5.5 Journal of Law Policy Globalisation (Id)

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 7

Jurnal Hukum, Kebijakan dan Globalisasi www.iiste.

or
ISSN 2224-3240 (Kertas) ISSN 2224-3259 g IIIII
(Online)
Vol.96, 2020 I
IISI
Asas Solvabilitas sebagai Pertimbangan Hakim dalam Pemecahan
E

Kasus Kepailitan di Indonesia


Boedi Haryanto1 M. Hadi Shubhan2 M.Zaidun 2
1 .Mahasiswa Doktor Hukum Universitas Airlangga
2 .Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk menguraikan lanskap filosofis terkait penerapan prinsip solvabilitas akibat
pemberlakuan Undang-Undang Kepailitan di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga mencoba mengkaji
perlindungan hukum terhadap debitur solvabilitas yang memiliki pokok yang baik. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa landasan filosofis pengujian kepailitan tidak diterapkan dalam hukum Indonesia karena sistem utang
hukum di Indonesia cukup mudah. Kesederhanaan sistem utang di Indonesia karena berpotensi merugikan banyak
kreditur karena pembuktiannya tidak lagi bisa dilakukan secara sederhana. Perlindungan hukum bagi debitur
solvabilitas dengan itikad baik diperoleh secara represif dengan pembuktian di depan persidangan bahwa debitur
masih dalam keadaan solvabilitas.
Kata Kunci : Kebangkrutan, Solvabilitas, Itikad Baik
DOI: 10.7176/JLPG/96-03
Tanggal publikasi: 30 April 2020

PERKENALAN
Kepailitan adalah penyitaan dan eksekusi semua kekayaan debitur yang diperuntukkan bagi pembagian kekayaan
untuk membayar utang debitur kepada krediturnya secara berimbang atau pari passu , kecuali ada kreditur yang
mempunyai hak istimewa untuk didahulukan. 1 Kepailitan adalah suatu keadaan dimana debitur tidak dapat
melakukan pembayaran atas utang-piutangnya kepada para krediturnya.
Penyelesaian masalah hutang piutang merupakan tujuan utama nasional dalam rangka memenuhi
perekonomian secara cepat dan efisien, oleh karena itu pengaturan kepailitan sangat penting untuk dilaksanakan
guna menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kewajiban pembayaran hutang dengan segera. 2 Pada
umumnya setiap perusahaan memiliki utang. Bagi sebuah perusahaan, utang bukanlah hal yang buruk selama
perusahaan mampu membayar kembali utang tersebut. Perusahaan semacam ini dapat dikatakan sebagai
perusahaan yang solven karena perusahaan ini mampu membayar kembali semua hutangnya. Sebaliknya, jika
perusahaan yang tidak lagi memiliki kemampuan untuk membayar utang-utangnya disebut insolvent , artinya
tidak mampu membayar.3 Ketidakmampuan membayar sebagian besar disebabkan oleh kesulitan keuangan (
financial distress ) akibat usaha debitur yang mengalami kemunduran.
Kepailitan terhadap subjek hukum baik perseroan ( natuurlijke person, individual insolvency ) maupun
badan hukum atau perseroan ( rechtspersoon, corporate insolvency ) dapat terjadi jika beberapa persyaratan yang
dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang dapat dipenuhi ( UU Kepailitan Indonesia ), misalnya sekurang-kurangnya ada dua
kreditur atau lebih dan tidak melunasi sekurang-kurangnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Persyaratan tersebut tanpa membedakan apakah debitur memang tidak bersedia membayar kepada kreditur karena
sebab-sebab tertentu, misalnya kreditur tidak melaksanakan prestasi yang telah dijanjikan sebelumnya, atau
memang debitur dalam keadaan tidak mampu. tidak mampu membayar hutangnya ( pailit ).4
Memperhatikan syarat-syarat pailit sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan
Indonesia , padahal undang-undang kepailitan dalam hal ini tidak melarang dan mengatur kemungkinan pailitnya
debitur yang masih mempunyai cukup harta untuk membayar utang-utangnya. Hal ini dapat merugikan
perusahaan yang sebenarnya masih dalam keadaan solvabilitas ketika Pengadilan Niaga memutuskan pailit.
Kondisi ini dapat terjadi karena Undang-Undang Kepailitan di Indonesia menerapkan peraturan tersebut.
Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan Indonesia tidak mensyaratkan syarat atau apapun selain kedua hal tersebut,
termasuk tidak mensyaratkan solvabilitas debitur. Artinya, jika hakim hanya menggunakan dua parameter
tersebut, ia tidak dapat dipersalahkan bahkan telah melaksanakan ketentuan undang-undang. Bahkan dalam
ketentuan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan Indonesia mewajibkan hakim mengabulkan permohonan pailit.
Namun demikian, hakim bukan hanya sekedar mulut atau corong Undang-Undang ( bouche de la loi ) oleh
karena itu hakim dalam memutus suatu perkara harus mengedepankan prinsip keadilan proporsional. Hakim
dalam menjalankan tugasnya harus memutus berdasarkan kaidah hukum dan mempertimbangkan perbuatan yang

