Anda di halaman 1dari 22

BAB I

BAHASA INDONESIA DAN KOMUNIKASI DUNIA

KOMPETENSI DASAR

-Memahami fungsi dan status bahasa yang menjadi media komunikasi internasional

TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Menjelaskan status dan fungsi bahasa daerah dan bahasa nasional dalam konteks kebahasaan di
Indonesia

2. Menyebutkan bahasa-bahasa yang memiliki jumlah penutur terbanyak di dunia dan alasan
perlunya bahasa komunikasi internasional

URAIAN MATERI

1.1 PENDAHULUAN

Menguasai bahasa lain selain bahasa ibu atau bahasa nasional pada era globalisasi sekarang ini
sudah menjadi sebuah keharusan. Setiap individu memperoleh bahasa pertamanya (Bahasa Ibu)
dengan cara yang alamiah, yaitu melalui interaksi dengan orang yang paling dekat dengan
kehidupannya, seperti misalnya, ibu, ayah, saudara dan keluarga besar. Yang disebut sebagai Bahasa
Ibu adalah bahasa yang dipakai oleh orang tua saat berinteraksi dengan anak anaknya sejak
dilahirkan. Orang tua yang paling dekat dengan anak yang memiliki waktu paling hanyak untuk mulai
berinteraksi verbal maupun non verbal dengan anak adalah ibu, sehingga bahasa pertama yang
dikenal dan berkembang pada anak disebut sebagai Bahasa Ibu. Setelah itu, dalam interaksinya
dengan orang lain, atau saat anak-anak belajar di lembaga pendidikan formal (sekolah), bahasa
kedua hadir dalam kehidupan mereka. Bahasa kedua ini adalah bahasa pengantar di sekolah
maupun bahasa yang dipelajari sebagai salah satu mata pelajaran. Di Indonesia misalnya, seorang
anak mengenal bahasa daerah sebagai Bahasa Ibu, lalu ketika mulai bersekolah dia mengembangkan
kemampuan berbahasa kedua yaitu bahasa nasional (Bahasa Indonesia) karena bahasa ini
merupakan bahasa pengantar di kelas. Pada saat ini, anak-anak melalui suatu fase menjadi seorang
bilingual. Dengan kata lain, anak mengembangkan kemampuan berbahasa nasional melalui interaksi
di kelas dengan guru dan teman-teman sekelas, interaksi di luar kelas saat bermain dan besosialisasi
dengan anak lain saat istirahat dan juga melalui kegiatan membaca buku atau materi pembelajaran
yang ditulis dalam bahasa nasional.

Di Indonesia, keberadaan bahasa daerah (yang menjadi Bahasa Ibu bagi sebagian terbesat anak-anak
di Indonesia) sangat beragam sesuai dengan suku bangsa, adat dan burlaya Indonesia yang memang
beragam. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2014 adalah 241,452.952 jiwa
(http://id.m.wikipedia.org) dengan jumlah bahasa daerah yang terpakai secara aktif mencapai lebih
dari 746 (bahasa-nusantara.blogspot.com). Jumlah penduduk indonesia menduduki urutan keempat
jumlah penduduk di 194 negara yang ada di dunia. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa hampir
seluruh orang Indonesia adalah bilingual sejati, yaitu mampu menggunakan dua bahasa dengan
tingkat kemampuan yang berimbang.

1.2 BAHASA INTERNASIONAL


Menurut data statistik bahasa (2010), ada 6.912 bahasa yang dipakai secara aktif di 194 negara di
dunia. Dari angka ini dengan jelas terlihat bahwa tidak ada korelasi satu-satu antara negara dan
bahasa. Walaupun banyak negara yang menyebutkan dirinya sebagai negara monolingual,
sesungguhnya indivirlu-Individu di negara tersebut kemungkinan bilingual atau malah multilingual.
Keberadaan bahasa-bahasa daerah atau local languages atau kadang-kadang disebut vernaculars
therupakan pertanda bahwa fenomena berbahasa di dunia amatlah kompleks.

Dengan semakin majunya teknologi, semua bangsa-bangsa di dunia semakin memerlukan adanya
persahabatan dan kerjasama. Interaksi dan sosialisasi tidak saja terjadi pada antar individu tetapi
juga antar negara. Oleh sebab itu maka diperlukan bahasa internasional yang bisa menjadi bahasa
perantara antar negara. Menurut statistik bahasa, ada 10 bahasa yang memiliki potensi menjadi
bahasa internasional karena memiliki jumlah penutur paling banyak. Kesepuluh bahasa tersebut
dirangkum sebagai berikut.

NO bahasa Jumlah penutur (lebih Negara tempat penutur


kurang)
1 Mandarin 1,5 miliar China dan komunitas keturunan China di
negara negara seluruh dunia
2 Inggris 500 juta Botswana, Brunei Darussalarn, Dominika,
Ethiopia, Eritrea, Fiji, Filipina, Gambia, Ghana,
Grenada, Guyana, Hong Kong, India, Irlandia,
Jamaika, Kamerun, Kanada, Kenya, Kiribati,
Lesotho, Liberia, Malawi, Maladewa, Malta,
Marshall Kepulauan, Maritius, Micronesia,
Namibia, Nauru, Nigeria, Pakistan, Palau,
Papua Nugini, Rwanda, Saint Kitts & Nevs,
Saint Lucia, Saint Vincent & Grenada, Samoa,
Selandia Baru, Seychelles, Sierra Leone,
Singapura, Solomon Kepulauan, Somalia, Sri
Lanka, Swaziland, Tanzania, Tonga, Trinidad &
Tobago, Tuvalu, Uganda, Vanuatu, Zambia,
Zimbabwe. Organisasi Internasional: PBB, Uni
Eropa, Persemakmuran, CoE, NATO, NAFTA,
OAS, OIC, PIF, UKUSA dan lain-lain..
3 Hindi 497 juta India, AS (100.000 jiwa), Mauritius (685.170
jiwa), Afrika Selatan (890.292), Yaman
(232.760 jiwa), Uganda (147.000 jiwa),
Singapura (5.000 jiwa), Selandia Baru (20.000
jiwa), Jerman (30.000 jiwa), Fiji, Nepal,
Suriname, Trinidad & Tobago, Guyana dan
Uni Emirat Arab.
4 Spanyol 400 juta Spanyol, Argentina, Bolivia, Chile, Dominican
Republic, Ecuador, El Salvador, Guinea
Katulistiwa, Guatemala, Honduras, Kolombia,
Kosta Rika, Kuba, Mexico, Nikaragua, Panama,
Paraguay, Peru, Puerto Rico, Uruguay,
Venezuela
5 Arab 300 juta Arab Saudi, Aljazair, Bahrain, Chad, Komoro,
Djibouti, Mesir, Eritrea, Irak, Israel, Yordania,
Kuwait, Lebanon, Libya, Maroko, Niger,
Oman, Palestina, Qatar, Somalia, Sudan,
Syria, Tunisia, Uni Emirat Arab, Sahara Barat,
Yaman, Mauritania, Senegal, Mali. Bahasa
resmi PBB
6 Rusia 278 juta Rusia, Belarusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan,
Moldova. Bahasa resmi PBB
7 Melayu 270 juta Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura,
(termasuk Thailand
Bahasa
inonesia)
8 Portugis 240 juta Portugal, Brazil, Angola, Cape Verde, Timor
Timur, Guinea-Bissau, Makau, Mozambique,
São Tomé e Príncipe.
9 Bengali 230 juta Bangladesh, India
10 Prancis 200 juta Perancis, Monaco, Kanada, Swiss, Belgia,
Luxemburg, Benin, Burkina Faso, Burundi,
Kamerun, Afrika Tengah, Chad, Komoro,
Kongo/Zaire, Pantai Gading, Djibouti, Guinea,
Guinea Katulistiwa, Gabon, Guernsey,
Madagaskar, Mali, Mauritius, Niger, Rwanda,
Senegal, Seychelles, Togo, Haiti, Lebanon,
Kaledonia Baru, Vanuatu. Polynesia,
Martinique, Guadalupe. Bahasa resmi PBB.
Data di atas tercatat pada tahun 2010, jadi pada tahun 2014 sudah pasti terjadi peningkatan jumlah
penutur secara signifikan dari kesepuluh bahasa tersebut sebagai akibat dari pertambahan jumlah
penduduk dan kebutuhan untuk bisa berbahasa asing. Khusus untuk bahasa Inggris, pada tahun
2014 tercatat 1,5 1,8 miliar penduduk dunia menggunakan bahasa Inggris baik sebagai bahasa
pertama (di Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Irlandia, Selandia Baru dan be berapa negara
di Karibia dan Kepulauan Pasifik ataupun sebagai bahasa kedua di negara-negara seperti misalnya di
Pakistan, India, Filipina, Malta, Singapura dan beberapa negara di Afrika.
(http://en.wikipedia.org/wiki/List_of languages by total number of speakers). Selain itu jumlah orang
yang mempelajari bahasa Inggris baik di lembaga formal (sekolah atau universitas) maupun non
formal (lembaga kursus, pusat bahasa dan sebagainya) juga sangat banyak jumlahnya.

Dilihat dari pertambahan jumlah orang yang tertarik untuk belajar bahasa asing, mungkin bahasa
Inggris bisa dianggap sebagai salah satu bahasa asing yang yang paling banyak peminatnya. Hampir
di semua negara di dunia, bahasa Inggris dipelajari baik sebagai bahasa kedua atau bahasa asing.
Dengan demikian bahasa Inggris sudah dianggap sebagai bahasa untuk pergaulan dunia (lingua
franca). Oleh sebab itu, dalam literatur tentang kedwibahasaan atau bilingualisme, pengertian
bilingual biasanya mencakup kemampuan menggunakan dua atau lebih bahasa, salah satu di
antaranya adalah bahasa yang 'superior' atau bahasa yang dianggap prestigious atau bahasa yang
memiliki status yang tinggi. Jadi apabila ada pembahasan tentang pendidikan bilingual, bahasa yang
diacu adalah bahasa nasional dan sebuah bahasa asing yang prestigious (dalam hal ini adalah Bahasa
Inggris).

