Anda di halaman 1dari 34

23

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tinjauan Umum Ratifikasi United Nation Convention Against Coruption-

UNCAC 2003 ke Dalam Peneraturan Perundang-undangan Di Indonesia

Pada tahun 2003 lahir sebuah konvensi yang dinamai dengan UNCAC atau

bila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia adalah Konvensi Perserikatan Bangsa-

Bangsa Menentang Korupsi. Selang tiga tahun, Pemerintah Indonesia kemudian

meratifikasi ketentuan-ketentuan yang ada dalam UNCAC ini dengan

mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United

Nations Convention Against Corruption. Ratifikasi merupakan salah satu bentuk

perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional.46

UNCAC mengatur beberapa perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak

pidana korupsi, yakni: penyuapan pejabat publik nasional (bribery of national

public official), penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi

internasional publik (bribery of foreign public officials and official of public

international organizations), penggelapan, penyalahgunaan, atau penyimpangan

lain kekayaan oleh pejabat publik (embezzlement, misappropriate or other

diversion of property by a public official), perdagangan pengaruh (trading

in influence), penyalahgunaan fungsi (abuse Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006

tentang Pengesahan United Nations Against Corruption, 2003 (Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Pasal 2 Angka 1, Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional of functions),

46
United Nations Convention Against Corruption, General Assembly Resolution 58/4
of 31 October 2003 (Konvensi PBB Anti Korupsi 2003). Hal 78
24

memperkaya diri sendiri secara tidak sah (illicit enrichment), penyuapan di sektor

swasta (bribery in the privat sector), penggelapan kekayaan di sektor swasta

(embezzlement of property in the private sector), pencucian hasil kejahatan

(laundering of proceeds of crime), penyembunyian kekayaan hasil kejahatan

(concealment), dll.47

Dibandingkan dengan pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia yang

tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (Undang-

Undang Tipikor), maka akan dijumpai beberapa ketentuan dalam UNCAC yang

belum diatur dalam undang-undang tersebut. Misalnya saja terkait penyuapan

kepada pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional publik,

perdagangan pengaruh, penyuapan di sektor swasta.

Contoh dari perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana dalam

UNCAC tetapi tidak dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dalam Undang-

Undang Tipikor adalah tindak pidana penyuapan di sektor swasta. UNCAC

mendeskripsikan perbuatan tersebut sebagai berikut :48

1. Pemberian janji, penawaran atau pemberian, secara langsung ataupun tidak

langsung, manfaat yang tidak semestinya kepada orang yang memimpin

atau bekerja, dalam jabatan apa pun, dalam badan swasta, untuk dirinya

sendiri atau untuk orang lain, agar ia dengan melanggar tugasnya, bertindak

atau tidak bertindak;

47
Ibid, hal 90
48
Ibid, hal 103
25

2. Permintaan atau penerimaan, secara langsung atau tidak langsung, manfaat

yang tidak semestinya oleh orang yang memimpin atau bekerja, dalam

jabatan apapun, di badan sektor swasta, untuk dirinya atau untuk orang lain,

agar ia, dengan melanggar tugasnya, bertindak atau tidak bertindak

Masuknya korupsi ke dalam ranah internasional dibuktikan dengan

dikeluarkannya resolusi 55/61 pada tanggal 4 desember 2000 oleh majelis

umum PBB yang menyatakan perlunya peraturan dalam menanggulangi

permasalahan korupsi dalam taraf internasional. Naskah Konvensi UNCAC telah

dinegosiasikan selama tujuh sesi oleh Komite Ad Hoc yang diselenggarakan

antara 21 Januari 2002 dan 1 Oktober 2003 dan pada akhirnya setelah melewati

negosiasi yang cukup panjang UNCAC mulai diberlakukan oleh organisasi

internasional UNODC pada tanggal 14 Desember 2005. UNCAC di sini sebagai

perjanjian internasional yang berfungsi untuk memperkuat hukum nasional masing-

masing negara dalam hal pemberantasan korupsi.49

Dalam hal keikutsertaan negara dalam konvensi yang dapat menjadi

anggota dari UNCAC tidak harus berasal dari anggota organisasi internasional

UNODC itu sendiri, melainkan negara-negara di dunia boleh ikut serta dalam

konvensi ini. Hingga saat ini, telah terdapat 169 negara yang telah meratifikasi

UNCAC. Secara langsung konsekuensi bagi negara-negara yang telah meratifikasi

UNCAC yang merupakan perjanjian internasional terkait anti korupsi yang

dikeluarkan UNODC adalah dengan melaksanakan pasal-pasal yang telah

disepakati.50

49
United Nations Convention Against Corruption, General Assembly Resolution 58/4
of 31 October 2003 (Konvensi PBB Anti Korupsi 2003, hal 160
50
Rio Declaration on Envoirnment and Development, United Nations Conference on
Envoirnment and Development 1992, hal 80
26

Seperti yang disebutkan dalam United Nations Conference on The Law of

Treaties between States and International Organizations or between International

Organizations pasal dan 12 menyebutkan bahwa dengan negara menandatangani

sebuah perjanjian maka negara sudah terikat dengan perjanjian. Oleh karena itu

menjadi sebuah kewajiban negara- negara seperti Indonesia untuk mengadopsi

hasil dari UN Convention Against Corruption ini. Untuk permasalahan korupsi di

kawasan Asia Tenggara sendiri khususnya Indonesia hingga saat ini masih

berada dalam tingkat korupsi yang cukup tinggi diantara negara- negara dikawasan

Asia Tenggara lainnya. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei yang telah

dilaksanakan oleh World Justice Project tahun 2011. Dalam survey ini melibatkan

lebih dari 66.000 responden dan 2.000 tenaga ahli mengenai penegakan hukum

dan korupsi di 65 negara di dunia menyatakan bahwa Indonesia mendapatkan skor

korupsi 0,46 atau berada pada urutan ke 47 dari 65 negara tersurvei. Untuk

dikawasan Asia Tenggara sendiri, Indonesia merupakan negara dengan tingkat

korupsi yang paling tinggi yang mana Vietnam berada satu peringkat di atas

Indonesia dengan skor 0,5 dan Negara terbersih di Asia Tenggara adalah

Singapura, Malaysia dan Thailand.

Sedangkan menurut transparency international tahun 2012 dikawasan Asia

Tenggara peringkat Indonesia tidak menunjukkan perubahan yang signifikan.

Indonesia masih berada di dalam jajaran terbawah jika dilihat dari skor CPI-nya.

Korupsi di Indonesia dapat dikatakan telah menjadi sebuah kebudayaan yang

telah berlangsung lama. Apabila korupsi terus dibiarkan dan tidak segera ditangani

maka Indonesia tidak hanya akan kehilangan kepercayaan masyarakatnya

melainkan hilangnya kepercayaan dunia internasional.


27

Indonesia telah menandatangani UNCAC pada tanggal 18 desember 2003

dan meratifikasi pada tanggal 19 september 2006. Dengan adanya UN

Convention Against Corruption ini diharapkan dapat memberikan kemudahan

dalam menanggulangi permasalahan korupsi yang pada saat ini merupakan

salah satu permasalahan yang krusial dan sedang ramai diperbincangkan oleh

media massa, para elit politik maupun masyarakat umum. Pada saat ini

permasalahan mengenai korupsi pejabat publik dapat di saksikan setiap harinya

pada media elektronik seperti televisi yang secara tidak langsung membuktikan

bahwa permasalahan korupsi di Indonesia saat ini memang sedang menjadi

masalah utama.51

United Nations Convention Againts Corruption, 2003 adalah Konvensi

Anti-Korupsi pertama tingkat global yang mengambil pendekatan komprehensif

dalam menyelesaikan masalah korupsi. United Nations Convention Againts

Corruption, 2003 terdiri atas 71 Pasal (Articles) dan 8 Bab (Chapter) yang

mengharuskan negara-negara peratifikasi mengimplementasikan isi dari Konvensi

tersebut.52

Dalam Bab III tepatnya pada Pasal 15 sampai dengan Pasal 22 United

Nations Convention Against Corruption, 2003 diatur secara tegas dan jelas

mengenai perbuatan-perbuatan seperti apa yang dapat digolongkankan sebagai

tindak pidana korupsi menurut United Nations Convention Againts Corruption,

2003 yaitu sebagai berikut:53

1. Pasal 15 : mengatur terkait Penyuapan Pejabat Publik Nasional


(Bribery of national public officials).

