Anda di halaman 1dari 24

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-87231/PP/MXVI.

B/15/2017

Jenis Pajak : PPh Badan

Tahun Pajak : 2010

Pokok Sengketa : bahwa berdasarkan penelitian atas data dan keterangan yang ada dalam
berkas banding dapat diketahui bahwa yang menjadi sengketa adalah

K
koreksi Terbanding terhadap Penghasilan Netto PPh Badan sebesar
Rp3.603.508.190, dengan rincian sebagai berikut:
1. Koreksi fiskal positif atas biaya penyusutan aktiva tetap sebesar Rp 2.396.568.748;

JA
2. Koreksi fiskal negatif atas biaya amortiasasi Leasehold Land
sebesar Rp 1.206.939.442;
Jumlah Koreksi Rp 3.603.508.190;

PA
yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding;

Menurut Terbanding : 1. Koreksi fiskal positif atas biaya penyusutan aktiva tetap sebesar
Rp2.396.568.748;

N
bahwa menurut Terbanding, alasan Terbanding mempertahankan koreksi pada Keputusan
Keberatan adalah sebagai berikut:
1. bahwa Pemohon Banding membebankan penyusutan atas aktiva tetap fasilitas-fasilitas (natura)

ILA
yang dinikmati/dipakai oleh karyawan sehubungan dengan pekerjaan;
2. bahwa berdasarkan surat keberatan Pemohon Banding, lokasi perkebunan Pemohon Banding
baru ditetapkan sebagai daerah terpencil sejak tanggal 12 September 2011;
3. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh jo. Pasal 2 huruf b Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2009, pemberian natura dan kenikmatan yang dapat
AD
dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi
Pegawai yang menerimanya adalah penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau
kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu;
4. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2009 jo
Pasal 3 ayat (1) Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-51/PJ./2009, penetapan daerah tertentu
NG

diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, yang berlaku sejak tahun pajak dierbitkannya
keputusan;

2. Koreksi fiskal negatif atas biaya amortiasasi Leasehold Land sebesar Rp1.206.939.442;
PE

bahwa Terbanding melakukan koreksi dengan dasar hukum yaitu Pasal 11 ayat (1) dan penjelasan
Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;

bahwa menurut Terbanding, alasan koreksi pada saat pemeriksaan adalah sebagai berikut:
AT

• Terdapat koreksi positif selisih amortisasi komersial di bawah amortisasi fiskal atas Amortization
— Leasehold Land sebesar Rp1.206.939.422,00 karena biaya tersebutt merupakan
penyusutan/amortisasi dari perolehan atau biaya pengurusan untuk Hak Guna Usaha (HGU)
atas tanah, sehingga tidak dapat dilakukan penyusutan/amortisasi terhadap biaya
RI

perolehan/pengurusan tanah HGU tersebut;


• Menurut memori penjelasan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU PPh dinyatakan bahwa
pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak guna bangunan,
hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah
TA

tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan
syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan,
misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik, atau perusahaan
batu bata;
RE

bahwa yang dimaksud dengan "pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak
guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali" adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut dari
instansi yang berwenang untuk pertama kalinya, sedangkan biaya perpanjangan hak guna
K

bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut;

Menurut Pemohon : 1. Koreksi positif penyesuaian fiskal positif atas selisih penyusutan
SE

komersial diatas penyusutan fiskal sebesar Rp 2.396.568.748

bahwa Pemohon Banding tidak setuju atas koreksi yang dilakukan oleh Terbanding terhadap
biaya penyusutan aktiva tetap atas fasilitas perumahan di lokasi perkebunan yang disediakan/
dibangun untuk karyawan sebesar Rp. 2.396.568.748;
bahwa penyediaan fasilitas perumahan bagi karyawan perusahaan merupakan suatu keharusan
mengingat lokasi perkebunan perusahaan berada dilokasi terpencil dan tidak terdapat fasilitas
tempat tinggal yang berdekatan dengan lokasi perkebunan. Sehingga dengan adanya fasilitas
perumahan maka karyawan perusahaan bersedia untuk ditempatkan dan bekerja di lokasi
perkebunan;

bahwa oleh karena itu, biaya – biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan pembangunan
perumahan untuk karyawan termasuk ke dalam biaya untuk mendapatkan,menagih dan
memelihara penghasilan bagi perusahaan. Mengacu kepada hal tersebut, maka biaya – biaya
perolehan untuk mendirikan fasilitas perumahan untuk karyawan sudah seharusnya dapat

K
dibiayakan melalui metode penyusutan;

bahwa sebagai tambahan, Pemohon Banding telah menerima Keputusan Terbanding No. KEP-

JA
2237/WPJ.07/2011 tanggal 12 September 2011 dimana lokasi perkebunan Pemohon Banding
ditetapkan sebagai daerah terpencil. Apabila pada tahun pajak 2011 saja lokasi perkebunan
Pemohon Banding masih berstatus daerah terpencil maka tentu saja untuk tahun 2010 lokasi
usaha Perusahaan tersebut juga merupakan daerah terpencil, mengingat lokasi usaha

PA
Perusahaan tetap sama dengan lokasi yang ditetapkan sebagai daerah terpencil pada keputusan
tersebut;

bahwa berdasarkan penjelasan tersebut, Pemohon Banding berharap agar Majelis Hakim dapat
membatalkan koreksi positif penyesuaian fiskal positif atas selisih penyusutan komersial diatas
penyusutan fiskal sebesar Rp 2.396.568.748;

N
2. Koreksi positif penyesuaian fiskal negatif atas selisih amortisasi komersial dibawah

ILA
amortisasi fiskal sebesar Rp 1.206.939.442

bahwa Pemohon Banding tidak setuju atas koreksi yang dilakukan oleh Terbanding terhadap
biaya amortisasi atas Leasehold Land sebesar Rp. 1.206.939.442;

bahwa biaya dikapitalisasi sebagai Leasehold Land adalah biaya yang dikeluarkan untuk ganti
AD
rugi lahan perkebunan yang merupakan tanah milik negara yang dibayarkan pada masyarakat
atau lebih dikenal dengan istilah Ganti Rugi Tanam Tumbuh (GRTT). Sebagai bagian dari proses
pembangunan kebun kelapa sawit, perusahaan melakukan pembayaran ganti rugi kepada
masyarakat yang berada di lokasi tersebut dan selama bertahun – tahun telah menghuni dan
mengusahakan tanah tersebut. GRTT tersebut diberikan untuk menggantikan rumah dan ladang
NG

mereka yang akan dijadikan lokasi perkebunan sesuai dengan ijin lokasi yang dikeluarkan Bupati
setempat. Setelah proses ganti rugi tersebut selesai dilakukan, maka barulah tahapan untuk
mendapatkan izin hak atas tanah berupa HGU dapat dimulai;

bahwa dengan demikian, menurut pendapat Pemohon Banding biaya GRTT tersebut bukan
PE

merupakan biaya perolehan atau pengurusan HGU tapi merupakan biaya sehubungan dengan
proses pembangunan kebun. Biaya GRTT tersebut jelas merupakan biaya yang terkait dengan
kegiatan, mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan bagi perusahaan, terutama untuk
pembangunan perkebunan kelapa sawit. Biaya GRTT tersebut mempunyai masa manfaat lebih
dari satu tahun sehingga biaya tersebut dikapitalisasi dan dibebankan sebagai biaya melalui
AT

amortisasi;

Menurut Majelis : bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas berkas banding dan
penjelasan para pihak di dalam persidangan, diketahui bahwa yang menjadi
pokok sengketa dalam perkara banding ini adalah koreksi Terbanding
RI

terhadap Penghasilan Netto PPh Badan sebesar Rp3.603.508.190,00, yang


tidak disetujui oleh Pemohon Banding, dengan rincian sebagai berikut :
TA

No Sengketa Jumlah
(IDR)
1 Koreksi Positif atas Penyesuaian Fiskal Positif atas Selisih 2.396.568.748,00
Penyusutan Komersial di atas Penyusutan Fiskal aktiva tetap
atas fasilitas- fasilitas (natura) yang dinikmati/dipakai oleh
RE

karyawan yang tidak didukung dengan Surat Keputusan


Penetapan sebagai daerah terpencil
2 Koreksi Positif atas Penyesuaian Fiskal Negatif atas Selisih 1.206.939.442,00
Amortisasi Komersial di bawah Amortisasi Fiskal Leasehold Land
yaitu atas biaya pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah
K

yang tidak dapat menunjukkan dokumen pendukung


Jumlah 3,603,508,190,00
SE

1. Koreksi Positif atas Penyesuaian Fiskal Positif atas Selisih Penyusutan Komersial di atas
Penyusutan Fiskal aktiva tetap atas fasilitas- fasilitas (natura) yang dinikmati/dipakai oleh
karyawan yang tidak didukung dengan Surat Keputusan Penetapan sebagai daerah
terpencil sebesar Rp2.396.568.748,00.

bahwa menurut Terbanding, koreksi atas biaya penyusutan aktiva tetap fasilitas- fasilitas (natura)
yang dinikmati/dipakai oleh karyawan, dilakukan karena pengeluaran tersebut tidak didukung
dengan Surat Keputusan Penetapan sebagai daerah terpencil berdasarkan Pasal 6 Peraturan
Menteri keuangan No. 83/PMK.03/2009 juncto Pasal 3 ayat (1) Peraturan Dirjen Pajak Nomor
PER- 51/PJ/2009.

bahwa koreksi dilakukan oleh Terbanding karena Pemohon Banding tidak dapat menyampaikan
persetujuan penetapan daerah tertentu yang sesuai dengan tahun pajak dilakukannya
pemeriksaan, walaupun Pemohon Banding berpendapat bahwa dalam ketentuan terkait tidak
terdapat klausul yang menyebutkan keharusan akan adanya penetapan daerah tertentu sebagai
daerah terpencil, meskipun persetujuan penetapan daerah tertentu yang dapat disampaikan

K
adalah setahun setelah tahun pajak pemeriksaan, namun daerah tersebut memenuhi substansi
sebagai daerah tertentu sehingga pengeluaran yang terkait dapat dikurangkan dari Penghasilan
Kena Pajak.

JA
bahwa lokasi perkebunan Pemohon Banding ditetapkan sebagai daerah terpencil pada 12
September 2011 melalui Kep-2238/WPJ.07/2011 atau setahun setelah dilaksanakannya
pemeriksaan, dimana sebelum tahun 2011 Pemohon Banding telah mengajukan permohonan

PA
pada tahun 2005, melalui surat nomor S-303/WPJ.07/BD.04/2006 tanggal 29 Maret 2006, namun
permohonan tersebut tidak disetujui dengan alasan Wajib Pajak tidak melampirkan Surat
Persetujuan Tetap dari BKPM atau instansi berwenang terkait, sesuai Pasal 5 ayat (1) Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-213/PJ./2001 tanggal 15 Maret 2001.

bahwa alasan ditolaknya permohonan Pemohon Banding pada tahun 2005 atas penetapan desa

N
tertentu sebenarnya dikarenakan Pemohon Banding tidak melampirkan dokumen surat ijin dari
BKPM, yang merupakan persyaratan yang wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak yang melakukan

ILA
permohonan penetapan desa tertentu, karena sesuai Pasal 5 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor Per-51/PJ/2009, telah disebutkan dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memenuhi
kelengkapan yang diminta sampai dengan batas waktu yang ditentukan, maka permohonan Wajib
Pajak tidak dapat dipertimbangkan. Sehingga meskipun terdapat kesesuaian kriteria daerah
terpencil dengan instansi lain, namun penetapan daerah tertentu terkait dengan keperluan
perpajakan merupakan kewenangan sepenuhnya yang dimiliki Terbanding, dalam hal ini adalah
AD
Direktorat Jenderal Pajak.