1Bagus Irawan, Aspek-aspek Hukum Kepailitan, Perusahaan, dan Asuransi , Alumni, Bandung, 2007, hal. 19.
2 Robintan Sulaiman dan Joko Prabowo, Lebih Jauh Tentang Kepailitan , Delta Citra Grafindo, Karawaci, 2000, hlm. 1.
3 Zaeni Asyhdie, Hukum Bisnis “Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia” , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 1.
4 Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 83-84.

2
0
Jurnal Hukum, Kebijakan dan Globalisasi www.iiste.or
ISSN 2224-3240 (Kertas) ISSN 2224-3259 g IIIII
(Online)
Vol.96, 2020 I
IISI
terjadi mengenai hukum yang akan diterapkan. Hakim dituntut untuk menggali di balik ketentuan hukumEdan
asas-asas hukum yang tertulis dalam negara hukum.5

Penerapan hukum kepailitan dalam hal ini Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan Indonesia oleh hakim pengadilan
niaga secara yuridis, secara tekstual dan sinkron, dapat menimbulkan persoalan baru yang lebih kompleks dan
menimbulkan ketidakadilan dalam hal-hal tertentu, seperti dalam perkara kepailitan terhadap debitur solven dalam
kasus kepailitan di atas. Disinilah perlunya pembatasan untuk kasus-kasus tertentu. Oleh karena itu, solvabilitas
perusahaan harus dipertimbangkan oleh hakim yang memutuskan permohonan pailit.

MASALAH PENELITIAN
1. Apa saja bentuk landasan filosofi Solvabilitas yang tidak berlaku dalam UU Kepailitan di Indonesia? 2.
Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi debitur solvabilitas yang beritikad baik?

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang dilakukan untuk mencari solusi atas
permasalahan hukum yang ada. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
hukum ( statute approach ) dan pendekatan konseptual ( conceptual approach ).

DISKUSI
Landasan Filosofis Uji Kepailitan Tidak Diterapkan di Indonesia
Undang-Undang Kepailitan Indonesia cenderung memudahkan kreditor untuk mengajukan permohonan pailit.
Permohonan pailit dengan syarat piutang telah jatuh tempo, dapat ditagih dan mempunyai dua kreditur dapat
menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan status pailit yang diajukan. Selain itu, disertai dengan prinsip
pembuktian sederhana membuat debitur lebih mudah dianggap pailit.
Debitur merasa sulit untuk membela diri dalam UU Kepailitan Indonesia . Apalagi, kondisi keuangan
debitur tidak dilihat sebagai pertimbangan dalam aturan ini. Hal ini sering dipandang sebagai asal muasal
ketidakadilan bagi debitur karena adanya permasalahan antara kreditur dan debitur dalam masalah kepailitan
terkadang bukan karena alasan debitur tidak mampu membayar tetapi debitur tidak mau membayar karena ada
sengketa perdata mengenai pelaksanaan perjanjian antara debitur dan kreditur. Hadi Subhan berpendapat bahwa
Kepailitan adalah suatu keadaan dimana debitur tidak mampu lagi membayar utang-utang krediturnya. Keadaan
tidak mampu membayar biasanya disebabkan oleh kesulitan keuangan ( financial distress ) dari usaha debitur
yang mengalami kemunduran.6 Sutan Remy menyatakan bahwa debitur dapat mengajukan permohonan
pernyataan pailit hanya jika debitur telah berhenti membayar utang-utangnya. Keadaan berhenti membayar harus
situasi objektif, karena kondisi keuangan. Debitur mengalami ketidakmampuan membayar utang. Dengan kata
lain, debitur bukan saja tidak mau membayar utang-utangnya, tetapi tujuan keuangannya memang dalam keadaan
tidak mampu membayar utang-utangnya. Untuk menentukan apakah keuangan debitur sudah tidak mampu
membayar utangnya, kepailitan harus ditentukan secara obyektif dan independen. Hal ini dapat dilakukan
berdasarkan audit keuangan, atau uji tuntas keuangan yang dilakukan oleh akuntan publik independen. 7 Hal
tersebut menunjukkan bahwa hakikat kepailitan adalah keadaan tidak mampu membayar dari debitur daripada
keadaan tidak bersedia membayar debitur, untuk menunjukkan keadaan tidak mampu membayar debitur dapat
dibuktikan dengan prinsip korporasi solvabilitas yang akan dilakukan melalui kebangkrutan perusahaan.
Prinsip solvabilitas dapat diterapkan dalam hukum kepailitan Indonesia karena perekonomian Indonesia
telah mengenal prinsip solvabilitas korporasi. Solvabilitas perusahaan telah menjadi kebiasaan di lingkungan
ekonomi Indonesia. Suatu kebiasaan yang terus dilakukan oleh masyarakat dan diakui keberadaannya tentu akan
menjadi hukum bagi masyarakat, demikian pula solvabilitas korporasi yang terus menerus dilakukan oleh
masyarakat dalam lingkungan ekonomi akan dianggap sebagai common law bagi masyarakat ekonomi. . Secara
filosofis terdapat situasi ketidakadilan terhadap debitur, terutama debitur yang kondisi keuangannya sehat dan
memiliki harta jauh lebih besar dari utangnya. Kondisi keuangan debitur dan calon usaha tidak dapat dijadikan
alasan bagi hakim untuk menolak permohonan pailit. Dalam hukum kepailitan Indonesia, pada umumnya terjadi
hanya untuk memenuhi unsur jumlah kreditur lebih dari satu dan keadaan wanprestasi (tidak membayar) satu
utang yang telah jatuh tempo, maka keadaan tersebut dapat diajukan kepailitan, pemenuhan ini unsur sering tidak
melihat keadaan debitur apakah solven (mampu membayar) atau in-solvency. Karena dasar diterima atau
ditolaknya permohonan pailit di Indonesia didasarkan pada sistem pembuktian sederhana terhadap ketentuan
Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan Indonesia