51
Ibid, hal 47
52
Ibid, hal 49
53
United Nations ConventionAgainst Corruption 2003
28

2. Pasal 16 : mengatur terkait Penyuapan Pejabat Publik Asing dan


Pejabat Organisasi Internasional Publik (Bribery of foreign public officials
and officials of public international organizations).
3. Pasal 17 : mengatur terkait Penggelapan, penyalahgunaan, atau
penyimpangan kekayaan lain oleh Pejabat Publik (Embezzlement,
misappropriation or other diversion of property by a public
official).
4. Pasal 18 : mengatur terkait Pemanfaatan Pengaruh (Trading in
Influence).
5. Pasal 19 : mengatur terkait Penyalahgunaan Fungsi (Abuse of
functions).
6. Pasal 20 : mengatur terkait Memperkaya diri secara tidak sah (Illicit
enrichmet).
7. Pasal 21 : mengatur terkait Penyuapan di sektor swasta (Bribery in
the private sector).
8. Pasal 22 : mengatur terkait Penggelapan kekayaan di sektor swasta
(Embezzlement of property in the private sector).

Menurut perspektif hukum positif di Indonesia, definisi tindak pidana

korupsi telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam Undang-Undang No. 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Konvensi Korupsi 2003 yang merupakan pengembangan dari Konvensi

TOC tahun 2000 yang lebih menitikberatkan peran pemerintah dalam melakukan

pengawasan terhadap pejabat publik, melibatkan kelompok-kelompok

masayarakat madani, lembaga swadaya masyarakat, dan lain- lain. Pemerintah

dan KPK tidak boleh pandang bulu terhadap semua pelaku yang diduga telah

melakukan korupsi, semua orang mempunyai kedudukan yang sama dalam

hukum (equality before the law). Oleh karena itu, pemerintah, KPK, dan semua

komponen bangsa harus serius menangani persoalan korupsi karena kalau tidak,

korupsi dapat merugikan masyarakat, menghancurkan bangsa, dan tidak akan

terjadi pembangungan berkelanjutan bagi generasi sekarang dan yang akan datang.

Kita akan tertinggal semakin jauh dengan kemajuan negara lain kalau korupsi di
29

Indonesia semakin marak. Semua pihak harus berperan mencegah dan

memberantas korupsi.54

Dengan telah diratifikasinya UNCAC oleh Indonesia tentunya dalam segi

adopsi dari aturan-aturan yang telah diterapkan dalam UNCAC setiap negara

memiliki mekanisme yang berbeda-beda tidak terkecuali dengan Indonesia hal ini

dapat dilihat dari munculnya UU No 7 tahun 2006 mengenai pengesahan perjanjian

internasional UNCAC yang dilakukan oleh Indonesia yang kemudian

memunculkan kebijakan-kebijakan baru terkait pemberantasan korupsi di

Indonesia.55

Ratifikasi Konvensi ini merupakan komitmen nasional untuk meningkatkan

citra bangsa Indonesia dalam percaturan politik internasional. Arti penting lainnya

dari ratifikasi Konvensi tersebut adalah:56

1. Untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak,

membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana

korupsi yang ditempatkan di luar negeri;

2. Meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata

pemerintahan yang baik;

3. Meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan

perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana,

pengalihan proses pidana, dan kerja sama penegakan hukum;

4. Mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi dalam

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung

54
Rio Declaration on Envoirnment and Development, Op.cit, hal 81
55
Starke, JG., Op.cit, hal 88
56
Sands, Philippe, 2003, Principles of International Environmental Law, Second Edition,
Cambridge University Press, hal 15
30

kerja sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup

bilateral, regional, dan multilateral; dan

5. Harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan

dan

6. pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan Konvensi ini.

Pada tahap penandatanganan UNCAC (United Nations Convention Againts

Corruption) pada tanggal 9 sampai dengan 11 Desember 2003 di Merida Meksiko,

Menteri Kehakiman dan HAM RI yang diberikan mandat (full powers) oleh

presiden untuk menandatangani UNCAC berhalangan datang. Sehingga Indonesia

belum menandatangani UNCAC pada momentum yang tepat. UNCAC seharusnya

ditandatangani oleh presiden bukan level menteri, sehingga memberikan kesan

bahwa top leader Indonesia mendukung penanganan korupsi secara global dan

memperlihatkan keseriusan pemberantasan korupsi di tingkat nasional.57

Momentum yang baik ini tidak dimanfaatkan oleh Presiden Megawati pada

waktu itu dan lebih memilih untuk diwakili oleh pejabat setingkat menteri, bukan

wakil presidennya. Berbeda halnya dengan Austria, Hungaria, Yordania, Nigeria,

Peru, dan Filipina, yang mengutus wakil presidennya masing-masing. Tidak ada

penjelasan resmi yang disampaikan mengenai ketidakhadiran Menteri Kehakiman

dan HAM RI di Merida, Meksiko, yang pada waktu itu dijabat oleh Yusril Ihzal

Mahendra. Baru pada tanggal 18 Desember 2003, Menteri Yusril telah

membubuhkan tanda tangannya di markas besar PBB di New York. Setelah

itu Indonesia meratifikasi konvensi tersebut pada tanggal 18 April 2006 yang

disahkan dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC

(United Nations Convention Againts Corruption). Dengan ratifikasi tersebut,

57
Ibid, hal 61
31

UNCAC mempunyai kekuatan pemberlakuan (Entry into Force) bagi Indonesia

sebagai negara peserta ratifikasi Konvesi tersebut. Ratifikasi UNCAC oleh

pemerintah Indonesia juga mempunyai implikasi timbulnya kewajiban yang

mengikat bagi bangsa Indonesia untuk melaksanakan isi dari KAK 2003.58

B. Implementasi United Nation Convention Against Corruption-UNCAC 2003 Di

Indonesia

Berhasil ditandatanganinya ketentuan hukum internasional PBB, UNCAC

oleh banyak negara di dunia, membuktikan bahwa tindak pidana korupsi bukan

hanya menjadi momok bagi bangsa Indonesia, bahkan dunia internasional pun

menyadari bahwa korupsi merupakan musuh bersama yang harus diberantas. Jika

masyarakat di Indonesia menganggap bahwa negara ini merupakan negara yang

korupsinya nomor satu di Asia, bahkan di dunia, kini adanya konvensi tersebut

menandakan maraknya korupsi di seluruh dunia.59

Salah satu keuntungan yang diperoleh Indonesia adalah kemudahan

melakukan ekstradisi para koruptor yang menyimpan hasil kejahatannya di negeri-

negeri tetangga, seperti Singapura yang selama ini kita kenal sebagai tempat paling

aman untuk menyembunyikan hasil kejahatan korupsi.60 Dengan meratifikasi

konvensi tersebut, Indonesia bisa menggunakan konvensi tersebut sebagai

instrument baru dalam rangka asset recovery. Kejahatan korupsi sudah masuk

kejahatan transnasional yang pelakunya bisa lari kemana saja dan uangnya

58
Sands, Philippe, Loc.cit, hal 38
59
Ibid, hal 80
60
United Nations Convention Against Corruption, General Assembly Resolution 58/4
of 31 October 2003 (Konvensi PBB Anti Korupsi 2003
32

bisa disimpan di mana saja, sehingga untuk mengatasinya tidak jarang dibutuhkan

kerjasama dengan negara-negara lain.61

Fenomena korupsi yang terjadi akhir-akhir ini mengalami perkembangan

yang begitu kompleks baik dari segi modus dan aktor, sehingga sulit dibantah

bahwa aparatur penegak hukum semakin kesulitan untuk memproses

beberapa perbuatan untuk dapat dikategorikan sebagai sebuah tindak pidana. Salah

satu contohnya adalah trading in influence. Trading in influence terdapat pada

Pasal 18 UNCAC.

