Anda di halaman 1dari 27

AK0063

MANAJEMEN PAJAK
Transaksi-Transaksi Khusus

ACCOUNTING PROGRAM
Overview
• Pada chapter ini, kita dapat mengetahui bagaimana
perlakuan pajak terhadap transaksi-transaksi
khusus seperti BOT, Leasing dengan hak opsi, Joint
Operating, Hospitality Industry, Yayasan Pendidikan,
dll.
Objectives
• Mahasiswa mengerti dan memahami perlakuan
pajak terhadap Built, Operate, & Transfer (BOT).
• Mahasiswa mengerti dan memahami perlakuan
pajak terhadap Leasing dengan hak opsi.
• Mahasiswa mengerti dan memahami perlakuan
pajak terhadap Joint Operation.
• Mahasiswa mengerti dan memahami perlakuan
pajak terhadap Hospitality Industry.
• Mahasiswa mengerti dan memahami perlakuan
pajak terhadap Yayasan Pendidikan.
Contents
1. Built, Operate, & Transfer (BOT)
2. Leasing dengan hak opsi
3. Jasa Operation
4. Hospitality Industry
5. Yayasan pendidikan dan tax planningnya
6. Jasa pelatihan / Jasa Event Organizer
7. Jasa konstruksi
1. Built, Operate & Transfer (BOT)
• BOT adalah bentuk perjanjian kerjasama yg dilakukan
antara pemegang hak atas tanah dengan investor yg
menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberi
hak kepada investor untuk mendirikan bangunan
selama masa perjanjian BOT dan mengalihkan
kepemilikan bangunan kepada pemegang hak atas
tanah setelah masa guna serah (BOT) berakhir.
• Bangunan dapat berupa perkantoran, apartemen, mall,
ruko, hotel, dll
• Ketentuan diatur dalam Keputusan Menkeu No.
248/KMK.04/1995 dan SE. 38/PJ.4/1995.
Perlakuan perpajakan :
a. Bagi Investor
1. Penghasilan berupa penerimaan sewa/penguasaan,
hotel/penerimaan lain sehubungan dengan
pengoperasian gedung.
2. Imbalan yang diterima dari pemegang hak atas tanah
apabila masa BOT diperpendek dan periode yg dijanjikan.
3. Biaya yg boleh dikurangkan adalah biaya sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 ayat 1 dan dengan memperhatikan
Pasal 9 ayat 1 UU No.17/2000.
4. Biaya pendirian bangunan diamortisasi secara garis lurus
sesuai BOT, dimulai pada saat bangunan digunakan.
5. Apabila periode BOT diperpendek dari periode yg telah
ditetapkan, maka sisa nilai buku bangunan diamortisasi
sekaligus pada saat berakhirnya BOT tsb.
b. Bagi pemegang hak atas tanah:
1. Pembayaran berkala yg diterima dari investor selama
masa BOT.
2. Bagian sewa / keuntungan dan penghasilan lainnya
sehubungan dengan perjanjian BOT.
3. Dalam hal bangunan yg didirikan oleh investor
sebagian diserahkan kepada pemegang hak atas
tanah, penyerahan tsb terutang PPh sebesar 5% dari
nilai yg tertinggi antara nilai pasar dan NJOP dari
bagian bangunan yg diserahkan.
4. Bangunan yg diserahkan oleh investor pada akhir
BOT, merupakan penghasilan bagi pemegang hak atas
tanah dan terutang PPh seperti pada butir 3 diatas.
5. Biaya yg boleh dikurangkan oleh pemegang hak atas
tanah selama periode BOT adalah biaya sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 ayat 1 dengan
memperhatikan Pasal 9 ayat 1 UU No.17/2000
Contoh 1:
Investor PT ABC mendirikan gedung perkantoran 12 lantai atas tanah milik PT PG
berdasarkan perjanjian bangun guna serah dengan biaya Rp. 30.000.000.000 utk
masa 15 tahun. Amortisasi yg dilakukan oleh PT ABC setiap tahun adalah Rp.
2.000.000.000 (Rp. 30.000.000.000:15)
Contoh 2:
Berdasarkan contoh 1, PT ABC pada akhir tahun kedua belas menyerahkan
bangunan kepada PT PG dengan diperpendeknya masa perjanjian tsb, kepada PT
ABC diberikan imbalan oleh PT PG sebesar Rp. 6.000.000.000 pada akhir tahun ke
dua belas (tahun berakhirnya masa perjanjian bangun guna serah) PT ABC
memperoleh tambahan penghasilan sebesar Rp.6.000.000.000 (Rp 30.000.000.000
– (12 x Rp.2.000.000.000).
Contoh 3:
Berdasarkan contoh 1, PT ABC pada tahun kesebelas menambah bangunan dengan
biaya Rp.20 M dan masa bangun guna serah diperpanjang 5 tahun sehingga
menjadi 20 tahun. Perhitungan amortisasi tahun ke-11 sbb:
- Sisa yg belum diamortisasi awwal tahun ke-11: Rp. 10.000.000.000
- Nilai perolehan hak atas penambahan bangunan tahun ke-11 Rp. 20 M
- Dasar amortisasi yg baru Rp. 30 M
- Masa amortisasi adalah 10 tahun (20 tahun – 10 tahun)
- Amortisasi setiap tahun mulai tahun ke-11: (Rp. 30 M : 10) = Rp. 3 M
• Dikecualikan dari pengenaan PPh sebesar 5 %
apabila pemegang hak atas tanah adalah
pemerintah
• Pembayaran PPh 5% oleh Wajib pajak Orang pribadi
bersifat final, bagi wajib pajak badan merupakan
pembayaran PPh pasal 25 yg dapat diperhitungkan
dengan PPh yg terutang utk tahun pajak yg
bersangkutan.
2. Leasing dengan hak opsi
Kriterianya sbb:
• Jumlah pembayaran lease selama periode lease
ditambah dengan nilai residu barang modal, harus
dapat menutup harga perolehan barang modal dan
keuntungan lessor.
• Masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal
golongan 1, 3 (tiga) tahun untuk barang modal gol II
& III, 7 (tahun) untuk golongan bangunan.
• Perjanjian sewa-guna-usaha memuat ketentuan
mengenai opsi bagi lessee.
Perlakuan pajak penghasilan bagi lessor:
a. Penghasilan lessor yg dikenakan PPh adalah sebagian dari
pembayaran sewa guna usaha dengan hak opsi yg berupa
imbalan jasa sewa guna usaha.
b. Lessor tidak boleh menyusutkan barang modal yg disewa-
guna-usahakan dengan hal opsi.
c. Jika masa sewa lebih pendek dari yg ditentukan maka DJP
melakukan koreksi atas pengakuan penghasilan pihak
lessor.
d. Lessor dapat membentuk cadangan penghapusan piutang
setinggi-tingginya 2,5% dari rata-rata saldo awal dan saldo
akhir piutang sewa-guna-usaha dengan hak opsi.
e. Kerugian yg nyata-nyata tidak dapat ditagih lagi,
dibebankan pada cadangan penghapusan yg telah
dibentuk pada awal tahun pajak bersangkutan
f. Jika cadangan berlebih, maka sisanya dihitung sebagai
penghasilan, jika kurang mencukupi utk menghapus
piutang maka dapat dibebankan sebagai biaya yg
dikurangkan dari penghasilan bruto.
Perlakuan pajak penghasilan bagi lessee:
a. Selama masa sewa, lessee tidak boleh melakukan
penyusutan sampai saat lessee menggunakan hak
opsinya utk membeli
b. Dasar penyusutan adalah nilai sisa barang modal
yg bersangkutan.
c. Pembayaran sewa yg dibayar oleh lessee (kecuali
pembebanan atas tanah) merupakan biaya yg
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto lessee.
d. Jika masa sewa lebih pendek dari yg ditentukan
maka DJP melakukan koreksi atas pembebanan
biaya sewa
e. Lessee tidak memotong PPh 23 atas biaya sewa
dengan hak opsi.
Perlakuan pajak diatas berbeda dengan standar
akuntansi yg berlaku. Perlakuan akuntansi
mengharuskan:
• Lessee harus mengkapitalisasi barang modal yg
dileassing dan menimbulkan utang leasing senilai
nilai wajar.
• Aktiva yg dileasing kemudian diamortisasi sesuai
umur ekonomis.
• Pembayaran pokok leasing mengurangi utang
leasing dan bunga leasing dan dibebankan sebagai
biaya tahun berjalan.
Dari sudut pandang tax planing, Leasing atau
Pembelian tunai yg menguntungkan?
Ilustrasi:
Perusahaan yg dalam posisi “untung”, Ketika
memutuskan pembelian aset alat berat utk
perkebunan akan lebih memilih pembelian secara
leasing dengan hak opsi tanpa memerlukan analisis
yg mendalam (perhitungan present value). Kenapa?
Alasannya adalah :
1. Penghematan pajak
2. Penghematan cash flow
• Penghematan pajak dapat dilakukan karena:
1. Masa leasing (lease term) lebih pendek dari masa
penyusutan fiskal atau umur ekonomis.
2. Nilai tunai (PV) dari dana yg bisa diterima sekarang
akan lebih menguntungkan dari dana yg diterima 4
tahun kemudian.
3. Pembelian tunai hanya bisa dibiayakan sejumlah
biaya penyusutannya saja selama masa penyusutan
(4-8 tahun). Cara pembelanjaan semacam ini jelas
tidak menguntungkan atau tidak efisien bagi
perusahaan.
• Penghematan cash flow dapat dilakukan karena:
1. Perusahaan tidak perlu mengeluarkan dana yg besar
sekaligus seperti pembelian tunai.
2. Gangguan cash flow dapat mengakibatkan stagnasi
kegiatan operasional perusahaan
Contoh 1
Pembelian mesin pabrik
Harga beli Rp. 1 M
Cicilan setiap bulan selama 2 tahun
Masa penyusutan komersial 8 tahun
Metode penyusutan GL
Bunga 12%/thn
Perhitungan Leasing
Harga beli mesin 1.000.000.000
DP 20% 200.000.000
Pokok pembiayaan (leasing) 800.000.000
Bunga selama 2 tahun x 800,000.000 192.000.000
992.000.000
Asuransi all risk 2.5%/2thn x 1.000.000.000 50.000.000
Total pokok pembiayaan + bunga + asuransi 1.042.000.000
Cicilan tiap bulan: 1.042.000.000/24 = 43.416.667
Uang muka(DP) = 200.000.000
Cicilan thn 1 (12 bln) : 43.416.667 x 12 = 521.000.005
Cicilan thn II (12 bln) : 43.416.667 x 12 = 521.000.005
FV anuitas 2 thn secara leasing 521.000.004 x 2.120 1.104.520.008
DP 200.000.000
Jumlah FV anuitas secara leasing selama 2 tahun 1.304.520.008
FV 2 thn secara tunai 800.000.000 x 1,2544 1.003.520.000
DP 200.000.000
Jumlah FV secara tunai selama 2 tahun 1.203.520.000

Kelebihan FV pembelian secara leasing dari FV secara tunai:


=1.304.520.008 - 1.203.520.000
=101.000.008
Contoh 2:
PV anuitas amortisasi leasing selama 2 tahun:
521.000.004 x 1.690 = 880.490.007
DP 200.000.000
Jumlah PV anuitas secara leasing selama 2 tahun 1.080.490.007
PV depresiasi 8 tahun 125.000.000 x 4,968 621.000.000
DP 200.000.000
Jumlah PV anuitas secara tunai selama 8 tahun 821.000.000

Kelebihan PV pembelian secara leasing dari PV secara tunai:


=1.080.490.007 - 821.000.000
=259.490.007
Dari contoh diatas pembelian secara leasing lebih menguntungkan
daripada pembelian secara tunai.
3. Joint Operation
Pengertian JO (surat No. S-823/PJ.321/2002 tertanggal 24 Okt 2002:
• JO adalah perkumpulan dua badan atau lebih yang bergabung utk
menyelesaikan suatu proyek, penggabungan ini bersifat
sementara sampai proyek tsb selesai.
• Merupakan subjek dari pengenaan PPh badan, namun
pengenaannya tetap dikenakan atas penghasilan yg diperoleh
pada masing-masing badan yg bergabung sesuai dengan porsi
pekerjaan/penghasilan yg diterima.
• Pemberian NPWP semata-mata utk keperluan pemungutan dan
pemotongan PPh 21,23/26, dan PPN.
• Pembukuan yg terpisah dari masing-masing badan yg bergabung
dalam JO dapat dilakukan. Ketentuan ini mencakup dan berlaku
bagi penghasilan dari proyek bantuan luar negeri
4. Hospitality Industry
Beberapa contoh hospitality industry:
1. Golf
2. Hotel
Perlakuan pajak terhadap industri golf:
• Dengan diberlakukan nya UU no 28 tahun 2009 tentang Pajak &
Retribusi daerah, industri golf termasuk dalam Pajak daerah yg dikenai
pajak hiburan.
• Padahal sebelum UU tsb terbit, lapangan golf merupakan Objek PPN
(pajak pusat) dimana PPN Masukan dapat dikreditkan.
• Konsekuensi diberlakukannya UU no 28 tahun 2009 tsb, PPN masukan
lapangan golf menjadi tidak dapat dikreditkan oleh perusahaan golf dan
harus dibiayakan sehingga menambah beban industri golf.
• Keberadaan industri golf dalam UU PPN No 42 tahun 2009 masih belum
dicabut sehingga atas penyerahannya terutang PPN
Perlakuan pajak terhadap industri hotel:
• Dengan diberlakukannya UU no 28 tahun 2009, praktis tidak
ada lagi peluang bagi industri hotel utk menerbitkan PPN
utk pendapatan usahanya.
• Berdasarkan pasal 32 ayat 3 UU Pajak & Retribusi Daerah
No 28 tahun 29, ketentuan yg tidak termasuk objek pajak
hotel telah diperluas cakupannya dari peraturan
sebelumnya (PP.65/2001) hingga mencakup seluruh
penyewaan dihotel, diantaranya dengan cara mengeliminasi
yg tidak termasuk objek pajak, yakni:
a. Penyewaan rumah atau kamar, apartemen, dan atau
fasilitas tempat tinggal lainnya yg tidak menyatu dengan
hotel.
b. Fasilitas olahraga & hiburan yg disediakan dihotel yg
dipergunakan oleh bukan tamu hotel dengan
pembayaran.
c. Pertokoan, perkantoran, perbankan, salon yg
dipergunakan umum di hotel.
5. Yayasan Pendidikan
• Yayasan pendidikan merupakan salah satu badan yg mendapatkan
fasilitas pajak.
• Dalam UU PPh, fasilitas pajak ini diatur dalam KEP-87/PJ./1995.
kemudian dituangkan dalam batang tubuh UU PPh yakni pasal 4 ayat (3)
huruf m. selanjutnya pada 22 april 2009 terbit PMK Nomor
80/PMK.03/2009 dan Peraturan Dirjen Pajak No.44/PJ/2009 yg
merupakan ketentuan pelaksanaan dari UU PPh tsb.
• Dalam aturan pelaksanaan ini dapat disimpulkan bahwa sisa lebih yg
diterima atau diperoleh kedua badan/lembaga nirlaba tsb akan
dikecualikan dari objek PPh apabila sisa lebih yg diperoleh badan atau
lembaga nirlaba yg ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan
prasarana kegiatan pendidikan dan atau litbang yg diselenggarakan
bersifat terbuka kepada pihak manapun dalam jangka waktu paling lama
4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih tsb.
• Kontradiktif aturan yg terjadi adalah apabila biaya pendidikan &
pelatihan seperti beasiswa baik dalam negri maupun luar negri
merupakan deductible expense, sementara biaya litbang apabila
dilakukan di luar negri, biaya tsb menjadi nin deductible expense.
6. Jasa Pelatihan / EO
• Dalam PMK disebutkan bahwa jasa penyelenggara kegiatan
(EO) adalah kegiatan usaha yg meliputi penyelenggaraan
pameran, konvensi, pagelaran musik, pesta, seminar,
peluncuran produk, konfrensi pers, dan kegiatan lain yg
memanfaatkan jasa penyelenggaraan kegiatan (PMK No.
244/PMK.03/2008)
• Karyawan yg trampil dan ahli merupakan modal yg sangat
penting dalam persaingan usaha jasa. Mereka merupakan
aset perusahaan. Menurut UU PPN, batasan jasa pendidikan
meliputi:
1. Jasa penyelenggara pendidikan sekolah, seperti
pendidikan umum, kejuruan, pendidikan luar biasa,
kedinasan, keagamaan, akademik dan profesional.
2. Jasa pendidikan luar sekolah.
Aspek perpajakan terhadap:
a. Jasa EO
UU PPN menyatakan bahwa Jasa EO merupakan objek
pajak PPN dengan tarif 10%. Dari sisi UU PPh Pasal 23
ayat (1) huruf c angka 2 UU No. 7 tahun 1983 yg telah
beberapa kali diubah menegaskan bahwa jasa EO
merupakan objek PPh 23 dengan tarif 2% dari jumlah
bruto tidak termasuk PPN
b. Jasa pendidikan/pelatihan publik
Jasa pendidikan/pelatihan publik merupakan jenis jasa
tertentu yg tidak dikenai PPN. dari sisi UU PPh No 36
tahun 2008 berkenaan dengan jasa dibidang pendidikan
dan jasa dibidang tenaga kerja yg bukan jenis jasa yg
dikenakan PPN atau pemotongan PPh Pasal 23.
7. Jasa Konstruksi
1. Atas penghasilan yg diterima WP DN dan BUT dibidang
jasa konstruksi yg memenuhi kualifikasi usaha kecil dan
bersertifikat dengan pengadaan sampai 1 milyar,
dikenakan tarif PPh yg bersifat final dengan tarif:
a. 2% dari bruto yg diterima WP penyedia jasa pelaksanaan
konstruksi
b. 4% dari bruto yg diterima WP penyedia jasa perencanaan
konstruksi
c. 4% dari bruto yg diterima WP penyedia jasa pengawasan
konstruksi.
2. Atas penghasilan yg diterima WP DN dan BUT dibidang
jasa konstruksi yg tidak memenuhi kualifikasi usaha kecil
dan bersertifikat dengan pengadaan sampai 1 milyar,
dikenakan tarif PPh pasal 23.
Pertimbangan yg mendasari penetapan penghasilan yg
dapat dikenai pajak bersifat final antara lain:
• Kesederhanaan dalam pemungutan pajak.
• Berkurangnya beban administrasi baik bagi WP maupun
DJP.
• Pemerataan dalam pengenaan pajaknya.
• Memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter,
atas penghasilan-penghasilan tsb perlu diberikan
perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya.

Anda mungkin juga menyukai