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh jo. Pasal 2 huruf b Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2009, pemberian natura dan kenikmatan yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi
NG

Pegawai yang menerimanya adalah penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau
kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu.

bahwa oleh karena Pemohon Banding tidak dapat menyampaikan penetapan daerah tertentu
sesuai dengan atau meliputi tahun pemeriksaan, maka koreksi yang dilakukan telah sesuai
PE

dengan data dan fakta yang ada saat proses pemeriksaan dan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi Terbanding terhadap biaya penyusutan
aktiva tetap atas fasilitas perumahan di lokasi perkebunan yang disediakan untuk karyawan,
AT

karena fasilitas perumahan bagi karyawan perusahaan merupakan suatu keharusan mengingat
lokasi perkebunan perusahaan berada dilokasi terpencil dan tidak terdapat fasilitas tempat tinggal
yang berdekatan dengan lokasi perkebunan. Oleh karena itu, biaya-biaya yang dikeluarkan
sehubungan dengan pembangunan perumahan untuk karyawan termasuk biaya untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan bagi perusahaan sudah seharusnya dapat
RI

dibiayakan melalui metode penyusutan.

bahwa menurut Pemohon Banding, lokasi perkebunan Pemohon Banding yang terletak di Desa
TA

Sawahan dan Desa Bagendang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah merupakan Daerah
Terpencil sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Perundangan sehingga atas
natura/kenikmatan yang diterima pegawai termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto
RE

bahwa Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf e UU No 36/2008 mengatur sebagai berikut:
“pemberian natura dan kenikmatan berikut ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi
kerja dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang menerimanya:
1. penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan
dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut dalam rangka menunjang kebijakan
K

pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil;”


SE

bahwa Pasal 4 ayat (1) dan (2) PMK 83/2009 mengatur sebagai berikut :
1. Penggantian atau imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah sarana dan
fasilitas di lokasi kerja untuk:
a. tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan keluarganya;
b. pelayanan kesehatan;
c. pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya;
d. peribadatan;
e. pengangkutan bagi Pegawai dan Keluarganya;
f. olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power boating, pacuan
kuda, dan terbang layang,
sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus
menyediakannya sendiri.

2. Daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah daerah yang secara
ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi
pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui
darat, laut maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi

K
kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan
masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai
kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral.

JA
bahwa menurut peraturan tersebut disebutkan selama daerah tersebut memenuhi kondisi dan
persyaratan sebagai daerah terpencil (prasarana ekonomi kurang memadai dan sulit dijangkau
transportasi umum) maka atas natura/kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan

PA
pekerjaan di daerah terpencil dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

bahwa menurut Pemohon Banding, lokasi perkebunan Pemohon Banding di Desa Sawahan dan
Desa Bagendang di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah merupakan daerah tertentu yang
sudah memenuhi kriteria daerah terpencil karena ketiadaan sarana transportasi dan ekonomi
yang memadai termasuk ke dalam persyaratan daerah terpencil yaitu memiliki prasarana ekonomi

N
yang kurang memadai dan sulit dijangkau transportasi umum.

ILA
bahwa menurut Pemohon Banding, tidak adanya prasarana ekonomi yang memadai di lokasi
kebun, meliputi :
1. Tidak terdapat jalan umum/jembatan di area kebun milik Pemohon Banding. Jalan
umum/jembatan terdekat berjarak 9 KM dari lokasi kebun;
2. Pada lokasi perkebunan yaitu Desa Sawahan dan Desa Bagendang juga tidak terdapat
prasarana ekonomi berupa pelabuhan/dermaga laut, udara dan air. bahwa adapun
AD
pelabuhan/dermaga terdekat berjarak 40-43 KM dari lokasi perkebunan;
3. bahwa dalam lokasi perkebunan juga tidak terdapat listrik dari PLN dan air bersih dari PAM.
Kebutuhan listrik dan air diusahakan sendiri oleh Pemohon Banding. Perlu diketahui bahwa
listrik bersumber dari PLN dan air dari PAM berjarak 30 KM dari lokasi kebun;
NG

4. Lokasi perkebunan jauh dari rumah penduduk sehingga tidak ada perumahan yang dapat
disewa pegawai. bahwa adapun jarak dari lokasi perkebunan ke rumah penduduk yang
dapat disewa sekitar 30 KM;
5. bahwa dalam lokasi perkebunan di Desa Sawahan dan Desa Bagendang tidak terdapat
Rumah Sakit dan Poliklinik. Rumah sakit dan poliklinik terdekat dari lokasi perkebunan
berjarak 37 KM;
PE

6. Sekolah berjarak 35 KM dari lokasi perkebunan Pemohon Banding. Sedangkan, Olahraga/


hiburan berjarak 40 KM dari lokasi Pemohon Banding;
7. Tidak ada prasarana ekonomi berupa pasar di lokasi perkebunan Pemohon Banding. Pasar
terdekat berjarak 40 KM dari lokasi perkebunan;
bahwa Keputusan Penetapan Daerah Terpencil yaitu Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.
AT

KEP-2237/WPJ.07/2011 tanggal 12 September 2011 diterbitkan Tahun 2011 atas Desa Sawahan
dan Desa Bagendang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, hal ini menandakan bahwa lokasi
tersebut sudah merupakan daerah Terpencil pada tahun-tahun sebelumnya termasuk tahun yang
menjadi sengketa yaitu tahun pajak 2010.
RI

bahwa Pemohon Banding pernah mengajukan permohonan penetapan daerah terpencil di Tahun
2006 dan kemudian mengajukan kembali di Tahun 2011, dengan kronologis sebagai berikut :
a. Pemohon Banding mengajukan surat permohonan penetapan daerah terpencil pada tahun
TA

2006 untuk lokasi perkebunan di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.


b. bahwa berdasarkan informasi verbal dari manajemen, Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta
Khusus menolak permohonan penetapan daerah terpencil pada tahun yang sama.
c. Badan Koordinasi Perubahan Modal (BKPM) menerbitkan izin prinsip perubahan penanaman
modal No. 28/1/IP/III/PMA/2010 pada 11 Februari 2010.
RE

d. Surat permohonan No. 91/Pemohon Banding/Tax/VI/2011 tanggal 1 Juni 2011 di mana di


dalam surat permohonan tersebut, Pemohon Banding melampirkan beberapa dokumen
sebagai pemenuhan persyaratan penetapan daerah terpencil, yaitu:
· Fotokopi surat persetujuan modal beserta rinciannya yang diterbitkan oleh Kepala BKPM;
· Fotokopi surat ijin lokasi dan peta lokasi;
K

· Fotokopi Laporan Keuangan tahun 2010;


· Pernyataan mengenai keadaan prasarana ekonomi dan sarana transportasi umum;
SE

e. Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus menerbitkan Kep. DJP No. KEP-
2238/WPJ.07/2011 tertanggal 12 September 2011 atas Desa Sawahan dan Desa
Bagendang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah yang menyatakan persetujuan lokasi
perkebunan Pemohon Banding sebagai daerah terpencil.

bahwa berdasarkan pemeriksaan dan penilaian Majelis atas bukti-bukti yang telah disampaikan
dan penjelasan para pihak di dalam persidangan, Majelis berpendapat bahwa, pada dasarnya
sengketa banding ini adalah sengketa yuridis terkait dengan tidak diperolehnya persetujuan
penetapan daerah tertentu oleh Pemohon Banding yang sesuai dengan tahun pajak yang
disengketakan yaitu tahun 2010, berupa Surat Keputusan Penetapan Daerah Terpencil yang
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

bahwa Keputusan Penetapan Daerah Terpencil tersebut terkait dengan biaya-biaya dan
pemberian berupa natura/kenikmatan yang diberikan oleh Pemohon Banding kepada pegawai
berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu/terpencil, sehingga biaya-biaya
tersebut termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, berdasarkan

K
ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008 (UU PPh) beserta Penjelasannya, jo Pasal 2 huruf b Peraturan Menteri Keuangan

JA
Nomor 83/PMK.03/2009.

bahwa di dalam persidangan ke 6 tanggal 4 Mei 2017, terungkap fakta-fakta sebagai berikut :
- bahwa alasan ditolaknya permohonan Pemohon Banding pada tahun 2005 atas penetapan

PA
desa tertentu menurut Terbanding disebabkan Pemohon Banding tidak melampirkan
dokumen surat ijin dari BKPM atau instansi berwenang terkait, sesuai Pasal 5 ayat (1)
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-213/PJ./2001 tanggal 15 Maret 2001, sebagai
persyaratan yang wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak yang melakukan permohonan, dimana
persyaratan penetapan desa tertentu menurut Terbanding adalah mutlak.
- bahwa atas alasan belum adanya surat ijin dari BKPM tersebutlah mengapa Pemohon

N
Banding baru mengirim kembali permohonan kedua atas penetapan desa tertinggal pada
tahun 2011, dikarenakan Pemohon Banding baru saja memperoleh surat ijin dari BKPM

ILA
tersebut pada tahun 2011.

bahwa berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan


sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang Undang RI Nomor 36 Tahun
2008, Pasal 9 ayat (1) huruf e mengatur sebagai berikut:
AD
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
NG

dan sesuai Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf e UU Nomor 36 Tahun 2008 disebutkan sebagai
berikut :
pemberian natura dan kenikmatan berikut ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi
kerja dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang menerimanya:
PE

1. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan
dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut dalam rangka menunjang kebijakan
pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil.

bahwa Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 83/PMK.03/2009 tentang Penyediaan Makanan


AT

Dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta Penggantian Atau Imbalan Dalam Bentuk Naturan
Dan Kenikmatan Di Daerah Tertentu Dan Yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan Yang
Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja, merupakan peraturan sebagai
pelaksanaan dari Pasal 9 Ayat (1) huruf e UU RI Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
RI

Penghasilan a quo, dimana disebutkan dalam :

Pasal 2 huruf b sebagai berikut :


Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja
TA

dan bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya adalah Penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan
pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong
pembangunan di daerah tersebut,
RE

Pasal 4 ayat (1) dan (2) PMK 83/2009 a quo mengatur sebagai berikut :
1. Penggantian atau imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah sarana dan
fasilitas di lokasi kerja untuk :
a. tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan keluarganya;
K

b. pelayanan kesehatan;
c. pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya;
d. peribadatan;
SE

e. pengangkutan bagi Pegawai dan Keluarganya;


f. olahragi bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power boating, pacuan kuda,
dan terbang layang,
sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus
menyediakannya sendiri.
2. Daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah daerah yang secara
ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi
pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui
darat, laut maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi
kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan
masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai
kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral,

Dan sesuai Pasal 6 disebutkan sebagai berikut :


Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis tata cara pemberian dan penetapan besaran

K
kupon makanan dan/atau minuman bagi Pegawai, kriteria dan tata cara penetapan daerah
tertentu, dan batasan mengenai sarana dan fasilitas di lokasi kerja, diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak.

JA
bahwa Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-51/PJ/2009 tentang Tata Cara Pemberian
dan Penetapan Besaran Kupon Makanan dan/atau Minuman Bagi Pegawai, Kriteria dan Tata
Cara Penetapan Daerah Tertentu, dan Batasan Mengenai Sarana dan Fasilitas Di Lokasi Kerja,

PA
merupakan ketentuan lebih lanjut sebagai pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan RI
Nomor 83/PMK.03/2009.

bahwa tidak diterbitkannya Keputusan Penetapan Daerah Terpencil sebelum tahun 2011, karena
alasan Wajib Pajak tidak melampirkan Surat Persetujuan Tetap atau surat ijin dari BKPM atau
instansi berwenang terkait, menurut Majelis merupakan masalah tidak dipenuhinya salah satu

N
persyaratan administratif dalam permohonan penetapan desa tertentu sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 5 ayat (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-213/PJ./2001, namun

ILA
secara substansi, lokasi perkebunan Pemohon Banding yang terletak di Desa Sawahan dan Desa
Bagendang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah merupakan daerah yang memiliki prasarana
ekonomi yang kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum sebagaimana
pernyataan Pemohon Banding di persidangan.

bahwa faktanya pada tahun 2011 telah diterbitkan Keputusan Penetapan Daerah Terpencil yaitu
AD
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-2237/WPJ.07/2011 tanggal 12 September 2011 atas
Desa Sawahan dan Desa Bagendang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, sehingga
menurut Majelis, hal ini menunjukkan bahwa lokasi tersebut sudah merupakan daerah Terpencil
pada tahun-tahun sebelumnya termasuk tahun yang menjadi sengketa yaitu tahun pajak 2010,
dan Majelis dapat meyakini bahwa lokasi perkebunan tersebut dapat dikategorikan sebagai
NG

daerah terpencil.

bahwa pendapat Terbanding yang menyatakan Keputusan Penetapan Daerah Terpencil yang
diterbitkan Tahun 2011 atas Desa Sawahan dan Desa Bagendang, Kotawaringin Timur,
Kalimantan Tengah tidak serta merta menjadikan lokasi tersebut bukan daerah Terpencil pada
PE

tahun – tahun sebelumnya (termasuk tahun sengketa tahun pajak 2010), menurut Majelis tidak
tepat, oleh karena apabila pada tahun pajak 2011 saja lokasi perkebunan Pemohon Banding
masih berstatus daerah terpencil maka untuk tahun pajak 2010 dan sebelumnya tentu lokasi
perkebunan Pemohon Banding juga masih memiliki kondisi yang sama dengan tahun 2011.
AT

bahwa dalam hal lokasi perkebunan Pemohon Banding yaitu pada Desa Sawahan dan Desa
Bagendang di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah merupakan daerah tertentu yang sudah
memenuhi kriteria daerah terpencil karena ketiadaan sarana transportasi dan ekonomi yang
memadai, dan sudah ditetapkan sebagai Daerah Terpencil sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 4 ayat (2) PMK 83/2009 a quo, maka Majelis berpendapat bahwa sudah
RI

seharusnya biaya penyusutan atas pembangunan fasilitas perumahan bagi karyawan di lokasi
perkebunan yang dikeluarkan oleh Pemohon Banding dapat dibiayakan, sehingga menurut
Majelis atas pemberian natura/kenikmatan yang diterima pegawai termasuk kedalam biaya yang
TA

dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 9 Ayat (1)
huruf e besera Penjelasannya UU PPh No. 36/2008 jo Pasal 2 huruf b dan Pasal 4 ayat (1) PMK
83/2009 a quo.

bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan penilaian Majelis atas bukti-bukti dan keterangan yang
RE

diberikan oleh para pihak yang terungkap di dalam persidangan serta peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku, Majelis berkeyakinan bahwa dalil Terbanding tidak tepat, oleh
karena itu koreksi fiskal positif yang dilakukan oleh Terbanding atas selisih penyusutan komersial
di atas penyusutan fiskal aktiva tetap atas fasilitas- fasilitas (natura) yang dinikmati/dipakai oleh
karyawan yang tidak didukung dengan Surat Keputusan Penetapan sebagai daerah terpencil
K

sebesar Rp2.396.568.748,00 tidak dapat dipertahankan.


