Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

ASMA BRONKIALE

I. Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan


1.1 Anatomi Sistem Pernapasan
Pernapasan atau respirasi adalah suatu proses mulai dari pengambilan
oksigen, pengeluaran karbohidrat hingga penggunaan energi di dalam
tubuh. Menusia dalam bernapas menghirup oksigen dalam udara bebas dan
membuang karbondioksida ke lingkungan.
Alat-alat pernapasan berfungsi memasukkan udara yang mengandung
oksigen dan mengeluarkan udara yang mengandung karbondioksida dan
uap air.

1
Gambar 1.1.Sistem pernapasan pada manusia

Sistem Pernapasan pada Manusia terdiri atas :


1.1.1 Saluran Nafas Bagian Atas

a. Rongga hidung

Gambar 1.2 Anatomi


hidung manusia

Udara yang dihirup melalui hidung akan mengalami tiga


hal : dihangatkan, disaring dan dilembabkan

b. Faring
Gambar 1.3 Anatomi Faring
Faring terbagi atas tiga bagian, yaitu nasofaring, orofaring,
dan laringofaring. Nasofaring terletak di belakang cavum
nasi yang berfungsi sebagai saluran udara pernapasan,
penangkal infeksi (dilakukan oleh jaringan limfoid
adenoid) dan menunjang fungsi telinga (diperankan oleh
tuba eustachii yang menghubungkan telingan tengah
dengan nasofaring).
Orofaring terletak dibelakang cavum oris berperan sebagai
saluran pernapasan dan saluran makanan. Sebagai
penangkal infeksi, orofaring terdapat kelenjar limfoid
yaitu tonsil palatinum dan tonsil lingualis. Laringofaring
merupakan bagian akhir dari faring berperan sebagai
saluran pernapasan dan saluran makanan.

c. Laring
Gambar 1.4 Anatomi Laring

Laring sering disebut jakun, berperan dalam


menghasilkan suara dan berfungsi mempertahankan
kepatenan jalan napas dan melindungi jalan napas bawah
dari air dan makanan yang masuk. Laring berperan
sebagai saluran udara (pintu pengatur perjalanan udara
dan makanan yang diperankan oleh epiglotis) dan
sebagai organ penimbul suara yang diperankan oleh
plika.
Terdiri dari 4 struktur utama yaitu cartilago tiroid,
cartilago krikoid, plika suara, epiglotis

1.1.2 Saluran Nafas Bagian Bawah

a. Trakea, Bronkus, Bronkiolus

Trakea adalah tabung berdinding tipis, panjangnya sekitar


10 cm. Trakea terbagi menjadi dua cabang utama,
bronkus kanan dan kiri yang masing-masing masuk ke
paru kanan dan kiri, terdiri dari jaringan ikat yang di lapisi
oleh otot polos yang memisahkan trakea menjadi bronkus
kiri dan kanan yang disebut karina.

Bronkus merupakan percabangan trakhea kanan dan kiri.


Tempat percabangan ini disebut carina. Brochus kanan
lebih pendek, lebar dan lebih dekat dengan trachea.
Bronchus kanan bercabang menjadi : lobus superior,
medius, inferior. Brochus kiri terdiri dari : lobus superior
dan inferior.
Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi
menjadi bronkiolus lobaris dan bronkus segmentalis.
Percabangan ini berjalan terus menerus menjadi bronkus
yang ukurannya semakin kecil menjadi bronkus
terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak
mengandung alveoli.
Gambar 1.5 Anatomi Trakea, Bronkus, Bronkiolus

c. Paru-paru

Gambar 1.6 Anatomi Paru-paru


Paru merupakan organ utama dalam sistem pernapasan. Paru
terletak dalam rongga torak setinggi tulang selangka sampai
dengan diafragma. Paru terdiri atas beberapa lobus yang
diselaputi oleh pleura parietalis dan pleura viseralis, serta
dilindungi oleh cairan pleura yang berisi cairan surfaktan.
Paru sebagai alat pernapasan utama terdiri atas dua bagian,
yaitu paru kanan dan kiri. Pada bagian tengah organ ini
terdapat organ jantung beserta pembuluh darah yang berbentuk
kerucut, dengan bagian puncak disebut apeks. Paru memiliki
jaringan yang bersifat elastis, berpori, serta berfungsi sebagai
tempat pertukaran gas oksigen dan karbondioksida. (Hidayat,
A. Aziz Alimul, 2009.)

