Anda di halaman 1dari 59

1

UPAYA PENCEGAHAN STUNTING DI WILAYAH KERJA


PUSKESMAS GUBUG 1 DENGAN KEPING
“KADER PEDULI STUNTING”

Disusun oleh :
dr. Nisa Mahmudah

Pendamping :
dr. Icha Zulizza Permata Sari

DINAS KESEHATAN KABUPATEN GROBOGAN

UPTD PUSKESMAS GUBUG 1

KABUPATEN GROBOGAN

2023
2

HALAMAN PENGESAHAN
MINI PROJECT

UPAYA PENCEGAHAN STUNTING DI WILAYAH KERJA


PUSKESMAS GUBUG 1 DENGAN KEPING
“KADER PEDULI STUNTING”

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Program Internsip Dokter Indonesia

Telah disusun dan diajukan oleh:


dr. Nisa Mahmudah

Telah disetujui dan disahkan oleh:


Dokter Pendamping Internsip,

dr. Icha Zulizza Permata Sari


3

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Malnutrisi masih menjadi permasalahan utama pada bayi dan anak di
bawah lima tahun (balita) secara global. Data World Health Organization
(WHO) tahun 2020 menunjukkan 5,7% balita di dunia mengalami gizi lebih,
6,7% mengalami gizi kurang dan gizi buruk, serta 22,2% atau 149,2 juta
menderita stunting (malnutrisi kronik). Prevalensi stunting secara global
tersebut tergolong kategori tinggi karena berada antara 20% - <30%. Berdasar
global hunger index (GHI) 2021, Indonesia berada urutan ke – 73 dari 116
negara dengan hunger score moderat. Indicator yang termasuk dalam GHI
adalah prevalensi wasting dan stunting pada anak anak dibawah lima tahun.
Stunting merupakan salah satu permasalahan gizi utama pada balita di
Indonesia yang belum teratasi. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
menunjukkan prevalensi balita dengan status pendek dan sangat pendek di
Indonesia adalah 37,2% pada tahun 2013, dan menurun menjadi 30,8% pada
tahun 2018. Sedangkan untuk baduta, prevalensi pada tahun 2018 sebesar
29,9% yang mengalami penurunan dari 32.8% pada tahun 2013. Studi Status
Gizi Indonesia (SSGI) 2021 di 34 provinsi menunjukkan angka stunting
nasional turun dari 27,7% tahun 2019 menjadi 24.4% di tahun 2021.
Prevalensi tersebut mengalami penurunan, namun berdasarkan kriteria WHO
masih tergolong kategori tinggi (>20%). (Kemkes RI, 2022)
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013, data
prevalensi stunting di Kabupaten Grobogan termasuk kategori tinggi dengan
prevalensi sebesar 54,9% dan berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Tahun 2018 sebesar 32,9%. Sehingga pada Tahun 2018 Pemerintah Pusat
menetapkan Kabupaten Grobogan sebagai salah satu wilayah prioritas
penanganan stunting di tingkat nasional dan provinsi. Pemerintah melalui
Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia telah menyusun sebuah sistem informasi gizi terpadu berbasis
4

daring yang berguna untuk memonitor serta mengevaluasi pelaksanaan


asuhan gizi di Puskesmas secara berkala bagi masyarakat Indonesia.
Pencatatan dan pelaporan tersebut dilakukan melalui sistem informasi E-
PPGBM (Elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat).
Mekanisme pelaporan dan pencatatan yang digunakan pelaksanaan sistem ini
adalah menggunakan pendekatan partisipatif. Hingga Bulan Agustus Tahun
2021, persentase anak yang telah teridentifikasi serta terinput dalam sistem
informasi E-PPGBM baru mencapai 60,8 % dari total seluruh anak yang ada
di Kabupaten Grobogan. Dengan cakupan input 60,8%, teridentifikasi angka
prevalensi stunting sebesar 4,59%. Dengan konsisi cakupan input ke E-
PPGBM masih kurang dari 80 %, dianggap masih belum cukup untuk
mewakili populasi yang ada untuk dilakukan analisis. Namun demikian,
didata yang lain, Kabupaten Grobogan memiliki data manual hasil
penimbangan serempak yang dilakukan pada bulan Desember 2020. Data
inilah yang nantinya digunakan dalam melakukan analisis serta penentuan
lokasi prioritas penanganan stunting di Kabupaten Grobogan. Berdasarkan
data manual hasil penimbangan serempak dimaksud dengan cakupan rata-rata
86% terdapat angka prevalensi stunting sebesar 4,75%. Berdasarkan data di
atas, Kecamatan Klambu memiliki angka prevalensi stunting tertinggi di
angka 13,47 % dan Kecamatan Gubug memiliki angka prevalensi stunting
terendah dari 19 kecamatan yaitu 2,05 %. Cakupan prevalensi stunting di atas
berdasarkan sasaran jumlah balita yang ada di wilayah kecamatan masing-
masing yang rata-rata cakupannya sudah mencapai 86%. Dengan kondisi
kemiskinan di Kab. Grobogan yang masih cukup tinggi, bahkan diurutan ke
24 se Jawa Tengah, ada korelasi yang berbanding lurus dengan kondisi
stunting di Kab. Grobogan yang juga cukup tinggi. (Bappeda kab. Grobogan,
2021). Namun berdasarkan data E-PPGBM 2022, Kecamatan Penawangan
memiliki angka prevalensi stunting tertinggi di angka 23,28 % dan
Kecamatan Grobogan memiliki angka prevalensi stunting terendah dari 19
kecamatan yaitu 2,29 %, sedangkan Kecamatan Gubug meningkat menjadi
5

7,44% hal ini menjadikan kecamatan gubug mengalami peningkatan 2x lipat


dari tahun sebelumnya (Bappeda kab. Grobogan, 2022).
Oleh karena itu penulis mengusulkan beberapa usulan program guna
menurunkan angka kajadia stunting dengan judul “Upaya pencegahan
stunting di Puskesmas Gubug 1.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penguraian dalam latar belakang masalah tersebut diatas,
didapatkan rumusan masalah sebagai berikut: “Bagaimana upaya dalam
mencegah stunting di wilayah kerja Puskesmas Gubug 1?”

C. Tujuan
1. Umum:
Terrcapai tingkat kinerja puskesmas yang berkualitas secara optimal
dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan.
2. Khusus:
a. Mendapatkan gambaran tingkat kinerja Puskesmas (hasil
cakupan kegiatan, mutu kegiatan dan manajemen UPTD Puskesmas
Gubug 1 pada akhir tahun kegiatan).
b. Mendapatkan masukan untuk penyusunan rencana kegiatan
Puskesmas di tahun yang akan datang.
c. Dapat melakukan identifikasi dan analisa masalah, mencari penyebab
masalah di wilayah kerjanya berdasarkan kesenjangan pencapaian
kinerja.
d. Dapat menetapkan tingkat urgensi suatu kegiatan untuk
dilaksanakan segera pada tahun yang akan datang berdasarkan
prioritasnya.
e. Mengetahui tingkat kinerja Puskesmas berdasarkan urutan
kategori kelompok penilaian.

D. Manfaat
1. Bagi peneliti.
6

Memberikan kontribusi melalui ide dan program kerja yang melibatkan


multi sektoral.
2. Bagi Puskesmas Gubug 1
Sebagai masukan dalam upaya untuk mencegah terjadinya stunting di
wilayah kerja Puskesmas Gubug 1.
3. Bagi Masyarakat
Dengan adanya penelitian ini diharapkan menignkatkan wawasan
bagi maasyarakat sehingga angka kejadian stunting dapat dicegah dengan
menindaklanjuti factor factor yang berpengaruh terhadap kejadian stinting
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 STUNTING
A. Definisi Stunting

Stunting adalah kondisi tinggi badan seseorang lebih pendek


dibanding tinggi badan orang lain pada umunya (yang seusia). Stunted
(short stature) atau tinggi/panjang badan terhadap umur yang rendah
digunakan sebagai indikator malnutrisi kronik yang menggambarkan
riwayat kurang gizi balita dalam jangka waktu lama (Sudargo, 2010).
Menurut Dekker et al (2010), bahwa stunting pada balita atau rendahnya
tinggi/panjang badan menurut umur merupakan indikator kronis malnutrisi
(Dekkar, 2010). Menurut CDC (2000) short stature ditetapkan apabila
panjang/tinggi badan menurut umur sesuai dengan jenis kelamin balita <5
percentile standar pengukuran antropometri gizi untuk memantau
pertumbuhan dan perkembangan balita umur 6- 24 bulan menggunakan
indeks PB/U menurut baku rujukan WHO 2007 sebagai langkah
mendeteksi status stunting (Sudargo, 2010).
B. Pengukuran Status Stunting Dengan Antropometri PB/U atau
TB/U
Panjang badan menurut umur atau umur merupakan pengukuran
antropometri untuk status stunting. Panjang badan merupakan antropometri
yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan
normal, panjang badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur.
Pertumbuhan panjang badan tidak seperti berat badan, relatif kurang
sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh
defisiensi zat gizi terhadap panjang badan akan nampak dalam waktu yang
relatif lama.
Pengukuran tinggi badan harus disertai pencatatan usia (TB/U).
Tinggi badan diukur dengan menggunakan alat ukur tinggi stadiometer
Holtain/mikrotoice (bagi yang bisa berdiri) atau baby length board (bagi
8

balita yang belum bisa berdiri)(Suandi, 2010).