SE

2. Koreksi Positif atas Penyesuaian Fiskal Negatif atas Selisih Amortisasi Komersial di bawah
Amortisasi Fiskal Leasehold Land yaitu atas biaya pengurusan Hak Guna Usaha (HGU)
atas tanah yang tidak dapat menunjukkan dokumen pendukung sebesar
Rp1.206.939.442,00.

bahwa Terbanding melakukan koreksi atas biaya amortisasi Leasehold Land karena menurut
Terbanding pengeluaran yang dilakukan oleh Pemohon Banding terkait dengan perolehan atau
biaya pengurusan HGU sehingga tidak dapat dilakukan penyusutan/amortisasi, sebagaimana
ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU PPh, yang menyebutkan sbb :
Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau
perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna
usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-

K
bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.

JA
Penjelasan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2)
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta

PA
berwujud melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik,
termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali
tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau
dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena
penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan
genteng, perusahaan keramik, atau perusahaan batu bata.

N
bahwa yang dimaksud dengan "pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak
guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali" adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna

ILA
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut
dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya, sedangkan biaya perpanjangan hak guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak
tersebut.
AD
bahwa menurut Terbanding, terkait dengan biaya amortization leasehold land, Pemohon Banding
tidak meminjamkan dokumen sampai dengan berakhirnya proses keberatan, dan saat
persidangan Pemohon Banding menunjukkan sampel dokumen pendukung, namun menurut
Terbanding bukti dokumen pendukung yang disampaikan oleh Pemohon Banding tidak memadai
untuk meneliti substansi pengeluaran yang terjadi untuk mengambil kesimpulan bahwa biaya yang
NG

diakui oleh Pemohon Banding sebagai Ganti Rugi Tanam Tumbuh (GRTT) adalah ada dan sesuai
dengan jumlahnya.

bahwa oleh karena Pemohon Banding tidak dapat menyampaikan bukti dokumen pendukung
yang memadai, maka menurut Terbanding koreksi yang dilakukan telah sesuai dengan data dan
PE

fakta yang ada dan telah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku.

bahwa menurut Pemohon Banding, biaya dikapitalisasi sebagai Leasehold Land adalah biaya
yang dikeluarkan untuk ganti rugi lahan perkebunan yang merupakan tanah milik negara yang
dibayarkan pada masyarakat setempat atau lebih dikenal dengan istilah Ganti Rugi Tanam
AT

Tumbuh (GRTT), sebagai bagian dari proses pembangunan kebun kelapa sawit, sesuai dengan
ijin lokasi yang dikeluarkan Bupati setempat. Setelah proses ganti rugi tersebut selesai dilakukan,
maka barulah tahapan untuk mendapatkan izin hak atas tanah berupa HGU dapat dimulai.
bahwa dengan demikian, menurut pendapat Pemohon Banding biaya GRTT tersebut bukan
RI

merupakan biaya perolehan atau pengurusan HGU tapi merupakan biaya sehubungan dengan
proses pembangunan kebun, dan jelas merupakan biaya yang terkait dengan kegiatan,
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan bagi perusahaan, terutama untuk
pembangunan perkebunan kelapa sawit, yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun
TA

sehingga biaya tersebut dikapitalisasi dan dibebankan sebagai biaya melalui amortisasi.

bahwa Pembayaran GRTT disyaratkan dalam Ijin Lokasi Nomor 844.466.42 tertanggal 27
Desember 2004 yang diterbitkan oleh Bupati Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, dimana
RE

dalam butir kedua angka 1 disebutkan sebagai berikut.


Perolehan tanah harus dilakukan secara langsung antara pihak- pihak yang berkepentingan
melalui jual beli dengan pembuatan akta jual beli dihadapan PPAT setempat atau dengan cara
pelepasan hak dihadapan PPAT setempat atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Kotawaringin Timur dengan pemberian ganti kerugian yang bentuk dan besarnya ditentukan
K

secara musyawarah.

bahwa mengacu kepada ijin lokasi tersebut, maka untuk dapat melangsungkan kegiatan usaha
SE

perkebunan, Pemohon Banding wajib mengganti kerugian kepada masyarakat dalam bentuk
biaya GRTT. Berdasarkan hal tersebut, koreksi Positif atas Penyesuaian Fiskal Negatif atas
Selisih Amortisasi Komersial di bawah Amortisasi Fiskal Leasehold Land sebesar Rp
1.206.939.442,00 seharusnya dibatalkan.

bahwa berdasarkan pemeriksaan dan penilaian Majelis atas bukti-bukti yang telah disampaikan
dan penjelasan para pihak di dalam persidangan, Majelis berpendapat bahwa, pada dasarnya
sengketa banding ini adalah sengketa yuridis terkait dengan pembebanan biaya
penyusutan/amortisasi atas biaya yang dikeluarkan untuk ganti rugi lahan perkebunan oleh
Pemohon Banding, yang menurut Terbanding biaya tersebut merupakan biaya perolehan dan
pengurusan tanah HGU yang tidak dapat dilakukan penyusutan/amortisasi.

bahwa berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan


sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang Undang RI Nomor 36 Tahun
2008, Pasal 11 Ayat (1), disebutkan sebagai berikut :
Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau

K
perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna
usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

JA
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-
bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.

Dimana dalam Penjelasan Pasal 11 Ayat (1) dan (2), disebutkan sebagai berikut :

PA
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta
berwujud melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik,
termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali
tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau

N
dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena
penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan

ILA
genteng, perusahaan keramik, atau perusahaan batu bata.

Yang dimaksud dengan "pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak guna
usaha, dan hak pakai yang pertama kali" adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut
dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya, sedangkan biaya perpanjangan hak guna
AD
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak
tersebut.

bahwa merujuk pada Penjelasan Pasal 11 Ayat (1) dan (2) ketentuan a quo, secara jelas
dinyatakan bahwa pengeluaran yang tidak boleh disusutkan adalah pengeluaran untuk
NG

memperoleh tanah hak termasuk yang brstatus Hak Milik, HGB, HGU, Hak Pakai yang pertama
kali, dimana pengertian pengeluaran untuk perolehan tanah hak tersebut secara khusus
dijelaskan pada paragraph kedua yaitu biaya perolehan tanah berstatus hak guna bangunan,
hak guna usaha, dan hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut dari
instansi yang berwenang untuk pertama kalinya.
PE

bahwa berdasarkan ketentuan a quo, Majelis berpendapat bahwa pengeluaran yang tidak dapat
dibebankan melalui penyusutan/amortisasi selama umur atau masa manfaat tanah tersebut
adalah pengeluaran yang terkait dengan pengurusan hak atas tanah tersebut untuk yang pertama
kali. Sedangkan pengeluaran yang dilakukan menurut Pemohon Banding bukan merupakan
AT

pengeluaran untuk perolehan atau pengurusan HGU, tetapi merupakan pengeluaran berupa ganti
rugi atas lahan perkebunan yang merupakan tanah milik negara yang dibayarkan kepada
masyarakat setempat sehubungan dengan proses pembangunan kebun, sebagaimana
dipersyaratkan dalam surat Ijin Lokasi Nomor 844.466.42 tertanggal 27 Desember 2004 yang
diterbitkan oleh Bupati Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
RI

bahwa di dalam persidangan, Pemohon Banding telah menyampaikan sampel dokumen terkait
biaya ganti rugi tersebut atau Ganti Rugi Tanam Tumbuh (GRTT), namun menurut Terbanding
TA

bukti dokumen pendukung yang disampaikan oleh Pemohon Banding tidak memadai untuk
meneliti substansi pengeluaran yang terjadi untuk mengambil kesimpulan bahwa biaya yang
diakui oleh Pemohon Banding sebagai Ganti Rugi Tanam Tumbuh (GRTT) adalah ada dan sesuai
dengan jumlahnya.
RE

bahwa terkait pendapat Terbanding a quo, Majelis berpendapat bahwa sengketa ini adalah
sengketa yuridis terkait dengan pembebanan biaya GRTT yang boleh atau tidak boleh disusutkan,
dan apakah GRTT termasuk biaya perolehan tanah HGU pertama kali atau biaya ganti rugi tanah
masyarakat yang akan digunakan sebagai perkebunan oleh Pemohon Banding, berdasarkan
Pasal 11 Ayat (1) dan (2) UU PPh a quo, sehingga menurut Majelis, dari sampel dokumen yang
K

disampaikan oleh Pemohon Banding, telah cukup bagi Majelis untuk menyimpulkan bahwa
substansi dari pengeluaran GRTT tersebut memang ada dan berkaitan dengan biaya penggantian
SE

lahan masyarakat, bukan merupakan biaya untuk pengurusan HGU yang pertama kali.

bahwa berdasarkan hal tersebut, Majelis berpendapat bahwa biaya GRTT tersebut bukan
merupakan biaya perolehan atau pengurusan HGU tapi merupakan biaya sehubungan dengan
proses pembangunan kebun kelapa sawit, yang merupakan biaya yang terkait dengan kegiatan,
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan bagi perusahaan, yang mempunyai masa
manfaat lebih dari satu tahun sehingga biaya tersebut harus dikapitalisasi dan dibebankan
sebagai biaya melalui amortisasi, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Pemohon Banding.

bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan penilaian Majelis atas bukti-bukti dan keterangan yang
diberikan oleh para pihak yang terungkap di dalam persidangan serta peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku, Majelis berkeyakinan bahwa dalil Terbanding tidak tepat,
sehingga koreksi fiskal negatif yang dilakukan oleh Terbanding atas selisih amortisasi komersial di
bawah amortisasi fiscal biaya Leasehold Land sebesar Rp1.206.939.442,00, tidak dapat
dipertahankan.

bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak disebutkan

K
dalam :

Pasal 69 ayat (1e) :

JA
Alat bukti dapat berupa “pengetahuan hakim”, yang di Pasal 75 disebutkan adalah hal yang olehnya
diketahui dan diyakini kebenarannya.

Pasal 74 :

PA
Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat
diterima oleh Majelis atau Hakim Tunggal.

Pasal 78 :
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan

N
Hakim.