5 Hatta Isnaini Wahyu Utomo, “Eksistensi Notaris dan Akta Notaris dalam Hukum Acara Perdata di Era Revolusi Industri
4.0", Jurnal Internasional Inovasi , Kreativitas dan Perubahan, Volume 10, Edisi 3, 2019, hal. 130
6 Hadi Subhan, Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan , Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, hal. 1
7Sutan Remy Syahdeini , Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan , Pustaka Utama Grafiti,
Jakarta, 2009, hal. 52.

2
1
Jurnal Hukum, Kebijakan dan Globalisasi www.iiste.or
ISSN 2224-3240 (Kertas) ISSN 2224-3259 g IIIII
(Online)
Vol.96, 2020 I
IISI
yang menyatakan “Permohonan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang secara sederhana
E
dapat dibuktikan bahwa syarat pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi”. Selanjutnya
dalam Pasal 8 ayat (5) disebutkan, “Putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling
lambat 60 hari setelah tanggal pendaftaran permohonan pernyataan pailit”. Ketentuan Pasal 8 ayat (4) mengenai
pembuktian sederhana yang hanya bersandar pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) mengenai syarat benar tidaknya
debitur pailit memuat aturan yang sangat longgar untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit karena tidak
ada pengujian apakah debitur benar-benar dalam keadaan tidak mampu (insolvency test). Ini adalah kelalaian
pembuat undang-undang. Ketentuan UU Kepailitan Indonesia tidak memberikan penjelasan secara rinci tentang
tata cara penerapan pembuktian sederhana tersebut dilakukan dalam pemeriksaan permohonan pailit. Tidak
adanya definisi dan batasan yang jelas dalam penggunaan alat bukti sederhana sehingga membuka perbedaan
yang semakin lebar di antara para hakim dalam menafsirkan pengertian pembuktian sederhana dalam
menyelesaikan permohonan pailit.8
Ricardo Simanjuntak menyatakan bahwa Undang-undang Kepailitan Indonesia tidak menganut sistem Uji
Kepailitan, karena untuk dikategorikan dalam keadaan bangkrut, perusahaan yang bangkrut harus terus menerus
merugi dan modalnya akan tergerus hingga melebihi 50% (persen). , menurut kondisi ini, Indonesia hanya
menganut asumsi tidak mampu membayar, asumsi ini dibangun dengan tuntutan hukum yang tercermin dalam
Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan Indonesia .9
Jerry Hoff menjelaskan bahwa standar kepailitan yang dirumuskan oleh UU No. 4 tahun 1998, yang kini
diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, yang merupakan penyempurnaan dari UU Kepailitan yang
lama yaitu Faillisement Verordening , yang menggunakan standar kepailitan untuk pernyataan pailit. Ia juga
berpendapat Pasal 1 ayat (1) UU No 4 Tahun 1998 merupakan standar tidak mampu membayar utang. Standar ini
lebih mudah dibandingkan dengan standar yang digunakan dalam undang-undang lama.10
Peraturan tentang Failisemen tidak memberikan definisi yang jelas tentang failisemen dan hanya
memberikan syarat untuk mengajukan permintaan failisemen yaitu seseorang telah berhenti membayar. Berhenti
membayar adalah apabila debitur tidak mampu membayar atau tidak mau membayar, dan benar-benar berhenti
membayar, tetapi jika pada saat permohonan pailit diajukan dalam keadaan tidak mampu membayar utangnya
(Bandung Putusan Pengadilan Tinggi No.171/1973/ Perd.PTB.31 Juli 1973).11