Dalam beberapa literatur, bilingualisme dilihat dari kemampuan menggunakan dua bahasa yaitu,
bahasa nasional negara (dan semua bahasa daerah yang mungkin juga dikuasai) dan sebuah bahasa
yang prestigious, seperti misalnya bahasa Inggris, Perancis, Spanyol dan China. Dalam upaya
memberi batasan yang jelas tentang hakikat kedwibahasaan, pengertian bilingualisme dalam buku
ini mengacu pada penguasaan bahasa yang dipakai di Indonesia dan bahasa Inggris sebagai bahasa
asing. Ada tiga alasan mengapa bilingualisme dijelaskan dari sudut pandang penguasaan bahasa
nasional (dan bahasa daerah) dengan bahasa Inggris. Pertama, bahasa Inggris merupakan bahasa
internasional dan memiliki status yang prestigius di Indonesia sehingga banyak upaya yang dilakukan
oleh individu maupun lembaga formal atau non formal untuk membantu individu individu bisa
menguasal bahasa Inggris. Kedua, bahasa Inggris merupakan bahasa asing dan sekaligus bahasa
internasional yang merupakan mata pelajaran wajib di tingkat sekolah menengah pertama maupun
sekolah menengah atas di Indonesia, sehingga berdasarkan teori bilingualism, hal ini merupakan
indikasi berkembangnya additive bilingualism (bilingualism tambahan). Ketiga, selama ini
pembahasan tentang pendidikan bilingual selalu mengacu pada penggunaan dua bahasa sebagai
bahasa pengantar di kelas, salah satu adalah bahasa nasional sementara yang satunya lagi adalah
bahasa internasional yaitu bahasa Inggris.

Pembatasan tentang definisi bilingualisme pada buku ini diharapkan lebih memfokuskan materi
bahasan mengingat fenomena bilingualisme dewasa ini sangat kompleks. Jadi pada saat bilingualism
dibahas maka dengan mudah bisa diberikan contoh-contoh tentang upaya, strategi dan dampak
yang terjadi sebagai akibat dari bilingualism. Sementara apabila konsep bilingualisme memasukkan
unsur bahasa daerah dan bahasa nasional maka proses perkembangan (termasuk upaya dan
strategi) seseorang menjadi seorang bilingual kurang dapat dijelaskan. Hal ini dilakukan karena
penguasaan baik bahasa daerah dan bahasa nasional (bahasa Indonesia) terjadi secara simultan dan
lebih banyak dalam bentuk pemerolehan bahasa (language acquisition) sehingga kurang
menjelaskan proses secara detail

RINGKASAN BAB 1

Fenomena bilingualisme dewasa ini semakin meluas sehingga konsep bilingualism mengalami
semacam pergeseran, Pada awalnya definisi yang diakui adalah kemampuan menggunakan dua
bahasa. Kata kemampuan menggunakan banyak diperdebatkan para ahli karena tidak jelas seberapa
mampu seseorang dalam berbahasa agar bisa disebut sebagai seorang bilingual. Selanjut nya,
definisi ini berkembang menjadi kemampuan menggunakan dua bahasa atau lebih. Definisi in dipicu
oleh kondisi kebahasaan di mana seseorang sudah terlahir dan tumbuh dengan bahasa ibunya, yang
mungkin merupakan bahasa daerah. Kemuadian melalui lingkungan dan sekolah, anak ini
mengembangkan kemampuan berbahasa nasional. Ini terjadi di negara-negara yang memiliki
keragaman etnis dan budaya seperti Indonesia. Oleh sebab itu kemampuan meng Runakan dua
bahasa sudah terjadi secara simultan dengan tingkat kompetensi yang seimbang. Sehingga, di
banyak negara di dunia, konsep bilingualism menjadi kemampuan menggunakan bahasa daerah
serta nasional dan bahasa lain yang memiliki prestise tinggi. Ada 10 bahasa yang dianggap
prestigious karena memiliki jumlah penutur terbanyak. Dalam konteks Indonesia, bahasa Lan yang
dimaksud adalah bahasa Inggris Dengan semakin kompleksnya konsep bilingualism, banyak peneliti
merasa perlu untuk membuat definisi sendiri. Oleh sebab itu bermunculanlah istilah-istilah baru.
BAB II

FENOMENA BILINGUALISME

KOMPETENSI DASAR

-Memahami mitos dan penyebab meluasnya fenomena kedwibahasaan (bilingualism) pada tataran
individu, komunitas dan bahasa.

-Memiliki pengetahuan tentang bilingualism anak-anak dan faktor yang mendukung terjadinya
bilingualisme sejak usia dini.

TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Menjelaskan sejarah terjadinya fenomena kedwibahasaan di Indonesia dan di dunia. negara-


negara lain

2. Menjelaskan alasan meluasnya fenomena bilingualisme dan mitos-mitos tentang bilingualisme

dan dampaknya terhadap sikap berbahasa individu dan masyarakat.

3. Menjelaskan fenomena bilingualism pada usia dini dan kemunginan faktor pendukungnya.

URAIAN MATERI

2.1 PENDAHULUAN

Pada dekade terakhir ini ada indikasi bahwa ada lebih banyak orang bilingual daripada orang
monolingual di dunia ini. Yang dimaksud di sini adalah bahwa sekarang ini jumlah orang yang
mampu menggunakan dua bahasa (bilingual) dengan baik lebih banyak dari pada orang yang hanya
mampu menggunakan satu bahasa saja (monolingual). Bahkan menurut Hoffman (1998)
sesungguhnya ada lebih banyak orang bilingual di negara-negara monolingual dari pada orang
monolingual di negara yang bilingual.

Ada beberapa negara yang secara resmi menyandang status sebagai negara bilingual. Vang
dimaksud dengan negara bilingual adalah negara yang secara resmi memiliki dua tahasa sebagai
bahasa nasional Contohnya adalah negara Belgia, di mana secara resma imemiliki dua bahasa
nasional yaitu bahasa Perancis dan bahasa Belanda. Walaupun begitu, arta banyak penduduk Belgia
yang hanya bisa menggunakan salah satu dari bahasa tersebut. Pada kenyataannya, negara ini
disebut sebagai negara bilingual bukan karena sebagian terbesar pendudukaya bisa meng gunakan
bahas Belanda dan Prancis, tetapi karena kedua bahasa tersebut merupakan bahasa nasional di
mana bahasa Belanda dipakai oleh penduduk di belahan barat dan bahasa Perancis di belahan Timur
negara itu. Selain Belgia, ada 5 negara lagi yang memiliki status sebagai negara bilingual karena
memiliki dua bahasa nasional. Negara yang dimaksud adalah Finlandia, Greenland, Swiss, Rusia dan
Yugoslavia

Dari berbagai literatur, pengertian dan definisi bilingualisme tidak konsisten Weinreich (1968),
misalnya, mendefinisikan bilingualisme sebagai penggunaan dua bahasa secara bergantian.
Sementara itu definisi sebelumnya oleh Bloomfield (1935) menyebutkan bahwa bilingualisme adalah
kondisi di mana seseorang memiliki kemampuan menggunakan bahas asing secara sempurna tanpa
resiko kehilangan bahasa pertama. Kedua definisi ini memiliki persamaan dan perbedaan.
Persamaannya adalah bahwa istilah bilingualisme dipakai untuk menjelaskan suatu situasi di mana
seseorang memiliki kemampuan menggunakan dua bahasa, salah satu di antaranya adalah bahasa
asing. Perbedaan dari kedua pengertian yang disampaikan oleh kedua ahli tersebut terletak pada
seberapa baik kemampuan dalam bahasa kedua yang harus dimiliki oleh seseorang supaya bisa
disebut sebagai seorang bilingual. Pada definisi pertama, penggunaan bahasa secara secara
bergantian tidak mencantumkan seberapa fasih atau lancar atau baik kemampuan berbahasa yang
dimiliki oleh seorang bilingual karena yang penting bisa menggunakan kedua bahasa secara
bergantian, mereka sudah bisa dianggap sebagai seorang bilingual. Sementara pada definisi kedua,
kemampuan menggunakan kedua bahasa harus sempurna atau dengan kata lain kedua bahasa bisa
digunakan secara baik, benar dan lancar dalam segala kesempatan yang memerlukan penggunaan
kedua bahasa tersebut baik secara terpisah maupun secara bersamaan.

Definisi yang agak terbuka berdampak pada banyaknya jumlah orang bilingual di dunia. Menurut
Wikipedia (2014) lebih dari setengah penduduk dunia dewasa ini memiliki penguasaan terhadap dua
bahasa atau lebih (bilingual). Jumlah ini tentu saja akan semakin bertambah apabila yang
dimaksudkan sebagai bilingualisme adalah penguasaan dua atau lebih bahasa secara umum,
termasuk bahasa daerah dan bahasa nasional. Sudah menjadi sebuah fenomena bahwa selain
menguasai Bahasa Ibu, seseorang juga paling tidak menguasai bahasa nasionalnya. Apabila definisi
bilingualisme dibatasi dengan penguasaan bahasa nasional dan sebuah bahasa asing, maka jumlah
bilingual mungkin menurun. Ini karena penguasaan bahasa asing dimotivasi oleh beberapa alasan
yang akan dijelaskan pada Bab ini.