ILA
bahwa menurut memori penjelasan pasal 78 disebutkan :
Keyakinan Hakim di dasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan perpajakan.

bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan penilaian Majelis atas bukti-bukti dan keterangan yang
diberikan oleh para pihak yang terungkap di dalam persidangan serta peraturan perundang-
AD
undangan perpajakan yang berlaku, Majelis berkeyakinan bahwa dalil Terbanding tidak tepat, dan
koreksi Terbanding atas Penghasilan Netto PPh Badan sebesar Rp3.603.508.190,00 tidak dapat
dipertahankan, dan oleh karena itu Majelis berpendapat untuk mengabulkan seluruhnya
permohonan banding dari Pemohon Banding.
NG

bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas berkas banding dan penjelasan para pihak di dalam
persidangan, diketahui bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam perkara banding ini adalah
koreksi Terbanding terhadap Penghasilan Netto PPh Badan sebesar Rp3.603.508.190,00, yang tidak
disetujui oleh Pemohon Banding, dengan rincian sebagai berikut :
PE

No Sengketa Jumlah
(IDR)
1 Koreksi Positif atas Penyesuaian Fiskal Positif atas Selisih 2.396.568.748,00
Penyusutan Komersial di atas Penyusutan Fiskal aktiva tetap
atas fasilitas- fasilitas (natura) yang dinikmati/dipakai oleh
AT

karyawan yang tidak didukung dengan Surat Keputusan


Penetapan sebagai daerah terpencil
2 Koreksi Positif atas Penyesuaian Fiskal Negatif atas Selisih 1.206.939.442,00
Amortisasi Komersial di bawah Amortisasi Fiskal Leasehold Land
RI

yaitu atas biaya pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah
yang tidak dapat menunjukkan dokumen pendukung
Jumlah 3,603,508,190,00
TA

3. Koreksi Positif atas Penyesuaian Fiskal Positif atas Selisih Penyusutan Komersial di atas
Penyusutan Fiskal aktiva tetap atas fasilitas- fasilitas (natura) yang dinikmati/dipakai oleh
karyawan yang tidak didukung dengan Surat Keputusan Penetapan sebagai daerah
terpencil sebesar Rp2.396.568.748,00.
RE

bahwa menurut Terbanding, koreksi atas biaya penyusutan aktiva tetap fasilitas- fasilitas (natura)
yang dinikmati/dipakai oleh karyawan, dilakukan karena pengeluaran tersebut tidak didukung
dengan Surat Keputusan Penetapan sebagai daerah terpencil berdasarkan Pasal 6 Peraturan
Menteri keuangan No. 83/PMK.03/2009 juncto Pasal 3 ayat (1) Peraturan Dirjen Pajak Nomor
K

PER- 51/PJ/2009.

bahwa koreksi dilakukan oleh Terbanding karena Pemohon Banding tidak dapat menyampaikan
SE

persetujuan penetapan daerah tertentu yang sesuai dengan tahun pajak dilakukannya
pemeriksaan, walaupun Pemohon Banding berpendapat bahwa dalam ketentuan terkait tidak
terdapat klausul yang menyebutkan keharusan akan adanya penetapan daerah tertentu sebagai
daerah terpencil, meskipun persetujuan penetapan daerah tertentu yang dapat disampaikan
adalah setahun setelah tahun pajak pemeriksaan, namun daerah tersebut memenuhi substansi
sebagai daerah tertentu sehingga pengeluaran yang terkait dapat dikurangkan dari Penghasilan
Kena Pajak.
bahwa lokasi perkebunan Pemohon Banding ditetapkan sebagai daerah terpencil pada 12
September 2011 melalui Kep-2238/WPJ.07/2011 atau setahun setelah dilaksanakannya
pemeriksaan, dimana sebelum tahun 2011 Pemohon Banding telah mengajukan permohonan
pada tahun 2005, melalui surat nomor S-303/WPJ.07/BD.04/2006 tanggal 29 Maret 2006, namun
permohonan tersebut tidak disetujui dengan alasan Wajib Pajak tidak melampirkan Surat
Persetujuan Tetap dari BKPM atau instansi berwenang terkait, sesuai Pasal 5 ayat (1) Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-213/PJ./2001 tanggal 15 Maret 2001.

bahwa alasan ditolaknya permohonan Pemohon Banding pada tahun 2005 atas penetapan desa

K
tertentu sebenarnya dikarenakan Pemohon Banding tidak melampirkan dokumen surat ijin dari
BKPM, yang merupakan persyaratan yang wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak yang melakukan
permohonan penetapan desa tertentu, karena sesuai Pasal 5 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal

JA
Pajak Nomor Per-51/PJ/2009, telah disebutkan dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memenuhi
kelengkapan yang diminta sampai dengan batas waktu yang ditentukan, maka permohonan Wajib
Pajak tidak dapat dipertimbangkan. Sehingga meskipun terdapat kesesuaian kriteria daerah
terpencil dengan instansi lain, namun penetapan daerah tertentu terkait dengan keperluan

PA
perpajakan merupakan kewenangan sepenuhnya yang dimiliki Terbanding, dalam hal ini adalah
Direktorat Jenderal Pajak.

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh jo. Pasal 2 huruf b Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2009, pemberian natura dan kenikmatan yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi

N
Pegawai yang menerimanya adalah penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau
kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu.

ILA
bahwa oleh karena Pemohon Banding tidak dapat menyampaikan penetapan daerah tertentu
sesuai dengan atau meliputi tahun pemeriksaan, maka koreksi yang dilakukan telah sesuai
dengan data dan fakta yang ada saat proses pemeriksaan dan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
AD
bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi Terbanding terhadap biaya penyusutan
aktiva tetap atas fasilitas perumahan di lokasi perkebunan yang disediakan untuk karyawan,
karena fasilitas perumahan bagi karyawan perusahaan merupakan suatu keharusan mengingat
lokasi perkebunan perusahaan berada dilokasi terpencil dan tidak terdapat fasilitas tempat tinggal
yang berdekatan dengan lokasi perkebunan. Oleh karena itu, biaya-biaya yang dikeluarkan
NG

sehubungan dengan pembangunan perumahan untuk karyawan termasuk biaya untuk


mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan bagi perusahaan sudah seharusnya dapat
dibiayakan melalui metode penyusutan.

bahwa menurut Pemohon Banding, lokasi perkebunan Pemohon Banding yang terletak di Desa
PE

Sawahan dan Desa Bagendang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah merupakan Daerah
Terpencil sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Perundangan sehingga atas
natura/kenikmatan yang diterima pegawai termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto
AT

bahwa Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf e UU No 36/2008 mengatur sebagai berikut:
“pemberian natura dan kenikmatan berikut ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi
kerja dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang menerimanya:
1. penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan
dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut dalam rangka menunjang kebijakan
RI

pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil;”

bahwa Pasal 4 ayat (1) dan (2) PMK 83/2009 mengatur sebagai berikut :
TA

3. Penggantian atau imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah sarana dan
fasilitas di lokasi kerja untuk:
a. tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan keluarganya;
b. pelayanan kesehatan;
c. pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya;
RE

d. peribadatan;
e. pengangkutan bagi Pegawai dan Keluarganya;
f. olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power boating, pacuan
kuda, dan terbang layang,
sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus
K

menyediakannya sendiri.
SE

4. Daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah daerah yang secara
ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi
pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui
darat, laut maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi
kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan
masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai
kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral.
bahwa menurut peraturan tersebut disebutkan selama daerah tersebut memenuhi kondisi dan
persyaratan sebagai daerah terpencil (prasarana ekonomi kurang memadai dan sulit dijangkau
transportasi umum) maka atas natura/kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan
pekerjaan di daerah terpencil dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

bahwa menurut Pemohon Banding, lokasi perkebunan Pemohon Banding di Desa Sawahan dan
Desa Bagendang di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah merupakan daerah tertentu yang
sudah memenuhi kriteria daerah terpencil karena ketiadaan sarana transportasi dan ekonomi
yang memadai termasuk ke dalam persyaratan daerah terpencil yaitu memiliki prasarana ekonomi

K
yang kurang memadai dan sulit dijangkau transportasi umum.

bahwa menurut Pemohon Banding, tidak adanya prasarana ekonomi yang memadai di lokasi

JA
kebun, meliputi :
8. Tidak terdapat jalan umum/jembatan di area kebun milik Pemohon Banding. Jalan
umum/jembatan terdekat berjarak 9 KM dari lokasi kebun;
9. Pada lokasi perkebunan yaitu Desa Sawahan dan Desa Bagendang juga tidak terdapat

PA
prasarana ekonomi berupa pelabuhan/dermaga laut, udara dan air. bahwa adapun
pelabuhan/dermaga terdekat berjarak 40-43 KM dari lokasi perkebunan;
10. bahwa dalam lokasi perkebunan juga tidak terdapat listrik dari PLN dan air bersih dari PAM.
Kebutuhan listrik dan air diusahakan sendiri oleh Pemohon Banding. Perlu diketahui bahwa
listrik bersumber dari PLN dan air dari PAM berjarak 30 KM dari lokasi kebun;
11. Lokasi perkebunan jauh dari rumah penduduk sehingga tidak ada perumahan yang dapat

N
disewa pegawai. bahwa adapun jarak dari lokasi perkebunan ke rumah penduduk yang
dapat disewa sekitar 30 KM;

ILA
12. bahwa dalam lokasi perkebunan di Desa Sawahan dan Desa Bagendang tidak terdapat
Rumah Sakit dan Poliklinik. Rumah sakit dan poliklinik terdekat dari lokasi perkebunan
berjarak 37 KM;
13. Sekolah berjarak 35 KM dari lokasi perkebunan Pemohon Banding. Sedangkan, Olahraga/
hiburan berjarak 40 KM dari lokasi Pemohon Banding;
14. Tidak ada prasarana ekonomi berupa pasar di lokasi perkebunan Pemohon Banding. Pasar
AD
terdekat berjarak 40 KM dari lokasi perkebunan;
bahwa Keputusan Penetapan Daerah Terpencil yaitu Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.
KEP-2237/WPJ.07/2011 tanggal 12 September 2011 diterbitkan Tahun 2011 atas Desa Sawahan
dan Desa Bagendang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, hal ini menandakan bahwa lokasi
NG

tersebut sudah merupakan daerah Terpencil pada tahun-tahun sebelumnya termasuk tahun yang
menjadi sengketa yaitu tahun pajak 2010.

bahwa Pemohon Banding pernah mengajukan permohonan penetapan daerah terpencil di Tahun
2006 dan kemudian mengajukan kembali di Tahun 2011, dengan kronologis sebagai berikut :
a. Pemohon Banding mengajukan surat permohonan penetapan daerah terpencil pada tahun
PE

2006 untuk lokasi perkebunan di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.


f. bahwa berdasarkan informasi verbal dari manajemen, Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta
Khusus menolak permohonan penetapan daerah terpencil pada tahun yang sama.
g. Badan Koordinasi Perubahan Modal (BKPM) menerbitkan izin prinsip perubahan penanaman
modal No. 28/1/IP/III/PMA/2010 pada 11 Februari 2010.
AT

h. Surat permohonan No. 91/Pemohon Banding/Tax/VI/2011 tanggal 1 Juni 2011 di mana di


dalam surat permohonan tersebut, Pemohon Banding melampirkan beberapa dokumen
sebagai pemenuhan persyaratan penetapan daerah terpencil, yaitu:
· Fotokopi surat persetujuan modal beserta rinciannya yang diterbitkan oleh Kepala BKPM;
· Fotokopi surat ijin lokasi dan peta lokasi;
RI

· Fotokopi Laporan Keuangan tahun 2010;


· Pernyataan mengenai keadaan prasarana ekonomi dan sarana transportasi umum;
i. Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus menerbitkan Kep. DJP No. KEP-
TA

2238/WPJ.07/2011 tertanggal 12 September 2011 atas Desa Sawahan dan Desa


Bagendang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah yang menyatakan persetujuan lokasi
perkebunan Pemohon Banding sebagai daerah terpencil.
RE

bahwa berdasarkan pemeriksaan dan penilaian Majelis atas bukti-bukti yang telah disampaikan
dan penjelasan para pihak di dalam persidangan, Majelis berpendapat bahwa, pada dasarnya
sengketa banding ini adalah sengketa yuridis terkait dengan tidak diperolehnya persetujuan
penetapan daerah tertentu oleh Pemohon Banding yang sesuai dengan tahun pajak yang
disengketakan yaitu tahun 2010, berupa Surat Keputusan Penetapan Daerah Terpencil yang
K

diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

bahwa Keputusan Penetapan Daerah Terpencil tersebut terkait dengan biaya-biaya dan
SE

pemberian berupa natura/kenikmatan yang diberikan oleh Pemohon Banding kepada pegawai
berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu/terpencil, sehingga biaya-biaya
tersebut termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008 (UU PPh) beserta Penjelasannya, jo Pasal 2 huruf b Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 83/PMK.03/2009.

bahwa di dalam persidangan ke 6 tanggal 4 Mei 2017, terungkap fakta-fakta sebagai berikut :
- bahwa alasan ditolaknya permohonan Pemohon Banding pada tahun 2005 atas penetapan
desa tertentu menurut Terbanding disebabkan Pemohon Banding tidak melampirkan
dokumen surat ijin dari BKPM atau instansi berwenang terkait, sesuai Pasal 5 ayat (1)
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-213/PJ./2001 tanggal 15 Maret 2001, sebagai
persyaratan yang wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak yang melakukan permohonan, dimana
persyaratan penetapan desa tertentu menurut Terbanding adalah mutlak.
- bahwa atas alasan belum adanya surat ijin dari BKPM tersebutlah mengapa Pemohon

K
Banding baru mengirim kembali permohonan kedua atas penetapan desa tertinggal pada
tahun 2011, dikarenakan Pemohon Banding baru saja memperoleh surat ijin dari BKPM
tersebut pada tahun 2011.