d. Alveoli

Alveoli adalah kantung-kantung udara kecil (tebal hanya 1 sel)


pada paru-paru di ujung saluran udara terkecil, di mana
pertukaran oksigen dan karbon dioksida berlangsung. Rata-rata
manusia memiliki hampir 300 juta alveoli untuk menyerap
oksigen dari udara. Fungsi utama dari alveoli adalah
pertukaran karbon dioksida atau gas CO2 dengan oksigen (O2).
Jaringan didalam alveoli juga melaksanakan fungsi sekunder,
seperti produksi hormon, enzim, dan surfaktan paru.(Hidayat,
A. Aziz Alimul, 2009.)
1.2. Fisiologi Sistem Pernapasan
1.2.1 Proses oksigenasi

Oksigen merupakan kebutuhan dasar paling vital dalam kehidupan


manusia. Dalam tubuh, oksigen berperan penting di dalam proses
metabolisme sel. Oksigenisasi adalah proses penambahan O2 ke
dalam system. Saat bernapas, tubuh mengambil O2 dari lingkungan
untuk kemudian di angkut ke seluruh tubuh melalui darah duna di
lakukan pembakaran. Selanjutnya, sisa pembakaran berupa CO2
akan kembali di angkut oleh darah ke paru-paru umtuk di buang ke
lingkungan karena tidak berguna lagi oleh tubuh. Kapasitas udara
dalam paru-paru adalah 4.500 – 5.000 ml. udara yang diproses
dalam paru-paru hanya sekitar 10%, yakni yang dihirup (inspirasi)
dan yang di hembuskan (ekspirasi) pada pernapasan biasa.
Proses respirasi berlangsung beberapa tahap, yaitu:
a. Ventilasi
Ventilasi merupakan proses pertukaran udara antara atmosfer
dengan alveoli. Proses ini terdiri dari inspirasi (masuknya
udara ke paru-paru) dan ekspirasi (keluarnya udara dari paru-
paru). Ventilasi terjadi karena adanya perubahan tekanan intra
pulmonal, pada saat inspirasi tekanan intra pulmonal lebih
rendah dari tekanan atmosfer sehingga udara dari atmosfer
akan terhisap ke dalam paru-paru. Sebaliknya pada saat
ekspirasi tekanan intrapulmonal menjadi lebih tinggi dari
atmosfer sehingga udara akan tertiup keluar dari paru-paru.
Perubahan tekanan intrapulmonal tersebut disebabkan karena
perubahan volume thorax akibat kerja dari otot-otot pernafasan
dan diafragma.
Pengaruh proses ventilasi selanjutnya adalah complience dan
recoil. Complience merupakan kemampuan paru untuk
mengembang. Kemampuan ini dipengaruhi oleh berbagai
faktor, yaitu adanya surfaktan yang terdapat pada lapisan
alveoli yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan
adanya sisa udara yang menyebabkan tidak terjadinya kolaps
serta gangguan torak. Surfaktan diproduksi saat terjadi
peregangan sel alveoli dan disekresi saat kita menarik napas,
sedangkan recoil adalah kemampuan mengeluarkan CO2 atau
kontraksi menyempitnya paru. Apabila complience baik namun
recoil terganggu, maka CO2 tidak dapat keluar secara
maksimal. Pusat pernapasan, yaitu medulla oblongata dan
pons, dapat mempengaruhi proses ventilasi, karena CO2
memiliki kemampuan merangsang pusat pernapasan.
Peningkatan CO2 dalam batas 60 mmHg dapat merangsang
pusat pernapasan dan bila pC02 kurang dari sama dengan 80
mmHg dapat menyebabkan depresi pusat pernapasan

