Anda di halaman 1dari 13

Subscribe to DeepL Pro to translate larger documents.

E-ISSN 2281-4612 Jurnal Akademik Studi Interdisipliner Vol 9 No 2


ISSN 2281-3993 Visit www.DeepL.com/pro for more information.
www.richtmann.org Maret 2020

Artikel Penelitian

© 2020 M. Hadi Shubhan.


Ini adalah artikel akses terbuka yang dilisensikan di bawah Lisensi
Creative Commons Atribusi-NonKomersial 4.0 Internasional
(https://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/)

Perlindungan Hukum terhadap Perusahaan Solven dari


Penyalahgunaan Kepailitan dalam Sistem Hukum
Indonesia

M. Hadi Shubhan

Fakultas Hukum,
Universitas
Airlangga, Surabaya,
Indonesia

Doi: 10.36941/ajis-2020-0031

Abstrak

Dalam sistem hukum kepailitan di Indonesia, pengadilan dapat menjatuhkan putusan pailit tanpa
melakukan penilaian terhadap kondisi solvabilitas suatu perusahaan, apakah perusahaan tersebut dalam
keadaan solven atau insolven. Ketentuan hukum ini sangat rawan disalahgunakan oleh kreditur yang
beritikad tidak baik. Uji kepailitan mampu melindungi debitor dan mencegah penyalahgunaan kepailitan
oleh kreditor yang beritikad buruk. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis perlindungan hukum terhadap
perusahaan solven dari penyalahgunaan kepailitan dalam sistem hukum Indonesia. Dengan menggunakan
pendekatan normatif dan yuridis, hasil penelitian menunjukkan bahwa uji kepailitan dapat dimasukkan
dalam amandemen hukum kepailitan Indonesia di masa depan. Dengan demikian, pelaksanaan uji
kepailitan tidak dilakukan di luar proses kepailitan, tetapi tetap dalam proses kepailitan yang bersangkutan.
Uji kepailitan dapat dilakukan oleh hakim berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan seperti laporan
keuangan yang dibuat oleh Kantor Akuntan Publik yang terdaftar. Seorang debitur yang beritikad tidak baik
seharusnya tidak dapat memperoleh perlindungan untuk menghindarkan diri dari kepailitan dengan uji
kepailitan, meskipun debitur tersebut memiliki solvabilitas yang baik.

Kata kunci: hukum bisnis, pelarut, penyalahgunaan, kepailitan, Indonesia

1. Pendahuluan

Di Indonesia, hukum kepailitan adalah instrumen hukum yang dirancang untuk berfungsi sebagai
instrumen untuk menagih utang yang belum dibayar dari debitur yang tidak mampu dan berhenti
membayar utangnya. Bukan sebagai instrumen untuk menyelesaikan utang yang tidak terbayar
karena alasan kondisi debitur yang tidak mampu membayar. Desain hukum kepailitan yang
demikian tidak dapat disalahkan karena struktur hukum dan budaya hukum yang ada. Namun,
desain tersebut rentan terhadap penyalahgunaan kepailitan terhadap perusahaan yang solven
(Steele, 1999; Lindsey, 1998). Pengadilan tidak dapat dituduh secara mutlak karena menyatakan
kebangkrutan terhadap perusahaan-perusahaan tersebut dan juga tidak dapat dianggap benar. Hal
ini tidak dapat dituduhkan secara mutlak karena hakim masih berpegang pada ketentuan dalam
Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

142
E-ISSN 2281-4612 Jurnal Akademik Studi Interdisipliner Vol 9 No 2
ISSN 2281-3993 www.richtmann.org Maret 2020

Utang (selanjutnya disebut UU Kepailitan). Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan, secara
expressis verbis diatur mengenai syarat materiil untuk mengajukan permohonan pailit. Yang pertama
adalah adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dan yang kedua adalah adanya
minimal dua kreditor (Juwana, 2005; Linnan, 2006).
Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan tidak mensyaratkan syarat-syarat lain selain dua hal tersebut,
kecuali solvabilitas debitur yang buruk (Wahyudi, 2019). Pasal ini menggarisbawahi bahwa hakim
hanya menggunakan dua parameter. Oleh karena itu, mereka tidak dapat dituduh karena
menegakkan ketentuan hukum.