JA
bahwa berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang Undang RI Nomor 36 Tahun
2008, Pasal 9 ayat (1) huruf e mengatur sebagai berikut:

PA
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.

N
dan sesuai Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf e UU Nomor 36 Tahun 2008 disebutkan sebagai
berikut :

ILA
pemberian natura dan kenikmatan berikut ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi
kerja dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang menerimanya:

1. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan
dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut dalam rangka menunjang kebijakan
AD
pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil.

bahwa Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 83/PMK.03/2009 tentang Penyediaan Makanan


Dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta Penggantian Atau Imbalan Dalam Bentuk Naturan
Dan Kenikmatan Di Daerah Tertentu Dan Yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan Yang
NG

Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja, merupakan peraturan sebagai
pelaksanaan dari Pasal 9 Ayat (1) huruf e UU RI Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan a quo, dimana disebutkan dalam :

Pasal 2 huruf b sebagai berikut :


PE

Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja
dan bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya adalah Penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan
pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong
pembangunan di daerah tersebut,
AT

Pasal 4 ayat (1) dan (2) PMK 83/2009 a quo mengatur sebagai berikut :
1. Penggantian atau imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah sarana dan
fasilitas di lokasi kerja untuk :
a. tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan keluarganya;
RI

b. pelayanan kesehatan;
c. pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya;
d. peribadatan;
e. pengangkutan bagi Pegawai dan Keluarganya;
TA

f. olahragi bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power boating, pacuan kuda,
dan terbang layang,
sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus
menyediakannya sendiri.
RE

2. Daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah daerah yang secara
ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi
pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui
darat, laut maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi
K

kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan
masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai
SE

kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral,

Dan sesuai Pasal 6 disebutkan sebagai berikut :


Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis tata cara pemberian dan penetapan besaran
kupon makanan dan/atau minuman bagi Pegawai, kriteria dan tata cara penetapan daerah
tertentu, dan batasan mengenai sarana dan fasilitas di lokasi kerja, diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak.
bahwa Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-51/PJ/2009 tentang Tata Cara Pemberian
dan Penetapan Besaran Kupon Makanan dan/atau Minuman Bagi Pegawai, Kriteria dan Tata
Cara Penetapan Daerah Tertentu, dan Batasan Mengenai Sarana dan Fasilitas Di Lokasi Kerja,
merupakan ketentuan lebih lanjut sebagai pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan RI
Nomor 83/PMK.03/2009.

bahwa tidak diterbitkannya Keputusan Penetapan Daerah Terpencil sebelum tahun 2011, karena
alasan Wajib Pajak tidak melampirkan Surat Persetujuan Tetap atau surat ijin dari BKPM atau
instansi berwenang terkait, menurut Majelis merupakan masalah tidak dipenuhinya salah satu

K
persyaratan administratif dalam permohonan penetapan desa tertentu sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 5 ayat (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-213/PJ./2001, namun
secara substansi, lokasi perkebunan Pemohon Banding yang terletak di Desa Sawahan dan Desa

JA
Bagendang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah merupakan daerah yang memiliki prasarana
ekonomi yang kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum sebagaimana
pernyataan Pemohon Banding di persidangan.

PA
bahwa faktanya pada tahun 2011 telah diterbitkan Keputusan Penetapan Daerah Terpencil yaitu
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-2237/WPJ.07/2011 tanggal 12 September 2011 atas
Desa Sawahan dan Desa Bagendang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, sehingga
menurut Majelis, hal ini menunjukkan bahwa lokasi tersebut sudah merupakan daerah Terpencil
pada tahun-tahun sebelumnya termasuk tahun yang menjadi sengketa yaitu tahun pajak 2010,
dan Majelis dapat meyakini bahwa lokasi perkebunan tersebut dapat dikategorikan sebagai

N
daerah terpencil.

ILA
bahwa pendapat Terbanding yang menyatakan Keputusan Penetapan Daerah Terpencil yang
diterbitkan Tahun 2011 atas Desa Sawahan dan Desa Bagendang, Kotawaringin Timur,
Kalimantan Tengah tidak serta merta menjadikan lokasi tersebut bukan daerah Terpencil pada
tahun – tahun sebelumnya (termasuk tahun sengketa tahun pajak 2010), menurut Majelis tidak
tepat, oleh karena apabila pada tahun pajak 2011 saja lokasi perkebunan Pemohon Banding
masih berstatus daerah terpencil maka untuk tahun pajak 2010 dan sebelumnya tentu lokasi
AD
perkebunan Pemohon Banding juga masih memiliki kondisi yang sama dengan tahun 2011.

bahwa dalam hal lokasi perkebunan Pemohon Banding yaitu pada Desa Sawahan dan Desa
Bagendang di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah merupakan daerah tertentu yang sudah
memenuhi kriteria daerah terpencil karena ketiadaan sarana transportasi dan ekonomi yang
NG

memadai, dan sudah ditetapkan sebagai Daerah Terpencil sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 4 ayat (2) PMK 83/2009 a quo, maka Majelis berpendapat bahwa sudah
seharusnya biaya penyusutan atas pembangunan fasilitas perumahan bagi karyawan di lokasi
perkebunan yang dikeluarkan oleh Pemohon Banding dapat dibiayakan, sehingga menurut
Majelis atas pemberian natura/kenikmatan yang diterima pegawai termasuk kedalam biaya yang
PE

dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 9 Ayat (1)
huruf e besera Penjelasannya UU PPh No. 36/2008 jo Pasal 2 huruf b dan Pasal 4 ayat (1) PMK
83/2009 a quo.

bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan penilaian Majelis atas bukti-bukti dan keterangan yang
AT

diberikan oleh para pihak yang terungkap di dalam persidangan serta peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku, Majelis berkeyakinan bahwa dalil Terbanding tidak tepat, oleh
karena itu koreksi fiskal positif yang dilakukan oleh Terbanding atas selisih penyusutan komersial
di atas penyusutan fiskal aktiva tetap atas fasilitas- fasilitas (natura) yang dinikmati/dipakai oleh
karyawan yang tidak didukung dengan Surat Keputusan Penetapan sebagai daerah terpencil
RI

sebesar Rp2.396.568.748,00 tidak dapat dipertahankan.


TA

4. Koreksi Positif atas Penyesuaian Fiskal Negatif atas Selisih Amortisasi Komersial di bawah
Amortisasi Fiskal Leasehold Land yaitu atas biaya pengurusan Hak Guna Usaha (HGU)
RE

atas tanah yang tidak dapat menunjukkan dokumen pendukung sebesar


Rp1.206.939.442,00.

bahwa Terbanding melakukan koreksi atas biaya amortisasi Leasehold Land karena menurut
Terbanding pengeluaran yang dilakukan oleh Pemohon Banding terkait dengan perolehan atau
K

biaya pengurusan HGU sehingga tidak dapat dilakukan penyusutan/amortisasi, sebagaimana


ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU PPh, yang menyebutkan sbb :
SE

Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau


perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna
usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-
bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
Penjelasan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2)
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta
berwujud melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik,
termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali
tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau
dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena
penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan
genteng, perusahaan keramik, atau perusahaan batu bata.

K
bahwa yang dimaksud dengan "pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak
guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali" adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna

JA
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut
dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya, sedangkan biaya perpanjangan hak guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak
tersebut.

PA
bahwa menurut Terbanding, terkait dengan biaya amortization leasehold land, Pemohon Banding
tidak meminjamkan dokumen sampai dengan berakhirnya proses keberatan, dan saat
persidangan Pemohon Banding menunjukkan sampel dokumen pendukung, namun menurut
Terbanding bukti dokumen pendukung yang disampaikan oleh Pemohon Banding tidak memadai
untuk meneliti substansi pengeluaran yang terjadi untuk mengambil kesimpulan bahwa biaya yang

N
diakui oleh Pemohon Banding sebagai Ganti Rugi Tanam Tumbuh (GRTT) adalah ada dan sesuai
dengan jumlahnya.

ILA
bahwa oleh karena Pemohon Banding tidak dapat menyampaikan bukti dokumen pendukung
yang memadai, maka menurut Terbanding koreksi yang dilakukan telah sesuai dengan data dan
fakta yang ada dan telah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku.
AD
bahwa menurut Pemohon Banding, biaya dikapitalisasi sebagai Leasehold Land adalah biaya
yang dikeluarkan untuk ganti rugi lahan perkebunan yang merupakan tanah milik negara yang
dibayarkan pada masyarakat setempat atau lebih dikenal dengan istilah Ganti Rugi Tanam
Tumbuh (GRTT), sebagai bagian dari proses pembangunan kebun kelapa sawit, sesuai dengan
ijin lokasi yang dikeluarkan Bupati setempat. Setelah proses ganti rugi tersebut selesai dilakukan,
NG

maka barulah tahapan untuk mendapatkan izin hak atas tanah berupa HGU dapat dimulai.
bahwa dengan demikian, menurut pendapat Pemohon Banding biaya GRTT tersebut bukan
merupakan biaya perolehan atau pengurusan HGU tapi merupakan biaya sehubungan dengan
proses pembangunan kebun, dan jelas merupakan biaya yang terkait dengan kegiatan,
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan bagi perusahaan, terutama untuk
PE

pembangunan perkebunan kelapa sawit, yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun
sehingga biaya tersebut dikapitalisasi dan dibebankan sebagai biaya melalui amortisasi.

bahwa Pembayaran GRTT disyaratkan dalam Ijin Lokasi Nomor 844.466.42 tertanggal 27
Desember 2004 yang diterbitkan oleh Bupati Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, dimana
AT

dalam butir kedua angka 1 disebutkan sebagai berikut.


Perolehan tanah harus dilakukan secara langsung antara pihak- pihak yang berkepentingan
melalui jual beli dengan pembuatan akta jual beli dihadapan PPAT setempat atau dengan cara
pelepasan hak dihadapan PPAT setempat atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Kotawaringin Timur dengan pemberian ganti kerugian yang bentuk dan besarnya ditentukan
RI

secara musyawarah.

bahwa mengacu kepada ijin lokasi tersebut, maka untuk dapat melangsungkan kegiatan usaha
TA

perkebunan, Pemohon Banding wajib mengganti kerugian kepada masyarakat dalam bentuk
biaya GRTT. Berdasarkan hal tersebut, koreksi Positif atas Penyesuaian Fiskal Negatif atas
Selisih Amortisasi Komersial di bawah Amortisasi Fiskal Leasehold Land sebesar Rp
1.206.939.442,00 seharusnya dibatalkan.
RE

bahwa berdasarkan pemeriksaan dan penilaian Majelis atas bukti-bukti yang telah disampaikan
dan penjelasan para pihak di dalam persidangan, Majelis berpendapat bahwa, pada dasarnya
sengketa banding ini adalah sengketa yuridis terkait dengan pembebanan biaya
penyusutan/amortisasi atas biaya yang dikeluarkan untuk ganti rugi lahan perkebunan oleh
Pemohon Banding, yang menurut Terbanding biaya tersebut merupakan biaya perolehan dan
K

pengurusan tanah HGU yang tidak dapat dilakukan penyusutan/amortisasi.


SE

bahwa berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan


sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang Undang RI Nomor 36 Tahun
2008, Pasal 11 Ayat (1), disebutkan sebagai berikut :
Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau
perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna
usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam
bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.

Dimana dalam Penjelasan Pasal 11 Ayat (1) dan (2), disebutkan sebagai berikut :
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta
berwujud melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik,
termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali
tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau

K
dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena
penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan

JA
genteng, perusahaan keramik, atau perusahaan batu bata.

