan hal tersebut, implementasi kebiajakan pendidikan inklusif


sudah berjalan dengan cukup baik. Namun, masih terdapat 23,8% persentase
tingkat keterlaksanaan yang harus dicapai menuju tingkat keterlaksanaan yang
maksimal (100%). Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena beberapa faktor
yang menjadi kendala selama proses pelaksanaan kebijakan inklusif di sekolah
dasar Kota Surakarta berlangsung. Hal tersebut didukung oleh hasil wawancara
commit
yang mayoritas responden juga to user
menjelaskan bahwa pelakanaan kebijakan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

99

pendidikan inklusif sudah berjalan cukup baik, namun masih terdapat


permasalahan-permasalahan yang masih ditemui. Menurut informan RA dan
RY pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah dasar masih memiliki banyak
permasalahan. Informan RY mengatakan:
“Penyelenggaraan pendidikan inklusi di sekolah saya sudah cukup,
namun masih ada yang harus diperbaiki”

Tingkat keterlaksanaan kebijakan pendidikan inklusif tiga aspek terendah


berada pada aspek tenaga pendidik (70,3%), aspek dana (70,83%) dan aspek
sarana prasarana (73,31%). Pada aspek tenaga pendidik, berdasarkan temuan
hasil penelitian dalam aspek tenaga pendidik ditemukan bahwa pemahaman
atas pengetahuan, sikap dan keterampilan pendidik terhadap pendidikan inklusi
maupun terhadap peserta didik berkebutuhan khusus masih kurang, khususnya
untuk pendidik yang bukan berlatar belakang pendidikan luar biasa/ pendidikan
khusus. Selain itu, ditemukan pula bahwa ketersediaan pendidik (GPK) yang
berlatar belakang pendidikan luar biasa/ pendidikan khusus yang masih kurang
memadai. Pernyataan tersebut juga sejalan dengan pernyataan informan RA,
yang mengatakan:
“Penyelenggaraan pendidikan inklusi di sekolah saya masih
terdapat kekurangan, seperti pada aksesibilitas dan pemahaman
guru non PLB dalam mentreatment ABK masih kurang.”
Berdasarkan pernyataan informan, selain permasalahan terhadap aspek
pendidik, juga terjadi pada aksesibilitas sekolah, yang berarti pada aspek
sarana-prasarana yang juga merupakan salah satu aspek yang tingkat
keterlaksanaannya berada dalam kategori tiga terendah. Berdasarkan hasil
temuan penelitian pada aspek sarana-prasarana rata-rata setiap sekolah belum
memiliki ruang sumber dan fasilitas penunjang pembelajaran yang sesuai
dengan jenis kebutuhan peserta didik. Pada aspek dana, perolehan tingkat
ketercapaiannya mencapai 70,83%, dari hasil temuan dana atau pembiayaan
sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif bersumber dari anggaran
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan iuran dari wali peserta didik.
Berdasarkan tabel tingkat keterlaksanaan dan hasil wawancara dengan 9
commit to user
informan ditemukan bahwa Kota Surakarta sudah berada dalam kondisi yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

100

baik dengan tingkat keterlaksanaan rata-rata semua aspek adalah 76,2%.


Meskipun demikian, kondisi faktual dalam pelaksanaan kebijakan pendidikan
inklusif di Sekolah Dasar Kota Surakarta belum sempurna, masih terdapat
23,8% persentase keterlaksanaan yang masih harus dicapai. Hal tersebut dapat
disebabkan karena masih adanya beberapa faktor kendala di lapangan yang
harus dihadapi.

b. Permasalahan implementasi kebijakan pendidikan inklusif di sekolah


dasar
Penyelenggaraan kebijakan pendidikan inklusif di Sekolah Dasar Negeri
Kota Surakarta yang sudah berlangsung cukup lama, berdasarkan hasil
analisis data, persentase tingkat keterlaksanaan kebijakan pendidikan inklusif
di Sekolah Dasar Kota Surakarta telah mencapai 76,2%. Namun demikian,
masih terdapat 23,2% persentase yang harus dicapai menuju perolehan
sempurna (100%). Hal tersebut dapat disebabkan karena masih terdapat
beberapa permasalahan yang dihadapi oleh sekolah. Berdasarkan hasil
perolehan data terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaan pendidikan
inklusif yang menyebabkan beberapa aspek penyelenggaraan kebijakan
pendidikan inklusif belum memperoleh nilai maksimal. Tabel 4.47
menunjukan beberapa permasalahan yang dihadapi sekolah dalam
implementasi kebijakan pendidikan inklusif.

Tabel 4. 47 Rekapitulasi Permasalahan Implementasi Kebijakan Pendidikan


Inklusif

Variabel Aspek Permasalahan


Tenaga Pemahaman guru kelas, guru mata pelajaran terhadap ABK
pendidik masih kurang
Permasalahan yang ada dalam pendidikan inklusif di
sekolah mengenai SDM yang kurang dalam memahami
Isi Kebijakan konsep inklusif dalam sekolah, sehingga sering terjadi
permasalahan dalam hal pola berpikir dan konsep
pendidikannya. Sering terjadi perbedaan persepsi antara
guru kelas dan GPK
Kesulitan yang saya alami selama di sekolah inklusi, tidak
commit
semua to mata
guru user pelajaran memberikan pembelajaran
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

101

khusus anak inklusi yang kesulitan materi, hanya


mengandalkan guru pendamping khusus
Kurangnya perhatian guru kelas untuk berdiskusi mengenai
bahan ajar yang akan disampaikan
Ketidak seimbangan antara GPK dengan ABK
Di sekolah kami belum ada guru pembimbing khusus
Perlu pelatihan terhadap guru dalam memberikan materi
terhadap siswa berkebutuhan khusus
Kurangnya pengalaman mengajar guru kelas untuk siswa
ABK yang cenderung masih konvensional
Kurang sering diskusi mengenai cara menangani ABK
Adanya GPK baru, tiap tahun ajaran baru (yg belum
berpengalaman), jadi terkadang ada orangtua murid yang
komplain, karena merasa kurang maksimal terhadap
pendampingan ABK nya
Sulit bekerja sama dengan guru wali kelas yang masih
belum memahami anak berkebutuhan khusus
Tidak semua guru mau dan mampu melaksanakan PPI
Dukungan Tidak semua wali murid ABK bisa bekerjasama dalam
masyarakat menangani ABK baik dirumah maupun di sekolah sehingga
potensi ABK sulit berkembang
Kurangnya penerimaan dari wali murid peserta didik non-
ABK
Pendidikan di inklusi sangat membutuhkan psikolog yang
aktif untuk membantu menyelesaikan permasalahan siswa-
siswa yang memiliki masalah dan mengganggu
pembelajarannya terkhusus siswa ABK. Tetapi psikolog
yang di SD ini tidak aktif dalam memahami karakter atau
sifat siswa" ABK sehingga setiap ABK terdapat masalah
psikolog tidak mampu menyelesaikan masalah dengan baik.
Masih ada 3p ilar yg belum bisa bekerjasama dengan
bersama-sama. Antara guru, siswa dan ortu.
Kadang ketidak sadaran orangtua atau mengakui bahwa
anaknya itu termasuk berkebutuhan khusus
Peran orang tua yg kurang maksimal
Sarana Sarana prasarana kurang memadai, seperti media dan alat
prasarana pembelajaran belum sesuai dengan kebutuhan ABK
Sarana prasarana inklusi kurang mampu dimanfaatkan
dengan baik bagi GPK, guru kelas dan guru mata pelajaran
yang tidak berlatar belakang pendidikan PLB
Gedung dan fasilitas lain disekolah kurang ramah terhadap
ABK (lingkungan sekolah belum aksesibel)
Belum ada kelas khusus
Permasalahan yang sering dihadapi adalah kurangnya sarana
dan prasarana pendukung dan ruang belajar khusus.
Dana Kurangnya pengalokasian danauntuk pendidikan inklusi
yang menyebabkan pengadaan barang juga terhambat

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

102

Keberadaan GPK yg masih belum ada, krn berkaitan dengan


dana implementasi pendidikan inklusif. Dan sarana
prasarana yg belum memadai
Anggaran BOS yg kurang spesifik
Penerimaan Sekolah belum menerima ABK tunanetra
PDBK Regulasi pemerintah daerah belum memberi kepastian ABK
jenis apa saja yang boleh diterima di sekolah inklusi
sehingga menimbulkan kegalauan di bawah
Terbatasnya instrumen assesmen dan evaluasi pada siswa
ABK
Kurikulum Kadang dalam menyusun KKM sering tidak sinkron dengan
guru kelas
Belum semua guru membuat rencana pembelajaran yg
disesuaikan dengan kebutuhan siswa ABK, karena dalam
RPP guru telah banyak integrasi dari kegiatan lain.
Lingkungan
Implementasi Pembelajaran Sering terjadi kesenjangan dalam proses mendampingi
anak-anak berkebutuhan khusus di dalam kelas
Terkadang peserta didik pasif
Komunikasi dengan peserta didik inklusi terkadang agak
sulit dimengerti jadi perlu pemahaman dan konsultasi
dengan pembimbing khusus
Kami belum menemukan pembelajaran yang pas untuk anak
yang susah mengenal huruf sering lupa
Peserta didik baru ada yang sebelumnya berasal dari sekolah
yang belum menyelenggarakan pendidikan inklusif,
sehingga mengalami kesulitan dan perlu beradaptasi dalam
menggunakan media pembelajaran yang sesuai dengannya.