143
E-ISSN 2281-4612 Jurnal Akademik Studi Interdisipliner Vol 9 No 2
ISSN 2281-3993 www.richtmann.org Maret 2020

Selain itu, Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan mewajibkan hakim untuk mengabulkan setiap petitum
kepailitan. Namun demikian, penerapan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan Indonesia berlaku secara
kaku untuk semua kondisi, yang dapat berpotensi menimbulkan permasalahan baru yang lebih
kompleks serta menimbulkan ketidakadilan dalam kasus-kasus tertentu, seperti kasus kepailitan
terhadap debitor yang sangat solven pada contoh-contoh kepailitan sebelumnya.
Untuk alasan di atas, perlindungan hukum bagi perusahaan yang beritikad baik sangat
diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan instrumen hukum kepailitan (Sewu, 2019). Bentuk
perlindungan hukum tersebut adalah pertimbangan solvabilitas perusahaan oleh hakim dalam
menyatakan atau menolak kepailitan. Pertimbangan solvabilitas dapat dilihat atau dinilai dari uji
kepailitan. Namun demikian, pertimbangan solvabilitas tersebut tidak boleh menjadi sebuah tirani
yang menghambat kepailitan debitor yang nyata-nyata memiliki itikad buruk. Oleh karena itu,
tulisan ini bertujuan untuk menganalisis perlindungan hukum terhadap perusahaan solvabel dari
penyalahgunaan kepailitan dalam sistem hukum Indonesia. Tulisan ini dibagi menjadi beberapa
bagian. Bagian pertama membahas filosofi kepailitan. Bagian kedua membahas syarat-syarat
kepailitan di Indonesia, dengan menggunakan dasar kuantitatif sebagai formula penyelesaian
perkara kepailitan di pengadilan. Bagian ketiga menyoroti bentuk-bentuk fundamental dan dasar
perlindungan hukum dalam sistem hukum kepailitan di Indonesia.

2. Prinsip-prinsip Hukum Kepailitan di Indonesia

Secara harfiah, nomenklatur kebangkrutan mengacu pada kondisi di mana debitur tidak memiliki
kemampuan finansial untuk membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Kebangkrutan
sebagai keadaan atau kondisi individu yang tidak mampu membayar utang-utangnya yang telah
atau akan jatuh tempo (Black, 1979; Honsberger, 1980). Meskipun seorang debitur memiliki utang
yang telah jatuh tempo dan harus dibayar, sering kali debitur tidak dapat membayar karena kondisi
keuangannya yang tidak mencukupi. Jika debitur berada dalam kondisi ketidakmampuan
membayar ini, undang-undang memutuskan bahwa semua harta kekayaannya demi hukum menjadi
jaminan atas utang-utangnya bagi para krediturnya. Hal ini diatur dalam Pasal 1131 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Indonesia (Little & Kamarul, 2018; Hartanto, 2015). Dalam pasal tersebut,
tertulis bahwa "segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan untuk segala
perikatannya dalam perikatan-perikatan yang dibuatnya". Ketentuan dalam Pasal 1131 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia ini mengabadikan prinsip paritas creditorum (Declercq,
2002; Milo & Smits, 2000; Wessels, 2007). Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 1131
KUHPerdata, harus dipastikan bahwa semua kreditur berhak untuk mendapatkan ganti rugi dari
harta kekayaan debitur tanpa terkecuali (Hartanto, 2017).
Asas dalam Pasal 1131 KUHPerdata ini tidak dapat dilaksanakan apabila keadaan harta
kekayaan seorang debitur lebih kecil jumlahnya daripada utang-utangnya yang telah jatuh tempo
dan harus dibayar, sementara semua kreditur saling bersaing untuk menagih utang-utang tersebut
dengan cara-cara yang sah maupun yang tidak sah menurut hukum. Apabila para kreditur saling
bersaing untuk menagih pelunasan piutangnya kepada debitur, namun utang debitur lebih besar
daripada harta kekayaannya, maka kreditur yang lebih dahulu akan mendapatkan pelunasan
piutangnya. Sebaliknya, kreditur yang datang kemudian tidak akan menerima sedikitpun dari harta
kekayaan karena seluruh harta kekayaan debitur telah habis untuk membayar kreditur pertama.
Kondisi saling mendahului ini tentu saja akan menimbulkan ketidakadilan bagi para kreditur yang
tidak mendapatkan apapun sebagai pelunasan piutangnya, padahal Pasal 1131 KUHPerdata
dengan tegas menjamin pelunasan piutang para kreditur dengan harta kekayaan debitur demi
hukum.
Hukum kepailitan mengatur suatu aturan yang bertujuan untuk mendistribusikan harta
kekayaan debitur kepada seluruh krediturnya dengan melakukan sita umum atas seluruh harta
kekayaan debitur dan membaginya kepada seluruh krediturnya sesuai dengan proporsi pinjaman