Yang dimaksud dengan "pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak guna
usaha, dan hak pakai yang pertama kali" adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna

PA
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut
dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya, sedangkan biaya perpanjangan hak guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak
tersebut.

bahwa merujuk pada Penjelasan Pasal 11 Ayat (1) dan (2) ketentuan a quo, secara jelas

N
dinyatakan bahwa pengeluaran yang tidak boleh disusutkan adalah pengeluaran untuk
memperoleh tanah hak termasuk yang brstatus Hak Milik, HGB, HGU, Hak Pakai yang pertama
kali, dimana pengertian pengeluaran untuk perolehan tanah hak tersebut secara khusus

ILA
dijelaskan pada paragraph kedua yaitu biaya perolehan tanah berstatus hak guna bangunan,
hak guna usaha, dan hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut dari
instansi yang berwenang untuk pertama kalinya.

bahwa berdasarkan ketentuan a quo, Majelis berpendapat bahwa pengeluaran yang tidak dapat
AD
dibebankan melalui penyusutan/amortisasi selama umur atau masa manfaat tanah tersebut
adalah pengeluaran yang terkait dengan pengurusan hak atas tanah tersebut untuk yang pertama
kali. Sedangkan pengeluaran yang dilakukan menurut Pemohon Banding bukan merupakan
pengeluaran untuk perolehan atau pengurusan HGU, tetapi merupakan pengeluaran berupa ganti
rugi atas lahan perkebunan yang merupakan tanah milik negara yang dibayarkan kepada
NG

masyarakat setempat sehubungan dengan proses pembangunan kebun, sebagaimana


dipersyaratkan dalam surat Ijin Lokasi Nomor 844.466.42 tertanggal 27 Desember 2004 yang
diterbitkan oleh Bupati Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.

bahwa di dalam persidangan, Pemohon Banding telah menyampaikan sampel dokumen terkait
PE

biaya ganti rugi tersebut atau Ganti Rugi Tanam Tumbuh (GRTT), namun menurut Terbanding
bukti dokumen pendukung yang disampaikan oleh Pemohon Banding tidak memadai untuk
meneliti substansi pengeluaran yang terjadi untuk mengambil kesimpulan bahwa biaya yang
diakui oleh Pemohon Banding sebagai Ganti Rugi Tanam Tumbuh (GRTT) adalah ada dan sesuai
dengan jumlahnya.
AT

bahwa terkait pendapat Terbanding a quo, Majelis berpendapat bahwa sengketa ini adalah
sengketa yuridis terkait dengan pembebanan biaya GRTT yang boleh atau tidak boleh disusutkan,
dan apakah GRTT termasuk biaya perolehan tanah HGU pertama kali atau biaya ganti rugi tanah
masyarakat yang akan digunakan sebagai perkebunan oleh Pemohon Banding, berdasarkan
RI

Pasal 11 Ayat (1) dan (2) UU PPh a quo, sehingga menurut Majelis, dari sampel dokumen yang
disampaikan oleh Pemohon Banding, telah cukup bagi Majelis untuk menyimpulkan bahwa
substansi dari pengeluaran GRTT tersebut memang ada dan berkaitan dengan biaya penggantian
lahan masyarakat, bukan merupakan biaya untuk pengurusan HGU yang pertama kali.
TA

bahwa berdasarkan hal tersebut, Majelis berpendapat bahwa biaya GRTT tersebut bukan
merupakan biaya perolehan atau pengurusan HGU tapi merupakan biaya sehubungan dengan
proses pembangunan kebun kelapa sawit, yang merupakan biaya yang terkait dengan kegiatan,
RE

mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan bagi perusahaan, yang mempunyai masa
manfaat lebih dari satu tahun sehingga biaya tersebut harus dikapitalisasi dan dibebankan
sebagai biaya melalui amortisasi, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Pemohon Banding.

bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan penilaian Majelis atas bukti-bukti dan keterangan yang
K

diberikan oleh para pihak yang terungkap di dalam persidangan serta peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku, Majelis berkeyakinan bahwa dalil Terbanding tidak tepat,
sehingga koreksi fiskal negatif yang dilakukan oleh Terbanding atas selisih amortisasi komersial di
SE

bawah amortisasi fiscal biaya Leasehold Land sebesar Rp1.206.939.442,00, tidak dapat
dipertahankan.

bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak disebutkan
dalam :
Pasal 69 ayat (1e) :
Alat bukti dapat berupa “pengetahuan hakim”, yang di Pasal 75 disebutkan adalah hal yang olehnya
diketahui dan diyakini kebenarannya.

Pasal 74 :
Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat
diterima oleh Majelis atau Hakim Tunggal.

Pasal 78 :
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan

K
peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan
Hakim.

JA
bahwa menurut memori penjelasan pasal 78 disebutkan :
Keyakinan Hakim di dasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan perpajakan.

PA
bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan penilaian Majelis atas bukti-bukti dan keterangan yang
diberikan oleh para pihak yang terungkap di dalam persidangan serta peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku, Majelis berkeyakinan bahwa dalil Terbanding tidak tepat, dan
koreksi Terbanding atas Penghasilan Netto PPh Badan sebesar Rp3.603.508.190,00 tidak dapat
dipertahankan, dan oleh karena itu Majelis berpendapat untuk mengabulkan seluruhnya
permohonan banding dari Pemohon Banding.

N
bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas berkas banding dan penjelasan para pihak di dalam

ILA
persidangan, diketahui bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam perkara banding ini adalah
koreksi Terbanding terhadap Penghasilan Netto PPh Badan sebesar Rp3.603.508.190,00, yang tidak
disetujui oleh Pemohon Banding, dengan rincian sebagai berikut :

No Sengketa Jumlah
(IDR)
AD
1 Koreksi Positif atas Penyesuaian Fiskal Positif atas Selisih 2.396.568.748,00
Penyusutan Komersial di atas Penyusutan Fiskal aktiva tetap
atas fasilitas- fasilitas (natura) yang dinikmati/dipakai oleh
karyawan yang tidak didukung dengan Surat Keputusan
NG

Penetapan sebagai daerah terpencil


2 Koreksi Positif atas Penyesuaian Fiskal Negatif atas Selisih 1.206.939.442,00
Amortisasi Komersial di bawah Amortisasi Fiskal Leasehold Land
yaitu atas biaya pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah
yang tidak dapat menunjukkan dokumen pendukung
Jumlah 3,603,508,190,00
PE

5. Koreksi Positif atas Penyesuaian Fiskal Positif atas Selisih Penyusutan Komersial di atas
Penyusutan Fiskal aktiva tetap atas fasilitas- fasilitas (natura) yang dinikmati/dipakai oleh
karyawan yang tidak didukung dengan Surat Keputusan Penetapan sebagai daerah
terpencil sebesar Rp2.396.568.748,00.
AT

bahwa menurut Terbanding, koreksi atas biaya penyusutan aktiva tetap fasilitas- fasilitas (natura)
yang dinikmati/dipakai oleh karyawan, dilakukan karena pengeluaran tersebut tidak didukung
dengan Surat Keputusan Penetapan sebagai daerah terpencil berdasarkan Pasal 6 Peraturan
RI

Menteri keuangan No. 83/PMK.03/2009 juncto Pasal 3 ayat (1) Peraturan Dirjen Pajak Nomor
PER- 51/PJ/2009.

bahwa koreksi dilakukan oleh Terbanding karena Pemohon Banding tidak dapat menyampaikan
TA

persetujuan penetapan daerah tertentu yang sesuai dengan tahun pajak dilakukannya
pemeriksaan, walaupun Pemohon Banding berpendapat bahwa dalam ketentuan terkait tidak
terdapat klausul yang menyebutkan keharusan akan adanya penetapan daerah tertentu sebagai
daerah terpencil, meskipun persetujuan penetapan daerah tertentu yang dapat disampaikan
adalah setahun setelah tahun pajak pemeriksaan, namun daerah tersebut memenuhi substansi
RE

sebagai daerah tertentu sehingga pengeluaran yang terkait dapat dikurangkan dari Penghasilan
Kena Pajak.

bahwa lokasi perkebunan Pemohon Banding ditetapkan sebagai daerah terpencil pada 12
K

September 2011 melalui Kep-2238/WPJ.07/2011 atau setahun setelah dilaksanakannya


pemeriksaan, dimana sebelum tahun 2011 Pemohon Banding telah mengajukan permohonan
pada tahun 2005, melalui surat nomor S-303/WPJ.07/BD.04/2006 tanggal 29 Maret 2006, namun
SE

permohonan tersebut tidak disetujui dengan alasan Wajib Pajak tidak melampirkan Surat
Persetujuan Tetap dari BKPM atau instansi berwenang terkait, sesuai Pasal 5 ayat (1) Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-213/PJ./2001 tanggal 15 Maret 2001.

bahwa alasan ditolaknya permohonan Pemohon Banding pada tahun 2005 atas penetapan desa
tertentu sebenarnya dikarenakan Pemohon Banding tidak melampirkan dokumen surat ijin dari
BKPM, yang merupakan persyaratan yang wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak yang melakukan
permohonan penetapan desa tertentu, karena sesuai Pasal 5 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor Per-51/PJ/2009, telah disebutkan dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memenuhi
kelengkapan yang diminta sampai dengan batas waktu yang ditentukan, maka permohonan Wajib
Pajak tidak dapat dipertimbangkan. Sehingga meskipun terdapat kesesuaian kriteria daerah
terpencil dengan instansi lain, namun penetapan daerah tertentu terkait dengan keperluan
perpajakan merupakan kewenangan sepenuhnya yang dimiliki Terbanding, dalam hal ini adalah
Direktorat Jenderal Pajak.

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh jo. Pasal 2 huruf b Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2009, pemberian natura dan kenikmatan yang dapat

K
dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi
Pegawai yang menerimanya adalah penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau
kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu.

JA
bahwa oleh karena Pemohon Banding tidak dapat menyampaikan penetapan daerah tertentu
sesuai dengan atau meliputi tahun pemeriksaan, maka koreksi yang dilakukan telah sesuai
dengan data dan fakta yang ada saat proses pemeriksaan dan sesuai ketentuan peraturan

PA
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi Terbanding terhadap biaya penyusutan
aktiva tetap atas fasilitas perumahan di lokasi perkebunan yang disediakan untuk karyawan,
karena fasilitas perumahan bagi karyawan perusahaan merupakan suatu keharusan mengingat
lokasi perkebunan perusahaan berada dilokasi terpencil dan tidak terdapat fasilitas tempat tinggal

N
yang berdekatan dengan lokasi perkebunan. Oleh karena itu, biaya-biaya yang dikeluarkan
sehubungan dengan pembangunan perumahan untuk karyawan termasuk biaya untuk

ILA
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan bagi perusahaan sudah seharusnya dapat
dibiayakan melalui metode penyusutan.

bahwa menurut Pemohon Banding, lokasi perkebunan Pemohon Banding yang terletak di Desa
Sawahan dan Desa Bagendang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah merupakan Daerah
Terpencil sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Perundangan sehingga atas
AD
natura/kenikmatan yang diterima pegawai termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto

bahwa Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf e UU No 36/2008 mengatur sebagai berikut:
“pemberian natura dan kenikmatan berikut ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi
NG

kerja dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang menerimanya:


1. penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan
dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut dalam rangka menunjang kebijakan
pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil;”
PE

bahwa Pasal 4 ayat (1) dan (2) PMK 83/2009 mengatur sebagai berikut :
3. Penggantian atau imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah sarana dan
fasilitas di lokasi kerja untuk:
a. tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan keluarganya;
b. pelayanan kesehatan;
AT

c. pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya;


d. peribadatan;
e. pengangkutan bagi Pegawai dan Keluarganya;
f. olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power boating, pacuan
kuda, dan terbang layang,
RI

sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus
menyediakannya sendiri.
TA

4. Daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah daerah yang secara
ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi
pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui
darat, laut maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi
kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan
RE

masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai
kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral.

bahwa menurut peraturan tersebut disebutkan selama daerah tersebut memenuhi kondisi dan
persyaratan sebagai daerah terpencil (prasarana ekonomi kurang memadai dan sulit dijangkau
K

transportasi umum) maka atas natura/kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan
pekerjaan di daerah terpencil dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
SE

bahwa menurut Pemohon Banding, lokasi perkebunan Pemohon Banding di Desa Sawahan dan
Desa Bagendang di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah merupakan daerah tertentu yang
sudah memenuhi kriteria daerah terpencil karena ketiadaan sarana transportasi dan ekonomi
yang memadai termasuk ke dalam persyaratan daerah terpencil yaitu memiliki prasarana ekonomi
yang kurang memadai dan sulit dijangkau transportasi umum.
bahwa menurut Pemohon Banding, tidak adanya prasarana ekonomi yang memadai di lokasi
kebun, meliputi :
15. Tidak terdapat jalan umum/jembatan di area kebun milik Pemohon Banding. Jalan
umum/jembatan terdekat berjarak 9 KM dari lokasi kebun;
16. Pada lokasi perkebunan yaitu Desa Sawahan dan Desa Bagendang juga tidak terdapat
prasarana ekonomi berupa pelabuhan/dermaga laut, udara dan air. bahwa adapun
pelabuhan/dermaga terdekat berjarak 40-43 KM dari lokasi perkebunan;
17. bahwa dalam lokasi perkebunan juga tidak terdapat listrik dari PLN dan air bersih dari PAM.
Kebutuhan listrik dan air diusahakan sendiri oleh Pemohon Banding. Perlu diketahui bahwa
listrik bersumber dari PLN dan air dari PAM berjarak 30 KM dari lokasi kebun;

K
18. Lokasi perkebunan jauh dari rumah penduduk sehingga tidak ada perumahan yang dapat
disewa pegawai. bahwa adapun jarak dari lokasi perkebunan ke rumah penduduk yang
dapat disewa sekitar 30 KM;

JA
19. bahwa dalam lokasi perkebunan di Desa Sawahan dan Desa Bagendang tidak terdapat
Rumah Sakit dan Poliklinik. Rumah sakit dan poliklinik terdekat dari lokasi perkebunan
berjarak 37 KM;
20. Sekolah berjarak 35 KM dari lokasi perkebunan Pemohon Banding. Sedangkan, Olahraga/

PA
hiburan berjarak 40 KM dari lokasi Pemohon Banding;
21. Tidak ada prasarana ekonomi berupa pasar di lokasi perkebunan Pemohon Banding. Pasar
terdekat berjarak 40 KM dari lokasi perkebunan;
bahwa Keputusan Penetapan Daerah Terpencil yaitu Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.
KEP-2237/WPJ.07/2011 tanggal 12 September 2011 diterbitkan Tahun 2011 atas Desa Sawahan
dan Desa Bagendang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, hal ini menandakan bahwa lokasi

N
tersebut sudah merupakan daerah Terpencil pada tahun-tahun sebelumnya termasuk tahun yang
menjadi sengketa yaitu tahun pajak 2010.

