Anda di halaman 1dari 15

UAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

NAMA : VAN WILDAN SOEKOCO

NIM : 11000120140553

Hukum Pidana Internasional

Kelas G
Kasus 1 : Penarikan Diri Burundi dari Statutta Roma 1998

Kasus 2 : Kasus Pelanggaran Ham berat oleh presiden deterte filipina

KASUS 1

KRONOLOGI

Keputusan Burundi untuk menarik diri dari Statuta Roma 1998, yang mendirikan
Mahkamah Pidana Internasional (ICC), diumumkan pada Oktober 2016. Pengumuman tersebut
menciptakan gelombang kontroversi dan keprihatinan di tingkat internasional. Alasan yang
diberikan oleh pemerintah Burundi melibatkan kritik terhadap Mahkamah Pidana Internasional,
dengan menyatakan bahwa lembaga tersebut bersifat sepihak dan tidak adil terhadap negara-
negara Afrika. Keputusan ini tampaknya dipengaruhi oleh pandangan beberapa negara Afrika
yang merasa ICC memiliki kecenderungan untuk lebih fokus pada penuntutan terhadap
pemimpin Afrika. Argumen tersebut telah menjadi salah satu kritik umum terhadap ICC, yang
dianggap oleh beberapa pihak sebagai tidak adil dan tidak seimbang dalam menangani kasus-
kasus kejahatan internasional.

Pengumuman penarikan diri Burundi menyebabkan respons negatif dari komunitas


internasional, kelompok hak asasi manusia, dan beberapa negara mitra. Mereka mengecam
keputusan tersebut karena dapat membahayakan upaya global untuk menegakkan keadilan
internasional dan memerangi impunitas atas kejahatan serius, termasuk pelanggaran hak asasi
manusia. Proses formal penarikan diri dimulai setelah pengumuman tersebut, sesuai dengan
ketentuan Statuta Roma. Penarikan diri tersebut dijadwalkan berlaku setelah satu tahun
pemberitahuan, yang berarti bahwa keanggotaan Burundi dalam ICC diharapkan berakhir pada
Oktober 2018. Selama periode ini, pihak-pihak yang memperhatikan perkembangan tersebut
memonitor apakah ada perubahan atau pembalikan dalam kebijakan pemerintah Burundi atau
respons dari komunitas internasional.
Keputusan Burundi untuk menarik diri dari ICC menciptakan tantangan serius bagi upaya
global untuk memastikan akuntabilitas terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan
internasional. Sementara itu, keputusan ini juga membuka dialog lebih lanjut tentang peran dan
efektivitas ICC, serta perlunya reformasi untuk memastikan bahwa lembaga tersebut dapat
mendapatkan dukungan universal dan dipandang adil oleh seluruh komunitas internasional.

Pada bulan Oktober 2017, pemerintah Burundi secara resmi mengumumkan keputusan
untuk menarik diri dari Statuta Roma 1998, yang mendirikan Mahkamah Pidana Internasional
(ICC). Pengumuman ini menandai langkah konkret setelah sebelumnya mereka telah
menyatakan niat untuk meninggalkan ICC. Pemerintah Burundi menyatakan bahwa alasan di
balik penarikan diri ini terletak pada pandangan bahwa ICC bersifat sepihak dan tidak adil,
khususnya dalam menanggapi situasi di negara-negara Afrika. Keputusan ini menuai reaksi keras
dari berbagai pihak, termasuk kelompok hak asasi manusia dan komunitas internasional, yang
memandangnya sebagai langkah yang dapat merugikan upaya keadilan internasional dan
penegakan hak asasi manusia. Penarikan resmi ini menjadi peristiwa penting yang
mencerminkan kompleksitas hubungan antara negara-negara anggota ICC dan tantangan yang
dihadapi Mahkamah dalam menjalankan mandatnya.

Proses penarikan Burundi dari Statuta Roma 1998 mengikuti ketentuan yang diatur oleh
Statuta tersebut. Setelah mengumumkan niatnya pada Oktober 2016, Burundi secara resmi
melibatkan proses penarikan diri pada Oktober 2017. Menurut Statuta Roma, negara yang ingin
menarik diri diharuskan memberikan pemberitahuan resmi kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan menyampaikan alasan penarikan.

