Anda di halaman 1dari 3

Transkrip Wawancara

Nama : Dasar Bahagia Ginting


Umur : 66 tahun
Pekerjaan : Pensiunan PNS (Penilik Budaya Karo)

Pewawancara : P
Informan :I

P: Mengenai konsep “Yang Ilahi”, jadi bagaimana masyarakat Karo dulu mengenal seperti
agama yang sekarang ini? Bagaimana dulu memandang Yang Ilahi itu seperti apa? Entah
melalui roh leluhur atau barang-barang pemujaannya atau yang yang lain. Terlebih yang
mengenai tentang kepercayaan orang Karo pada dahulu kala.
I: Yang saya tahu frater, sebelum masuknya agama Kristen memang leluhur kita punya
kepercayaan yang namanya agama Pemenah. Sering juga disebut olwig. Artinya, sebelum
masuk agama, Karo memuja seperti jin-jin di suatu gua misalnya. Masyarakat Karo itu
memiliki kepercayaan penghuninya itu ada, berupa jin. Masyarakat Karo pun kalau ada
pohon-pohon besar pun juga percaya kalau penghuni pohon itu ada dan masing-masing
memiliki kekuasaan dan terbatas tidak seperti Yang Mahakuasa. Dalam hal tertentu,
penghuninya di pohon besar atau gua-gua bisa memberikan bantuan kepada masyarakat
misalnya menyembuhkan penyakitlah, menyuburkan tanaman lah, itu dia.
P: Terus pengerjaannya itu gimana?
I: Ada juga dulu tradisi-tradisi misalnya minta turun hujan. Tapi acaranya secara detail itu
waktu saya kecil, jadi saya tidak ngerti kali ritual itu. Tapi memang ada.
P: Hujannya apakah menggunakan persembahan atau sesajen, dan apa-apa saja isinya?
I: Kalau yang dulu itu kapur sirih. Jadi kalau itu juga pada hal-hal tertentu juga yang acaranya
besar selain meletakkan sesajen entah kapur sirih, rokok-rokok adalagi tingkatannya itu
misalnya melepaskan ayam, melepaskan seekor kambing dan kadang bahkan lembu.
P: Semakin besar permintaan berarti semakin besar pula persembahannya ya?
I: Itu tergantung mereka yang melaksanakan itu. Kalau misalnya itu mereka memiliki rejeki
yang besar, besar pula rejeki yang di persembahkan. Nah, itu kalau keluarga sifatnya pribadi
ya. Tapi kalau secara umum ada juga masyarakat secara umum bersatu melepaskan seekor
ayam, melepaskan seekor kambing, seekor lembu.
P: Melepaskannya itu dimana?
I: Iya, dipiggiran hutan. Jadi ada kalanya hewan-hewan yang dipersembahkan itu kembali ke
rumah. Itu tidak ada yang berani menyentuh.
P: Kalau misalnya kembali ke rumah apalah tandanya itu?
I: Orang sekampung itu kan mengenal, “Oh ini yang kita lepaskan kemaren milik jin sana
itu”, katanya. Misalnya tadi di persembahkan di Batu Bulan, maka orang yang sudah
mengenal tadi akan berpendapat bahwa oh ini kambing buat jin di Batu Bulan.
P: oh jadi langsung disebutkan untuk jin siapa begitu ya?
P: Nah, lalu soal mengket rumah baru, sebelum mengenal litrugi Gerejawi begitulah.
Prosesnya seperti apa? Sebenarnya untuk apa mengket rumah baru ini?
I: Yang namanya mengket rumah baru kita awali dulu dari arti kata. Mengket itu berasal dari
kata mengket, mengket itu masuk. Nah, jadi masuk rumah baru. Jadi mengket rumah baru
masuk rumah baru. Nah itu dia.
P: Terus pelaksanaannya setelah itu?
I: Nah disinilah seperti yang saya bilang sama frater tadi.
P: oh jadi tujuan dari mengket?
I: Orang Karo ini memang seperti pengamatan saya lepas kontrol yang saya lihat.
Menunjukkan kehebatan seseorang. Tapi itu jaman dulu, sekarang sudah tidak. Kalau
sekarang itu menunjukkan keberhasilannya seperti apa, hebatnya dia seperti apa. Tapi yang
saya tahu pada prinsipnya itu sebagai tanda sukacita atas keberhasilannya bisa membangun