144
E-ISSN 2281-4612 Jurnal Akademik Studi Interdisipliner Vol 9 No 2
ISSN 2281-3993 www.richtmann.org Maret 2020

debitur. Ketentuan kepailitan ini merupakan kelanjutan pelaksanaan dari Pasal 1131 juncto 1132
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal ini merupakan realisasi dari asas paritas creditorum dan
asas pari passu pro rata parte (lihat juga sebagai perbandingan, Wright, 2011; Buchheit, & Pam,
2004).
Pada dasarnya, kepailitan merupakan lembaga yang menawarkan solusi terhadap pihak
manapun ketika seorang debitur dalam kondisi tertentu berhenti membayar atau tidak mampu
membayar. Lembaga kepailitan mencegah atau menghindari dua hal, yang keduanya merupakan
tindakan tidak adil yang dapat merugikan semua pihak. Kedua hal tersebut adalah (1) menghindari
eksekusi massal oleh debitor atau kreditor, dan (2) mencegah terjadinya

145
E-ISSN 2281-4612 Jurnal Akademik Studi Interdisipliner Vol 9 No 2
ISSN 2281-3993 www.richtmann.org Maret 2020

ketidakjujuran debitur (Hartono, 1999). Lebih lanjut, Hartono (1999) menyatakan bahwa
kemungkinan-kemungkinan tersebut di atas menimbulkan kerugian bagi banyak orang dalam
kondisi (1) kreditor tidak ikut serta dalam eksekusi yang melanggar hukum, (2) debitor tidak dapat
melawan eksekusi yang melanggar hukum dan tidak adil, (3) pihak ketiga bertindak dengan iktikad
baik, dan (4) kreditor bertindak dengan iktikad baik. Lembaga kepailitan merupakan implementasi
lebih lanjut dari Pasal 1131 yang diubah dengan Pasal 1132 KUHPerdata tentang asas paritas
creditorum dan asas pari passu pro rata parte. Pasal 1131 KUHPerdata mengatur bahwa "segala
kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya dalam
perikatan-perikatan yang dibuatnya".
Rumusan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menunjukkan bahwa segala
perbuatan yang dilakukan oleh orang yang berbadan hukum dalam bidang hukum perdata
khususnya bidang hukum kebendaan akan membawa akibat terhadap harta kekayaannya, baik itu
menambah jumlah harta kekayaannya maupun mengurangi jumlah harta kekayaannya. Dengan
demikian, semua harta kekayaan yang dimiliki oleh badan hukum selalu berada dalam keadaan
dinamis dan berubah dari waktu ke waktu. Akibatnya, semua perjanjian yang dibuat atau mengikat
dapat menambah atau mengurangi harta kekayaan badan hukum. Namun demikian, jika seseorang
memiliki lebih dari satu kewajiban yang harus dipenuhi terhadap lebih dari satu badan hukum yang
memiliki hak atas pemenuhan kewajiban tersebut dalam hubungan hukum kebendaan, maka
ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata menyatakan bahwa "harta kekayaan tersebut menjadi jaminan
bersama-sama bagi para berpiutang, dan hasilnya dibagi-bagi di antara para berpiutang itu
menurut perbandingan piutangnya masing-masing, kecuali apabila ada peraturan yang
menentukan lain, misalnya, bahwa para berpiutang itu mempunyai piutang yang didahulukan."
Pasal 1132 KUHPerdata merupakan kristalisasi dari asas pari passu pro rata parte. Dalam
konteks Pasal 1132 ini, seluruh pemangku kepentingan memiliki hak pemenuhan kewajiban atas
harta kekayaan orang yang bertanggung jawab/debitur dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. pari passu, yang berarti bahwa semua kreditur secara bersama-sama memperoleh
pelunasan tanpa didahulukan;
2. pro rata parte, yang berarti bahwa pembagian proporsional didasarkan pada besar
kecilnya piutang masing-masing kreditur dibandingkan dengan keseluruhan tagihan
kreditur atas seluruh harta kekayaan debitur.
Sesuai dengan asas umum paritas creditorum dan pari passu prorata parte yang melekat pada
kedua pasal tersebut, maka peraturan kepailitan merupakan ketentuan yang bersifat lebih lanjut,
teknis, dan operasional. Lembaga kepailitan memiliki dua fungsi mendasar. Pertama, kepailitan
sebagai lembaga yang memberikan jaminan bahwa debitur tidak akan pernah melakukan tindakan
yang tidak jujur, dan bertanggung jawab kepada semua kreditur. Kedua, lembaga kepailitan juga
memberikan perlindungan kepada para kreditor terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh
kreditor. Oleh karena itu, keberadaan kepailitan baik sebagai lembaga maupun upaya hukum
tertentu merupakan satu rangkaian konsep yang secara konsisten tunduk pada hukum acara yang
diatur dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.
Untuk menghindari perampasan dan klaim ilegal atas harta kekayaan debitur, maka perlu
dilakukan pembekuan aset (sita umum) atas harta kekayaan debitur, sehingga seluruh transaksi
yang berkaitan dengan harta kekayaan tersebut dapat dihentikan. Bentuk pembekuan aset tersebut
dapat dilakukan dengan instrumen kepailitan. Apabila seorang debitur dinyatakan pailit, maka
seluruh hartanya berada dalam keadaan sita umum (sita umum/gerechtelijke beslag). Pasal 1 ayat
(1) UU Kepailitan menyebutkan bahwa "kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor
pailit yang dilakukan pengurusan dan pemberesannya oleh Kurator di bawah pengawasan hakim
pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini". Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan
menegaskan bahwa kepailitan bertujuan untuk melakukan sita umum atas harta kekayaan debitor
pailit untuk mengamankan harta kekayaan tersebut dari penyitaan atau tindakan yang didahulukan
oleh para kreditornya. Ketika harta kekayaan debitur dinyatakan dalam keadaan sita umum, maka

