Anda di halaman 1dari 51

EVALUASI PEMBELAJARAN

BAB I

Konsep Dasar Pengukuran, Penilaian, Evaluasi


Pembelajaran

A. Konsep Pengukuran

Pengukuran dalam bahasa Inggris dikenal


dengan kata measurement yang diartikan sebagai
kegiatan yang dilakukan untuk mengukur sesuatu,
yakni membandingkan sesuatu dengan
kriteria/ukuran tertentu atau proses pemasangan
fakta-fakta suatu obyek ukur dengan satuan-
satuan ukuran tertentu. Sejalan dengan pendapat
di atas, Djaali & Pudji Muljono (2007: 17)
mengatakan bahwa pengukuran bisa diartikan
sebagai proses memasangkan fakta- fakta suatu
objek dengan fakta-fakta satuan tertentu.
Sedangkan menurut Endang Purwanti (2008:4)
pengukuran dapat diartikan sebagai kegiatan atau
upaya yang dilakukan untuk memberikan angka-
angka pada suatu gejala atau peristiwa, atau
benda, sehingga Pemberian angka dilakukan
kepada suatu atribut atau karakter tertentu yang
dimiliki oleh orang, hal, atau objek tertentu
menurut aturan atau formulasi yang jelas.
Pemberian angka menunjukan pemberian makna
secara kuantitatif kepada objek ukur. Dengan
demikian, dapat dikatakan pengukuran adalah
suatu proses untuk menentukan kuantitas dari
suatu obyek.

Pada hakekatnya mengukur adalah


memberikan angka pada fakta yang diukur yang
diwujudkan dalam bentuk simbol angka atau
bilangan yang ditujukan kepada sesuatu atau
objek yang diukur. Penentuan angka ini
merupakan usaha untuk menggambarkan
karakteristik suatu obyek dari kemampuan
seseorang dalam bidang tertentu yang dinyatakan
dengan angka. Pengukuran juga dapat dilakukan
dengan alat non tes seperti angket, observasi, dan
beberapa teknik penilaian non tes lainnya sesuai
dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan
dan kemudian hasilnya dikuantifikasikan didalam
pengukuran ada proses pensekoran (scoring),
yaitu proses memberikan angka terhadap jawaban
tes yang diberikan oleh siswa, atau terhadap
jawaban instrument. Jadi scoring merupakan
proses pemberian angka pada hasil jawaban siswa
atas sejumlah pertanyaan yang diajukan oleh
guru, baik secara per item maupun secara
keseluruhan. Skor total adalah angka yang
diperoleh siswa dengan menjumlahkan angka-
angka bagi setiap butir (item) yang telah dijawab
benar oleh siswa.

Misalnya sebuah tes essay terdiri dari 5 item soal


dengan bobot masing-masing 10, sehingga skor
maksimal idealnya jika semua item soal dijawab
dengan benar adalah 50. Kemudian hasil tes
seorang siswa menunjukkan skor sebagai berikut:

Nomor 1 memperoleh skor 8

Nomor 2 memperoleh skor 7

Nomor 3 memperoleh skor 5

Nomor 4 memperoleh skor 10

Nomor 5 memperoleh skor 6


Maka skor total siswa tersebut adalah = 8 + 7 + 5
+ 10 + 6 = 36 Kemudian untuk mengubahnya
menjadi nilai, maka skor total tersebut

dibandingkan dengan skor maksimal idealnya 50,


maka perhitungannya:

36 X 100 = 72
50
Angka 72 ini sebenarnya menunjukkan tingkat
prosentase penguasaan siswa terhadap materi
pembelajaran sebesar 72%, Adapun untuk
menentukan kategori baik buruknya tergantung
pada standar penilaian yang digunakan.

Pemberian skor dibedakan berdasarkan teknik


evaluasinya. Jika mengacu pada kompetensi inti
dalam kurikulum 2013, ada 4 KI yang harus
dinilai oleh guru dari siswa sebagai hasil belajar,
tetapi pada intinya teknik evaluasi tersebut
dibedakan antara tes dan non tes.

B. Konsep Penilaian

Penilaian dalam bahasa Inggris dikenal


dengan kata assessment yang diartikan menilai
sesuatu atau dapat diartikan sebagai proses
menentukan nilai suatu objek. Menurut Seng dkk.
yang dikutip oleh Komarudin, penilaian adalah
semua bentuk pengumpulan informasi oleh guru,
kemudian dianalisis, disintesiskan,
diinterpretasikan, dan digunakan dalam kelas
untuk mengambil suatu keputusan (2016: 29).
Dengan demikian, dari beberapa pengertian di
atas dapat disimpulkan bahwa penilaian
mempunyai arti yang lebih luas dari pada
pengukuran, karena pengukuran merupakan
langkah awal yang perlu diambil dalamrangka
pelaksanaan penilaian dan evaluasi pembelajaran.