Hasil perolehan data dari 102 responden menunjukan bahwa


permasalahan yang paling banyak ditemui pada variabel isi kebijakan
khususnya pada aspek tenaga pendidik. Hal tersebut sejalan dengan perolehan
persentase tingkat keterlaksanaan kebijakan pendidikan inklusif di sekolah
dasar Kota Surakarta, yang menemukan bahwa tingkat keterlaksanaan pada
variabel isi kebijakan lebih rendah daripada variabel lingkungan
implementasi. Perolehan persentase terendah juga berada pada aspek tenaga
pendidik. Hal ini berarti persentase tersebut dipengaruhi juga oleh beberapa
faktor kendala atau permasalahan. Berdasarkan perolehan data, responden
mayoritas menuliskan bahwa masih kurangnya pemahaman guru terhadap
anak berkebutuhan khusus. Hasil data tersebut, juga didukung oleh hasil
wawancara dengan beberapa responden. Hal ini sejalan dengan hasil
commit
wawancara terhadap koordinator to user kerja guru inklusi Kota Surakarta
kelompok
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

103

(YW) dan dua informan lain yang berperan sebagai guru pendidikan inklusif
(RA dan RY). Informan YW mengatakan:
“Tentang SDM nya. Walaupun GPK sudah disediakan, namun banyak
GPK yang berlatar belakang pendidikan non PLB, orang PLB masih
jarang yang mau di sekolah inklusi, temen-temen beranggapan sekolah
inklusi itu madesu. Memang masalah utamanya adalah ketenaga
pendidikan. Untuk guru non PLB ya sudah ada pelatihan namun Cuma
1-2x setahun, pelatihan dari dinas pendidikan.”

Informan RA juga mengatakan:


“Penyelenggaraan pendidikan inklusi di sekolah saya masih terdapat
kekurangan, seperti pada aksesibilitas dan terutama pada
pemahaman guru non PLB dalam mentreatment ABK masih kurang.”

Sejalan dengan pendapat YW dan RA, informan RY mengatakan:


“Banyaknya guru yang belum mengetahui bagaimana sistem
pelaksanaan pendidikan inklusif, masih ada anggapan bahwa peserta
didik berkebutuhan khusus hanyalah tanggung jawab GPK saja,
menganggap peserta didik berkebutuhan khusus seperti peserta didik
regular sehingga beban tugas yang diberikan sama seperti peserta
didik yang lain.”

Permasalahan pada aspek tenaga pendidik menjadi permasalahan utama


yang pada variabel isi kebijakan. Sedangkan pada variabel lingkungan
implementasi permasalahan paling banyak ditemui pada aspek pembelajaran.
Hal tersebut juga sejalan dengan perolehan data persentase keterlaksanaan
implementasi kebijakan pendidikan inklusif di sekolah dasar Kota Surakarta,
pada variabel lingkungan implementasi, aspek pembelajaran memperoleh
persentase terendah, yaitu 76,63%. Hal ini berarti perolehan tersebut
dipengaruhi karena adanya faktor permasalahan yang belum terselesaikan.
Bedasarkan penuturan informan mengenai anggapan bahwa peserta didik
berkebutuhan khusus sama seperti dengan peserta didik lainnya dapat
menjadi salah satu penyebab munculnya permasalahan dalam aspek lainnya,
yaitu pembelajaran, hasil wawancara dengan informan yang berperan sebagai
ketua kelompok kerja guru inklusi Kota Surakarta (YW) menuturkan bawa
aspek pembelajaran menjadi salah satu aspek yang masih memiliki
commit to user
permasalahan, adapun penuturannya sebagai berikut:
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

104

“Ya kita mengikuti kebijakan yang ada, namun belum semua


terealisasikan dengan baik. Seperti pada aspek pembelajaran, Kita
belum ada induk kurikulum untuk inklusif, jadi dikembalikan lagi
kepada kebijakan sekolah untuk memodifikasi, adaptasi dan
sebagainya, ya pada akhirnya mereka harus dapat memahami
kurikulum ABK berbeda. Tentang pembelajaran yang sesuai, kita itu
ibaratnya belajar sendiri-sendiri, tidak ada orang ahli PLB di dinas
pendidikan kota. Jadi tidak ada induk kurikulumnya. Kasubdin SD
tidak mengerti PLB, tidak ada pegawai kota yang ahli PLB. Jadi ya
dikembalikan lagi kepada kebijakan sekolah untuk memodifikasi,
adaptasi dan sebagainya pada akhirnya mereka memahami
pembelajaran untuk ABK berbeda Kita hanya ada punya tempat
menyatu untuk gpk yaitu KKGPK Solo jadi hanya bisa sharing disana,
setiap bulan sebisa mungkin kita (KKGPK Solo) adakan pertemuan”

Sejalan dengan penuturan YW, wali peserta didik (X dan D) mejelaskan


bahwa permasalahan yang dialami terletak pada aspek tenaga pendidik yang
menyebabkan permasalahan pada aspek pembelajaran. Adapun penuturan
dari para informan adalah sebagai berikut:
Informan X mengatakan:
“Khususnya anak saya yang memakai ABD, please jangan duduk
dibelakang terus. Mohon berbagi sekali duduk di bangku depan, untuk
memaksimalkan suara, pembelajarannya jadi kurng maksimal.”

Informan D mengatakan:
“Beberapa guru baru yang belum memahami ABK mereka sulit untuk
mengajari anak saya, lalu anak saya dibiarkan saja dan tidak
melakukan apapun.”

Sejalan dengan hasil wawancara, pada hasil pengisian kuesioner


permasalahan pada aspek pembelajaran juga menjelaskan bahwa masih
terdapat pendidik yang belum membuat rencana pembelajaran yang
menyesuaikan dengan kemampuan peserta didik. Hal ini berarti dalam aspek
pembelajaran permasalahan terjadi disetiap langkah pembelajaran. Pada
langkah persiapan pembelajaran, pendidik masih memiliki kesulitan dalam
memodifikasi RPP yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik, pada proses
pembelajaran, belum semua pendidik melakukan modifikasi bahan ajar, dan
commit to user
pada langkah evaluasi pembelajaran, penilaian yang digunakan dalam
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

105

pembelajaran antara peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik


laiinya masih sama.
Berdasarkan perolehan data dari hasil angket dan wawancara, diperoleh
data bahwa permasalahan utama dalam kebijakan pendidikan inklusif di
Sekolah Dasar Kota Surakarta pada variabel isi kebijakan terletak pada aspek
tenaga pendidikan, sedangkan pada variabel lingkungan implementasi
permasalahan utama terletak pada aspek pembelajaran. Secara keseluruhan
permasalahan utama yaitu permasalahan terbanyak yang ditemui dalam
pelaksanaan kebijakan pendidikan inklusif di Sekolah Dasar Kota Surakarta
terletak pada variabel isi kebijakan, yaitu aspek tenaga pendidik.

c. Kebutuhan implementasi kebijakan pendidikan inklusif di sekolah


dasar
Berdasarkan pemasalahan yang ada dalam implementasi kebijakan
pendidikan inklusif di Sekolah Dasar Negeri Kota Surakarta, timbul beberapa
kebutuhan yang harus diupayakan untuk mengurangi permasalahan tersebut
sehingga dapat meningkatkan kualitas implementasi kebijakan pendidikan
inklusif di Sekolah Dasar Negeri Kota Surakarta menjadi lebih baik lagi.
Adapun kebutuhan sekolah dalam implementasi kebiakan pendidikan inklusif
adalah sebagai berikut:

Tabel 4. 48 Kebutuhan Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif

Aspek Indikator Kebutuhan


Panduan untuk pemahaman sekolah inklusi buat para
guru-guru
Perlu adanya pelatihan/ seminar maupun sosialisasi untuk
guru kelas, guru mata pelajaran (guru yang berlatar
belakang pendidikan non PLB) sehingga mereka bisa
Isi Kebijakan Tenaga mengakomodasi hambatan ABK pada pembelajaran di
pendidik kelas
GPK yang berlatar belakang PLB sangat diperlukan
karena mereka memiliki dasar ilmu dalam membimbing
ABK dalam pembelajaran perilaku serta kemampuan
sosial
Lebih
commit kepada terapi dan pengembangan skill ABK
to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

106

Kebutuhan sumber daya manusia untuk melaksanakan


pendidikan inklusif
Pelayanan terapi bagi ABK
Pengadaan GPK
Guru yang berkompeten dalam pendidikan inklusi
GPK bukan sebagai tugas tambahan tetapi tugas khusus.
Peningkatan kompetensi guru dalam menyusun PPI dan
assesment assesmen khususnya assesmen akademik
Dukungan Konsultasi dengan psikolog dan dokter tumbuh kembang
Masyarakat secara berkala, layanan keterapian untuk menunjang
optimalisasi kemampuan anak
Ruang sumber dengan berbagai alat penunjang
pembelajaran untuk ABK
Fasilitas yang ramah ABK dan lebih memadai untuk
membantu ABK beraktifitas dengan baik di sekolah
Fasilitas pembelajaran seperti media dan alat
pembelajaran untuk ABK
Sarana dan Perbaikan sarana dan prasarana yang memadai untuk
Prasarana peserta didik inklusif
Peralatan khusus untuk guru guna memperlancar
penyampaian materi kepada siswa , setelah guru mendapat
palatihan
Ruang terapi yang memadai, disertai terapis, dan psikolog
yang berpengalaman
Media pembelajaran yang memadai
Dana Kebutuhan sekolah harusnya ada dana khusus yang
dialokasikan ke pelayanan anak inklusi dan ada pelatihan
khusus untuk guru mapel untuk pendampingan anak
inklusi. GPK saya harap ada dana penunjang
kesejahteraan dari pihak sekolah dan dinas terkait.
RAB yang berpihak pada terselenggaranya pendidikan
inklusi
Penerimaan -
Peserta Didik
Berkebutuhan
Lingkungan Khusus
Implementasi Kurikulum Kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan siswa ABK
Pembelajaran Panduan pembelajaran untuk ABK
Bintek untuk guru supaya dapat melakukan pembelajaran
yang baik untuk peserta didik berkebutuhan khusus

Hasil pengisian kuesioner dari 102 responden menunjukan bahwa pada


variabel isi kebijakan kebutuhan terbanyak berada pada aspek tenaga
pendidik. Hal tersebut sejalan dengan hasil perolehan data terkait
permasalahan implementasi, aspek tenaga pendidik memiliki jumlah
commit
permasalahan terbanyak dalam to userisi kebijakan. Pada aspek tenaga
variabel
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

107

pendidik rata-rata responden menuliskan bahwa membutuhkan pendidik yang


memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap peserta didik berkebutuhan
khusus. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara terhadap 3 informan, yaitu
koordinator kelompok kerja guru inklusi (YW) dan dua guru pembimbing
khusus (RA dan RY). Informan YW mengatakan:
“Kebutuhan yang paling utama ya pengadaan GPK berlatar belakang
PLB. Pemahaman tentang keplban juga sangat dibutuhkan buat guru-
guru yang non PLB, seperti GPK non PLB, guru kelas, guru mata
pelajaran, guru BK. Pimpinan universitas juga sudah mulai bergerak,
jadi semua univerrsitas yang memiliki fakultas keguruan harus ada
mata kuliah pendidikan inklusif untuk memahami anak berkebutuhan
khusus. GPK masih sangat kurang, contohnya di SMP 22 GPKnya
cuma 1 tapi abk nya banyak, kan jadi kewalahan mbak.”

Sejalan dengan pernyataan informan YW, informan RA juga mengatakan:


“Ya kebutuhannya GPK. Media pembelajaran dan aksesibilitas juga.”

Selain itu, kebutuhan implementasi kebijakan pendidikan inklusif menurut


informan RY adalah:
“GPK sih mbak yang utama. Peningkatan pemahaman untuk guru-
guru lainnya biar bisa lebih paham tentang ABK. Sekolah masih
bingung harus gimana, ya harus dipandu juga biar guru-guru paham
juga tentang inklusi”

Kebutuhan dalam aspek tenaga pendidik menjadi kebutuhan utama pada


variabel isi kebijakan. Sedangkan pada variabel lingkungan implementasi,
kebutuhan pelaksanaan kebijakan inklusif relative lebih sedikit dibandingkan
pada variabel isi kebijakan. Kebutuhan pada variabel lingkungan
implementasi terbanyak yang dituliskan oleh responden adalah pada aspek
pembelajaran. Hal tersebut sejalan dengan hasil perolehan data terkait
permasalahan pelaksanaan kebijakan inlusif pada variabel lingkungan
implementasi, yang menunjukan bahwa permasalahan terbanyak berada pada
aspek pembelajaran, dengan demikian kebutuhan utama dalam variabel
lingkungan implementasi juga berada pada aspek pembelajaran. Berdasarkan
hasil analisis deskriptif, secara keseluruhan kebutuhan utama dalam
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

108

implementasi kebijakan pendidikan inklusif di sekolah dasar Kota Surakarta


berada pada variabel isi kebijakan khususnya pada aspek tenaga pendidik.

d. Perumusan Rekomendasi
Perumusan rekomendasi penelitian dilakukan berdasarkan pada analisis
permasalahan dan kebutuhan dalam mengimplementasikan kebijakan
pendidikan inklusif di Sekolah Dasar Kota Surakarta. Hasil data analisi
permasalahan menemukan bahwa permasalahan utama dalam implementasi
kebijakan pendidikan inklusif di Sekolah Dasar Kota Surakarta yang utama
terletak pada aspek tenaga pendidik, dimana pendidik mengalami
permasalahan pada pemahaman yang rendah terhadap anak berkebutuhan
khusus dan belum adanya panduan penyelenggaraan pendidikan inklusif,
sehingga masih terdapat kebingungan bagi sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif (SPPI).
Berdasarkan hasil temuan penelitian, peneliti merumuskan rekomendasi
berupa diadakannya sosialisasi maupun pelatihan kepada pendidik terkait
pelaksanaan penyelenggara pendidikan inklusif. Sekolah dapat pula
mengundang beberapa ahli terkait pendidikan khusus/ pendidikan inklusif
debagai narasumber dalam kegiatan sosialisasi. Selain hal tersebut, peneliti
juga merekomendasikan panduan dalam melaksanakan pendidikan inklusif
dalam meningkatkan keberhasilan keterlaksanaan penyelenggaraan
pendidikan inklusif di Sekolah Dasar. Oleh sebab itu, sebagai bentuk tindak
lanjut penelitian, peneliti merumuskan rekomendasi penelitian yang menjadi
salah satu produk luaran penelitian yaitu draft Buku Panduan Implementasi
Kebijakan Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar. Perumusan rekomendasi ini
dilakukan sehingga penelitian memiiki tingkat kebermaknaan yang lebih
untuk Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPI). Adapun draft
rumusan penelitian berupa buku panduan adalah sebagai berikut:
a. Cover
Sampul depan berisi judul panduan, ilustrasi dan tim penulis buku
commitdepan
panduan. Tampilan sampul to user
dibuat semenarik mungkin dengan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

109

pemilihan kombinasi warna terang yaitu orange dan putih, serta


menggunakan background gambar ilustrasi kebijakan pendidikan
inklusif. Sedangkan untuk sampul belakang hanya berisi tulisan
program studi Pendidikan Luar Biasa. Adapun sampul depan dan
sampul belakang buku panduan adalah sebagai berikut:

Gambar 4. 42 Desain cover buku “Panduan Implementasi


Kebijakan Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar”

b. Kata Pengantar
Kata pengantar dalam buku panduan berisi tentang ucapan rasa syukur
atas terselesaikannya pembuatan buku panduan sehingga diharapkan
dapat digunakan oleh pendidik di sekolah dasar penyelenggara
pendidikan inklusif, penjelasan mengenai produk yang dihasilkan,
penjelasan mengenai tujuan pembuatan panduan, dan ucapan terima
kasih kepada pihak-pihak yang membantu penyusunan buku panduan.
c. Daftar Isi
Daftar isi berisi sistematika produk yang dimulai dari halaman judul.
Sistematika produk berisi halaman judul, kata pengantar, daftar isi,
bagian I pendahuluan, bagian II kajian tentang pendidikan inklusif, bab
III mekanisme setiap aspek dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif
di sekolah dasar, penutup dan referensi.
d. Daftar Tabel
Daftar tabel berisi mengenai sistematika tabel yang termuat dalam buku
panduan. commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

