Anda di halaman 1dari 35

Lelaki Tua dan Takdir

Diminggu sore, pada akhir bulan agustus di tepi


sungai Foghlaw, seorang lelaki tua duduk tenang di
bawah siraman sinar matahari berwarna merah
keemasan, ia tampak menikmati keadaannya.
Sementara itu, sungai di dekatnya memantulkan
warna senja dengan gemerlap yang menawan,
pohon-pohon tua yang menjulang tinggi menambah
keindahan di sore itu. Tampak wajah lelaki tua di
sana ikut bercahaya, ia mengenakan kacamata kecil,
kuno, dan polos, dengan kerutan vertikal yang
kentara serta amat dalam di dahinya. Di udara,
aroma kesegaran menerpa tubuhnya yang
berlindung dibalik kemeja putih yang terasa bersih
dengan balutan dasi bermotif garis-garis dan celana
formal abu-abu muda. Apa yang dikenakannya itu
terkesan simpel namun rapi, mencerminkan
kesederhanaan yang dihiasi keanggunan, sejalan
dengan gaya hidupnya sejak dulu.
Lelaki tua itu, duduk layaknya seseorang yang
meratap; otot-otot punggung yang dibiarkan
mengendur memperlihatkan bagian belakang
tubuhnya yang tampak melengkung secara wajar.
Posisi itu membuat kepalanya sedikit menunduk,
sementara, kedua tangannya yang masih cukup kuat
disandarkan pada lutut dengan sikap yang santai, dan
tak ketinggalan kaki-kakinya yang jenjang, ia
landaskan di atas tanah yang ditumbuhi rumput hijau
dan memiliki permukaan yang halus. namun setelah
beberapa menit berlalu, ia kembali duduk dengan
normal.

Siapa sangka dalam kenormalan itu, ia menata


tubuhnya begitu elegan di atas kursi, padahal ia
duduk seperti orang pada umumnya. Entah hal apa
yang membuatnya begitu mempesona, satu hal yang
pasti, ia adalah seorang yang terpelajar. Tak sampai
di situ, ia terkadang suka membuat kejutan, dan lihat
sekarang, ia mengubah posisi duduknya. kali ini,
sikapnya yang kelewat tegak saat duduk, lebih
mendekati seseorang yang sedang mengalami
masalah pada lehernya. Namun sikapnya itu
dibarengi dengan keseimbangan yang luar biasa, ia
mampu bertahan cukup lama dalam posisinya itu,
lelaki tua lain seusianya mana mampu melakukan hal
yang sama, dalam waktu yang bisa dibilang
mengimbangi.

Setelah beberapa lama, lelaki tua itu terlihat


mengubah posisi duduknya lagi. Dengan perlahan, ia
menyandarkan punggungnya lebih dalam pada
sandaran kursi yang terbuat dari kayu ek, tampaknya
ia merasa lelah. Ia kemudian meluruskan kedua
kakinya ke depan, dan segera setelah itu, rasa lega
menghampiri sekujur tubuhnya. Sambil tetap
membiarkan dirinya hanyut dalam kenyamanan itu,
ia meraih tas kecil yang tergeletak tepat di samping
tempat duduknya yang kosong. Sebuah novel klasik
karya Miguel de Cervantes diambilnya dari dalam tas
itu, tampak buku berjudul Don Quixote Jilid 2 yang
belum sempat ia selesaikan sewaktu berada di
Meksiko. Dan inilah saat yang tepat untuk
membacanya kembali.
Lelaki tua itu, bukanlah tipe orang yang suka
membaca buku berlama-lama. Baginya, cukup
dengan melibatkan intuisi, kita akan memperoleh
keseluruhan isi tanpa harus menyelesaikan bacaan.
Hal itu dapat ia lakukan bukan karena ia sebelumnya
telah melatih intuisinya agar dapat digunakan untuk
hal apapun, melainkan intuisinya bekerja begitu saja.
Dirasa membosankan, ia hentikan aktivitas
membacanya, dan kemudian mulai menata posisi
duduknya kembali. Dari tempat duduknya,
pandangannya ia arahkan pada jembatan gantung
yang cukup panjang membelah sungai di bawahnya.
Dari caranya menatap mengekspresikan suatu
kenangan yang terpatri dalam benaknya. Mungkin, di
balik tatapan itu, tersimpan kisah-kisah masa lalu
yang menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan
hidupnya.

Mata lelaki tua itu penuh makna, mata yang


mencerminkan rentetan pengalaman dan
pemahaman tentang hidup yang telah dihayatinya.
Seolah-olah, jembatan gantung berpulas merah di
hadapannya adalah simbol kehidupannya yang
panjang dan berliku dengan ujian dan kebahagiaan
yang menjadi bagian dari aliran darahnya.