146
E-ISSN 2281-4612 Jurnal Akademik Studi Interdisipliner Vol 9 No 2
ISSN 2281-3993 www.richtmann.org Maret 2020

semua upaya hukum atau tidak sah terhadap harta kekayaan debitur harus dihentikan, dan
penyitaan yang telah dilakukan sebelum putusan pailit harus dimunculkan kembali. Filosofi ini
menunjukkan bahwa kepentingan debitor harus dilindungi terhadap upaya-upaya yang dapat
merugikan kreditor secara paritas. Sita umum terjadi demi hukum pada saat putusan pailit
dijatuhkan terhadap debitur. Jadi, sita umum tidak perlu lagi dilakukan karena telah terjadi
pengikatan umum secara hukum atas harta pailit.

147
E-ISSN 2281-4612 Jurnal Akademik Studi Interdisipliner Vol 9 No 2
ISSN 2281-3993 www.richtmann.org Maret 2020

3. Persyaratan Kepailitan di Indonesia

Syarat untuk mengajukan permohonan pailit adalah 2+1. Artinya, ada dua syarat materiil yang
harus dipenuhi untuk mengajukan permohonan pailit. Pertama, debitur memiliki satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih dimana utang tersebut belum dibayar lunas. Kedua, debitur
harus memiliki setidaknya dua kreditur (lihat dalam Astiti, 2016, untuk pembahasan mengenai
pertanggungjawaban pidana kurator). Angka '+1' berarti bahwa persyaratan material tersebut dapat
dibuktikan dengan mudah. Syarat 2+1 untuk mengajukan permohonan pailit ini tertulis secara
expressis verbis dalam Pasal 2 ayat (1) junto Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan. Pasal 2 ayat (1)
menyatakan bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
kreditornya. Selain itu, Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan mengatur bahwa permohonan pernyataan
pailit dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang secara ringkas membuktikan bahwa
syarat-syarat pernyataan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.
Oleh karena itu, pengajuan permohonan pailit harus memenuhi syarat 2+1. Kata-kata 'harus
memenuhi' berarti bahwa pemohon harus dapat membuktikan bahwa debitur memiliki satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dan tidak melunasi salah satu utangnya saja, dan selama
terdapat paling sedikit dua kreditur, yang dapat dibuktikan dengan cara yang sederhana. Selain itu,
yang dimaksud dengan 'hanya memenuhi' adalah tidak ada syarat lain yang harus dipenuhi selain
syarat 2+1 ini. Syarat 2+1 dalam pengajuan permohonan pailit ini memiliki keuntungan dan
kerugian. Keuntungan dari adanya syarat 2+1 ini adalah instrumen kepailitan diharapkan dapat
memberikan mekanisme penyelesaian yang pasti dan adil terhadap penyelesaian utang debitor
kepada kreditor. Selain itu, dengan adanya syarat ini, pengajuan permohonan pailit menjadi mudah,
sederhana, dan tidak berbelit-belit. Keuntungan ini dapat dirasakan oleh debitor yang mengalami
kesulitan keuangan, terlepas dari kemauannya sendiri untuk menyelesaikan permasalahannya, dan
kepailitan adalah instrumen yang tepat. Dengan adanya syarat 2+1 ini, pengajuan permohonan
pailit menjadi mudah dan cepat tanpa syarat-syarat lain.
Manfaat lain dari syarat 2+1 ini adalah untuk menghadapi debitur yang beritikad tidak baik
yang dengan sengaja melarikan diri dari tanggung jawabnya untuk membayar utang-utangnya.
Adanya syarat 2+1 membuka jalan bagi kreditur untuk menyelesaikan pelunasan utangnya dengan
debitur yang beritikad tidak baik dengan mengajukan permohonan pailit terhadap debitur. Kreditur
tidak perlu memperpanjang dan mempersulit pengajuan permohonan pailit terhadap debiturnya.
Dalam hal ini, kepailitan merupakan penerapan dari debt pooling. Prinsip penagihan utang memiliki
arti konsep balas dendam dari kreditur kepada debitur pailit dengan cara mengajukan tagihannya
terhadap debitur atau aset debitur (Shubhan, 2019a). Pada masa lalu, penagihan utang diwujudkan
dalam bentuk perbudakan, mutilasi tubuh debitur, bahkan pemotongan tubuh debitur, sedangkan
pada prinsip hukum kepailitan modern, kreditur diwujudkan dalam bentuk likuidasi aset (Yuhassarie,
2005). Harnowo (2005) menegaskan bahwa kepailitan dapat digunakan sebagai mekanisme
pemaksaan dan pemerasan. Selain itu, hukum kepailitan diperlukan sebagai collective proceeding,
artinya para kreditor akan saling bersaing untuk mengklaim aset debitor untuk kepentingan mereka
sendiri tanpa adanya hukum kepailitan. Dengan demikian, hukum kepailitan mengatasi apa yang
disebut dengan collective action problem yang diakibatkan oleh kepentingan individu para kreditor.
Dalam hukum kepailitan terdapat mekanisme dimana para kreditor dapat memutuskan secara
bersama-sama apakah perusahaan debitor dapat terus beroperasi, dan dapat memaksa kreditor
minoritas untuk mengikuti prosedur pemungutan suara (Yuhassarie, 2005).
Namun demikian, syarat 'harus dan hanya' 2+1 ini juga memiliki beberapa kelemahan bagi
perusahaan atau individu debitor yang memiliki solvabilitas dan itikad baik, dibandingkan dengan
kreditor atau pemangku kepentingan lainnya yang beritikad buruk untuk menyalahgunakan
kepailitan. Debitur yang beritikad baik akan sulit menghadapi permohonan pailit atas dirinya
sendiri jika syarat pengajuan pailit hanya 2+1 ini. Dalam beberapa kasus, beberapa debitur yang