Berbicara mengenai fenomena bilingualisme, Beardsmore (1986) mengatakan bahwa orang harus
memiliki perspektif yang jelas dalam mendefinisikan istilah bilingualisme Prespektif yang dimaksud
terdiri dari tiga yaitu: pertama dari perspektif individu, masyarakat (kelompok penutur), dan bahasa.
Secara individu, seorang individu yang bilingual mungkin tidak saja menunjukkan kemampuan
menggunakan dua bahasa secara lisan dan/atau tulis tetapi mungkin juga memiliki konsep diri, sikap
berbahasa seria pola pikir yang khusus yang menjadi penanda atau petunjuk bahwa dia adalah
seorang bilingual. Hal ini diakibatkan oleh 'keterbukaan' dari seorang bilingual untuk mengadopsi
gaya tutur, sikap berbahasa, sikap sosial dan juga konsep diri yang cenderung lebih terbuka, toleran
dan fleksibel. Dari sudut pandang kelompok penutur atau masyarakat, bilingualisme terjadi pada
sekolompok orang di mana penggunaan masing-masing bahasa mungkin terjadi pada situasi atau
konteks berbahasa yang berbeda. Ini memicu terjadinya fenomena diglosia atau triglosia. Fenomena
ini adalah kondisi di mana dua bahasa (diglosia) atau tiga bahasa (triglosia) yang berbeda digunakan
pada konteks berbeda. Misalnya bahasa daerah digunakan saat pertemuan atau rapat adat, bahasa
nasional digunakan dalam situasi formal yang melibatkan penutur dari luar kelompok). Dari sudut
pandang bahasa, fenomena bilingualisme mengandung makna di mana antara dua atau lebih bahasa
yang digunakan oleh penutur (baik individu maupun kelompok) terjadi saling campur bahasa (code
mixing) atau beralih bahasa (code switching) atau saling meminjam bahasa (borrowings). Jadi
seorang peneliti tentang bilingualisme akan berangkat dari perspektif yang mana dia ingin meneliti.
Dari perspektif individu, seorang peneliti mungkin tertarik untuk meneliti tentang bagaimana sikap
berbahasa seseorang apabila dihadapkan dalam situasi kebahasaan yang berbeda atau ketika dia
menghadapi orang yang memiliki status sosial yang berbeda. Dalam penelitian dari perspektif
kelompok penutur atau masyarakat, peneliti mungkin tertarik meneliti tentang pola penggunaan
bahasa di masyarakat ketika kelompok penutur ada dalam kondisi atau situasi yang berbeda. Dari
perspektif bahasa, penelitian lebih terarah pada analisis bahasa yang dituturkan oleh penutur
bilingual.
2.2 SEJARAH BILINGUALISME

Fenomena bilingualisme berkembang begitu pesat. Dimulai pada masa imigrasi besar-besaran dari
negara-negara di Eropa ke Amerika pada abad ke 17. Pada tahun 1664, ada 18 bahasa yang dipakai
di masyarakat Manhattan, Amerika Serikat, di luar bahasa Indian. Pada tahun 1694 sekolah bilingual
pertama yaitu sekolah bilingual Jerman-Inggris didirikan di Philadelphia. Sejak saat itu bermunculan
sekolah-sekolah bilingual bahasa-bahasa Eropa-Inggris sebagai akibat dari kebutuhan para imigran
dari Eropa yang tetap ingin mempertahankan bahasa dan budaya asalnya meskipun mereka
berdomisili secara permanen di Amerika. Pada tahun 1750, kebijakan pertama dari Kongres Amerika
secara formal menerima bilingualisme sebagai sebuah kenyataan dalam kehidupan ber negara di
Amerika (www.archive.csustan.edu).

Selanjutnya, istilah bilingualisme semakin dikenal dan menjadi topik penelitian yang menarik
perhatian para ilmuwan, tetapi baru pada awal abad ke 20, penelitian-penelitian tentang
bilingualisme mulai dipublikasikan. Beberapa penelitian besar misalnya dilakukan oleh Leopold
(1939-1949), Weinreich (1951-1953), dan Haugen (1953-1956) di mana penelitian yang dilakukan
antara lain mengangkat isu tentang hubungan antara bilingualisme dengan kemampuan kognitif,
perkembangan perolehan bahasa dari bayi-bayi yang dilahirkan dari orang tua kawin campur,
interlanguage dan sejenisnya.

Pada tahun 1966 secara resmi pusat penelitian bilingualisme didirikan yang kemudian menginspirasi
dialog antar ilmuwan dengan bidang atau disiplin ilmu yang berbeda tentang isu-isu bilingualisme
(Kelly, 1969). Baru kemudian pada tahun 70an mulai diterbitkan jurnal publikasi khusus tentang
bilingualisme, serta konferensi dan kongres mulai dilakukan khusus tentang bilingualisme.
Sementara itu, semakin banyak individu, kelompok masyarakat dan fenomena kebahasaan yang
terjadi yang membuat penelitian dan perkembangan keilmuan di bidang bilingualisme semakin
pesat.

2.3 MITOS TENTANG BILINGUALISME

Karena definisi bilingualisme sangat luas maka sulit untuk membuat definisi yang jelas dan mewakili
situasi riil dalam konteks yang berbeda. Itulah sebabnya maka setiap peneliti perlu mendefinisikan
dulu tentang apa yang dimaksud dengan bilingualisme. Salah satu cara untuk mendefinisikan istilah
tersebut adalah dengan menjelaskan terlebih dahulu latar belakang atau Fonteks di mana fenomena
bilingualisme itu terjadi. Misalnya apabila bilingualisme yang dimaksud ada pada konteks
pembelajaran di kelas, maka definisi yang dibuat akan melibatkan guru, peserta didik dan
kemampuan berbahasa.

Pada dekade terakhir ini, telah diidentifikasi bahwa lebih dari setengah penduduk dunia memiliki
kemampuan menggunakan dua bahasa atau lebih (bilingual). Grosjean (2010) yang telah banyak
menulis tentang fenomena bilingualisme membuat daftar sejumlah mitos tentang bilingualisme yang
bertujuan untuk meningkatkan pemahaman khalayak ramai khususnya peneliti dan pembaca yang
belajar tentang bilingualisme. Berikut adalah kutipan tentang mitos tersebut.

1. Mitos 1: Bilingualisme adalah sebuah fenomena yang langka Mitos ini salah karena menurut
Ggrosjean, justru sebaliknya di mana fenomena bilingualisme semakin mendunia dan menjadi
semakin meluas. Di setiap negara di dunia fenomena ini terjadi, bahkan di negara yang secara resmi
merupakan sebuah negara monolingual memiliki Jumlah penduduk bilingual yang lebih banyak dari
pada peduduk bilingual di negara yang secara resmi merupakan negara bilingual.

2. Mitos 2: Bilingualisme terjadi sejak anak-anak karena mereka dilahirkan di keluarga dengan dua
bahasa. Mitos ini salah karena orang bisa saja menjadi bilingual pada saat mereka dewasa. Banyak
bilingualisme mulai terjadi sejak usia dewasa dimana karena alasan tertentu, orang tersebut harus
beremigrasi ke negara lain dan tidak punya pilihan lain selain menguasai bahasa yang dipakai di
tempat baru agar bisa bertahan hidup dan beradaptasi. Penguasaan bahasa bisa terjadi dengan cara
acquisition (pemerolehan bahasa yaitu suatu proses yang terjadi tanpa disadari oleh seseorang
karena dalam keseharian selalu terekpos pada bahasa baru. Proses ini mirip dengan bagaimana
anak-anak memperoleh bahasa baru). Bilingualisme yang mulai pada usia dewasa bisa terjadi karena
alasan perpindahan permanen, pendidikan atau perkawinan campur.

3. Mitos 3: Seorang bilingual menguasai dua bahasa dengan sama baik/sempurna. Mitos ini salah
karena banyak orang bilingual yang memiliki bahasa dominan, yaitu salah satu bahasanya jauh lebih
baik dari vang lainnya. Selain itu ada banya orang bilingual yang bisa berbicara dalam dua bahasa
tetapi tidak bisa menulis atau membaca dalam salah satu dari dua bahasa yang dikuasainya. Yang
paling sering terjadi adalah seorang bilingual mampu meng gunakan bahasa kedua dengan baik
sebatas kebutuhan berbahasanya di dunia nyata.

4. Mitos 4: Orang bilingual sejati tidak memiliki akses dari salah satu bahasa yang dikuasainya. Mitos
ini salah karena memiliki akses dalam salah satu bahasa bukan berarti seseorang bukan orang
bilingual sejati. Adalah hal bisaa walaupun sesorang mampu berbahasa dengan lancar dan baik
dalam bahasa kedua, tetapi masih memakai aksen dari bahasa pertamanya. Ini bukan berarti bahwa
orang ini bukan bilingual sejati.

5. Mitos 5: Orang bilingual terlahir untuk menjadi penerjemah Mitos ini salah karena walaupun
seorang bilingual memiliki dua bahasa dan mampu menggunakannya untuk berbicara tentang topik
yang sama, tetapi belum tentu mereka memiliki kemampuan menjadi penterjemah, khususnya
dalam bidang tertentu. Meskipun mampu menggunakan dua bahasa, seseorang harus melalui proses
pendidikan khusus untuk bisa menjadi penterjemah.

6. Mitos 6: Campur kode (Code mixingi adalah sebuah indikasi kemalasan dari seorang bilingual.

Mitos ini salal. karena code mixing code switching atau borrowings merupakan fenomena yang
umum terjadi pada bahasa seorang bilingual. Beberapa ungkapan maupun istilah tertentu mungkin
dirasakan lebih tepat apabila menggunakan salah satu bahasa karena lebih mewakili tujuan atau
perasaan pembicara.

7. Mitos 7: Seorang bilingual pasti juga bicultural Mitos ini salah karena walaupun banyak bilingual
yang juga bicultural, ada banyak pula yang secara sadar tidak menggunakan kultur (budaya) bahasa
keduanya. Mereka tetap mem pertahankan budaya bahasa pertamanya dan hanya menggunakan
bahasa tanpa melibatkan budaya pada saat berbicara dengan bahasa kedua.

8. Mitos 8: Seorang bilingual memiliki kepribadian ganda. Mitos ini salah karena sebagaimana hanya
seorang monolingual, orang bilingual selalu berusaha beradaptasi dengan situasi baru atau orang
baru. Kadang-kadang proses adaptasi ini ditandai oleh penggunaan bahasa yang berbeda pada orang
yang berbeda. Misalnya berbahasa Inggris pada orang asing dan berbahasa Indonesia dengan
sesama warga Indonesia.
9. Mitos 9. Orang bilingual lebih nyaman menyatakan perasaannya dengan bahasa pertamanya
Mitos in salah karena pada banyak bilingual, kedua bahasa berkembang secara bersamaan sehingga
mereka nyaman menggunakan kedua bahasa untuk menyatakan perasaan

Kesembilan mitos tentang fenomena bilingualisme di atas lebih menyasar pada bilingualisme pada
orang dewasa. Selain mitos di atas ada mitos kuhus tentang anak-anak bilingual. Berikut dijelaskan
mitos-mitos tersebut.

1. Mitos 1: Bilingualisme bisa menghambat perkembangan pemerolehan bahasa pada anak-anak.


Mitos ini salah karena penelitian terbaru menunjukkan bahwa anak-anak bilingual memiliki
fleksibilitas pola fikir dan dan kemampuan menggunakan kedua bahasa, sesuai dengan kebutuhan
riil.

2. Mitos 2: Bahasa yang digunakan di rumah berpengaruh negatif terhadap pemerolehan bahasa
kedua di sekolah. Mitos ini salah karena justru bahasa pertama bisa dijadikan sebagai dasar linguistik
untuk belajar bahasa kedua. Mereka sudah memiliki pengalaman berbahasa sehingga memahami
bahwa bahasa sesungguhnya alat untuk berkomunikasi dan bersosialisasi.