Konsekuensi yuridis diratifikasinya UNCAC oleh Indonesia melalui

Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC adalah

adanya keharusan untuk mengadopsi norma-norma yang dianggap penting ke

dalam hukum positif di Indonesia. Selain untuk “mengejar” ketertinggalan dan

kekurangan dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang ada saat ini,

ratifikasi tersebut juga menunjukkan komitmen serius dari negara ini untuk

memberantas tindak pidana korupsi.62

Namun demikian, setelah 10 (sepuluh) tahun meratifikasi konvensi United

Nation Convention Against Corruption masih banyak ketentuan – ketentuan

dalam peraturan perundang – undangan nasional tidak selaras dengan konvensi

tersebut atau sama sekali belum diadopsi dalam hukum positif Indonesia.

Undang-Undang Tipikor terdapat 30 perbuatan yang dikualifikasikan

sebagai Tindak Pidana Korupsi. Ke-30 perbuatan tersebut secara garis besar dapat

dibagi menjadi tujuh jenis. Pertama, tipikor yang berkaitan dengan kerugian

keuangan negara sebanyak dua Pasal. Kedua, tipikor berupa suap-menyuap

61
Romli Atmasasmita, Hukum Kejahatan Bisnis: Teori & Praktik di Era Globalisasi.
Jakarta. PT. Premedia Group. 2014., hal 61
62
Ibid, hal 90
33

sebanyak 12 Pasal. Ketiga, tipikor yang berhubungan dengan penggelapan dalam

jabatan sebanyak lima Pasal. Keempat, tipikor yang bertalian dengan

pemerasan sebanyak tiga Pasal. Kelima, tipikor berupa perbuatan curang sebanyak

enam Pasal. Keenam, tipikor yang berkiatan dengan pengadaan barang dan jasa

hanya satu Pasal. Ketujuh, tipikor berupa gratifikasi juga satu Pasal. Dengan

demikian, korupsi tidak hanya bertalian dengan memperkaya diri sendiri atau orang

lain atau korporasi, penyalahgunaan wewenang dan kerugian keuangan negara.63

Tindak pidana korupsi makin canggih dan variatif dalam modus

operandinya sedangkan perkembangan hukum relatif tertinggal dengan

perkembangan masyarakat dan informasi teknologi. Artinya tidak seperti

kejahatan konvensional lainya, korupsi adalah kejahatan yang berkembang secara

dinamis dari waktu ke waktu. Kemarin orang hanya mengenal kerugian negara dan

suap menyuap namun saat ini korupsi sudah berkembang salah satunya yaitu

trading in influence.64

Pengaturan trading in influence sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 18

UNCAC tersebut, dapat ditarik unsur – unsur yang terkandung di dalamnya, yang

belum diatur dengan jelas dalam Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang – Undang No. 20 Tahun 2001

Tentang perubahan atas Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di antaranya:65

1. Subjek hukum yang dapat dipidana (addresat) dari Pasal tersebut tidak

hanya pejabat publik, tetapi juga setiap orang, baik yang mempunyai

hubungan dengan pejabat publik tersebut maupun tidak. Dapatlah dikatakan

63
Romli Atmasasmita, Op.cit, hal 99
64
Ibid, hal 142
65
Ibid, hal 61
34

bahwa rumusan Pasal tersebut ada perluasan pertanggungjawaban pidana

terhadap pelaku yang memperdagangkan pengaruh. Tidak hanya seseorang

yang memperdagangkan pengaruh terhadap pejabat publik, tetapi juga

perantara dalam perbuatan memperdagangkan pengaruh (broker) dapat

dimintakan pertanggungjawaban pidana.

2. Dengan istilah “keuntungan yang tidak semestinya/undue

advantages,” UNCAC mencakup lingkup yang luas dari insentif dijanjikan

atau ditawarkan kepada pejabat publik atau orang lain. Secara sederhana,

bentuk keuntungan yang tidak semestinya tersebut mengarah kepada dua

bentuk. Bentuk pertama dapat berupa jabatan. Bentuk kedua dapat berupa

keuntungan materil. Dalam konteks perdagangan pengaruh, sasaran

materil seringkali menjadi tujuan yang paling utama para pelaku tersebut

melakukan perdagangan pengaruh.

Kriminalisasi tindak pidana tersebut, secara internasional dalam

lingkup tindak pidana korupsi membuktikan bahwa Konvensi PBB Anti-Korupsi

(2003) telah merintis pembaruan dalam literatur pemberantasan korupsi, yang

menetapkan tindak pidana korupsi di sektor swasta. Pembaruan ini sekaligus

menghapuskan paradigma awal pemberantasan korupsi selama ini selalu

menempatkan sektor publik sebagai objek dan target penegakan hukum yang

signifikan dan menentukan ada tidaknya korupsi di suatu negara.66

Perubahan perkembangan arah pemberantasan korupsi pasca

ratifikasi konvensi tersebut menguatkan pandangan bahwa korupsi bukanlah

perbuatan penyelenggara atau pejabat publik semata – mata, melainkan juga

merupakan hasil kolaborasi sektor publik dan sektor swasta. Pernyataan tersebut

66
Ibid, hal 90
35

selaras dengan karakteristik trading in influence . Trading in influence merupakan

bentuk trilateral relationship dalam korupsi. Bentuk trilateral relationship

adalah Kejahatan melibatkan tiga pihak yakni dua pelaku dari sisi pengambil

kebijakan termasuk orang yang menjual pengaruhnya (tidak mesti harus pejabat

publik atau penyelenggara negara) dan pemberian sesuatu yang menginginkan

keuntungan dari pejabat publik atau penyelenggara negara.67

Dalam prosesnya untuk dapat menerapkan pasal-pasal UNCAC ke dalam

regulasi domestik maka Indonesia harus membuat undang- undang yang

menyatakan telah diratifikasinya UNCAC di Indonesia dengan alasan yang

jelas. Sebagai mana yang telah di atur dalam UU No. 24 Tahun 2000 mengenai

perjanjian internasional. Dalam prosesnya, adopsi UNCAC ke dalam regulasi

korupsi Indonesia ini di awali dengan ditandatanganinya naskah perjanjian

internasional UNCAC pada tanggal 18 desember 2003 yang kemudian diratifikasi

pada tanggal 19 september 2006. Menurut UU No. 24 Tahun 2000 dalam

mekanisme hukum internasional menjadi hukum nasional terdapat dua macam cara

yaitu dengan undang-undang atau dengan keputusan Presiden.68

Secara lebih spesifik lagi dalam mekanisme pengadopsian hukum

internasional ke dalam hukum nasional di Indonesia terdapat beberapa rapat

paripurna yang harus dilakukan sampai pada akhirnya ratifikasi UNCAC disahkan

oleh Indonesia. Adapun tahapan tersebut antara lain diawali dengan diusulkan

rancangnya UU yang berisi mengenai penjelasan/keterangan maupun naskah

akademis yang berasal dari Presiden dan kemudian disampaikan secara tertulis

kepada pimpinan DPR melalui surat pengantar Presiden yang selanjutnya di

67
Ibid, hal 166
68
Coplin, William D. Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis.
terjemahan Marsedes Marbun. Bandung: Sinar Baru. 1992, hal 84
36

sampaikan dalam bentuk tertulis kepada pimpinan DPR dengan surat pengantar

Presiden serta Menteri yang mewakili presiden dalam mengkaji RUU.