Proses ini mencakup periode pemberitahuan satu tahun, dan penarikan diri secara resmi
berlaku setelah berakhirnya periode tersebut. Oleh karena itu, keanggotaan Burundi di
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dijadwalkan berakhir pada Oktober 2018. Proses ini
memungkinkan negara yang menarik diri tetap tunduk pada yurisdiksi ICC untuk kasus-kasus
yang sedang diproses sebelum penarikan. Proses penarikan diri Burundi menciptakan
ketidakpastian terkait pertanggungjawaban atas kejahatan internasional yang mungkin terjadi
selama keanggotaannya di ICC.

Pengumuman penarikan diri Burundi dari Statuta Roma 1998 menimbulkan reaksi dan
kritik tajam di tingkat internasional. Banyak negara dan kelompok hak asasi manusia
mengungkapkan keprihatinan mereka terhadap langkah ini, menganggapnya sebagai langkah
yang merugikan terhadap keadilan internasional dan perlindungan hak asasi manusia. Komunitas
internasional menyoroti bahwa penarikan diri Burundi dari Mahkamah Pidana Internasional
(ICC) dapat menciptakan celah dalam pertanggungjawaban global terhadap kejahatan
internasional.

Organisasi hak asasi manusia dan lembaga internasional menekankan pentingnya


keberlanjutan upaya kolektif untuk memerangi impunitas dan menghormati norma-norma hak
asasi manusia. Reaksi ini mencerminkan keprihatinan global terhadap dampak penarikan diri
tersebut terhadap sistem hukum internasional dan keadilan global. Meskipun Burundi mungkin
mengklaim bahwa penarikan diri tersebut dilakukan untuk menjaga kedaulatannya, komunitas
internasional menegaskan bahwa keadilan internasional merupakan prinsip yang bersifat
universal dan tidak boleh dikorbankan demi kepentingan nasional semata.

Penarikan diri Burundi dari Statuta Roma 1998 secara signifikan mempengaruhi
Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Keputusan tersebut menciptakan tantangan serius
terhadap otoritas dan keberlanjutan Mahkamah sebagai lembaga pengadilan internasional.
Penarikan ini mengirimkan sinyal bahwa negara-negara anggota dapat memilih keluar jika
merasa kepentingan nasional mereka terancam. Dampaknya memunculkan pertanyaan tentang
legitimasi dan efektivitas ICC dalam menanggapi pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan
internasional.

Ketidaksetujuan beberapa negara terhadap Mahkamah dapat merusak upaya global untuk
memperkuat penegakan hukum internasional. Keputusan negara-negara untuk menarik diri juga
dapat merugikan integritas Mahkamah dalam menjalankan tugasnya untuk mengadili individu
yang terlibat dalam kejahatan serius. Ini menunjukkan bahwa tantangan terus berkembang dalam
menjaga konsensus internasional terhadap Mahkamah Pidana Internasional dan pentingnya
mendukung lembaga ini sebagai instrumen vital dalam mempromosikan keadilan global.

Penarikan diri Burundi dari Statuta Roma 1998 menimbulkan potensi efek domino, yaitu
risiko bahwa negara-negara lain akan mengikuti langkah serupa dalam menarik dukungan
terhadap Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Keputusan Burundi memberikan sinyal bahwa
negara-negara yang merasa tidak puas atau merasa ICC bersifat sepihak dapat mengambil
langkah serupa untuk menghindari pertanggungjawaban internasional. Efek domino ini
menciptakan tantangan serius bagi legitimasi dan keberlanjutan Mahkamah sebagai lembaga
pengadilan internasional yang bertujuan menegakkan keadilan global. Pada gilirannya, hal ini
dapat merugikan upaya internasional untuk mengejar keadilan, melawan impunitas, dan
memperkuat norma-norma hak asasi manusia secara global. Respons terhadap penarikan diri
Burundi menjadi penting untuk mencegah potensi efek domino ini dan mempertahankan
integritas Mahkamah Pidana Internasional.

PERMASALAHAN

Penarikan diri Burundi dari Statuta Roma 1998, yang membentuk dasar hukum Mahkamah
Pidana Internasional (ICC), menghadapi sejumlah permasalahan serius yang mencakup aspek
hukum internasional, hak asasi manusia, dan stabilitas politik.