Kategori dan ambang batas status stunting balita berdasarkan PB/U,
dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Baku rujukan Antropometri menurut WHO 2007

Gangguan pertumbuhan dapat terjadi dalam kurun waktu singkat dan


dapat terjadi pula dalam waktu yang cukup lama. Gangguan pertumbuhan
dalam waktu singkat sering terjadi pada perubahan berat badan sebagai akibat
menurunnya napsu makan seperti diare dan infeksi saluran pernapasan atau
karena kurang cukupnya makanan yang dikonsumsi. Sedangkan gangguan
pertumbuhan yang berlangsung dalam waktu yang lama dapat terlihat pada
hambatan pertambahan tinggi badan. Keadaan gizi yang seimbang tidak
hanya penting bagi pertumbuhan yang normal, tetapi juga proses-proses
lainnya. Termasuk diantaranya adalah proses perkembangan anak,
kecerdasan, pemeliharaan kesehatan dan untuk melakukan kegiatan sehari-
hari (Waibale, P et al., 1999; Fillol, F et al., 2009).
Kegagalan pertumbuhan yang nyata biasanya mulai terlihat pada usia 4
bulan yang berlanjut sampai anak usia 2 tahun, dengan puncaknya pada usia
12 bulan. Sehubungan dengan hal itu, ibu harus mempunyai status gizi yang
baik sebelum hamil (Kemenkes RI, 2014). Idealnya, berat badan bayi saat
dilahirkan adalah tidak kurang dari 2500 gram, dan panjang badan bayi tidak
kurang dari 48 cm. Inilah alasan mengapa setiap bayi yang baru saja lahir
akan diukur berat dan panjang tubuhnya, dan dipantau terus menerus
terutama di periode emas pertumbuhannya, yaitu 0 sampai 2 tahun
(Kemenkes RI, 2017).
Indonesia masih banyak ibu-ibu yang saat hamil mempunyai status
gizi kurang, misalnya kurus dan menderita Anemia. Hal ini dapat disebabkan
karena asupan makanannyaselama kehamilan tidak mencukupi untuk
9

kebutuhan dirinya sendiri dan bayinya. Akibatnya, bayi tidak mendapatkan


zat gizi yang dibutuhkan, sehingga mengganggu pertumbuhan dan
perkembangannya (Kemenkes RI, 2014).
10

1. Periode 0 – 6 bulan (180 hari)

Ada dua hal penting dalam periode ini yaitu melakukan inisiasi
menyusu dini (IMD) dan pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif.
Inisiasi menyusu dini adalah memberikan kesempatan kepada bayi baru
lahir untuk menyusu sendiri pada ibunya dalam satu jam pertama
kelahirannya. Dalam 1 jam kehidupan pertamanya setelah dilahirkan ke
dunia. Sangat bermanfaat karena bayi akan mendapatkan kolostrum
yang terdapat pada tetes ASI pertama ibu yang kaya akan zat kekebalan
tubuh. Selain itu IMD bermanfaat bagi pemulihan uterus ibu.
(Kemenkes RI, 2017).
Kolustrum merupakan ASI terbaik yang keluar pada hari ke 0-5
setelah bayi lahir yang mengandung antibodi (zat kekebalan) yang
melindungi bayi dari zat yang dapat menimbulkan alergi atau infeksi
(Handy, 2010).
ASI eksklusif adalah pemberian ASI setelah lahir sampai bayi
berumur 6 bulan tanpa pemberian makanan lain. Beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya kegagalan pemberian ASI Eksklusif antara lain
adalah karena kondisi bayi yaitu BBLR, kelainan kongenital, terjadi
infeksi, dan lain-lain; serta karena faktor dari kondisi ibu yaitu
pembengkakan/abses payudara, cemas dan kurang percaya diri, ibu
kurang gizi, dan ibu ingin bekerja. Selain itu, kegagalan menyusui dapat
disebabkan oleh ibu yang belum berpengalaman, paritas, umur, status
perkawinan, merokok, pengalaman menyusui yang gagal, tidak ada
dukungan keluarga, kurang pengetahuan, sikap, dan keterampilan,
faktor sosial budaya dan petugas kesehatan, rendahnya pendidikan
laktasi pada saat prenatal dan kebijakan rumah sakit yang tidak
mendukung laktasi atau pemberian ASI Eksklusif. WHO
merekomendasikan pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan pertama
dan pemberian ASI diteruskan hingga anak berusia 2 tahun.
11

2. Periode 6 – 24 bulan (540 hari)

Mulai usia 6 bulan ke atas, anak mulai diberikan makanan


pendamping ASI (MP-ASI) karena sejak usia ini, ASI saja tidak
mencukupi kebutuhan anak Fahrini (2013) yang menunjukkan bahwa
waktu memulai pemberian MP-ASI mempunyai hubungan yang
signifikan terhadap kejadian stunting dengan nilai p=0,038 dan OR =
1,71 (95% CI 1,02-2,85), hal ini berarti anak yang mendapatkan MP-
ASI pada usia kurang dari 6 bulan berisiko untuk mengalami kejadian
stunting 1,71 kali lebih besar dibandingkan anak yang mendapatkan MP-
ASI ≥ 6 bulan (Fahrini, 2013). Sebaliknya, penundaan pemberian MP
ASI (tidak memberikan MP-ASI sesuai waktunya) akan menghambat
pertumbuhan bayi karena alergi dan zat-zat gizi yang dihasilkan dari
ASI tidak mencukupi kebutuhan lagi sehingga akan menyebabkan
kurang gizi (Pudjiadi, 2005).
Menurut Ali Khomsan usaha positif yang dapat dilakukan untuk
menanggulangi masalah ini adalah dengan menyelenggarakan program
Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) secara gratis,
disamping itu perlu ditingkatkan pengetahuan ibu tentang makanan
yang bergizi. PMT-P dapat berupa makanan lokal atau makanan pabrik
seperti susu dan biskuit (Persagi, 2009).
C. Ciri-ciri Anak Stunting

Agar dapat mengetahui kejadian stunting pada anak maka perlu


diketahui ciri-ciri anak yang mengalami stunting sehingga jika anak
mengalami stunting dapat ditangani sesegera mungkin.
1. Tanda pubertas terlambat

2. Usia 8-10 tahun anak menjadi lebIh pendiam, tidak banyak


melakukan eye contact
3. Pertumbuhan terhambat

4. Wajah tampak lebih muda dari usianya


12

5. Pertumbuhan gigi terlambat

6. Performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar

Pubertas merupakan salah satu periode dalam proses pematangan seksual


dengan hasil tercapainya kemampuan reproduksi. Usia awal pubertas pada
anak laki-laki berkisar antara 9–14 tahun dan perempuan berkisar 8–13 tahun.
Pubertas terlambat apabila perubahan fisik awal pubertas tidak terlihat pada
usia 13 tahun pada anak perempuan dan 14 tahun pada anak laki-laki, karena
keterlambatan pertumbuhan dan maturasi tulang (Lee P.A, 1996). Calon ibu
yang menderita anemia, kekurangan gizi, atau kehilangan berat badan secara
drastis di masa kehamilan akan meningkatkan resiko sang calon bayi untuk
mengalami gangguan pertumbuhan.
D. Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh stunting:

1. Jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak,


kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan
metabolisme dalam tubuh.
Dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah
menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya
kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi untuk munculnya
penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker,
stroke, dan disabilitas pada usia tua. Oleh karena itu, intervensi untuk
mencegah pertumbuhan Stunting masih tetap dibutuhkan bahkan setelah
melampaui 1000 HPK (Aryastami, N.K, 2015).
Efek sisa pertumbuhan anak pada usia dini terbawa hingga usia pra-
pubertas. Peluang kejar tumbuh melampaui usia dini masih ada meskipun
kecil. Ada hubungan kondisi pertumbuhan (berat badan lahir, status sosial
ekonomi) usia dini terhadap pertumbuhan pada anak usia 9 tahun. Anak yang
tumbuh normal dan mampu mengejar pertumbuhannya setelah usia dini 80%
tumbuh normal pada usia pra-pubertas (McGovern ME, 2012).
13

E. Faktor-Faktor Penyebab Kejadian Stunting pada Balita

Dua penyebab langsung stunting adalah faktor penyakit dan asupan


zat gizi. Kedua faktor ini berhubungan dengan faktor pola asuh, akses
terhadap makanan, akses terhadap layanan kesehatan dan sanitasi
lingkungan. Namun, penyebab dasar dari semua ini adalah terdapat pada
level individu dan rumah tangga tersebut, seperti tinggkat pendidikan,
pendapatan rumah- tangga. Banyak penelitian cross-sectional menemukan
hubungan yang erat antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi anak
(Bloem MW, de Pee S, Hop LT, Khan NC, Laillou A, Minarto, et al.,
2013).

Menurut WHO (2013) membagi penyebab terjadinya stunting


pada anak menjadi 4 kategori besar yaitu
1. Faktor keluarga dan rumah tangga

Faktor maternal, dapat disebabkan karena factor berupa nutrisi yang


kurang pada saat prekonsepsi, kehamilan, dan laktasi, tinggi badan ibu
yang rendah, infeksi, kehamilah pada usia remaja, kesehatan mental,
intrauterine growth restriction (IUGR) dan kelahiran preterm, jarak
kehamilan yang pendek, dan hipertensi.

Faktor lingkungan rumah berupa stimulasi dan aktivitas anak yang


tidak adekuat, perawatan yang kurang, sanitasi dan pasukan air yang tidak
adekuat, akses dan ketersediaan pangan yang kurang, alokasi makanan
dalam rumah tangga yang tidak sesuai, edukasi pengasuh yang rendah
(WHO, 2013).
2. Complementary feeding yang tidak adekuat

Setelah umur 6 bulan, setiap bayi membutuhkan makanan lunak yang


bergizi sering disebut Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Pengenalan
dan pemberian MP- ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk
maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi/anak.
Dalam keadaan darurat, bayi dan balita seharusnya mendapat MP-ASI
14

untuk mencegah kekurangan gizi.