148
E-ISSN 2281-4612 Jurnal Akademik Studi Interdisipliner Vol 9 No 2
ISSN 2281-3993 www.richtmann.org Maret 2020

tidak membayar hutangnya sebenarnya tidak beritikad buruk karena hal tersebut merupakan
situasi yang terbalik bagi kreditur yang beritikad buruk. Dalam hal ini, perusahaan yang beritikad
baik harus menghadapi ancaman kepailitan yang tidak seharusnya diajukan permohonan pailit
terhadap dirinya.

149
E-ISSN 2281-4612 Jurnal Akademik Studi Interdisipliner Vol 9 No 2
ISSN 2281-3993 www.richtmann.org Maret 2020

4. Bentuk Perlindungan Hukum dalam Hukum Kepailitan

Syarat untuk mengajukan permohonan pailit adalah syarat 2+1 yang telah disebutkan di atas.
Pengajuan permohonan pailit hanya membutuhkan utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
di mana debitur tidak dapat membayar salah satu utangnya dan adanya minimal dua kreditur.
Kedua syarat tersebut dapat dibuktikan dengan cara yang sederhana. Persyaratan pengajuan
permohonan pailit yang mudah ini memiliki keuntungan dan kerugian terutama bagi debitor yang
beritikad baik untuk menghindari penyalahgunaan instrumen kepailitan. Salah satu kerugian dari
kemudahan pengajuan permohonan pailit ini adalah dapat membahayakan debitor yang memiliki
solvabilitas dan itikad baik, namun memiliki sengketa perdata dengan kreditor. Oleh karena itu,
perlu adanya perlindungan hukum bagi debitor, baik itu perorangan maupun badan hukum.
Penerapan uji kepailitan sebelum atau pada saat pemeriksaan permohonan pailit merupakan salah
satu bentuk perlindungan hukum bagi debitor yang memiliki solvabilitas dan itikad baik sebelum
atau pada saat permohonan pailit diajukan. Uji kepailitan adalah uji kemampuan debitur untuk
membayar utang-utangnya, yang terdiri dari uji arus kas dan neraca perusahaan. Uji arus kas
memeriksa jumlah kas masuk dan kas keluar dan menghubungkannya dengan kemampuan
perusahaan untuk membayar beberapa kewajiban utangnya. Jika hasil uji arus kas negatif,
perusahaan termasuk dalam kategori perusahaan yang bangkrut. Sebaliknya, jika hasil uji arus kas
positif, maka perusahaan dikategorikan sebagai perusahaan yang solven.
Uji neraca membandingkan total aset dan total liabilitas dimana jika nilai aset lebih kecil dari
liabilitas, maka perusahaan dianggap bangkrut. Di sisi lain, jika jumlah kewajiban lebih kecil dari
jumlah aset perusahaan, maka perusahaan tersebut dianggap sebagai perusahaan yang
solven. Perlindungan hukum diberikan kepada perusahaan yang solven jika perusahaan
tersebut menghadapi kreditor yang beritikad buruk yang ingin menyalahgunakan instrumen
kepailitan untuk keuntungannya sendiri atau orang lain, hal ini secara signifikan melindungi
perusahaan yang beritikad baik. Di sisi lain, debitur yang beritikad buruk tidak boleh dilindungi
dari kepailitan meskipun mereka adalah perusahaan yang solven. Pernyataan pailit terhadap
debitur yang beritikad tidak baik masih relevan. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa tidak adil
untuk melindungi debitur yang beritikad buruk dari kepailitan yang menimpanya.
Relevansi dari uji kepailitan ini terkait dengan tujuan dari instrumen kepailitan yang telah
dijelaskan sebelumnya. Tujuan mendasar dari kepailitan adalah manajemen pengumpulan dan
pembagian harta pailit untuk membayar kewajiban utang debitur kepada para krediturnya. Untuk
mengumpulkan aset pailit, semua aset debitur akan berada dalam kondisi penyitaan (Shubhan,