Pertama, secara hukum internasional, penarikan diri Burundi menciptakan ketidakpastian


terkait tanggung jawab dan kewajiban negara terhadap kejahatan internasional. Statuta Roma
memberikan wewenang kepada ICC untuk menuntut individu yang terlibat dalam kejahatan
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Penarikan
diri Burundi memunculkan pertanyaan apakah negara masih dapat diadili atau diselidiki atas
tindakan kejahatan internasional yang terjadi sebelum penarikan diri. Ini menciptakan
kebimbangan akan impunitas dan kurangnya pertanggungjawaban.

Kedua, dalam konteks hak asasi manusia, penarikan diri Burundi menciptakan risiko serius
terhadap perlindungan hak asasi manusia di dalam negeri. Jika terjadi pelanggaran hak asasi
manusia yang serius, seperti tindakan represif oleh aparat keamanan atau pemerintah, penarikan
diri ini dapat memberikan kekebalan dan mengurangi peluang untuk mengejar keadilan. Hak
korban kejahatan internasional untuk mendapatkan keadilan dan kompensasi juga terancam,
menciptakan tantangan serius bagi upaya penegakan hak asasi manusia dan pencegahan
pelanggaran di masa depan.

Ketiga, secara politis, penarikan diri ini memberikan dampak negatif pada hubungan
Burundi dengan komunitas internasional. Reaksi negatif dan kritik dari negara-negara lain,
organisasi hak asasi manusia, dan badan-badan internasional dapat merugikan citra Burundi dan
meningkatkan isolasi politiknya. Ini dapat mempengaruhi hubungan diplomatik, perdagangan,
dan keterlibatan internasionalnya.
Keempat, dari perspektif Mahkamah Pidana Internasional, penarikan diri Burundi
menciptakan tantangan terhadap otoritas dan keberlanjutan lembaga tersebut. Keputusan Burundi
dapat merusak persepsi terhadap keadilan internasional dan mendorong negara-negara lain untuk
mempertanyakan keterlibatan mereka dengan ICC. Risiko efek domino, di mana negara-negara
lain dapat mengikuti langkah Burundi untuk menarik diri, dapat merusak upaya internasional
untuk menegakkan hukum dan menghukum pelanggaran hak asasi manusia.

Dalam menyikapi permasalahan ini, komunitas internasional harus mencari solusi untuk
memitigasi dampak penarikan diri Burundi dan mendorong kembali negara tersebut ke dalam
kerangka hukum internasional. Upaya diplomatik, dialog, dan tekanan internasional dapat
menjadi langkah-langkah yang perlu diambil untuk merestorasi keterlibatan Burundi dengan
Statuta Roma dan mendukung keadilan internasional serta perlindungan hak asasi manusia.

ANALISIS

Pada tahun 2017, Burundi mengumumkan bahwa mereka akan menarik diri dari Statuta
Roma 1998, yang merupakan dasar hukum bagi Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Keputusan ini memiliki dampak yang signifikan dalam konteks hukum internasional dan
perlindungan hak asasi manusia. Penarikan diri Burundi dari Statuta Roma 1998, yang
mendirikan Mahkamah Pidana Internasional (ICC), menciptakan kompleksitas hukum
internasional yang menimbulkan pertanyaan kritis tentang tanggung jawab dan kewajiban negara
terhadap kejahatan internasional yang melibatkan individu atau pemerintahnya. Keputusan
Burundi untuk meninggalkan ICC mengguncang fondasi sistem hukum internasional yang telah
berkembang sejak pembentukan Mahkamah tersebut, dan implikasinya melibatkan sejumlah
aspek kunci.

Pertama-tama, penarikan diri Burundi membawa tantangan terhadap tanggung jawab


hukum internasional negara tersebut. Sebelum penarikan diri, Burundi, sebagai anggota ICC,
tunduk pada yurisdiksi Mahkamah untuk kejahatan yang melanggar Statuta Roma. Namun,
penarikan diri menciptakan kebingungan tentang bagaimana tindakan hukum dapat diambil
terhadap negara tersebut atas kejahatan internasional yang mungkin telah terjadi selama
keanggotaannya. Pertanyaan muncul apakah penarikan diri tersebut dapat memberikan kekebalan
retroaktif terhadap negara, atau apakah masih mungkin untuk menuntut atau menyelidiki
tindakan kejahatan yang terjadi sebelum penarikan diri.
Keberlanjutan tanggung jawab hukum internasional juga melibatkan pertimbangan apakah
ada mekanisme alternatif yang dapat digunakan untuk memastikan bahwa negara tetap
bertanggung jawab atas tindakan kejahatan internasionalnya. Bisa jadi, lembaga atau forum
internasional lainnya dapat menjadi platform di mana kejahatan tersebut dapat diadili atau
diselidiki, walaupun bukan di bawah yurisdiksi ICC. Pilihan ini kemungkinan besar menjadi
subjek perdebatan dan negosiasi di tingkat internasional.

