“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami adalah Allah’, kemudian mereka
meneguhkan pendiriannya (beristiqamah), maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
mereka tiada pula berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga , mereka kekal di
dalamnya sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan”.(QS al-Ahqaaf: 13-14)
Guna menjelaskan hakikat istiqamah, Ibnu Rajab al-Hambali mengajukan definisi, “Berjalan di
atas jalan kebenaran yang lurus tanpa menyimpang sedikit pun, dan menjalankan syariat Islam
sesuai dengan manhaj Rasulullah saw dalam melakukan perintah dan meninggalkan larangan-
Nya.”
Imam Muslim meriwayatkan sabda Rasulullah saw, “Amal yang paling disukai Allah Ta’ala adalah
amal yang dikerjakan terus menerus walaupun jumlahnya sedikit,” Karena itu, istiqamah bukan
sekadar kebajikan tambahan atau pelengkap, melainkan sebuah keharusan dalam kehidupan
manusia, sebagai individu maupun masyarakat.
“Istiqamah adalah jalan menuju keberhasilan di dunia dan keselamatan di akhirat. Seseorang
yang memiliki sikap istiqamah akan selalu merasa dekat dengan kebaikan, rezekinya
dilapangkan, dan akan jauh dari pengaruh buruk hawa nafsu dan syahwat. Dengan hati
istiqamah, malaikat akan turun untuk memberikan keteguhan dan ketenangan dari rasa takut
terhadap azab kubur. Selain itu, hati yang istiqamah akan mempermudah amal seseorang untuk
diterima di sisi Allah selain akan mempermudah untuk dihapus dosa-dosanya,” papar Imam al-
Qurthubi, salah seorang ulama tafsir.
Jelasnya, istiqamah adalah sebuah keniscayaan bagi seorang Muslim.
sebagaimana dijelaskan sendiri oleh Rasulullah saw. Ketika seorang sahabatnya, Sufyan bin
Abdullah, bertanya: “Wahai Rasulullah mohon dijelaskan padaku tentang Islam yang
sesungguhnya, sehingga aku tidak bertanya lagi setelah ini kepada seseorang selain
kepadamu?” Beliau menjawab, “Katakanlah, aku beriman kepada Allah kemudian
beristiqamalah!” (HR Muslim).
Singkat dan padat. Demikianlah kiranya jawaban Rasulullah saw dari pertanyaan sahabatnya
tersebut, namun di balik kesingkatan jawaban tersebut justru kita dapat menangkap suatu isyarat
bahwa untuk menjadi Muslim sejati ‘cukup’ dengan memenuhi dua syarat, yaitu: beriman kepada
Allah dan bersikap istiqamah dalam keimanannya tersebut.
Allah sangat menghargai dan memuji orang-orang yang mampu mempertahankan sikap
istiqamah. Merekalah yang berani menegakkan kebenaran dan tidak takut dengan konsekuensi
keimanan. Bahkan tidak akan menyesal bila risiko betul-betul menimpa dirinya sebagai kaum
Mukminin. “Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian
1
mereka tetap dalam pendiriannya (istiqamah), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan
berkata), ‘janganlah kamu merasa takut dan sedih dan bergembiralah kamu dengan surga yang
telah dijanjikan Allah kepadamu.”
(QS Fushshilat :30).
Karena itu, setiap kita harus berjuang untuk menumbuhkan istiqamah dalam jiwa masing-masing.
Ada empat hal yang harus ditempuh agar dapat menjadi hamba-hamba Allah yang istiqamah.
Pertama, kesadaran dan pemahaman yang benar (Al-Wa’yu wa al-fahmu ash-Shahih). Untuk
mencapai derajat istiqamah yang optimal dan berdaya, pemahaman ajaran Islam secara
sempurna mutlak diperlukan. Muslim yang memahami ajaran agamanya dengan baik tidak akan
bimbang menjalani kehidupan dunia. Ia akan tetap tegar
(istiqamah) menghadapi badai godaan sedahsyat apa pun.
Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dan merasakan pengawasan-Nya (at-Taqarrub wa al-
Muraqabah). Dua hal ini sangat penting. Ketika seorang Muslim telah merasa dekat dengan
Allah, kemana pun ia pergi, dimana pun ia berada dan bagaimana pun situasi dan kondisinya,
dengan keyakinan penuh ia akan selalu merasa diawasi dan dilihat oleh Allah.
Dengan begitu, ia tidak lagi berani menyimpang dari jalan-Nya (QS
al-Baqarah: 235).
Sebab itulah, setiap Muslim seyogianya selalu mengadakan introspeksi diri (muhasabah an-nafs)
terhadap apa-apa yang telah dikerjakan agar ia dapat mengontrol hawa nafsunya setiap saat.