110

e. Bab I Pendahuluan
Bagian pendahuluan berisikan latar belakang pendidikan inklusif,
tujuan dan landasan pendidikan inklusif
f. Bab II Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar
Bagian bab II, berisi tentang pengertian pendidikan inklusif, dan
perkembangan pendidikan inklusif
g. Bab III Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar
Bagian bab III berisi tentang mekanisme pendidikan inklusif dari aspek
penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus, kurikulum, ketenagaan,
kegiatan pembelajaran, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan
dan dukungan masyarakat.
h. Penutup
Bagian penutup memuat kesimpulan dan harapan adanya buku panduan
ini untuk para pembaca dan harapan untuk pendidikan inklusif
kedepannya.
i. Referensi
Bagian referensi memuat daftar referensi yang digunakan peneliti
dalam mengembangkan buku panduan implementasi kebijakan
pendidikan inklusif di sekolah dasar.
Rumusan rekomendasi berupa draft Panduan Implementasi Kebijakan
Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar masih dibutuhkan upaya berupa riset
maupun pendalaman lebih lanjut oleh pengguna sebagai bentuk
penyempurnaan rumusan tersebut.

B. Pembahasan
Berdasarkan data hasil penelitian yang diperoleh dari 102 responden melalui
metode kuesioner dan 9 responden melalui wawancara, yang dianalisis dengan
tujuan, yaitu: (a) mendeskripsikan kondisi faktual implementasi kebijakan
pendidikan inklusif di Sekolah Dasar Kota Surakarta; (b) mendeskripsikan
permasalahan implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di
Sekolah Dasar Kota Surakarta; (c)commit to user kebutuhan Sekolah Dasar Kota
mendeskripsikan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

111

Surakarta dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif; dan (d) merumuskan


rekomendasi panduan implementasi kebijakan pendidikan inklusif yang sudah
tervalidasi untuk meningkatkan keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusif di
Sekolah Dasar Kota Surakarta. Pembahasan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar Negeri
Kota Surakarta
Kondisi faktual mengenai implementasi kebijakan pendidikan inklusif
ditinjau berdasarkan teori kebijakan dari Grindle. Subarsono (2016)
menjelakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan menurut model
implementasi Grindle dipengaruhi oleh dua variable besar, yaitu isi kebijakan
(content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation),
kedua variabel tersebut saling berhubungan dan mempengaruhi hasil akhir
sebuah kebijakan. Hasil akhir yang dimaksudkan dalam kebijakan pendidikan
inklusif adalah dampak dan perubahan yang dialami oleh target group, yaitu
peserta didik berkebutuhan khusus.
a. Isi Kebijakan
Isi kebijakan menurut teori Grindle meninjau kepentingan kelompok
sasaran atau target group yang termuat dalam isi kebijakan; implementor
program dan sumber daya yang memadai; ketepatan sebuah program
kebijakan; jenis manfaat yang diterima oleh target group; sejauhmana
perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan. Kepentingan kelompok
sasaran kebijakan pendidikan inklusif termuat dalam beberapa kebijakan
pemerintah. Kepentingan kelompok sasaran termuat dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Pada Pasal (10) disebutkan bahwa penyandang disabilitas berhak
mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan secara
inklusif dan khusus dan berhak mendapatkan akomodasi yang layak sebagai
peserta didik. Dalam Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang
Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, Pasal (2) disebutkan
commit
dengan jelas bahwa kebijakan to user inklusif adalah sebagai upaya
pendidikan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

112

pemenuhan hak peserta didik berkebutuhan khusus untuk dapat memperoleh


pelayan pendidikan yang setara dengan peserta didik lainnya. Adapun bunyi
Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi
Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan
dan/atau Bakat Istimewa, Pasal (2) adalah:
(1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta
didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya;
(2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik
sebagaimana yang dimaksud pada huruf a.
Kepentingan kelompok sasaran yang pada hal ini adalah peserta didik
berkebutuhan khusus, selain pada Pasal (2) juga didukung pada pasal-pasal
berikutnya, yang menyebutkan mengenai keperluan peserta didik dalam
pemerolehan pendidikan secara inklusif, seperti kurikulum yang sesuai,
prinsip-prinsip pembelajaran yang harus diterapkan oleh implementator dan
pemenuhan kepentingan kelompok sasaran lainnya dalam kebijakan
pendidikan inklusif.
Kepentingan kelompok sasaran dalam implementasi pendidikan
inklusif juga temuat dalam peraturan perundang-undangan di setiap daerah,
salah satunya pada tahun 2014, Kota Surakarta telah mengesahkan
Peraturan Wali Kota Nomor 25-A tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan Inklusif. Pada Pasal (3) disebutkan prinsip penyelenggaraan
pendidikan inklusif yang dibutuhkan oleh kelompok sasaran, yaitu peserta
didik berkebutuhan khusus, selanjutnya pada Pasal (4) dijelaskan mengenai
hak peserta didik berkebutuhan khusus dalam mengikuti pendidikan secara
inklusif. Berdasarkan beberapa peraturan, kepentingan kelompok sasaran
dalam hal ini adalah peserta didik berkebutuhan khusus sudah termuat
dalam isi kebijakan.
Pada variabel isi kebijakan lainnya, meninjau mengenai implementator
dan sumber daya yang memadai. Ditinjau dari Permendiknas Nomor 70
commitInklusif
Tahun 2009 tentang Pendidikan to userbagi Peserta Didik yang Memiliki
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

113

Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa,


implementator dan sumber daya yang memadai berupa aspek tenaga
pendidik, dukungan masyarakat, dana dan sarana prasarana. Pada aspek
tenaga pendidik responden yang merupakan kepala sekolah, guru kelas,
guru mata pelajaran, dan GPK, hasil analisis menunjukan bahwa tingkat
keterlaksanaan implementasi kebijakan pendidikan inklusif pada aspek
tenaga pendidik adalah 70,3%. Secara lebih rinci 45% dari responden sering
mengikuti kegiatan untuk meningkatkan pemahaman mereka mengenai
peserta didik berkebutuhan khusus. Sejalan dengan hasil temuan Yusuf, Sari
dan Karsidi (2019) beberapa daerah sekitar Kota Surakarta seperti,
Karanganyar dan Boyolali memiliki tingkat yang cukup tinggi yaitu sekitar
71,4% dan 61,9% dalam upaya meningkatkan pemahaman terhadap
pendidikan inklusif dengan cara mengikuti kegiatan sosialisasi, pelatihan
dan sebagainya. Lain hal nya pada kemampun dalam menangani peserta
didik berkebutuhan khusus hanya 8% responden menjawab selalu mampu
dalam menangani peserta didik berkebutuhan khusus. Sebagai upaya
pemahaman terhadap peserta didik berkebutuhan khusus rata-rata
responden (49%) menjawab sering melakukan kegiatan mencari informasi
mengenai peserta didik berkebutuhan khusus. Dalam hal pemantauan
kemampuan peserta didik berkebutuhan khususpun 61% responden
menjawab selalu melakukan pemantauan. 38% responden mengatakan
selalu melakukan pengelolaan kelas.
Pendidik merupakan faktor terpenting dalam pembelajaran, sehingga
kompetensi dan pemahaman pendidik yang optimal akan berpengaruh
terhadap proses belajar mengajar di kelas. Berdasarkan hasil temuan
Damayanti dkk (2017) pemahaman pendidik dalam kegiatan belajar
mengajar dapat mempengaruhi prestasi belajar peserta didik dan
berpengaruh positif serta signifikan terhadap hasil belajar peserta didik.
Semakin baik pemahaman pendidik terhadap peserta didiknya, maka
semakin baik pula peserta didik mampu menerima materi yang diberikan.
Namun, berdasarkan hasil commit to user dengan salah satu koordinator
wawancara
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