Selain itu, perhatian harus difokuskan pada perlindungan hak asasi manusia di dalam
negeri. Penarikan diri Burundi dari Statuta Roma menciptakan risiko bahwa pelanggaran hak
asasi manusia yang serius di negara tersebut tidak akan diberikan perhatian yang memadai di
tingkat internasional. Penarikan diri ini dapat memicu kurangnya akuntabilitas terhadap pelaku
kejahatan internasional dan menghambat upaya untuk menegakkan hak asasi manusia secara
global. Reaksi internasional terhadap penarikan diri ini juga merupakan faktor penting dalam
analisis hukum internasional. Komunitas internasional mungkin memberikan respon diplomatik,
sanksi, atau kritik terhadap Burundi sebagai bentuk tekanan untuk mengubah keputusan
penarikan diri atau untuk memastikan bahwa kejahatan internasional diinvestigasi dan diadili
secara adil.

Dalam situasi seperti ini, komunitas internasional harus bekerja sama untuk menjaga
prinsip-prinsip keadilan, hak asasi manusia, dan akuntabilitas kejahatan internasional. Analisis
terhadap dampak penarikan diri Burundi dari Statuta Roma 1998 menciptakan tantangan yang
memerlukan kerjasama global untuk memastikan bahwa norma-norma hukum internasional tetap
dihormati dan bahwa pelanggaran terhadapnya mendapatkan respons yang sesuai.

Penarikan diri Burundi dari Statuta Roma 1998 memiliki dampak yang signifikan terhadap
perlindungan hak asasi manusia di dalam negeri, terutama dalam konteks pelanggaran hak asasi
manusia yang serius. Keputusan untuk meninggalkan ICC dapat menciptakan ketidakpastian
seputar pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia di masa depan, dan dampaknya
dapat dirinci sebagai berikut. Pertama-tama, penarikan diri Burundi dapat membahayakan
mekanisme perlindungan hak asasi manusia yang telah diletakkan oleh ICC. Mahkamah ini
dirancang untuk menjadi lembaga independen yang menangani kejahatan internasional, termasuk
pelanggaran hak asasi manusia. Dengan penarikan diri, korban pelanggaran hak asasi manusia di
Burundi mungkin kehilangan saluran yang penting untuk mencari keadilan internasional.
Selanjutnya, terdapat risiko bahwa penarikan diri ini dapat menciptakan kekosongan
hukum di dalam negeri terkait pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia. Tanpa
tekanan dari tingkat internasional, pemerintah Burundi mungkin merasa kurang terdorong untuk
mempertanggungjawabkan diri atas tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh
aparat keamanan atau pihak berwenang. Ketidakkepastian juga muncul dalam hal
pertanggungjawaban individu yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia. Tanpa
kehadiran ICC, pelaku kejahatan mungkin merasa kebal dari pengadilan internasional, yang
dapat mengakibatkan ketidaksetaraan dalam sistem hukum dan menghambat upaya untuk
mengekang kejahatan semacam itu di masa depan.

Pertimbangan terhadap ketidakkepastian ini tidak hanya bersifat nasional, tetapi juga
berdampak pada citra internasional Burundi. Negara tersebut dapat menghadapi tekanan dan
kritik lebih lanjut dari komunitas internasional, khususnya dari kelompok hak asasi manusia dan
organisasi non-pemerintah yang mungkin berusaha untuk mempromosikan keadilan dan
akuntabilitas.

