Anda di halaman 1dari 18

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP ACTIO PAULIANA DALAM

MELINDUNGI BOEDEL PAILIT (STUDI KASUS PT METRO BATAVIA)

Randy Suwenli, Parulian Aritonang


Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424

E-mail: randysuwenli@gmail.com

Abstrak

Skripsi ini membahas mengenai analisis yuridis pertimbangan hakim dalam putusan perkara 01/
Pdt.Sus.Actiopauliana/ 2014/ PN.Niaga.Jkt.Pst dan 02/ Pdt.Sus. Actiopauliana/ 2014/
PN.Niaga.Jkt.Pst berdasarkan UUK-PKPU.dan perbandingan antara pengaturan Actio pauliana
di Indonesia dengan Belanda dan Amerika Serikat. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian yuridis normatif yang bersifat eksplanatoris. Actio pauliana menurut undang-undang
adalah hak yang diberikan kepada seorang kreditor melalui kurator untuk mengajukan
permohonan kepada pengadilan untuk pembatalan segala perbuatan yang tidak diwajibkan untuk
dilakukan oleh debitor terhadap harta kekayaan yang diketahui oleh debitor perbuatan tersebut
akan merugikan kreditor. Berdasarkan analisis pada putusan perkara putusan perkara nomor 01,
majelis hakim sudah tepat dalam menerapkan hukum dan unsur-unsur actio pauliana, hanya saja
dalam pembuktian unsur kerugian seharusnya perbuatan debitur merugikan karena hanya
menguntungkan kreditur tertentu saja, Kemudian pada analisis putusan perkara nomor 02, masih
permasalahan dalam penerapan hukumnya, terutama karena hakim terlalu berpatokan pada “titel
recht” milik tergugat, dan tidak melihat pada barang bukti lainnya yang menunjukkan adanya
indikasi bahwa debitur bertujuan merugikan kreditur lainnya. Pengaturan Actio pauliana di
Indonesia secara materil sama dengan di Belanda, hanya berbeda secara formil. Tetapi Indonesia
bisa banyak belajar dari Pengaturan Actio pauliana di Amerika Serikat yang lebih membantu
kurator dan pengadilan dalam menangani pembatalan perbuatan debitur pailit yang merugikan
kreditur.

JURICIAL STUDIES OF ACTIO PAULIANA AS A PROTECTION


TOWARDS BANKRUPTCY ESTATE (CASE STUDY PT METRO BATAVIA)

Abstract

This thesis discusses the analysis of judicial consideration from the judge in the Court Judgement
01/ Pdt.Sus.Actiopauliana/ 2014/ PN.Niaga.Jkt.Pst and 02/ Pdt.Sus .Actiopauliana/ 2014/
PN.Niaga.Jkt.Pst under the UUK-PKPU.dan comparison between the regulation of Actio
pauliana in Indonesia and the regulation of Actio pauliana in the Netherlands and the United
States. This research is a normative juridical research. The type of the research is explanatory.
Actio pauliana is a statutory rights that are granted to a creditor through a curator to apply to the
court for avoidance of all the action that are voluntarily done by the debtor towards the assets of
the debtor that by such actions the debtors realize the debtors would harm the rights of the
creditors. Based on the analysis of court judgement number 01, the judge has applied the law and

Universitas Indonesia
Tinjauan Yuridis..., Randy Suwenli, FH UI, 2014
the elements of actio pauliana properly, but when proving the element of loss , the debtor action
should be proven to have harm the creditors because his action gave benefit just to certain
creditors, so that other creditors harmed . Then in the analysis from court judgement number 02,
there are still many problems in implementing the law, especially since the judge is too focused
on the "title recht", and did not look at other evidence that indicates the debtor has real intents to
harm the creditors right. The regulation of Actio pauliana in Indonesia is materially the same as
in the Netherlands, differ only formally. But Indonesia can learn a lot from the regulation of
Actio pauliana in the United States because it is more pratical for curator and judges in handling
the avoidance of debtor action which intent to harm the creditors.

Key Words : Bankruptcy , Actio Pauliana, Curator

Pendahuluan

Penggunaan actio pauliana dalam perkara kepailitan merupakan sebuah lembaga yang sangat
penting bagi kurator. Hal ini dikarenakan banyaknya debitor nakal yang mencoba untuk
mengalihkan asetnya agar ia tetap mendapat keuntungan atau minimal mengurangi kerugian
yang akan diperolehnya. Selain itu perlunya actio pauliana juga untuk menghindarkan
pertentangan apabila muncul kreditor yang ingin mendapatkan hak tertentu, yang memaksa
untuk menual sendiri barang milik debitor atau menguasai sendiri barang itu tanpa
mempedulikan hak kreditor lainnya.1 Actio pauliana menurut Sutan Remi adalah,

hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditor


mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk pembatalan segala
perbuatan yang tidak diwajibkan untuk dilakukan oleh debitor terhadap harta
kekayaannya yang diketahui oleh debitor perbuatan tersebut merugikan
kreditor. 2
Hak ini diberikan sebagai bentuk perlindungan kepada kreditor atas perbuatan debitor yang dapat
merugikan kreditor. Pada umumnya seorang dapat membuat perjanjian apa saja menurut
kehendak hatinya, namun undang-undang menghendaki bahwa setiap orang berhutang
menggunakan perjanjian tersebut sehingga hartanya berkurang hingga sedemikian rupa, dan
menyebabkan kreditur lainnya kesulitan untuk mendapatkan pelunasan hutang yang adil.3