Penilaian dilakukan setelah guru


melakukan kegiatan pengukuran, yaitu kegiatan
pemberian skor terhadap jawaban siswa atas soal-
soal yang diberikan oleh guru dalam sebuah tes.
Kemudian skor yang diperoleh siswa tersebut
ditafsirkan dalam bentuk nilai dengan kriteria
tertentu yang sudah ditetapkan. Oleh karena itu,
penilaian dilakukan setelah melakukan
pengukuran dan untuk menentukan nilai suatu
objek dibutuhkan adanya kriteria, sehingga
sesuatu itu dapat dikatakan baik atau buruk,
pandai atau bodoh, tinggi atau rendah, dan
beberapa kriteria lainnya. Dalam proses penilaian,
ada dua acuan standar yang dapat digunakan,
yaitu Penilaian Acuan Patokan (criterion
reference) dan Penilaian Acuan Normatif (norm
reference). PAN atau yang sering disebut dengan
norma absolut adalah penilaian yang diberikan
terhadap hasil belajar siswa.

berdasarkan skor yang diperolehnya


dibandingkan dengan skor yang dijadikan acuan
oleh guru. Sedangkan PAN atau yang sering
disebut dengan norma relative adalah penialian
yang diberikan terhadap hasil belajar siswa
berdasarkan skor yang diperoleh siswa pada kelas
atau kelompok tersebut, sehingganilai rata-rata
kelas akan sangat mempengaruhi kriteria nilai
yang ditetapkan. Dengan menggunakan PAP,
kurva nilai kemungkinan menunjukan tiga model,
yaitu kurva normal, juling ke kiri jika nilainya
mayoritas kecil, dan juling ke kanan jika
mayoritas nilainya besar. Sedangkan dengan
menggunakan PAN maka kurva nilai akan selalu
normal, karena seberapa kecilnya pun nilai siswa
jika paling tinggi di kelas itu maka akan
tetapmendapatkan nilai A.

C. Konsep Evaluasi

Secara etimologi, evaluasi berasal dari


bahasa Inggris dengan akar kata“value” yang
berarti nilai atau harga. Sedangkan secara
terminologi, evaluasi didefinisikan secara
beragam oleh para ahli sebagaimana berikut ini.
Menurut Gronlund evaluasi dapat didefinisikan
sebagai proses sistematis untuk menentukan
sejauhmana tujuan pembelajaran telah tercapai
oleh siswa. Sedangkan Gay (2000:6) menyatakan
bahwa evaluasi adalah proses sistematis
dalam mengumpulkan dan menganalisis data
untuk menentukan apakah dan sejauh mana
tujuan telah atau sedang dicapai. Senada dengan
pendapat tersebut, Ja’ali dan Pudji Muljono
(2007:15) mengemukakan bahwa Evaluasi adalah
proses menilai sesuatu berdasarkankriteria atau
tujuan yang telah ditetapkan yang selanjutnya
diikuti dengan pengambilan keputusan atas obyek
yang dievaluasi.
Dari beberapa pendapat di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah suatu
proses yang sistematis dalam mengumpulkan data
tentang hasil belajar sebagai dasar dalam
pengambilan keputusan dengan cara
membandingkan antara tujuan yang diharapkan
dengan hasil yang telah dicapai, apakah sudah
berhasil atau belum berhasil Hubungan antara
pengukuran, penilaian, dan evaluasi dalam
pembelajaran Berdasarkan penjelasan dari ketiga
istilah tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

antara ketiga istilah pengukuran, penilaian, dan


evaluasi memiliki keterkaitan satu sama lain, di
mana pengukuran dan penilaian merupakan suatu
rangkaian dari kegiatan evaluasi pendidikan atau
dengan kata lain bahwa kegiatan evaluasi tidak
mungkin dapat dilakukan tanpa didukung dengan
data yang diperoleh melaui kegiatan pengukuran
dan penilaian. Hubungan di antara ketiga kegiatan
tersebut dapat dijelaskan pada gambar berikut:

Berdasarkan gambar di atas, dapat


dijelaskan bahwa langkah pertama dalam
kegiatan evaluasi pendidikan adalah pengukuran
terhadap hasil belajar siswa dari aspek kognitif,
afektif, maupun psikomotorik dengan
menggunakan tes dan non tes, sehingga diperoleh
skor dengan angka 1-100. Berdasarkan skor yang
diperoleh siswa tersebut, guru
kemudianmengadakan penilaian dengan cara
membandingkan skor yang diperoleh siswa
dengan standar yang digunakan oleh guru,
sehingga dapat ditentukan nilai siswa tersebut
dengan kategori sangat baik (A), baik (B), cukup
(C), kurang (D), atau buruk/gagal (E).
Berdasarkan data dari nilai di atas, kemudian
guru menganalisis berapa persen siswa yang
memperoleh nilai A, B, C, D, atau E untuk
dibandingkan dengan target tingkat ketercapaian
yang sudah ditetapkan berdasarkan Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM), sehingga dapat
diputuskan apakah proses pembelajaran berhasil
atau tidak, jika belum berhasil bagian mana yang
harus diperbaiki untuk proses pembelajaran
berikutnya

D. Tujuan dan Fungi Evaluasi Pembelajaran

Tujuan evaluasi pembelajaran :

1. Untuk menghimpun bahan-bahan


keterangan, sebagai bukti mengenai taraf
perkembangan atau kemajuan yang
dialami siswa setelah mengikuti
pembelajaran dalam waktu tertentu.
2. Untuk mengetahui tingkat efektifitas dari
metode-metode pengajaran yang telah
dipergunakan dalam proses pembelajaran
dalam jangka waktu tertentu
3. Memotivasi siswa untuk memperbaiki dan
meningkatkan prestasinya
4. Untuk mencari dan menemukan faktor-
faktor penyebab keberhasilan dan ketidak
berhasilan peserta didik.