Keputusan untuk menarik diri dari Statuta Roma juga dapat menciptakan risiko bahwa
tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa depan tidak akan menerima
perhatian yang memadai di tingkat internasional. Ini menciptakan tantangan serius dalam
mencapai keadilan dan akuntabilitas global terkait hak asasi manusia. Dalam konteks ini, upaya
masyarakat sipil, organisasi hak asasi manusia, dan aktor internasional lainnya menjadi krusial
untuk mengisi kekosongan hukum yang mungkin terjadi akibat penarikan diri ini. Mereka dapat
berperan sebagai advokat, memonitor pelanggaran hak asasi manusia, dan mendorong komunitas
internasional untuk melibatkan Burundi secara konstruktif dalam upaya mempromosikan dan
melindungi hak asasi manusia.

Penarikan diri Burundi dari Statuta Roma 1998 memicu berbagai respons dari komunitas
internasional. Reaksi ini mencakup kritik keras, upaya diplomatik, dan pemberlakuan sanksi
sebagai bentuk tekanan untuk mempengaruhi keputusan tersebut. Implikasi politik dari penarikan
diri ini sangat mempengaruhi hubungan Burundi dengan negara-negara lain dan organisasi
internasional. Reaksi pertama dari komunitas internasional terhadap penarikan diri Burundi
umumnya ditandai oleh kritik keras. Banyak negara dan lembaga internasional mengungkapkan
keprihatinan mereka terhadap langkah ini, menyatakan bahwa keputusan tersebut dapat
merugikan hak asasi manusia dan keadilan internasional. Kritik berasal dari berbagai negara,
termasuk mitra dagang dan sekutu sebelumnya, yang mungkin melihat penarikan diri sebagai
langkah mundur dalam kewajiban Burundi terhadap norma-norma hak asasi manusia dan
keadilan internasional.

Sanksi menjadi instrumen penting dalam menanggapi penarikan diri ini. Beberapa negara
atau blok regional mungkin memberlakukan sanksi sebagai bentuk tekanan untuk mendorong
Burundi untuk mempertimbangkan kembali keputusan tersebut. Sanksi ini dapat melibatkan
pembatasan perdagangan, pemotongan bantuan, atau pembekuan aset sebagai cara untuk
memberikan hukuman ekonomi dan politik atas langkah kontroversial tersebut. Meskipun sanksi
sering kali menghadapi tantangan dalam menerapkan dampak yang signifikan, mereka tetap
menjadi alat yang dapat mempengaruhi kebijakan negara yang bersangkutan.

Upaya diplomatik juga menjadi reaksi yang mungkin dilakukan oleh komunitas
internasional. Negosiasi dan dialog mungkin ditempuh untuk mencari pemahaman lebih lanjut
tentang alasannya, serta untuk mendorong Burundi untuk berkomitmen kembali pada prinsip-
prinsip hak asasi manusia dan keadilan internasional. Upaya ini dapat melibatkan negara-negara
pihak ketiga, organisasi regional, atau mediator internasional yang bekerja untuk meredakan
ketegangan dan mengatasi perbedaan pandangan.

Implikasi politik dari penarikan diri ini dapat menciptakan ketegangan dalam hubungan
Burundi dengan negara-negara lain. Negara-negara yang menilai langkah ini sebagai tindakan
yang melanggar norma-norma internasional dan hak asasi manusia mungkin memutuskan atau
mempertimbangkan kembali hubungan diplomatik atau kerjasama dengan Burundi. Ini dapat
mencakup penarikan duta besar, pengurangan bantuan luar negeri, atau pembatasan kerja sama
bilateral atau multilateral.

Selain hubungan bilateral, penarikan diri ini juga dapat memengaruhi keterlibatan Burundi
dalam organisasi internasional. Negara tersebut mungkin menghadapi isolasi atau penolakan
dalam forum-forum internasional tertentu yang menilai pentingnya kepatuhan terhadap norma-
norma hak asasi manusia. Organisasi regional atau internasional juga mungkin mengambil
langkah-langkah untuk menunjukkan ketidaksetujuan terhadap tindakan Burundi, seperti
penangguhan keanggotaan atau hak-hak tertentu dalam forum tersebut.
Bagi Burundi, penarikan diri ini dapat menghasilkan isolasi politik dan ekonomi, terutama
jika banyak negara dan organisasi internasional menentang keputusannya. Implikasi politik ini
dapat membawa risiko serius terhadap stabilitas dan pembangunan negara tersebut. Sementara
itu, dampaknya terhadap hubungan internasional Burundi dapat menjadi pertimbangan penting
bagi pemerintah setempat dalam menilai kembali kebijakan tersebut dan kemungkinan
konsekuensi jangka panjangnya.