Sebentar ia merubah arah pandangannya, seperti


mencari sesuatu yang lebih dalam dibalik objek yang
menjadi pusat perhatiannya. Tak lama kemudian, Ia
seperti digerakkan oleh sesuatu yang mengembalikan
pandangannya ke arah semula; memperhatikan
setiap orang yang melintas baik di pinggir sungai
maupun di atas jembatan. Kegiatan itu ia lakukan
sepanjang sore di hari minggu dengan mengenakan
setelan pakaian yang sama. Dan hari ini, tepat 15
tahun ia melakukannya. Sebenarnya ia tidak sekedar
memperhatikan, tapi ia sedang mengamati orang-
orang menggunakan kemampuan khusus yang dapat
membedakan satu dengan yang lainnya dalam
sekejap, ia belajar kemampuan itu saat masih dalam
pelatihan pasukan elit Republik Taured. Ia
merupakan pensiunan 301 Royal Sil.

Ia masih mengamati dari kejauhan. Sikapnya yang


tak biasa tak jarang mengundang kecurigaan orang
lain untuk berpikir buruk tentangnya. Orang-orang
mungkin akan menganggapnya sebagai penjahat
dengan mata yang terus menatap tajam, orang lain
tidak tahu maksud dari yang dilakukannya adalah tak
lain dari upaya menemukan kembali makna hidup
yang telah tercerai-berai dalam sebuah ikatan janji,
dan jembatan itu adalah gemboknya.

Orang-orang secara bergantian lalu lalang


menyebrangi jembatan. Dan lelaki tua itu masih
tetap dengan pengamatannya, ia terus mencari di
antara orang-orang itu, mencari keberadaan
seseorang yang hingga kini masih belum ditemukan.
Ia memiliki keyakinan yang masih dipegang teguh
olehnya, bahwa akan ada satu dari sekian banyak
orang di sana yang menjadi kunci kebahagiaannya,
dan ia merasa harus bisa menemukannya. Entah
bagaimana ia bisa mendapatkan keyakinan semacam
itu. Dan selama 15 tahun ini, belum ada tanda-tanda
orang yang dimaksud akan menampakkan diri, dan ia
sendiri tak mengetahui bagaimana rupa orang itu
sekarang. Satu hal yang pasti akan ia gunakan untuk
mengidentifikasi orang yang ia maksud sekaligus
sebagai tanda pengenal adalah ekspresi wajah, ia
paham betul bagaimana orang itu di masa lalu
menampilkan diri dihadapannya.

Sudah lebih dari satu jam lamanya ia dengan


tekun duduk dan mengamati. Sesekali lelaki tua itu
meneguk minuman bersoda yang dibelinya tak jauh
dari taman yang berada tepat di seberang sungai.
Dan seperti biasa, harapannya akan semakin
menguat sesaat setelah berhasil membelinya, tak
jarang juga ia kehabisan stok minuman yang dijual
dihari itu, dan karenanya bisa menjadi penyebab
semangatnya mengendur. Begitu kuat memang
pengaruh dari minuman bersoda dan begitu kuat
juga pengaruhnya dalam memperburuk kesehatan
lelaki tua itu.

Angin sore semakin terasa menerpa tubuh dan


semangatnya. Matahari dikejauhan mulai merosot
menuju ufuk, menciptakan siluet lelaki tua yang
terlukis dalam pemandangan senja.

Orang-orang di sekitar yang memang sudah terlalu


sering melihat kehadiran lelaki tua itu di sana,
terutama para penjaga sungai berangsur mulai
merubah pandangannya. Yang awalnya menilai lelaki
tua itu sebagai seorang kakek cabul dengan tatapan
beringas ke setiap wanita yang melintasi jembatan,
mulai memperhatikan ketekunan dan kesabaran
lelaki tua itu. Mereka tak lagi melekatkan kata 'cabul'
pada dirinya, kata yang lebih sering mereka
sematkan sekarang adalah 'lelaki tua dengan
keteguhan hati yang kuat.' Dan ada pula di antara
mereka yang mencoba berinteraksi dan berhasil
membangun dialog dengannya mendapati kenyataan
lain bahwa lelaki tua itu merupakan seorang bijak
dengan pemahaman mendalam. Penilaian ini masih
bisa diragukan karena datang dari segelintir orang.

Akhirnya, banyak di antara mereka yang ikut


memperhatikannya, ada yang hanya sekedar merasa
penasaran dan ada juga memandang nya dengan
rasa hormat. Beberapa mungkin mencoba
membayangkan rasanya menjadi lelaki tua itu, tapi
banyak dari mereka mengaku menyerah, mereka tak
dapat membayangkan betapa melelahkannya
rutinitas itu dan serangkaian hal lain yang tak dapat
dipikirkan atau mungkin tak terpikirkan, Ia menjadi
suatu fenomena di tengah keramaian, memberi
nuansa lain di tepi sungai.