2019b). Jika aset debitur tidak dalam kondisi seperti itu, kemungkinan untuk memperjualbelikan
aset debitur dan melakukan penyitaan parsial seperti sita jaminan (conservatoir beslag/CB) terbuka
lebar. Dengan dinyatakan pailit, maka seluruh aset secara hukum menjadi sita umum.
Perusahaan yang memiliki jumlah aset yang lebih besar dari kewajiban yang masih ada tidak
memiliki relevansi dengan perselisihan aset debitur dengan para kreditur. Hal ini dikarenakan
kreditur yang datang belakangan akan tetap menerima pemenuhan pelunasannya dari harta
debitur. Apabila harta kekayaan debitur lebih banyak dari kewajibannya, maka Pasal 1131, 1132,
1133, dan seterusnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia tetap dijamin
pemenuhannya. Pemenuhannya dapat terjadi dengan dua cara. Pertama, debitur secara sukarela
membayar utangnya dengan harta kekayaan yang dimilikinya, atau alternatif kedua, kreditur dapat
menuntut debitur yang tidak mau membayar utangnya atas dasar wanprestasi ke pengadilan agar
harta kekayaan debitur dieksekusi untuk pemenuhan utang yang masih ada.
Kepailitan sejatinya merupakan jaminan pemenuhan dan pelaksanaan Pasal 1131, 1132, dan
1133 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, terutama dalam kondisi harta debitur tidak
mencukupi untuk membayar utang-utangnya. Sementara itu, jika aset debitur lebih besar dari
utangnya, maka Pasal 1131, 1132, dan 1133 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dipenuhi
tanpa harus melalui kepailitan. Hal ini berarti instrumen kepailitan tidak akan memiliki urgensi lagi
jika aset debitur melebihi utangnya atau debitur dalam keadaan solven. Apabila instrumen

150
E-ISSN 2281-4612 Jurnal Akademik Studi Interdisipliner Vol 9 No 2
ISSN 2281-3993 www.richtmann.org Maret 2020

kepailitan sudah tidak memiliki urgensi lagi dan debitor dianggap solven, maka debitor perlu
mendapatkan perlindungan hukum dari kreditor yang menggunakan instrumen kepailitan dengan
itikad tidak baik atau menyalahgunakan instrumen tersebut.
Instrumen uji kepailitan adalah perlindungan yang diberikan kepada debitur solven dari
kreditur yang beritikad tidak baik atau menyalahgunakan instrumen kepailitan. Dengan adanya
instrumen uji kepailitan, debitur yang lulus uji tidak dapat dinyatakan pailit. Oleh karena itu, jika
perusahaan yang memiliki prospek bisnis yang sangat cerah

151
E-ISSN 2281-4612 Jurnal Akademik Studi Interdisipliner Vol 9 No 2
ISSN 2281-3993 www.richtmann.org Maret 2020

dan kemampuan pembayaran yang baik dinyatakan pailit, maka akan merugikan banyak
pemangku kepentingan. Mungkin hanya segelintir kreditur yang beritikad buruk yang berada pada
posisi yang lebih baik, namun mayoritas pemangku kepentingan termasuk debitur, kreditur lain,
tenaga kerja, penyedia barang/jasa, konsumen, dan pemangku kepentingan terkait lainnya akan
terancam dengan kepailitan debitur. Ini adalah situasi di mana hukum harus memberikan keadilan
atau keadilan kepada para pemangku kepentingan utama. Namun, uji kepailitan dapat diterapkan
pada semua permohonan kepailitan. Sebagai contoh, debitur yang beritikad buruk untuk tidak
membayar utangnya tidak dapat memperoleh perlindungan hukum dari kepailitan meskipun
memiliki solvabilitas yang baik. Hal ini dikarenakan hukum tidak boleh pandang bulu. Hukum harus
ditegakkan tanpa memandang orang per orang dan kepentingan perorangan. Utang tetaplah utang
yang harus dibayar meskipun melalui mekanisme wanprestasi atau permohonan pailit.