Penarikan diri Burundi dari Statuta Roma 1998 bukan hanya masalah hukum internasional,
tetapi juga menjadi fokus perhatian dan perdebatan dalam ranah politik dan diplomasi global.
Respons dari komunitas internasional mencerminkan upaya untuk mempertahankan prinsip-
prinsip hak asasi manusia dan keadilan internasional serta untuk merespons tindakan yang
dianggap merugikan norma-norma tersebut.

Hal ini memiliki dampak yang signifikan terhadap hak korban kejahatan internasional
untuk mendapatkan keadilan dan kompensasi. Selain itu, keputusan ini juga memengaruhi proses
hukum terhadap individu yang dituduh melakukan kejahatan internasional di Burundi. Salah satu
dampak paling langsung adalah pada hak korban kejahatan internasional. Sebelum penarikan
diri, ICC memberikan forum global di mana korban dapat mencari keadilan dan mendapatkan
kompensasi atas penderitaan yang mereka alami. Penarikan diri ini menciptakan hambatan serius
bagi upaya korban untuk menuntut keadilan di tingkat internasional. Mereka kehilangan saluran
yang telah tersedia untuk menghadirkan pelaku keadilan, dan prospek untuk memperoleh
kompensasi atas kerugian pribadi dan kehilangan menjadi semakin sulit.

Tanpa kehadiran ICC, korban kejahatan internasional di Burundi mungkin menghadapi


tantangan besar dalam mengejar proses hukum. Sistem peradilan nasional mungkin tidak
memiliki kapasitas atau keinginan politik untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan
kejahatan internasional dengan serius. Selain itu, terdapat risiko tekanan atau intervensi politik
yang dapat menghambat proses keadilan di tingkat nasional.

Ketidakpastian hukum juga menjadi kendala besar bagi korban. Penarikan diri Burundi
menciptakan kebimbangan apakah pelaku kejahatan internasional di masa lalu akan pernah
diadili. Pertanyaan muncul tentang apakah tindakan kejahatan yang terjadi sebelum penarikan
diri masih dapat diselidiki atau diadili di tingkat internasional. Hal ini menciptakan
ketidakpastian moral dan hukum yang dapat menghancurkan harapan korban untuk melihat
keadilan dilakukan. Pengaruhnya tidak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga oleh individu
yang dituduh melakukan kejahatan internasional di Burundi. Penarikan diri dapat memberikan
ruang untuk impunitas, di mana pelaku kejahatan internasional mungkin merasa terlindungi dari
penuntutan atau tanggung jawab hukum. Keputusan ini dapat mengurangi insentif bagi
pemerintah setempat untuk mengejar penegakan hukum terhadap mereka yang terlibat dalam
pelanggaran hak asasi manusia atau kejahatan internasional.

Selain itu, penarikan diri ini dapat mengirimkan sinyal yang salah kepada pihak berwenang
dan aparat keamanan di Burundi. Jika ada ketidakpastian hukum dan kelemahan dalam
penegakan hukum terhadap kejahatan internasional, hal ini dapat merugikan upaya pencegahan
dan penanggulangan pelanggaran hak asasi manusia di masa depan. Adanya penghargaan
terhadap individu atau kelompok yang terlibat dalam kejahatan internasional dapat merusak
fondasi keamanan dan stabilitas di dalam negeri.

Dampaknya juga meluas ke arena politik dan diplomasi. Penarikan diri ini dapat
menciptakan ketegangan antara Burundi dan negara-negara atau organisasi internasional yang
mendukung keberlanjutan upaya hukum internasional. Negara-negara yang peduli dengan hak
asasi manusia dan keadilan internasional mungkin menempuh langkah-langkah diplomatik,
termasuk kritik publik, untuk menekan Burundi agar kembali mematuhi norma-norma ini.