Fungsi Evaluasi Pembelajaran


1. Fungsi instruksional
Dengan evaluasi formatifnya, hasil
evaluasi dapat berfungsisebagai umpan
balik (feedback) bagi siswa untuk
memperbaiki prosesbelajarnya, dan juga
umpan balik bagi guru untuk memperbaiki
proses mengajarnya.
2. Fungsi administrative
Hasil evaluasi pembelajaran dapat
berfungsi sebagai bahan pemberian
laporan kepada orang tua atau pihak-pihak
yang berkepentingan. Selain itu hasil
evaluasi pembelajaran juga dapat menjadi
dasar bagi kenaikan kelas, pemilihan
siswa berprestasi, pemilihan siswa untuk
mengikuti program tertentu, atau sebagai
dasar untuk melanjutkan ke jenjang
Pendidikan yang tinggi.
3. Fungsi diagnostic
Hasil evaluasi memiliki fungsi
diagnostik, yaitu mengidentifikasi
masalah atau kesulitan yang dialami siswa
dan sekaligus berfungsi untuk
merencanakan tindak lanjut berupa upaya-
upaya pemecahan masalah sesuai dengan
masalah atau kesulitan yang telah
teridentifikasi.

Prinsip-prinsip Evaluasi Pembelajaran

Dalam melakukan evaluasi pendidikan,


ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan
sehingga fungsi dan tujuan pelaksanaan evaluasi
pendidikan dapat tercapai. Di antara prisip-
prinsip evaluasi pendidikan tersebut adalah:

1. Obyektivitas (objectivity)

Prinsip objektivitas maksudnya bahwa


dalam evaluasi pendidikan hasilnya harus
didasarkan pada kemampuan siswa secara
objektif, sehingga guru tidak boleh melibatkan
perasaan atau faktor lain dalam menilai siswa.
Prinisp ini mudah diimplementasikan dalam
penilaian yang menggunakan bentuk soal
objektif, yaitu pilihan ganda, benar salah,
menjodohkan, melengkapi, atau jawaban
pendek. Tetapi dalam bentuk soal essay, prinsip
ini kadang-kadang dilanggar oleh guru. Dalam
hal ini, jika soal menuntut siswa berpendapat
seharusnya guru menilai argumennya.

2. Komprehensif (comprehensive)

Prinsip komprehensif maksudnya bahwa


penilaian harus dilakukan secara menyeluruh
terhadap seluruh aspek siswa, sehingga obyek
penilaian bukan hanya terhadap aspek kognitif,
tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik.
Implementasi dari prinsip ini bahwa dalam
penilaian guru harus menggunakan berbagai
teknik penilaian yang berbentuk tes dan non tes.

3. Transparansi (Transparency)

Prinisp transparansi maksudnya bahwa


penilaian harus dilakukan secara terbuka, baik
dalam proses peniaiannya maupun dalam
penyampaian hasil peniaiannya. Implementasi
dari prinsip ini bahwa guru seharusnya
menuliskan bobot pada masing-masing soal atau
masing-masig item penilaian, serta
menyampaikan hasil penilaian kepada siswa,
sehingga siswa tahu dimana kesalahan dari
jawabannya.

4. Koherensi (coherency)

Prinsip koherensi maksudnya bahwa dalam


proses penilaian harus memiliki kesesuaian antara
soal sebagai alat evaluasi dengan seluruh unsur
dalam proses pembelajaran, seperti tujuan
pembelajaran, materi pembelajaran, metode
pembelajaran, dan media pembelajaran.
Implementasi dari prinsip ini bahwa evaluasi
pembelajaran merupakan satu kesatuan dari
sistem pembelajaran, sehingga memiliki
keterkaitan dengan tujuan, materi, metode, media,
dan sumber pembelajaran.

5. Kontinyuitas (Continuity)

Prinsip kontinyuitas maksudnya bahwa


evaluasi pendidikan harus dilaksanakan secara
berkesinambungan, tidak insidentil, terencana,
dan sistematis. Implementasi dari prinsip ini
bahwa kegiatan penilaian harus dilakukan secara
terencana, baik dari segi waktu maupun aspek
penilaiannya.
6. Berkeadilan (Fairless)

Prinsip berkeadilan maksudnya bahwa dalam


pelaksanaan evaluasi pendidikan harus
mempertimbangkan keadilan terhadap siswa, baik
dalam menentukan siswa yang akan dievaluasi
maupun dalam menentukan cara melakukan
evaluasinya.

7. Diskriminabilitas (discriminability)

Prinsip diskriminabilitas maksudnya bahwa


hasil evaluasi harus dapat membedakan antara
siswa yang pintar dengan siswa yang bodoh, atau
antara siswa yang mampu dengan yang tidak
mampu menyerap materi. Salah satu contoh
penilaian yang tidak diskriminabel adalah siswa
yang pintar dan yang bodoh memiliki nilai yang
sama, karena gurunya malas untuk mengoreksi.