****

Pada saat yang bersamaan, di sebelah sana, yang


berjarak cukup jauh dari lelaki tua itu, seorang
pemuda berperawakan tinggi besar, tampak
melangkah santai menyusuri pinggiran sungai sambil
merasakan keindahan senja. Matanya yang berwarna
kecoklatan menangkap rangkaian keharmonisan yang
dihasilkan arus sungai dengan penuh kekaguman, tak
ada orang di sini yang memiliki kekaguman terhadap
arus sungai sebesar pemuda itu. Baginya, setiap detik
di tepi sungai membawanya lebih dekat dengan
kealamian yang menenangkan.

Ada hal lain yang jauh lebih luar biasa lagi ia


rasakan, ia tak mengetahui perasaan apa itu, baginya
perasaan itu asing, sesuatu yang tak ada dalam
pengalaman sebelumnya. Dan ia yakin bahwa di
belahan dunia lain manapun tak ada yang pernah
merasakan, dan bahkan tak ada dalam sejarah ilmu
pengetahuan yang mencatat perasaan itu.
Perasaan itu melebihi apapun juga, perasaan yang
terasa mendalam sekaligus dangkal dan sejauh ini
hanya itu yang dapat diungkapkan. Selain keindahan
dan kedamaian yang dihasilkan suara gemericik air di
sungai, masih banyak hal lain tak terduga dapat
dihasilkan darinya. Baginya, air bukan sekedar unsur
fisik, tetapi juga sumber pengetahuan baru mengenai
perasaan.

Pemuda itu terus melangkah lebih dekat menuju


jembatan, dan tentu sambil tetap sesekali menaruh
pandangannya ke arah sungai. Dalam langkahnya itu,
ia dibuat tertarik saat tidak sengaja mendengar
pembicaraan dua orang wanita yang membicarakan
lelaki tua yang masih duduk tenang di kursi depan
sana. Mereka, dengan suara pelan, menyinggung
kebiasaan lelaki tua itu yang selalu menyendiri di tepi
sungai disetiap minggu sore. Orang-orang tau akan
kebiasaannya, tapi bagi pemuda itu, ini kali pertama
ia mendengarnya.
Salah satu wanita berkata: "Apakah kau pernah
mendengar kabar lelaki tua yang disetiap minggu
sore duduk menghadap ke arah sungai sendirian?"

Wanita yang lain menjawab: "Iya, benar. Aku


penasaran apa yang membuatnya selalu kembali ke
tempat ini, dan mengapa harus di minggu sore,
apakah ia tidak bisa melakukannya di hari lain?"

"Aku tak tahu banyak mengenai cerita yang


melatar belakangi kebiasaannya itu, tapi ada yang
bilang, jika ia menunggu seseorang. Dan setahuku tak
ada yang mengetahui secara pasti mengapa ia selalu
duduk di sana disetiap minggu sore, siapa orang yang
ditunggu dan apa hubungannya dengan lelaki tua di
sana."

"Jika benar apa yang dikabarkan orang-orang


bahwa lelaki tua itu sedang menunggu seseorang,
pastilah ada kaitannya dengan wanita. Lelaki mana
yang rela menunggu selama bertahun-tahun tanpa
henti di tempat yang sama, jika bukan karena wanita,
bukankah begitu?"
"Iya, kau benar, pastilah seorang wanita. Tapi
anehnya mengapa ia begitu bodoh? Sudah tau
selama bertahun-tahun orang yang ditunggu tak
kunjung datang, masih saja bersikeras menunggu."

"Lelaki mana pula yang tidak bertindak bodoh bila


sudah menyangkut seorang wanita."

"Kau jangan lupa, sudah berapa banyak pria yang


telah kau buat bodoh."

Mendengar itu mereka berdua tertawa pelan.

"Aku dengar, lelaki tua itu bernama Suurhof,


Robert Suurhof lengkapnya. Dan mendengar
namanya itu mengingatkan pada tokoh fiksi dalam
novel Bumi Manusia karya sastrawan hebat
Indonesia, siapa nama lengkapnya aku lupa?"

"Pramoedya Ananta Toer, dia memang sastrawan


luar biasa. Dan lelaki tua itu, kabarnya memang
benar bernama Robert Suurhof."

Percakapan kedua wanita itu terus berlanjut, dan


pemuda itu merasa semakin tertarik dengan lelaki
tua yang ada di sana. Ia membayangkan bagaimana
kehidupan lelaki tua itu berdasarkan cerita yang baru
saja didengar, dan ia melanjutkan langkahnya yang
sempat terhenti. Lagi-lagi ia terus membayangkan,
dan dalam setiap langkahnya, timbul keinginan yang
semakin menguat untuk mempertimbangkan apakah
dia nantinya dapat mengetahui lebih banyak tentang
kehidupan lelaki tua tersebut. Menghampiri dan
mengajak berkenalan misalnya.

