ASMA BRONKIALE
1
Gambar 1.1.Sistem pernapasan pada manusia
a. Rongga hidung
b. Faring
Gambar 1.3 Anatomi Faring
Faring terbagi atas tiga bagian, yaitu nasofaring, orofaring,
dan laringofaring. Nasofaring terletak di belakang cavum
nasi yang berfungsi sebagai saluran udara pernapasan,
penangkal infeksi (dilakukan oleh jaringan limfoid
adenoid) dan menunjang fungsi telinga (diperankan oleh
tuba eustachii yang menghubungkan telingan tengah
dengan nasofaring).
Orofaring terletak dibelakang cavum oris berperan sebagai
saluran pernapasan dan saluran makanan. Sebagai
penangkal infeksi, orofaring terdapat kelenjar limfoid
yaitu tonsil palatinum dan tonsil lingualis. Laringofaring
merupakan bagian akhir dari faring berperan sebagai
saluran pernapasan dan saluran makanan.
c. Laring
Gambar 1.4 Anatomi Laring
c. Paru-paru
d. Alveoli
1) Mekanisme ventilasi
a) Inspirasi → bersifat aktif Selama inspirasi terjadi kontraksi
otot diafragma dan intercosta eksterna, hal ini akan
meningkatkan volume intrathorak → menurunkan tekanan
intratorak → tekanan intrapleural makin negatif → paru
berkembang → tekanan intrapulmonary menjadi makin
negatif → udara masuk paru.
b) Ekspirasi → bersifat pasif Selama ekspirasi terjadi relaksasi
otot diafragma dan interkosta eksterna, hal ini akan
menurunkan volume intratorak → meningkatkan tekanan
intratorak → tekanan intrapleural makin positif → paru
mengempis → tekanan intrapulmonal menjadi makin
positif → udara keluar paru.
b. Difusi Gas
Difusi gas merupakan pertukaran antara oksigen di alveoli
dengan kapiler paru dan CO2 di kapiler dengan alveoli. Proses
pertukaran ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu luasnya
permukaan paru, tebal membran respirasi/permeabilitas yang
terdiri atas epitel alveoli dan interstisial (keduanya dapat
mempengaruhi proses difusi apabila terjadi proses penebalan),
perbedaan tekanan dan konsentrasi O2 (hal ini sebagaimana
O2 dari alveoli masuk ke dalam darah oleh karena tekanan O2
dalam rongga alveoli lebih tinggi dari tekanan O2 dalam darah
vena pulmonalis, masuk dalam darah secara difusi), pCO2
dalam arteri pulmonalis akan berdifusi ke dalam alveoli, dan
afnitas gas (kemampuan menembus dan saling mengikat
Hemoglobin-Hb).
c. Transportasi Gas
Transportasi gas merupakan proses pendistribusian O2 kapiler
ke jaringan tubuh dan CO2 jaringan tubuh ke kapiler. Pada
proses transportasi, O2 akan berikatan dengan Hb membentuk
Oksihemoglobin (97%) dan larut dalam plasma (3%),
sedangkan CO2 akan berikatan dengan Hb membentuk
karbominohemoglobin (30%), larut dalam plasma (5%), dan
sebagian menjadi HCO3 yang berada dalam darah (65%).
Transportasi gas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
curah jantung (kardiak output), kondisi pembuluh darah,
latihan (exercise), perbandingan sel darah dengan darah secara
keseluruhan (hematokrit), serta eritrosit dan kadar Hb
(Hidayat, A. Aziz Alimul, 2009.)
I. Konsep Penyakit
2.1 Definisi/deskripsi penyakit
Asma bronchial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten,
reversibel dimana trakea dan bronkhi berespon secara hiperaktif terhadap
stimulasi tertentu. (Smelzer Suzanne : 2001)
Asma bronchial adalah suatu penyakit pernapasan dimana terjadi
penigkatan respon saluran pernapasan yang menimbulkan reaksi
obstruksi pernapasan akibat spasme otot polos bronkus. (Sjaifoellah,
2001)
Asma bronchial adalah penyakit pernafasan objektif yang ditandai oleh
spasme akut otot polos bronkus. Hal ini menyebabkan obstruksi aliran
udara dan penurunan ventilasi alveolus. (Elizabeth, 2000)
2.2 Etiologi
Sampai saat ini etiologi dari asma bronchial belum diketahui. Berbagai
teori sudah diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya
gangguan parasimpatis (hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan
Simpatis (blok pada reseptor beta adrenergic dan hiperaktifitas reseptor
alfa adrenergik).
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan
menjadi 3 tipe, yaitu :
2.1.1 Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-
faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu
binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur.
Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu
predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada
faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas,
maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
2.1.2 Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap
pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara
dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran
pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan
sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang
menjadi bronkhitis kronik dan emfisema.
2.1.3 Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.