1) Mekanisme ventilasi
a) Inspirasi → bersifat aktif Selama inspirasi terjadi kontraksi
otot diafragma dan intercosta eksterna, hal ini akan
meningkatkan volume intrathorak → menurunkan tekanan
intratorak → tekanan intrapleural makin negatif → paru
berkembang → tekanan intrapulmonary menjadi makin
negatif → udara masuk paru.
b) Ekspirasi → bersifat pasif Selama ekspirasi terjadi relaksasi
otot diafragma dan interkosta eksterna, hal ini akan
menurunkan volume intratorak → meningkatkan tekanan
intratorak → tekanan intrapleural makin positif → paru
mengempis → tekanan intrapulmonal menjadi makin
positif → udara keluar paru.
b. Difusi Gas
Difusi gas merupakan pertukaran antara oksigen di alveoli
dengan kapiler paru dan CO2 di kapiler dengan alveoli. Proses
pertukaran ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu luasnya
permukaan paru, tebal membran respirasi/permeabilitas yang
terdiri atas epitel alveoli dan interstisial (keduanya dapat
mempengaruhi proses difusi apabila terjadi proses penebalan),
perbedaan tekanan dan konsentrasi O2 (hal ini sebagaimana
O2 dari alveoli masuk ke dalam darah oleh karena tekanan O2
dalam rongga alveoli lebih tinggi dari tekanan O2 dalam darah
vena pulmonalis, masuk dalam darah secara difusi), pCO2
dalam arteri pulmonalis akan berdifusi ke dalam alveoli, dan
afnitas gas (kemampuan menembus dan saling mengikat
Hemoglobin-Hb).

c. Transportasi Gas
Transportasi gas merupakan proses pendistribusian O2 kapiler
ke jaringan tubuh dan CO2 jaringan tubuh ke kapiler. Pada
proses transportasi, O2 akan berikatan dengan Hb membentuk
Oksihemoglobin (97%) dan larut dalam plasma (3%),
sedangkan CO2 akan berikatan dengan Hb membentuk
karbominohemoglobin (30%), larut dalam plasma (5%), dan
sebagian menjadi HCO3 yang berada dalam darah (65%).
Transportasi gas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
curah jantung (kardiak output), kondisi pembuluh darah,
latihan (exercise), perbandingan sel darah dengan darah secara
keseluruhan (hematokrit), serta eritrosit dan kadar Hb
(Hidayat, A. Aziz Alimul, 2009.)
I. Konsep Penyakit
2.1 Definisi/deskripsi penyakit
Asma bronchial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten,
reversibel dimana trakea dan bronkhi berespon secara hiperaktif terhadap
stimulasi tertentu. (Smelzer Suzanne : 2001)
Asma bronchial adalah suatu penyakit pernapasan dimana terjadi
penigkatan respon saluran pernapasan yang menimbulkan reaksi
obstruksi pernapasan akibat spasme otot polos bronkus. (Sjaifoellah,
2001)
Asma bronchial adalah penyakit pernafasan objektif yang ditandai oleh
spasme akut otot polos bronkus. Hal ini menyebabkan obstruksi aliran
udara dan penurunan ventilasi alveolus. (Elizabeth, 2000)

2.2 Etiologi
Sampai saat ini etiologi dari asma bronchial belum diketahui. Berbagai
teori sudah diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya
gangguan parasimpatis (hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan
Simpatis (blok pada reseptor beta adrenergic dan hiperaktifitas reseptor
alfa adrenergik).
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan
menjadi 3 tipe, yaitu :
2.1.1 Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-
faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu
binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur.
Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu
predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada
faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas,
maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
2.1.2 Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap
pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara
dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran
pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan
sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang
menjadi bronkhitis kronik dan emfisema.
2.1.3 Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.