Langkahnya semakin dekat dengan jembatan, dan


agak kesamping ia bisa melihat sedikit lebih jelas
rupa lelaki tua itu. Wajah oval dengan sedikit
kemerahan tampak seperti daging yang terpanggang,
di antara bibir dan hidung mancungnya ditumbuhi
banyak rambut berwarna putih. Dari tempatnya
sekarang, antara ia dan lelaki tua itu hanya berjarak
kurang dari 10 meter. Terlihat jelas ia diguncang
kegugupan yang mulai menyelinap ke dalam langkah-
langkahnya. Meski demikian, hasratnya untuk
memahami lebih jauh tentang lelaki tua itu semakin
menguat.
Dengan hati yang berdebar, ia memutuskan untuk
mendekati lelaki tua itu. Tubuhnya tampak bergetar,
langkahnya menjadi semakin pelan, dan mukanya
terlihat pucat, rasa penasaran dan rasa takut yang
berbaur menjadikannya seperti itu. Serangkaian
hambatan itu tidak melunturkan keinginannya untuk
mengetahui lebih banyak tentang alasan di balik
kehadiran lelaki tua diminggu sore, dan apa yang
membuat tempat itu begitu istimewa baginya.

Langkah pertama yang diambilnya, masih tetap


terlihat gugup. Langkah kedua dari titik ia berdiri
sebelumnya mulai menunjukkan adanya tanda-tanda
mereda. Namun begitu, ia merasa terlalu membawa
banyak campuran perasaan, ia takut jika perasaan ini
tidak terkontrol dengan baik, justru akan berakibat
buruk pada rencananya untuk mendekati lelaki tua
itu, dan mungkin juga lelaki tua itu akan merasa
terganggu, dan itu sudah cukup menjadi alasan untuk
mengusir keberadaannya nanti. Hal itu juga sekaligus
bisa merusak apa yang menjadi keinginannya
terhadap lelaki tua itu, yakni: memperoleh
pengetahuan dan pengalaman baru.
Ia memahami betul bahwa setiap orang memiliki
cerita dan pengalaman yang unik, dan ia bisa
mengambil pelajaran berharga darinya. Ia dengan
penuh keyakinan dan kehati-hatian mencoba
mengontrol perasaannya itu, dan ia melangkah lebih
dekat lagi ke arah lelaki tua itu.

Dengan senyuman hangat, si pemuda menyapa


lelaki tua itu: "Selamat sore, Tuan. Apa boleh saya
duduk bergabung di sebelah anda?"

Lelaki tua itu, menatapnya penuh keramahan dan


dengan senyum lembut, membalas: "Selamat sore,
Nak. Tentu saja, silakan."

Mendengar persetujuan itu, membuat si pemuda


sangat senang dan bergegas menuju ke tempat
duduk kosong di sebelah lelaki tua itu, lalu, ia duduk.
"Terima kasih, Tuan. Sore ini begitu indah, sepertinya
sayang untuk dilewatkan dan akan lebih terasa
menyenangkan jika kita membaginya dengan
seseorang."
Lelaki tua itu tersenyum setuju. "Kau benar.
Keindahan ini akan terasa lebih utuh ketika
dibagikan. Mari kita nikmati senja ini bersama."
Lelaki tua itu menoleh, menghadapkan wajahnya
pada si pemuda yang baginya terlihat tak asing,
menggetarkan seluruh inderanya.

"Terima kasih, Tuan. Nama saya Robert Van


Arthur, senang rasanya bisa bertemu dengan Tuan,"
ucapnya sambil menjabat tangan lelaki tua itu.

"Salam kenal, Arthur. Aku Robert Suurhof, senang


juga bertemu denganmu. Mari kita nikmati
keindahan ini, akan lebih nikmat lagi jika ditemani
sebotol soda, ini untukmu, Nak," kata lelaki tua
sambil menyodorkan minuman bersoda, dan lagi ia
menghadapkan wajahnya ke wajah si pemuda yang
tampak menyenangkan untuk dipandang. Dan ia
senang melakukannya.

"Terima kasih banyak, Tuan," ucap pemuda sambil


mengambil minuman yang disodorkan padanya,
kemudian ia melanjutkan, "Jika aku boleh tahu, dan
tidak merasa keberatan, berapa umur Tuan saat ini?"
Lelaki tua itu, dengan tenang menjawab: "Usiaku
baru menginjak 63 tahun, Nak. Dan aku tak tahu
apakah akan bertambah atau tidak usiaku nanti.
Meski demikian, bagiku umur hanyalah masalah
pergantian angka." Kemudian lelaki tua itu
meneruskan, "Tapi dalam rentang pergantian itu,
terjadi pergerakan secara bertahap yang
membutuhkan waktu cukup panjang untuk sampai
pada pergantian berikutnya. Dalam pergantian itu,
tepat setelahnya, kita akan memasuki fase baru
kehidupan, di mana setiap orang menggunakan dan
memanfaatkan pertambahan umurnya yang akan
dijalani ditahun itu dengan beragam hal, sebelum
pada akhirnya akan dihadapkan pada pergantian
yang baru. Tapi pergantian itu, bukanlah sesuatu
yang akan terus berlangsung, adanya batas waktu
hidup manusia, menjadikan pergantian itu juga
sebagai sesuatu yang memiliki batasan."