114

inklusif, mengatakan bahwa mereka mengalami kesulitan untuk memiliki


GPK yang dapat memahami peserta didik berkebutuhan khusus. Hal ini
sejalan dengan hasil wawancara dengan informan lainnya yang menjelaskan
bahwa pemahaman pendidikan yang bukan berlatar belakang pendidikan
PLB masih memiliki pengalaman yang sangat kurang untuk menangani
peserta didik berkebutuhan khusus. Selain itu berdasarkan hasil wawancara,
satu informan beranggapan bahwa masih banyak pendidik yang belum
mengatahui bagaimana sistem pelaksanaan pendidikan inklusif dan banyak
yang beraggapan bahwa peserta didik berkebutuhan khusus hanyalah
tanggung jawab GPK. Dalam aspek tenaga kependidkan di sekolah dasar
penyelenggara pendidikan inklusif, masih terdapat banyak permasalahan.
Kualitas pendidik mempengaruhi layanan pendidikan yang diberikan.
Menurut temuan Putri dan Ajisuksmo (2019), kurangnya pemahaman
pendidik akan berdampak pada perencanaan pelayanan untuk peserta didik
berkebutuhan khusus tidak berlangsung dengan cukup baik dan tidak
berjalan dengan efektif. Hal ini sejalan dengan hasil temuan Komariyah, dkk
(2019), yang menyatakan bahwa di wilayah Kepulauan Seribu pemahaman
pendidik terhadap peserta didik berkebutuhan khusus masih cenderung
rendah dan berdampak pada layanan pembelajaran untuk peserta didik
berkebutuhan khusus belum terlayani dengan baik. Menurut Freire, 2000
dalam Ravik (2015) terdapat tiga unsur dasar di dalam proses pendidikan,
yaitu pendidik, subyek didik, dan realitas dunia. Hal ini berarti pendidik
merupakan unsur dasar yang harus memiliki pondasi yang kuat sehingga
pendidikan berjalan dengan baik. Pada aspek dukungan masyarakat, tingkat
keterlaksanaannya telah mencapai nilai 77,14%. Dukungan masyarakat
dipengaruhi oleh keterlibatan wali peserta didik berkebutuhan khusus. 51%
responden menjawab ada keterlibatan wali peserta didik berkebutuhan
khusus dalam kegiatan di sekolah. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara
dengan wali peserta didik berkebutuhan khusus yang mengatakan bahwa
mereka aktif dalam kegiatan sekolah. Namun, hanya 32% sekolah yang
commit to user
mengadakan rapat dalam membahas penyelenggaraan pendidikan inklusif
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

115

di sekolah tersebut dan hanya 21% sekolah yang mengadakan rapat khusus
yang melibatkan wali peserta didik berkebutuhan khusus. Para
implementator yaitu pendidik rata-rata selalu melakukan pelaporan asil
belajar peserta didik berkebutuhan khusus setiap bulannya (44%) kepada
wali peserta didik secara langsung tanpa melalui rapat dan pertemuan
sekolah. Wali peserta didik juga sangat berperan dalam keterlaksanaan
kebijakan pendidikan inklusif. Karsidi dkk (2013) menjelaskan bahwa
keaktifan wali peserta didik dalam proses pembelajaran, kegiatan sekolah,
dan hubungan kerja sama dengan pihak sekolah akan memberikan dampak
positif bagi sosial peserta didik.
Pada aspek pendanaan atau dana tingkat keterlaksanaannya berada pada
nilai 70,83%, yang merupakan tingkat keterlaksanaan pendidikan inklusif
terendah berdasarkan hasil analisis data. 31% sekolah melakukan
penyusunan rencana anggaran sekolah dan hanya 29% sekolah
mengalokasikan dana untuk pendidikan inklusif setiap bulannya. Anggaran
dana tersebut oleh 24% responden mengatakan bahwa dana dialokasikan
untuk melengkapi sarana prasarana peserta didik berkebutuhan khusus.
Penyediaan dana pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif tidak
semuanya tercukupi. Hal ini dapat dilihat dari hasil bahwa hanya 28%
responden menjawab bahwa penyediaan dana selalu memadai untuk
menunjang pendidikan inklusif di sekolah. Dalam pemanfaatan sarana
prasarana, tingkat keterlaksanaannya adalah 73,31%. Hanya 36% responden
yang menjawab memanfaatkan sarana prasarana yang ada secara optimal,
23% responden mengatakan bahwa selalu merencanakan pengadaan sarana
prasarana berupa alat dan media pembelajaran untuk peserta didik
berkebutuhan khusus. Namun, hanya 27% responden yang mengatakan
sudah ada pengadaan mendia pembelajaran yang menyesuaikan
karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus. Sedangkan hanya 28%
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang memiliki ruang sumber
(kelas khusus). Berdasarkan penuturan informan, aspek sarana prasarana
masih banyak dikeluhkancommit
dengantoruang
user kelas dan gedung sekolah yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

116

belum ramah terhadap peserta didik berkebutuhan khusus, serta banyak


yang belum miliki ruang sumber. Menurut penelitian Mareza (2016)
kekurangan sarana prasarana di sekolah inklusi menjadi kendala dalam
pembelajaran di kelas. Selain itu, terkait dengan aksesibilitas terdapat
informan yang sudah diajukan proposal dana untuk menunjang sarana
prasarana di sekolah kepada dinas pendidikan untuk mendapatkan bantuan.
Implementasi kebijakan menurut teori Grindle pada variabel isi
kebijakan, juga meninjau mengenai ketepatan sebuah program kebijakan
yang sudah dilaksanakan. Dalam melaksanakan kebijakan pendidikan
inklusif, landasan dasar sebagai acuannya adalah Permendiknas Nomor 70
Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki
Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
Berdasarkan hasil penelitian rata-rata sekolah dasar penyelenggara
pendidikan inklusif sudah mengikuti acuan yang ditetapkan. Menurut
penuturan informan, belum semua aspek dalam Permendiknas Nomor 70
Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki
Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa
terealisasikan dengan baik, sebagaimana hasil penelitian. Namun, terdapat
pula informan yang memaparkan bahwa sekolah dasar penyelenggara
pendidikan inklusif yang bersangkutan masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak yang harus diperbaiki.
Penyelenggara kebijakan pendidikan inklusif yang bertujuan untuk
memberikan pendidikan yang bermutu tanpa adanya sifat diskriminatif
antara peserta didik berkebutuhan khusus dan peserta didik regular.
Perubahan dan perkembangan layanan pendidikan bagi peserta didik
berkebutuhan khusus diharapkan dapat terlaksana dengan maksimal.
Adapun penuturan informan adalah sebagai berikut:

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

117

Informan RY mengatakan:
“Guru-guru regular dapat menerima peserta didik berkebutuhan
dengan baik, tanpa adanya pandangan-pandangan bahwa anak
berkebutuhan adalah anak yang bodoh, dan guru-guru disekolah
penyelenggara inklusif lebih berkompeten dalam mendidik peserta
didik berkebutuhan khusus agar pendidikan inklusif menjadi lebih
baik lagi, menjadi lebih maju lagi.”
Informan RA mengatakan: ”perubahan yang diinginkan ya agar inklusif
lebih baik lagi” Sedangkan informan YW mengatakan:
“Inklusif memang dapat menghilangan labeling diskriminatif,
namun sekarang sekolah inklusif menjadi labeling itu sendiri.
Labelingnya menjadi “sekolah inklusif yang mendidik anak
berkebutuhan khusus” menghilangkan labeling sekolah inklusif
memang sulit, namun harapan saya kedepannya sudah tidak ada
lagi labeling sekolah inklusif. ya semua sekolah dapat menerima
ABK, tidak lagi jadi “oh itu sekolah inklusi untuk ABK, yang itu
sekolah bisa” ya semoga tidak ada seperti itu lagi. Saya pernah
membicarakan ini dengan Prof. Ravik, bagaimana jika sekolah
inklusi dihapus saja, toh malah membuat label sendiri. Harapan
saya pada 2025 teman-teman kita khususnya PGSD paham tentang
kePLB-an, jadi lebih baik dalam menangani ABK di sekolah.”