2.3 Tanda gejala


Gejala-gejala yang lazim muncul pada asma bronchial menurut adalah
batuk, dispnea, dan mengi. Biasanya pada penderita yang sedang bebas
serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita
tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke
depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras.
Gejala klasik dari asma bronkial ini adalah sesak nafas, mengi
(whezing), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di
dada. Gejala-gejala tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan.
Selain gejala tersebut, ada beberapa gejala menyertainya:
2.3.1 Takipnea
2.3.2 Gelisah
2.3.3 Diaphorosis
2.3.4 Nyeri di abdomen karena terlihat otot abdomen dalam pernafasan
2.3.5 Fatigue ( kelelahan)
2.3.6 Tidak toleran terhadap aktivitas: makan, berjalan, bahkan
berbicara.
2.3.7 Serangan biasanya bermula dengan batuk dan rasa sesak dalam
dada disertai pernafasan lambat.
2.3.8 Ekspirasi selalu lebih susah dan panjang disbanding inspirasi
2.4 Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus yang
menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah
hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara.
Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara
seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini
menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya.
Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat
pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan
bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody IgE
orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah
terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan
berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi
lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan
bradikinin. Histamine yang dihasilkan menyebabkan kontraksi otot polos
bronkiolus. Apabila respon histaminnya berlebihan, maka dapat timbul
spasme asmatik. Karena histamine juga merangsang pembentukan
mucus dan meningkatkan permeabilitas kapiler, maka juga akan terjadi
kongesti dan pembengkakan ruang intestinum paru, sehingga
menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat. Selain
itu olahraga juga dapat berlaku sebagai suatu iritan, karena terjadi aliran
udara keluar masuk paru dalam jumlah besar dan cepat. Udara ini belum
mendapat perlembaban (humidifikasi), penghangatan, atau pembersihan
dari partikel-partikel debu secara adekuat sehingga dapat mencetuskan
asma.

Pada asma, diameter bronkhiolus menjadi semakin berkurang selama


ekspirasi dari pada selama inspirasi. Hal ini dikarenakan bahwa
peningkatan tekanan dalam intrapulmoner selama usaha ekspirasi tak
hanya menekan udara dalam alveolus tetapi juga menekan sisi luar
bronkiolus. Oleh karena itu pendeita asma biasanya dapat menarik nafas
cukup memadai tetapi mengalami kesulitan besar dalam ekspirasi. Ini
menyebabkan dispnea, atau ”kelaparan udara”. Kapsitas sisa fungsional
paru dan volume paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma
karena kesulitan mengeluarkan udara dari paru-paru. Setelah suatu
jangka waktu yang panjang, sangkar dada menjadi membesar secara
permanent, sehingga menyebabkan suatu ”barrel chest” (dada seperti
tong).

2.5 Pemeriksaan Penunjang


a. Foto rontgen
Pada umumnya, pemeriksaan foto rontgen pada asma normal. Pada
serangan asma, gambaran ini menunjukkan hiperinflasi paru berupa
radiolusen yang bertambah, dan pelebaran rongga interkostal serta
diagfragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi,
kelainan yang terjadi adalah:
a. Bila disertai dengan bronkhitis, bercakan hilus akan
bertambah
b. Bila terdapat komplikasi emfisema (COPD) menimbulkan
gambaran yang bertambah.
c. Bila terdapat komplikasi pneumonia maka terdapat gambaran
infiltrat pada paru
b. Laboratorium:
a. Lekositosis dengan neutrofil yang meningkat menunjukkan
adanya infeksi
b. Eosinofil darah meningkat > 250/mm3 , jumlah eosinofil ini
menurun dengan pemberian kortikosteroid.
c. Analisa gas darah:
Hanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma berat atau
status asmatikus. Pada keadaan ini dapat terjadi hipoksemia,
hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Pada asma ringan sampai
sedang PaO2 normal sampai sedikit menurun, PaCO2 menurun
dan terjadi alkalosis respiratorik. Pada asma yang berat PaO2
jelas menurun, PaCO2 normal atau meningkat dan terjadi asidosis
respiratorik.
d. Radiologi:
Pada serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru
biasanya tidak menunjukkan adanya kelainan. Beberapa tanda
yang menunjukkan yang khas untuk asma adanya hiperinflasi,
penebalan dinding bronkus, vaskulasrisasi paru.
e. Uji kulit:
Untuk menunjukkan adanya alergi
f. Uji provokasi bronkus:
Dengan inhalasi histamin, asetilkolin, alergen. Penurunan FEV
1 sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi merupakan
petanda adanya hiperreaktivitas bronkus