3. Mitos 3: Apabila orang tua ingin anak mereka menjadi seorang bilingual, mereka harus
menerapkan strategi satu orang tua satu bahasa. Mitos ini salah karena yang terpenting adalah
belajar berdasarkan kebutuhan. Pemerolehan bahasa sangat dipengaruhi oleh kebutuhan anak
dalam belajar bahasa kedua> semakin realistis tujuan tersebut, semakin berhasil. Yang lebih baik
adalah apabila di keluarga, bahasa yang lebih banyak dipakai adalah bahasa yang lebih lemah
sehingga terjadi keseimbangan bahasa.

4. Mitos 4: Anak yang dibesarkan secara bilingual akan mencampuradukkan dua bahasa dalam
percakapan sehari-hari. Mitos ini salah karena apabila anak berkomunikasi dengan mono lingual
mereka cenderung akan menggunakan satu bahasa percampuran mungkin terjadi apabila saat yang
bersamaan, anak harus berbicara dengan monolingual dan bilingual

2.4 BILINGUALISME PADA ANAK-ANAK

Anak-anak umumnya menjadi bilingual secara alamiah, yaitu mereka memperoleh dua bahasa tanpa
mereka sadari melalui interaks! keseharian dengan masyarakat di lingkungannya. Tetapi menurut
para ahli, anak-anak juga bisa belajar untuk menjadi seorang bilingual. Mereka bisa belajar dua
bahasa di rumah, sekolah atau masyarakat. Ini terjadi pada orang tua yang memang ingin agar anak
mereka menjadi bilingual sejak usia dini, padahal orang tua tersebut tidak bilingual. Banyak anak-
anak yang mampu memperoleh dua bahasa dengan level sama baiknya, tetapi kadang-kadang juga
salah satu bahasa menjadi lebih kuat dari yang lainnya. Bahasa yang lebih kuat pada anak disebut
sebagai Dominant Language. Dominant language ini bisa berubah apabila suatu saat anak tidak
mendapat exposure pada bahasa yang lebih kuat tersebut atau tidak lagi menggunakan bahasa
tersebut.

Belajar berbicara dalam dua bahasa memerlukan banyak latihan dalam konteks pengalaman belajar
nyata yang sesuai dengan usia anak-anak. Tanpa mengalami langsung tentang penggunaan bahasa,
akan sulit bagi siswa untuk memeroleh bahasa keduanya. Sebagian terbesar penelitian tentang
perkembangan berbahasa dalam konteks bilingualisme anak-anak dilakukan dengan desain Case
Study. Salan satu penelitian yang fenomenal adalah penelitian seorang bilingual German Inggris.
Leopod, yang meneliti perkembangan kemampuan berbahasa putrinya sendiri, Hildegrad dan Karla
selama 10 tahun. Data dikumpulkan dengan menggunakan sitem diary entries dan metode analisis
yang digunakan menjadi acuan bagi pembaca dan peneliti tentang perkembangan bahasa anak. Hasil
penelitian Leopod banyak direview oleh para akhli bilingualisme seperti Hoffmann, 1991:48). dikutip
dari

Penelitian lain yang juga meneliti tentang pekembangan bahasa anak bilingual dilakukan oleh
Redlinger and Park (1980); Oksaar (1980); Meisel (1984); Kutsch and Desgranges (1985)
(sebagaimana yang dikutip oleh Hoffman, 1991:49), Penelitian-penelitian ini memberi kesempatan
kepada para peneliti untuk membandingkan hasil/temuan berdasarkan jenis bahasa dan umur anak
anak sehingga teori tentang perkembangan bahasa anak-anak bilingual bisa menjadi lebih kuat.
Penelitian-penelitian perkembangan bahasa anak umumnya mencakup perkembangan kosa kata,
struktur kalimat, pragmatik, alih kode, pelafalan, dan interlanguage.

Ada banyak anak-anak di dunia yang sudah menjadi bilingual sejak belajar bahasa pertama mereka
sebagai akibat dari perkawinan campur orang tua. Ada juga anak-anak memang secara sengaja
dipersiapkan oleh orang tuanya untuk menjadi bilingual. Para orang tua yang memang menyiapkan
anak mereka menjadi bilingual mungkin memiliki persepsi bahwa menguasai bahasa asing yang
prestigious sangat penting dimulai sejak dini. Orang tua seperti ini biasanya membaca buku
pedoman yang ditulis oleh orang tua yang sudah mengalami mendidik anak-anak mereka menjadi
early bilinguals (bilingual yang dimulai sejak usia dini atau buku pedoman yang ditulis oleh ahli
bilingual (Hoffman, 1991:40)

2.5 MEMBANTU ANAK-ANAK MENJADI BILINGUAL

Metode untuk membantu anak-anak menjadi bilingual ini dikutip dari sumber internet (www.
Bilingual Children.htm) di mana orang tua diberi pedoman tentang bagaimana anak bisa dibantu
untuk bisa menjadi seorang bilingual sejak dini.

1. Mulai dengan menggunakan dua bahasa sejak awal mulai bercakap-cakap dengan anak. Biarkan
dia mengenal kedua bahasa tersebut karena berdasarkan hasil penelitian, tidak ada dampak negatif
apabila seorang anak diekspose dalam dua bahasa sejak dini.

2. Apabila di sekolah salah satu bahasa digunakan secara eksklusif, gunakan bahasa yang lain secara
intensif di rumah. Dengan demikian exposure tetap dalam bahasa yang berbeda pada situasi atau
tempat yang berbeda. 3. Sediakan anak-anak dengan kesempatan, media atau sumber belajar dua
bahasa dalam kesehariannya. Misalnya buku-buku cerita yang menarik dalam bahasa Inggris dan
berbicara dengan orang tua dalam bahasa Indonesia.

Grosjean (2010) menambahkan 3 saran tentang bagamana membantu anak-anak untuk men jadi
seorang bilingual. Ketiga saran tersebut diuraikan sebagai berikut.

1.Metode "one person-one language", yaitu suatu metode di mana masing-masing orang tua
menggunakan satu bahasa ketika berinteraksi dengan anak. Ada beberapa apabila menggunakan
metode ini, yaitu, anak membangun pembisaaan berbahasa yang berbeda sehingga tingkat
bilingualitas anak berkembang secara seimbang. Tetapi kelemahannya adalah, pada saat anak mulai
bersekolah, salah satu bahasa yang berkembang secara natural di rumah akan terpakai secara lebih
dominan di sekolah. Dengan demikian akan terbentuk bahasa dominan (bahasa yang lebih kuat)
sehingga bilingualitas menjadi tidak seimbang.
2. Metode 'one home language only' yaitu metode di mana bahasa yang dipakai di rumah adalah
bahasa yang lebih lemah saja. Yang disebut sebagai bahasa yang lemah adalah bahasa yang memiliki
kecendrungan, frekuensi dan kesempatan menggunakan tidak sebanyak bahasa lainnya. Misalnya
imigran dari Italia yang tinggal di Australia, Bahasa Italia menjadi bahasa yang lebih lemah karena
anak-anak mengalami exposure bahasa Inggris yang kuat di luar rumah (di sekolah, pergaulan
dengan teman, televisi, dan sebagainya). Dengan metode 'satu bahasa rumah' akan
menyeimbangkan kemampuan berbahasa anak dalam bahasa minor dan bahasa dominan).

3. Metode 'the second variant' yaitu metode penggunaan hanya satu bahasa baik di rumah maupun
di luar rumah pada empat tahun pertama usia anak. Kemudian sejak usia empat tahun mereka
sudah memulai kegiatan belajar di luar rumah secara rutin dan terjadwal. Saat inilah anak sudah bisa
diekpos dengan bahasa lain (bahasa kedua atau bahasa asing). Strategi ini sudah dicoba oleh seorang
ahli bilingualisme (Einar Haugen) ketika masih anak-anak dan berhasil. Saat sebelum mulai sekolah
dia secara eksklusif hanya menggunakan Bahasa Norwegia di rumah dan selanjutnya mulai belajar
bahasa asing setelah usia empat tahun. Ini terangkum dalam kutipan berikut.

"My parents took the position that I would learn all the English needed from my playmates and my
teachers, and that only by learning and using Norwegian in the home could maintain a fruitful
contact with them and their friends and their culture."

Kutipan di atas menekankan bahwa seorang anak perlu memiliki dasar yang baik dalam bahasa
pertamanya sebelum dikenalkan pada bahasa kedua atau asing. Pengalaman ini sangat bermanfaat
dalam hal menentukan kapan sebaiknya seorang anak diperkenalkan pada bahasa kedua dan
bagaimana caranya agar perkembangan kemampuan kedua bahasa bisa berlangsung secara nyaman
dan efektif.

2.6 BAGAIMANA ANAK-ANAK MENJADI BILINGUAL?

Sehubungan dengan proses yang dialami anak-anak untuk menjadi bilingual, setiap anak me rupakan
individu yang unik karena mereka memiliki pengalaman berbahasa yang berbeda, semangat dan
motivasi untuk menjadi bilingual yang berbeda pula. Anak-anak pada umumnya memiliki fase
perkembangan bahasa yang nampir sama. Misalnya pada usia satu tahun, anak-anak mampu
mengucapkan satu kata (misalnya mengucapkan kata-kata yang memanggil orang terdekat, seperti
"mama" or "dada"). Pada usia 2 tahun, hampir semua anak bisa menghasilkan ujaran dua kata
(misalnya, bola adik', 'mama maem. Fase ini terjadi secara alamiah baik pada anak bilingual maupun
monolinguali. Pada anak bilingual, fase selanjutnya adalah anak-anak menghasilkan ujaran yang
lebih panjang tetapi biasanya menjadi unik karena mereka mencampuradukkan gramatika kedua
bahasa, menggunakan kata dan kedua bahasa pada satu kalimat yang sama. Apa yang terjadi pada
fase ini merupakan fase yang normal bagi anak-anak bilingual di mana mereka mulai me
ngembangkan ketrampilan berbahasa yang lebih bermakna dan kontekstual.