5. Landasan Hukum Perlindungan Hukum dalam Pelembagaan Kepailitan

Uji kepailitan dapat dipertimbangkan di masa depan untuk melindungi perusahaan-perusahaan


yang beritikad baik. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari penyalahgunaan lembaga kepailitan
untuk menguntungkan orang-orang tertentu dan untuk menghindari adanya individu atau kelompok
yang dengan sengaja menggunakan lembaga kepailitan untuk menguntungkan dirinya sendiri
dengan merugikan orang lain. Penerapan uji kepailitan ini berfungsi sebagai fasilitas untuk
melindungi debitur yang beritikad baik tidak dapat diperlakukan sama terhadap semua permohonan
kepailitan (Tobing, 2018). Debitur dengan solvabilitas yang baik yang beritikad tidak baik sejak awal
melalaikan utangnya tidak seharusnya dilindungi dari kepailitan yang menimpanya. Oleh karena itu,
peran hukum adalah untuk menentukan debitur solvabel mana yang memenuhi syarat untuk
mendapatkan perlindungan hukum (Harahap, 2018).
Dalam rangka menerapkan perlindungan terhadap debitur yang memiliki solvabilitas, hakim
dapat mempertimbangkan solvabilitas debitur pailit sebelum menyatakan debitur pailit. Undang-
Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
tidak mengatur mengenai uji kepailitan. Artinya, hakim tidak serta merta menyatakan pailit terhadap
debitur, secara mutatis mutandis, meskipun debitur telah memenuhi syarat jatuh waktu dan utang
yang dapat ditagih serta adanya dua atau lebih kreditur. Hakim dapat mempertimbangkan syarat
lain di luar syarat yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan. Pertimbangan atau syarat lain
tersebut adalah solvabilitas dan itikad baik dari debitur atas ketidakmampuan membayar utang.
Jika hakim yakin dengan bukti-bukti yang menyatakan bahwa debitur dalam keadaan solvabel dan
ketidakmampuannya disebabkan oleh itikad baik, maka hakim dapat menolak untuk menyatakan
debitur pailit.
Pertimbangan hakim terhadap syarat-syarat lain yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU
Kepailitan didasarkan pada Pasal 8 ayat (6) huruf a UU Kepailitan. Pasal 8 ayat (6) huruf a UU
Kepailitan menyatakan bahwa putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus
memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau sumber
hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili permohonan tersebut, sedangkan
sumber hukum tidak tertulis antara lain adalah etika, kepatutan, keadilan, dan doktrin hukum.

6. Kesimpulan

Bentuk perlindungan hukum bagi debitur yang memiliki solvabilitas dan itikad baik dari
penyalahgunaan kepailitan oleh kreditur yang beritikad tidak baik adalah dengan
mempertimbangkan tingkat solvabilitas keuangan, di mana apabila solvabilitas keuangan debitur
baik, pengadilan dapat menolak menyatakan pailit. Ketentuan mengenai uji kepailitan dapat
ditambahkan dalam amandemen UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang dengan mempertimbangkan kepentingan debitur dan kreditur.
Selama belum ada perubahan terhadap UU 37/2004, hakim dapat memberikan perlindungan

152
E-ISSN 2281-4612 Jurnal Akademik Studi Interdisipliner Vol 9 No 2
ISSN 2281-3993 www.richtmann.org Maret 2020

kepada debitor solven dari penyalahgunaan instrumen kepailitan oleh debitor yang beritikad tidak
baik dengan menggunakan asas kepatutan, pemerataan dan keadilan.
Penerapan uji kepailitan di masa depan harus mempertimbangkan beberapa aspek. Pertama,
uji kepailitan tidak diwajibkan untuk semua permohonan pailit, tetapi hanya untuk debitur yang
beritikad baik. Kedua, uji kepailitan menjadi pertimbangan hakim dalam menilai permohonan pailit.
Jadi, tidak perlu dilakukan pemeriksaan lain di luar proses kepailitan. Ketiga, diperlukan adanya
bukti pendukung atas solvabilitas debitur berupa hasil audit dari kantor akuntan publik yang
terdaftar.