Menurut Ricardo Simanjuntak, tidak membayar utang dapat dianggap sebagai dianggap tidak mampu
membayar yang mengakibatkan pengadilan menyatakan status pailit kepada debitur. Namun, jika debitur masih
mampu, berdasarkan Pasal 144 UU Kepailitan Indonesia , debitur dapat mengajukan usul perdamaian, jika
perdamaian disetujui oleh para kreditur, maka debitur tidak akan pailit. Ketentuan ini sama dengan Undang-
Undang Kepailitan Belanda ( Belanda Insolvency Act ). Ketentuan ini sama dengan ketentuan undang-undang
kepailitan Singapura dimana ketidakmampuan debitur untuk membayar utang tidak harus dibuktikan tetapi dapat
dianggap tidak mampu membayar . Artinya, Pengadilan Tinggi Singapura dapat menjatuhkan pailit atas dasar
debitur memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, meskipun telah ditegur ( statuary demand )
untuk melunasi utangnya, namun debitur tidak membayarnya. mati. Dengan fakta ini dianggap tidak mampu
membayar. Tuntutan hukum digunakan sebagai standar untuk menentukan kebangkrutan di Singapura.12
Tidak diaturnya pengujian kepailitan untuk menentukan kepailitan di Indonesia terkait dengan prinsip actori
incumbit probitio yang dianut dalam hukum Indonesia. Asas ini diimplementasikan dalam Pasal 163 HIR yang
menyatakan barang siapa mendalilkan hak harus membuktikan adanya hak tersebut. Sesuai dengan peraturan
tersebut, Ricardo Simanjuntak menyatakan bahwa hukum acara perdata di Indonesia menganut asas actori
incumbit probitio sehingga apabila dilakukan uji kepailitan, pemohon pailit harus dapat membuktikan bahwa
kepailitan pailit berada dalam keadaan pailit. Kondisi di atas akan semakin rumit jika pemohon tidak dapat
mengakses laporan keuangan termohon.
Menurut Susanti Adi Nugroho, syarat seseorang untuk mengajukan status pailit sangat mudah bagi kreditur.
Selain itu, bukti dalam memutuskan permohonan pailit adalah pembuktian sederhana. Persyaratan kepailitan
dalam UU Kepailitan Indonesia sengaja dibuat untuk memudahkan penerapannya sehingga diharapkan lembaga
ini lebih efektif dalam menagih utang dan Indonesia dapat keluar dari krisis ekonomi secepatnya. 13
Mengenai alasan tidak adanya uji kepailitan dalam hukum kepailitan di Indonesia, Hadi Subhan juga
mengemukakan pendapatnya bahwa uji kepailitan , seperti pemeriksaan pendahuluan di Pengadilan Tata Usaha
Negara, sebenarnya tidak diperlukan dalam hukum kepailitan di Indonesia. Ada dua alasan yang mendasari

8 Aria Suyudi, Eryanto and Herni Dri Nurbayanti, Kepailitan di Negeri Pailit , Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2004,
hal. 148.
9 Ricardo Simanjuntak at Maruli Simalango, “Asas Kelangsungan Usaha ( Going Concern ) Dalam Hukum Kepailitan Indonesia”, Jurnal,
diunduh dari https://media.neliti.com/media/publications/164468-ID-inkonsistensi-persyaratan-permohonan-pai . pdf, hal. 55
10 Jerry Hoff, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia , Tatanusa, Jakarta , 2000, hal.1.
11 E. Suherman, Failissement (Kefailitan), Binacipta, cet. Pertama, Bandung, 1988, hlm. 5
12 Ricardo Simanjuntak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis , Penerbitan Kontan, Jakarta, 2011, hal. 297
13Susanti Adi Nugroho, Hukum Kepailitan Di Indonesia Dalam Teori Dan Praktek Serta Penerapan Hukumnya , Kencana Prenada Media,
Jakarta, 2018, hal. 48