ILA
bahwa Pemohon Banding pernah mengajukan permohonan penetapan daerah terpencil di Tahun
2006 dan kemudian mengajukan kembali di Tahun 2011, dengan kronologis sebagai berikut :
a. Pemohon Banding mengajukan surat permohonan penetapan daerah terpencil pada tahun
2006 untuk lokasi perkebunan di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
j. bahwa berdasarkan informasi verbal dari manajemen, Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta
AD
Khusus menolak permohonan penetapan daerah terpencil pada tahun yang sama.
k. Badan Koordinasi Perubahan Modal (BKPM) menerbitkan izin prinsip perubahan penanaman
modal No. 28/1/IP/III/PMA/2010 pada 11 Februari 2010.
l. Surat permohonan No. 91/Pemohon Banding/Tax/VI/2011 tanggal 1 Juni 2011 di mana di
NG

dalam surat permohonan tersebut, Pemohon Banding melampirkan beberapa dokumen


sebagai pemenuhan persyaratan penetapan daerah terpencil, yaitu:
· Fotokopi surat persetujuan modal beserta rinciannya yang diterbitkan oleh Kepala BKPM;
· Fotokopi surat ijin lokasi dan peta lokasi;
· Fotokopi Laporan Keuangan tahun 2010;
· Pernyataan mengenai keadaan prasarana ekonomi dan sarana transportasi umum;
PE

m. Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus menerbitkan Kep. DJP No. KEP-
2238/WPJ.07/2011 tertanggal 12 September 2011 atas Desa Sawahan dan Desa
Bagendang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah yang menyatakan persetujuan lokasi
perkebunan Pemohon Banding sebagai daerah terpencil.
AT

bahwa berdasarkan pemeriksaan dan penilaian Majelis atas bukti-bukti yang telah disampaikan
dan penjelasan para pihak di dalam persidangan, Majelis berpendapat bahwa, pada dasarnya
sengketa banding ini adalah sengketa yuridis terkait dengan tidak diperolehnya persetujuan
penetapan daerah tertentu oleh Pemohon Banding yang sesuai dengan tahun pajak yang
RI

disengketakan yaitu tahun 2010, berupa Surat Keputusan Penetapan Daerah Terpencil yang
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

bahwa Keputusan Penetapan Daerah Terpencil tersebut terkait dengan biaya-biaya dan
TA

pemberian berupa natura/kenikmatan yang diberikan oleh Pemohon Banding kepada pegawai
berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu/terpencil, sehingga biaya-biaya
tersebut termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
RE

Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008 (UU PPh) beserta Penjelasannya, jo Pasal 2 huruf b Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 83/PMK.03/2009.

bahwa di dalam persidangan ke 6 tanggal 4 Mei 2017, terungkap fakta-fakta sebagai berikut :
K

- bahwa alasan ditolaknya permohonan Pemohon Banding pada tahun 2005 atas penetapan
desa tertentu menurut Terbanding disebabkan Pemohon Banding tidak melampirkan
dokumen surat ijin dari BKPM atau instansi berwenang terkait, sesuai Pasal 5 ayat (1)
SE

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-213/PJ./2001 tanggal 15 Maret 2001, sebagai
persyaratan yang wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak yang melakukan permohonan, dimana
persyaratan penetapan desa tertentu menurut Terbanding adalah mutlak.
- bahwa atas alasan belum adanya surat ijin dari BKPM tersebutlah mengapa Pemohon
Banding baru mengirim kembali permohonan kedua atas penetapan desa tertinggal pada
tahun 2011, dikarenakan Pemohon Banding baru saja memperoleh surat ijin dari BKPM
tersebut pada tahun 2011.

bahwa berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan


sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang Undang RI Nomor 36 Tahun
2008, Pasal 9 ayat (1) huruf e mengatur sebagai berikut:

Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan

K
Menteri Keuangan.
dan sesuai Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf e UU Nomor 36 Tahun 2008 disebutkan sebagai
berikut :

JA
pemberian natura dan kenikmatan berikut ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi
kerja dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang menerimanya:

PA
1. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan
dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut dalam rangka menunjang kebijakan
pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil.

bahwa Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 83/PMK.03/2009 tentang Penyediaan Makanan


Dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta Penggantian Atau Imbalan Dalam Bentuk Naturan

N
Dan Kenikmatan Di Daerah Tertentu Dan Yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan Yang
Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja, merupakan peraturan sebagai
pelaksanaan dari Pasal 9 Ayat (1) huruf e UU RI Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak

ILA
Penghasilan a quo, dimana disebutkan dalam :

Pasal 2 huruf b sebagai berikut :


Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja
dan bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya adalah Penggantian atau
AD
imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan
pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong
pembangunan di daerah tersebut,

Pasal 4 ayat (1) dan (2) PMK 83/2009 a quo mengatur sebagai berikut :
NG

1. Penggantian atau imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah sarana dan
fasilitas di lokasi kerja untuk :
a. tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan keluarganya;
b. pelayanan kesehatan;
c. pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya;
PE

d. peribadatan;
e. pengangkutan bagi Pegawai dan Keluarganya;
f. olahragi bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power boating, pacuan kuda,
dan terbang layang,
sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus
AT

menyediakannya sendiri.

2. Daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah daerah yang secara
ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi
pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui
RI

darat, laut maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi
kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan
masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai
TA

kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral,

Dan sesuai Pasal 6 disebutkan sebagai berikut :


Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis tata cara pemberian dan penetapan besaran
kupon makanan dan/atau minuman bagi Pegawai, kriteria dan tata cara penetapan daerah
RE

tertentu, dan batasan mengenai sarana dan fasilitas di lokasi kerja, diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak.

bahwa Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-51/PJ/2009 tentang Tata Cara Pemberian
dan Penetapan Besaran Kupon Makanan dan/atau Minuman Bagi Pegawai, Kriteria dan Tata
K

Cara Penetapan Daerah Tertentu, dan Batasan Mengenai Sarana dan Fasilitas Di Lokasi Kerja,
merupakan ketentuan lebih lanjut sebagai pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan RI
SE

Nomor 83/PMK.03/2009.

bahwa tidak diterbitkannya Keputusan Penetapan Daerah Terpencil sebelum tahun 2011, karena
alasan Wajib Pajak tidak melampirkan Surat Persetujuan Tetap atau surat ijin dari BKPM atau
instansi berwenang terkait, menurut Majelis merupakan masalah tidak dipenuhinya salah satu
persyaratan administratif dalam permohonan penetapan desa tertentu sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 5 ayat (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-213/PJ./2001, namun
secara substansi, lokasi perkebunan Pemohon Banding yang terletak di Desa Sawahan dan Desa
Bagendang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah merupakan daerah yang memiliki prasarana
ekonomi yang kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum sebagaimana
pernyataan Pemohon Banding di persidangan.

bahwa faktanya pada tahun 2011 telah diterbitkan Keputusan Penetapan Daerah Terpencil yaitu
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-2237/WPJ.07/2011 tanggal 12 September 2011 atas
Desa Sawahan dan Desa Bagendang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, sehingga
menurut Majelis, hal ini menunjukkan bahwa lokasi tersebut sudah merupakan daerah Terpencil
pada tahun-tahun sebelumnya termasuk tahun yang menjadi sengketa yaitu tahun pajak 2010,

K
dan Majelis dapat meyakini bahwa lokasi perkebunan tersebut dapat dikategorikan sebagai
daerah terpencil.

JA
bahwa pendapat Terbanding yang menyatakan Keputusan Penetapan Daerah Terpencil yang
diterbitkan Tahun 2011 atas Desa Sawahan dan Desa Bagendang, Kotawaringin Timur,
Kalimantan Tengah tidak serta merta menjadikan lokasi tersebut bukan daerah Terpencil pada
tahun – tahun sebelumnya (termasuk tahun sengketa tahun pajak 2010), menurut Majelis tidak

PA
tepat, oleh karena apabila pada tahun pajak 2011 saja lokasi perkebunan Pemohon Banding
masih berstatus daerah terpencil maka untuk tahun pajak 2010 dan sebelumnya tentu lokasi
perkebunan Pemohon Banding juga masih memiliki kondisi yang sama dengan tahun 2011.

bahwa dalam hal lokasi perkebunan Pemohon Banding yaitu pada Desa Sawahan dan Desa
Bagendang di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah merupakan daerah tertentu yang sudah

N
memenuhi kriteria daerah terpencil karena ketiadaan sarana transportasi dan ekonomi yang
memadai, dan sudah ditetapkan sebagai Daerah Terpencil sebagaimana dimaksud dalam

ILA
ketentuan Pasal 4 ayat (2) PMK 83/2009 a quo, maka Majelis berpendapat bahwa sudah
seharusnya biaya penyusutan atas pembangunan fasilitas perumahan bagi karyawan di lokasi
perkebunan yang dikeluarkan oleh Pemohon Banding dapat dibiayakan, sehingga menurut
Majelis atas pemberian natura/kenikmatan yang diterima pegawai termasuk kedalam biaya yang
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 9 Ayat (1)
huruf e besera Penjelasannya UU PPh No. 36/2008 jo Pasal 2 huruf b dan Pasal 4 ayat (1) PMK
AD
83/2009 a quo.

bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan penilaian Majelis atas bukti-bukti dan keterangan yang
diberikan oleh para pihak yang terungkap di dalam persidangan serta peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku, Majelis berkeyakinan bahwa dalil Terbanding tidak tepat, oleh
NG

karena itu koreksi fiskal positif yang dilakukan oleh Terbanding atas selisih penyusutan komersial
di atas penyusutan fiskal aktiva tetap atas fasilitas- fasilitas (natura) yang dinikmati/dipakai oleh
karyawan yang tidak didukung dengan Surat Keputusan Penetapan sebagai daerah terpencil
sebesar Rp2.396.568.748,00 tidak dapat dipertahankan.
PE

6. Koreksi Positif atas Penyesuaian Fiskal Negatif atas Selisih Amortisasi Komersial di bawah
AT

Amortisasi Fiskal Leasehold Land yaitu atas biaya pengurusan Hak Guna Usaha (HGU)
atas tanah yang tidak dapat menunjukkan dokumen pendukung sebesar
Rp1.206.939.442,00.

bahwa Terbanding melakukan koreksi atas biaya amortisasi Leasehold Land karena menurut
RI

Terbanding pengeluaran yang dilakukan oleh Pemohon Banding terkait dengan perolehan atau
biaya pengurusan HGU sehingga tidak dapat dilakukan penyusutan/amortisasi, sebagaimana
ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU PPh, yang menyebutkan sbb :
TA

Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau


perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna
usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-
RE

bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.

Penjelasan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2)


Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
K

penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta
berwujud melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik,
termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali
SE

tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau
dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena
penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan
genteng, perusahaan keramik, atau perusahaan batu bata.

bahwa yang dimaksud dengan "pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak
guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali" adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut
dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya, sedangkan biaya perpanjangan hak guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak
tersebut.

bahwa menurut Terbanding, terkait dengan biaya amortization leasehold land, Pemohon Banding
tidak meminjamkan dokumen sampai dengan berakhirnya proses keberatan, dan saat
persidangan Pemohon Banding menunjukkan sampel dokumen pendukung, namun menurut
Terbanding bukti dokumen pendukung yang disampaikan oleh Pemohon Banding tidak memadai

K
untuk meneliti substansi pengeluaran yang terjadi untuk mengambil kesimpulan bahwa biaya yang
diakui oleh Pemohon Banding sebagai Ganti Rugi Tanam Tumbuh (GRTT) adalah ada dan sesuai
dengan jumlahnya.