Pemuda itu diam, berpikir dan menimbang


sejenak perkataan lelaki tua barusan. Ia setuju
dengan perkataan itu, namun ia merasa ada hal yang
terlewatkan, baginya umur bukan sekedar pergantian
angka, tapi lebih merupakan simbol pencapaian.
Pergantian hanya akan terjadi dan hanya bisa
dipahami, jika sudah mencapai batas maksimum, dan
batas maksimum itulah pencapaian yang dimaksud.
Meski lelaki tua itu menyinggung adanya fase baru
setelah pergantian yang mesti dijalani, tapi ia tidak
mempertegas bahwa fase tersebut merupakan jalan
menuju pada batas maksimum yang baru juga. Dan
dalam rentang itu, kita seperti seorang yang
diarahkan oleh takdir untuk menatap batas
maksimum itu, tapi kita yang mengetahui, seperti
lelaki tua itu bilang, adanya batas waktu hidup
manusia menjadikan kita diharuskan menggunakan
waktu dengan sebaik-baiknya. Itu menjadi alasan
yang kuat. Bisa jadi pencapaian kita dalam tahun itu
tidak sampai pada batas maksimum, sehingga
pergantian tidak dapat terjadi, karenanya bagi
mereka yang tidak sampai pada batas maksimum
yang baru, harus tetap dianggap memiliki
pencapaian, karena batas waktu hidup tak lain
adalah batas maksimum juga yang merupakan akhir
pencapaian dari kehidupan seseorang.
Lelaki tua itu mengarahkan pandangannya lagi
pada si pemuda, ia tahu bahwa ada yang sedang
dipikirkan.

Si pemuda memutuskan untuk tidak mengatakan


apa yang dipikirkannya, dan ia mengatakan:
"Alangkah mulia bila hidup dimanfaatkan sebaik-
baiknya. Dan tak sedikit juga dari manusia
menggunakan jatah hidupnya yang hanya sebentar
dengan melakukan hal-hal yang buruk."

"Kau benar. Tapi yang namanya kehidupan tak


berjalan seperti itu, hal buruk maupun hal baik,
keduanya memiliki peranan penting dalam
membentuk kehidupan." Lelaki tua melanjutkan
ucapannya, "Itu pun yang terjadi pada diri setiap
orang, termasuk kau, dan aku, Nak."

"Bagaimana bisa Tuan? Sesuatu yang buruk


berperan penting membentuk kehidupan? Bukankah
justru akan merusak kehidupan itu sendiri? Sangat
tak masuk akal."
"Kadang kita ini masih suka keliru melabeli
sesuatu yang tampak tak masuk akal. Padahal,
pemahaman kita sendirilah yang tidak dapat
menemukan jalinan logis dari sesuatu yang dianggap
tidak masuk akal itu."

"Maksud Tuan, semua yang tidak masuk akal pada


dasarnya memiliki jalan logikanya sendiri?"

"Tidak begitu, Nak. Semua hal yang tidak masuk


akal bukan berarti dapat dikatakan seperti itu. Nanti
dengan sendirinya kau akan memahami apa yang aku
ucapkan tadi. Sebelumnya aku ingin bertanya, kau
berapa bersaudara?"

"Aku anak pertama, dari empat bersaudara,


Tuan."

"Dari ketiga adikmu, berapa orang yang berjenis


kelamin laki-laki, dan berapa orang yang berjenis
kelamin perempuan?"

"Semuanya adalah laki-laki, Tuan."


"Apakah kau senang memiliki adik yang semuanya
berjenis kelamin laki-laki? Atau kau punya keinginan
memiliki adik perempuan?

"Sudah bisa dipastikan aku punya keinginan itu,


Tuan. Apalagi setelah aku mengetahui fakta bahwa
adik pertamaku adalah seorang laki-laki, keinginan
itu berubah menjadi harapan yang kuat. Tapi aku
menyadari satu hal, anak adalah pemberian Tuhan,
apapun jenis kelaminnya, pemberian itu sudah yang
paling terbaik. Jadi, aku tak memiliki keinginan
semacam itu lagi, dan sangat senang memiliki adik
yang semuanya adalah laki-laki."

Mendengar jawaban si pemuda yang sesuai


dengan harapannya, membuat lelaki tua itu semakin
yakin terhadap langkahnya. Ia sangat percaya diri, tak
lama lagi si pemuda akan bisa mengerti semua
ucapannya, karena dia punya bekal pemahaman yang
baik.

"Jawaban yang bagus. Lalu, bagaimana dengan


keadaan orang tuamu, Nak?"
"Ibuku, baru dua minggu yang lalu meninggal, dan
ayah hanya bisa terbaring lemah di tempat tidurnya."

"Aku turut bersedih atas kepergian ibumu, dan


aku ingin mengatakan, agar kau lebih bersabar lagi
dalam mengurusi ayahmu, semoga Tuhan
memberkati. Lalu, bagaimana dengan kebutuhan
keluargamu sehari-hari? Dari mana biayanya?"