                                                                                                                       
1
Andriani Nurdin, “ Masalah Seputar Actio pauliana “, Dalam : Emmy Yuhassarie., Kepailitan dan
Transfer Aset Secara Melawan Hukum, (Jakarta : Pusat Pengkajian Hukum,2004), hlm 263.
2
Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan, Cet.4, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2009), hlm 250.
3
Andriani Nurdin, Op.Cit., hlm 264.

Universitas Indonesia
Tinjauan Yuridis..., Randy Suwenli, FH UI, 2014
Actio pauliana diatur dalam Pasal 1341 KUH Perdata , Pasal 1061 KUH Perdata yang mengatur
actio pauliana dalam kewarisan, dan Pasal 41 s.d. Pasal 50 UUK-PKPU. Dalam UUK-PKPU
diatur bahwa untuk kepentingan harta pailit, kepada pengadilan dapat dimintakan pembatalan
segala perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan
kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.4 Selanjutnya untuk
pembatalan perbuatan debitor yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan
diatur dalam pasal 41 sampai dengan pasal 49. Lebih lanjut dalam UUK-PKPU mengatur pula
mengenai Actio pauliana sesudah pernyataan pailit diucapkan. Pasal 50 UUK-PKPU mengatur
bahwa setiap orang yang melakukan pembayaran piutang debitor pailit yang dilakukan sesudah
putusan pernyataan pailit diucapkan dibebaskan dari harta pailit sejauh tidak dibuktikan bahwa
yang bersangkutan mengetahui adanya putusan pernyataan pailit tersebut.

Kurator adalah satu-satunya pihak yang diberikan kemampuan oleh Undang-undang


untuk dapat membatalkan perbuatan hukum yang dilaksanakan oleh debitor pailit dengan
menggugat secara actio pauliana . Kemampuan ini didapat dari kedudukan kurator sebagai pihak
yang bertugas untuk melindungi dan mengurus harta pailit untuk kepentingan seluruh pihak yang
berkepentingan dengan harta pailit.

Pada kesempatan kali ini penulis juga akan melakukan perbandingan pengaturan antara
actio pauliana di Indonesia dengan pengaturan actio pauliana di Negara lain. Negara yang akan
digunakan dalam perbandingan adalah Belanda yang mewakili negara dengan sistem hukum
Civil Law dan Amerika Serikat yang mewakili negara dengan sistem hukum Common Law .
Perbandingan ini bertujuan untuk semakin memperluas wawasan akan bagaimana negara lain
mengatur dan melihat peran dari actio pauliana terhadap perkara kepailitan.

Sejalan dengan hal itu pada Maret 2014 terdapat sengketa antara tim Kurator yang telah
ditunjuk pasca kepailitan PT Metro Batavia dengan Presiden Direktur Batavia, Yudiawan
Tansari. Kurator dalam kesempatan ini mengajukan dua gugatan yakni gugatan
01/Pdt.Sus.Actiopauliana/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst dan 02/Pdt.Sus.Actio pauliana
/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             
4
Indonesia (a) , Undang-Undang Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UU
No. 37 Tahun 2004. LN. No. 131, TLN.No. 4443.Pasal 41.

Universitas Indonesia
Tinjauan Yuridis..., Randy Suwenli, FH UI, 2014
Gugatan No 01 ditujukan pada bangunan gudang penyimpanan logistik yang dikenal
Gudang Bandara Mas terhadap Yudiawan Tansari yang merupakan direktur dari PT. Metro
Batavia d dinyatakan pailit pada tanggal 30 Januari 2013. Yudiawan Tansari. Pada gugatannya
kurator juga menggugat Riana Tansari yang merupakan saudara kandung dari Yudiawan dan
Ignatius Vendy. Dalil dari kurator sendiri adalah Yudiawan Tansari telah merencanakan itikad
tidak baik dengan cara mengalihkan Gudang Bandara Mas kepada Riana Tansari yang
merupakan saudara kandungnya. Kemudian Riana kemudian mengalihkan lagi Gudang Bandara
Mas kepada Ignatius Vendy yang merupakan orang kepercayaan dari Yudiawan Tansari
berdasarkan Surat Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 1 November 2013. Gudang Mas ini
menurut penggugat dengan mendapat izin hakim pengawas adalah termasuk dalam boedel pailit.
Dalam pembelaannya Yudiawan Tansari mendalilkan bahwa penjualan ini dilakukan dengan
tujuan untuk melunasi hutang PT Metro Batavia kepada PT Bank Bukopin berdasarkan
Perjanjian Fasilitas Kredit sebesar 5 juta dolar Amerika.