1.1 Komplikasi
Status asmatikus adalah keadaan spasme bronkiolus berkepanjangan
yang men gancam jiwa yang tidak dapat dipulihkan dengan pengobatan.
Pada kasus seperti ini, kerja pernapasan sangat meningkat. Apabila kerja
pernapasan sangat meningkat, kebutuhan oksigen juga meningkat,karena
individu yang mengalami asma tidak dapat memenuhi kebutuhan
oksigen normalnya, individu semakin tidak sanggup memenuhi
kebutuhan oksigen yang sangat tinggi yang dibutuhkan untuk
berinspirasi dan berekspirasi melawan spasme bronkiolus,
pembengkakan bronkiolus, dan mukus yang kental. Situasi ini dapat
menyebabkan pneumotoraks akibat besarnya tekanan untuk melakukan
ventilasi. Apabila individu kelelahan, dapat terjadi asidosis respiratorik,
gagal napas, dan kematian.
1.2 Penatalaksanaan
Pengobatan medikamentosa :
1.7.1 Waktu serangan.
1.7.1.1 Bronkodilator
a. Golongan adrenergik:
Adrenalin larutan 1 : 1000 subcutan. 0,3 cc ditunggu
selama 15 menit, apabila belum reda diberi lagi 0,3
cc jika belum reda, dapat diulang sekali lagi 15
menit kemudian. Untuk anak-anak diberikan dosis
lebih kecil 0,1 – 0,2 cc.
b. Golongan methylxanthine:
Aminophilin larutan dari ampul 10 cc berisi 240
mg. Diberikan secara intravena, pelan-pelan 5 – 10
menit, diberikan 5 – 10 cc. Aminophilin dapat
diberikan apabila sesudah 2 jam dengan pemberian
adrenalin tidak memberi hasil.
c. Golongan antikolinergik:
Sulfas atropin, Ipratroprium Bromide. Efek
antikolinergik adalah menghambat enzym
Guanylcyclase.
1.7.1.2 Antihistamin.
Mengenai pemberian antihistamin masih ada perbedaan
pendapat. Ada yang setuju tetapi juga ada yang tidak
setuju.
a. Kortikosteroid.
Efek kortikosteroid adalah memperkuat bekerjanya
obat Beta Adrenergik. Kortikosteroid sendiri tidak
mempunayi efek bronkodilator.
b. Antibiotika.
Pada umumnya pemberian antibiotik tidak perlu,
kecuali: sebagai profilaksis infeksi, ada infeksi
sekunder.
c. Ekspektoransia.
Memudahkan dikeluarkannya mukus dari saluran
napas. Beberapa ekspektoran adalah: air minum
biasa (pengencer sekret), Glyceril guaiacolat
(ekspektorans)
1.7.2 Diluar serangan
Disodium chromoglycate. Efeknya adalah menstabilkan dinding
membran dari cell mast atau basofil sehingga: mencegah
terjadinya degranulasi dari cell mast, mencegah pelepasan
histamin, mencegah pelepasan Slow Reacting Substance of
anaphylaksis, mencegah pelepasan Eosinophyl Chemotatic
Factor).

Pengobatan Non Medikamentosa:


1.7.3 Waktu serangan:
1.7.3.1 Pemberian oksigen, bila ada tanda-tanda hipoksemia,
baik atas dasar gejala klinik maupun hasil analisa gas
darah.
1.7.3.2 Pemberian cairan, terutama pada serangan asma yang
berat dan yang berlangsung lama ada kecenderungan
terjadi dehidrasi. Dengan menangani dehidrasi,
viskositas mukus juga berkurang dan dengan demikian
memudahkan ekspektorasi.
1.7.3.3 Drainase postural atau chest physioterapi, untuk
membantu pengeluaran dahak agar supaya tidak timbul
penyumbatan.
1.7.3.4 Menghindari paparan alergen.
1.7.4 Diluar serangan
1.7.4.1 Pendidikan/penyuluhan.
Penderita perlu mengetahui apa itu asma, apa
penyebabnya, apa pengobatannya, apa efek samping
macam-macam obat, dan bagaima`na dapat
menghindari timbulnya serangan. Menghindari paparan
alergen. Imti dari prevensi adalah menghindari paparan
terhadap alergen.
1.7.4.2 Imunoterapi/desensitisasi.
Penentuan jenis alergen dilakukan dengan uji kulit atau
provokasi bronkial. Setelah diketahui jenis alergen,
kemudian dilakukan desensitisasi.
1.7.4.3 Relaksasi/kontrol emosi.
Untuk mencapai ini perlu disiplin yang keras. Relaksasi
fisik dapat dibantu dengan latihan napas
1.3 Pathway
III. Rencana asuhan klien dengan gangguan asma bronkiale
3.1 Pengkajian
1. Riwayat keperawatan
a. Riwayat kesehatan yang lalu
b. Riwayat kesehatan sekarang
c. Riwayat kesehatan keluarga
2. Pemeriksaan fisik: data fokus
Berguna selain untuk menemukan tanda-tanda fisik yang
mendukung diagnosis asma dan menyingkirkan kemungkinan
penyakit lain, juga berguna untuk mengetahui penyakit yang
mungkin menyertai asma, meliputi pemeriksaan :
a. Status kesehatan umum
Perlu dikaji tentang kesadaran klien, kecemasan,
gelisah, kelemahan suara bicara, tekanan darah nadi,
frekuensi pernapasan yang meningkatan, penggunaan
otot-otot pembantu pernapasan sianosis batuk dengan
lendir dan posisi istirahat klien.
b. Integumen
Dikaji adanya permukaan yang kasar, kering, kelainan
pigmentasi, turgor kulit, kelembapan, mengelupas atau
bersisik, perdarahan, pruritus, ensim, serta adanya bekas
atau tanda urtikaria atau dermatitis pada rambut di kaji
warna rambut, kelembaban dan kusam.
c. Thorak
1) Inspeksi
Dada di inspeksi terutama postur bentuk dan
kesemetrisan adanya peningkatan diameter
anteroposterior, retraksi otot-otot Interkostalis, sifat
dan irama pernafasan serta frekwensi peranfasan.
2) Palpasi.
Pada palpasi di kaji tentang kosimetrisan, ekspansi
dan taktil fremitus.
3) Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai
hipersonor sedangkan diafragma menjadi datar dan
rendah.
4) Auskultasi.
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai
dengan expirasi lebih dari 4 detik atau lebih dari 3x
inspirasi, dengan bunyi pernafasan dan Wheezing.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium:
1) Lekositosis dengan neutrofil yang meningkat
menunjukkan adanya infeksi
2) Eosinofil darah meningkat > 250/mm3 , jumlah
eosinofil ini menurun dengan pemberian
kortikosteroid.
b. Analisa gas darah:
Hanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma
berat atau status asmatikus. Pada keadaan ini dapat
terjadi hipoksemia, hiperkapnia dan asidosis
respiratorik. Pada asma ringan sampai sedang PaO2
normal sampai sedikit menurun, PaCO2 menurun dan
terjadi alkalosis respiratorik. Pada asma yang berat
PaO2 jelas menurun, PaCO2 normal atau meningkat
dan terjadi asidosis respiratorik.
c. Radiologi:
Pada serangan asma yang ringan, gambaran radiologik
paru biasanya tidak menunjukkan adanya kelainan.
Beberapa tanda yang menunjukkan yang khas untuk
asma adanya hiperinflasi, penebalan dinding bronkus,
vaskulasrisasi paru.
d. Faal paru:
Menurunnya FEV1
e. Uji kulit:
Untuk menunjukkan adanya alergi
f. Uji provokasi bronkus:
Dengan inhalasi histamin, asetilkolin, alergen.
Penurunan FEV 1 sebesar 20% atau lebih setelah tes
provokasi merupakan petanda adanya hiperreaktivitas
bronkus

3.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1: ketidakefektifan pola nafas
3.2.1 Definisi
Inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi
adekuat
3.2.2 Batasan karakteristik
Subyektif
Dispnea
Napas pendek
Obyektif
Perubahan ekskursi dada
Mengambil posisi tiga titik tumpu
Bradipnea
Penurunan tekanan inspirasi dan ekspirasi
Penurunan ventilasi semenit
Penurunan kapasitas vital
Napas dalam (dewasa VT500 ml pada saat istirahat, bayi 6-8
ml/kg)
Peningkatan diameter anterior posterior
Napas cuping hidung
Ortopnea
Fase ekpirasi memanjang
Pernapasan bibir mencucu
Takipnea
Rasio waktu
Penggunaan otot bantu asesorius untuk bernapas
3.2.3 Faktor yang berhubungan
Ansietas
Posisi tubuh
Deformitas tulang
Deformitas dinding dada
Penurunan energi dan kelelahan
Hiperventilasi
Sindrom hipoventilasi
Kerusakan musculoskeletal
Imaturitas neurologis
Disfungsi neuromuscular
Obesitas
Nyeri
Kerusakan persepsi atau kognitif
Kelelahan otot-otot pernapasan
Cedera medula spinalis