Berdasarkan penuturan informan, perubahan yang diharapkan dengan


adanya pendidikan inklusif adalah dapat meningkatkan kepercayaan diri
peserta didik berkebutuhan khusus dan menumbuhkan rasa empati serta
kebersamaan untuk peserta didik lainnya. Selain itu, dengan adanya
pendidikan inklusif diharapkan stigma masyarakat terhadap peserta didik
berkebutuhan khusus dapat berubah. Pendidik juga diharapkan dapat lebih
berkompeten dan lebih peduli terhadap peserta didik berkebutuhan khusus.

b. Lingkungan Implementasi
Implementasi kebijakan pendidikan inklusif menurut teori Grindle
ditinjau pula pada variabel lingkungan implementasi. Pada variabel ini
mencakup strategi implementator, responsivitas kelompok sasaran dan
tingkat kepatuhan kelompok sasaran. Cakupan strategi implementator yang
ditinjau dari Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan
Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi
commit to user
Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, yaitu aspek penerimaan peserta didik,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

118

aspek kurikulum dan aspek pembelajaran. Pada aspek penerimaan peserta


didik tingkat keterlaksanaan nya sudah mencapai 88,48%, yang merupakan
tingkat keterlaksanaan tertinggi dalam implementasi kebijakan pendidikan
inklusif di sekolah dasar Kota Surakarta. 86% sekolah setiap tahunnya selalu
menerima peserta didik berkebutuhan khusus dan 62% sekolah
merencanakan penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus dengan
mempertimbangkan daya tampung sekolah. Hal tersebut dipengaruhi oleh
domisili peserta didik yang mendaftar. Menurut hasil wawancara
penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus di setiap sekolah dasar
inklusi merupakan hasil rujukan dari PLA yang saat ini menjadi unit layanan
disabilitas dan inklusif.
Dalam proses pelaksanaannya anak berkebutuhan khusus harus
melaporkan diri pada PLA dan akan melaksanakan identifikasi dan
asesmen. Selain itu, domisili peserta didik akan menentukan sekolah dasar
inklusi yang akan menampung peserta didik tersebut. Dalam melakukan
identifikasi dan asesmen terhadap peserta didik berkebutuhan khusus,
sebanyak 70% nya sekolah menjawab sudah melakukan kegiatan tersebut
dengan 47% responden menjawab melibatkan pihak lain dalam melakukan
kegiatan identifikasi. Hal ini dipengaruhi karena, identifikasi dan asesmen
sebelumnya sudah dilakukan oleh PLA. Identifikasi dan asesmen yang
dilakukan sekolah merupakan kebijakan setiap sekolah masing-masing.
Hasil identifikasi yang telah dilakukan sekolah, oleh 56% digunakan untuk
menyusun perangkat pembelajaran. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Azmi (2018) identifikasi dan asesmen yang penting dilakukan oleh pihak
sekolah untuk mengetahui kemampuan peserta didik untuk mengetahui
penanganan yang tepat sesuai dengan kemampuan peserta didik Layanan
bimbingan khusus pada peserta didik berkebutuhan khusus diberikan oleh
52% sekolah dasar penyelenggara pendidikan inklusif.
Pada aspek kurikulum tingkat keterlaksanaannya sudah mencapai
79,31%. 48% responden mengatakan bahwa mereka menyusun RPP khusus
commit to user
untuk peserta didik berkebutuhan khusus dan hanya 40% responden
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

119

mengatakan selalu berkoordinasi dengan GPK dalam penyusunan RPP


khusus peserta didik berkebutuhan khusus. Dalam upaya memodifikasi
kurikulum hanya sekitar 45% yang melakukan modifikasi pada KKM dan
49% memodifikasi materi pembelajaran. Hal tersebut sejalan dengan hasil
penelitian Damayanti, dkk (2017) yang menemukan bahwa pendidik masih
kurang mengetahui kurikulum untuk peserta didik berkebutuhan khusus,
sehingga pada tujuan dan isi materi pembelajaran, pendidik belum mampu
menyesuaikan dengan kondisi peserta didik. Berdasarkan hasil wawancara
dengan salah satu perwakilan dinas pendidikan dari kelompok kerja guru
pendidikan inklusif di Kota Surakarta, menjelaskan bahwa pada aspek
kurikulum, sekolah penyelenggara pendidikan inklusif belum memiliki
induk kurikulumnya sehingga semua perencaraan dan modifikasi kurikulum
disesuaikan dengan kebijakan sekolah, oleh sebab itu masih terdapat
sekolah yang belum melakukan modifikasi kurikulum.
Pada aspek pembelajaran, tingkat keterlaksanaannya mencapai 76,63%.
41% responden mengatakan selalu menggunakan media pembelajaran yang
sesuai dengan karakteristik peserta didik, namun hanya 29% pendidik yang
selalu mendiskusikan materi pelajaran dengan GPK. Saat pembelajaran
45% GPK selalu mendampingi peserta didik berkebutuhan khusus.
Pelaksanaan diskusi antara guru kelas/ guru mata pelajaran dengan GPK
jarang dilakukan, hal ini dilihat dari hasil penelitian bahwa hanya 27%
responden yang menjawab selalu melakukan kegiatan tersebut. 43%
responden menjawab selalu membedakan metode penilaian belajar peserta
didik berkebutuhan khusus dengan peserta didik lainnya. Namun
kenyataannya, berdasarkan penuturan informan beberapa pendidik masih
mengangap peserta didik berkebutuhan khusus tidak berbeda dengan peserta
didik lainnya sehingga mereka mendapatkan beban tugas serta
menggunakan metode penilaian yang sama dengan peserta didik lainnya,
tanpa adanya modifikasi dan penyesuaian dengan karakteristik serta
kemampuan peserta didik berkebutuhan khusus. Menurut hasil penelitian
commit
Putri dan Ajisuksmo (2019), padatoaspek
user pembelajaran, pendidik kesulitan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

120

untuk mengenal karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus dan tidak


merancang program pembelajaran individual sehingga dalam proses
pembelajarannya semua disamakan dengan peserta didik lainnya.
Hasil penelitian Wardah (2019) juga menjelaskan bahwa perencanaan
pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus masih belum berjalan
dengan baik dikarenakan kurangnya pengetahuan pendidik tentang peserta
didik berkebutuhan khusus. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara para
implementator sudah melakukan beberapa strategi untuk meningkatkan
keterlaksanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah dasar Kota
Surakarta. Hasil wawancara dengan RY yang berperan sebagai guru
pendidikan inklusif, adalah sebagai berikut:
“Untuk sejauh ini saya sebagai koordinator inklusi di sekolah saya,
saya sudah melakukan pendampingan kepada peserta didik
berkebutuhan khusus dalam proses pembelajaran, atau kegiatan-
kegiatan lainnya.”
Secara lebih lanjut informan RY mengatakan:
“Kegiatan pengembangan diri peserta didik berkebutuhan khusus di
sekolah saya sudah dilakukan yaitu kegiatan menari, kegiatan
keagamaan seperti sholat, menghafal doa-doa sholat, dan dilakukan
bersama peserta didik lainnya.”
Informan RA menjelaskan mengenai strategi implementator pendidikan
inklusif di sekolah, RA mengatakan:
“Kami memberikan dan menyediakan fasilitas yang mendukung
pembelajaran dan sesuai dengan kebutuhan anak, memberikan
sosialisasi kepada wali murid dan murid reguler tentang kebutuhan
sosial ABK di sekolah. Bekerjasama dengan instansi yang
menyediakan assesment dan terapi bagi ABK di sekolah inklusi.”
Selain itu, informan RA menambahkan “terkait aksesibilitas dan
guru pendamping kami sudah mengajukan kepada dinas pendidikan
agar dapat ijin dan bantuan dari dinas dan untuk permasalahan wali
murid pihak sekolah sudah mengadakan sosialisasi.”

Berdasarkan penuturan informan, implementator pendidikan inklusif


telah melakukan beberapa strategi untuk memaksimalkan pelaksanaan
pendidikan inklusif di sekolah dasar Kota Surakarta. Selain strategi
implementator, tingkat responsivitas dan kepatuhan kelompok sasaran juga
commit to user
dinilai pada variabel lingkungan implementasi. Responsivitas dan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