Kualitas makanan yang buruk meliputi kualitas micronutrient yang
buruk, kurangnya keragaman dan asupan pangan yang bersumber dari
pangan hewani, kandungan tidak bergizi, dan rendahnya kandungan energi
pada complementary foods.
Konsumsi makanan bagi setiap orang terutama balita umur 1-2 tahun
harus selalu memenuhi kebutuhan. Konsumsi makanan yang kurang akan
menyebabkan ketidakseimbangan proses metabolisme di dalam tubuh, bila
hal ini terjadi terus menerus akan terjadi gangguan pertumbuhan dan
perkembangan.
Menurut Gibson et al (1998), complementary foods atau makanan
tambahan yang diberikan pada anak khususunya di negara yang sedang
berkembang menurut sebaiknya harus di fortifikasi dengan micro nutrient
terutama zat besi, kalsium dan zinc. Sedangkan spesifikasi jenis makanan
yang diberikan antra lain dengan persyaratan komposisi gizi mencukupi
minimal 1/3 dari kebutuhan 1 hari, yaitu; energi 350-400 kalori dan protein
10-15 gram. Pemberian makanan tambahan pemulihan (PMT-P) diberikan
setiap hari kepada anak selama 3 bulan (90 hari). Sedangkan bentuk
makanan PMT-P makanan yang diberikan berupa:
a. Kudapan (makanan kecil) yang dibuat dari bahan makanan
setempat/lokal.
b. Bahan makanan mentah berupa tepung beras,atau tepung lainnya,
tepung susu, gula minyak, kacang- kacangan, sayuran, telur dan lauk
pauk lainnya.
Cara pemberian/pendistribusian PMT-P pada sasaran dilakukan di
Posyandu atau tempat yang sudah disepakati,kader dibantu oleh PKK desa
akan memasak sesuai menu yang telah ditentukan dan etiap hari selama 3
bulan.
15

3. Beberapa masalah dalam pemberian ASI

Rendahnya kesadaran Ibu akan pentingnya memberikan ASI pada


balitanya dipengaruhi oleh pengetahuan ibu tentang kesehatan dan sosio-
kultural, terbatasnya petugas kesehatan dalam memberikan penyuluhan,
tradisi daerah berpengaruh terhadap pemberian makanan pendamping ASI
yang terlalu dini, dan tidak lancarnya ASI setelah melahirkan (BPS
Ketapang, 2016). Masalah-masalah terkait praktik pemberian ASI meliputi
delayed initiation, tidak menerapkan ASI eksklusif, dan penghentian dini
konsumsi ASI. Sebuah penelitian membuktikan bahwa menunda inisiasi
menyusu (delayed initiation) akan meningkatkan kematian bayi.
Pemberian ASI memiliki berbagai manfaat terhadap kesehatan,
terutama dalam hal perkembangan anak. Komposisi ASI banyak
mengandung asam lemak tak jenuh dengan rantai karbon panjang
(LCPUFA, long-chain polyunsaturated fatty acid) yang tidak hanya sebagai
sumber energi tapi juga penting untuk perkembangan otak karena molekul
yang dominan ditemukan dalam selubung myelin. ASI juga memiliki
manfaat lain, yaitu meningkatkan imunitas anak terhadap penyakit,
berdasarkan penilitian pemberian ASI dapat menurunkan frekuensi diare,
konstipasi kronis, penyakit gastrointestinal, infeksi traktus respiratorius,
serta infeksi telinga. Secara tidak langsung, ASI juga memberikan efek
terhadap perkembangan psikomotor anak, karena anak yang sakit akan sulit
untuk mengeksplorasi dan belajar dari sekitarnya. Manfaat lain pemberian
ASI adalah pembentukan ikatan yang lebih kuat dalam interaksi ibu dan
anak, sehingga berefek positif bagi perkembangan dan perilaku anak
(Henningham dan McGregor, 2008).
Risiko menjadi stunting 3,7 kali lebih tinggi pada balita yang tidak
diberi ASI eksklusif (pemberian ASI<6 bulan) dibandingkan dengan balita
yang diberi ASI Eksklusif (≥ 6 bulan) (Hien dan Kam, 2008). Hal ini
mungkin disebabkan karena kolostrum memberikan efek perlindungan pada
bayi baru lahir dan bayi yang tidak menerima kolostrum mungkin memiliki
16

insiden, durasi dan keparahan penyakit yang lebih tinggi seperti diare yang
berkontribusi terhadap kekurangan gizi. (Kumar, et al., 2006). Selain itu,
durasi pemberian ASI yang berkepanjangan merupakan faktor risiko untuk
stunting (Teshome, 2009).
Di Indonesia, perilaku ibu dalam pemberian ASI ekslusif memiliki
hubungan yang bermakna dengan indeks PB/U, dimana 48 dari 51 anak
stunted tidak mendapatkan ASI eksklusif (Oktavia, 2011).
4. Infeksi

Penyebab langsung malnutrisi adalah diet yang tidak adekuat dan


penyakit. Manifestasi malnutrisi ini disebabkan oleh perbedaan antara
jumlah zat gizi yang diserap dari makanan dan jumlah zat gizi yang
dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari terlalu
sedikit mengkonsumsi makanan atau mengalami infeksi, yang
meningkatkan kebutuhan tubuh akan zat gizi, mengurangi nafsu makan,
atau mempengaruhi penyerapan zat gizi di usus. Kenyataannya, malnutrisi
dan infeksi sering terjadi pada saat bersamaan. Malnutrisi dapat
meningkatkan risiko infeksi, sedangkan infeksi dapat menyebabkan
malnutrisi yang mengarahkan ke lingkaran setan. (Maxwell, 2011).
Status kesehatan balita meliputi kejadian diare dan infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA) pada balita. Diare adalah buang air besar dengan
frekuensi yang meningkat dan dan konsistensi tinja yang lebih lunak dan
cair yang berlangsung dalam kurun waktu minimal 2 hari dan frekuensinya
3 kali dalam sehari. Bakteri penyebab utama diare pada bayi dan anak-anak
adalah enteropathogenic escherichia coli (EPEC). Menurut Levine dan
Edelman, Bakteri EPEC juga diyakini menjadi penyebab kematian ratusan
ribu anak di negara berkembang setiap tahunnya. Hal ini juga diungkapkan
oleh Budiarti, bahwa di Indonesia 53% dari bayi dan anak penderita diare
terinfeksi EPEC. Oleh karena itu, penyakit diare merupakan salah satu
masalah kesehatan utama dibanyak negara berkembang, termasuk
Indonesia.
17

Hasil penelitian Astari, et al (2005) menemukan bahwa praktek


sanitasi pangan mempengaruhi kejadian stunting melalui peningkatan
kerawatan terhadap penyakit diare, sementara praktek sanitasi lingkungan
mempengaruhi kejadian stunting melalui peningkatan kerawanan terhadap
penyakit ISPA (Astari, L.D., Nasoetion, A., dan Dwiriani, C.M., 2005).
5. Kelainan endokrin

Batubara (2010) menyebutkan terdapat beberapa penyebab


perawakan pendek diantaranya dapat berupa variasi normal, penyakit
endokrin, displasia skeletal, sindrom tertentu, penyakit kronis dan
malnutrisi. Pada dasarnya perawakan pendek dibagi menjadi dua yaitu
variasi normal dan keadaan patologis. Kelainan endokrin dalam faktor
penyebab terjadinya stunting berhubungan dengan defisiensi GH, IGF- 1,
hipotiroidisme, kelebihan glukokortikoid, diabetes melitus, diabetes
insipidus, rickets hipopostamemia.
Pada referensi lain dikatakan bahwa tinggi badan merupakan hasil
proses dari faktor genetik (biologik), kebiasaan makan (psikologik) dan
terpenuhinya makanan yang bergizi pada anak (sosial). Stunting dapat
disebabkan karena kelainan endokrin dan non endokrin. Penyebab
terbanyak adalah adalah kelainan non endokrin yaitu penyakit infeksi
kronis, gangguan nutrisi, kelainan gastrointestinal, penyakit jantung
bawaan dan faktor sosial ekonomi.
Faktor kedua penyebab stunting adalah makanan komplementer yang
tidak adekuat yang dibagi lagi menjadi tiga, yaitu kualitas makanan yang
rendah, cara pemberian yang tidak adekuat, dan keamanan makanan dan
minuman. Faktor ketiga yang dapat menyebabkan stunting adalah
pemberian air susu ibu (ASI) yang salah bisa karena inisiasi yang
terlambat, tidak ASI eksklusif, penghentian menyusui yang terlalu cepat.
Faktor keempat adalah infeksi klinis dan subklinis seperti infeksi pada
usus: diare, environmental enteropathy, infeksi cacing, infeksi pernafasan,
malaria, nafsu makan yang kurang akibat infeksi, inflamasi (WHO, 2013).
18

F. Kondisi yang Mempengaruhi Faktor Penyebab Stunting

Menurut Almatsier (2001), faktor-faktor penyebab stunting erat


hubungannya dengan kondisi-kondisi yang mendasari kejadian tersebut,
kondisi-kondisi yang mempengaruhi faktor penyebab stunting terdiri atas:
1. Asupan Energi
Secara garis besar, fungsi makanan bagi tubuh terbagi menjadi tiga
fungsi, yaitu member energi (zat pembakar) pertumbuhan dan
pemeliharaan jaringan tubuh (zat pembangun), dan mengatur proses tubuh
(zat pengatur). Sebagai sumber energi, karbohidrat, protein dan lemak
menghasilkan energi yang diperlukan tubuh untuk melakukan aktivitas.
Ketiga zat gizi ini terdapat dalam jumlah yang paling banyak dalam bahan
pangan yang kita konsumsi sehari-hari. (Almatsier, 2001).
Angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) energi untuk balita
usia 24-47 bulan adalah 1000 kkal/hari, sedangkan AKG balita usia 48-59
bulan adalah 1550 kkal/hari (WNPG VIII, 2004). Adapun batasan minimal
asupan energi per hari adalah 70% dari AKG (Kementerian Kesehatan,
2010).
Kebutuhan energi yang harus diasup oleh balita di Indonesia telah
ditetapkan dalam Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Kebutuhan Energi Balita Berdasarkan Angka


Kecukupan Gizi (AKG) Rata-Rata Per Hari

No Kelompok Energi
Umur (Kkal)
1 0-6 Bulan 550
2 7-11 Bulan 725
3 1-3 Tahun 1125
4 4-6 Tahun 1600
Sumber: Depkes, 2013
19