Di dalam sistem operasi konsep hukum internasional, court/institution

merupakan prosedur terakhir yang dapat menjelaskan mengenai adopsi regulasi

UNCAC yang dipengaruhi dari faktor-faktor domestik. Dalam komponen ini

menjelaskan mengenai upaya-upaya yang dilakukan oleh negara-negara peserta

UNCAC dalam menyelesaikan tindak kejahatan korupsi pada tingkat

internasional sebagai bentuk penerapan UNCAC. Upaya-upaya tersebut

berdasarkan konsep hukum internasional Charllote Ku dan Paul F.Dheil dapat

berbentuk forum dan aturan berfungsi untuk mengontrol yang nantinya akan diadili

oleh lembaga pengadilan internasional yang dibentuk secara permanen.

UNCAC hingga saat ini hanya menggunakan International Court Of Justice

atau Mahkaman Internasional dalam menyelesaikan sengketa dua atau lebih

negara peserta mengenai penerapan konvensi yang tidak tercapai kesepakatan

dalam perundingan yang telah ditentukan. Hal tersebut diatur dalam pasal 66

ayat dua mengenai penyelesaian sengketa. Namun di sini Indonesia tidak

menginginkan adanya intervensi dari ICJ terhadap permasalahan korupsi jika

suatu saat terjadi. Ketidak inginan Indonesia merupakan hak bagi negara yang

mana negara dapat membatasi dampak dari ICJ dengan membuat persyaratan.

Perjanjian internasional UNCAC merupakan sumber hukum internasional

UNODC yang menjadi pedoman bagi Indonesia untuk melakukan adopsi

kebijakan Indonesia memiliki kewajiban untuk merubah perilakunya khususnya

dalam bentuk regulasi korupsi. Adapun pasal UNCAC yang dijadikan landasan

perubahan kebijakan korupsi Indonesia mulai tahun 2009 hingga 2013 secara

eksplisit yaitu bab II dan bab III. Dalam prosesnya, Indonesia merupakan aktor
37

dalam perjanjian internasional yang telah meratifikasi. Indonesia sebagai aktor

memiliki beberapa hak dan kewajiban yang harus dilakukan terkait korupsi

sebagaimana telah disebutkan di dalam aturan UNCAC.69

Hampir 80%. Sedangkan perubahan kebijakan yang dilakukan pasca

meratifikasi UNCAC mulai pada tahun 2009 hingga 2013 antara lain UU No 46

tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, rencana aksi pencegahan dan

pemberantasan korupsi Instruksi Presiden No 9 Tahun 2011, aksi pencegahan dan

pemberantasan korupsi tahun 2012 Instruksi Presiden No. 17 Tahun 2011,

Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2012 mengenai strategi nasional pencegahan dan

pemberantasan korupsi (STRANAS- PPK) jangka menengah dan jangka panjang,

aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi tahun 2013 berdasarkan Instruksi

Presiden No. 1 Tahun 2013, UU No 8 mengenai pemberantasan tindak pidana


70
pencucian uang. UNCAC itu sendiri ada manfaat yang dapat dirasakan oleh

negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut yaitu adanya unifikasi, adanya

pertukaran informasi terkait kasus korupsi yang diatur dalam pasal 46 ayat (4),

mempermudah dalam mengidentifikasi atau melacak hasil kejahatan kekayaan,

sarana atau hal lain untuk tujuan pembuktian yang diatur dalam pasal 49 ayat (29),

adanya kerjasama bilateral maupun multilateral berupa MLA yang mempermudah

proses pengembalian aset yang diatur dalam pasal 46 ayat (30), adanya kerjasama

antar penegak hukum yang diatur pasal 48 ayat (1). Selain itu ada juga hambatan

yang dihadapi oleh negara peratifikasi dalam hal pengembalian aset melalui

bantuan hukum timbal balik berupa hambatan internal yaitu ketentuan hukum yang

berlaku, kelemahan aparatur penegak hukum, korupsi sistematik, belum efektif

69
Romli Atmasasmita, Loc.cit, hal 91
70
Ibid, hal 109
38

harmonisasi hukum nasional, memerlukan biaya yang besar serta hambatan dari

UNCAC yaitu adanya perbedaan sistem hukum, hal yang berkaitan dengan

kedaulatan, keamanan, kepentingan nasional dan kepentingan lainnya yang diatur

dalam pasal 46 ayat (21)71

Masalah korupsi ada di hampir semua negara, namun yang paling banyak

terjadi adalah di negara sedang berkembang. Akibat warisan penjajahan, lembaga-

lembaga pemerintah di negara sedang berkembang cenderung lebih

lemah, masyarakat sipilnya kurang berperan serta dalam pengambilan keputusan

publik, dan proses birokrasi dan politik berlangsung kurang terbuka dan kurang

dapat dipertanggungjawabkan. Berbeda dengan negara-negara industri yang

berkesempatan menumbuhkan birokrasi yang berbasis pada prestasi (merit system),

kelembagaan politik yang kompetitif, proses pemerintah yang transparan, serta

masyarakat sipil yang berpengetahuan cukup (well informed) dan didukung dengan

perkembangan media massa, membuat negara-negara tersebut kecil

kemungkinan melakukan korupsi.72

Masalah korupsi juga didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik

atau swasta untuk keuntungan pribadi yang telah menjadi salah satu dilema yang

paling abadi yang dihadapi oleh pemerintah sepanjang sejarah. Walaupun mungkin

terdapat perbedaan-perbedaan dalam sifat dan cakupan dari perilaku korup,

dan sejauh mana tindakan-tindakan anti korupsi ditegakkan, fenomena tersebut

dapat ditemukan setiap saat dan dalam semua sistem politik. Hal itu juga dapat

ditemukan dalam sektor swasta. Memang, hubungan antara korupsi di sektor publik

71
United Nations ConventionAgainst Corruption 2003
72
United Nations Convention Against Corruption, General Assembly Resolution 58/4
of 31 October 2003 (Konvensi PBB Anti Korupsi 2003
39

dan swasta merupakan suatu bidang perhatian tertentu baik untuk negara-negara

maju maupun negara-negara berkembang di Kawasan Asia Pasifik.73

Secara historis, keprihatinan tentang masalah korupsi cenderung berputar-

putar, di mana penyingkapan penyalahgunaan jabatan telah memicu kampanye anti

korupsi dan tindakan-tindakan balasan administratif yang kemudian menghilang

dari pandangan sampai adanya putaran skandal berikutnya yang memberikan

dorongan lebih lanjut untuk pembaharuan. Sejumlah besar inovasi untuk

pemerintahan yang baik yang bertahan didasari keinginan untuk mengurangi

atau menghilangkan korupsi. Reformasi administrasi publik terbesar pada akhir

abad sembilan belas dan awal abad dua puluh, seperti penerapan sistem pelayanan

masyarakat yang bersifat meritokratik, manajemen profesional pada kementrian

dan departemen pemerintah, atau penciptaan anggaran, pengadaan, serta proses dan

instansi pemeriksaan atau audit yang lebih resmi, mengakar dalam keinginan untuk

menghindari penyogokan dan pendukungan politik yang terjadi sebelumnya.74

Indonesia telah menandatangani UNCAC pada tanggal 18 Desember

2003 dan Indonesia telah meratifikasi Undang-Undang No.7 tahun 2006 sebagai

tindak lanjut dari kesepahaman UNCAC pada tanggal 18 April 2006. Partsipasi

Indonesia dalam konvensi tersebut menunjukkan bahwa komitmen Indonesia

dalam usaha memberantas korupsi tidak hanya dalam skala nasional tetapi juga

internasional.75 Dengan ikut meratifikasi, Indonesia bisa memanfaatkan isi dari

konvensi tersebut untuk menyelesaikan masalah korupsi baik yang terjadi di dalam

negeri maupun korupsi yang terjadi lintas negara, terutama dalam rangka

73
Ibid, hal 12
74
Coplin, William D. Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis.
terjemahan Marsedes Marbun. Bandung: Sinar Baru. 1992, hal 113
75
Ibid, hal 117
40

pengembalian aset korupsi yang ada di luar negeri.76 Dalam pengembalian aset

inipun pemerintah bisa memanfaatkan kerjasama internasional dengan negara-

negara lain sesuai dengan KAK 2003.77

Namun demikian, pengembalian asset korupsi (asset recovery) tersebut juga

tidaklah mudah diwujudkan jika kerjasama internasional yang dilakukan oleh

Indonesia masih lemah dan ketentuan di dalam UU nasional Indonesia tidak

memenuhi standar internasional yang telah ditentukan di dalam KAK 2003.