2
2
Jurnal Hukum, Kebijakan dan Globalisasi www.iiste.or
ISSN 2224-3240 (Kertas) ISSN 2224-3259 g IIIII
(Online)
Vol.96, 2020 I
IISI
pandangannya. Pertama, struktur hukum sangat sulit menagih utang jika dengan menggunakan gugatan E
wanprestasi . Waktunya bisa sangat lama dan keputusan yang mengikat secara hukum masih sulit untuk
dieksekusi. Kedua, secara kultural Indonesia sangat mudah berhutang budi kepada pihak lain. “Untuk
keseimbangan budaya di Indonesia dimana hutang itu permisif, hukumnya harus represif. Itu sebabnya di
Indonesia tidak menggunakan uji kebangkrutan” .14
Tidak diaturnya uji kepailitan dalam hukum kepailitan di Indonesia sangat erat kaitannya dengan sistem
pembuktian dalam hukum kepailitan Indonesia yang menerapkan asas pembuktian sederhana . Bukti secara
sederhana biasa disebut sebagai bukti ringkasan.15 Pembuktian sederhana merupakan syarat mutlak yang
membatasi kewenangan pengadilan niaga dalam upaya membuktikan apakah seorang debitur yang dimohonkan
pailit terbukti mempunyai sekurang-kurangnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dan debitur
tidak dapat melunasi utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. jatuh tempo dan tertagih. 16 Soal
pembuktian sederhana, Sudargo Gautama menegaskan, bila mengindahkan ketentuan pembuktian sederhana, surat
pernyataan pailit sangat mudah diperoleh. Bahkan permohonan pailit harus dikabulkan dan tidak dapat ditolak,
jika ketentuan itu dilihat secara harfiah ( letterlijk ).17
Adanya prinsip pembuktian sederhana dalam hukum kepailitan di Indonesia menjadi alasan tidak
dilaksanakannya uji kepailitan di Indonesia. Ketentuan untuk membuktikan terlebih dahulu bahwa seorang debitur
benar-benar pailit atau biasa disebut uji kepailitan akan mengakibatkan pemohon pailit dibebani kewajiban untuk
membuktikan bahwa usaha termohon bangkrut, modalnya di bawah 50 persen, dan terus tergerus. oleh utang.
Masalah ini akan dibuktikan dalam pemeriksaan awal, semacam proses pemberhentian di Pengadilan Tata Usaha
Negara. Adanya uji kepailitan membuat pembuktian menjadi tidak sederhana lagi karena masih harus dilakukan
dalam beberapa tahap.

Perlindungan Hukum Debitur Solvent yang Memegang Niat Baik


Dalam kasus kepailitan, sering dijumpai debitur yang tidak beritikad baik. Ada beberapa penipuan yang biasa
dilakukan debitur. Pertama , debitur yang beritikad buruk untuk membuat suatu utang kemudian mengalihkan
hartanya atau bahkan menyembunyikan hartanya, debitur berharap untuk menghindari pembayaran utangnya.
Kedua , debitur bersekongkol dengan pihak lain untuk membuat utang fiktif. Ketiga , menyalahgunakan
pernyataan pailit sebagai kamuflase untuk menutupi niat buruk dengan mentransfer modal dan kekayaan ke
perusahaan yang baru dibentuk.18
Niat baik dalam perkara kepailitan ini tidak hanya berupa “niat” atau “keinginan” tetapi niat dan keinginan
tersebut diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata berupa hal-hal yang berujung pada pembayaran utang debitur
kepada kreditur. Menurut Ridwan Khairandy itikad baik ada yang subjektif dan ada yang objektif. 19 . Dalam pasal
1338 KUH Perdata disebutkan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Jadi itikad baik
dapat dilihat dari dua aspek yaitu; aspek subjektif dimana itikad baik masih merupakan “niat” atau “ kemauan ”
atau dan aspek objektif, dimana itikad baik merupakan “perbuatan” atau “perbuatan” yang dapat menimbulkan
hubungan hukum.
Hal yang perlu diperhatikan dalam perkara kepailitan adalah niat buruk yang tidak hanya datang dari debitur
tetapi juga dari kreditur. Proses pailit dimanfaatkan oleh kreditur yang beritikad buruk untuk mengancam debitur
yang tidak mau membayar utangnya, bukan karena tidak mampu ( tidak mampu ) membayar utang, bahkan nilai
tagihannya tidak sebanding dengan nilai harta yang dimiliki. responden, karena dalam Undang-Undang Kepailitan
di Indonesia tidak ada syarat utang minimum yang menjadi dasar pengajuan permohonan pailit.
Salah satu tujuan hukum kepailitan sebagaimana tersebut di atas adalah untuk melindungi debitur yang jujur
dan beritikad baik dari para krediturnya. Debitur yang dianggap masih memiliki prospek dan itikad baik untuk
melanjutkan usahanya dapat memperoleh bantuan keuangan baru sehingga dapat melanjutkan perusahaan
kembali. Hal ini karena ketidakmampuan debitur untuk membayar utang tidak selalu karena kesalahan debitur
sendiri dan jika debitur diberi kesempatan untuk dapat kembali berusaha dan dapat melunasi utangnya.
Debitur yang beritikad baik dalam pailit adalah debitur yang tidak menyalahgunakan keadaan pailit sebagai
sarana untuk menguntungkan diri sendiri, mau terbuka secara jujur tentang keberadaan segala harta kekayaannya
dan utang-utang lain serta bersikap kooperatif dalam berusaha melunasi utang-utangnya. Oleh karena itu,
meskipun tergolong hukum kepailitan modern, pelaku penipuan kepailitan yang dengan sengaja memanfaatkan
kepailitan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain tetap dianggap sebagai kejahatan terhadap harta