2. Asupan Protein

Sebagai sumber energi, protein menyediakan 4 kkal energi per 1 gram


protein, sama dengan karbohidrat. Protein terdiri atas asam amino esensial
dan non-esensial, yang memiliki fungsi berbeda-beda. Protein mengatur
kerja enzim dalam tubuh, sehingga protein juga berfungsi sebagai zat
pengatur. Asam amino esensial merupakan asam amino yang tidak dapat
dihasilkan sendiri oleh tubuh sehingga harus diperoleh dari makanan (luar
tubuh). Asam amino non-sesensial adalah asam amino yang dapat di
produksi sendiri oleh tubuh. Meskipun demikian, produksi asam amino
non-esensial bergantung pada ketersediaan asam amino esensial dalam
tubuh (Almatsier, 2001). Protein merupakan bagian kedua terbesar setelah
air. Kira-kira sperlima komposisi tubuh terdiri atas protein dan
separuhnya tersebar di otot, sperlima di tulang dan tulang rawan,
sepersepuluh di kulit dan sisanya terdapat di jaringan lain dan cairan tubuh.
Protein berperan sebagai prekusor sebagian besar koenzim, hormone, asam
nukleat dan molekul-molekul yag esesial bagi kehidupan. Protein juga
berperan sebagai pemelihara netralitas tubuh (sebagai buffer), pembentuk
antibody, mengangkut zat-zat gizi, serta pembentuk ikatan- ikatan esensial
tubuh, misalnya hormon.(Kementerian Kesehatan, 2010).
Kebutuhan protein yang harus diasup oleh balita di Indonesia telah
ditetapkan dalam Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Kebutuhan Protein Balita Berdasarkan Angka
Kecukupan Gizi (AKG) Rata-Rata Per Hari
No Kelompok Protein
Umur (g)
1 0-6 Bulan 12
2 7-11 Bulan 18
3 1-3 Tahun 26
4 4-6 Tahun 35
Sumber: Depkes, 2013
20

Kekurangan zat gizi protein merupakan faktor utama dalam kondisi yang
sudah dikenal dengan sebutan kwarshiorkor, dimana akan ada perlambatan
pertumbuhan dan pematangan tulang (Assis et al., 2004). Penelitian yang
dilakukan oleh Stephenson et al. (2010) juga menyebutkan hal yang sama,
pada anak usai 2–5 tahun di Kenya dan Nigeria asupan protein yang tidak
adekuat berhubungan dengan kejadian stunting.
G. Jenis Kelamin

Perbedaan besarnya kebutuhan gizi tersebut dipengaruhi karena


adanya perbedaan komposisi tubuh antara laki- laki dan perempuan.
Perempuan memiliki lebih banyak jaringan lemak dan jaringan otot lebih
sedikit daripada laki- laki. Secara metabolik, otot lebih aktif jika
dibandingkan dengan lemak, sehingga secara proporsional otot akan
memerlukan energi lebih tinggi daipada lemak. Dengan demikian, laki- laki
dan perempuan dengan tinggi badan, berat badan dan umur yang sama
memiliki komposisi tubuh yang berbeda, sehingga kebutuhan energi dan
gizinya juga akan berbeda (Almatsier, 2001).
21

Faktor budaya juga dapat mempengaruhi status gizi pada anak laki-
laki dan perempuan. Pada beberapa kelompok masyarakat, anak
perempuan mendapat prioritas yang lebih rendah dibandingkan laki- laki
dalam pengaturan konsumsi pangan. (Soehardjo, 1989).
Penelitian lain menunjukkan bahwa presentasi kejadian stunting pada
balita laki- laki lebih besar daripada kejadian stunting pada perempuan. Hal
ini boleh jadi disebabkan karena balita laki- laki pada umumnya lebih aktif
daripada balita perempuan. Balita laki- laki pada umumnya lebih aktif
bermain di luar rumah, seperti berlarian, sehingga mereka lebih mudah
bersentuhan dengan lingkungan yang kotor dan menghabiskan energi yang
lebih banyak, sementara asupan energinya terbatas (Martianto dkk, 2008).
H. Berat Lahir

Berat lahir dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu rendah dan


normal. Disebut dengan berat lahir rendah (BBLR) jika berat lahirnya <
2500 gram (Kementrian Kesehatan, 2010). Dampak BBLR akan
berlangsung antar generasi. Seorang anak yang mengalami BBLR kelak
juga akan mengalami deficit pertumbuhan (ukuran antropometri yang
kurang) di masa dewasanya. Bagi perempuan yang lahir BBLR, besar
risikonya bahwa kelak ia juga akan menjadi ibu yang stunted sehingga
berisiko melahirkan bayi yang BBLR seperti dirinya pula.
Bayi yang dilahirkan BBLR tersebut akan kembali menjadi
perempuan dewasa yang juga stunted, dan begitu seterusnya (Semba dan
Bloem, 2001). Senada dengan hasil penelitian Rahayu dkk di Kabupaten
Banjar yang menemukan bahwa balita yang terlahir dengan berat badan
lahir rendah (BBLR) memiliki risiko mengalami stunting (Rahayu, A.,
Yulidasari, F., Putri, A.O dan Rahman, F. 2015).
Di Negara maju dan berkembang, mereka yang lahir dengan berat
lahir rendah (BBLR) menjdi lebih pendek sekitar 5 cm ketika berusia 17
hingga 19 tahun (Moartorell R, 1998 dalam Huy ND, 2009). Secara
individual, BBLR merupakan predictor penting dalam kesehatan dan
22

kelangsungan hidup bayi yang baru lahir dan berhubungan dengan risiko
tinggi pada anak. Berat lahir pada umumnya sangat terkait dengan
pertumbuhan dan perkembangan jangka panjang. Sehingga, dampak
lanjutan dari BBLR dapat berupa gagal tumbuh (grouth faltering).
Seseorang bayi yang lahir dengan BBLR akan sulit dalam mengejar
ketertinggalan pertumbuhan awal. Pertumbuhan yang tertinggal dari yang
normal akan menyebabkan anak tersebut menjadi stunting (Onetusfifsi P,
2016).
I. Jumlah Anggota Rumah Tangga
Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan.
Suhardjo (2003) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara
besar keluarga dan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah
anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan
meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi
pangan akan semakin tidak merata. Pangan yang tersedia untuk suatu
keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya
setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidak cukup untuk
mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar.
Lingkungan keluarga yang selalu ribut akan mempengaruhi
ketenangan jiwa, dan ini secara langsung akan menurunkan nafsu makan
anggota keluarga lain yang terlalu peka terhadap suasana yang kurang
mengenakan, dan jika pendapatan keluarga hanya pas-pasan sedangkan
jumlah anggota keluarga banyak maka pemerataan dan kecukupan
makanan didalam keluarga kurang terjamin, maka keluarga ini bisa
disebut keluarga rawan, karena kebutuhan gizinya hampir tidak pernah
tercukupi dengan demikian penyakitpun terus mengintai (Apriadji, 1996).
Balita yang mengalami stunting lebih banyak terdapat pada
keluarga yang jumlah anaknya ≥ 3 orang, jika dibandingkan dengan
keluarga yang jumlah anaknya < 3 orang. Meskipun demikian, tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah anak dengan kejadian
23

stunting pada balita (Neldawati, 2006).


24

J. Pendidikan Ibu

Tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi pertumbuhan anak


balita. tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi pangan melalui
cara pemilihan bahan pangan (Hidayat, 1989 dalam Suyadi, 2009). Orang
yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi akan cenderung memilih bahan
makanan yang lebih baik dalam kualitas maupun kuantitas. Semakin tinggi
Pendidikan orang tua maka semakin baik juga status gizi anaknya
(Soekirman, 1985 dalam Suyadi, 2009).
Wanita atau ibu dengan pendidikan rendah atau tidak berpendidikan
biasanya memiliki lebih banyak anak daripada mereka yang berpendidikan
tinggi. Mereka yang berpendidikan rendah pada umumnya sulit untuk
memahami dampak negatif dari mempunyai banyak anak (Baliwati,
Khomsan, dan Dwiriani, 2004 dalam Hidayah 2010).
Rendahnya pengetahuan dan pendidikan orangtua khususnya ibu,
merupakan faktor penyebab penting terjadinya KEP. Hal ini karena danya
kaitan antara peran ibu dalam mengurus rumah tangga khususnya anak-
anaknya. Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu sangat mempengaruhi
tingkat kemampuan ibu dalam mengelola sumber daya kelurga.(Depkes,
1997).
Selain itu rendahnya pendidikan ibu dapat menyebabkan rendahnya
pemahaman ibu terhadap apa yang dibutuhkan demi perkembangan optimal
anak. Tingkat pendidikan ikut menentukan atau mempengaruhi mudah
tidaknya seseorang menerima suatu pengetahuan, semakin tinggi
pendidikan maka seseorang akan lebih mudah menerima informasi-
informasi gizi. (Soehardjo, 1989).
Selain itu, tingkat pendidikan ibu banyak menentukan sikap dalam
menghadapi berbagai masalah. Balita-balita dari ibu yang mempunyai latar
pendidikan lebih tinggi akan mendapat kesempatan hidup serta tumbuh
lebih baik dibandingkan dengan tingkat pendidikan ibu yang rendah.
Keterbukaan mereka untuk menerima perubahan atau hal baru guna
25

pemeliharaan kesehatan balita juga akan berbeda berdasarkan tingkat


pendidikannya. Ibu yang memiliki pendidikan rendah berisiko 5,1 kali
lebih besar memiliki balita stunting (Rahayu dan Khairiyati, 2014).
Tingkat pendidikan ayah dan ibu merupakan determinan yang kuat
terhadap kejadian stunting pada anak di Indonesia dan Bangladesh (Semba
RD, 2008 dalam Rahayu, 2011). Pada anak yang berasal dari ibu dengan
tingkat pendidikan tinggi memiliki tinggi badan 0,5 cm lebih tinggi
dibandingkan dengan anak yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan
rendah6. Berdasarkan penelitian Norliani et al., tingkat pendidikan ayah
dan ibu mempunyai risiko 2,1 dan 3,4 kali lebih besar memiliki anak yang
stunted pada usia sekolah (Norliani, 2005 dalam Rahayu, 2011).
K. Pendidikan Ayah