Pada saat bahasa kedua diperkenalkan, beberapa anak mungkin tidak berbicara selama beberapa
saat. Periode diam (silent period) ini bisa terjadi selama beberapa bulan, tetapi ini tidak perlu
dikhawatirkan karena ini normal dan anak-anak akan menjadi normal lagi pada saatnya
(www.bilingualchildren.html). Pendapat Grosjean sehubungan hal tersebut di atas adalah bahwa
meskipun anak-anak lebih mudah menangkap bahasa baru, proses perkembangan menjadi anak
bilingual memang harus melibatkan orang tua dengan sistem yang direncanakan bersama.
RINGKASAN BAB 2

Berdasarkan sejarahnya, bilingualisme sudah terjadi sejak peradaban di dunia mulai, hanya saja
istilah dan keilmuan di bidang ini baru berkembang pada awal abad ke 17 tetapi penelitian penelitian
di bidang ini baru terjadi secara intensif sejak awal abad ke-20. Meluasnya fenomena bilingualism
menjadi daya tarik bagi para peneliti untuk menjelaskan berbagai aspek yang ber hubungan dengan
bilingualism dan dari tiga sudut pandang yang berbeda, yaitu individu, kelompok masyarakat,
maupun dari bahasa itu sendiri. Pertanyaan yang paling mendasar yang menjadi perhatian para ahli
sejak awal adalah: "How bilingual a bilingual should be to be considered bilingual?"

Kompleksitas bilingualism memicu munculnya banyak mitos, seperti misalnya bahwa pe nguasaan
bahasa pertama berpengaruh negatif terhadap penguasaan bahasa kedua atau bilingualism akan
menghambat pemerolehan bahasa kedua. Bab ini juga membahas tentang per kembangan
bilingualism pada anak-anak.
BAB III

MENDEFINISIKAN BILINGUALISME SEBAGAI SEBUAH KONSEP

KOMPETENSI DASAR

-Memahami alasan munculnya berbagai klasifikasi dan definisi konsep bilingualisme dan berbagai
permasalah yang muncul dari penjelasan tentang prinsip bilingualism dari berbagai literatur.

TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Membandingkan berbagai definisi bilingualisme dari berbagai literatur

2. Menjelaskan masalah yang muncul dari setiap definisi bilingualism sebagai sebuah konsep dari
berbagai sumber

URAIAN MATERI

3.1 PENDAHULUAN

Definisi popular dan sederhana tentang bilingualisme dan mungkin juga ada di benak anda adalah
kemampuan seseorang untuk dapat berkomunikasi dengan dua bahasa. Definisi ini sudah tentu
menimbulkan pertanyaan selanjutnya, seperti misalnya: kemampuan yang bagaimana? Apa yang
dimaksud berkomunikasi, apakah lisan atau tulisan? Seberapa mampukah seseorang dalam bahasa
kedua sehingga dia sudah bisa disebut orang bilingual? Mungkinkan seseorang bisa memiliki
kemampuan berbahasa pertama dan kedua secara berimbang? Bagaimana cara me ngukumnya?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini selalu muncul dalam penjelasan teori atau konsep tentang
'bilingualisme'. Bahkan di beberapa literatur tentang bilingualisme, pertanyaan besar selalu
dimunculkan sebelum penjelasan tentang konsep dimulai. Pertanyaan tersebut adalah: "How
Bilingual A Bilingual Should Be To Be Considered Bilingual?"

Bab ini membahas bagaimana konsep bilingualisme dijelaskan dari berbagai sumber dan apa
kelemahan atau kekuatan dari setiap penjelasan tersebut. Berbagai cara mendefinisikan konsep
beserta kelemahannya direview dalam bab ini, kemudian bagaimana dua aliran konsep ber kembang
sebagai akibat dari kompleksitas bilingualisme juga dibahas.

3.2 FENOMENA KEBAHASAAN DI INDONESIA

Untuk dapat menggunakan dua bahasa, tentu saja seseorang harus menguasai kedua bahasa
tersebut dengan baik. Bahasa pertama yang dikuasai seorang anak sejak dilahirkan adalah Bahasa
Ibu (mother language) yang selanjutnya disebut sebagai bahasa pertama (L1) Setelah itu pada saat
anak sudah mulai masuk sekolah, dia mengembangkan bahasa yang dipakai sebagai bahasa
pengantar di sekolah, yang mana di Indonesia adalaha bahasa nasional, yaitu Bahasa Indonesia.
Kedua bahasa ini bisa dikatakan berkembang secara alamiah karena anak secara terus menerus
mengalami eksposur terhadap kedua bahasa ini secara natural. Dengan kata lain, kedua bahasa
berkembang tanpa memerlukan manipulasi proses belajar secara formal. Eksposur tidak hanya
terjadi di lingkungan sekolah tetapi juga di keluarga, masyarakat dan media massa. Dari kondisi
kebahasaan seperti ini muncullah bilingual sejati yang sering disebut True Bilingual atau juga kadang-
kadang disebut Natural Bilingual (bilingual alamiah). Mengingat terjadinya secara ber samaan dan
dimulai sejak usia anak-anak, fenomena kedwibahassan seperti ini bisa juga disebut sebagai early
bilingualisme (bilingualisme dini). Penguasaan kedua bahasa ini saling melengkapi dan digunakan
secara bersamaan atau terpisah sesuai dengan kebutuhan berbahasa individu, sehingga dalam
pembahasan tentang bilingualisme, kedua bahasa dianggap sama-sama sebagai bahasa pertama
(L1). Jadi dalam menjelaskan fenomena berbahasa di Indonesia, setiap individu di Indonesia bisa
dinggap bilingual karena mereka bisa berbahasa daerah dan sekaligus berbahasa Indonesia. Tetapi
karena dewasa ini kebutuhan untuk bisa menguasai bahasa Inggris begitu tinggi. maka Bahasa Inggris
dianggap sebagai bahasa kedua.

Selanjutnya seorang anak di Indonesia juga diperkenalkan pada bahasa asing (yaitu Bahasa Inggris).
Untuk kebutuhan membahas fenomena kedwibahasaan (bilingualisme), bahasa baru/asing/
internasional (Bahasa Inggris) dalam buku ini dianggap sebagai bahasa kedua (L2). Konsep
bilingualisme dalam hal ini mencakup kemampuan berbahasa Indonesia dan/atau bahasa daerah
(selanjutnya disebut L11 dan kemampuan berbahasa asing yaiu Bahasa Inggris (L2). Jadi bisa
dibayangkan bahwa ada upaya secara sadar yang dilakukan oleh pebelajar di Indonesia untuk bisa
menguasai L2 agar selanjutnya bisa dianggap sebagai seorang bilingual.

Selain bilingualisme, istilah lain yang juga sering terpakai dalam fenomena kebahasaan, yaitu
multilingualisme, yaitu kemampuan menggunakan lebih dari dua bahasa dalam interaksi dengan
orang lain secara bergantian. Namun dengan fenomena kedwibahasaan yang semakin besar
sekarang ini, hampir semua orang yang belajar bahasa asing sebenamya sudah bilingual karena
sudah menguasa bahasa daerah dan bahasa nasional. Oleh sebab itu penggunaan istilah
bilingualisme dan multilingualisme sering saling melengkapi atau malah saling menggantikan.

3.3 DEFINISI BILINGUALISME YANG PEROBLEMATIK

Definisi bilingualisme sendiri sering problematik karena selalu menyisakan pertanyaan sebagai mana
disebutkan di atas yaitu: How bilingual a bilingual should be to be considered bilingualt Beberapa
definisi tentang bilingualisme berasal dari ahli seperti Bloomfield, Weinreich, Haugen dan Markey,
Masing-masing memberikan definisi yang berbeda dan diwamai berbagai interpretasi, baik konotasi
positif atau negatif. Namun beberapa definisi bilingualisme yang telah diajukan, beberapa di
antaranya secara mengejutkan bertentangan dengan definisi bilingualisme pada umumnya. Masalah
dalam mendefinisikan bilingualisme terjadi karena ada kesulitan untuk menentukan apa artinya
'mengenal' bahasa. Beberapa orang sangat mahir dalam kedua bahasa yang mereka gunakan untuk
berinteraksi, sementara yang lain jelas memiliki bahasa yang dominan atau disukai, Apakah salah
satu dari mereka dapat dikatakan sebagai seorang bilingualt Apakah kemampuan berbicara dua
bahasa dengan sempuma dapat dikatakan sebagai bilingual? Jika demikian, maka ada beberapa
bilinguals di dunia. Bagaimana jika Anda berbicara dan me mahaminya, tetapi tidak tahu bagaimana
membaca atau menulisnya? Bagi seseorang yang benar benar bilingual adalah dua penutur asli
dalam satu. Mereka membayangkan bahwa orang seperti itu dapat berbicara, memahami, membaca
dan menulis dalam dua bahasa di tingkat tertinggi., Namun bagi orang lain istilah bilingual berarti
sesuatu yang sangat berbeda. Sebagai contoh anak anak imigran yang sekolah di AS digambarkan
sebagai anak bilingual, istilah ini sering digunakan sebagai makna terdekat dari 'miskin' atau 'tidak
berpendidikan. Namun anak-anak imigran pada kali pertama mereka di sekolah belum menggunakan
dua bahasa secara maksimal. Mereka monolingual dalam bahasa pertama mereka (L1) dan mereka
tidak bilingual sama sekali. Dalam hal ini istilah bilingual digunakan untuk menyampaikan pengertian
yang sangat berbeda dari makna dari apa yang ahli bahasa definisikan. (Valdes, Guadalupe di
http://www.lsadc.org/info/ling-fields multi.cfm)

3.4 FAKTOR YANG MEMENGARUHI BERBAGAI DEFINISI BILINGUALISME

Mendefinisikan bilingualisme adalah tugas yang tidak mudah mengingat konsep ini amatlah
kompleks. Kompeksitas bilingualisme dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagaimana digambarkan
pada situasi berikut ini.

3.4.1 Ketika Dua Bahasa Diperoleh Secara Alamiah (Acquisition)

Klasifikasi individu bilingual baik sebagai early bilingual (bilingual dini) atau late bilingual (bilingual
dewasa) bisa diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan bagaimana penguasaan dua bahasa
terjadi. Yang pertama adalah simulataneous bilingual (Bilingual simultan) yaitu terbentuknya
bilingualisme di mana pemerolehan bahasa terjadi secara bersamaan sebagai akibat peran aktif
seseorang menggunakan bahasa secara alamiah. Yang kedua adalah receptive bilingual (bilingual
reseptif) di mana seseorang terekspose dalam kedua bahasa sehingga kedua bahasa menjadi
berkembang, tetapi hanya satu bahasa yang digunakan secara aktif. Yang ketiga adalah sequential
bilingual (bilingual berturutan) yaitu seseorang yang memeroleh bahasa kedua (2) setelah
penguasaan bahasa pertama (L1) sudah sempurna. Berikut adalah penjelasan dari masing masing
jenis bilingualism di atas.