Kesamaan standar internasional minimal yang telah disepakati di dalam KAK 2003

tersebut sudah tentu juga memerlukan proses harmonisasi hukum yang tidak

bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang dianut dalam sistem hukum

Indonesia.78

Dengan adanya kerja sama internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 43

sampai de ngan Pasal 50 UNCAC, diharapkan negara-negara tempat pelarian

koruptor dapat bekerja sama dalam menangani masalah korupsi di Indonesia. Jadi

negara tempat pelarian koruptor mempunyai kewajiban moral (moral obligation)

untuk tidak memberikan perlindungan dan kemudahan lainnya. Sebaliknya

apabila negara tersebut memberikan posisi yang menguntungkan bagi

koruptor, UNCAC memang tidak mengatur sanksi hukum yang dapat dikenakan

kepada negara tersebut, tetapi berdasarkan prinsip-prinsip umum yang diakui

dalam hukum internasional (general principles of international law), negara yang

bersangkutan dapat dikenai sanksi moral (moral sanction). Dalam pergaulan

76
Hal 80
77
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. 2010. Pengantar Hukum Internasional. PT
Alumni: Bandung, hal 71
78
Sam Blay.Loc.cit, hal 43
41

internasional, sanksi moral kadang-kadang lebih menyakitkan dibandingkan

dengan sanksi hukum.79

UNCAC menyebutkan ada lima bentuk kerjasama yang bisa dilakukan

terkait dengan UNCAC. Ekstradisi (UU No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi),

Mutual Legal Assistance (Bantuan Hukum Timbal Balik di Bidang Pidana UU No.

1 Tahun 2006), Perjanjian Pemindahan Orang Yang sudah Dihukum (Transfer of

Sentenced Persons), Perjanjian Pemindahan Pemeriksaan Kriminal (Transfer of

Criminal Proceding) dan investigasi bersama (Joint Investigation). Namun

Indonesia masih menerapkan 2 bentuk kerjasama internasional yaitu ekstradisi dan

Bantuan Hukum Timbal Balik di Bidang Pidana (Mutual Legal Assistance).80

Untuk menemukan visi pemberantasan korupsi masa datang, diperlukan

pengkajian mendalam dari berbagai aspek dan wawasan yang luas dari tim

penyusun untuk menemukan aspek sosial, budaya, ekonomi, politik yang terkait

ke dalam pemberantasan korupsi. Alasannya, pemberantasan korupsi

pascaratifikasi KAK PBB 2003 bukan semata-mata penegakan hukum dalam arti

sebanyak mungkin memenjarakan koruptor, melainkan juga harus dipertimbangkan

sejauh manakah relevansi penghukuman koruptor dengan kemanfaatan terbesar

dari aspek ekonomi, sosial, dan budaya bagi bangsa dan negara.81

Berpijak kepada kondisi riil penegakan hukum serta penerapan KAK PBB

2003 yang konsisten dan produktif untuk memperkuat laporan tahunan pemerintah

Indonesia ke PBB, maka visi penyusunan UU baru pemberantasan korupsi harus

memuat visi mengenai pencegahan korupsi, penindakan korupsi dan penegakan

79
Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik, Sisi Lain Akuntabilitas KPK dan
Lembaga Pengiat Antikorupsi, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama. 2016
80
Ibid, hal 173
81
United Nations Convention Against Corruption, General Assembly Resolution 58/4
of 31 October 2003 (Konvensi PBB Anti Korupsi 2003
42

hukumnya, visi bagaimana membangun kerja sama internasional, khususnya di

dalam pengembalian aset hasil korupsi yang ditempatkan di negara lain. Keempat

visi pemberantasan korupsi tersebut harus disusun rapi dan sinergis ke dalam UU

baru pemberantasan korupsi tersebut. Keempat visi tersebut harus secara tepat

dapat menempatkan tujuan penjeraan dan pemulihan kerugian negara dan

kerugian masyarakat secara proporsional dan transparan serta bertanggung jawab

sehingga bangsa dan negara dapat memetik manfaat nyata dari pemberantasan

korupsi dan bukan sekadar memperoleh citra melainkan juga menunjukkan kinerja

nyata.82

Pemerintah Indonesia harus memperhatikan kaitan antara UNCAC

dengan sistem hukum di Indonesia. Hal yang pasti dilakukan menurutnya adalah

harmonisasi antara UNCAC dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Soal revisi UU Korupsi yang baru ini, tim revisi menunggu kerja dari tim ahli PBB

yang akan membuat petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis UNCAC. Selain

konsentrasi terhadap revisi UU Korupsi, ada dua UU yang perlu diperhatikan.

Yakni UU Perlindungan Saksi dan Korban serta Kebebasan Memperoleh Informasi

Publik. Dua UU ini mutlak ada sebagai pendamping UU Korupsi yang baru.

Departemen Luar Negeri harus jeli sebelum mendepositkan ratifikasi UNCAC ke

PBB.83

Ada beberapa hal penting yang telah dirumuskan revisi UU Tindak Pidana

korupsi, yaitu sebagai berikut. Pertama, usulan revisi UU Tindak Pidana Korupsi,

semula ditujukan agar UU tersebut senantiasa memiliki kemampuan untuk

mengantisipasi modus kejahatan korupsi yang terus makin berkembang. Lebih dari

82
Ibid, hal 59
83
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. Loc.cit, hal 52
43

itu, dampak dari korupsi juga tidak hanya berkenaan dengan kerugian keuangan

negara saja, tetapi juga telah melemahkan lembaga dan nilai-nilai demokrasi, etika,

dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi

hukum, selain mengancam stabilitas dan keamanan masyarakat. Kedua, revisi juga

dimaksudkan agar UU tersebut diharmonisasikan agar sesuai dengan UNCAC

(UNCAC) 2003 yang telah diratifikasi menjadi UU No 7 Tahun 2006 sehingga

dapat digunakan sebagai akses untuk melakukan kerja sama internasional dengan

berbagai negara lainnya, karena tindak korupsi sudah berkembang menjadi

kejahatan transnasional.84

Namun secara de facto, usulan revisi UU Tindak Pidana Korupsi memiliki

beberapa kelemahan mendasar. Kelemahan dimaksud dapat dirumuskan sebagai

berikut Pertama, usulan revisi UU dimaksud belum sepenuhnya mengakomodasi

hal-hal penting yang tersebut di dalam UNCAC 2003 atau UU No 7 Tahun 2006.