Tingkat pendidikan ayah yang tinggi akan meningkatkan status


ekonomi rumah tangga, hal ini karena tingkat pendidikan ayah erat kaitannya
dengan perolehan lapangan kerja dan penghasilan yang lebih besar sehingga
akan meningkatkan daya beli rumah tanga untuk mencukupi makanan bagi
anggota keluarganya (Hidayat, 1980 dalam Suyadi 2009).
Tingkat pendidikan ayah dan ibu merupakan determinan yang kuat
terhadap kejadian stunting pada anak di Indonesia dan Bangladesh (Semba
RD, 2008 dalam Rahayu, 2011). Pada anak yang berasal dari ibu dengan
tingkat pendidikan tinggi memiliki tinggi badan 0,5 cm lebih tinggi
dibandingkan dengan anak yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan
rendah6. Berdasarkan penelitian Norliani et al., tingkat pendidikan ayah dan
ibu mempunyai risiko 2,1 dan 3,4 kali lebih besar memiliki anak yang stunted
pada usia sekolah (Norliani, 2005 dalam Rahayu, 2011).
L. Pekerjaan Ibu

Pengaruh ibu yang bekerja terhadap hubungan antara ibu dan anaknya
sebagian besar sangat bergantung pada usia anak dan waktu ibu kapan mulai
bekerja. Ibu-ibu yang bekerja dari pagi hingga sore tidak memiliki waktu
yang cukup bagi anak-anak dan keluarga (Hurlock, 1999 dalam Suyadi,
26

2009).
Dalam keluarga peran ibu sangatlah penting yaitu sebagai pengasuh anak
dan pengatur konsumsi pangan anggota keluarga, juga berperan dalam usaha
perbaikan gizi keluarga terutama untuk meningkatkan status gizi bayi dan
anak. Para ibu yang setelah melahirkan bayinya kemudian langsung bekerja
dan harus meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore akan membuat bayi
tersebut tidak mendapatkan ASI. Sedangkan pemberian pengganti ASI
maupun makanan tambahan tidak dilakukan dengan semestinya. Hal ini
menyebabkan asupan gizi pada bayinya menjadi buruk dan bisa berdampak
pada status gizi bayinya (Pudjiadi, 2000 dalam Suyadi, 2009).
M. Pekerjaan Ayah

Penelitian Hatril (2001) menunjukkan kecenderungan bahwa ayah yang


bekerja dalam kategori swasta mempunyai pola konsumsi makanan keluarga
yang lebih baik dibandingkan dengan ayah yang bekerja sebagai buruh. Hasil
uji statistiknya pun menunjukkan hubungan yang bermakna antara keduanya.
Begitu pula dengan penelitian Alibbirwin (2002), menemukan hubungan yang
bermakna antara pekerjaan ayah dengan status gizi balita. dikatakan banwa
ayah yang bekerja sebagai buruh memiliki risiko lebih besar mempunyai
balita kurang gizi dibandingkan dengan balita yang ayahnya bekerja
wiraswasta. Proporsi ayah yang bekerja dalam kategori PNS/Swasta
cenderung mempunyai status gizi baik dibandingkan ayah dengan pekerjaan
lainnya (Sukmadewi, 2003 dalam Suyadi, 2009). Hal ini di dukung oleh
penelitian Sihadi (1999) dalam Suyadi (2009) yang menyatakan bahwa ayah
yang bekerja sebagai buruh memiliki balita dengan proporsi status gizi
buruk terbesar yaitu sebesar 53%( Sihadi, 1999 dalam Suyadi, 2009).
27

N. Wilayah Tempat Tinggal

Menurut Depkes (2008), tempat tinggal adalah lokasi rumah


seseorang yang dibedakan menjadi perkotaan dan pedesaan. Untuk
menentukan suatu kelurahan termasuk daerah perkotaan atau pedesaan,
digunakan suatu indikator komposit (indikator gabungan) yang skor atau
nilainya didasarkan pada variabel, yaitu: kepadatan penduduk,
presentase rumah tangga pertanian dan akses fasilitas umum (BPS, 2007).
Letak suatu tempat dapat berpengaruh terhadap perilaku konsumsi
individu. Sebagai contoh, seorang petani yang tinggal di desa dan dekat
dengan areal pertanian akan lebih mudah dalam mendapatkan bahan
makanan segar dan alami, seperti buah dan sayur. Namun, seseorang yang
tinggal di daerah perkotaan akan lebih sedikit akses untuk mendapatkan
bahan makanan segar.
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan provinsi yang
memiliki prevalensi stunting paling tinggi untuk wilayah pedesaan pada
tahun 1999-2002 yaitu mencapai 48.2%. Pada tahun 2000 dan 2001 untuk
wilayah perkotaan, Makasar merupakan kota dengan prevalensi stunting
tertinggi, masing masing mencapai 43,1% dan 42,6% (Atmarita, 2004).
O. Status Ekonomi Keluarga

Besarnya pendapatan yang diperoleh atau diterima rumah tangga


dapat menggambarkan kesejahteraan suatu masyarakat. Namun demikian,
data pendapatan yang akurat sulit diperoleh, sehingga dilakukan
pendekatan melalui pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga
dapat dibedakan menurut pengeluaran makanan dan bukan makanan,
dimana menggambarkan bagaimana penduduk mengalokasikan kebutuhan
rumah tangganya. Pengeluaran untuk konsumsi makanan dan bukan
makanan berkaitan erat dengan tingkat pendapatan masyarakat. Di Negara
yang sedang berkembang, pemenuhan kebutuhan makanan masih menjadi
prioritas utama, dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan gizi.
Masalah gizi merupakan masalah yang multidimensional karena
dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Faktor ekonomi
(pendapatan) misalnya, akan terkait dengan kemampuan seseorang dalam
28

memenuhi kebutuhan pangannya sehingga akan terkait pula dengan status


gizi secara tidak langsung (Soehardjo, 1989). Setidaknya, keluarga dengan
pendapatan yang minim akan kurang menjamin ketersediaan jumlah dan
keanekaragaman makanan, karena dengan uang yang terbatas itu biasanya
keluarga tersebut tidak dapat mempunyai banyak pilihan (Apriadji, 1986).
29

BAB III
METODE PENERAPAN KEGIATAN
A. GAMBARAN UMUM SITUASI UPTD PUSKESMAS
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Gubug I merupakan salah
satu dari 30 Puskesmas yang ada di Kabupaten Grobogan, terletak di desa
Panunggalan, Kecamatan Pulokulon. Adapun batas wilayah Puskesmas
Pulokulon I adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kecamatan Kebonagung, Kab. Demak
Sebelah Selatan : Kecamatan Tanggungharjo
Sebelah Timur : Kecamatan Godong dan Karangrayung
Sebelah Barat : Kecamatan Tegowanu

Luas wilayah kerja Puskesmas Pulokulon mencapai 4.011,02 Km 2


yang meliputi 13 (Tiga belas) wilayah Desa yaitu Desa Kemiri, Desa
Papanrejo, Desa Kunjeng, Desa Kuwaron, Desa Rowosari, Desa Gubug, Desa
Pranten, Desa Jatipecaron, Desa Tambakan, Desa Baturagung, Desa
Ringinkidul, Desa Ringinharjo dan Desa Tlogomulyo dengan rata- rata
kepadatan penduduk sebesar 14,19/Km2.

Gambar 2.1 Peta Wilayah Kerja Puskesmas Gubug I


30

B. DATA DASAR UPTD PUSKESMAS


Jumlah Desa, Luas Wilayah, Jumlah penduduk, jumlah Rumah tangga
di wilayah Puskesmas Gubug I bisa dilihat dalam table berikut :
Tabel 2.1 Gambaran Umum Wilayah Kerja Puskesmas Gubug I
JUMLA RATA2
LUAS JUMLAH H JIWA /
No DESA / KEL WILAYA PENDUDU RUMAH RUMAH
H (m2) K TANGG TANGG
A A
1 KEMIRI 220 3,484 1,201 2.90
2 PAPANREJO 228 2,612 896 2.92
3 KUNJENG 295 3,520 1,195 2.95
4 KUWARON 480 9,068 3,056 2.97
5 ROWOSARI 344 2,832 994 2.85
6 GUBUG 402,01 9,449 3,284 2.88
7 PRANTEN 204 2,146 724 2.96
8 JATIPECARON 187 6,170 781 7.90
9 TAMBAKAN 295 2,446 1,115 2.19
10 BATURAGUNG 420 3,711 2,050 1.81
11 RINGINKIDUL 158 1,933 617 3.13
12 RINGINHARJO 358,01 4,032 1,357 2.97
13 TLOGOMULYO 420 5,525 1,813 3.05
JUMLAH 4.011,02 56.928 19,083 2.98

Untuk meningkatkan jangkauan pelayanan Puskesmas terhadap


masyarakat di wilayah kerjanya Puskesmas didukung oleh sarana
kesehatan berupa Puskesmas pembantu (Pustu), Pos Kesehatan Desa
(PKD), dan Puskesmas Keliling (Pusling). Jumlah Pustu di wilayah
Puskesmas Gubug I sebanyak 2 Unit, Sedangkan jumlah Pos Kesehatan
desa (PKD) ada 12 unit.
Puskesmas Gubug I telah terakreditasi oleh Komisi Akreditasi
Kesehatan Tingkat Pertama Pada tahun 2018 dengan status akreditasi
Madya. Adapun Jenis tenaga yang dimiliki oleh Puskesmas Gubug I
meliputi :
31