Sedangkan pada gugatan nomor 02 Yudiawan Tansari telah mengalihkan gedung dan
tanah yang merupakan kantor pusat PT Metro Batavia kepada Rio Sulistyo yang merupakan
keponakan kandungnya yang menjabat direksi pada PT Putra Bandara Mas. Rio Sulistyo
kemudian mengalihkan objek sengketa kepada kepada Harun Sebastian. Kemudian 2 hari setelah
pengikatan PPJB oleh Rio Sulistyo dan Harun Sebastian, PT Metro Batavia dinyatakan pailit.
Kemudian Harun Sebastian melalui notarisnya menghentikan proses jual beli. Notaris tersebut
kemudian menanyakan kepada kurator apakah objek sengketa merupakan harta pailit. Kemudian
setelah kurator berdiskusi dengan hakim pengawas maka tindakan pengalihan ini oleh
merugikan boedel pailit.

Dalil Yudiawan Tansari adalah bahwa penjualan ini dilakukan untuk pembayaran hutang
pada PT Bank Bukopin dan Muamalat. Selaini itu ia juga mendalilkan bahwa objek sengketa
merupakan hak miliknya berdasarkan sertifikat tanah sebagai alat bukti kepemilikan yang sah
dan tidak pernah mengalihkan objek sengketa tersebut kepada PT Metro Batavia.

Pihak dari Yudiawan sendiri mendalilkan bahwa seluruh objek sengketa yang digugat
secara actio pauliana tersebut merupakan aset pribadi dan bukan aset dari perusahaan.

Universitas Indonesia
Tinjauan Yuridis..., Randy Suwenli, FH UI, 2014
Dari kedua gugatan actio pauliana yang diajukan dalam rentang waktu yang singkat
tersebut, menarik untuk menganalisis permasalahan hukum yang ada dalam keputusan majelis
hakim dalam kedua gugatan actio pauliana tersebut.

Tinjauan Teoritis

Dalam tulisan ini, penulis memberikan pengertian terhadap istilah-istilah yang digunakan
sebagai berikut:

a. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan
dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan hakim pengawas
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.5
b. Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh
pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan
hakim pengawas sesuai dengan UUK-
PKPU.6
c. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-
Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.7
d. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-Undang
yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.8
e. Debitor Pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan.9
f. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik
dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang
akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-

                                                                                                                       
5
Indonesia (a) , Undang-Undang Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang,.Pasal 1 angka 1
6
Ibid., Pasal 1 angka 5
.
7
Ibid., Pasal 1 angka 2.
8
Ibid., Pasal 1 angka 3.
9
Ibid., Pasal 1 angka 4.

Universitas Indonesia
Tinjauan Yuridis..., Randy Suwenli, FH UI, 2014
Undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak
kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.10
g. Actio pauliana adalah hak yang diberikan oleh Undang-Undang kepada seorang kreditor
mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk pembatalan segala perbuatan yang
tidak diwajibkan untuk dilakukan oleh debitor terhadap harta kekayaannya yang diketahui
oleh debitor perbuatan tersebut merugikan kreditor.11
h. UUK-PKPU adalah UU Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan bentuk penelitian yuridis-normatif. Penelitian ini akan menelaah
norma hukum tertulis terutama yang berhubungan dengan kepailitan, dan actio pauliana . Tipe
analisis penelitian ini adalah eksplanatoris, yaitu dengan menggambarkan atau menjelaskan lebih
dalam suatu gejala.12

Dalam penelitian ini, data yang akan digunakan terutama data sekunder yang terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer, terdiri dari bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri
dari norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan
hukum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat dan bahan hukum dari
zaman penjajahan.13 Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan
adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti rancangan Undang-Undang, hasil-hasil penelitian, hasil
                                                                                                                       
10
Ibid., Pasal 1 angka 6.
11
Sutan Remy Sjahdeni, Op.Cit., hlm. 250.
12
Sri Mamudji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum , (Jakarta:Badan Penerbit Fakultas Hukum
Indonesia, 2005), hlm. 4.
13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,cet.3, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2008),
hlm. 52.

Universitas Indonesia
Tinjauan Yuridis..., Randy Suwenli, FH UI, 2014
karya dari kalangan hukum dan sebagainya14 Dalam penelitian ini, bahan hukum
sekunder yang digunakan adalah buku-buku, artikel, jurnal dan karya tulisan yang
membahas kepailitan, kurator, dan ctio pauliana . Buku yang dipergunakan antara
lain Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 karangan
Sutan Remi Sjahdeni, Hukum Kepailitan Indonesia karangan Hadi Shubhan,
Pedoman Menangani Perkara Kepailitan karangan Gunawan Widjaja dan Kartini
Muljadi, Creditors’ Rights and Bankruptcy karangan Steve H. Nickles dan David G.
Epstein.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia,
dan sebagainya.15 Dalam penelitian ini, bahan hukum tersier yang akan digunakan
adalah Black Law Dictionary dan beberapa abstrak yang berkaitan dengan penelitian
ini.