Salah satu indikasinya, revisi UU tersebut tidak mengatur secara komprehensif hal-

hal yang berkaitan dengan assets recovery, padahal aturan pengembalian aset ini

merupakan salah satu pilar dan terobosan utama yang dirumuskan dalam konvensi

antikorupsi dimaksud. Kedua, usulan revisi UU Tipikor justru mengatur hal

sebaliknya atas rumusan pasal yang sudah diatur secara lebih tegas pada UNCAC

2003 atau UU No 7 Tahun 2006, Ketiga, revisi UU mempunyai judul tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi. Pemberantasan Tipikor didefinisikan sebagai

rangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi sesuai

Pasal 1 angka 3 UU No 30/2002. Di dalam revisi UU Tipikor tersebut justru tidak

84
Peneliti dapatkan dari Eddy O.S Hiariej tentang Memahami ’Traiding in Influence’
Dalam Kerangka UNCAC Sebagai Instrumen Pemberantasan Korupsi Di Indonesia melalui
Email eddyosh@yahoo.com, Pada hari Jum’at, 27 Januari 2019 Pukul 09.48 WIB.
44

dirumuskan sama sekali hal ihwal mengenai tindakan-tindakan pencegahan tipikor

yang di dalam UNCAC 2003 justru dirumuskan secara lebih utuh.85

Dalam segi court/institution, UNCAC hingga saat ini menggunakan ICJ dan

belum memiliki badan khusus untuk mengatasi permasalahan korupsi pada jalur

internasional seperti pengembalian aset, maka untuk menyelesaikan masalah

korupsi dijalur internasional dibentuklah beberapa forum internasional sebagai

upaya- upaya yang dilakukan oleh negara- negara peserta UNCAC. Selain itu

fungsi forum konferensi UNCAC adalah sebagai alat untuk mengawasi regulasi

korupsi negara Indonesia apabila terdapat kesalahan maka akan dilakukan review.86

Indonesia tidak otomatis akan semakin mudah dalam proses pengembalian

aset-aset hasil korupsi yang dilarikan ke negara lain, sekalipun telah meratifikasi

Konvensi PBB mengenai Antikorupsi (UNCAC). Dari tiga jalur yang tersedia

untuk pengembalian aset-aset hasil korupsi di negara lain, yaitu melalui proses

penyelidikan kriminal, melalui litigasi sipil, dan melalui perampasan aset (asset

forfeiture), Indonesia masih belum mempunyai aturan hukum mengenai

perampasan aset. Untuk pengembalian aset yang ada di negara lain, Indonesia

sudah memiliki mekanismenya, tetapi belum terkoordinasi dalam suatu upaya

bersama-sama. Meski telah diratifikasi, UNCAC belum bisa dimanfaatkan karena

banyak negara tempat aset Indonesia berada belum menjadi pihak dari

konvensi tersebut. Sehingga, pemerintah punya gagasan dalam sidang yang kedua

para pihak UNCAC di Indonesia, agar para pihak punya pengaturan yang lebih

85
Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik, Sisi Lain Akuntabilitas KPK dan
Lembaga Pengiat Antikorupsi, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama. 2016
86
Ibid, hal 90
45

teknis dan sederhana. Dalam UNCAC memang ada, tetapi sifatnya masih pedoman

umum.87

Jika upaya pengembalian aset itu dilakukan melalui penyelidikan kriminal,

prosesnya akan lama. Sedangkan melalui litigasi sipil bisa lebih cepat, tetapi mahal

biayanya. Yang bisa dipakai itu perampasan aset. Melalui cara ini, aset bisa

langsung dirampas tanpa ada suatu keputusan pidana. Itu yang dimungkinkan

dalam Konvensi Antikorupsi. Sebagai negara yang akan meminta pengembalian

asetnya yang ada di negara lain, Indonesia juga harus timbal balik, siap menerima

permintaan pengembalian aset hasil korupsi milik negara lain yang ada di

Indonesia. Oleh karena itu, dalam aturan hukum RI harus ada soal perampasan aset

itu. Kalau ada aturan itu, polisi atau PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis

Transaksi Keuangan) bisa melakukan penyitaan terhadap suatu aset tanpa ada satu

keputusan pidana.88

Kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia masih

cenderung lemah. Sistem ekstradisi di Indonesia sebagai bagian dari bentuk

kerjasama masih bersifat administratif dan cenderung politis karena ditentukan oleh

Presiden. Selain ekstradisi, beberapa kalangan juga mempersoalkan Mutual Legal

Assistance. Dalam hal MLA Indonesia kurang progresif. Hal ini dapat dilihat dari

keterlambatan Indonesia meratifikasi perjanjian MLA yang sudah ditandatangani

dalam negara lain. Dari kelemahan kerjasama internasional Indonesia tersebut,

Indonesia megalami kegagalan dalam memenuhi target dalam memberantas dan

menyelesaikan masalah korupsi terutama untuk membawa pulang aset para

koruptor Indonesia yang dilarikan ke luar negeri.

87
Sam Blay.Loc.cit, hal 26
88
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes.Op.cit, hal 33
46

1. Kendala- kendala Implementasi UNCAC 2003 di Indonesia

Pengaturan Yurisdiksi negara di dalam UNCAC 2003diatur dalam Pasal

42 ayat (1) sampai dengan ayat (6). Pasal ini menjadi dasar bagi negara-negara

sesuai hukum nasionalnya untuk menetapkan yurisdiksi terhadap kejahatan

yang diatur oleh konvensi, dan begitu juga terhadap pengembalian aset yang

berhubungan dengan kejahatan korupsi. Permasalahan perbedaan yurisdiksi

yang menjadi kendala dalam pengembalian aset difasilitasi konvensi dengan

mewajibkan negara pihak untuk saling berkerjasama dan memberikan bantuan

baik kerjasama bilateral dan multilateral seperti bantuan timbal balik ( Mutual

Legal Asisstance), sebagaimana diatur dalam Pasal 51 konvensi tentang

pengembalian aset. 89

Mekanisme pengembalian aset yang diatur dalam konvensi dapat

dilakukan melalui 2 (dua) instrumen hukum yaitu instrumen hukum perdata

(civil recovery) yang diatur dalam Pasal 53 konvensi dan instrumen hukum

pidana (criminal recovery) yang diatur dalam Pasal 54-55 konvensi yang

dilakukan melalui proses kerjasama internasional atau kerjasama untuk

melakukan penyitaan.90 Negara yang melakukan pengembalian aset menurut

konvensi harus mendasarkan permintaannya pada adanya putusan pengadilan

tetap seperti yang diatur di dalam Pasal 54 ayat 1 huruf (a) serta ayat 2 huruf

(a, b, dan c) tentang Mekanisme pengembalian kekayaan melalui kerjasama

internasional untuk perampasan dan Pasal 55 ayat 1 huruf (b) tentang

kerjasama internasional untuk tujuan perampasan serta menyampaikan seluruh

uraian mengenai kekayaan yang dirampas, lokasi, perkiraan nilai serta fakta-

89
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indoneia,Alumni, Bandung. Hal 85
90
Ibid, hal 16
47

fakta yang meyakinkan terhadap aset yang akan dirampas, beserta perintah

perampasan, serta uraian tentang tindakan-tindakan yang diminta yang menjadi

dasar pengajuan permintaan. Persyaratan ini termuat dalam Pasal 55 ayat 3

huruf (a), (b), dan (c) UNCAC 2003.91

UNCAC atau Konvensi PBB Antikorupsi (2003) telah diratifikasi

dengan UU RI Nomor 7 Tahun 2006, sehingga dalam sistem hukum pidana

Indonesia masih diperlukan UU Pemberlakuannya baik bersifat perubahan

terhadap UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU RI Nomor 20

Tahun 2001, maupun UU baru yang menggantikan seluruh ketentuan dalam


92
UU tersebut. UU pemberlakuan tersebut diperlukan karena ketentuan Pasal

11 UUD 1945 hanya bersifat pengesahan atas UNCAC bukan bersifat

pemberlakuan ketentuan suatu tindak pidana. Selain itu, juga karena sistem

hukum pidana Indonesia mengakui asas legalitas (Pasal 1 ayat 1 KUHP) yang

menegaskan tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan

perundang- undangan pidana (Indonesia) yang telah ada. Artinya sistem

hukum pidana Indonesia mengakui asas non-retroaktif sepanjang mengenai

perbuatan yang dapat dipidana (hukum pidana materiil) menurut Undang-

Undang Pidana. Kekuatan perundangundangan pidana (Indonesia) yang telah

ada yang mengatur tentang tindak pidana korupsi, adalah UU sebagaimana

disebutkan di atas. 93

Indonesia sebagai aktor yang telah meratifikasi UNCAC memiliki hak

yang mana juga hak tersebut telah sesuai dengan ketentuan dalam pasal- pasal

di dalam UNCAC. Indonesia menyatakan reservation (pensyaratan) terhadap


91
Djoko Sumaryanto, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Dalam
Rangka , Pengembalian Kerugian Keuangan Negara, Prestasi Pustaka Karya, Jakarta 2009, hal 41
92
Ibid, hal 74
93
Ibid, hal 75
48