1. Early Bilingual (Bilingual Dini)

Bilingual dini ini biasanya terjadi pada bayi yang lahir dari keluarga kawin campur di mana dua
bahasa dipakai secara bersamaan dalam membesarkan bayi. Dengan demikian bayi ini tumbuh
menjadi seorang bilingual sejak pertama dia bisa berbicara. Menurut Haugen (1956: 72) bayi sudah
terlihat ingkat bilingualitasnya saat berusia tiga tahun. Pada usia ini bayi sudan bisa menggunakan
bahasa untuk mengekspresikan suatu pesan walaupun mungkin ucapan belum jelas dan gramatika
masih sangat sederhana. Bilingual dini bisa dibagi menjadi tiga sebagaimana yang dijelaskan berikut
ini.

a. Bilingual Simultan: belajar dua bahasa sebagai 'bahasa pertama'. Bayi yang simultan yang mulanya
sama sekali tidak bisa berbicara namun setelah proses pemerolehan dua bahasa dari kedua orang
tua dan keluarga terdekat langsung bisa berbicara dalam dua bahasa.

b Bilingual Reseptif: Mampu memahami dua bahasa tapi mengekspresikan diri hanya dalam satu.
Anak-anak yang memiliki eksposur yang tinggi ke bahasa kedua sepanjang hidup mereka, tetapi
memiliki sedikit kesempatan untuk menggunakan bahasa akan masuk dalam kategori ini. Misalnya,
anak Australia di Indonesia yang berbahasa Inggris di rumah tetapi mendengar Bahasa Indonesia di
TV, di toko-toko dan dengan teman-teman bermainnya, akan dominan dalam bahasa Inggris dan
menguasai bahasa Indonesia secara pasif. Ketika mereka memasuki prasekolah atau taman kanak-
kanak, anak-anak ini cenderung membuat kemajuan pesat dalam Bahasa Indonesia karena
kemampuan bahasa reseptif dalam Bahasa Indonesia telah dikembangkan.
c. Bilingual Sequantial: belajar satu bahasa setelah sudah mengetahui Bahasa yang lain. Ini adalah
fenomena umum pada golongan usia dewasa di mana mereka sudah memiliki penguasaan bahasa
pertama secara sempurna sebelum mulai mempelajari bahasa kedua (L2).

2. Late Bilingual (Bilingual Dewasa) adalah bilingualisme yang berkembang setelah seseorang
mencapai usia pubertas. Ada teori yang mengatakan bahwa Language Acquisition Device (mesin
bahasa di otak manusia) sudah berkurang elastitasnya untuk mempelajaran bahasa baru setelah usia
pubertas. Namus sampai saat ini belum ada data yang eksklusif yang membuktikan apakah benar
anak-anak lebih baik dalam belajar bahasa asing daripada orang dewasa. Pada orang dewasa,
bilingualisme dipicu oleh adanya suatu kebutuhan atau motivasi untuk belajar bahasa kedua secara
intensif. Ada beberapa alasan yang teridentifikasi tentang mengapa seseorang memiliki motivasi
untuk menjadi bilingual setelah usia dewasa. Pertama, alasan imigrasi, yaitu perpindahan ke negara
lain karena alasan politik, profesi, pendidikan atau alasan personal. Orang-orang dari Timur Tengah
misalnya banyak yang berimigrasi ke Australia sejak tahun 80 an karena alasan politik di negara asal.
Ada pula yang mendapat pekerjaan di negara asing, melanjutkan pendidikan atau ingin menikah
dengan orang asing. Ini merupakan beberapa diantara banyak alasan mengapa seeorang
memutuskan untuk belajar bahasa kedua dan menjadi bilingual setelah LAD tidak elastis lagi.

3.4.2 Bilingualisme Ditinjau dari Kepemilikan Bahasa

Ada dua kemungkinan tentang profisiensi kedua bahasa saat seseorang dalam proses menjadi
seorang bilingual dewasa. Pertama, bilingualisme yang terbentuk mungkin additif, yaitu tingkat
profisiensi berbahasa kedua berpengaruh positif terhadap penguasaan bahasa pertama. Dengan
demikian bahasa kedua menjadi tambahan bahasa yang dimiliki oleh seseorang. Sebagai contoh,
kondisi ini biasanya terjadi pada pebelajar atau pembaca Indonesia yang selama bertahun-tahun
belajar bahasa Inggris di sekolah, sehingga mereka memiliki kompetensi berbahasa inggris yang baik
tanpa kekhawatiran akan kehilangan bahasa pertama.

Kedua, substractive bilingual adalah bilamana penguasaan bahasa kedua berpengaruh negatif
terhadap bahasa pertama karena dengan memiliki bahasa kedua, penggunaan bahasa pertama
menjadi berkurang dan kedudukannya semakin melemah. Bilingual subtraktif kemungkinan terjadi
pada anak-anak imigran yang berada di Amerika Serikat. Pada tahun-tahun awal kehidupan mereka
di Amerika, mereka secara eksklusif menggunakan bahasa dari negara asal mereka. Selanjutnya
anak-anak tersebut disekolahkan di sekolah Amerika sehingga eksposur dengan bahasa inggris
menajadi lebih sering dan intensif. Setelah bertahun-tahun bahasa Ingris menjadi bahasa dominan
dan bahasa pertama menjadi melemah atau berkurang (substraktif).

3.4.3 Konsep Bilingualisme Ditinjau dari Dominasi Bahasa

Dominasi dalam menggunakan bahasa dapat digunakan untuk mengkategorikan bilingual menjadi:

a. Balanced Bilingual (Bilingual Seimbang): yaitu seseorang yang memiliki penguasaan dua bahasa
secara seimbang (sama baiknya)

b. Bilingual Dominan: seseorang dengan kemampuan yang lebih besar dalam satu bahasa dan
menggunakannya dengan frekuensi yang secara signifikan lebih tinggi dari bahasa yang lain

c. Semi-lingual: seseorang yang dalam belajar bahasa kedua ada pada suatu fase di mana bahasa
keduanya belum baik dan di siisi lain, penguasaan bahasa pertama berkurang karena jarang dipakai.
3.4.4 Mengatur Konsep Kognitif dari Dua Bahasa

Tingkat relatif kemahiran dalam dua bahasa memiliki konsekuensi untuk bahasa dan keterampilan
kognitif bilingual.

a. Bilingual Gabungan: memiliki satu sistem semantik tapi dua kode linguistik. Hal ini mengacu pada
seseorang mempelajari dua bahasa dalam waktu yang sama dan dalam konteks yang sama.

Semantic = Bahasa Inggris , Bahasa Indonesia

b. Bilingual Seimbang: memiliki dua sistem semantik dan dua kode linguistik. Hal ini mengacu pada
seseorang yang mempelajari dua bahasa dalam konteks terpisah.

Semantic System 1 Bahasa Indonesia

Semantic System 2 Bahasa Inggris

c. Bilingual Tidak Seimbang: bahasa lemah ditafsirkan melalui bahasa yang lebih kuat.

Semantic System Bahasa Bahasa Inggris

3.5 MASALAH DENGAN DEFINISI BILINGUALISME

Penelitian tentang bilingualisme biasanya menghadapi masalah dasar dalam menetapkan bilingual
itu sendiri. Ada kompleksitas tentang mendefinisikan karena banyak faktor memengaruhi orang
bagaimana bilingual disebut sebagai bilingual. Dalam bentuk yang paling sederhana, bilingualisme
didefinisikan sebagai "mengetahui" dua bahasa (Valdez dan Figueora, 1994). Namun, seperti apa
yang dinyatakan di atas, bahwa tidak ada pengukuran bagaimana orang bisa mengkategorikan
sebagai "tahu bahasa. Beberapa definisi yang diberikan oleh para ahli seperti Weinreich, Bloomfield,
Mackey dan Haugen yang perlu dianalisis terlebih dahulu.

1. Uriel Weinreich (1968) menawarkan satu definisi yaitu "Praktek bergantian menggunakan dua
bahasa akan disebut bilingualisme dan orang yang terlibat disebut bilingual" (dikutip dalam Sebuah
Pengantar Bilingualisme oleh Hoffman, Charlotte, hal: 15). Masalah yang timbul dari definisi ini
adalah istilah dari "dua bahasa yang tidak jelas men jelaskan apakah dua bahasa harus menjadi salah
satu bahasa ibu dan satu bahasa asing atau harus dua dari mereka adalah bahasa asing. Selain itu,
istilah "menggunakan" tidak di definisikan secara jelas apakah itu berarti mampu berbicara dan
membaca dua bahasa atau hanya berbicara itu.

2. Bloomfield 1933: 55) mendefinisikan bilingualisme sebagai "Kemampuan menggunakan dan


mengontrol kedua bahasa dengan kemampuan yang mendekati 'penutur asli dari kedua bahasa
tersebut. (Dikutip dalam Sebuah Pengantar Bilingualisme oleh Hoffman, Charlotte, pg 15).
Masalahnya adalah bagaimana mengukur kemampuan mendekati "penutur asli dari kedua bahasa.
Terlebih lagi, kalau salah satu di antara keduanya adalah bahasa Inggris, per masalahan menjadi
lebih kompleks. Pertama, harus ditentukan dulu siapa yang dimaksud dengan penutur aslinya.
Sebagaimana yang dipaparkan pada Bab 2 di atas, ada negara di dunia yang menggunakan bahasa
Inggris sebagai bahasa nasionalnya, seperti misalnya Inggris, Australia, amerika Serikat dan Canada.
Masalah selanjutnya adalah, bagai mana kemampuan berbahasa 'mendekati kemampuan penurur
asli bisa diukur? Mackey (1962: 52) menjelaskan atau mendefinisikan bilingualisme sebagai
"Penggunaan alternatif dari dua atau lebih bahasa oleh orang yang sama" (dikutip dalam Sebuah
Pengantar Bilingualisme oleh Hoffman, Charlotte, pg 15). Masalah dalam definisi ini adalah istilah
"dua atau lebih bahasa yang menimbulkan kebingungan kita tentang "bi-lingual" itu sendiri. Secara
harafiah kata 'bi' berarti dua sehingga bilingual berarti harus "dua bahasa" yang dikuasai oleh
pengguna tidak lebih dari dua bahasa lebih bahasa". Definisi Mackey ini lebih memperkuat ketidak
jelasan konsep tentang bilingualism.