Dalam konteks global yang semakin terhubung, penarikan diri Burundi dari Statuta Roma
juga dapat mempengaruhi persepsi internasional terhadap negara tersebut. Citra Burundi sebagai
pemain global yang bertanggung jawab dan berkomitmen terhadap prinsip-prinsip hak asasi
manusia dapat terkikis, membawa dampak pada hubungan diplomatik, perdagangan, dan
keterlibatan internasional lebih lanjut. Penarikan diri Burundi dari Statuta Roma 1998 tidak
hanya memengaruhi hak korban kejahatan internasional untuk mendapatkan keadilan dan
kompensasi, tetapi juga memunculkan pertanyaan serius tentang penegakan hukum terhadap
individu yang dituduh melakukan kejahatan internasional di negara tersebut. Implikasinya
melibatkan aspek moral, hukum, dan politik yang memerlukan perhatian dan analisis mendalam
dari komunitas internasional.

Terciptanya dampak serius terhadap otoritas dan keberlanjutan Mahkamah sebagai


lembaga pengadilan internasional yang bertujuan mengadili kejahatan internasional. Keputusan
Burundi dapat meremehkan legitimasi ICC, melemahkan keyakinan global terhadap
kemampuannya untuk menegakkan keadilan internasional.

Potensi efek domino muncul sebagai ancaman nyata, karena negara-negara lain yang
mungkin memiliki ketidakpuasan serupa terhadap ICC dapat merasa terdorong untuk mengikuti
jejak Burundi. Penarikan diri serupa dari negara-negara lain dapat mengakibatkan kurangnya
kepercayaan terhadap sistem hukum internasional dan merugikan upaya bersama dalam
menangani kejahatan internasional. Ini membuka pintu bagi potensi peningkatan impunitas dan
penurunan efektivitas Mahkamah dalam menghadapi pelanggaran hak asasi manusia dan
kejahatan serius lainnya. Oleh karena itu, penarikan diri Burundi bukan hanya menjadi tantangan
bagi ICC secara langsung, tetapi juga membawa risiko merambat ke negara-negara lain dan
merugikan fondasi keadilan internasional.

KESIMPULAN

Penarikan diri Burundi dari Statuta Roma 1998, yang membentuk landasan hukum bagi
Mahkamah Pidana Internasional (ICC), membawa dampak serius pada sejumlah aspek, mulai
dari hukum internasional, hak asasi manusia, hingga stabilitas politik. Kesimpulan terkait
permasalahan ini mencakup berbagai dimensi yang perlu dipahami secara holistik.

Dari perspektif hukum internasional, penarikan diri Burundi menciptakan ketidakpastian


mengenai pertanggungjawaban dan kewajiban negara terhadap kejahatan internasional. Statuta
Roma memberikan wewenang kepada ICC untuk mengejar individu yang terlibat dalam
kejahatan serius seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan
kejahatan agresi. Penarikan diri Burundi memunculkan pertanyaan apakah negara tersebut masih
dapat diadili atau diselidiki atas tindakan kejahatan internasional yang terjadi sebelum penarikan
diri. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan impunitas dan menantang prinsip-prinsip keadilan
global.

Dalam konteks hak asasi manusia, penarikan diri Burundi menimbulkan risiko serius
terhadap perlindungan hak asasi manusia di dalam negeri. Potensi pelanggaran hak asasi manusia
yang serius dapat terjadi tanpa adanya mekanisme internasional yang efektif untuk
menanggulangi dan mengevaluasi kejadian tersebut. Hak korban untuk mendapatkan keadilan
dan kompensasi terancam, menciptakan tantangan dalam penegakan hak asasi manusia dan
pencegahan pelanggaran di masa depan.

Dari segi politik, penarikan diri ini merugikan hubungan Burundi dengan komunitas
internasional. Kritik dan reaksi negatif dari negara-negara lain, organisasi hak asasi manusia, dan
badan-badan internasional dapat merugikan citra Burundi dan meningkatkan isolasi politiknya.
Implikasi ini dapat mempengaruhi hubungan diplomatik, perdagangan, dan keterlibatan
internasionalnya.

Mengatasi permasalahan ini memerlukan upaya kolaboratif dari komunitas internasional.


Pendekatan diplomatis, dialog konstruktif, dan tekanan internasional dapat menjadi langkah-
langkah yang diperlukan untuk merestorasi keterlibatan Burundi dengan Statuta Roma dan
mendukung keadilan internasional serta perlindungan hak asasi manusia. Penting untuk
menciptakan forum untuk dialog yang terbuka dan membangun kerangka kerja yang
memungkinkan rekonsiliasi antara Burundi dan komunitas internasional, sambil tetap memegang
teguh prinsip-prinsip hak asasi manusia dan keadilan global.