Pasal 66 ayat (2) UNCAC yang mengatur mengenai upaya penyelesaian

sengketa, seandainya jika diperlukan, mengenai penjelasan dan pelaksanaan

konvensi UNCAC melalui Mahkamah Internasional. Keputusan ini diambil

sebagai sebuah pertimbangan bahwa Indonesia tidak mau mengakui jurisdiksi

yang mengikat secara clematis (compulsory jurisdiction) dari Mahkamah

Internasional. Pensyaratan yang diajukan oleh Indonesia telah sesuai dengan

ketentuan internasional yang berlaku. Persyartan yang diajukan oleh Indonesia

ini merupakan hak bagi setiap negara berdaulat dalam perjanjian internasional.

Untuk mengadopsi perjanjian internasional ke dalam regulasi suatu negara

maka Indonesia sebagai negara berdaulat tentunya memiliki mekanisme yang

berbeda.94

Dalam yurisdiksi, terlihat perubahan dari hukum internasional menjadi

hukum domestik hal ini terlihat pada pengesahan UNCAC oleh badan

legislatif Indonesia, meskipun jauh sebelum Indonesia meratifikasi UNCAC

sebenarnya Indonesia telah memiliki regulasi sendiri terkait pemberantasan

korupsi yang sejalan dengan pasal-pasal di dalam UNCAC sehingga dapat

disimpulkan jika Indonesia telah mengadopsi UNCAC.95

Kendala - kendala yang dihadapi Indonesia dalam hubungannya dengan

ratifikasi United Nation Convention Againts Corruption 2003 yaitu alam hal

mengembalikan aset dimana Indonesia telah mempunyai catatan keberhasilan

dalam melakukan pengembalian aset hasil korupsi yang disimpan dinegara

lain, namun ratifikasi UNCAC 2003, khususnya terkait dengan ketentuan-

ketentuan tentang pengembalian aset hasil korupsi, masih menghadapi

94
Tenth Edition, Loc.cit, hal 148
95
Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik, Sisi Lain Akuntabilitas KPK dan
Lembaga Pengiat Antikorupsi, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama. 2016, hal 52
49

sejumlah kendala secara yuridis tentang kesiapan hukum positif. Dalam hal

Indonesia sebagai “negara yang diminta” mengembalikan aset secara langsung

misalnya, masih harus dikaji tentang kemungkinan legal standing pihak

peminta yang notabene adalah suatu negara. Terlebih lagi juga perlu

pengkajian tersendiri dalam hal penggugatnya adalah “suatu negara”. Padahal

Pasal 53 UNCAC 2003, mewajibkan suatu negara untuk membangun

konstruksi hukum nasionalnya, dimana memungkinkan negara lain dapat

mengajukan gugatan perdata, menuntut ganti kerugian, dan meletakkan sita,

pada pengadilan-pengadilan negara tersebut, dalam rangka mengembalikan

aset hasil korupsi yang berada atau ditempatkan di negara tersebut secara

langsung, bukan dalam kerangka kerjasama government to government96.

Perangkat aturan hukum yang mengatur pengembalian aset hasil korupsi

Indonesia belum dapat digunakan untuk melakukan pengembalian aset secara

maksimal karena Indonesia sampai dengan saat ini belum memiliki peraturan

pelaksana ratifikasi UNCAC 2003 yang mengatur secara khusus tentang

pengembalian aset.97 Pengembalian aset dalam paradigma peraturan-peraturan

yang ada masih melandaskan pada adanya kerugian negara sementara didalam

konvensi pengembalian aset itu tidak hanya didasarkan pada adanya kerugian

negara melainkan juga dimungkinkan bagi kepemilikan pihak ketiga. Selain

itu istilah pengembalian aset belum dikenal secara eksplisit didalam berbagai

peraturan di Indonesia, hal ini tentunya menyulitkan pengembalian aset

seandainya pihak ketiga juga ikut dirugikan akibat kejahatan korupsi yang

telah dilakukan.98 Belum lagi sampai saat ini Indonesia belum memiliki

96
Ibid, hal 80
97
Purwaning M. Yanuar, Op.cit, hal 63
98
Ibid, hal 79
50

lembaga yang berperan sebagai central authority yang berwenang

melaksanakan kerjasama internasional dalam hal pengembalian aset.99

2. Lemahnya Kerjasama Internasional

Hubungan kerjasama internasional dibutuhkan guna memenuhi

kebutuhan hidup dan eksistensi keberadaan suatu negara dalam tata pergaulan

internasional, di samping demi terciptanya perdamaian dan kesejahteraan

hidup yang merupakan harapan seluruh manusia dan negara di dunia. Setiap

negara sudah pasti memiliki kelebihan, kekurangan dan kepentingan nya

masing-masing. Hal-hal inilah yang mendorong dilaksanakannya kerjasama

internasional.100

Konvensi PBB menentang Korupsi 2003 sudah diratifikasi oleh

Indonesia dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun

2006 yang berarti mengikat Indonesia untuk menerapkannya, tetapi

sebenarnya kita sudah mempunyai peraturan perundang-undangan nasional

yang terkait langsung dengan pencegaha dan pemberantasan korupsi, sehingga

tentu hukum nasional kita yang harus didahulukan dalam pelaksanaan sehari-

hari , yaitu antara lain:

a. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,

dan Nepotisme;

b. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

99
Djoko Sumaryanto, Op.cit, hal53
100
I Gusti Ketut Ariawan, 2008, Stollen Asset Recovery Initiative, Suatu Harapan dalam
Pengembalian Aset Negara, tersedia di http://docs.google.com/journal.unud.ac., hal 30
51

c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2000

tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan

Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi;

d. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang- undang Republik Indonesia Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

e. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

f. lnstruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang

Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Konvensi PBB Antikorupsi merupakan “nonself executing treaty”

sekalipun memuat ketentuan seperti, “illicit enrichment” , “trading in

influence”, ”bribery in the private sector”, dan “abuse of function” sehingga

masih memerlukan UU Pemberlakuannya, yaitu perubahan terhadap UU

Tipikor yang telah berlaku.101

Atas dasar uraian di atas, jelas bahwa adalah keliru jika ada pendapat

ahli hukum pidana yang mengemukakan bahwa, UNCAC atau Konvensi PBB

Antikorupsi 2003 serta-merta berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat

dan dapat diterapkan dalam perkara korupsi di Indonesia dengan alasan telah

diratifikasi. Kita harus membedakan antara UU Pengesahan dan UU

Pemberlakuan dalam konteks kekuatan mengikat suatu undangundang

terhadap perkara korupsi. Selain alasan tersebut, patut juga diperhatikan

kebiasaan dan praktik hukum pidana di Indonesia dalam melaksanakan

101
Purwaning M. Yanuar, Op.cit, hal 80
52

konvensi internasional yang telah diratifikasi sejak sebelum perubahan dan

setelah perubahan UUD 1945. Hampir seluruh implementasi konvensi tentang

kejahatan transnasional tersebut telah ditetapkan UU pemberlakuannya

sehingga memiliki kekuatan hukum mengikat baik bagi penyidik, penuntut,

maupun hakim majelis yang memeriksa perkara pidana termasuk korupsi.102

Dewasa ini permasalahan korupsi bukan lagi menjadi permasalah

domestik suatu negara tapi telah menjadi permasalahan internasional. Korupsi

telah memasuki lintas batas negara, dimana seperti yang disampaikan dalam

alenia ke IV mukadimah UNCAC 2003. Demitri Vlasis juga berpendapat

bahwa masyarakat dunia baik di negara maju maupun berkembang semakin

frustasi dalam menghadapi penderitaan akibat ketidakadilan dan kemiskinan

yang diakibatkan oleh tindakan korupsi.103 Masyarakat dunia mulai resah

dengan adanya tindakan yang tidak berprikemanusian itu. Sehingga negara-

negara di dunia bersepakat menjalin kerjasama dalam rangka mencegah dan

membasmi tindakn korupsi ini. Kesepakatan tersebut tertuang dalam bentuk

kepakatan UNCAC melalui PBB.104 Sebenarnya Indonesia telah melakukan

upaya pemberantasan korupsi sejak lama melalui peraturan perundang-

undangan pemberantasan korupsi sampai kepada pembentukan lembaga

terkait. Indonesia sepertinya sangat serius dalam kasus korupsi ini sebab

tindakan korupsi telah menggeserkan esensi setiap aspek vital di Indonesia,

sebut saja seperti pergeseran arah politik, hukum, ekonomi bahkan sampai

keranah pendidikan dan keagamaan. Keseriusan Indonesia ini dapat kita lihat

dari berbagai bentuk undang-undang yang dimunculkan serta menciptakan


102
Ibid, hal 42
103
Ibid, hal 19
104
Michael Levi, Tracing and Recovering the Proceeds of crime, Cardiff University,
Wales, UK, Tbilisi, Georgia, 2004, hal 17
53

sebuah institusi pemberantasan korupsi yang disebut Komisi Pemberantasan

Korupsi ( KPK ).105 Dalam rangka pemberantasan korupsi ini Indonesia tidak

segan-segan membuat anggaran yang cukup besar. Pada akhirnya Indonesia

mulai menyadari bahwa tidak bisa melakukan pemberantasan dengan cara

memperkuat ranah domestik seperti melahirkan undang-undang dan

pembentukan lembaga terkait. Indonesia sangat kewalahan dalam kasus pelik

ini, sehingga Indonesia sangat memerlukan bantuan dari negara lain baik itu

lingkup regional maupun Internasional.106

Pada tahun 2003 Indonesia mendapat angin segar dari dunia

Internasional mengenai penanggulangan dan pemberantasan korupsi, yaitu

melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan lahirnya United nation covention

again corruption (UNCAC). Indonesia menyambut kebijakan pemberantasan

korupsi ini dengan harapan agar negara benar-benar bersih dari tindakan

korupsi yang dapat menyengsarakan rakyat.107 Dunia mulai menyadari bahwa

tindakan pidana korupsi telah melewati batas negara. Tindakan ini dapat

ditelisik melalui maraknya pencucian uang yang terjadi diberbagai bank

dibelahan dunia. Sehingga UNCAC bersepakat untuk mengatur permasalahan

korupsi dalam bentuk pengamanan aset hasil korupsi. Mekanisme yang

dilakukan UNCAC dalam melakukan proses pengamanan aset hasil korupsi ini

yaitu pertama dengan melakukan pelacakan, kedua aset yang sudah dilacak

akan dibekukan, kemudian aset yang telah dibekukan akan disita dengan

memanfaatkan pihak berwenang dimana aset itu berada, dan yang terakhir

mengembalikan aset tersebut ke negara asal (sumber aset korupsi). Kesepakan

105
Ibid, hal 70
106
Ibid, hal 76
107
Lola Yuristrisia, Loc. Cit, hal 85
54

tentang pengembalian aset ini tercapai karena kebutuhan untuk mendapatkan

kembali aset-aset hasil tindakan pidana korupsi sebagaimana harus

direkonsiliasikan dengan hukum dan prosedur dari negara-negara yang

dimintai bantuan.108 Pentingnya pengembalian aset ini terutama bagi negara-

negara berkembang didasarkan pada kenyataan bahwa tindak pidana korupsi

telah menjadi musuh negara yang telah merampas hak-hak rakyat untuk

merasakan kesejahteraan.109

Mengenai proses pengambilan aset ini para pelaku tindakan pidana

korupsi mampu melintasi dengan bebas batas yurisdiksi dan geografis negara.

Sementara, para penegak hukum tidak mudah melewati batas-batas yurisdiksi

negara lain, dengan alasan itulah maka diperlukan sebuah kerjasama

internasional dalam melakukan pengejaran pelaku tindak pidana korupsi yang

telah melarikan aset negara melewati batas lintas negara. Dengan demikian

pengaturan ketentuan mengenai bantuan hukum timbal balik di dalam

UNCAC, maka upaya pengambilan aset akan tercapai dengan maksimal. Tidak

ada satu pun negara di dunia ini yang tidak menginginkan kedamaian dan

kehidupan yang sejahtera, termasuk Indonesia. Sehingga semenjak adanya

kesepakatan dunia dalam rangka memberantas tindakan korupsi Indonesia

sepertinya menemukan kembali roh yang telah hilang.110 Adapun keuntungan

yang mungkin Indonesia dapat dari kerjasama internasional ini adalah sebagai

berikut :

1. Paham bahwa korupsi itu tidak hanya permasalahan nasional negara tapi

juga telah menjelma menjadi public enemy atau musuh bersama.


108
Ibid, hal 88
109
Purwaning M. Yanuar, Op.cit, hal 102
110
Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi (terjemahan), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
2005, hal 37
55

2. Indonesia mendapat sokongan dari dunia dalam rangka pemberantasan

korupsi yang sudah sejak lama menjadi penyakit bagi kehidupan berbangsa

dan bernegera.

3. Adanya kemungkinan kembalinya aset negara yang telah dibawa para

koruptor yang melewati lintas batas negara.

Konvensi PBB menentang Korupsi 2003 sudah diratifikasi oleh

Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 2006, sehingga memudahkan indonesia

menjalin kerjasama dengan negara-negara dimana diperkirakan banyak dana

warga negara indonesia yang disimpan di bank-bank tersebut. Setelah

berakhirnya penerapan text amesti yang diterapkan pemerintah indonesia,

memperkirakan masih banyak dana warga negara indonesia yang berada di

bank-bank luar negeri. Dalam rangka mengimplementasi UNCAC 2003 dan

mengembalikan dana-dana warga negara indonesia tersebut, pemerintah

sementara melakukan perundingan dengan pemerintah Swiss, Hongkong,dan

Singapur yang diperkirakan banyak dana-dana waraga negara indonesia yang

disimpan di bank-bank 3 negara tersebut. Sebenamya hampir semua ketenatuan

Konvensi tersebut sudah diterapkan dalam upaya pencegahan dan

pemberantasan korupsi terutama sejak ditetapkanya UU NO. 30 Tahun 2002

tentang KPK yang sekarang sudah menunjukkan hasil-hasilnya, yaitu seperti

diputuskanya hukuman 20 tahun penjara bagi pelaku korupsi, banyak pejabat

negara telah masuk penjara mulai dari tingkat menteri sampai pejabat di

daerah. Konvensi Korupsi 2003 lebih menekankan kerja sama intemasional

dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi misalnya dalam hal

pengembalian aset-aset yang berada di luar negeri hasil dari kejahatan korupsi,
56

meskipun dalam praktik tidak mudah karena melibatkan sistim hukum dan

kepentingan negara lain.111

111
Lola Yuristrisia, Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Menurut Ketentuan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan Konvensi
Perserikatan Pbb Anti Korupsi 2003 (UNCAC 2003), Fakultas Hukum Universitas Andalas,
Padang, 2010, hal 66

Anda mungkin juga menyukai