8. Akuntabilitas (accountability)

Prinsip akuntabilitas maksudnya bahwa hasil


evaluasi pendidikan harus dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya kepada
pihak-pihak yang berkepentingan atau stake
holders sebagai pengguna output pendidikan.
Salah satu contoh penilaian yang tidak akuntabel
adalah siswa yang memperoleh nilai tinggi tetapi
tidak memiliki kecapakapan atau kompetensi
yang menunjukkan kemampuannya.

9. Validitas (Validity)
Prinsip validitas maksudnya bahwa dalam
evaluasi pendidikan harus menggunakan alat
evaluasi tes maupun non tes yang valid atau
sahih. Valid atau sahih berarti bahwa alat evaluasi
tersebut mampu mengukur kemampuan siswa
sesuai dengan tujuan kita mengadakan
pengukuran. Ada beberapa karakteristik suatu tes
dikatakan valid, di antaranya soal yang diberikan
kepada siswa sesuai dengan materi yang sudah
diajarkan atau sesuai dengan tujuan yang sudah
dirumuskan. Prinsip berkeadilan maksudnya
bahwa dalam pelaksanaan evaluasi pendidikan
harus mempertimbangkan keadilan terhadap
siswa, baik dalam menentukan siswa yang akan
dievaluasi maupun dalam menentukan cara
melakukan evaluasinya.
10. Diskriminabilitas (discriminability)

Prinsip diskriminabilitas maksudnya bahwa


hasil evaluasi harus dapat membedakan antara
siswa yang pintar dengan siswa yang bodoh, atau
antara siswa yang mampu dengan yang tidak
mampu menyerap materi. Salah satu contoh
penilaian yang tidak diskriminabel adalah siswa
yang pintar dan yang bodoh memiliki nilai yang
sama, karena gurunya malas untuk mengoreksi.

11. Akuntabilitas (accountability)

Prinsip akuntabilitas maksudnya bahwa hasil


evaluasi pendidikan harus dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya kepada
pihak-pihak yang berkepentingan atau stake
holders sebagai pengguna output pendidikan.
Salah satu contoh penilaian yang tidak akuntabel
adalah siswa yang memperoleh nilai tinggi tetapi
tidak memiliki kecapakapan atau kompetensi
yang menunjukkan kemampuannya

12. Validitas (Validity)


Prinsip validitas maksudnya bahwa dalam
evaluasi pendidikan harus menggunakan alat
evaluasi tes maupun non tes yang valid atau
sahih. Valid atau sahih berarti bahwa alat evaluasi
tersebut mampu mengukur kemampuan siswa
sesuai dengan tujuan kita mengadakan
pengukuran. Ada beberapa karakteristik suatu tes
dikatakan valid, di antaranya soal yang diberikan
kepada siswa sesuai dengan materi yang sudah
diajarkan atau sesuai dengan tujuan yang sudah
dirumuskan.

13. Reliabilitas (Reliability)

Prinsip reliabilitas maksudnya bahwa hasil


evaluasi pendidikan harus reliabel atau
terpercaya, sehingga meskipun dilakukan berkali-
kali evaluasi hasilnya relatif sama.

Jenis-jenis Evaluasi Pembelajaran

1. Berdasarkan pendekatan

Ditinjau dari aspek pendekatannya, penilaian


dilaksanakan melalui tiga pendekatan, yaitu
assessment of learning (penilaian akhir
pembelajaran), assessment for learning (penilaian
untuk pembelajaran), dan assessment as learning
(penilaian sebagai pembelajaran). Assessment of
learning (penilaian terhadap pembelajaran)
merupakan penilaian yang dilaksanakan setelah
proses pembelajaran selesai. Penilaian ini
dimaksudkan untuk mengetahui tingkat
pencapaian hasil belajar dan sekaligus
mengetahui tingkat keberhasilan proses
pembelajaran yang telah dilakukan. Contoh
evaluasi dengan pendekatan ini adalah evaluasi
sumatif.

Assessment for learning (penilaian untuk


pembelajaran) merupakan penilaian yang
berfungsi untuk mendapatkan feedback bagi guru
tentang pembelajaran yang sedang dilakukannya,
sehingga dapat dilakukan perbaikan untuk proses
pembelajaran berikutnya. Contoh evaluasi dengan
pendekatan ini adalah evaluasi formatif.
Assessment as learning (penilaian sebagai
pembelajaran) merupakan penilaian yang
berfungsi untuk melakukan refleksi terhadap
proses pembelajaran yang sudah dilakukan.
Dalam asesmen ini siswa dilibatkan untuk
memberikan penilaian, sehingga dia mendapatkan
umpan balik tentang proses belajar yang sudah
dilakukannya dan sekaligus menjadi masukan
untuk perbaikan proses belajar berikutnya.
Contoh evaluasi dengan pendekatan ini adalah tes
dignostik atau pre test yang berfungsi sebagai tes
formatif.