"Aku bekerja sebagai pamandu wisata musiman,


dan terkadang aku juga menulis banyak hal, untuk
diterbitkan, Tuan. Tapi tak jarang juga, apapun aku
kerjakan selagi itu baik dan dapat menghasilkan
uang, aku akan merasa tertekan jika tidak ada
sesuatu yang dapat aku kerjakan."

Lelaki tua itu, membenarkan dalam hati apa yang


dikatakan pemuda itu tentang pekerjaannya. Bisa
dilihat bagaimana si pemuda membangun gaya
komunikasi yang disesuaikan, jelas itu merupakan
salah satu keahlian yang mesti dimiliki oleh seorang
pemandu wisata. Lalu, adanya upaya dalam
menimbang dan berpikir mengenai pendapat orang
lain adalah ciri dari seorang yang memiliki
pemahaman, maka ketika ia mengaku menulis
banyak hal, bisa sedikit dipercaya. Dan hal terakhir
yang sedari tadi lelaki tua itu perhatian adalah, upaya
si pemuda untuk tetap menjaga posisi punggung agar
tetap lurus dan bahunya terbuka, mata yang fokus
dan tajam, serta otot tangan yang terlihat sedikit-
banyak menunjukkan bahwa si pemuda memang
seorang pekerja keras.

"Jika kau bekerja, lantas ayahmu kau tinggalkan


bersama adik-adikmu yang menjaganya? Berapa
umur mereka? Dan apakah keberadaan mereka itu
membantumu atau malah sebaliknya?"

"Masing-masing berumur 16, 14, dan 10 tahun,


dan aku sendiri 22 tahun, Tuan. Pada awalnya, aku
berpikir bahwa mereka banyak membawa beban dan
menyusahkan, karena hal itu, aku terkadang merasa
bahwa Tuhan itu tidak adil, tapi setelah aku
memikirkannya berkali-kali dan memahami kondisiku
sendiri, aku tak berani menyalahkannya lagi.
Menurutku, ini tak jauh berbeda dengan pertanyaan
Tuan sebelumnya tentang apakah aku lebih suka
memiliki adik laki-laki atau perempuan. Itu kan yang
Tuan maksud sebenarnya, walaupun tidak secara
langsung diucapkan."

Lelaki tua itu hanya tersenyum tipis, dan


menjawab: "Kau memang berbakat membaca
maksud seseorang. Tapi untuk sejenak kita lupakan
dulu itu. Aku lebih tertarik mengenai alasan di balik
berubahnya cara pandangmu terhadap Tuhan
setelah memahami keadaanmu sendiri? Bisakah kau
menjelaskannya, Nak?

"Entahlah, Tuan. Aku tak yakin apakah aku bisa


mengungkapkannya, tapi aku memahami benar akan
hal itu, aku melihat seperti ada keterhubungan
dengan hal lain yang menjangkau banyak sisi dalam
kehidupanku. Maksudku begini, apa yang kini ada
bersamaku, apapun itu, seperti punya peranan
tersendiri dalam membentuk kepribadianku serta
kehidupanku. Aku tak tahu bagaimana harus
menjelaskannya secara tepat, tapi kurang lebihnya
seperti itu yang aku rasakan. Semenjak aku
memperoleh pemahaman semacam itu, aku tak
berani lagi menyalahkan Tuhan."

"Baiklah. Aku ingin tahu lebih dalam. Kau barusan


mengatakan 'apa yang ada bersamamu' apa itu?
Apakah itu hal buruk atau hal baik, atau bisa jadi ada
keduanya?"

"Tentu saja, kedua hal itu ada bersamaku, Tuan.


Mana ada manusia dalam hidupnya didominasi oleh
salah satunya, pasti keduanya itu ada, walaupun
mungkin, ada perbedaan intensitas dan
kecenderungan."

"Yap, tepat. Itu jawabannya."

"Maksud, Tuan?"

"Itu jawaban dari yang kau ragukan tadi. Kau


merasa tak masuk akal jika hal buruk dikatakan
memiliki peranan penting dalam kehidupan. Hal
buruk itu penyeimbang, begitu juga dengan hal baik.
Itu kodrat kehidupan yang lahir dari tangan-tangan
manusia itu sendiri." Kemudian lelaki tua
meneruskan, "Aku tahu, kau memiliki pemahaman
yang baik terhadap apa yang kau alami. Dan itu
terlihat jelas ketika kau mengatakan bahwa memiliki
adik laki-laki maupun perempuan adalah sama
baiknya. Tak sampai disitu, kau pun menambahkan
sedikit tentang adik-adikmu yang merupakan beban
dan kerap menyusahkan dirimu. Tapi akhirnya kau
menyadari juga bahwa keberadaan mereka sangat
membantu, dan kau bisa leluasa dan tak merasa
khawatir saat berkerja."

"Iya, benar sekali. Dan aku pun tahu bahwa Tuan


sebenarnya sedang mengarahkan aku ke sana. Aku
sudah menyadarinya sejak awal, dan bersamaan
dengan itu, aku juga memahami maksud dari
perkataan Tuan tadi."