1.1 Komplikasi
Status asmatikus adalah keadaan spasme bronkiolus berkepanjangan
yang men gancam jiwa yang tidak dapat dipulihkan dengan pengobatan.
Pada kasus seperti ini, kerja pernapasan sangat meningkat. Apabila kerja
pernapasan sangat meningkat, kebutuhan oksigen juga meningkat,karena
individu yang mengalami asma tidak dapat memenuhi kebutuhan
oksigen normalnya, individu semakin tidak sanggup memenuhi
kebutuhan oksigen yang sangat tinggi yang dibutuhkan untuk
berinspirasi dan berekspirasi melawan spasme bronkiolus,
pembengkakan bronkiolus, dan mukus yang kental. Situasi ini dapat
menyebabkan pneumotoraks akibat besarnya tekanan untuk melakukan
ventilasi. Apabila individu kelelahan, dapat terjadi asidosis respiratorik,
gagal napas, dan kematian.
1.2 Penatalaksanaan
Pengobatan medikamentosa :
1.7.1 Waktu serangan.
1.7.1.1 Bronkodilator
a. Golongan adrenergik:
Adrenalin larutan 1 : 1000 subcutan. 0,3 cc ditunggu
selama 15 menit, apabila belum reda diberi lagi 0,3
cc jika belum reda, dapat diulang sekali lagi 15
menit kemudian. Untuk anak-anak diberikan dosis
lebih kecil 0,1 – 0,2 cc.
b. Golongan methylxanthine:
Aminophilin larutan dari ampul 10 cc berisi 240
mg. Diberikan secara intravena, pelan-pelan 5 – 10
menit, diberikan 5 – 10 cc. Aminophilin dapat
diberikan apabila sesudah 2 jam dengan pemberian
adrenalin tidak memberi hasil.
c. Golongan antikolinergik:
Sulfas atropin, Ipratroprium Bromide. Efek
antikolinergik adalah menghambat enzym
Guanylcyclase.
1.7.1.2 Antihistamin.
Mengenai pemberian antihistamin masih ada perbedaan
pendapat. Ada yang setuju tetapi juga ada yang tidak
setuju.
a. Kortikosteroid.
Efek kortikosteroid adalah memperkuat bekerjanya
obat Beta Adrenergik. Kortikosteroid sendiri tidak
mempunayi efek bronkodilator.
b. Antibiotika.
Pada umumnya pemberian antibiotik tidak perlu,
kecuali: sebagai profilaksis infeksi, ada infeksi
sekunder.
c. Ekspektoransia.
Memudahkan dikeluarkannya mukus dari saluran
napas. Beberapa ekspektoran adalah: air minum
biasa (pengencer sekret), Glyceril guaiacolat
(ekspektorans)
1.7.2 Diluar serangan
Disodium chromoglycate. Efeknya adalah menstabilkan dinding
membran dari cell mast atau basofil sehingga: mencegah
terjadinya degranulasi dari cell mast, mencegah pelepasan
histamin, mencegah pelepasan Slow Reacting Substance of
anaphylaksis, mencegah pelepasan Eosinophyl Chemotatic
Factor).
3.3. Perencanaan
Terapi Oksigen
1. Bersihkan mulut, hidung
dan secret trakea
2. Pertahankan jalan nafas
yang paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Observasi adanya tanda
tanda hipoventilasi
7. Monitor adanya kecemasan
pasien terhadap oksigenasi
Respiratory Monitoring
1. Monitor rata – rata,
kedalaman, irama dan usaha
respirasi
2. Catat pergerakan dada,amati
kesimetrisan, penggunaan
otot tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan
intercostal
3. Monitor suara nafas, seperti
dengkur
4. Monitor pola nafas :
bradipena, takipenia,
kussmaul, hiperventilasi,
cheyne stokes, biot
5. Catat lokasi trakea
6. Monitor kelelahan otot
diagfragma (gerakan
paradoksis)
7. Auskultasi suara nafas, catat
area penurunan / tidak
adanya ventilasi dan suara
tambahan
8. Tentukan kebutuhan suction
dengan mengauskultasi
crakles dan ronkhi pada jalan
napas utama
9. Auskultasi suara paru setelah
tindakan untuk mengetahui
hasilnya
2.4 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan yang
digunakan sebagai alat untuk menilai keberhasilan dari asuhan
keperawatan dan proses ini berlangsung terus menerus yang diarahkan
pada pencapaian tujuan yang diinginkan.
Ada empat yang dapat terjadi pada tahap evaluasi, yaitu :
2.4.1 Masalah teratasi seluruhnya.
2.4.2 Masalah teratasi sebagian.
2.4.3 Masalah tidak teratasi.
2.4.4 Timbul masalah baru.
Evaluasi adalah salah satu yang direncanakan dan perbandingan yang
sistematis pada status kesehatan klien. (Griffith, et. al, 1986; dikutip dari
Nursalam, 2001; 71).