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokumen . Metode analisis data
yang akan digunakan adalah metode kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan tata cara
penelitian yang menghasilkan data deskriptis analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran
penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata.16

Pembahasan
Untuk menganalisis gugatan actio pauliana pada perkara No. 01 digunakan unsur yang terdapat
dalam pasal 41 UUK-PKPU maka ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi yaitu: 17
1. Actio pauliana itu dilakukan untuk kepentingan harta pailit
Syarat ini terpenuhi karena kurator mengajukan gugatan atas dasar upaya penyelamatan
terhadap boedel pailit.
2. Debitor telah melakukan suatu perbuatan hukum

                                                                                                                       
14
Ibid., hlm. 52.
15
Ibid.,
16
Sri Mamudji, Op.Cit., hal. 67.
17
Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm 63.

Universitas Indonesia
Tinjauan Yuridis..., Randy Suwenli, FH UI, 2014
Pada kasus ini debitor pailit telah nyata melakukan suatu perbuatan jual beli terhadap
objek sengketa, sehingga menimbulkan akibat hukum berupa beralihnya hak kepemilikan
atas objek sengketa akibat jual beli
3. Debitor yang melakukannya telah dinyatakan pailit,bukan debitor yang untuk
sementara menunda kewajiban membayar utang
Unsur ini terpenuhi dengan Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor
77/Pid.Sus/Pailit/2012
4. Perbuatan hukum yang dilakukan debitor tersebut tidak wajib dilakukan debitor
berdasarkan perjanjian dan/atau karena Undang-Undang, misalnya kewajiban
membayar pajak
Majelis Hakim melakukan pembuktian dalam unsur ini dengan melihat pada perjanjian
kreditnya yakni perjanjian kredit tersebut untuk pembayaran pada Bank Bukopin baru
jatuh tempo pada tanggal 13 Desember 2013, sehingga belum ada kewajiban membayar
5. Perbuatan hukum yang dilakukan debitor tersebut juga telah merugikan
kepentingan kreditor
Perbuatan debitor pailit dalam perkara ini dapat dianggap melakukan sesuatu yang dapat
menimbulkan kerugian terhadap ranking kreditor atau hanya menguntungkan kreditor
tertentu saja. Kreditor dalam hal ini yakni kreditor Bank Bukopin hanya berhak mendapat
pembayaran dari Hak Tanggungan yang dijaminkan sebesar :
2 (dua) SHGB yang dijaminkan dengan hak tanggungan sebesar Rp. 1.700.000.000,00
dan 6 (enam) SHGB yang dijaminkan dengan hak tanggungan sebesar Rp.
1.350.000.000,00, sehingga total pembayaran yang didapat oleh kreditor Bank Bukopin
hanya sebesar :
2 X Rp. 1.700.000.000,00 + 6 X Rp. 1.350.000.000,00 = Rp.11.500.000.000,00 (sebelas
milyar lima ratus juta rupiah)
Sehingga bila Tergugat I tidak menjual terlebih dahulu sebelum pernyataan pailit maka
bila diasumsikan tanah tersebut bisa dijual oleh kreditor sendiri maupun diberikan untuk
dilelang pada kurator (setelah debitor dinyatakan pailit) minimal senilai yang dijual
debitor yakni sebesar Rp 39.069.132.165,00 (tiga puluh sembilan milyar enam puluh
sembilan juta seratus tiga puluh dua seratus enam puluh lima rupiah) maka terdapat sisa
hasil penjualan (setelah pembayaran pada Bank Bukopin) yakni sebesar kurang lebih Rp

Universitas Indonesia
Tinjauan Yuridis..., Randy Suwenli, FH UI, 2014
27.500.000.000,00 (dua puluh tujuh milyar lima ratus juta rupiah) yang bisa digunakan
untuk pembayaran utang kreditor konkuren lainnya. Kedudukan Bank Bukopin terhadap
27.500.000.000,00 (dua puluh tujuh milyar lima ratus juta rupiah) ini adalah sebagai
kreditur preferen bukan separatis.
6. Perbuatan hukum yang dilakukan debitor tersebut dilakukan sebelum pernyataan
kepailitan ditetapkan
Unsur ini juga telah terpenuhi karena penjualan dilakukan 45 hari sebelum PT Metro
Batavia dinyatakan pailit
7. Actio pauliana hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat
perbuatan hukum tersebut dilakukan, debitor, pihak dengan siapa perbuatan
hukum tersebut dilakukan, termasuk pihak untuk kepentingan siapa perjanjian
tersebut diadakan, mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan
hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor
Untuk pembuktian unsur yang ke-7 ini maka UUK-PKPU memberikan bantuan berupa
pasal 42 untuk digunakan dalam pembuktian ini. Unsur ini menurut majelis hakim
terpenuhi karena menurut pasal 42 UUK-PKPU, maka debitor dan pihak dengan siapa
perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa
perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor sebagaimana dimaksud
dalam pasal 42 huruf b dalam hal perbuatan tersebut merupakan pembayaran atas, atau
pemberian jaminan untuk hutang yang belum jatuh tempo dan belum atau tidak dapat
ditagih.

Pada putusan no. 02 pembuktian tidak sampai pada tahap apakah perbuatan jual beli yang
dilakukan oleh tergugat I dan tergugat II dapat dibatalkan secara actio pauliana karena dengan
melakukan pembuktian pada unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 41 UUK-PKPU tetapi
sebelum itu hakim menganggap perbuatan jual beli objek sengketa itu tidak dapat dibatalkan
karena objek sengketa tidak termasuk ke dalam boedel pailit.