Lelaki tua itu, merasa seperti tertangkap basah.


Bahwa langkahnya telah diketahui, tapi hal itu justru
membuatnya bangga.

Si pemuda kemudian meneruskan perkataannya:


"Sebenarnya, aku tak merasa khawatir sama sekali,
Tuan. Aku merawat ayahku itu tak lain merupakan
bentuk terimakasihku, lagi pula dia bukanlah ayah
kandungku. Mama bilang, sewaktu aku masih kecil,
terus-terusan rewel dan tak henti-hentinya
menanyakan di mana keberadaan ayah. Mama selalu
bilang saat itu, kalau ayah sedang pergi ke suatu
tempat, tanpa menjelaskan ke mana tujuannya. Dan
mama sendiri selalu menunggu kedatangannya."

"Lalu, apakah ayahmu akhirnya kembali?"

"Tidak, Tuan. Hingga mama meninggal karena


kanker belum pernah ayah datang menemui mama.
Mama juga pernah bilang, kalau ayahku adalah
seorang yang tangguh, cerdas dan penuh kasih." Si
pemuda tampak terdiam sejenak, lalu melanjutkan,
"Mama pada akhirnya memutuskan menikah lagi
setelah hampir 7 tahun menunggu."

"Mamamu, seorang wanita yang luar biasa, sangat


beruntung sekali ayahmu memilikinya."

"Iya, tentu saja, Tuan. Tapi jika boleh jujur, aku


sangat kecewa. Ayah pergi begitu saja dan tak
memberi tahu akan ke mana, pada waktu itu, ibu
sangat terpukul sekali. Setelah kepergian ayah, dan
ibu melahirkanku, kami hidup memperihatinkan di
desa."

"Di desa mana saat itu kau tinggal bersama ibumu?"

"Di desa kowake, sebelah barat phen maure,


Tuan. Suami ibu yang baru pun orang asli sana."

Kowake? Kata lelaki tua itu dalam hati, ia sangat


kenal betul dengan tempat itu. Hampir 10 tahun
lamanya ia bertugas di sana, menengahi konflik etnis
yang berkepanjangan. Dan di sana juga, ia merasa
seperti menemukan hidupnya kembali. Ia senang
sekaligus sedih mengingat kenangan itu.

"Aku mengenal dengan baik tempat itu Nak. Aku


dulu bertugas di sana hampir 10 tahun, dan aku
memiliki seorang teman baik yang siap memanduku
setiap kali aku ingin pergi ke hutan larangan."

"Jika boleh tahu, siapa nama teman Tuan?


Barangkali aku mengenalnya."

"Aku lupa nama aslinya, tapi orang-orang suka


memanggilnya Metty, si lelaki hutan."
"Apakah Ferdinand Jacob yang Tuan maksud?"

Lelaki tua itu mencoba mengais ingatan tentang


nama yang didengarnya. Percobaan pertama, ia
gagal, tak ada yang dia ingat dari nama itu. Si
pemuda mengerti jika lelaki tua di sampingnya
sedang mengingat-ingat sesuatu, dan membiarkan
lelaki tua itu sibuk dengan apa yang dipikirkannya.
Pada percobaan kedua, ia mengingat sosok pria
bertelanjang dada dengan tubuh kekar, pria itu
tergolong tampan, namun sikapnya yang polos
membuat banyak wanita menjauhinya. Lelaki tua itu
ingat, bahwa pria itu adalah Ferdinand.

"Oh...iya, betul. Aku ingat sekarang, apakah kau


mengenalnya Nak?"

"Aku tidak hanya kenal, Tuan. Dia, adalah ayah


tiriku."

Lelaki tua itu kaget, ia tak menyangka jika


sahabatnya itu akan memilih untuk menikah.
Bukankah ia sebelumnya berbicara dengan penuh
janji sewaktu di hutan larangan, bahwa ia tak ingin
menikah, kecuali bila ia memiliki kesempatan untuk
menikahi Isabelle Mellema. Lantas, siapa wanita itu
yang bisa merubah ketetapan hatinya, pikir lelaki tua
itu.

Dengan rasa penasaran yang diiringi rasa was-was,


lelaki tua itu berkata: "Bolehkah aku mengetahui
siapa nama ibumu, Nak?"

"Isabelle Mellema, Tuan."

Wajah lelaki tua itu seketika terpaku dalam rasa


tak percaya yang mengalir begitu cepat, seolah
waktu sendiri ikut terhenti. Matanya melebar,
mencoba memahami keterhubungan yang tak
terduga. Pemuda itu, yang kini berada dekat
denganya adalah anak dari Isabelle, yang tak lain
adalah anak kandungnya sendiri. Ia merasa bahagia
karena perjuangannya selama ini untuk terus
menunggu membuahkan hasil. Tapi kenyataan yang
membahagiakan itu beralih pada kesedihan
mendalam, ia menyesal karena tak dapat menemui
Isabelle setelah berjanji untuk bertemu di tempat ini.
Ia sangat menyesal.
Terdengar getaran dalam suara lelaki tua itu ketika
ia berbicara: "Ibumu juga adalah sahabat baikku,
Nak. Kami bertiga sahabat dekat."