2. Berdasarkan fungsi

Ditinjau dari aspek fungsinya, evaluasi terbagi


kepada beberapajenis, yaitu:

a. Evaluasi Formatif adalah evaluasi


pembelajaran yang dilaksanakan pada
setiap selesai mengajarkan satu atau dua
pokok bahasan tergantung pada alokasi
waktu dan panjang pendeknya materi pada
masing-masing pokok bahasan
b. Evaluasi Sumatif adalah evaluasi yang
dilaksanakan pada setiap akhir program
pendidikan, seperti akhir semester, akhir
tahun, atau akhir jenjang pendidikan SD,
SMP, SMA, atau perguruan tinggi.
Disebut sumatif, karena ruang lingkup
materi yang dievaluasi terdiri dari
kumpulan materi selama satu semester,
satu tahun, atau selama satu program
pendidikan pada jenjang tertentu.
c. Evaluasi Seleksi adalah evaluasi yang
dilaksanakan untuk memilih siswa sesuai
dengan tujuan tertentu, seperti tes seleksi
masuk sekolah, tes seleksi peserta lomba,
tes seleksi penerima beasiswa, tes seleksi
peserta PMDK, dan lain sebagainya sesuai
dengan tujuan melakukan tes seleksi
tersebut.
d. Evaluasi Penempatan adalah evaluasi
yang dilaksanakan untuk memilih siswa
yang akan ditempatkan pada program
tertentu, seperti tes seleksi untuk
penempatan jurusan, penempatan kelas
berdasarkan kesamaan minat dan
kemampuan, dan beberapa contohtes
penempatan lainnya.
e. Evaluasi diagnostik adalah evaluasi yang
dilaksanakan untuk mengidentifikasi
kesulitan-kesulitan belajar yag dihadapi
oleh siswa, sehingga dapa ditemukan
faktor-faktor penyebabnya dan sekaligus
bagaimana cara mengatasinya. Alat untuk
melakukan evaluasi diagnostik adalah tes.
Tes diagnostik adalah tes yang digunakan
untuk mengetahuikelemahan- kelemahan
siswa sehingga hasil tersebut dapat
digunakan sebagai dasar untuk
memberikan tindak lanjut berupa
perlakuan yang tepat dan sesuai dengan
kelemahan/masalah yang dimiliki siswa.

Karateristik tes diagnostik adalah menggunakan


soal-soal bentuk supply response sehingga
mampu menangkap informasi secara lengkap,
disertai dengan rancangan tindak lanjut
(pengobatan) sesuai dengan kesulitan (penyakit)
yang teridentifikasi. Bila mengunakan bentuk
selected response harus disertakan penjelasan
mengapa memilih jawaban tertentu sehingga
dapat meminimalisir jawabantebakan, dan dapat
ditentukan “penyakit” dan cara “mengobatinya”.

Berikut ini adalah contoh soal tes diagnostik

Dua buah benda A dan B dan C memiliki massa


berbeda, benda A lebih berat dibandingkan benda
B. B lebih berat dari pada C Bila ketiga benda
tersebut dijatuhkan secara bersamaan dari
ketinggian yang sama, maka:

benda A jatuh lebih dulu

benda B jatuh lebih dulu

benda C jatuh lebih dulu

benda A , B dan C jatuh secara bersamaanAlasan


memilih jawaban di atas.
BAB II

Subyek dan Sasaran Evaluasi

A. Subjek Evaluasi

Subjek evaluasi adalah orang yang


melakukan pekerjaan evaluasi. Siapa yang
disebut subjek evaluasi untuk setiap tes,
ditentukan oleh suatu aturan pembagian tugas
atau ketentuan yang berlaku. Sebagai contoh
adalah sebagai berikut:

a. Untuk melaksanakan evaluasi tentang


prestasi belajar atau pencapaian maka
sebagai subjek evaluasi adalah guru.
b. Untuk melaksanakan evaluasi sikap yang
mengutamakan sebuah skala maka sebagai
subjeknya dapat meminta petugas yang
ditunjuk, dengan didahului oleh suatu latihan
melaksanakan evaluasi tersebut.
c. Untuk melaksanakan evaluasi terhadap
kepribadian dimana menggunakan sebuah
alat ukur yang sudah distandarisasikan maka
subjeknya adalah ahli-ahli psikologi. Di
samping alatnya yang harus bersifat rahasia
maka subjek evaluasi haruslah seorang yang
betul-betul ahli karena jawaban dan tingkah
laku orang yang di tes harus diinterpretasikan
dengan cara tertentu.
Dalam keterangan ini, pelaksana evaluasi
dikategorikan sebagai subjek evaluasi. Ada
pandangan lain yang disebut subjek evaluasi
adalah siswa, yakni orang yang dievaluasi. Dalam
hal ini yang dipandang sebagai objek adalah mata
pelajarannya, misalnya: prestasi matematika,
kemampuan membaca, kecepatan lari, dan
sebagainya. Pandangan lain lagi
mengklasifikasikan siswa sebagai objek evaluasi
dan guru sebagai subjek evaluasi.
B. Objek Evaluasi

Yang dimaksud dengan sasaran atau objek


evaluasi pendidikan adalah segala sesuatu yang
bertalian dengan kegiatan atau proses pendidikan
yang dijadikan titik pusat perhatian atau
pengamatan karena pihak penilai ingin
memperoleh informasi tentang kegiatan atau
proses pendidikan tersebut. Pada waktu evaluator
ingin menilai berat badan siswa, maka yang
menjadi objek evaluasi adalah berat badan siswa,
sedangkan angka yang menunjukan berapa berat
badan siswadimaksud, misalnya 34 kilogram, 40
kilogram, dan sebagainya adalah hasil evaluasi.
Jika evaluator ingin menilai keterampilan siswa
dalam menggunakan thermometer, maka yang
menjadi objek evaluasi adalah benar tidaknya
gerakan tangan siswa ketika memegang alat,
bagaimana siswa meletakkan thermometer di
badan anak yang diukur suhunya, kemampuan
siswa untuk menentukan berapa lama
thermometer di letakkan di bagian badan,
kemudian juga kemampuan siswa dalam
membaca skala yang ada pada thermometer.
Gambaran tentang benar tidaknya menggunakan
thermometer adalah hasil evaluasi.

Agar diperoleh gambaran yang menyeluruh


tentang mutu dan kebenaran kinerja transformasi,
maka yang dijadikan objek evaluasi adalah semua
aspek yang terkait dengan kinerja transformasi,
yaitu: (1) masukan mentah, (2) masukan
instrumental, (3) masukan lingkungan, (4) proses
transformasi itu sendiri, dan (5) keluaran, yaitu
hasil dari transformasi.

1. Masukan Mentah sebagai Objek Evaluasi

Dalam transformasi pembelajaran, siswa bertugas


sebagi objek didik. Ahli-ahli pendidikan angkatan
lama berpendapat bahwa siswa adalah objek
pendidikan. Dalam kegiatan pendidikan siswa
adalah subjek yang aktif, bukan sekedar objek
pasif yang dapat diperlakukan dan diarahkan
menurut kehendak. Dalam berbicara tentang
objek evaluasi ini mungkin ada pembaca yang
terkacaukan pengertianya. Siswa yang dalam
proses pembelajaran berstatus sebagai subjek,
dalam evaluasi dia merupakan objek evaluasi,
karena dicermati untuk diketahui kinerja ketika
mengikuti pembelajaran. Sekali lagi jangan
keliru. Dalam proses pendidikan, siswa berstatus
sebagai subjek didik-siswa aktif belajar. Dalam
evaluais, kinerja siswa berstatus sebagai objek
evaluasi-kinerja siswa dicermati dan diperhatikan
oleh evaluator. Apabila evaluator merasa kurang
tepat atau masih menginginkan hal-hal yang
dievalusi, silahkan mendaftar lagi hal-hal yang
menurut kebutuhan. Beberapa hal yang perlu
dibicarakan dalam objek evalusi adalah: (a)
penilaian dalam KBK, dan (b) penilaian tiga
ranah psikologis.

a) Penialian dalam Kurikulum Berbasis


Kompetensi (KBK)

Sejalan dengan tuntutan kebijakan baru


tentang KBK yang mulai diujicobakan tahun
2001 di beberapa sekolah, dan direncanakan oleh
Depdiknas mulai diberlakukan tahun 2004, tentu
saja objek atau sasaran evaluasi menjadi lain.

Pengertian yang disebutkan dalam UU


tersebut masih terlalu luas dan perlu penjelasan
yang disampaikan secara sederhana. Secara
singkat dan mudah dimengerti bahwa kompetensi
adalah kemampuan. Definisi operasional yang
tepat dan rinci untuk kata “kompetensi” (lulusan
maupun keluaran sementara) sebetulnya susah
dirumuskan, tetapi lebih mudah dipahami. Wujud
dari pemilikan kompetensi seseorang dapat
diketahui dari kinerja orang tersebut ketika
menjawab pertanyaan atau melakukan sesuatu.

b) Penilaian Tiga Ranah Psikologis

Setiap kompetensi yang telah dipelajari oleh


siswa dalam proses pembelajaran harus dinilai
melalui penilaian otentik. Kompetensi yang
dinilai mencakup tiga ranah, yaitu ranah kognitif,
afektif dan psikomotorik. Dalam membuat
instrument penilaian yang akan dilakukan perlu
memperhatikan ranah atau domain pembelajaran,
apakah penilaian dilakukan untuk menganalisis
kemampuan berfikir, otak, akal, mental, atau
menganalisis kemampuan bersikap, berakhlak,
berperilaku, atau menganalisis kemampuan skill
atau kinerja. Benyamin S.Bloom
mengembangkan suatu metode pengklasifikasian
tujuan pendidikan yang disebut dengan taksonomi
(taxonomy). ia berpendapat bahwa taksonomi
tujuan pembelajaran harus senantiasa mengacu
kepada tiga jenis domain atau ranah, yaitu ranah
proses berfikir (kognitif); ranah nilai atau sikap
(afektif); dan ranah keterampilan(psikomotor).

1. Pengukuran Ranah Kognitif

Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup


kegiatanberfikir/akal/otak.Bloom
mengelompokkan ranah kognitif ke dalam enam
kategori dari yang sederhana sampai kepada yang
paling kompleks dan diasumsikan bersifat
hirarkis, yang berarti tujuan pada level yang
tinggi dapat dicapai apabila tujuan pada level
yang rendah telah dikuasai. Tingkat kompetensi
tersebut dapat dilihat pada gambar berikut
Gambar 5.1 Domain Kognitif Menurut Bloom

Tingkatan pengetahuan ialah kemampuan


mengingat kembali, misalnya, pengetahuan
mengenai istilah-istilah, pengetahuan mengenai
klasifikasi dan sejenisnya. Singkatnya dapat
dikatakan bahwa pengetahuan yang disimpan
dalam ingatan itu, dapat digali kembali pada saat
dibutuhkan melalui bentuk ingatan (recall) atau
mengingatkan kembali (recognition).

contoh: Siswa dapat mendeskripsikan Model


Pembelajaran Berbasis Masalah

Tingkatan pemahaman yaitu kemampuan


menggunakan informasi dalam situasi yang tepat,
mencakup kemampuan untuk membandingkan,
menunjukkan persamaan dan perbedaan,
mengidentifikasi karakteristik, menganalisis dan
menyimpulkan. Kata-kata operasional yang biasa
digunakan ialah: mengklasifikasi, menjelaskan,
mengikhtisarkan, membedakan dan yang sejenis.

contoh: Siswa mampu menjelaskan kelebihan dan


kelemahan metode ceramah dalam proses
pembelajaran.

Kata-kata operasional yang biasa digunakan


ialah: mendemonstrasikan, menghitung,
menyelesaikan, menyesuaikan, mengoperasikan,
menghubungkan, menyusun dan yang sejenis.

Contoh: Siswa dapat mengoperasikan software


program excel 2000, untuk menghitung central
tendency atas data yang terdapatpada tabel III,
tanpa kesalahan.

Tingkatan analisis yaitu mengenal kembali unsur-


unsur, hubungan-hubungan dan susunan
informasi atau masalah, misalnya: menganalisis
hubungan-hubungan meliputi kemampuan untuk
mengidentifikasi, memisahkan atau membedakan
komponen atau elemen suatu fakta, konsep,
pendapat, asumsi, hipotesis atau kesimpulan dan
memeriksa setiap komponen tersebut untuk
melihat ada tidaknya konstraksi. Kata-kata
operasional yang biasa digunakan ialah:
menemukan perbedaan, memisahkan, membuat
diagram, membuat estimasi, menjabarkan ke
dalam bagian-bagian, menyusun urutan dan yang
sejenis.

Contoh: Siswa dapat membuat perbedaan suatu


hasil matematika dengan menggunakan berbagai
cara penyelesaian.

Tingkatan sintesis yaitu mengkombinasikan


kembali bagian-bagian dari pengalaman yang lalu
dengan bahan yang baru menjadi suatu
keseluruhan yang baru dan terpadu, misalnya
membuat suatu rencana atau menyusun usulan
kegiatan dengan suatu kesatuan atau pola baru.
Kata-kata operasional yang biasa digunakan
ialah: menggabungkan, menciptakan,
merumuskan, merancang, membuat komposisi,
dan yang sejenis.
Contoh: Setelah menggunakan berbagai metode,
model, pendekatan dan strategi pembelajaran,
guru dapat merumuskan atau merangkum satu
metode mengajar yang baru dengan
meminimalisir kelemahan metode tersebut
melalui gabungan dari beberapa metode belajar.

Tingkatan evaluasi yaitu menggunakan kriteria


untuk mengukur nilai suatu gagasan, karya dan
sebagainya, Kata-kata operasional yang biasa
digunakan ialah: menimbang, mengkritik,
membandingkan, memberi alasan,
menyimpulkan, memberi dukungan, dan yang
sejenis.

Contoh: Setelah membaca karya al-Manfaluthi


dan karya Hamka dalam novelnya
‘Tenggelamnya Kapal Vanderwijk’, siswa dapat
mengemukakan sekurang-kurangnya 3 alasan
bahwa novel Hamka itu bukan plagiat.
Tingkat Kompetensi Contoh Kata Kerja
Operasional
Pengetahuan (Knowledge) Mengenali, mendeskripsikan,
menanamkan,
memasangkan, membuat daftar,
memilih.
Pemahaman Mengklasifikasi, menjelaskan,
(Comprehension)
mengikhtisarkan, membedakan
Penerapan (Aplication) Mendemonstrasikan,
menghitung,
menyelesaikan,
menyesuaikan,
mengoperasikan,
menghubungkan,
menyusun
Analisis (Analysis) Menemukan perbedaan,
memisahkan, membuat
diagram, membuat estimasi,
menjabarkan ke dalam
bagian-bagian,
Menyusun urutan
Sintesis (Synthesis) Menggabungkan, menciptakan,
merumuskan, merancang,
membuat komposisi
Evaluasi (Evaluation) Menimbang, mengkritik,
membandingkan, memberi
alasan, menyimpulkan, memberi
dukungan
Berbeda halnya dengan ranah afektif seperti yang
akan dibahas berikut ini, yang bentuk
pertanyaannya berbeda dengan ranah kognitif.
Untuk mengukur kognitif dapat dilakukan dengan
tes, yaitu: tes lisan di kelas, pilihan berganda,
uraian obyektif, uraian non obyektif, jawaban
singkat, menjodohkan, unjuk karya dan
portofolio.