Permasalahan Hukum utama yang terdapat dalam putusan ini adalah apakah objek
sengketa merupakan boedel pailit atau tidak. Hakim dalam perkara ini memutuskan bahwa objek

Universitas Indonesia
Tinjauan Yuridis..., Randy Suwenli, FH UI, 2014
sengketa tidak termasuk ke dalam boedel pailit karena tidak terdapat titel recht yang sah atas
objek sengketa itu oleh debitor pailit.

Menurut Penulis sendiri terdapat beberapa masalah hukum dalam pertimbangan majelis
hakim tersebut :

1. Majelis hakim tidak mempertimbangkan dengan cermat fakta bahwa Laporan


Keuangan untuk Tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2010 dan 2009,
dan untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2011 dan 2010, serta
laporan auditor independen menunjukkan bahwa objek sengketa dimasukkan ke
dalam salah satu aset PT Metro Batavia dan dijaminkan kepada PT Bank Syariah
Muamalat, TBk
Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa laporan keuangan tidak
merupakan bukti kepemilikan yang sah atas aset, namun majelis hakim tidak mencermati
bahwa laporan keuangan seharusnya sudah dipertanggungjawabkan kepada RUPS oleh
direksi. Lebih lanjut penjelasan pasal 69 ayat (3) UUPT menerangkan laporan keuangan
yang dihasilkan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya dari aktiva, kewajiban,
modal, dan hasil usaha dari Perseroan. Direksi dan Dewan Komisaris mempunyai tanggung
jawab penuh akan kebenaran isi laporan keuangan Perseroan..
2. Majelis hakim juga tidak mempertimbangkan secara cermat SPT Tahunan Pajak
Penghasilan PT Metro Batavia beserta Laporan Keuangan Fiskal
Menurut pertimbangan majelis hakim maka SPT Tahunan Pajak Penghasilan tidak dapat
dijadikan barang bukti tetapi hanya sebagai petunjuk awal kepemilikan. Pada dasarnya
SPT Tahunan Pajak memang tidak dapat digunakan sebagai barang bukti kepemilikan,
tetapi seharusnya majelis hakim memperhatikan kalau seluruh biaya atas pajak dibayarkan
oleh perusahaan berarti adanya bentuk pemanfaatan dan penguasaan objek sengketa oleh
perusahaan. Selain itu Tergugat I dalam dalilnya juga mengatakan bahwa tanah tersebut
digunakan oleh perusahaan secara sewa menyewa yang dibuktikan dengan Notulen RUPS
7 Januari 2004, tetapi dalam laporan keuangan tidak pernah ada tercatat mengenai sewa
menyewa itu. Kalau memang ada hubungan sewa menyewa maka dapat diperlihatkan
dalam laporan keuangan atau pajak sewa menyewa yang harus dibayar para pihak.

Universitas Indonesia
Tinjauan Yuridis..., Randy Suwenli, FH UI, 2014
3. Hakim tidak memperhatikan unsur conflict of interest dalam jual beli ini
Dalam perkara ini juga hakim tidak memperhatikan unsur conflict of interest yang
terindikasi terjadi karena Tergugat II selaku pembeli adalah keponakan kandung dari
Tergugat II. Majelis hakim dari pengadilan niaga seharusnya lebih mencermati hal ini
karena dalam perkara kepailitan pengalihan aset kepada saudara kandung untuk
mengurangi boedel pailit sangat sering dilakukan.

4. Dari daftar piutang yang diakui PT Metro Batavia dan yang ditandatangani oleh
Penggugat selaku Tim Kurator dan Hakim Pengawas, menunjukkan aset yang
terdata nilainya tidak mencapai 10% dari keseluruhan nilai tagihan.
Hal ini menjadi masalah karena faktanya menurut kurator secara jelas dan nyata hampir 90
% aset PT Metro Batavia berdasarkan laporan SPT Tahunan Pajak Penghasilan PT Metro
Batavia Tahun 2009 dan 2010 yang dibuat oleh Tergugat I dan Laporan Keuangan Auditor
dari Kantor Akuntan Publik diatasnamakan Tergugat I. Sehingga dengan putusan yang
diberikan oleh majelis hakim maka kerugian yang dialami oleh kreditor sangat besar
karena boedel pailit yang sangat sedikit.

Kemudian menarik juga bila dibandingkan dengan yuriprudensi putusan no 04 / Pdt.Sus /


Gugatan Lain – lain / 2014 / PN. NIAGA. JKT. PST

Majelis hakim dalam perkara tersebut memberikan pertimbangan bahwa untuk memasukkan aset
kedalam perusahaan secara formal harus ada akta dari PPAT,akan tetapi jika pemegang saham
mengakui menyerahkan asetnya dengan sukarela kepada perusahaan (yang dibuktikan dengan
persetujuan RUPS pada laporan keuangan dan adanya akta pernyataan manajemen bahwa benar
aset yang terdapat dalam laporan keuangan adalah aset perusahaan) tidaklah berarti bahwa
penyertaan modalnya menjadi tidak sah,atau tidak dibolehkan,namun untuk proses balik nama
haruslah disertai dengan akta dari pejabat pembuat akta tanah (PPAT) sebagaimana ketentuan
Undang undang

Perbandingan dengan Negara Belanda (Civil Law )

Pengaturan actio pauliana di Negara Belanda diatur dalam pasal 42- 51 dari The
Faillissementswet of 1897 dan Pasal Pasal 45-48 dari Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW).