153
E-ISSN 2281-4612 Jurnal Akademik Studi Interdisipliner Vol 9 No 2
ISSN 2281-3993 www.richtmann.org Maret 2020

Referensi

Astiti, S. H. (2016). Pertanggungjawaban Pidana Kurator Berdasarkan Prinsip Independensi Menurut Hukum
Kepailitan. Jurnal Hukum dan Peradilan, 5(2), 277-298.
Black, H.C. (1979). Black's Black's Law Dictionary (Kamus Hukum Black). West Publishing Co.
Buchheit, L. C., & Pam, J. S. (2004). Klausul pari passu dalam surat utang negara. Emory LJ, 53, 869.
Declercq, P. J. (2002). Hukum kepailitan Belanda: Undang-Undang Kepailitan Belanda dan konsep-konsep hukum yang
paling penting. Lawrence Erlbaum Associates.
Harahap, P. (2018). Eksekutabilitas putusan arbitrase oleh lembaga peradilan/the executability of arbitration
award by judicial institutions. Jurnal Hukum dan Peradilan, 7(1), 127-150.
Harnowo, T. (2005). Catatan Singkat Tentang Hukum Kepailitan, Dalam Valerie Selvie (Ed.). Analisis Putusan
Kepailitan di Pengadilan Niaga Jakarta. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atmajaya.
Hartanto, J. A. (2015). Perkembangan Hukum Penjaminan di Indonesia. JL Pol'y & Globalisasi, 36, 57. Hartanto, J.
A. (2017). Perkembangan Hukum Indonesia tentang Jaminan Perumahan. Mediterania Jurnal Sosial
Ilmu Pengetahuan, 8(6), 109-115.
Hartono, S.R. (1999). Hukum Perdata Sebagai Landasan Hukum Kepailitan Modern. Jurnal Hukum Bisnis 7(1), 1-15.
Honsberger, J. (1980). Kegagalan Membayar Utang Pada Umumnya Pada Saat Jatuh Tempo: Pengalaman
Perancis dan
Kanada. Am. Bankr. LJ, 54, 153.
Juwana, H. (2005). Reformasi Hukum Ekonomi dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian Indonesia Pasca
Krisis. Ekonomi Pembangunan, 43(1), 72-90.
Lindsey, T. (1998). IMF dan Reformasi Hukum Kepailitan di Indonesia. Buletin Studi Ekonomi Indonesia, 34(3), 119-
124.
Linnan, D. K. (2006). Hukum dan Lembaga Kepailitan di Indonesia. Dalam R. Tomasic (Ed.), Hukum Kepailitan di
Asia Timur. Ashgate Publishing, Ltd.
Little, P., & Kamarul, B. K. (2018). Hukum Perusahaan di Indonesia. Dalam R. Tomasic (Ed.), Hukum Perusahaan
di Asia Timur.
Dartmouth Pub Co
Milo, M., & Smits, J. (2000). Perwalian dalam sistem hukum campuran: sebuah tantangan bagi hukum perwalian
komparatif. European Review of Private Law, 8(3), 421-426.
Sewu, P. L. S. (2019). Itikad Baik sebagai Prinsip Utama Etika Bisnis dalam Perjanjian dan Pengembangan Waralaba di
Indonesia. Jurnal Masalah Hukum, Etika dan Regulasi 22(1).
Shubhan, M. H. (2019a). Menuntut Direktur Perusahaan dengan Kepailitan Pribadi atas Kesalahan Pengelolaan
Perusahaan. Jurnal Hukum dan Peradilan, 8(3), 353-370.
Shubhan, M. H. (2019b). Penyalahgunaan Permohonan Kepailitan oleh Kreditur: Kasus Indonesia. Jurnal
Internasional Inovasi, Kreativitas dan Perubahan 10(6), 195-207.
Steele, S. (1999). Undang-undang baru tentang kepailitan di Indonesia: menuju rezim kepailitan perusahaan
modern. Melb.
UL Rev, 23, 144.
Tobing, C. N. (2018). Menggagas pengadilan hubungan industrial dalam bingkai ius constituendum sebagai upaya
perwujudan kepastian hukum dan keadilan. Jurnal Hukum dan Peradilan, 7(2), 297-326.
Wahyudi, F. (2019). Quo Vadis Penyelesaian Kepailitan Dan Undang-Undang Pkpu Pada Perbankan Syariah.
Jurnal Hukum dan Peradilan, 8(1), 1-20.
Wessels, B. (2007). Eropa layak mendapatkan pendekatan baru untuk proses kepailitan. Hukum Perusahaan Eropa,
4(6), 253-259.
Wright, M. L. (2011). Klausul Pari Passu dalam kontrak obligasi negara: Evolusi atau desain cerdas. Hofstra L.
Rev, 40, 103.
Yuhassarie, E. (2005). Memikirkan Kembali Hukum Kepailitan Indonesia, Dalam Emmy Yuhassarie (ed.), Hukum
Kepailitan dan Perkembangannya. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum.

154

Anda mungkin juga menyukai