14 https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59f1abb87e6fe/gagasan-insolvency-test-tidak-relevan-untuk-revisi-uu-kepailitan/
15Victorius MH Randa Puang, “Penerapan Asas Pembuktian Sederhana Dalam Penjatuhan Putusan Pailit”, Tesis, Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006, hlm. 3.
16 Emmy Yuhassarie, ed., “Undang-Undang Kepailitandan Perkembangannya”, Proceeding, Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-
Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya , Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 2005, hal. 52.
17Sudargo Gautama, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia (1998), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 31
18 Victor Situmorang & Hendri Soekarso , Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia, Rineke Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 13.
19 Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak , Pasca Sarjana FH-UI, Jakarta, 2003, hal. 8

2
3
Jurnal Hukum, Kebijakan dan Globalisasi www.iiste.or
ISSN 2224-3240 (Kertas) ISSN 2224-3259 g IIIII
(Online)
Vol.96, 2020 I
IISI
benda dan dipidana.20 E
Menurut Mulyani Zulaeha, itikad baik debitur dalam kepailitan dapat berupa kejujuran, kepatutan dan
tindakan kooperatif debitur dalam pelaksanaan perjanjian, perbuatan debitur yang tidak merugikan kreditur.
Bentuk itikad baik dalam proses kepailitan juga dapat ditunjukkan dengan sikap keterbukaan debitur untuk
menunjukkan kekayaan perusahaan dan kemampuan untuk menghasilkan usahanya. Penerapan asas itikad baik
dalam kepailitan dimaksudkan agar satu pihak dan pihak lainnya tidak saling menipu. Misalnya, debitur tidak
melakukan pemalsuan pembukuan, debitur tidak melarikan diri sehingga tidak diketahui lagi keberadaannya,
debitur tidak melakukan tindakan pengalihan harta kekayaan kepada pihak lain atau debitur tidak
menyembunyikan fakta mengenai dirinya. laporan keuangan.21
Debitur yang berada di ambang kepailitan harus mengungkapkan informasi kepada kreditur berbagai fakta
dan informasi. Debitur wajib mengungkapkan secara penuh kondisi keuangannya kepada seluruh kreditur secara
berkala. Sedangkan jika debitur dalam keadaan yang dapat ditolong, maka debitur dimungkinkan untuk dapat
keluar secara terhormat dari masalah utangnya.22
Selama ini Undang-Undang Kepailitan yang berlaku tidak memberikan suatu bentuk perlindungan hukum
yang bersifat preventif bagi debitur solvabilitas dengan itikad baik sebelum putusan pailit dijatuhkan.
Perlindungan hukum preventif23 yang diberikan oleh UU Kepailitan Indonesia baru diberikan setelah putusan
pailit melalui jalan damai. Atas kondisi tersebut asas itikad baik dan asas solvabilitas dapat menjadi dasar bagi
debitur yang sebenarnya masih solvabilitas untuk memperoleh perlindungan.
Sifat dari penerapan asas solvabilitas adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi debitur yang
solvabilitas terhadap kreditur nakal yang bermaksud menyalahgunakan instrumen hukum kepailitan untuk
kepentingan sendiri atau untuk kepentingan orang lain, misalnya kreditur yang dengan sengaja mempailitkan
debitur dengan niat mendapatkan harta debitur dengan harga murah melalui lelang dan lain-lain. Penggunaan
instrumen kepailitan untuk tujuan yang menyimpang dari sifat tujuan kepailitan oleh pihak yang beritikad buruk
harus dicegah dengan penataan dan penyempurnaan aturan kepailitan itu sendiri.
Asas solvabilitas harus dijadikan dasar bagi hakim dalam memutuskan untuk mengajukan permohonan
pailit. Sebelum memutus suatu perkara, Majelis Hakim terlebih dahulu harus menilai usaha debitur apakah layak
dipailitkan atau masih dapat diperbaiki. Hal ini serasi dengan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang
menempatkan harta debitur pailit sebagai jaminan umum bagi kreditur, sehingga secara filosofis menjadi tidak
relevan jika debitur yang sebenarnya masih solvabilitas tetapi kemudian pailit. Hal ini berkaitan erat dengan
keadaan bahwa dalam kepailitan apabila jumlah harta debitur lebih besar dari hutangnya, maka tidak akan terjadi
perebutan harta debitur oleh kreditur karena dengan harta yang lebih besar akan menjamin semua kreditur
mendapat pelunasan.
Perubahan pola pikir dan analisa dari para hakim Niaga dalam hal ini mutlak diperlukan guna memberikan
perlindungan hukum bagi debitur solvabilitas yang beritikad baik. Perlindungan hukum tersebut dapat dilakukan
dengan cara agar hakim niaga tidak terlalu kaku dalam menerapkan syarat-syarat kepailitan yang diatur dalam
Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan Indonesia , namun dalam memutus perkara kepailitan hakim niaga juga harus
mendalami nilai-nilainya. keadilan, keadilan dan kepatutan yang ada dalam masyarakat.
Adanya Pasal 8 ayat (6) UU Kepailitan Indonesia seharusnya memberikan celah bagi Hakim Pengadilan
Niaga untuk melakukan terobosan hukum, yaitu dengan menerapkan ketentuan hukum tidak tertulis namun
dianggap mampu memberikan keadilan bagi kedua belah pihak yang berkonflik. Tegasnya Pasal 8 ayat (6) huruf a
UU Kepailitan Indonesia menyatakan: “Putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus memuat
pula: ... a. Pasal-pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau sumber hukum
tidak tertulis yang digunakan sebagai dasar pemeriksaan;”
Jika ketentuan ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, yang menyatakan
bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami, nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat, maka menurut undang-undang hakim diberi tugas sebagai hakim pembuat
undang-undang24 maka sebenarnya penerapan asas solvabilitas sederhana dalam perkara dan lain-lain dalam
koridor permohonan pailit tetap dapat dilakukan dengan menggunakan ketentuan Pasal 8 ayat (6) tanpa perlu
mengubah ketentuan pasal-pasal dalam bahasa Indonesia . Hukum Kepailitan .
Konstruksi di atas merupakan saran untuk memberikan perlindungan hukum yang represif bagi debitur.
Dalam pembuktiannya itikad baik debitur harus dibuktikan oleh Hakim selama ada penolakan dari debitur atas