3. Haugen (1953: 7) menyatakan "Titik di mana pembicara pertama dapat menghasilkan ucapan
ucapan bermakna lengkap dalam bahasa lain" Fokus definisi ini pada kemampuan untuk
"menghasilkan ucapan-ucapan bermakna lengkap yang berarti hanya mencakup kemampuan
berbicara saja. Padahal sesungguhnya kemampuan berbahasa tidak cukup hanya kemampuan verbal
saja karena komunikasi bisa terjadi secara verbal dan tulisan. Definisi ini menjadi sangat sempit dan
tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan ucapan ucapan bermakna
lengkap. Apakah bentuk gramatika dari ucapan yang dimaksud juga perlu diperhatikan?

4. Robert Lado (1964) menyatakan Bilingualisme adalah kemampuan untuk berbicara dua bahasa
dengan sama atau hampir sama baiknya. Secara teknis, pendapat ini mengacu pada pe ngetahuan
dua bahasa berikut dengan tingkat kemampuan berbahasa yang berimbang. Definisi ini juga tidak
lepas dari masalah. Kemampuan berimbang sudah pasti perlu klarifikasi lebih lanjut mengingat alat
ukur kemampuan berbahasa bagi seorang bilingual masih belum ada.

5. Hartman dan Stork (1972) menyebutkan Bilingualisme adalah penggunaan dua bahasa oleh suatu
komunitas penutur. Dalam definisi ini sepertinya yang menjadi tolok ukur tingkat bilingualitas adalah
kemampuan menggunakan bahasa secara verbal dari sekelompok masyarakat. Permasalahannya
adalah, seberapa mampukah setiap individu dalam komunitas penutur tersebut dalam
menggunakan kedua bahasa? Apakah dengan menggunakan bahasa dalam konteks sehari-hari saja
sudah cukup? Apakah harus bisa menggunakan bahasa dalam konteks yang berbeda?

6. Els Oksaar (1983) mengatakan bahwa Bilingualisme bukan hanya milik individu, tetapi harus
diperlakukan sebagai milik kelompok, sehingga memungkinkan adanya masyarakat bilingual. Jadi
dapat disimpulkan dari definisi di atas bahwa bilingualisme terkait erat dengan peng gunaan dua
bahasa atau lebih oleh individu bilingual atau masyarakat bilingual secara ber gantian. Menjadi
bilingual berarti memahami penggunaan dua bahasa secara bergantian baik secara aktif maupun
pasif oleh perorangan atau masyarakat

3.6 ALIRAN MINIMALIS DAN MAKSIMALIS DALAM BILINGUALISME

Dari uraian di atas bisa dilihat betapa banyak istilah-istilah yang bisa ditemukan dalam literatur
tentang bilingualism. Munculnya begitu banyak istilah dan definisi diakibatkan oleh ketidakjelasan
serta ketiadaan batas konsep tentang bilingualism. Secara umum, semua ahli di atas memberikan
definisi terbuka bahwa orang yang bilingual adalah orang yang menggunakan dua bahasa untuk
berkomunikasi dengan tujuan yang jelas. Masalahnya kemudian adalah seberapa baik seharusnya
kemampuan berbahasa yang dimiliki seseorang supaya memenuhi kriteria sebagai seorang bilingual.
Beatons-Beardsmore (1982) kemudian menjelaskan dua aliran yang ekstrem yaitu aliran minimalis
(seperti Mackey, Weinreich) dan aliran maximalis (seperti Bloomfield). Aliran minimalis menganggap
bahwa seseorang sudah bisa dianggap bilingual sepanjang dia bisa mengekspresikan makna dalam
dua bahasa. Ekspresi makna bisa saja dilakukan dengan kosakata yang minim maupun kemampuan
gramatika yang terbatas, yang penting bahwa pesan yang disampaikan melalui bahasa bisa dipahami
oleh lawan bicara. Definisi konsep bilingualisme oleh Haugen misalnya, bisa dianggap minimalis
karena lebih menekankan pada kualifikasi berbahasa minimal yaitu bahwa ucapan-ucapan harus
'lengkap' dan 'bermakna dengan kata lain, definisi ini mengakui seseorang yang cukup fasih untuk
menanyakan informasi tentang alamat pada orang di jalanan, atau menanyakan harga di toko, atau
menanyakan jam pada orang asing, sudah bisa dianggap bilingual.

Sementara itu aliran maksimalis menganggap bahwa seseorang harus memiliki kemampuan
berbahasa yang sangat tinggi dan mendekati kemanipuan seorang penutur asli supaya bisa dianggap
sebagai seorang bilingual. Kemampuan mendekati penutur asli tersebut mencakup kemampuan
mengucapkan, keluasan kosa kata, 'style' berbicara, kemampuan menggunakan bahasa dalam
keempat ketrampilan yaitu mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Definisi Bloomfield dan
Ladi di atas bisa mewakili kaum maksimalis karena kedua ahli ini menekankan tingkat bilingualitas
seseorang melalui kemampuan menggunakan bahasa yang mirip dengan kemampuan penutur
aslinya.

Orang menggunakan istilah "bilingualisme" dengan cara yang berbeda. Bagi beberapa orang,
bilingualisme diartikan sebagai kemampuan yang sama untuk berkomunikasi dalam dua bahasa. Bagi
yang lain, bilingualisme cukup didefinisikan sebagai kemampuan untuk berkomunikasi dalam dua
bahasa, tetapi dengan keterampilan yang lebih besar dalam satu bahasa. Orang mungkin menjadi
bilingual baik dengan memeloreh dua bahasa secara alamiah pada saat bersamaan di masa kecil
atau dengan belajar bahasa kedua beberapa saat setelah memeroleh bahasa pertama mereka.
Banyak orang bilingual tumbuh berbicara dua bahasa. Sering di Indonesia orang-orang seperti ini
adalah anak-anak dari pemikahan campur antara Indonesia dan asing. Anak-anak ini tumbuh
berbicara bahasa asli orang tua mereka (biasanya bahasa asli ibu mereka) di rumah masa kecil
mereka ketika berbicara bahasa di sekolah. Anak-anak juga bisa menjadi bilingual jika orang tua
mereka berbicara lebih dari satu bahasa ke bahasa mereka, atau jika beberapa orang penting lainnya
dalam hidup mereka (seperti kakek-nenek atau pengasuh berbicara kepada mereka secara konsisten
dalam bahasa lain, Singkatnya, seorang anak muda yang secara teratur menggunakan dua bahasa
sejak usia dini kemungkinan besar akan menjadi pembicara asli fasih kedua bahasa. Eksposur harus
melibatkan interaksi, seorang anak yang dibesarkan dalam rumah tangga berbahasa Inggris dan
hanya mendapat exposure bahasa Indonesia melalui program televisi saja tidak akan menjadi
bilingual Bahasa Indonesia-Bahasa Inggris. Seorang anak akan menjadi bilingual apabila secara
teratur dia berbicara dengan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Dalam situasi nyata istilah
bilingual hanya dapat didefinisikan seperti itu. Apakah mereka mendapatkan L2 sejak ia lahir atau
setelah dia mendaftar sekolah tidak perlu disebutkan selama ia mampu berbicara dalam dua bahasa.
Jadi ketika seseorang memahami ucapan dan bisa berbicara dalam dua bahasa, ia bisa disebut
sebagai orang bilingual.

Dari pembahasan di atas, secara sederhana bisa disimpulkan bahwa orang bilingual adalah
seseorang yang bisa berbicara dalam dua bahasa. Satu bahasa adalah bahasa pertama (baik Bahasa
Ibu maupun bahasa nasional) dan yang lainnya adalah bahasa lain atau bahasa asing. Kondisi apakah
seseorang bisa berbicara dengan kemampuan yang berimbang dalam dua bahasa atau tidak, bukan
merupakan hal yang terlalu perting. Alasan yang dikemukakan adalah karena sudah me rupakan
kewajaran bag, seseorang yang bisa berbicara dalam dua bahara memiliki bahasa yang dominan.
Dengan kata lain, seseorang yang bilingual merasa lebih nyaman dalam menggunakan salah satu
bahasa tetapi tidak bermasalah ketika harus menggunakan bahasa yang lainnya. Jadi memiliki
bahasa dominan merupakan hal yang wajar.

Mungkin saja dalam kehidupan sehari-hari tingkat bilingualitas seseorang dinilai dari seberapa fasin
dia bisa berbicara dalam bahasa asing. Derigan kata lain, orang Indonesia dianggap memiliki tingkat
bilingualitas yang tinggi apabila dia bisa berbicara dalam bahasa Inggris sacara fasih, tanpa perlu
melihat seberapa bagus bahasa Indonesianya. Ini terjadi karera tingkat bilingualitas kadang-kadang
dilihat dari kemampuan berbahasa yang dianggap lebih prestigious. Ada juga pendapat bahwa
tingkat bilingualitas hanya bisa dinilai apabila seseorang memiliki kemampuan menggunakan dua
bahasa dengan sama baiknya dan dengan mudah beralih dari satu bahasa ke bahasa sesuai bahasa
menggunakan dua bahasa sudah tentu sulit diukur. Kefasihan dalam bahasa pertama mungkin tidak
perlu diragukan karena seseorang terlahir dan besar bersama bahasa tersebut. Sedangkan kefasihan
dalam bahasa kedua mungkin bersifat kontekstual, Pada saat berbicara tentang sebuah topik yang
tidak sulit bagi penutur, bahasa yang digunakan terdengar fasih. Sebaliknya apabila penutur harus
berbicara tentang topik yang dia tidak yakin atau tidak tahu, maka kelihatanlah dia tidak fasih.