Universitas Indonesia
Tinjauan Yuridis..., Randy Suwenli, FH UI, 2014
Pengaturan actio pauliana di kedua bagian ini mempunyai banyak kemiripan. Untuk memenuhi
unsur actio pauliana harus memenuhi 3 syarata utama yaitu 18 :

a Onverplicht verricht : suatu pengalihan sukarela yang tidak diatur dalam suatu kontrak
atau tidak memiliki kewajiban hukum
b Benadeling : para kreditor atau hanya salah seorang kreditor harus diasumsikan
melakukan disposisi, apabila perbuatannya menyebabkan atau menambahkan keadaan
insolvensi debitor
c Wetenschap : debitor dan resipiennya harus mengetahui bahwa disposisi tersebut akan
mengakibatkan kerugian bagi para kreditor ( bila debitor tidak menerima balasan atas
pengalihan, maka dia dianggap mengetahui perbuatannya akan merugikan kreditor)
Bila kita bandingkan maka syarat dari actio pauliana di kedua negara secara materil
sama. Tidak ada perbedaan yang signifikan di antara keduanya. Perbedaan antara pengaturan
Actio pauliana dan De Pauliana di Belanda hanyalah pada metode pelaksanaannya atau pada
hukum formilnya. Di Belanda dikenal extrajudicial Sehingga dapat dikatakan di Belanda untuk
melakukan De Pauliana tidak diharuskan untuk melakukan gugatan di pengadilan, cukup
deklarasi oleh kurator apabila telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42-50 FW, namun bukan berarti kreditor yang dianggap terlibat dalam De Pauliana tidak bisa
membantah Pasal 49 FW memberikan kesempatan bagi kreditor untuk membantah. Walaupun
pada prakteknya dapat dilakukan extrajudical declaration namun pada umumnya di Belanda
tetap lebih sering digunakan gugatan di pengadilan karena para pihak biasanya tidak sepakat
mengenai adanya De Pauliana ini. Sedangkan di Indonesia sendiri jelas bahwa pengaturan actio
pauliana mengharuskan kurator untuk mengajukan gugatan di pengadilan hal ini sesuai dengan
ketentuan dari Pasal 47 ayat (1).

Perbandingan dengan Negara Amerika Serikat (Common Law )

Di Amerika tidak digunakan istilah actio pauliana tetapi yang digunakan adalah
Avoiding powers. Pengaturan Avoiding powers ini bertujuan untuk membatalkan perbuatan

                                                                                                                       
18
http://dbrs.com/research/256369/legal-commentary-netherlands.pdf, diakses tanggal 9 Oktober 2014.

Universitas Indonesia
Tinjauan Yuridis..., Randy Suwenli, FH UI, 2014
kreditor yang merugikan debitor sehingga harta dari debitor dapat masuk lagi ke dalam boedel
pailit.

Avoiding Power dapat dibagi menjadi tiga bagian :

- Fraudulent conveyances
- Preference
- Strong arm power

Bila kita bandingkan dengan Pengaturan actio pauliana di Indonesia maka Avoiding
Power sebenarnya memiliki tujuan yang sama yakni melindungi boedel pailit agar pembayaran
hutang dapat dilakukan dengan seadil-adilnya tanpa adanya kreditor yang dirugikan.

Fraudulent conveyances secara sederhana mengatur pembatalan setiap perbuatan debitor


yang membuat pengalihan propertinya dengan tujuan/intent untuk mempersulit, menunda, atau
menipu kreditor (Actual fraud) dan Constructive fraud. Perbedaan yang paling penting dalam
kedua jenis Fraudulent conveyances ini adalah Actual fraud mensyaratkan adanya intent yakni
adanya sebuah itikad dari debitor untuk mempersulit, menunda atau menipu kreditor dalam
mendapatkan pembayarannya.

Dibandingkan dengan Indonesia maka badge of fraud yang berasal dari case to case lebih
memudahkan pembuktian intent dibanding dengan pasal 42 dalam UUK-PKPU. Dalam badge of
fraud banyak faktor-faktor yang bisa diadopsi di Indonesia yang saat ini dalam pasal 42 baru
mengatur tentang pengalihan ke insider, pembayaran yang sebelum waktunya, dan pembayaran
dimana kewajiban debitor melebihi kewajaran.

Sedangkan pada Constructive fraud tidak perlu dibuktikan unsur intent, tetapi cukup
membuktikan unsur pada no ii dan salah satu keadaan pada no iii. :
Constructive fraud
i. Menerima kurang dari nilai ekuivalen yang wajar dari pengalihan atau
kewajiban yang ditimbulkan debitor tersebut, dan
ii.