Diagnosa 2: gangguan pertukaran gas


3.2.4 Definisi
Kelebihan atau deifisit oksigenasi dan atau eliminasi
karbondioksida pada membran elveolar-kapiler
3.2.5 Batasan karakteristik
Diaforesis
Dipsnea
Gangguan penglihatan
Gas darah arteri abnormal
Gelisah
Hiperkapnia
Hiposemia
Nafas cuping hidung
Penurunan CO2
Pola pernafasan abnormal
Sakit kepala saat bangun
Somnolen
Takikardi

3.2.6 Faktor yang berhubungan


Ketidakefektifan ventilasi-perfusi
Perubahan membran alveolar-kapiler

3.3. Perencanaan

No. Diagnosa Tujuan & kriteria hasil (NOC) Intervensi (NIC)


1 Ketidakefekt Setelah dilakukan tindakan NIC :
ifan pola keperawatan selama 3 x 24 jam, Airway Management
nafas pasien mampu : 1. Buka jalan nafas, guanakan
 Respiratory status : teknik chin lift atau jaw
Ventilation thrust bila perlu
 Respiratory status : Airway 2. Posisikan pasien untuk
patency memaksimalkan ventilasi
 Vital sign Status 3. Identifikasi pasien perlunya
Dengan Kriteria Hasil : pemasangan alat jalan nafas
1. Mendemonstrasikan batuk buatan
efektif dan suara nafas yang 4. Pasang mayo bila perlu
bersih, tidak ada sianosis 5. Lakukan fisioterapi dada
dan dyspneu (mampu jika perlu
mengeluarkan sputum, 6. Keluarkan sekret dengan
mampu bernafas dengan batuk atau suction
mudah, tidak ada pursed 7. Auskultasi suara nafas, catat
lips) adanya suara tambahan
2. Menunjukkan jalan nafas 8. Lakukan suction pada mayo
yang paten (klien tidak 9. Berikan bronkodilator bila
merasa tercekik, irama perlu
nafas, frekuensi pernafasan 10. Berikan pelembab udara
dalam rentang normal, tidak Kassa basah NaCl Lembab
ada suara nafas abnormal) 11. Atur intake untuk cairan
3. Tanda Tanda vital dalam mengoptimalkan
rentang normal (tekanan keseimbangan.
darah, nadi, pernafasan) 12. Monitor respirasi dan status
O2

Terapi Oksigen
1. Bersihkan mulut, hidung
dan secret trakea
2. Pertahankan jalan nafas
yang paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Observasi adanya tanda
tanda hipoventilasi
7. Monitor adanya kecemasan
pasien terhadap oksigenasi

Vital sign Monitoring


1. Monitor TD, nadi, suhu, dan
RR
2. Catat adanya fluktuasi
tekanan darah
3. Monitor VS saat pasien
berbaring, duduk, atau
berdiri
4. Auskultasi TD pada kedua
lengan dan bandingkan
5. Monitor TD, nadi, RR,
sebelum, selama, dan
setelah aktivitas
6. Monitor kualitas dari nadi
7. Monitor frekuensi dan irama
pernapasan
8. Monitor suara paru
9. Monitor pola pernapasan
abnormal
10. Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
11. Monitor sianosis perifer
12. Monitor adanya cushing
triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
13. Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign

2. Gangguan Setelah dilakukan tindakan Airway Management


pertukaran keperawatan selama 3 x 24 jam, 1. Buka jalan nafas, gunakan
gas pasien mampu : teknik chin lift atau jaw
 Respiratory Status: Gas thrust bila perlu
exchange 2. Posisikan pasien untuk
 Respiratory Status: memaksimalkan ventilasi
ventilation 3. Identifikasi pasien perlunya
 Vital Sign Status pemasangan alat jalan nafas
Dengan kriteria hasil : buatan
a. Mendemonstrasikan 4. Pasang mayo bila perlu
peningkatan ventilasi dan 5. Lakukan fisioterapi dada
oksigenasi yang adekuat jika perlu
b. Memelihara kebersihan paru 6. Keluarkan sekret dengan
paru dan bebas dari tanda batuk atau suction
tanda distress pernafasan 7. Auskultasi suara nafas, catat
c. Mendemonstrasikan batuk adanya suara tambahan
efektif dan suara nafas yang 8. Lakukan suction pada mayo
bersih, tidak ada sianosis dan 9. Berika bronkodilator bial
dyspneu (mampu perlu
mengeluarkan sputum, 10. Barikan pelembab udara
mampu bernafas dengan 11. Atur intake untuk cairan
mudah, tidak ada pursed lips) mengoptimalkan
d. Tanda tanda vital dalam keseimbangan.
rentang normal 12. Monitor respirasi dan status
O2