Seorang bilingual sejati diyakini juga memiliki pemahaman tentang dua budaya dengan baik.
Sesungguhnya bahasa dan budaya adalah dua properti manusia yang saling berhubungan, sehingga
bukan hal aneh apabila seseorang vang sudah mencapai kompetensi berbahasa kedua yang tinggi
juga memiliki pemahaman yang baik terhadap budaya penutur asli dari bahasa kedua tersebut.
Sebagai contoh misalnya, seorang pembaca jurusan pendidikan bahasa Inggris semester 7
memilikipengalaman belajar bahasa Inggris sejak dia kelas 4 sekolah dasar. Itu berarti dia sudah
belajar secara formal selama lebih dari 10 tahun saat dia ada di semester 7 di perguruan tinggi.
Dalam mengikuti perkuliahan, bahasa Inggris pembaca tersebut menjadi lebih berkembang dan
mencapai tingkat kefasihan yang hampir sama dengan kefasihannya berbahasa Indonesia. Dosen
selalu menggunakan bahasa Inggris dalam mengampu matakuliah, diskusi, kegiatan kelas dan tugas-
tugas juga dilakukan dalam bahasa Inggris. Selain juga mendapat perkuliahan tentang budaya
penutur asli bahasa Inggris, pembaca juga belajar tentang konteks kebahasaan penutur asli sehingga
selain terjadi perkembangan bahasa juga terjadi perkembangan budaya. Bukan tidak mungkin jika
pada akhirnya pembaca tersebut merasa lebih nyaman menggunakan bahasa Inggris dalam situasi
atau kondisi tertentu, misalnya ketika melakukan presentasi materi sebagai salah satu tugas
perkuliahan, pembaca terlihat lebih percaya diri berbicara dalam bahasa Inggris dibandingkan
dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Berbicara lebih lanjut tentang bahasa dominan yang digunakan oleh seorang bilingual dalam
kehidupan sehari-hari sangat tergantung pada situasi kebahasaan di sekelilingnya. Memang sudah
menjadi fenomena umum untuk orang-orang bilingual, terutama mereka yang telah bilingual sejak
lahir, menjadi agak "dominan" dalam satu bahasa. Tetapi selama dia masih tetap dapat meng
gunakan (berbicara, membaca, menulis dan mendengarkan) bahasa lainnya dalam kondisi tertentu
(di sekolah, di tempat kerja atau ke orang-orang pada umumnya) dia masih bisa disebut sebagai
bilingual.

Bilingual tidak hanya orang yang terekspos dalam dua bahasa sejak lahir (early bilingualism), tetapi
juga orang yang baru belajar bahasa kedua setelah usia pubertas juga (late bilingualism), Alasan
untuk menggunakan bahasa lain dapat bervariasi tergantung pada kebutuhannya. Hal ini dapat
untuk tujuan pendidikan, untuk tujuan profesional atau untuk tujuan sosial. Siswa dari Indonesia dan
harus melanjutkan studi mereka di Arab, harus berbicara Arab di perguruan tinggi mereka. Dalam hal
ini mereka disebut sebagai bilingual karena mereka menggunakan dua bahasa: Bahasa Indonesia dan
Arab. Ketika mereka harus berbicara dengan seorang teman Indonesia, mereka menggunakan
Bahasa Indonesia, tetapi beralih menggunakan bahasa Arab ketika mereka harus berbicara di
kampus.

Pengetahuan mendasar dalam memahami fenomena bilingualisme adalah bahwa bilingualism


sekarang ini sudah menjadi bidang ilmu yang multi-faceted (Hoffman, 1991: 14) atau bisa juga
dikatakan sebagai multi disipliner. Yang dimaksud di sini adalah bahwa ada banyak bidang ilmu yang
memiliki relevansi terhadap fenomena tersebut. Misalnya dalam bidang sosiolinguistik, bilingualism
bisa dijelaskan melalui jenis dan konteks antar kelompok masyarakat dalam berkomunikasi dan
bagaimana bahasa digunakan. Dari bidang ilmu psikolinguistik, bilingualisme bisa dijelaskan dalam
konteks motif dan produksi bahasa yang dihasilkan dalam kondisi tertentu dari penutur. Dari segi
pragmatik misalnya, bilingualisme bisa menjelaskan bagimana makna bisa disampaikan dalam
konteks penggunaan bahasa yang berbeda karena bahasa sangat erat hubungannya dengan budaya
dan seterusnya. Ada bidang-bidang ilmu lain juga yang memiliki relevansi dalam menjelaskan
fenomena bilingualisme seperti misalnya anthropolog), ilmu komunikasi dan sebagainya.

Kesulitan dalam memahami makna Bilingualisme juga dimulai dari kesalahan dalam memahami
istilah tersebut sebagai kemampuan individu atau kemampuan yang dimiliki oleh kelompok tertentu,
salah satunya adalah menerima bahwa tidak akan ada cut-off pain di antara mereka. Terkait dengan
hal ini, kita harus merujuk pada pemahaman ketentuan tentang individu bilingual dan masyarakat
bilingual, yang bisa dirinci sebagai berikut:

a. Bilingualisme sebagai atribut individu: keadaan psikologis dari seorang individu yang memiliki
akses ke dua bahasa/kode untuk dipakai untuk tujuan komunikasi

b. Bilingualisme sebagai atribut sosial: dua bahasa yang digunakan dalam masyarakat di mana dalam
masyarakat tersebut ada nilai-nilai atau budaya yang berlaku yang terkait dengan penggunaan kedua
bahasa yang dipakai.

Dengan adanya pemahaman yang berbeda tentang bilingualisme individu dan masyarakat, kita tentu
harus kritis terhadap sudaut pandang yang diacu apabila mendefinisikan tentang konsep ini.
Sehubungan dengan individu bilingual, sangatlah mungkin untuk menemukan orang yang bilingual
dalam masyarakat monolingual dan menemukan crang monolingual dalam masyarakat bilingual.
Sebagai contoh, kita bira melihat kondisi kebahasaan di Kanada yang dikenal sebagai sebuah negara
bilingual. Di negara ini, bahasa inggris dan Perancis adalah bahasa pertama bagi 59,7% dan 23,2%
dari populasi. Sekitar 98% orang Kanada bisa berbicara dalam bahasa Inggris atau Perancis; 57,8%
bisa berbahasa Inggris saja dan 22,1% bisa berbicara Perancis aja, dan 17,4% bisa berbicara dalam
kedua bahasa. Ada beberapa monolingual bahasa Perancis atau monolingual bahasa Inggris di
negara bilingual ini. Kondisi kebahasaan seperi ini juga terjadi banyak negara di mana terdapat dua
atau lebih bahasa yang dipakai oleh masyarakat bahasa yang berbeda. Sebagai contoh di Indonesia,
sebuah negara unilingual yang hanya memiliki satu bahasa nasional (dan ada banyak bahasa derah
yang menjadi bahasa Ibu dari masyarakat bahasa yang berbeda) yang digunakan oleh semua orang
di sana. Tetapi tidaklah sulit untuk menemukan orang orang bilingual di dalamnya karena dengan
berbagai motivasi, banyak individu-individu di Indonesia yang belajar bahasa Inggris secara intensif
sehingga mereka menjadi bilingual dalam bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Jadi dengan kata
lain, tidaklah menjadi jaminan bahwa apabila sebuah negara adalah monolingual berarti semua
orang di negara tersebut monolingual. Demikian juga sebaliknya, bahwa semua orang bilingual di
negara yang memiliki status sebagai negara bilingual. Sebagaimana contoh di negara Kanada yang
dijelaskan di atas, meskipun negara tersebut secara resmi adalah negara yang bilingual Bahasa
Inggris dan Perancis, tidak semua warga negaranya bisa menggunakan kedua bahasa tersebut.
Bahkan tidak mungkin bahwa ada lebih banyak orang monolingual di negara bilingual, ada ada lebih
banyak orang bilingual di negara monolingual

Dalam mendefinisikan istilah bilingualisme kita selalu memerlukan sudut pandang dan tujuan yang
jelas dulu. Umumnya kita harus melihat dari beberapa faktor yang memengaruhi mengapa atau
bagaimana atau kapan bilingualisme itu terjadi. Dengan sudut pandang yang berbeda, kita akan
memiliki beberapa definisi tentang bilingualisme. Sebagai contoh, ketika kita melihat Bilingualisme
dari sudut pandang minimalis, pemahaman kita akan merujuk pada definisi minimalis bilingualisme
ditawarkan oleh Mackey dan Weinreich. Kita dapat mengatakan secara sederhana bahwa
bilingualisme adalah kemampuan untuk menggunakan dua bahasa untuk ber komunikasi. Atau kalau
kita melihat dari sudut pandang kapan bilingualism itu terjadi, maka kita akan medapatkan istilah
early bilingualism dan late bilingualism, di mana bilingualism terjadi sejak bayi lahir atau terjadi
mulai usia dewasa.

Masalah dalam mendefinisikan bilingualisme juga sering terjadi karena ada kesulitan dalam
bagaimana orang bisa disebut sebagai "tahu" bahasa. Begitu banyak persepsi tentang istilah "tahu"
bahasa itu sendiri yang memengaruhi sudut pandang mereka mendefinisikan bilingualisme. Ada
beberapa orang mengatakan bahwa mampu berbicara sedikit dalam bahasa asing dapat disebut
sebagai bilingual, dan beberapa lainnya lagi mengatakan bahwa orang harus menguasai dua bahasa
untuk dapat disebut sebagai bilingual. Akhirnya, hati-hati mendefinisikan derajat bilingualisme di
setiap keadaan dan untuk setiap peserta didik ini penting karena keputusan pendidikan tergantung
pada keakuratan definisi ini.

RINGKASAN BAB 3

Masalah utama dalam memahami bilingualism adalah karena konsep keilmuan yang agak terbuka
sehingga batas antara bilingualisme dan multilingualisme menjadi kabur. Para ahli membuat
klasifikasi bilingualism dari berbagai sudut pandang untuk menghindari kerancuan makna
bilingualism dalam penelitiannya. Dari sudut pandang kompetensi berbahasa misalnya, ada istilah
true bilingualism atau balanced bilingualism atau early bilingualism yang sebenarnya mengacu pada
jenis bilingualisme yang sama. Dari sudut pandang masa mulainya seseorang menjadi bilingual, ada
dua klasifikasi yaitu bilingualism dini fearly bilingualism) dan bilingual dewasa (late) bilingualism).
Dari sisi perbandingan penguasaan bahasa dari bahasa pertama dan bahasa kedua, muncul istilah
bilingualisme berimbang (balanced bilingualism) dan bahasa dominan (dominant language).

Anda mungkin juga menyukai