Universitas Indonesia
Tinjauan Yuridis..., Randy Suwenli, FH UI, 2014
I. Dalam keadaan insolven pada tanggal pengalihan atau kewajiban
tersebut dibuat,atau menjadi insolven akibat dari tindakan tersebut;
II. Terlibat dalam bisnis atau transaksi, atau sedang dalam rangka bisnis
atau transaksi, dimana keadaan dari properti yang tersisa dari debitor
hanya tersisa modal kecil yang tidak masuk akal
III. Dimaksudkan untuk mengadakan hutang bagi debitor yang akan jauh
berada di atas kemampuan membayar debitor saat hutang tersebut jatuh
tempo
IV. Membuat pengalihan tersebut untuk kepentingan insider, atau
mengadakan kewajiban untuk kepentingan insider, dalam suatu hubungan
kerja dan tidak berada di kebiasaan usaha.

Maka dari Constructive fraud tersebut apabila sudah dapat dibuktikan bahwa debitor
mendapatkan suatu nilai yang tidak ekuivalen dari pengalihan atau perbuatan hukum lainnya
yang ia lakukan dan berada pada kondisi yang disebutkan pada no iii maka ia sudah dianggap
melakukan fraudulent conveyances.

Pengaturan terkait avoding powers di Amerika juga sangat sensitif terhadap insider.
Insider adalah orang-orang yang dianggap mempunyai hubungan khusus dengan debitor
sehingga akan mendapat keuntungan baik secara informasi ataupun koneksi. Khusus untuk
insider ini maka ada unsur penting yakni “tidak berada di suatu kebiasaan usaha” .

Pengaturan lain yang berbeda adalah jangka waktunya, Amerika Serikat dalam
perkembangannya memberikan jangka waktu 2 tahun untuk perbuatan yang dapat dibatalkan
trustee. Sedangkan di Indonesia hanya 1 tahun.

Pengaturan Preferences dibuat bertujuan untuk agar setiap kreditor dapat mendapat
pembayaran yang seimbang, sesuai dengan bentuk dari hutang mereka, dan juga tidak
memberikan keuntungan pada kreditor tertentu saja. Syaratnya cukup sederhana yakni
menguntungkan kreditor tertentu saja, debitor dalam keadaan insolven, dilakukan 90 hari
sebelum permohonan kepailitan atau satu tahun apabila kreditor ini termasuk dalam kategori
insider.

Universitas Indonesia
Tinjauan Yuridis..., Randy Suwenli, FH UI, 2014
Syarat dari preference ini juga penting untuk membuktikan bagaimana suatu kreditor
tertentu bisa diuntungkan dan kreditor lain dirugikan. Di Indonesia ketentuan preference ini
hanya diatur secara umum di actio pauliana (Pasal 41-50 UUK-PKPU) tetapi tidak terdapat
pengaturan khususnya dan apa saja syarat agar dapat dikatakan ada kreditor tertentu diuntungkan
dari tindakan debitor itu.

Strong arm clause memberikan trustee hak untuk mewakili debitor untuk membatalkan
perbuatan tertentu yang dalam hal ini adalah sebuah lien yang tidak sempurna. Lien ini sendiri
adalah hak untuk mengeksekusi sebuah jaminan untuk pembayaran hutang. Pengaturan ini jelas
tidak diatur di Indonesia.

Simpulan
1. Untuk analisis terhadap putusan 01/Pdt.Sus.ActioPauliana/2014/PN.Niaga Jkt.Pst penulis
berkesimpulan hakim sudah cukup tepat dalam menerapkan hukum dengan
menggunakan pasal 41 dan pasal 42 huruf (b) UUK-PKPU yang kemudian dapat
membatalkan perbuatan para tergugat yang merugikan harta pailit. Hanya saja dalam hal
ini dalam pertimbangan unsur perbuatan yang merugikan kreditor penulis tidak
sependapat karena dalam hal ini menurut penulis tindakan tersebut merugikan karena
telah merubah ranking kreditor dan hanya menguntungkan kreditor tertentu saja. Majelis
Hakim juga dalam hal ini tidak membuktikan unsur conflict of interest yang terdapat
dalam perkara ini.
Untuk analisis terhadap putusan 02/ Pdt.Sus.ActioPauliana/ 2014/ PN.Niaga Jkt.Pst
penulis berkesimpulan pertimbangan majelis hakim belum tepat karena masih terdapat
banyak masalah hukum dalam pertimbangan ini yakni :
a. Majelis hakim tidak mempertimbangkan dengan cermat fakta bahwa Laporan
Keuangan serta laporan auditor independen menunjukkan bahwa objek sengketa
dimasukkan ke dalam salah satu aset PT Metro Batavia dan dijaminkan kepada
PT Bank Syariah Muamalat, Tbk. Majelis hakim sama sekali tidak
mempertimbangkan bukti laporan keuangan ini padahal laporan keuangan ini
harus dibuat sebenar-benarnya.