Respiratory Monitoring
1. Monitor rata – rata,
kedalaman, irama dan usaha
respirasi
2. Catat pergerakan dada,amati
kesimetrisan, penggunaan
otot tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan
intercostal
3. Monitor suara nafas, seperti
dengkur
4. Monitor pola nafas :
bradipena, takipenia,
kussmaul, hiperventilasi,
cheyne stokes, biot
5. Catat lokasi trakea
6. Monitor kelelahan otot
diagfragma (gerakan
paradoksis)
7. Auskultasi suara nafas, catat
area penurunan / tidak
adanya ventilasi dan suara
tambahan
8. Tentukan kebutuhan suction
dengan mengauskultasi
crakles dan ronkhi pada jalan
napas utama
9. Auskultasi suara paru setelah
tindakan untuk mengetahui
hasilnya
2.4 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan yang
digunakan sebagai alat untuk menilai keberhasilan dari asuhan
keperawatan dan proses ini berlangsung terus menerus yang diarahkan
pada pencapaian tujuan yang diinginkan.
Ada empat yang dapat terjadi pada tahap evaluasi, yaitu :
2.4.1 Masalah teratasi seluruhnya.
2.4.2 Masalah teratasi sebagian.
2.4.3 Masalah tidak teratasi.
2.4.4 Timbul masalah baru.
Evaluasi adalah salah satu yang direncanakan dan perbandingan yang
sistematis pada status kesehatan klien. (Griffith, et. al, 1986; dikutip dari
Nursalam, 2001; 71).

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses


keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan,
rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai.
(Ignatavicius dan Bayne, 1994; dikutip dari Nursalam, 2001; 71).
Tujuan evaluasi adalah untuk mendapatkan umpan balik rencana
keperawatan, nilai serta meningkatkan mutu asuhan keperawatan melalui
hasil perbandingan melalui standar yang telah ditentukan sebelumnya.
Dalam hal ini penilaian yang diharapkan pada klien dengan gangguan
sistem pernafasan Asma Bronkial adalah:
a. Jalan nafas bersih.
b. Pertukaran gas berjalan dengan baik atau normal.
c. Nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan tubuh.
d. Infeksi tidak terjadi atau dapat dicegah.
e. Pengetahuan klien dan keluarga tentang kondisi penyakitnya
bertambah.
(Marilynn E. Doengoes, 1999; 155)
III. Daftar Pustaka
Almazini, P. (2012). Bronchial Thermoplasty Pilihan Terapi Baru untuk
Asma Berat. Jakrta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Carpenito, L.J. (2000). Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik


Klinis, edisi 6. Jakarta: EGC

Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Johnson, M., et all. (2000). Nursing Outcomes Classification (NOC) Second


Edition. New Jersey:Upper Saddle River

Linda Jual Carpenito, (2001). Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi


6 . Jakarta: EGC

Mansjoer, A dkk. (2007). Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta:


Media Aesculapius

Mc Closkey, C.J., et all. (1996). Nursing Interventions Classification (NIC)


Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River

Purnomo. (2008). Faktor Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap


Kejadian Asma Bronkial Pada Anak. Semarang: Universitas
Diponegoro

Ruhyanudin, F. (2007). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan


Gangguan Sistem Kardio Vaskuler. Malang : Hak Terbit UMM Press

Saheb, A. (2011). Penyakit Asma. Bandung: CV medika

Santosa, Budi. (2007). Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-


2006. Jakarta: Prima Medika

Sundaru H. (2006). Apa yang Diketahui Tentang Asma, JakartaDepartemen


Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM

Suriadi. (2001). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi I. Jakarta: Sagung


Seto

Anda mungkin juga menyukai