20 Elyta Ras Ginting, Hukum Kepailitan : Teori Kepailitan , Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hal. 29
21Program Studi Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, 2016, hal. 63
22 Zulkarnain Sitompul, Pola Penyelesaian Utang Tantangan Bagi Pembaruan UU Kepailitan , Paper, dipresentasikan pada Lokakarya
Mengenai Rancangan Perubahan UU Kepailitan , Medan, Desember 2001 Kerjasama antara FH-UI, Pascasarjana USU dan University of
South Carolina.
23 Hatta Isnaini Wahyu Utomo, “Kedudukan Majelis Kehormatan Notaris dalam Pembinaan Notaris Indonesia”, Jurnal Hukum, Kebijakan
dan Globalisasi , Vol. 92 (2019), DOI: 10.7176/JLPG/92-12, hal. 117
24Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif. Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif , Genta
Publishing, Jakarta, 2012, hal. 39

2
4
Jurnal Hukum, Kebijakan dan Globalisasi www.iiste.or
ISSN 2224-3240 (Kertas) ISSN 2224-3259 g IIIII
(Online)
Vol.96, 2020 I
IISI
permohonan pailit yang diajukan oleh kreditur karena masih solvabilitas, sehingga selain debitur harus
E
membuktikan solvabilitasnya, Hakim juga harus membuktikan itikad baik debitur yang diukur dengan
perbandingan utangnya dengan harta kekayaannya.

KESIMPULAN
Landasan filosofis tidak dilaksanakannya uji kepailitan dalam hukum kepailitan di Indonesia adalah, pertama,
pembuktian dalam perkara perdata di Indonesia ditanggung oleh mereka yang mendalilkan adanya suatu hak.
Dalam hal ini tidak mudah untuk membuktikan bahwa debitur dalam keadaan mandiri apabila debitur bukan
merupakan perusahaan publik. Kedua, cukup mudahnya berutang di Indonesia sehingga jika uji kepailitan
diterapkan di Indonesia berpotensi merugikan banyak kreditur karena pembuktiannya tidak lagi bisa dilakukan
secara sederhana.
Undang-Undang Kepailitan yang berlaku di Indonesia tidak memberikan suatu bentuk perlindungan hukum
yang bersifat preventif bagi debitur solvabilitas dengan itikad baik sebelum putusan pailit dijatuhkan.
Perlindungan hukum bagi debitur solvabilitas yang beritikad baik dapat diperoleh secara represif dengan
membuktikan di depan persidangan bahwa debitur masih dalam keadaan solvabilitas. Dalam pembuktiannya
itikad baik debitur harus dibuktikan oleh Hakim sepanjang ada penolakan dari debitur atas permohonan pailit
yang diajukan oleh kreditur dengan alasan masih solvabilitas, maka selain itu debitur harus membuktikan
perbuatannya. solvabilitas, Hakim juga harus membuktikan itikad baik debitur, diukur dari perbandingan antara
utangnya dengan hartanya.