JA
bahwa oleh karena Pemohon Banding tidak dapat menyampaikan bukti dokumen pendukung
yang memadai, maka menurut Terbanding koreksi yang dilakukan telah sesuai dengan data dan
fakta yang ada dan telah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang

PA
berlaku.

bahwa menurut Pemohon Banding, biaya dikapitalisasi sebagai Leasehold Land adalah biaya
yang dikeluarkan untuk ganti rugi lahan perkebunan yang merupakan tanah milik negara yang
dibayarkan pada masyarakat setempat atau lebih dikenal dengan istilah Ganti Rugi Tanam
Tumbuh (GRTT), sebagai bagian dari proses pembangunan kebun kelapa sawit, sesuai dengan

N
ijin lokasi yang dikeluarkan Bupati setempat. Setelah proses ganti rugi tersebut selesai dilakukan,
maka barulah tahapan untuk mendapatkan izin hak atas tanah berupa HGU dapat dimulai.

ILA
bahwa dengan demikian, menurut pendapat Pemohon Banding biaya GRTT tersebut bukan
merupakan biaya perolehan atau pengurusan HGU tapi merupakan biaya sehubungan dengan
proses pembangunan kebun, dan jelas merupakan biaya yang terkait dengan kegiatan,
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan bagi perusahaan, terutama untuk
pembangunan perkebunan kelapa sawit, yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun
sehingga biaya tersebut dikapitalisasi dan dibebankan sebagai biaya melalui amortisasi.
AD
bahwa Pembayaran GRTT disyaratkan dalam Ijin Lokasi Nomor 844.466.42 tertanggal 27
Desember 2004 yang diterbitkan oleh Bupati Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, dimana
dalam butir kedua angka 1 disebutkan sebagai berikut.
Perolehan tanah harus dilakukan secara langsung antara pihak- pihak yang berkepentingan
NG

melalui jual beli dengan pembuatan akta jual beli dihadapan PPAT setempat atau dengan cara
pelepasan hak dihadapan PPAT setempat atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Kotawaringin Timur dengan pemberian ganti kerugian yang bentuk dan besarnya ditentukan
secara musyawarah.
PE

bahwa mengacu kepada ijin lokasi tersebut, maka untuk dapat melangsungkan kegiatan usaha
perkebunan, Pemohon Banding wajib mengganti kerugian kepada masyarakat dalam bentuk
biaya GRTT. Berdasarkan hal tersebut, koreksi Positif atas Penyesuaian Fiskal Negatif atas
Selisih Amortisasi Komersial di bawah Amortisasi Fiskal Leasehold Land sebesar Rp
1.206.939.442,00 seharusnya dibatalkan.
AT

bahwa berdasarkan pemeriksaan dan penilaian Majelis atas bukti-bukti yang telah disampaikan
dan penjelasan para pihak di dalam persidangan, Majelis berpendapat bahwa, pada dasarnya
sengketa banding ini adalah sengketa yuridis terkait dengan pembebanan biaya
penyusutan/amortisasi atas biaya yang dikeluarkan untuk ganti rugi lahan perkebunan oleh
RI

Pemohon Banding, yang menurut Terbanding biaya tersebut merupakan biaya perolehan dan
pengurusan tanah HGU yang tidak dapat dilakukan penyusutan/amortisasi.
TA

bahwa berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan


sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang Undang RI Nomor 36 Tahun
2008, Pasal 11 Ayat (1), disebutkan sebagai berikut :
Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau
RE

perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna
usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-
bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
K

Dimana dalam Penjelasan Pasal 11 Ayat (1) dan (2), disebutkan sebagai berikut :
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
SE

(satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta
berwujud melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik,
termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali
tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau
dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena
penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan
genteng, perusahaan keramik, atau perusahaan batu bata.

Yang dimaksud dengan "pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak guna
usaha, dan hak pakai yang pertama kali" adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut
dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya, sedangkan biaya perpanjangan hak guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak
tersebut.

bahwa merujuk pada Penjelasan Pasal 11 Ayat (1) dan (2) ketentuan a quo, secara jelas

K
dinyatakan bahwa pengeluaran yang tidak boleh disusutkan adalah pengeluaran untuk
memperoleh tanah hak termasuk yang brstatus Hak Milik, HGB, HGU, Hak Pakai yang pertama
kali, dimana pengertian pengeluaran untuk perolehan tanah hak tersebut secara khusus

JA
dijelaskan pada paragraph kedua yaitu biaya perolehan tanah berstatus hak guna bangunan,
hak guna usaha, dan hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut dari
instansi yang berwenang untuk pertama kalinya.

PA
bahwa berdasarkan ketentuan a quo, Majelis berpendapat bahwa pengeluaran yang tidak dapat
dibebankan melalui penyusutan/amortisasi selama umur atau masa manfaat tanah tersebut
adalah pengeluaran yang terkait dengan pengurusan hak atas tanah tersebut untuk yang pertama
kali. Sedangkan pengeluaran yang dilakukan menurut Pemohon Banding bukan merupakan
pengeluaran untuk perolehan atau pengurusan HGU, tetapi merupakan pengeluaran berupa ganti
rugi atas lahan perkebunan yang merupakan tanah milik negara yang dibayarkan kepada

N
masyarakat setempat sehubungan dengan proses pembangunan kebun, sebagaimana
dipersyaratkan dalam surat Ijin Lokasi Nomor 844.466.42 tertanggal 27 Desember 2004 yang

ILA
diterbitkan oleh Bupati Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.

bahwa di dalam persidangan, Pemohon Banding telah menyampaikan sampel dokumen terkait
biaya ganti rugi tersebut atau Ganti Rugi Tanam Tumbuh (GRTT), namun menurut Terbanding
bukti dokumen pendukung yang disampaikan oleh Pemohon Banding tidak memadai untuk
meneliti substansi pengeluaran yang terjadi untuk mengambil kesimpulan bahwa biaya yang
AD
diakui oleh Pemohon Banding sebagai Ganti Rugi Tanam Tumbuh (GRTT) adalah ada dan sesuai
dengan jumlahnya.

bahwa terkait pendapat Terbanding a quo, Majelis berpendapat bahwa sengketa ini adalah
sengketa yuridis terkait dengan pembebanan biaya GRTT yang boleh atau tidak boleh disusutkan,
NG

dan apakah GRTT termasuk biaya perolehan tanah HGU pertama kali atau biaya ganti rugi tanah
masyarakat yang akan digunakan sebagai perkebunan oleh Pemohon Banding, berdasarkan
Pasal 11 Ayat (1) dan (2) UU PPh a quo, sehingga menurut Majelis, dari sampel dokumen yang
disampaikan oleh Pemohon Banding, telah cukup bagi Majelis untuk menyimpulkan bahwa
substansi dari pengeluaran GRTT tersebut memang ada dan berkaitan dengan biaya penggantian
PE

lahan masyarakat, bukan merupakan biaya untuk pengurusan HGU yang pertama kali.

bahwa berdasarkan hal tersebut, Majelis berpendapat bahwa biaya GRTT tersebut bukan
merupakan biaya perolehan atau pengurusan HGU tapi merupakan biaya sehubungan dengan
proses pembangunan kebun kelapa sawit, yang merupakan biaya yang terkait dengan kegiatan,
AT

mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan bagi perusahaan, yang mempunyai masa
manfaat lebih dari satu tahun sehingga biaya tersebut harus dikapitalisasi dan dibebankan
sebagai biaya melalui amortisasi, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Pemohon Banding.

bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan penilaian Majelis atas bukti-bukti dan keterangan yang
RI

diberikan oleh para pihak yang terungkap di dalam persidangan serta peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku, Majelis berkeyakinan bahwa dalil Terbanding tidak tepat,
sehingga koreksi fiskal negatif yang dilakukan oleh Terbanding atas selisih amortisasi komersial di
TA

bawah amortisasi fiscal biaya Leasehold Land sebesar Rp1.206.939.442,00, tidak dapat
dipertahankan.

bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak disebutkan
dalam :
RE

Pasal 69 ayat (1e) :


Alat bukti dapat berupa “pengetahuan hakim”, yang di Pasal 75 disebutkan adalah hal yang olehnya
diketahui dan diyakini kebenarannya.
K

Pasal 74 :
Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat
SE

diterima oleh Majelis atau Hakim Tunggal.

Pasal 78 :
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan
Hakim.
bahwa menurut memori penjelasan pasal 78 disebutkan :
Keyakinan Hakim di dasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan perpajakan.

bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan penilaian Majelis atas bukti-bukti dan keterangan yang
diberikan oleh para pihak yang terungkap di dalam persidangan serta peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku, Majelis berkeyakinan bahwa dalil Terbanding tidak tepat, dan
koreksi Terbanding atas Penghasilan Netto PPh Badan sebesar Rp3.603.508.190,00 tidak dapat
dipertahankan, dan oleh karena itu Majelis berpendapat untuk mengabulkan seluruhnya
permohonan banding dari Pemohon Banding.

K
Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai
Kompensasi Kerugian.

JA
Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Tarif
Pajak.

PA
Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Kredit
Pajak.

Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Sanksi
Administrasi.

N
Menimbang : bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan
untuk mengabulkan seluruh banding Pemohon Banding sehingga jumlah

ILA
PPh Badan Tahun Pajak 2010 yang masih harus dibayar dihitung kembali
menjadi sebagai berikut:

Peredaran Usaha Rp 291.594.286.418


Harga Pokok Penjualan Rp 176.751.060.086
AD
Laba Bruto Rp 114.843.226.332
Biaya Usaha Rp 189.725.937.043
Penghasilan Neto dalam negeri Rp (74.882.710.711)
Penghasilan dari luar usaha Rp 100.403.955.387
NG

Penyesuaian Fiskal:
- Penyesuaian Positif
- Menurut Ketetapan Terbanding Rp 7.885.963.661
- Koreksi yang dibatalkan Majelis Rp 2.396.568.748
- Penyesuaian Positif Menurut Majelis Rp 5.837.558.839
PE

- Penyesuaian Negatif
- Menurut Ketetapan Terbanding Rp 33.793.082.639
- Koreksi yang dibatalkan Majelis Rp (1.206.939.442)
-Penyesuaian Negatif Menurut Majelis Rp 35.000.022.081
AT

Jumlah penyesuaian Rp (29.510.627.167)


Jumlah Penghasilan Neto Rp (3.949.717.994)
Kompensasi Kerugian Rp 0
RI

Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp 0


Penghasilan Kena Pajak Rp (3.949.717.994)
TA

PPh terutang Rp 0

Mengingat : Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan


ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan
sengketa ini.
RE

Memutuskan : Mengabulkan Seluruh banding Pemohon Banding terhadap Keputusan


Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-00296/KEB/WPJ.07/2016 tanggal 23
Maret 2016 tentang Keberatan Pemohon Banding atas Surat Ketetapan
K

Pajak Nihil Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak 2010 Nomor


00001/506/10/058/15 tanggal 30 Januari 2015, atas nama PT XXX,
sehingga penghitungan PPh Badan Tahun Pajak 2010 menjadi sebagai
SE

berikut:

URAIAN
Peredaran Usaha Rp 291.594.286.418
Harga Pokok Penjualan Rp 176.751.060.086
Laba Bruto Rp 114.843.226.332
Biaya Usaha Rp 189.725.937.043
Penghasilan Neto dalam negeri Rp (74.882.710.711)
Penghasilan dari luar usaha Rp 100.403.955.387

Penyesuaian Fiskal:
- Penyesuaian Positif US$ 5.837.558.839
- Penyesuaian Negatif US$ 35.000.022.081
Jumlah penyesuaian US$ (29.510.627.167)

K
Jumlah Penghasilan Neto US$ (3.949.717.994)
Kompensasi Kerugian US$ 0

JA
0
Penghasilan Tidak Kena Pajak US$
Penghasilan Kena Pajak US$ (3.949.717.994)
PPh terutang US$ 0

PA
Demikian diputus di Jakarta, berdasarkan musyawarah setelah pemeriksaan dalam persidangan
dicukupkan pada hari Kamis, tanggal 4 Mei 2017, oleh Hakim Majelis XVIB Pengadilan Pajak,
dengan susunan Majelis sebagai berikut:

N
Ruwaidah Afiyati, S.E., S.H., M.M., M.H., CfrA. sebagai Hakim Ketua,
Drs. Djoko Joewono Hariadi, M.Si. sebagai Hakim Anggota,
Anwar Syahdat, S.H., M.E. sebagai Hakim Anggota,

ILA
dengan dibantu oleh:
MR. Abdi Nugroho, S.H., M.M sebagai Panitera Pengganti,
AD
NG
PE
AT
RI
TA
K RE
SE

Anda mungkin juga menyukai