DAFTAR PUSTAKA

S. K. Christmas, & K. Roisah. (2021). Status Hukum Implementation Legislation Negara Pihak
Terhadap Penarikan Diri Statuta Roma 1998. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol.
3, No. 2, 267-280.

Ssenyonjo, Manisuli. (2018). State Withdrawal Notifications from the Rome Statute of the
International Criminal Court: South Africa, Burundi and the Gambia. Criminal Law
Forum. 29. 1-57.

Arhjayati R. (2017). Urgensi ratifikasi Statuta Roma Wujud Eksistensi Mahkamah


PidanaInternasional (International Criminal Court) dalam Penyelesaian Kasus Pelanggaran
HAM. Jurnal Al-Himayah, Vol.1, No.1, 1-24.

Kurnia Christmas, Sandy & Roisah, Kholis. (2021). Status Hukum Implementation Legislation
Negara Pihak Terhadap Penarikan Diri Statuta Roma 1998. Jurnal Pembangunan Hukum
Indonesia. 3. 267-280.
Kurnia Christmas, Sandy. (2020). Impact of Withdrawal State Parties in 1998 Rome Statute of
the Existence of International Criminal Court. Nagari Law Review. 4. 28.

KASUS 2

Kasus Pelanggaran HAM berat oleh Presiden Deterte Filipina

1.) Kronologi

Sejauh ini masa jabatan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte telah ditandai oleh
serangkaian kasus pembunuhan dan meningkatkan tindakan kejahatan tanpa
hukuman, kata para pengamat. Ana P. Santos melaporkan dari Manila. Tahun keempat
Presiden Filipina, Rodrigo Duterte berkuasa, mendapat sorotan tajam dari Dewan HAM
PBB atas meluasnya kasus pembunuhan di luar hukum hingga disahkannya undang-
undang anti-terorisme.

Pekan lalu, Ketua Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet merilis sebuah
laporan yang menyebut pemerintahan Duterte sebagai "tangan besi", yang
mengakibatkan pembunuhan yang "meluas, sistematis, dan terus berlangsung."

Operasi polisi dan pembunuhan main hakim sendiri

Di Filipina, kepala negara menjabat selama enam tahun dan dilarang mencalonkan diri
untuk dipilih kembali.

Sejak Duterte terpilih menjadi presiden pada tahun 2016, lebih dari 27 ribu orang yang
diduga penjual narkoba telah tewas dalam campur tangan operasi polisi dan
pembunuhan main hakim sendiri. Selain itu, hampir 250 pembela hak asasi manusia,
termasuk serikat pekerja, pengacara, jurnalis, dan pembela hak lingkungan juga telah
terbunuh.

Menteri Kehakiman Filipina, Menardo Guevarra, mengatakan bahwa Filipina telah


membentuk panel antar-lembaga yang akan menyelidiki klaim pembunuhan di luar
proses hukum dan "secara bijaksana meninjau" lebih dari 5.600 operasi polisi di mana
kematian itu terjadi.

Cristina Palabay, Sekretaris Jenderal Pengawas HAM Karapatan, skeptis dengan klaim
Guevarra. "Kami telah berada di jalan ini sebelumnya. Satuan tugas dan komisi telah
dibentuk tetapi tidak memberikan keadilan dan akuntabilitas," kata Palabay dalam
sebuah pernyataan.

Sementara itu, juru bicara Kepolisian Nasional Filipina (PNP) Bernard Banac
membantah klaim pembunuhan yang meluas. Mengutip data polisi, Banac mengatakan
sejak dimulainya penumpasan gembong narkoba, polisi menangkap lebih dari 330.000
tersangka pengguna narkoba, sementara 7.673 diantaranya tewas dalam baku tembak
dengan penegak hukum.

Perbedaan pendapat sebagai sebuah kejahatan

Undang-undang anti-terorisme yang ditandatangani Duterte menjadi perdebatan,


karena definisi terorisme yang bias dan pemberian kewenangan luas kepada aparat.

Para kritikus memperingatkan, dengan rekam jejak pemerintah yang mengabaikan hak
asasi manusia dan kebebasan sipil, hukum baru ini berpotensi melarang adanya
perbedaan pendapat yang sah.

Anda mungkin juga menyukai