Universitas Indonesia
Tinjauan Yuridis..., Randy Suwenli, FH UI, 2014
b. Majelis hakim juga tidak mempertimbangkan secara cermat SPT Tahunan Pajak
Penghasilan PT Metro Batavia beserta Laporan Keuangan Fiskal dan
Penjelasan atas Laporan Keuangan, padahal dalam laporan tersebut tercata
bahwa objek sengketa merupakan aset PT Metro Batavia dan pembayaran pajak
dilkaukan perlusahaan
c. Majelis juga Hakim tidak memperhatikan unsur conflict of interest dalam jual beli
ini, karena pengalihan tersebut dilakukan pada saudara kandung Yudiawan.
d. Majelis Hakim tidak mempertimbangkan dengan cermat dari daftar piutang yang
diakui PT Metro Batavia dan yang ditandatangani oleh Penggugat selaku Tim
Kurator dan Hakim Pengawas, menunjukkan dan membuktikan jumlah tagihan
kreditor PT Metro Batavia secara keseluruhan sebesar Rp.
1.222.561.224.174,39 Sedangkan aset yang terdata nilainya tidak mencapai 10%
dari keseluruhan nilai tagihan.   hampir 90 % aset PT Metro Batavia berdasarkan
laporan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Publik diatasnamakan Tergugat I,
sehingga dengan keputusan majelis hakim sangat merugikan kreditor
e. Majelis Hakim terlalu berpatokan pada “Titel Recht” tetapi tidak melihat adanya
indikasi dari perbuatan debitor yang dari sebelum proses kepailitan bertujuan
untuk merugikan kreditor. Padahal objek sengketa digunakan sehari-hari oleh
debitor pailit dan bahkan dimasukkan di laporan keuangan dan dibayar
pajaknya.

2. Dibandingkan dengan Belanda maka pengaturan hukum materil actio pauliana di


Indonesia dengan di Belanda tidak terdapat perbedaan, satu-satunya perbedaan adalah
secara formil yakni di Belanda untuk melakukan membatalkan perbuatan debitor
yang merugikan harta pailit tidak harus dilakukan melalui gugatan, melainkan dapat
juga melalui extrajudicial declaration Sedangkan dibandingkan dengan Amerika
Serikat maka pengaturan pembatalan perbuatan debitor yang merugikan harta pailit
atau kreditor yang disebut dengan avoiding powers lebih memudahkan trustee (atau
yang di Indonesia peran ini dijalankan oleh kurator) untuk melakukan pembuktian.
Hal ini dapat dilihat dari pengaturan pada Fraudulent conveyance yang mengatur
pembatalan perbuatan yang merugikan kreditor melalui Actual fraud dimana perlu

Universitas Indonesia
Tinjauan Yuridis..., Randy Suwenli, FH UI, 2014
pembuktian intent debitor tetapi dibantu dengan “badges of fraud” yang dibuat case
by case sehingga dapat lebih mudah membantu pembuktian intent dan juga
constructive fraud yang tidak perlu membuktikan intent dari debitor untuk merugikan
debitor. Ketentuan Preference di Amerika juga memudahkan pembatalan perbuatan
debitor yang hanya menguntungkan kreditor tertentu. Ditambah dengan ketentuan
Strong arm clause untuk membatalkan jaminan yang tidak sempurna.

Saran

Pada kesempatan kali ini dari tulisan ini maka penulis ingin memberikan saran berupa :

1. Pembuat Peraturan actio pauliana di Indonesia dapat belajar banyak dari pengaturan dari
Amerika Serikat karena akan sangat jauh membantu kurator dalam melaksanakan
tugasnya karena sifat pembuktian yang lebih mudah dan praktis.
2. Hakim di Indonesia harus lebih jeli dalam mengadili dan memutus perkara actio pauliana
karena dalam kasus actio pauliana biasanya debitor sudah bersiap untuk melakukan
suatu penyelundupan hukum dan hakim harus mampu melihat hal-hal apa saja yang tidak
dalam kebiasaan yang dilakukan oleh debitor.
3. Hakim di Indonesia harus membuktikan unsur conflict of interest karena pada umumnya
debitor akan lebih sering mengalihkan hartanya pada insider

DAFTAR REFERENSI

Buku-Buku :

Alces, Peter A. and Margaret Howard. Cases and Materials on Bankruptcy. ST.Paul : West
Publishing Co, 1995.
Shubhan, Hadi. Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktek di Pengadilan, Cet.3, (Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm 175.

Sjahdeni, Sutan Remy. Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004
tentang Kepailitan, Cet.4. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2009.

Peraturan Perundang-Undangan

Universitas Indonesia
Tinjauan Yuridis..., Randy Suwenli, FH UI, 2014
Indonesia. Undang-Undang Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
UU No. 37 Tahun 2004. LN. No. 131, TLN.No. 4443.

U.S. Bankruptcy Code

The Dutch Bankruptcy Act

Internet

http://dbrs.com/research/256369/legal-commentary-netherlands.pdf, diakses tanggal 9 Oktober


2014.
http://leshawlaw.com/wp-content/uploads/2013/02/PreferenceArticle.pdf, diakses tanggal 15
Oktober 2014

Universitas Indonesia
Tinjauan Yuridis..., Randy Suwenli, FH UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai