Anda di halaman 1dari 21

PERBANDINGAN GANTI RUGI AKIBAT WANPRESTASI

ANTARA KUHPERDATA INDONESIA


DENGAN CIVIL CODE OF THE NETHERLANDS
Dosen Pengampu : Surahmad, S.H, M.H.

Disusun oleh :
Kelompok 6

David Hans 1710611255


Dinda Putri Aulia 1910611190
Rizki Daniel 1910611288
Raihan Erji Wijaya 1910611302

Program Studi Ilmu Hukum


Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
Tahun 2022
Abstrak

Tujuan dari semua perjanjian harus dipenuhi oleh mereka yang berjanji. Setiap pihak selalu ada
harapan dan keinginan untuk melengkapi pihak lain menjalankan janji-janjinya. Keunikan bidang
hukum kontrak terutama tercermin dari kinerja fungsinya sekaligus menjamin kepastian hukum
dan keadilan bagi para pihak pembentukan dan pemenuhan komitmen dan kewajiban para pihak
yang terlibat; berdasarkan kesukarelaan. Kegagalan untuk menepati janji atau mengakibatkan
pelanggaran konsekuensi bagi hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang dirugikan itu
memberikan kompensasi / ganti-rugi, seperti yang dipersyaratkan oleh hukum secara umum. Riset
Perbandingan hukum ganti rugi jika terjadi wanprestasi dengan hukum perdata Belanda sangat
penting dengan aturan yang berlaku secara umum dalam perjanjian di Indonesia selama ini masih
berdasarkan hukum perdata Belanda pertama kali diterapkan di Hindia Belanda pada tahun 1838
ketika Belanda dengan sebuah undang-undang perdata baru yang efektif 1 Januari 1992. Studi ini
berfokus pada bagaimana menentukan bahwa telah terjadi suatu pelanggaran, akibat hukum yang
ditimbulkan, hak hukum dan upaya hukum; milik pihak yang dirugikan. Objek dari konfrontasi
hukum ini adalah institusi hukum kontrak, yang sebenarnya adalah hukum perbandingan,
penggunaan data perbuatan hukum sekunder berupa perbuatan hukum primer dan perbuatan
hukum sekunder yang diperoleh atas dasar. Pencarian dokumenter dan perpustakaan, pengolahan
data dilakukan secara kualitatif dan konklusif dengan metode perbandingan hukum. Berdasarkan
hasil penelitian, dalam beberapa hal pengaturan default dalam KUH Perdata selalu sama dengan
KUHPerdata, namun ada hal-hal yang tidak jelas tentang ketentuan KUHPerdata diatur secara jelas
dalam KUHPerdata. Dalam hal ini, peneliti percaya bahwa sejumlah ketentuan tentang tunggakan
prestasi (wanprestasi) KUH Perdata harus diperbarui untuk tujuan ini menjamin kepastian hukum.

Kata kunci: Ganti Rugi, Wanprestasi, KUHPerdata Indonesia, Civil Code of the Netherlands
Abstract

The purpose of all agreements must be fulfilled by those who promise. Each party always has hope
and desire to complete the other party in carrying out its promises. The uniqueness of the contract
law field is mainly reflected in the performance of its functions as well as ensuring legal certainty
and justice for the parties in the formation and fulfillment of the commitments and obligations of
the parties involved; on a voluntary basis. Failure to keep promises or result in violation of
consequences for the aggrieved party's right to demand that the aggrieved party provide
compensation, as required by law in general. Comparative research on compensation law in the
event of a breach of contract with Dutch civil law is very important with the rules that apply
generally in treaties in Indonesia so far are still based on Dutch civil law, first applied in the Dutch
East Indies in 1838 when the Netherlands with a new civil law issued effective January 1, 1992.
This study focuses on how to determine that a violation has occurred, the legal consequences, legal
rights and legal remedies; belonging to the aggrieved party. The object of this legal confrontation
is the institution of contract law, which is actually comparative law, the use of secondary legal
action data in the form of primary legal actions and secondary legal actions obtained on the basis.
Documentary and library searches, data processing is carried out qualitatively and conclusively
with the method of legal comparison. Based on the research results, in some cases the default
settings in the Civil Code are always the same as the Civil Code, but there are things that are
unclear about the provisions of the Civil Code which are clearly regulated in the Civil Code. In
this regard, the researcher believes that a number of provisions regarding arrears of achievement
(default off the task ) of the Civil Code should be updated for this purpose to ensure legal certainty.

Key search: Indemnity, Default on Duty, KUHPerdata of Indonesia, Civil Code of the Netherlands
A. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum sistem hukum civil law yang
sumber hukumnya dalam arti formal adalah norma perundang-undangan, yurisprudensi, perjanjian
internasional, doktrin atau pendapat ahli, dan adat istiadat. Dalam bidang hukum perdata, salah
satu sumber hukum formil yang berlaku adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPerdata). KUHPerdata membuat perbedaan yang jelas antara perikatan karena kewajiban
kontrak dan kewajiban hukum. Kewajiban yang timbul dari perjanjian/kontrak tersebut merupakan
kewajiban yang diinginkan oleh para pihak yang telah sepakat untuk terikat. Sementara itu
kewajiban yang timbul dari adanya suatu undang-undang mungkin bukan yang diinginkan oleh
pihak yang berkewajiban, tetapi hukum tetap menentukan hubungan dan akibat hukumnya. Asas
hukum dikatakan sebagai dasar bagi hukum perjanjian, suatu asas dapat memberikan suatu
gambaran mengenai latar belakang yang menjadi dasar hukum perjanjian. Hadirnya asas juga
digunakan untuk menafsirkan beberapa aturan yang selaras dengan beberapa asas yang menjadi
dasar dari aturan-aturan yang dimaksud 1.

Apabila debitur tetap tidak dapat memenuhi prestasi dalam jangka waktu yang telah
ditoleransikan, maka debitur telah berada pada keadaan tertagih. Keadaan ini ditandai dengan
adanya surat perintah atau akta sejenis yang menyatakan bahwa debitur telah wanprestasi,
sebagaimana diatur dalam pasal 1238 KUH Perdata2.

Perjanjian melahirkan perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak. Dengan demikian suatu kesepakatan berupa perjanjian pada
hakikatnya adalah mengikat, bahkan sesuai dengan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, kesepakatan
ini memiliki kekuatan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.3

1
Lubna Tabriz Sulthanah, Surahmad, ANALISIS PENYELESAIAN WANPRESTASI KONTRAK KERJA KONSTRUKSI
DITINJAU DARI ASAS KESEIMBANGAN, Fakultas Hukum UPNVJ, Jurnal Kertha Semaya,, 2021, hlm.475
2
Dwi Aryanti, WANPRESTASI DAN AKIBAT HUKUMNYA, Fakultas Hukum UPNVJ, Jurnal Yuridis, 2012, hlm. 4
3
Huala Adolf, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, Bandung: Refika Aditama, 2006, hlm. 15.
Dengan adanya perjanjian kreditur dapat menuntut pemenuhan prestasi dari debitur, sedangkan
bagi debitur berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya. Walaupun perjanjian dibuat dengan
harapan semua apa yang telah disepakati dapat berjalan dengan normal, namun dalam prakteknya
pada kondisi tertentu pertukaran prestasi tidak selalu berjalan sebagaimana mestinya sehingga
muncul peristiwa yang disebut wanprestasi.

Dalam bidang hukum perdata, hukum perikatan merupakan salah satu hal yang sangat
penting dan dibutuhkan dalam hubungan-hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang
dilakukan sehari-hari. 4 Hukum perikatan diatur dalam Buku III BW (Buku III KUHPerdata) yang
secara garis besar dibagi atas dua bagian, yaitu pertama, perikatan pada umumnya, baik yang lahir
dari perjanjian maupun yang lahir dari undang-undang dan yang kedua, adalah perikatan yang lahir
dari perjanjian-perjanjian tertentu.5 Ketentuan tentang perikatan pada umumnya ini berlaku juga
terhadap perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian tertentu, seperti jual beli, sewamenyewa,
pinjam-meminjam, dan lain-lain. Bahkan ketentuan tentang perikatan pada umumnya, ini berlaku
pula sebagai ketentuan dasar atas semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak, yang jenis
perjanjiannya tidak diatur dalam BW sehingga perjanjian apapun yang dibuat acuannya adalah
pada ketentuan umum tentang perikatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1233 sampai dengan
Pasal 1456 BW. 6

Perikatan dikatakan sebagai hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, dimana
peran kedua pihak adalah pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain dan
pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Lebih lanjut dikatakan bahwa pihak
yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang
berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang. 7

Tujuan dari segala perjanjian ialah untuk dipenuhi oleh yang berjanji. Masing-masing
pihak senantiasa memiliki harapan dan menghendaki jaminan bahwa pihak yang lain memenuhi
janji-janjinya. Untuk mewujudkan tujuan-tujuan kontraktual itulah maka dikembangkan norma-
norma hukum dalam bentuk sekumpulan asas dan aturan hukum yang umumnya dipahami sebagai

4
Miru Ahmadi dan Pati Sakka, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok : PT Raja
Grafindo Persada, 2018, hlm.1.
5
Ibid.
6
Ibid, hlm. 2
7
Setiawan I Ketut Oka, Hukum Perikatan, Jakarta : Sinar Grafika, 2015, hlm 1.
hukum kontrak atau hukum perjanjian (law of contracts) yang diharapkan dapat meningkatkan
kepastian (certainty), keadilan (fairness), dan prediktabilitas (predictability) dan pada saat yang
bersamaan menjadi alat bagi para pihak untuk mengelola risiko (risk management tool). Di sinilah
letak keperluan adanya hukum perjanjian, yang sebagian besar mengandung peraturan untuk
peristiwa-peristiwa dalam mana orang-orang tidak memenuhi janji. 8

Jadi, keunikan bidang hukum perjanjian terutama tampak dari perwujudan fungsinya untuk
secara bersamaan (atau secara dialektik) menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak
dalam pembentukan dan pelaksanaan janjijanji (promises) serta kewajibankewajiban para pihak
yang bersumber pada kesukarelaan (voluntary obligations).9

Menurut hukum Indonesia, berdasarkan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata,
seketika syarat-syarat keabsahan perjanjian dipenuhi, maka perjanjian yang demikian mengikat
dan berlaku sebagai hukum bagi para pihaknya. Bahkan berdasarkan asas kepastian hukum atau
pacta sunt servanda, hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi perjanjian yang dibuat
oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan
intervensi terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. 10

Pasal 1313 KUHperdata tentang Perikatan-perikatan yang Dilahirkan dari kontrak atau
perjanjian yang berbunyi: Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11 Suatu Perjanjian dianggap sah
apabila telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Sebagaimana ditentukan dalam
pasal 1320 KUHperdata tentang Syarat-syarat Yang Diperlukan Untuk Sahnya Suatu Perjanjian,
yang berbunyi :12

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

8
Wirjono Prodjodikoro, Azaz-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2011), hlm. 49.
9
“Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Hukum Kontrak,” Badan Pembinaan
Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan HAM RI, 2013, hal. 2
10
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hlm. 70.
11
KUHPerdata, Pasal 1313
12
KUHPerdata, Pasal 1320
4. Suatu sebab yang halal;

Karena perjanjian memiliki kekuatan mengikat maka tindakan wanprestasi membawa


konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan
wanprestasi untuk memberikan kompensasi/ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak
ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Meskipun kesepakatan dibuat
dengan harapan agar segala sesuatu yang disepakati dapat berfungsi secara normal, dalam
praktiknya, dalam keadaan tertentu, pertukaran itikad baik melalui prestasi tidak
selalu berjalan sebagaimana mestinya, yang dimana tentu mengarah pada peristiwa yang disebut
wanprestasi atau ingkar janji. Tujuan gugatan wanprestasi adalah menempatkan pihak yang
mengalami kerugian akibat wanprestasi dalam posisi seolah kontrak/janji/prestasi telah
dilaksanakan dan karena itu sewajarnya ia mengharapkan dikabulkannya kompensasi atas
keuntungan yang diharapkan dan tidak dapat diterimanya karena wanprestasi tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang Penulis buat yaitu:

1. Bagaimana Pengaturan Wanprestrasi di Indonesia dengan Belanda ?

2. Bagaimana Perbandingan Pengaturan Wanprestasi Antara Indonesia Dengan


Belanda ?
Pembahasan

A. Bagaimana Pengaturan Wanprestrasi di Indonesia dengan Belanda?

Wanprestasi merupakan sebuah istilah yang diambil dari bahasa Belanda wanprestatie
dengan arti tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban dalam suatu perjanjian. Berdasarkan arti
dalam KBBI, wanprestasi adalah keadaan salah satu pihak (biasanya perjanjian) berprestasi buruk
karena kelalaian. Apabila terdapat salah satu pihak yang melakukan wanprestrasi, maka dalam
Hukum Perjanjian Indonesia dan Belanda maka kreditur berhak untuk memberikan teguran tertulis
kepada kreditur yang memuat kegagalan debitur dalam melaksanakan wanprestrasi.

Di Indonesia, peraturan mengenai teguran tertulis terdapat pada Pasal 1238 KUHPer.
Teguran tertulis biasanya dikenal dengan istilah somasi. Somasi berkaitan dengan wanprestrasi.
Somasi adalah peringatan kepada debitur untuk segera melaksanakan isi perjanjian dengan baik.
Somasi minimal diberikan sebanyak tiga kali kepada kreditur apabila debitur tidak melaksanakan
perjanjian tersebut dan apabila tetap tidak dilaksanakan maka kreditur berhak untuk membawa
persoalan tersebut kepada pengadilan. 13

Di Belanda, pengaturan mengenai pernyataan lalai diatur dalam Article 6:82 par 1 CCN
mengenai “Letter of formal notice of default” 32 , debitur dinyatakan gagal memenuhi prestasinya

13
Iva Shofiya, S.H., M.Si, “Konsultasi Hukum”, diakses dari https://lsc.bphn.go.id/konsultasiView?id=4450 , 1 Okt
2022
dengan suatu surat pemberitahuan resmi, apabila setelah lewat jangka waktu yang diberikan
baginya untuk melaksanakan prestasi, dia tidak juga memenuhi prestasinya. Pernyataan mengenai
wanprestrasi harus dilakukan secara tertulis supaya debitur mengetahui secara jelas bahwa ia telah
melanggar perjanjian dan membayarkan kompensasi terhadap pelanggar tersebut.

Dalam pengaturan mengenai wanprestrasi antara Indonesia dengan Belanda, terdapat suatu
keadaan dimana pernyataan lalai tidak dibutuhkan memuat jangka waktu pelaksanaan prestrasi.
Dalam pengaturan Hukum Indonesia, hal ini terdapat pada Pasal 1270 KUHPerdata keadaan di
mana suatu pernyataan lalai tidak perlu menyertakan jangka waktu, dimungkinkan apabila ada
suatu keadaan di mana bisa dikatakan telah ada jangka waktu bagi pihak yang berkewajiban
memberikan prestasi. Hukum Belanda sendiri juga mengatur demikian Berdasarkan Article 6: 82
par 2 CCN.

Dalam pengaturan mengenai wanprestrasi terdapat suatu kondisi dimana tidak diperlukan
pernyataan lalai secara tertulis dan di Indonesia di atur dalam Pasal 123 ayat (1) dan 1242
KUHPerdata. Pernyataan lalai secara tertulis tidak dibutuhkan apabila perikatan itu timbul karena
perbuatan melawan hukum, perjanjian tersebut tidak melaksanakan sesuatu, dalam hal pihak yang
memiliki kewajiban sudah menyatakan bahwa ia tidak mau memenuhi janji dan bila dalam
perjanjiannya sudah ditentukan batas waktu pelaksanaan prestasi serta. Di Belanda, pasal
mengenai itu tidak diatur secara implisit akan tetapi berbagai kasus di Belanda Mahkamah Agung
menyatakan bahwa aturan-aturan pengecualian tentang peringatan tertulis sebagaimana diatur
dalam Civil Code bukan merupakan ketentuan yang lengkap, ada banyak kasus di mana dinyatakan
bahwa peringatan tertulis tidak diperlukan, meskipun menurut hukum hal tersebut dinyatakan
perlu.14

Akibat adanya wanprestrasi yang dilakukan oleh debitur membuat debitur harus membayar
kerugian kepada debitur. Dalam Hukum Indonesia, pada pasal KUHPerdata Pasal 1243
menyatakan bahwa terdapat kewajiban membayar ganti kerugian akibat wanprestrasi. Dalam
Hukum Belanda, Dalam Article 6: 74 CCN par 1 ditegaskan bahwa setiap ketidak sempurnaan
dalam pemenuhan kewajiban merupakan wanprestasi debitur dan karenanya dia bertanggung

14
Wirjono Projodikoro, Loc.cit.
jawab atas kerugian yang dialami kreditur sebagai akibat tidak dilaksanakannya perstasi, kecuali
jika tidak dilaksanakannya prestasi tidak dapat dipersalahkan kepada debitur.

B. Perbandingan Pengaturan Wanprestasi Antara Indonesia Dengan Belanda

Pemenuhan Hak dan Kewajiban yang menimbulkan akibat hukum suatu perjanjian. Bila
mana salah satu pihak tidak memenuhi suatu kewajiban tersebut, pihak tersebut dikatakan telah
Wanprestasi. Dalam praktek hukum dimasyarakat untuk menentukan sejak kapan debitur
Wanprestasi tidak selalu mudah, karena kapan debitur harus memenuhi prestasi tidak selalu
ditentukan dalam perjanjian.

Jika kita hendak memperbandingkan Konstruksi Hukum Positif antara KUHPerdata


Indonesia dengan Civil code of the Netherlands maka tentunya akan menjadi bahan yang sangat
menarik untuk dijadikan bahan referensi dan evaluasi terhadap tatanan hukum yang tetap berlaku
di Indonesia (yang mana merupakan peninggalan Belanda) hingga sampai saat ini. Jika kita
berkaca pada hukum Indonesia mengenai apa yang dimaksud dengan wanprestasi didapat dari
pendapat ahli (doktrin), antara lain Wirjono Prodjodikoro dan Subekti. Menurut Wirjono
Prodjodikoro, wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi; dan prestasi dalam hukum perjanjian,
berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Sedangkan menurut
hukum Belanda istilah yang digunakan adalah failure in performance, non-performance, atau
default. Dari web-side advokad Amsterdam diberikan pengertian wanprestasi sebagai berikut 15:

“default is understood to mean a failure of fulfilment consisting in an attributable delay in


fulfilling an obligation, which is due where that fulfilment is not permanently impossible.”

Di Belanda, dalam “Parliamentary History Book 6” dari CCN dikatakan non-performance


menyangkut semua hal di mana pelaksanaan prestasi debitur dalam bentuk apapun kurang dari
pada apa yang menjadi kewajibannya.” 15 Merujuk doktrin (Mark van Weeren dan Danny Busch),
“kegagalan” dalam melaksanakan prestasi di Belanda meliputi keadaan di mana satu pihak gagal
melaksanakan kewajiban seperti janji yang tertuang dalam kontrak, melaksanakan prestasi tidak
dengan tepat, atau sama sekali tidak melaksanakan prestasinya. Dan dalam KUHPerdata yang
isinya secara implisit memuat macam atau bentuk wanprestasi, yaitu Pasal 1233, Pasal 1238 , Pasal

15
Ams Advocaten, “Breach of contract”, diakses dari http://www.amsadvocaten.com/practiceareas/law-of-
obligations-and-contractlaw/breach-of-contract/, 1 Oktober 2022
1243 dan Pasal 1244 KUHPerdata yang mana menurut Subekti melalui doktrin dibuatlah kedalam
empat bentuk, yaitu Tidak Melaksanakan Prestasi sama sekali; Melaksanakan Prestasi tetapi tidak
tepat waktunya; Melaksanakan prestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya; Melakukan sesuatu
yang dilarang dalam kontrak.16.

Sehingga jika dapat disimpulkan macam-macam wanprestasi di Indonesia dan Belanda


dibandingkan, ada kesamaan, di mana ke duanya melihat macam atau bentuk wanprestasi secara
luas, yaitu meliputi keadaan di mana debitur melanggar (hal yang dilarang) dalam perjanjian, tidak
melaksanakan janji seperti yang tertuang dalam perjanjian, tidak melaksanakan janji sama sekali,
terlambat dalam menyelesaikan prestasi. Memang diperlukannya berbagai macam perbandingan-
perbandingan antara hukum positif di Indonesia dengan negara luar khususnya dengan sistem
hukum yang sama yaitu civil law, dalam hal ini diambil perbandingan dengan negara Belanda
untuk melihat sisi-sisi yang terdapat perbedaan antara hukum positif kedua negara ini, dalam hal
ini perbandingan dari ruang lingkup Wanprestasi antar kedua negara, yang dijelaskan sebagai
berikut:

a. Pernyataan lalai

Di Indonesia ketentuan tentang teguran atau pernyataan lalai tertuang dalam


Pasal 1238 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata . Arti kata “surat perintah”
dalam Pasal 1238 KUHPerdata adalah peringatan resmi dari juru sita pengadilan;
sedangkan yang dimaksud “akta sejenis itu” adalah peringatan tertulis. Menurut
pandangan Subekti17, peringatan atau teguran juga dimungkinkan dilakukan secara
lisan asal jelas menyatakan desakan untuk dilaksanakannya prestasi dengan
seketika atau dalam waktu yang singkat; namun bentuk tertulis dan tercatat akan
memudahkan pembuktian apabila dipungkiri oleh pihak yang lalai. Sedangkan
menurut Hukum Belanda baik secara formal legal (Article 6:82 par 1 CCN) maupun
doktrin (Ams Advocaten) mengatur bahwa pernyataan lalai harus diberikan melalui
dokumen tertulis, apapun bentuknya (melalui symbol-simbol, isi, tulisan tangan,
computer, fax, printer, cetakan).

16
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa 2010)., hlm. 45.
17
Subekti, Op.cit., hal. 46.
Di Indonesia, berdasarkan Pasal 1270 KUHPerdata keadaan di mana suatu
pernyataan lalai tidak perlu menyertakan jangka waktu, dimungkinkan apabila ada
suatu keadaan di mana bisa dikatakan telah ada jangka waktu bagi pihak yang
berkewajiban memberikan prestasi serta kondisi di mana tidak diperlukan
pernyataan lalai secara implisit di atur dalam Pasal 1238 ayat (1) dan 1242
KUHPerdata. Hasil kajian juga menunjukkan persamaan pengaturan mengenai
kondisi di mana samasekali tidak diperlukan pernyataan lalai. Di Belanda kondisi-
kondisi di mana tidak diperlukannya pernyataan lalai diatur dalam “default without
a letter of formal notice to perform or an alternative announcement” sebagaimana
ditetapkan dalam Article 6: 83 CCN18 sebagai berikut:

a. Para pihak telah menyepakati dalam suatu pasal tentang jangka waktu
kewajiban harus dilakukan, dan jangka waktu tersebut terlampaui tanpa
adanya pelaksanaan kewajiban oleh debitur (lewatnya jangka waktu);

b. Kewajiban timbul dari wanprestasi atau perbuatan melawan hukum atau


berhubungan dengan pengembalian kerugian;

c. Kewajiban belum dilaksanakan dan kreditur dapat menyimpulkan dari


komunikasinya dengan debitur bahwa debitur akan gagal memenuhi
kewajiban.

b. Beban Pembuktian

Di Belanda, pihak yang harus membuktikan adanya kegagalan dalam


pelaksanaan prestasi adalah kreditur; di lain pihak debitur yang ingin menangkis
tuduhan wanprestasi dan menganggap bahwa ia tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas kegagalan ini, ia harus melakukan pembuktian bahwa
ia tidak dapat dipertanggung jawabkan atas kegagalan yang dituduhkan pada
dirinya. Pengaturan ini secara tegas terdapat dalam Article 6:75 CCN 19 tentang
“Legal excuse for a nonperformance (force majeure).” Doktrin di Belanda (Hans

18
CCN, Article 6: 83
19
CCN, Article 6:75: A non-performance cannot be attributed to the debtor if he is not to blame for it nor
accountable for it by virtue of law, a juridical act or generally accepted principles (common opinion).
Nieuwenhuis) membedakan distribusi beban pembuktian antara kontrak untuk hasil
tertentu dan kontrak untuk usaha tertentu.20 Dalam kontrak untuk hasil tertentu,
kreditur hanya perlu menunjukkan dan membuktikan adanya kontrak dan kemudian
menunjukkan bahwa kewajiban tersebut dalam kontrak belum direalisasikan.

Sedangkan pihak yang wanprestasi hanya dapat terbebas dari tanggung


jawab dengan membuktikan bahwa ia tidak dapat bertanggung jawab atas
wanprestasi dari kewajibannya karena ada force majeure. Berbeda dengan Belanda
di mana doktrin (Hans Nieuwenhuis) memberikan ketentuan tentang beban
pembuktian; di Indonesia, KUHPerdata tidak memuat aturan formal demikian juga
tidak ditemukan doktrin yang secara tegas mengatur beban pembuktian adanya
wanprestasi, menurut pandangan penulis bahwa pihak yang memiliki beban
pembuktian karena adanya wanprestasi adalah pada pihak yang mengalami
kerugian, hal ini disimpulkan berdasarkan pengaturan Pasal 1244 KUHPerdata
yang menjelaskan bahwa debitur dapat terhindar dari hukuman membayar ganti
rugian akibat wanprestasi apabila dia dapat membuktikan bahwa tidak
dilaksanakannya perikatan adalah akibat adanya suatu keadaan yang tidak dapat
diduga dan tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya (keadaan memaksa).

c. Akibat Hukum Wanprestasi Debitur

Konsekuensi utama dari wanprestasi adalah membayar kompensasi atas


kerugian. Doktrin di Belanda (Ams Advocaten) menyatakan bahwa hal ini dapat
dilakukan segera setelah debitur dinyatakan gagal atau wanprestasi. 21 Kewajiban
memberikan ganti kerugian ini terjadi dalam hal wanprestasi terhadap janji-janji
baik yang dinyatakan secara tegas (express contract) ataupun janji secara diam-
diam (implied contract). Dalam Article 6: 74 CCN part 158 tentang ”Requirements
for a compensation for damages” diatur bahwa setiap ketidaksempurnaan dalam
pemenuhan kewajiban merupakan wanprestasi debitur dan karenanya dia
bertanggung jawab atas kerugian yang dialami kreditur sebagai akibat tidak
dilaksanakannya perstasi, kecuali jika tidak dilaksanakannya prestasi tidak dapat

20
Rosa Agustina, Suharnoko, Hans Nieuwenhuis, Jaap Hijma, Op.cit., hal. 169.
21
Rosa Agustina, Suharnoko, Hans Nieuwenhuis, Jaap Hijma, Op.cit., hal. 178.
dipersalahkan kepada debitur. Sedangkan di Indonesia menyatakan akibat hukum
yang pertama adalah kewajiban membayar kerugian yang diderita kreditur
sebagaimana dalam KUHPerdata Pasal 1243 dengan tegas memuat akibat hukum
dari adanya wanprestasi, yaitu kewajiban memberikan ganti kerugian.

Konsekuensi wanprestasi kedua adalah pergeseran resiko dari kreditur ke


debitur. Di Belanda mengenai pergeseran resiko diatur dalam Article 6:84 CCN 22
tentang “Impossibility to perform during the time the debtor is in default”. Ketika
debitur gagal, setiap peristiwa yang terjadi yang membuatnya tidak mungkin untuk
melakukan sesuai dengan kewajibannya dan yang tidak dapat diatribusikan kepada
kreditor, akan dapat diatribusikan kepada debitur; debitur harus mengkompensasi
kerugian yang telah ditimbulkan sebagai akibatnya, kecuali kreditur akan
mengalami kerusakan ini juga ketika kewajiban itu akan dilakukan dengan benar
dan tepat waktu. Sedangkan di Indonesia ketentuan yang mengatur mengenai
pergeseran resiko, terdapat dalam Pasal 1237 KUHPerdata namun hanya ditujukan
untuk perikatan dengan kewajiban untuk memberikan sesuatu (to give); yaitu risiko
atas kebendaan yang akan diserahkan berada di pihak kreditur sejak perikatan
dilahirkan. Kepada debitur dibebankan kewajiban untuk memelihara kebendaan
tersebut dengan baik hingga saat penyerahan, jika kewajiban ini tidak dilaksanakan,
maka resiko beralih kepada debitur.

Resiko dalam pengaturan Pasal 1237 KUHPerdata hanya mengatur resiko


atas kebendaan yang harus diserahkan oleh debitur kepada kreditur. Sedangkan
pengaturan resiko dalam CCN ditujukan untuk keadaan di mana debitur gagal,
maka setiap peristiwa yang terjadi yang membuatnya tidak mungkin untuk
melakukan sesuai dengan kewajibannya dan yang tidak dapat diatribusikan kepada
kreditor, akan dapat diatribusikan kepada debitur; debitur harus mengkompensasi
kerusakan yang telah ditimbulkan sebagai akibatnya, kecuali bila kreditor tetap

22
CCN, Article 6:84: When the debtor is in default, every occurring event that makes it impossible for him to
perform in conformity with his obligation and that is not attributable to the creditor, will be attributable to the
debtor; the debtor has to compensate the damage that has been caused as a result, unless the creditor would
have suffered this damage also when the obligation would have been performed properly and in time.
akan menderita kerugian ini juga meskipun kewajiban itu akan dilakukan dengan
benar dan tepat waktu.

d. Hak dan Upaya Kreditur Menuntut Pemenuhan Prestasi

Hak utama kreditur adalah hak atas pemenuhan prestasi (dari debitur). Di
Belanda, berdasarkan Article 3: 296 CCN tentang “Legal action to claim specific
performance,” pengadilan bisa memerintahkan agar debitur memberikan
penggantian dalam bentuk specific performance. Specific performance adalah
pelaksanaan kewajiban yang timbul akibat adanya keputusan pengadilan yang
memerintahkan pelaksanaan prestasi seperti yang tertuang dalam kontrak (a Dutch
Court order requiring performance exactly as specified in the contract). Dan untuk
prestasi melakukan sesuatu, dalam hal seseorang gagal melakukan hal yang
menjadi kewajibannya, atas permintaan pihak yang berhak atas prestasi tersebut,
pengadilan dapat memberi wewenang kepadanya untuk melaksanakan sendiri apa
yang menjadi haknya tersebut asalkan dilakukan dengan baik. Demikian juga bila
sesorang yang berkewajiban untuk tidak berbuat sesuatu, pengadilan dapat
memberikan kewenangan pada pihak yang berhak untuk meniadakan apa yang
seharusnya tidak boleh dilakukan. Segala biaya yang timbul untuk melakukan atau
meniadakan apa yang dilakukan berlawanan dengan kewajibannya dibebankan
pada pihak yang telah melakukan wanpresasi. Sedangkan Indonesia, Pasal 1239
KUHPerdata yang mengatur perjanjian berbuat sesuatu (to do) langsung menunjuk
pada upaya hukum yang dapat dilakukan oleh kreditor atas wanprestasi pihak
debitor, tetapi sama sekali tidak menjelaskan apakah kreditor masih memiliki hak
untuk tetap meminta debitor melaksanakan sesuatu sebagaimana telah dijanjikan.

Dalam hal perbuatan atau jasa dapat dilaksanakan oleh siapa saja yang
memiliki kemampuan dan atau keahlian yang serupa dengan hasil yang sesuai atau
setidaknya serupa, mirip atau padanan dengan yang diharapkan oleh kreditor; maka
berdasarkan Pasal 1241 KUHPerdata kreditor dapat tetap memperoleh pelaksanaan
perikatan meskipun dilakukan secara tidak langsung melalui pihak ketiga atas
beban debitor.23 Berdasarkan Pasal 1242 KUHPerdata, untuk perikatan berbuat
sesuatu, hal yang mutlak harus diberikan oleh debitur akibat melakukan hal yang
tidak dibolehkan/dilarang dalam perjanjian adalah memberikan ganti rugi. Namun
berdasarkan Pasal 1240 dan 1241 KUHPerdata ada bentuk penyelesaian lain atas
kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu, yaitu dengan cara memerintahkan
debitor untuk menghapus kembali segala sesuatu yang telah dibuat secara
bertentangan dengan kewajibannya. Bahkan bila debitor tidak bersedia, kreditor
dapat, atas kuasa hakim untuk menyuruh pihak lain menghapuskan dan atau
melaksanakan sendiri penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat secara
bertentangan dengan kewajibannya.

Hasil kajian menunjukkan bahwa ada perbedaan siknifikan dalam


pengaturan pelaksanaan perjanjian untuk memberikan sesuatu (to give). Menurut
hukum Belanda, Article 3:297 CCN tentang “Consequence of a court decision to
carry out a specific performance” memungkinkan dan mengakui penyerahan secara
nyata disertai pengalihan kepemilikan. Dalam hukum Belanda keputusan
pengadilan memiliki efek hukum yang sama seperti halnya penyerahan sukarela
oleh debitur sendiri. Petugas pengadilan akan mengambil kepemilikan atas barang
dan akan menyerahkannya pada kreditur. Dengan demikian pelaksanaan sukarela
debitur digantikan oleh pelaksanaan hukuman hakim. Di Indonesia, bagi perikatan
untuk menyerahkan sesuatu (to give), tidak ditemukan pengaturan dalam
KUHPerdata, apakah dalam hal wanprestasi dapat dituntut pelaksanaan prestasi
menyerahkan barang yang dijanjikan. Mekanisme hukum yang berlaku sangat sulit
untuk memaksa debitur memenuhi perikatannya, jika dia tidak berkehendak
melaksanakannya sendiri. Pengadilan tidak mungkin untuk memaksa debitur yang
tidak berkeinginan melakukan prestasi menyerahkan kebendaan untuk
melaksanakannya di hadapan pengadilan.

e. Hak dan Upaya Kreditur Menuntut Kompensasi

23
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit, hlm. 65-66
Pengaturan kompensasi akibat wanprestasi di Indonesia secara umum diatur
dalam Pasal 1244 KUHPerdata, kreditur berhak menuntut debitur yang
wanprestasi untuk membayar ganti kerugian kepadanya. Demikian juga,
berdasarkan Pasal 1236 KUHPerdata kreditur berhak atas kompensasi dalam hal
debitur tidak dapat menyerahkan barang sesuai yang diperjanjikan atau telah tidak
merawatnya dengan baik. Demikian juga krediturpun berhak menuntut kompensasi
dalam hal apa debitur tidak melaksanakan prestasi dan atau melakukan hal yang
dilarang dalam perjanjian; demikian diatur dalam Pasal 1239 KUHPerdata . Hak
atas penggantian biaya, rugi dan Bungan juga diatur dalam Pasal 1242
KUHPerdata. Di Belanda, keterlambatan melaksanakan prestasi, dalam Article
6:85 CCN tentang “Compensation for damage caused by a delay” diatur bahwa
kerugian akibat terlambatnya pelaksanaan kewajiban yang harus diganti oleh
debitur adalah kerugian yang timbul sepanjang debitur dalam keadaan tidak
melaksanakan prestasi. Di Belanda, kreditur berhak menggabungkan tuntutan
pelaksanaan prestasi dengan tuntutan pemberian kompensasi; atau kreditur dapat
memilih tuntutan pemenuhan prestasi yang dijanjikan saja, atau hanya tuntutan
kompensasi saja. Kreditur harus menyampaikan secara tertulis mengenai upaya
hukum apa yang hendak digunakan kepada debitur. Pengaturan tentang kompensasi
ini terdapat dalam Article 6:87 par 1 CCN tentang “Alternative compensation for
damages”. Berdasarkan Article tersebut, jika kreditur telah menyatakan secara
tertulis bahwa sebagai ganti kewajiban yang seharusnya dilaksanakan, dia
menghendaki pembayaran kerugian, maka kewajiban debitur yang tidak
dilaksanakan itu dikonversi menjadi kewajiban membayar kerugian (an obligation
to pay for alternative damages) kecuali jika kewajiban asalnya (original
performance) tidak mungkin lagi dilaksanakan.

Brerdasarkan Article 6: 88 par 2 CCN , jika kreditur, dalam jangka waktu


yang ditetapkan oleh debitur, menyatakan bahwa dia menghendaki
dilaksanakannya kewajiban asli, namun dalam jangka waktu yang ditetapkan
debitur gagal memenuhi apa yang dikehendaki kreditur, maka kreditur dapat
kembali menggunakan semua solusi hukum. Di Indonesia, hak kreditur untuk dapat
memilih antara penuntutan pelaksanaan prestasi atau penuntutan kerugian atau
kedua-duanya terdapat dalam Pasal 1267 KUHPerdata. Dan tentunya berbeda
sekali dengan CCN yang mana mengatur kewajiban kreditur untuk memberitahu
debitur tentang apa yang dikehendakinya, apakah kompensasi atau pelaksanaan
prestasi semata-mata ataukah gabungan keduanya; KUHPerdata Pasal 1267 tidak
mengatur hal tersebut.

C. Penutup

A. Simpulan

Berdasarkan hasil perbandingan, dalam beberapa hal, pengaturan wanprestaasi dalam CCN
sama dengan KUHPerdata, yaitu tentang: pengaturan pernyataan lalai dan pengaturan pelaksanaan
prestasi setelah ada pernyataan gagal; pengaturan tentang akibat hukum wanprestasi; pengaturan
tentang hakhak dan upaya-upaya hukum kreditur terhadap debitur yang melakukan wanprestasi.
Namun dalam beberapa hal, terdapat perbedaan, yaitu tentang: kondisi-kondisi di mana tidak
diperlukan pernyataan lalai; tentang kondisi di mana pernyataan lalai tidak perlu memuat jangka
waktu dan tentang bentuk pernyataan lalai; tentang beban pembuktian wanprestasi; tentang
prasyarat agar debitur dapat ”menghapus kegagalannya”; tentang pengaturan resiko; tentang hak
kreditur menuntut pelaksanaan prestasi menyerahkan barang; tentang hak kreditur menundaan
pelaksanaan prestasi (withhold performance).

B. Rekomendasi
Berdasarkan simpulan, diberikan rekomendasi-rekomendasi yang mungkin berguna bagi
pembaharuan hukum perikatan nasional, yaitu untuk memuat pengaturan tentang:

 Beban pembuktian adanya wanprestasi;


 Resiko untuk keadaan di mana debitur wanprestasi;
 Hak kreditur dalam hal ada wanprestasi untuk menuntut: pelaksanaan prestasi
menyerahkan barang yang dijanjikan dan hak untuk menunda pelaksanaan prestasinya,
serta pengaturan pengecualian hak kreditur untuk membatalkan perjanjian bila kesalahan
debitur bukan hal yang berarti;
 Kewajiban kreditur untuk: segera menyatakan keberatannya terhadap pelaksanaan
kewajiban debitur yang tidak sempurna setelah dia mengetahui atau selayaknya
mengetahui ketidak sempurnaan tersebut; kewajiban untuk menyatakan secara tertulis,
apakah kreditur menghendaki pembayaran kerugian ataukah menghendaki pelaksanaan
prestasi;
 Kewajiban debitur untuk: memastikan bahwa setelah pemutusan kontrak dia mampu
mengembalikan apa yang telah diterima; kewajiban untuk lebih dahulu menawarkan
kompensasi biaya keterlambatan dan kerusakan/kerugian tambahan sebagai syarat dapat
”menghapus kegagalannya”; kewajiban untuk memberikan kompensasi dalam hal tidak
memungkin pengembalian kepada keadaan seperti semula (sebelum wanprestasi terjadi).
Daftar Pustaka
Abdul Kadir Muhammad. Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992.
Ams Advocaten, “Breach of contract”, diakses dari http://www.amsadvocaten.com/practice-
areas/law-of-obligations-and-contract-law/breach-of-contract/
Blenheim Advocaten - Mark van Weeren, “Breach of Contract In Dutch Law”, diakses dari
http://www.blenheim.nl/blogs/ 1014/breach-contract-Dutchattorney
Blenheim Advocaten, “Breach of Contract under Dutch Law “, Dutch Lawyer and Business
Contract Review, diakses dari http://www.blenheim.nl/blogs/ 800/dutch-contract-reviewlawyer)
Busch, Danny. The Principles of European Contract Law and Dutch Law: A Commentary, Vol. 1
(Nijmegen: Kluwer International, 2002. Diakses dari https://books.google.co.id/boo
ks?isbn=9041117490
Cohen, Morris L, Kent C. Olson. Legal Research in A Nutshell. United States of America:
Thomson West, 2003.
Creswell, John W. Research Design qualitative & Quantitative Approaches. California: SAGE
Publications, Inc., 1994.
Darmabrata, Wahyono. Perbadingan Hukum Perdata. Jakarta: Gitama Jaya, 2006.
Gutteridge, H.C. Comparative Law: An Introduction the Comparative Method of Legal Study and
Research. Cambridge: Cambride at University Press –CUP Archive, 2015. Diakses dari
https://books.google.co.id/books?id=5nI3AAAAIAAJ&dq=Gutteridge,+Comparative+Law:+A+
Introduction+the+Comparative+Method+of+Legal+Study+and+Research&hl=id&source=gbs_a
vlinks_s
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Perikatan Pada Umumnya. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2003
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Hukum Kontrak,”
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan HAM RI, 2013.
Prodjodikoro, Wirjono. Azaz-Azas Hukum Perjanjian. Bandung: Mandar Maju, 2011.
Civil Code of the Netherlands Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Anda mungkin juga menyukai