sesuatu, rumah kan gitu. Jadi bersyukur kepada Tuhan, sekaligus dalam upacara itu nanti
meminta doa restu kepada sanak keluarga, handai taulan, anak beru supaya mendoakan sehat-
sehat menempati rumah yang baru. Nah..dan sekaligus memberikan nasehat kalau sebelum
masuk rumah baru misalnya, barangkali dirundung penyakit dalam rumah baru didoakan
supaya sehat-sehat dan rejeki pun bertambah. Kalau sebelum masuk rumah baru sering
berantam misalnya suami-istri supaya di rumah yang baru itu nanti sudah aman. Nah..itu dia.
P: Terus mengenai perlengkapannya itu apa aja?
I: Nah itu tergantung tingkatan. Tingkatan itulah yang saya bilang tadi, barangkali berbeda.
Kalau disini yang saya lihat ada yang mengket rumah baru, ada sumalin jabu, ada ngeransik,
apalagi itu ya. Tapi kalau kami disana itu kan paling awal miser-miser. Nah itu kalau miser-
miser misalnya rumah itu ya keluarga rumah itu aja, kami anak bawa apa itu istilahnya, kalau
kita dulu kan tempat nasi itu priuk pakai api nanti. Jadi, masak nasi di dalam kuali, udah kami
bawa sendiri ke rumah yang baru. Jadi tidak ada siapa-siapa yang diundang begitu. Nah itu
yang paling rendah. Setelah miser-miser itu sumalin jabu itu dekat juga dengan miser-miser.
Sumalin jabu itu artinya bergeser. Jadi ya itu keluarga dari si ibu, family si bapak selaku
kepala keluarga dan saudara-saudara dekat, pihak bapak, pihak mertua nah udah lengkap
disitu. Itu udah semacam jadi satu apa namanya, rapat-rapat kecil, runggut namanya. Nah
pesertanya itu nanti yang sepuh, anak beru. Jadi udah ada rembuk-rembuk kecil dan biasanya
itu hidanganya pun sebatas ayam, undur (labu). Masak ayam itu sama undur lah.
P: Pemimpinnya ini siapa? Ya sebelum mengenal agama Katolik itu siapa?
I: Ya dari pihak anak beru. Dia yang mengarahkan, kalau ini kan anak beru tinggal mengatur
saja. Jadi sekarang ya pihak sembuyak dulu, itu kan senina. Lalu pihak sembuyak itu pun
banyak juga tingkatannya, seperti apa bentuk sembuyaknya kan. Misalnya kan saya, Ginting.
Semua yang marga Ginting itulah sembuyak saya. Mereka itulah yang berdiri memberi
nasehat atau doa. Baru setelah sembuyak Ginting ini nanti ada lagi sembuyak sipemeren.
Sipemeren itu sembuyak yang kakak-beradik dengan mamak. Setelah sembuyak itu tadi baru
yang terakhirlah kalibumbu. Pihak ini, pihak ibu saya dan masih banyak lagi. Makanya
sekarang ini Karo dibuat agak simpel. Yang penting kan maknanya tetap. Inilah adat, inilah
Allah. Allah Tritunggal itu kan tadi. Allah itu seperti manusia besar.
P: Terkait mengenai acara mengket rumah baru yang sudah masuk liturgi Gereja,
bagaimana tahapan biasanya?
I: Yang paling nampak dari alatnya itulah, meransiknya itu daun-daun yang begitu populer
adat Karo. Ada semacam pisang kepok, udah di peras airnya.
P: Oh itu air yang di gunakan dalam liturgi sekarang ya amang?
I: Kalau sekarang tidak, sekarang air sucilah untuk pemercikan.
P: Untuk alat pemerciknya?
I: Haa..kalau itu menggunakan daun-daun.
P: Makna yang ingin di sampaikan itu apa?
I: Itu kan dulu disebut yang dalam tradisi Karo itu disebut daun bulung simalem-malem.
Keseluruhan itu termasuk dalam lingkup daun bulung simalem-malem.
P: Itu bulung simalem-malem maknanya apa?
I: Malem itu kan dingin, nah jadi kira-kira kalau kita merasa sejuklah.
P: Dan misalnya kita lihat sekarang kan semakin maju, nah kira-kira masih
diperlukannya mengket rumah baru ini?
I: Ya masihlah.
P: Dengan alasan?
I: Pertama seperti sekarang, mengket rumah dari sisi Gerejalah misalnya..

Anda mungkin juga menyukai