121

kepatuhan kelompok sasaran dapat ditinjau dari tingkat peran serta peserta
didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti kegiatan di sekolah dasar
penyelenggara pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil wawancara dengan 6
informan yang berperan sebagai wali peserta didik, semua informan
mengatakan bahwa peserta didik berkebutuhan khusus secara aktif
berpartisipasi dalam kegiatan di sekolah, Adapun pernyataan informan
adalah sebagai berikut:
Informan F mengatakan:
“Ya, saya dan anak saya aktif dalam kegiatan di sekolah”
Informan X mengatakan:
“Aktif kok mbak, selalu ikut anak saya dan saya juga.”
Informan A mengatakan:
“Sangat aktif karena anak saya selalu ingin tahu dengan segala
kegiatan yg diadakan di sekolah. Gpk selalu melibatkan anak dalam
kegiatan kelompol dan sosial dengan anak-anak reguler lainnya.”
Selanjutnya informan A juga menambahkan:
“Ya saya juga aktif, agar saya bisa mengontrol kondisi anak
disekolah.”
Informan B mengatakan:
“Aktif apabila dia cocok dengan kegiatan nya, apabila tidak cocok
GPK biasanya mencari kegiatan lain yg lebih menarik untuk anak
saya, ketika bergaul dengan teman2 nya dia lebih sering mengajak
daripada diajak oleh teman-teman nya. Kalau saya aktif apabila
saya dalam kondisi sedang longgar saja Bu.”
Informan D mengatakan:
“Selalu aktif, karena guru dan teman-teman selalu mengajak anak
untuk terlibat dalam kegiatan baik ekskul maupun bermain
bersama tanpa memaksanya. Apabila anak saya tidak mampu
mengikuti kegiatan tertentu guru akan menggantinya dengan
kegiatan lain yang sesuai dengan anak saya.”
Selanjutnya informan D juga menambahkan:
“Karena terlalu sibuk, saya hanya datang ketika ada kegiatan
sekolah yang terkait dengan laporan atau sosialisasi tentang
perkembangan anak saya.”
Sedangkan informan G mengatakan:
“Aktif apabila diajak dahulu, namun anak saya lebih selektif bila
berteman, Ia tidak mau bila ada aktifitas fisik berat seperti lari dan
lainnya. Saya juga commit to user
selalu aktif mengikuti kegiatan apapun terkai
perkembangan dan cara agar anak saya bisa lebih baik dalam hal
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

122

kemandirian dan persiapan hidup kedepannya. Kegiatannya


seperti workshop terkait penanganan ABK, mengikuti pertemuan
wali murid ABK dengan pihak sekolah”

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian bahwa 61% peserta didik
berkebutuhan khusus terlibat dalam kegiatan sekolah. Namun ada beberapa
peserta berkebutuhan khusus yang memiliki tingkat partisipasi rendah
dikarenakan hambatan yang dimilikinya.

c. Hasil Akhir
Implementasi kebijakan pendidikan inklusif di sekolah dasar Kota
Surakarta merupakan kebijakan yang dikaji menggunakan pendekatan top
down dengan teori Grindle. Pendekatan top down menurut Dewi (2015)
dapat diartikan sebagai pendekatan yang menilai implementasi kebijakan
dengan melakukan pemetaan ke bawah untuk melihat keberhasilan atau
kegagalan suatu implementasi kebijakan. Pendekatan top down
mengidentifikasi tujuan dan sasaran kebijakan, manfaat yang diterima
kelompok sasaran dan mengidentifikasi dampak kebijakan untuk kelompok
sasaran dapat dilihat berdasarkan isi kebijakan (content of policy) dan
lingkungan implementasi (context of implementation), kedua variabel
tersebut saling berhubungan dan mempengaruhi hasil akhir sebuah
kebijakan.
Hasil akhir yang dimaksudkan dalam kebijakan pendidikan inklusif
adalah dampak dan perubahan yang dialami oleh target group. Berdasarkan
hasil penelitian, implementasi kebijakan pendidikan inklusif di sekolah
dasar Kota Surakarta berdampak pada peserta didik dan lingkungannya.
Dari hasil wawancara diperoleh data bahwa pendidikan inklusif membawa
pengaruh positif untuk kepribadian peserta didik lainnya dimana mereka
dapat menumbuhkan rasa empati dan toleransi akan perbedaan. Pendidik
yang bukan berlatar pendidikan PLB juga mengalami dampak dari adanya
pendidikan inklusif, sudut pandang mereka terhadap peserta didik
berkebutuhan khusus dapatcommit
berubahtoperlahan,
user dan mereka menyadari bahwa
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

123

adanya kelebihan dari peserta didik berkebutuhan khusus. Implementasi


kebijakan pendidikan inklusif di sekolah dasar Kota Surakarta sudah
berjalan dengan baik.
Berdasarkan hasil wawancara dengan 9 informan yang berperan
sebagai koordinator kelompok kerja guru inklusi Kota Surakarta, dua guru
pendidikan inklusif dan enam wali peserta didik, menjelaskan bahwa
dengan adanya pendidikan inklusif juga berdampak pada kemampuan anak
yang lebih terarah dalam mengikuti pembelajaran, para wali merasa
terwadahi oleh sekolah, rasa tidak percaya diri karena memiliki anak
berkebutuhan khusus dan kekhawatiran mereka mengenai masa depan anak
berangsur menghilang. Adapun pernyataan informan adalah sebagai
berikut:
Informan YW:
“Minimal anak-anak mengalami hambatan dapat meminbulkan
kepercayaan diri mereka. Pandangan orang-orang terhadap SLB
itu masih kurang ya walaupun SLB sebenarnya bagus, tapi
ternyata dilapangan pandangan masyarakat terhadap SLB itu
masih kurang bagus Mbak. Nah, dengan adanya sekolah inklusif,
anak yang mengalami hambatan ringan bisa bersekolah di sekolah
inklusi dan dapat menimbulkan rasa percaya diri bagi mereka
(Peseta didik berkebutuhan khusus). Selain itu untuk anak-anak
lainnya juga dapat menumbuhkan rasa empati dan kebersamaan.”
Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan RY, yang mengatakan:
“Pelaksanaan pendidikan inklusif peserta didik regular menjadi
lebih bisa menerima peserta didik berkebutuhan khusus”
Secara lebih spesifik informan RA menjelaskan manfaat yang diterima oleh
target group, yaitu:
“Bagi sekolah ya manfaatnya mendapatkan nama baik ketika ABK
yang memiliki potensi lebih dibandingkan anak reguler lainnya
memenangkan perlombaan baik dalam bidang akademik maupun
seni, Selain itu ini mbak, memberikan pengetahuan baru terhadap
cara mendidik ABK, serta mengubah sudut pandang guru bahwa
ABK dapat berprestasi meskipun memiliki kekurangan. Sedangkan
untuk ABK nya sendiri, mereka jadi memiliki ketrampilan sosial
yang lebih baik, mereka memiliki kepercayaan”

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

124

Berdasarkan hasil wawancara dengan para wali peserta didik berkebutuhan


khusus, diperoleh hasil manfaat yang diterima dalam implementasi
kebijakan pendidikan inklusif. Informan F mengatakan:
“Anak lebih terarah dalam mengikuti pembelajaran karena adanya
penanganan khusus”

Informan X mengatakan:
“Kami sebagai orang tua merasa diwadahi oleh sekolah,
kekhawatiran kami selama ini terobati dengan adanya sekolah
inklusif”
Informan A mengatakan:
“Kemandirian anak mulai tumbuh. Rasa empati dan simpati
terhadap semua teman disekolah mulai muncul. Anak sudah tidak
takut bertemu orang baru. Ketrampilan sosial anak meningkat”
Informan B mengatakan:
“Sangat banyk manfaatnya bu. Untuk anak yang berkebutuhan
khusus seperti Novita, karena untuk kasusnya novita ini bukan
kriteria anak yang harus bersekolah di SLB. Dia hanya butuh guru
yang membimbingnya saja.”
Informan D:
“Banyak mbak, membantu dalam memaksimalkan potensi anak.
Memotivasi saya untuk tidak mindeer dengan kondisi anak karena
ternyata anak saya bisa bersosialisasi dengan teman dan membuat
anak saya lebih percaya diri.”
Sedangkan informan G:
“Saya jadi tidak perlu khawatir lagi dengan penerimaan kondisi
anak, anak saya juga jadi lebih mandiri dan membantu saya dalam
menjada serta mendidik anak agar dia menjadi pribadi yang lebih
baik.”

Selain itu, untuk peserta didik berkebutuhan khusus dampak dari


kebijakan inklusif sangat besar, salah satunya meningkatkan rasa percaya
diri, dapat memaksimalkan potensi mereka dan memotivasi mereka. Serta
peserta didik berkebutuhan khusus dapat bersosialisasi dengan peserta didik
lainnya. Hasil akhir implementasi kebijakan pendidikan inklusif yang dikaji
menggunakan teori Grindle tidak hanya berupa manfaat yang diperoleh,
namun juga terkait dengan perubahan yang didapatkan dan penerimaan
masyarakat. Berdasarkan commit to user data, dengan adanya kebijakan
hasil analisis
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

125

pendidikan inklusif, banyak perubahan dalam bidang pendidikan, banyak


masyarakat yang mulai peduli terhadap kesetaraan dan pendidikan untuk
anak berkebutuhan khusus.