Lelaki tua itu tak ingin mengatakan yang


sebenarnya, ia takut jika kebahagiaannya akan
menambah masalah baru dengan pengakuan yang
akan mengejutkan pemuda itu. Ia takut anaknya
membenci tindakannya yang dulu, meskipun itu
bukanlah keinginannya.

Sebelum kepergian yang mendadak itu, antara


Isabelle dan lelaki tua telah berjanji satu sama lain
untuk bertemu di Houston Eider, dan di sinilah
tempat yang dimaksud. Namun ia tak pernah sampai,
karena dalam perjalanannya, ia dihadang dan dibawa
secara paksa menuju Kepulauan Karibia, untuk
melakukan suatu misi penyergapan yang
sebelumnya telah ia tolak. Padahal saat itu ia
sebenarnya sudah mengajukan surat pengunduran
diri, dan kabarnya akan diterima dua jam setelah
pertemuan itu.
"Sungguh aku tak menyangka Tuan, pertemuan
kita ini membawa banyak hal tak terduga. Aku sangat
bahagia bisa mengenal sekaligus bisa dekat dengan
sahabat orang tuaku."

"Iya. Aku pun merasa sangat bahagia, tak pernah


aku memiliki perasaan semacam ini sebelumnya.
Perasaan seperti inilah yang aku cari selama ini,
perasaan yang mengungkapkan segalanya."

Si Pemuda terlihat bingung dan tak mengerti


maksud dari ucapan lelaki tua itu, tapi ia memilih
untuk tak ambil pusing.

"Jika Tuan ada waktu, aku akan membawa tuan


menemui ayah. Ia pasti sangat bahagia juga, bisa
berjumpa kembali dengan sahabat lamanya."

Lelaki tua itu seperti tak yakin hal itu dapat terjadi.
Ia takut jika metty akan mengatakan semua
kebenaran tentangnya juga tentang pemuda itu. Ia
berpikir, jika ternyata metty tak dapat berbicara
mungkin saja pertemuan itu bisa dilakukan.
"Baiklah, aku akan meluangkan waktu ke sana,
Nak. Ayahmu, apakah masih bisa diajak
berkomunikasi? Maksudku, apakah ayahmu jika
berbicara tidak kesulitan?"

"Tidak, tuan. Ayah masih bisa mengatakan apapun


dengan jelas."

Jelas sudah, aku tak bisa bertemu dengannya


dalam waktu dekat ini, mungkin juga untuk beberapa
waktu lama. Kekhawatiranku sulit dibendung, aku
harus mencari cara agar Arthur tidak menceritakan
apa-apa tentangku. Pikir lelaki tua itu.

"Nak, maukah kau berjanji padaku?"

"Janji untuk apa, Tuan?"

"Kau jangan menceritakan pertemuan kita ini pada


ayahmu, aku ingin menyiapkan sesuatu terlebih
dahulu sebelum menemui metty di rumah. Sekaligus
aku ingin membuat kejutan untuknya, kau mengerti
kan Nak maksudku?"
"Tentu saja, Tuan. Dengan senang hati, aku akan
mengikuti apa yang kau katakan."

Hari semakin sore, matahari di ujung tampak akan


tenggelam. Lelaki tua dan si pemuda atau anaknya
itu terlihat semakin akrab, berbagi cerita dan tertawa
penuh kebahagian di tepi sungai yang merangkul
keberadaan mereka. Lelaki tua itu bagaimana pun
juga mencoba meredakan kegelisahannya, sambil
tetap menikmati momen kebersamaan itu, meski
hatinya masih penuh dengan beban rahasia dan
ketidaknyamanan karena telah memutuskan
menyembunyikan kebenaran akan dirinya.

Dalam hatinya, senja yang indah seakan


memperkuat kenangan tentang Metty, sahabat dekat
yang mampu merebut hati wanita yang dulu ia cintai.
Entah apakah Isabelle juga mau menikah dengannya
karena cinta atau justru keputusasaan terhadapku
membuatnya mengambil langkah untuk
menikahinya, pikir lelaki tua itu. Di antara cahaya
senja yang mempertontonkan kombinasi warna-
warna, tersembunyi perasaan yang sulit
diungkapkan.

Sementara itu, si pemuda tetap tak mengetahui


adanya hubungan mendalam di antara mereka.
Keakraban yang terjalin di antara dua generasi ini
menjadi lapisan tipis yang menyembunyikan kisah
yang belum terungkap. Mungkin, suatu saat nanti,
kebenaran akan muncul dan meretas tirai yang
menyelimuti rahasia yang terkandung di antara
senyum dan tawa mereka di tepi sungai itu.

Anda mungkin juga menyukai