1. Dokter Umum : 4 orang


2. Dokter Gigi : 1 orang
3. Apoteker : 1 orang
4. Asisten Apoteker : 1 orang
5. Perawat : 20 orang
6. Bidan : 20 Orang
7. Nutrisionis : 3 orang
8. Fisioterapis : 1 orang
9. Sanitarian : 1 orang
10. Analis Laboratorium : 3 orang
11. Promkes : 1 orang
12. Pejabat Struktural : 1 orang
13. Staf penunjang : 21 orang

C. STRUKTUR ORGANISASI UPTD PUSKESMAS


Berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Grobogan
Nomor 445/6593.A/2021 Tentang Struktur Organisasi Puskesmas, adapun
Struktur Organisasi Puskesmas Gubug I terdiri dari Kepala Puskesmas,
Kepala Tata Usaha, Penanggung Jawab UKM Esensial dan Keperawatan
Kesehatan Masyarakat, Penangggungjawab UKM Pengembangan,
Penaggungajawab UKP Kefarmasian dan Laboratorium, Penanggungjawab
Jejaring Pelayanan Puskesmas
dan Jaringan Puskesmas, Penanggungjawab Bangunan, Prasarana dan
Peralatan Puskesmas, serta Penanggungjawab Mutu. Adapun secara terperinci
dapat dilihat sebagai gambar berikut :
32
33

Tabel 3.1 Hasil Pencapaian Kinerja SPM


34

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Identifikasi Masalah
Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis masalah di Puskesmas
Gubug 1 tahun 2023, penilaian masalah prioritas tersebut ditentukan
berdasarkan data laporan tahunan puskesmas, wawancara dengan pemegang
program dan pimpinan puskesmas. Permasalahan ini tidak hanya dilihat dari
kesenjangan antara target dan pencapaian, tetapi juga dilihat dari urgensi,
seriousness, dan growth. Didapatkan lapaoran hasil mengenai Penilaian
Kinerja Puskesmas (PKP) dibidang Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM)
sebagai berikut :

Tabel 1. Pencapaian program di Gubug 1 tahun 2023 (Januari-Juli)

Berdasarkan tabel diatas pada tahun 2023 didapatkan hasil capaian UKM
umtuk Kesehatan gizi di Puskesmas Gubug 1 tercapai sesuai target dan sasaran,
namun berdasarkan hasil temuan anak dengan stunting masih ditemukan hal
tersebut menjadikan permaslahan Dimana program gizi tercapai namun angka
stunting masih cukup tinggi di wilayah kecamatan gubug dan semakin meningkat
sejak tahun 2020. Sehingga perlu dilakukan evaluasi program atau usulan
program baru dalam Upaya pencegahan stunting, mengingat masalah stunting di
Indonesia menjadi salah satu masalah prioritas.
35

B. Penentuan Prioritas Masalah

Setelah dilakukan analisis masalah maka didapatkan beberapa masalah


yang perlu dilakukan penentuan prioritas masalah untuk diselesaiakan. Untuk
menentukan prioritas masalah digunakan kriteria matriks berdasarkan dari
tingkat urgensi (U), seriousness (S) dan growth (G).

Tabel 2. Penentuan Prioritas Masalah

No Indikator Nilai U Nilai S Nilai G Nilai Prioritas


Total

1 Tingkat pengetahuan 5 5 5 15 I

2 Ibu hamil resiko tinggi 5 5 5 15 II


(termasuk anemia)

3 Balita kurang gizi 5 5 5 15 III

4 Remaja dengan Anemia 4 5 5 14 IV

5 Sanitasi Buruk 4 5 4 13 V

Skala Likert :

1. Sangat kecil

2. Kecil

3. Sedang

4. Besar

5. Sangat Besar

Setelah dilakukan matrikulasi masalah dalam menentukan prioritas


masalah, dapat simpulkan bahwa prioritas masalah yang akan disusun
alternatif pemecahan masalahnya adalah berdasarkan dari tingkat urgensi (U),
seriousness (S) dan growth (G) didapatkan hasil tingkat pengetahuan, ibu hamil
risti (termasuk Anemia) dan balita kurang gizi memilki prioritas yang sama,
36

sehingga dari ketigamya merupakan lingkaran yang saling berhubngan,


diperlukan rantai pemutus untuk menuntaskan permaslahan tersebut yang di
lakukan bersamaan, karena hal tersebut mempengaruhi secara langsung yang
mengakibatkan stunting pada anak, diikuti dengan evaluasi factor risiko lain yang
mempengaruhi kejadian stunting.
37

Table 3. Rekap Data Gizi Balita Per Desa Bulan Oktober 2023
38

Table 4. Data Skrinign Remaja

C. Analisis Penyebab Masalah

Setelah dilakukan analisis data selanjutnya dilakukan analisis masalah untuk menentukan masalah dari sebab akibat.
Analisis masalah yang digunakan adalah analisis dengan menggunakan diagram Ishikawa disebut juga diagram fish bone,
atau cause-and- effect matrix.
39

MAN METODE

Pemeriksaan skrining dan Kualitas pemeriksaan ANC yang


edukasi kurang maksimal kurang maksimal
Pemberdayaan kader yang
kurang maksimal dan
pemantauan bumil resti kurang Cakupan ASI ekslusif rendah Pelaksanaan kelas ibu
hamil/porsema kurang maksimal

Bidan desa tidak tinggal di wilayah


KIE yang diberikan sulit
kerja desa, sehingga pemantauan PHBS kurang diterapkan
dipahamai pasien/Masih kurang
kurang makasmimal/jumlah bidan
desa kurang
Ibu hamil yang tidak patuh Laporan ANC dan Jejaring pkm
meminum fe belum maksimal
Banyaknya ibu hamil usia <20 th
dan > 35 tahun Kurangnya pengetahuan tentang
stunting dan factor risiko
STUNTING

Tidak semua desa memiliki


ADD untuk dana penambahan Tablet fe tidak disukai Media promosi Masih
gizi/ masih kurang kurang Sanitasi yang buruk, MCK
tidak memadai
Ketersediaan alat
Belum semua Masyarakat
pengecekkan HB terbatas Banyaknya jumlah bumil dan
memiliki BPJS
remaja
Tidak semua Masyarakat
memiliki smartphone
Menu makanan kurang gizi
Social ekonomi rendah

Kurangnya dukungan keluarga


MONEY MATERIAL ENVIRONMENT
40

Gambar 1. Fish Bone Masalah cakupan penemuan anemia ibu hamil

D. Penentuan Prioritas Alternatif

Setelah diperoleh daftar penyebab masalah paling mungkin, langkah


selanjutnya adalah membuat alternatif prioritas pemecahan masalah. Hal ini
didapatkan melalui diskusi:
Tabel 5. Daftar Alternatif Prioritas Pemecahan Masalah

No. Penyebab Masalah Alternatif Pemecahan Masalah


1. Man
a. Pemeriksaan skrining dan edukasi - Melakukan komunikasi efektif
kurang maksimal
dengan pihak sekolah agar
pemeriksaan dapat dilakukan
maksimal dan menyeluruh
- Melakukan sosialisasi dan edukasi
dengan pihak wali kelas
- Evaluasi pasca skrinign dengan
pihak sekolah dan siswa, dan
menyampaikan kepada pihak orang
tua/ wali
- Edukasi remaja melalui posyandu
remaja dengan kegiatan JANDA
CERIA “Remaja wanita cerdas
Cegah Penderita Anemia”
b. Cakupan ASI rendah - Kunjungan ibu nifas ditingkatkan
secara kualitas dan kuantitas untuk
edukasi pemeberian ASI
- Jika memungkinkan dibentuk
konselor ASI
c. PHBS kurang diterapkan - KIE ibu dan keluarga untuk
menerapkan perilaku hidup bersih
dan sehat
- Pemberian tong sampah tiap KK
- Mengupayakan kebersihan
lingkungan dan sumber air dengan
program CINTA (cegah stunting
41

dengan sanitasi)
d. -
e. Ketidakpatuhan meminum tablet Fe - KIE pada ibu hamil pentingnya
meminum tablet Fe selama
kehamilan dan pemantaun oleh
kader serta suami atau keluarga
dengan program AJU CENNING
(Ajak ibu Cegah Anemia Sedini
Mungkin), termasuk di dalamnya
keterlibatan anggota keluarga,
sehingga dapat berperan sebagai
PMO
- Sosialisasi cara meminum tablet Fe
yang benar
f. Pembinaan kader yang kurang - Diadakan pembinaan kader dengan
maksimal program IKATAN CINTA (ibu
kader cekatan cegah anemia),
dengan video edukasi yang dikirim
di WAG atau tatap muka secara
langsung
- Pelatihan kader posyandu untuk
bisa melakukan teknik pengukuran
TB, BB, LILA,LK dengan benar
dan melakukan plotting dengan
benar
- Pembentukan kader mandiri untuk
memantau balita stunting dengan
KEPING (kader peduli stunting)
g. Kurangnya pengetahuan tentang - KIE calon pengantin dengan
stunting CATIN GANTENG (calon
pengantin cegah stunting) dan
pemberian brosur/leaflet tentang
stunting
- Melakukan skrining gizi dan Hb
pada Catin
- KIE ibu hamil tentang stunting,
42

factor risiko dan dampaknya.


h. Banyaknya ibu hamil usia <20 tahun - KIE posyandu remaja tentang
dan >35 tahun Kesehatan reproduksi dan
akibatnya
- KIE dan pemantauan ibu kader dan
bidan desa
i. Bidan desa tidak tingga diwilayah - Merekrut bidan desa, dengan
kerja desa, jumlah bidan desa dan kapasitas 1 bidan desa untuk 3000
penduduk melebihi kapasitas penduduk
- Pemantaaun kurang karena bidan
desa tidak tinggal di wilayah kerja
desa, diharapka bides menempati
wilayah kerja desa
- KIE dengan orang tua/wali dengn
balita stunting sehingga dapat
memantau dan evaluasi
perkembangan balita dengan
KEJATI (Kejar Timbangan)
2. Method
a. Kualitas ANC yang kurang - Meningkatkan kualitas pemeriksaan
maksimal ibu hamil dengan benar dari
anamnesis hingga pemeriksaan
fisik head to toe
- KIE pada ibu hamil pentingnya
pemeriksaan ANC untuk
mengetahui perkembangan bayi
dan kehamilanya

b. Pelaksanaaan kelas ibu hamil - Meningkatkan frekuensi dan


atau posyandu remaja kurang kualitas kelas ibu hamil dengan
maksimal memebentuk kelas kecil jumlah ibu
hamil dibatasi maksimal 10 orang
setiap kelompok. Sehingga dapat
terfokus
- Membuat media edukasi yang
menarik dan mudah di pahami
43

c. Laporan ANC dari jejaring - Meningkatkan koordinasi dengan


puskesmas belum maksimal faskes luar puskesmas khususnya
masalah pelaporan secara rutin.

d. KIE yang diberikan sulit dipahami - Membuat media edukasi yang


pasien menarik dan mudah di pahami

3. Material
a. Media promosi masih kurang - Menambah media promosi tentang
stunting seperti pembuatan poster,
video, penggunaan Whatsapp serta
media sosial.
b. Menu makanan kurang gizi - Mengadakan kelas memasak
makanan dengan kandungan tinggi
zat gizi
c. Tablet Fe tidak disukai - Edukasi cara meminum tablet Fe
d. Tidak semua ibu hamil dan - Pembuatan poster dan leaflet di
kader memiliki HP untuk tempat tempat umum atau bekerja
mengakses informasi sama dengan promkes puskesmas
kartasura untuk diadakan
penyuluhan
e. Kertesediaan alat pengecekkan - Melalui KIE dengan menyarankan
Hb terbatas untuk pengecekkan mandiri di
faskes terdekat yang memiliki
pelayanan cek lab
- Pengadaaan dana BOK untuk
pengadaan alat untuk pengecekkan
hb
4. Money
a. Tidak semua desa memiliki - Musyawarah rencana pembangunan
ADD desa untuk di adakan ADD guna
terlaksanya program pencegahan
stunting
b. Belum semua masyarakat - Sosialisasi dan pendataan ulang
memiliki JKN kepemilikan JKN
5. Environtment
44

a. Banyaknya sasaran ibu hamil - Meningkatkan program


dan remaja putri masih bekerja penanggulangan anemia/ KEK dan
evaluasi program serta melakukan
KIE pada ibu hamil dan remaja
putri
b. Sanitasi yang buruk - Pengadaan jamban untuk KK yang
belum memiliki jamban
- Melakukan gotong royong rutin
tiap 2-3 minggu sekali untuk
memberihkan lingkunagn
- Mengadakan penyuluhan PHBS
tiap desa
- Pemberian tong sampan tiap KK
c. Sosial ekonomi rendah dan - Menganjurkan budidaya makanan
kurangnya dukungan keluarga mengandung Fe
- KIE yang melibatkan anggota
keluarga sehingga dapat saling
mendukung untuk mencegah
stunting

E. Pemecahan Masalah Terpilih


a. Nama Program
Program ini diberi nama “KEPING” yang merupakan singkatan dari
“Kader Peduli Stunting”.
b. Deskripsi Program
Program KEPING merupakan program gagasan inovatif
permasalahan tingginya kasus stunting di Kecamatan Gubug. Program ini
dimaksudkan untuk menanggulangi masalah stunting termsuk termasuk
faktor-faktor yang mempengaruhi, dimana factor-faktor yang
mempengaruhi kejadian stunting sangat kompleks melibatkan
multisectoral sehingga diperlukan kerja sama sehingga dapat mencegah
kejadian stunting. Program ini dimaksudkan untuk menanggulangi
masalah stunting, faktor risiko yang mempengaruhi dimana angka kasus
semakin meningkat, dimana dari data BAPPEDA kecamatan gubug
mengalami 2x lipat peningkatan sejak tahun 2022 hingga 2022, sehingga
apabila tidak terpantau dengan benar, jumlah stunting akan terus
meningkat. Program ini berkolaborasi dengan banyak pihak baik itu
45

kerjasama antar programer maupun antar sektor. Pada program ini


dimaksudkan untuk mendeteksi dini dan memantau ibu hamil, catin dan
ramaja risiko tinggi dengan cara:
1) Komunikasi, informasi dan edukasi ibu kader tentang stunting pada
ibu hamil risiko tinggi dengan cara membentuk kelompok kecil
dengan ibu hamil
2) Memberikan penyuluhan serta pembinaan kader dalam menggunakan
penggunaan alat ukur dengan baik dan benar serta cara plotting
status gizi yang benar
3) Mengarahkan ibu kader untuk turut serta mengajak ibu hamil agar
lebih peduli terhadap pencegahan stunting
4) Membentuk pengawas minum obat bagi ibu hamil, agar rutin
konsumsi obat tablet tambah darah, serta pada catin dan remaja
dengan anemia
5) KEPING melakukan sosialiasi mengenai stunting pada ibu hamil di
yang berisi tentang:
 Materi stunting dalam bentuk leaflet dan poster edukasi yang
bisa di download dan disebar luaskan (tentang definisi penyakit,
penyebab, dampak penyakit dan pencegahan).
6) KEPEING juga berperan dalam membantu mreemantau dan
melaporkan setiap kehamilan baru serta mendeteksi dini ibu hamil
yang mengalami anemia dan KEK
7) KEPING melaporkan, memantau dan mengawasi baduta dengan gizi
kurang, dan turut evalusi tiap erkembanganya dan turut akti
melaporkan ke bidan desa
8) Bidan desa melakukan follow up ke grup Whatsapp yang sudah
dibentuk agar program bisa terus berjalan.
c. Tujuan Program
1) Upaya menrunkan angka kejadian stunting di kecamatan gubug
2) Meningkatkan peran aktif petugas puskesmas, kader, dan
masyarakat dalam mencegah stunting
46

3) Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang stungting dan


dampaknya pada anak di masa depan
d. Sasaran Program
Sasaran dari program KEPING ini adalah seluruh ibu kader di
Kecamatan Gubug, sehingga diharapkan dapat menurunkan angka
cakupan stunting ysng terpantau dengan target 100% dan pelaporan dini
baduta dengan gizi kurang.
e. Perencanaan Program
1) Pembuatan grup Whatsapp bersama bidan desa dan ibu kader
KEPING
2) Pembuatan WAG ibu kader dan ibu hamil
3) Sosialisasi dan Pemantauan
 Pembinaan kepada ibu kader yaitu pemberian materi secara
langsung mengenai materi stunting presentasi powerpoint dan
poster edukasi dan leaflet yang bisa di download dan disebar
luaskan (tentang definisi penyakit, klasifikasi, gejala dan tanda,
bahaya, serta upaya pencegahan stunting).
 Pelatihan Teknik pengukuran BB,TB, LILA, LK dengan benar dan
cara plotting yang benar
 Pembuatan info grup ibu kader KEPING dan ibu hamil untuk
memantau minum tablet tambah darah
4) Follow up grup WA
Dilaksanakan minimal 2 Minggu sekali oleh ibu kader, agar
program KEPING bisa terus berjalan.
f. Pelaksanaan Program
Merupakan kolaboratif dari :
1) KEPING yang akan berperan sebagai pengumpul informasi sekaligus
promotor Upaya pencegahan stunting (Mengedukasi tentang stunting
pada ibu hamil, melaporkan, memantau dan mengawasi ibu hamil
dengan anemia dan KEK serta membantu ibu hamil untuk tetap
meminum tablet tambah darah dan vitamin asam folat, serta vitamin
C secara rutin).
47

2) Bidan desa yang berperan sebagai pengkoordinir dan penghubung


masyarakat ke puskesmas, dan akan menindaklanjuti laporan
KEPING.
3) Pihak puskesmas memiliki peran sebagai pengumpul dan analisis
data, pembina dalam pembekalan kepada KEPING,
penanggungjawab program, serta pengawas berjalannya program
KEPING.
· Alur Pelaksanaan
Berikut adalah alur pelaksanaan program KEPING
48

Tabel 1. Alur pelaksanaan

Perencanaan Program KEPING

Koordinasi dengan bidan desa dan kder

Pembentukan grup Whatsapp Bersama

Pemberian pelatihan, sosialisasi dan pengarahan kepada ibu


kader KEPING dan pemberian materi secara labgsung leaflet
dan poster edukasi (tentang definisi, penyebab, dampak dan
pencegaha) yang bisa didownload dan disebarluaskan
melalui media sosial, kriteria ibu hamil yang perlu
dilaporkan, pemantauan dan pengawasan terhadap ibu
hamil dan baduta yang dilakukan dengan menggunakan
media sosial.

Melakukan follow up program KEPING di grup Whatsapp yang


dikoordinir oleh setiap bidan desa. Bidan desa bertugas melaporkan
dan memantau ibu hamil dan baduta yang dibantu oleh kader, hasil
dari program dilaporkan oleh bidan desa ke puskesmas untuk di
evalusi.
49

g. Pengawasan Program
Pengawasan program dilakukan oleh masing-masing bidan desa.
Bidan desa akan melakukan follow up di grup Whatsapp.
h. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Program
Program dilaksanakan di Kecamatan Gubug, dimana penyuluhan
dan pembinaan dilakukan secara langsung. Waktu pelaksanaan yaitu
sejak mulai dibuat grup Whatsapp setelah dilakukan penyuluhan dan
pembinaan.
i. Indikator Program
1) Terlaksananya pembinaan kader dengan memberikan komunikasi,
informasi, serta edukasi mengenai pencegahan stunting.
2) Terkoordinasinya ibu kader dan bidan desa dalam program KEPING
3) Terbentuk grup Whatsapp sebagai sarana pelaporan ibu hamil risti
4) Bidan desa melakukan follow up kepada kader KEPING melalui
grup Whatsapp.
5) Angka kejadian stunting di Kecamatan Gubug menurun sesuai
target.
j. Target Program
Target dari program KEPING adalah tercapainya target cakupan ibu
hamil risiko tinggi dan Baduta gizi kurang di Kecamatan Gubug pada
tahun 2024.
k. Kegitan, Tujuan dan Sasaran Program
Tabel 2. Rencana Kegiatan, Tujuan Dan Sasaran Program KEPING

No Kegiatan Tujuan Sasaran Target


1. KEPING (Kader Puskesmas Kader posyandu Setiap kader
Peduli Stunting) Kartasura KEPING terbina
melakukan
pembinaan kader
KEPING di setiap
desa untuk
melakukan
sosialisasi,
50

melaporkan, serta
memantau ibu hamil
dengan risti dan
baduta di
wilayahnya.
Sosialisasi, -Masyarakat - KEPING
komunikasi, -Ibu hamil mampu
informasi, dan melakukan
edukasi secara edukasi pada
langsung dengan tentag
membentuk stunting,
kelompok kelompok factor risiko
kecil di pos yang
posyandu dan mempengaruhi
Whatsapp group dan
mengenai stunting pencegahanya
untuk meningkatkan kepada
pengetahuan masyarakat.
sehingga dapat - Melaporkan,
memberikan memantau dan
edukasi dan mengawasi,
informasi kepada serta
masyarakat membantu
termasuk ibu hamil dalam
di wilayahnya. pencegahan
dan
pengobatan
ibu hamil risti
dan baduta
dengan gizi
kurang.
51

F. Rencana Tindak Lanjut


Tabel 3. Rencana Kegiatan Tindak Lanjut Pemecahan Masalah

Nama
Kegiatan/ Rencana Tujuan Sasaran Penanggungj Sumber Ket
Program Kegiatan awab dan dana
Pelaksana
KEPING 1. Pelati Kader KEPING Seluruh kader PJ UKM, PJ BOK,
(Kader han kader terbina agar posyandu PROMKES, PJ Swadaya,
dapat
Peduli posyandu wilayah kerja KIA-KB, Bidan Alokasi
melakukan
Stunting) untuk bisa pengukuran dan PKM Gubug 1 Desa. Dana
melakukan plotting dengan Desa
benar
teknik (Musyaw
pengukuran arah
TB, BB, Rencana
LILA,LK Pembang
dengan benar unan
dan melakukan Desa)
plotting dengan
benar

2. sosialisasi Mengurangi Seluruh kader PJ UKM,PJ BOK


ibu kader risiko terjadinya posyandu PROMKES, PJ
tentang stunting wilayah kerja KIA-KB, Bida
pencegahan PKM Gubug 1 Desa
stunting (kelas
memasak,
sosialisasi
IMD,PHBS,
Feeding rules
dst)

3. Pemantauan Mengurangi Siswi Kader posyandu BOK dan


berkolaborasi
pemberian risiko terjadinya SMP/SMA, dana
dengan PJ Gizi,
anemia pada ibu ibu hamil, PJ UKS,
52

Fe disertai hamil, remaja catin dengan PROMKES dan sekolah


pihak sekolah
evaluasi dengan anemia, anemia
kadar Hb catin dengan
berkala tiap anemia
3 bulan
dengan
program
IKATAN
CINTA (Ibu
kader
dekatan
cegah
anemia)
4. Skrining Ibu hamil resiko Ibu hamil Kader posyandu BOK dan
(kader IKATAN
tiap bulan tinggi terdeteksi ADD
CINTA)
ibu hanil sedini mungkin
resti dan tetap
terpantau
sehingga dapat
dikontrol dan
menurunkan
kasus ibu hamil
risiko tinggi
(termasuk
anemia) di
Kecamatan
Gubug
53

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
1. Berdasarkan data PKP hasil kegiatan UKM di puskesmas Gubug tahun
2023 didapatkan jumlah baduta dengan stunting sebanyak 82 dan
didapatkan kasus ibu hamil risti sebesar 45 dengan KEK, anemia 9.
2. Cakupan kejadian stunting masih tinggi disebabkan oleh beberapa hal,
seperti kurangnya pengetahuan masyarakat serta kader dan program
sebelumnya belum optimal.
3. Kurangnya pengawasan, pengendalian dan pemantauan kasus stunting di
wilayah kerja Puskesmas Gubug 1.
4. Kurangnya pengetahuan dan pemantauan anemia terhadap remaja putri
dan calon manten.
5. Kurang optimalnya program pencegahan stunting.
6. Pembinaan KEPING (Kader Peduli Stunting) dengan pelatuhan,
sosialisasi dan KIE secara langsung dan evaluasi serta pemantauan
melalui grup Whatsapp diharapkan mampu mencegah kejadian stunting
di wilayah kerja Puskemas Gubug 1.

B. SARAN
1. Pihak Puskesmas dan bidan desa menjalin komunikasi dan kerja sama
dengan kader, petugas KUA dan pihak sekolah agar program ini
terlaksana dengan baik.
2. Menindak lanjuti inovasi program KEPING untuk dimasukkan ke
program puskesmas pada tahun 2024.
54

DAFTAR PUSTAKA
Academy of Nutrition and Dietetics. International Dietetics dan Nutrition
Terminology (IDNT) Reference Manual 4th ed. Chicago: Academy of
Nutrition and Dietetics; 2013. 56.

Almatsier S. 2001. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama

Aryastami, N.K. 2015. Pertumbuhan usia dini menentukan pertumbuhan usia


pra-pubertas (studi longitudinal IFLS 1993-1997-2000) [Longitudinal
study, secondary data analisys]. Jakarta: Universitas Indonesia.

Aryastmai N.K, Tarigan I. 2017. Kajian kebijakan dan penanggulangan


masalah gizi stunting di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan;
45(4):233-240

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan . 2013. Riset Kesehatan


Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

BAPPENAS RI. Pedoman Perencanaan Program Gerakan Sadar Gizi dalam


Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK); 2012. 1-8.

Bloem MW, de Pee S, Hop LT, Khan NC, Laillou A, Minarto, et al. Key
strategies to further reduce stunting in Southeast Asia: Lessons from
the ASEAN countries workshop. Food Nutr Bull. 2013; 34(2 Supl.): S8-
S16.

Branca F, Ferrari M. Impact of micronutrient deficienies on growth: The


stunting syndrome. Ann Nutr Metab. 2002; 46(suppl 1): 8-17.

Black RE, Allen LH, Bhutta ZA, dkk. Maternal and child undernutrition: global
and regional exposures and health consequences. Lancet.
2008;371:243-60.

Bloem MW, Pee SD, Hop LT, dkk. 2013. Key strategies to further reduce
stunting in Southeast Asia: Lessons from the ASEAN countries
workshop. Food and Nutrition Bulletin: 34:2

Dekkar, L.H., Plazas, M.M., Bylin, C.M.A dan Villamor, E. 2010. Stunting
assosiated with poor socioeconomic and maternal nutrition status and
respiratory morbidity in Colombian schoolchildren. Food and Nutrition
Bulletin. 31: 2

Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI.2014.


Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rajawali Pers
55

Destarina R. Faktor risiko anemia ibu hamil terhadap panjang badan lahir
pendek di Puskesmas Sentolo 1 Kulon Progo DI Yogyakarta. Gizi
Indonesia 2018; 41(1):39-48
Yulidasari F. 2013. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP- ASI) Sebagai
Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 6-24 Bulan di Kota
Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah MAda

Fitri. 2012. Berat lahir sebagai faktor dominan terjadinya stunting pada baduta
(12-59 bulan) di Sumatera. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia.

Francin E. 2004. Gizi Dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta: EGC

Goreti PM, Hadi Hamam, Laksmi GI. Stunting berhubungan dengan


perkembangan motorik anak di Kecamatan Sedayu, Bantul,
Yogyakarta. Jurnal Gizi dan Diet Etik Indonesia, 2015; 3(1): 10-21.

Hastuti D, Sebho K, Lamawuran YL. 2012.Hubungan karakteristik sosial


ekonomi rumah tangga dengan pemenuhan hak anak di wilayah
dampingan Plan International Indonesia Program Unit Sikka, Nusa
Tenggara Timur. JIKK 3(2):154-163.

Henningham,. Mcgregor,. 2008. Public Health Nutrition.


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Hien, N.N. dan Kam, S. (2008) Nutritional status and the characteristics
related to malnutrition in children under five years of age in Nghean,
Vietnam. J. Prev. Med. Public Health, 41, 232–240.
Indonesia. Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi
dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK).
Jakarta: Republik Indonesia, 2013.
Izzati RF, Mutalazimah M. Energy, protein intake, and chronic energy
deficiency in pregnant women: a critical review. Proc Int Conf Heal Well-
Being (ICHWB 2021). 2022;49:70–7. doi: 10.2991/ahsr.k220403.010.
Kalanda, BF, FH Verhoeff, dan BJ Brabin. 2006. Breast and Complementary
Feeding Practices In Relation to Morbidity and Growth In Malawian
Infants. European Journal of Clinical Nutrition 60: 401–407.

Kemenkes RI. 2010. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, p.40.

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.


2018. Buku Saku Desa Dalam Penanganan Stunting. Jakarta:
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
56

Kementerian bidang Kesejahteraan Rakyat, 2013. Pedoman perencanaan


program Gerakan Nasional percepatan perbaikan gizi dalam rangka
seribu hari pertama kehidupan (Gerakan 1000 HPK), Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2017. Warta kesmas; gizi investasi masa depan
bangsa. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI

Kumar, Dinesh, et al. 2006. Influence of infant feeding practices on


nutritional status of under-five children. Indian J Pediatr, 73(5): 417-421.
Diakses pada 29 Juli 2018 dari www.univmed.org.

Publikasi Stunting Tingkat Kecamatan dan Desa Th. 2022 berisi informasi
tentang prevalensi stunting di setiap kecamatan dan desa di Kabupaten
Grobogan, https://bappeda.grobogan.go.id/
57
58
59

Anda mungkin juga menyukai