2. Permasalahan Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan


Inklusif di Sekolah Dasar Kota Surakarta
Implementasi kebijakan pendidikan inklusif di sekolah dasar di Kota
Surakarta yang sudah berlangsung lama, membawa dampak positif untuk
beberapa kalangan masyarakat terutama penyandang disabilitas. Walaupun
implementasi kebijakan pendidikan inklusif sejauh ini dianggap berhasil,
masih terdapat beberapa permasalahan yang ada. Berdasarkan perolehan data
penelitian, masalah utama dalam kebijakan pendidikan inklusif terjadi pada
aspek ketenaga pendidikan. Menerut hasil penelitian APPKhI (2017) dalam
Direktorat PK-LK (2019) ditemukan bahwa pendidikan inklusi masih
membutuhkan penguatan pada aspek kapasitas SDM. Hal tersebut sejalan
dengan penurutan informan yang mengatakan bahwa permasalahan utama
dalam kebijakan inklusif adalah SDM atau aspek tenaga pendidik.
Banyak pendidik yang bukan berlatar belakang pendidikan luar biasa
sehingga tidak mengetahui dengan baik metode atau strategi yang harus
digunakan untuk menangani peserta didik berkebutuhan khusus. Selain itu,
berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu informan yang berperan
sebagai wali peserta didik juga menjelaskan bahwa terdapat beberapa guru
yang sulit mengajari anaknya sehingga anak tersebut dibiarkan dan tidak
melakukan apapun. Padahal aspek tenaga pendidik merupakan aspek penting
dalam keberlangsungan pendidikan inklusif. Menurut Anggariana dan Trisani
(2016), dalam implementasi pendidikan inklusif sangat dibutuhkan kesiapan
berupa pemahaman dan kualitas yang baik dari sumber daya manusia yang ada
di sekolah tersebut, seperti kepala sekolah dan tenaga pendidik. Brennan, King
dan Travers (2019) menemukan bahwa permasalahan pada tenaga pendidik di
sekolah inklusi dapat disebabkan karena belum siapnya pendidik untuk belajar
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

126

hal baru menganai pendidikan inklusif, oleh karena itu dibutuhkan upaya untuk
meningkatkan pengetahuan pendidik terhadap pendidikan inklusif.

3. Kebutuhan Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan


Inklusif di Sekolah Dasar Kota Surakarta
Berdasarkan dengan permasalahan dalam implementasi kebijakan
pendidikan inklusif di sekolah dasar Kota Surakarta, maka kebutuhan
utamanya adalah peningkatan kemampuan atau kompetensi dari tenaga
pendidik sehingga mereka mampu dalam menangani peserta didik
berkebutuhan khusus dengan lebih baik lagi. Para pendidik yang bukan berlatar
belakang pendidikan luar biasa memiliki kecemasan dan ketidak pahaman
untuk menangani peserta didik berkebutuhan khusus. Berdasarkan hasil
penelitian Pappas, Papoutsi dan Drigas (2018) menyatakan bahwa pendidik
yang sudah mengajar di kelas mainstreaming, memberikan keuntungan untung
mengajar di sekolah iinklusi karena dapat mengembangkan kemampuan
peserta didik. Mngo dan Mngo (2018) mengatakan bahwa kurangnya
pengalaman pendidik dalam pendidikan khusus berdampak pada kurangnya
kemampuan mengatur kelas dan mengajar peserta didik berkebutuhan khusus,
dan dibutuhkan pelatihan tentang pendidikan khusus.
Dinas pendidikan setiap daerah saat ini sudah gencar mengadakan
pelatihan untuk pendidik di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, seperti
hasil penelitian dari Wardah (2019) yang menyatakan bahwa Dinas Pendidikan
Kabupaten Lumajang mengupayakan peningkatan pemahaman pendidik
dengan yang bukan berlatar belakang pendidikan luar biasa dengan pelatihan –
pelatihan mengenai program inklusif dan pelayanan bagi peserta didik
berkebutuhan khusus. Menurut hasil wawancara, Dinas Pendidikan Kota
Surakarta juga sudah mengadakan pelatihan untuk meningkatkan pemahaman
pendidik mengenai pendidikan khusus.

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

127

4. Rekomendasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif


Rekomendasi penelitian berupa draft panduan implementasi kebijakan
pendidikan inklusif untuk sekolah dasar dibuat berdasarkan hasil penelitian
mengenai kondisi factual, permasalahan dan kebutuhan di sekolah dasar
penyelenggara pendidikan inklusif. Hasil penelitian pada bagian permasalahan
yang dialami oleh sekolah penyelenggara pendidikan inklusif mayoritas berada
pada variable isi kebijakan, yaitu implementator kebijakan atau tenaga
pendidik. Hal tersebut juga didukung oleh hasil penelitian APPKhI tahun 2017
dalam Direktorat PK-LK (2019) menjelaskan bahwa pendidikan inklusi masih
memerlukan penguatan pada aspek kapasitas SDM Sekolah Penyelenggara
Pendidikan Inklusif (SPPI).
Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, Yusuf, Sari dan Karsidi (2019)
juga menemukan bahwa kapasitas SDM dalam hal ini tenaga pendidik di
sekolah penyelenggara inklusif daerah Wonogiri, Boyolali, Salatiga, dan
Karanganyar memiliki nilai rata-rata 70,25%. Hal ini berarti kapasitas SDM
masih berada dalam kategori sedang. Damayanti dkk (2017), Sutandi dan
Sugiharsono (2016) menjelskan bahwa kesiapan pendidik di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif dapat mempengaruhi prestasi belajar
peserta didik berkebutuhan khusus dan berpengaruh positif serta signifikan
terhasil hasil belajar mereka. Hal ini berarti semua pendidik harus mampu
memiliki kompetensi dalam bidang pendidikan khusus. Pendidik harus
memiliki pemahaman terkait anak berkebutuhan khusus dan tugas setiap
individu dalam melaksanakan kebijakan pendidikan inklusif.
Model implementasi oleh Grindle memiliki pemahaman yang
komprehensif akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut
implementator, target group, dan area permasalahan yang mungkin terjadi
diantara aktor/ pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan, serta kondisi
sumber daya implementasi yang tersedia dan yang dibutuhkan. Berdasarkan
hasil penelitian terkait kebutuhan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif,
salah satu hasil terbanyak diperoleh pada aspek tenaga pendidik. Dari hasil
wawancara ditemukan bahwacommit to user
responden memiliki kesulitan untuk mengetahui
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

128

tugas pokoknya menjadi seorang pendidik di sekolah penyelenggara


pendidikan inklusif, sehingga mereka membutuhkan seminar, diklat maupun
panduan terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif secara ideal. Hal tersebut
sejalan dengan Weiner (2003) yang menjelaskan bahwa kesiapan pendidik
dapat ditingkatkan dengan kegiatan seperti: (1) belajar dari pengalaman secara
terus-menerus; (2) melakukan refleksi; (3) melakukan teoritisasi tentang
bagaimana yang terbaik untuk menemukan kebutuhan peserta didik, baik
secara individual maupun secara kolektif; (4) belajar melalui kolaborasi dengan
kolega secara terus menerus. Oleh sebab itu, rekomendasi penelitian ini berupa
draft rumusan buku panduan implementasi kebijakan pendidikan inklusif di
sekolah dasar, sehingga diharapkan dapat membantu meminimalisir
permasalahan terkait aspek pendidik di sekolah penyelenggara kebijakan
pendidikan inklusif.

C. Luaran Penelitian
Luaran penelitian berupa rumusan rekomendasi penelitian dan hasil publikasi
yang dihasilkan dalam penelitian. Adapun luaran penelitian adalah sebagai berikut:
1. Rumusan Draft Panduan Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di
Sekolah Dasar
Salah satu tujuan penelitian adalah merumuskan rekomendasi penelitian untuk
meningkatkan keberhasilan kebijakan pendidikan inklusif di Sekolah Dasar
Kota Surakarta, sehingga salah satu rumusan rekomendasi penelitian berupa
draft buku panduan dalam mengimplementasikan kebijakan pendidikan
inklusif di sekolah dasar.

2. Artikel yang dipublikasikan dalam prosiding internasional terindex Scopus


Judul : Readiness of Principal and Educators in Implementing Inclusive
Education Policies
Publikasi : International Conference Proceeding Series (The 4th International
Conference on Learning Innovation and Quality Education 2020)
commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

129

3. Artikel yang dipublikasi dalam Jurnal Bereputasi


Judul : The Implementation of Inclusive Educational Policies of Elementary
School in Surakarta
Publikasi : Jurnal Pendidikan dan Pengajaran (Terakreditasi Sinta 2).
Volume 54, Nomor 1, 2021
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JPP/article/view/32210

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
130

commit to user

Anda mungkin juga menyukai