BIBLIOGRAFI
Asydie, Zaeni. Hukum Bisnis “Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia” , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
Atmasasmita, Romli. Teori Hukum Integratif. Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori
Hukum Progresif , Genta Publishing, Jakarta, 2012
Gautama, Sudargo. Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia (1998), Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1998
Ginting, Elita Ras. Hukum Kepailitan : Teori Kepailitan , Sinar Grafika, Jakarta, 2018
Hoff, Jerry. Undang-Undang Kepailitan di Indonesia , Tatanusa, Jakarta, 2000
Irawan, Bagus. Aspek-aspek Hukum Kepailitan, Perusahaan, dan Asuransi , Alumni, Bandung, 2007
Khairandy, Ridwan. Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak , Pasca Sarjana FH-UI, Jakarta, 2003
Nugroho, Susanti Adi. Hukum Kepailitan Di Indonesia Dalam Teori Dan Praktek Serta Penerapan Hukumnya ,
Kencana Prenada Media, Jakarta, 2018
Puang, Victorius MH Randa.“Penerapan Asas Pembuktian Sederhana Dalam Penjatuhan Putusan Pailit”, Tesis,
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006
Simalango, Maruli. “Asas Kelangsungan Usaha ( Going Concern ) Dalam Hukum Kepailitan Indonesia”, Jurnal,
diunduh dari https://media.neliti.com/media/publications/164468-ID-inkonsistensi-persyaratan- bantuan-
pai.pdf
Simanjuntak, Ricardo. Teknik Perancangan Kontrak Bisnis , Kontan Publishing, Jakarta, 2011
Sitompul, Zulkarnain. Pola Penyelesaian Utang Tantangan Bagi Pembaruan UU Kepailitan , Paper,
dipresentasikan pada Lokakarya Mengenai Rancangan Perubahan UU Kepailitan , Medan, Desember 2001
Kerjasama antara FH-UI, Pascasarjana USU dan University of South Carolina.
Situmorang, Viktor dan & Soekarso, Hendri. Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia, Rineke Cipta, Jakarta,
1994
Subhan, Hadi. Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan , Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2012, hal. 1
Suherman, E. Failissement (Kefailitan), Binacipta, cet. Pertama, Bandung, 1988
Sulaiman, Robintan dan Prabowo, Joko. Lebih Jauh Tentang Kepailitan , Delta Citra Grafindo, Karawaci, 2000
Suyudi, Aria. Eryanto dan Nurbayanti, Herni Dri. Kepailitan di Negeri Pailit , Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia, Jakarta, 2004
Syahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta,
Utomo, Hatta Isnaini Wahyu. “Kedudukan Majelis Kehormatan Notaris dalam Pembinaan Notaris Indonesia”,
Jurnal Hukum, Kebijakan dan Globalisasi , Vol. 92 (2019), DOI: 10.7176/JLPG/92-12
Utomo, Hatta Isnaini Wahyu., “Eksistensi Notaris dan Akta Notaris dalam Hukum Acara Perdata di Era Revolusi
Industri 4.0”, Jurnal Internasional Inovasi , Kreativitas dan Perubahan, Volume 10, Edisi 3, 2019
Wijaya, Gunawan. Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003
Yuhassarie, Emmy. “Undang-Undang Kepailitandan Perkembangannya”, Proceeding, Rangkaian Lokakarya
Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya , Pusat Pengkajian Hukum,
Jakarta, 2005

2
5
Jurnal Hukum, Kebijakan dan Globalisasi www.iiste.or
ISSN 2224-3240 (Kertas) ISSN 2224-3259 g IIIII
(Online)
Vol.96, 2020 I
IISI
Zulaeha, Mulyani. “Konsep Kepailitan Yang Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Debitor Perusahaan E
Yang Prospektif”, Disertasi, Program Studi Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya,
Malang, 2016
7
Mulyani Zulaeha, “Konsep Kepailitan Yang Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Debitor Perusahaan Yang Prospektif”, Disertasi,

2
6

Anda mungkin juga menyukai