2. Pengukuran Ranah Afektif

Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan


sikap dan nilai. Sikap adalah salah satu istilah
bidang psikologi yang berhubungan dengan
persepsi dan tingkah laku. Istilah sikap dalam
bahasa Inggris disebut attitude. Attitude adalah
suatu cara bereaksi terhadap suatu perangsang.
Sikap melibatkan beberapa pengetahuan tentang
situasi, namun aspek yang paling esensial dalam
sikap adalah adanya perasaan atau emosi,
kecenderungan terhadap perbuatan yang
berhubungan dengan pengetahuan. Sikap
melibatkan pengetahuan tentang situasi. Dalam
beberapa hal, sikap adalah penentuan yang paling
penting dalam tingkah laku manusia. Sebagai
reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua
alternatif senang dan tidak senang untuk
melaksanakan atau menjauhinya.

Pengertian sikap itu sendiri dapat


dipandang dariberbagai unsur yang terkait seperti
sikap dengan kepribadian, motif, tingkat
keyakinan, dan lain-lain. Namun dapat diambil
pengertian yang memiliki persamaan
karakteristik, dengan demikian sikap adalah
tingkah laku yang terkait dengan kesediaan untuk
merespon obyek sosial yang membawa dan
menuju ke tingkah laku yang nyata dari
seseorang. Ini berarti bahwa sikap itu dipengaruhi
oleh berbagai faktor yang ada pada diri masing-
masing seperti perbedaan bakat, minat,
pengalaman, pengetahuan, intensitasperasaan dan
juga situasi lingkungan.

Krathwohl, Bloom dan Masria


mengembangkan taksonomi ini yang berorientasi
kepada perasaan atau afektif. Taksonomi ini
menggambarkan proses seseorang di dalam
mengenali dan mengadopsi suatu nilai dan sikap
tertentu yang menjadi pedoman baginya dalam
bertingkah laku. Domain afektif, Krathwohl
membaginya atas lima kategori/ tingkatan yaitu;
Pengenalan (receiving), pemberian respon
(responding), penghargaan terhadap nilai
(valuing), pengorganisasian (organization) dan
pengamalan (characterization).

Gambar 5.2 Domain afektif Menurut Krathwohl dkk

Pembagian ini bersifat hierarkhis,


pengenalan tingkat yang paling rendah dan
pengamalan sebagai tingkat yang paling tinggi,
seseorang memiliki kompetensi pengamalan jika
sudah memiliki kompetensi pengenalan, pemberian
respon, penghargaan terhadap nilai
pengorganisasian. Pengenalan/penerimaan
mencakup kemampuan untuk mengenal, bersedia
menerima dan memperhatikan berbagai stimulasi.
Contoh kata kerja operasional pada tingkat ini
adalah mendengarkan, menghadiri, melihat dan
memperhatikan. Pemberian respon mencakup
kemampuan untuk berbuat sesuatu sebagai reaksi
terhadap suatu gagasan, benda atau sistem nilai,
lebih dari sekedar pengenalan. Dalam hal ini
mahasiswa diharapkan untuk menunjukkan prilaku
yang diminta,

Kata kerja operasionalnya adalah : memilih,


meyakinkan, bertindak dan mengemukakan
argumentasi. Kata kerja operasional pada tingkat
pengorganisasian adalah: memilih, memutuskan,
mem- formulasikan, membandingkan dan membuat
sistematisasi. Pengamalan (characterization)
berhubungan dengan pengorganisasian dan
pengintegrasian nilai-nilai kedalam suatu sistem
nilai pribadi.
RANAH AFEKTIF

Tingkatan Kompetensi : Contoh Kata Kerja


Operasional

Pengenalan : Mendengarkan, menghindari,


memperhatikan

Pemberian Respon : Mengikuti, mendiskusikan,


berpartisipasi,mematuhi

Penghargaan terhadap nilai : Memilih, meyakinkan,


bertindak, mengemukakan argumentasi

Afektif yang harus dikembangkan oleh guru


dalam proses belajar tentunya sangat tergantung
kepada mata pelajaran dan jenjang kelas, namun
yang pasti setiap mata pelajaran memiliki indikator
afektif dalam kurikulum hasil belajar. Pengubahan
sikap seseorang memerlukan waktu yang relatif
lama, demikian juga pengembangan minat dan
penghargaan serta nilai-nilai. Pengukuran afektif
berguna untuk mengetahui sikap dan minat siswa
ataupun untuk mengetahui tingkat pencapaian
kompetensi afektif pada setiap tingkat (level).

Ada beberapa bentuk skala yang dapat digunakan


untuk mengukur sikap (afektif) yaitu:

1. Skala likert digunakan untuk mengukur sikap


seseorang terhadap sesuatu, misalnya pada mata
pelajaran al-Qur’an Hadits siswa menunjukkan
sikap dan prilaku gemar melafalkan ayat-ayat al-
Qur’an, siswa menunjukkan sikap hormat pada
orang tua dll. Skala likert terdiri dari dua unsur
yaitu pernyataan dan alternatif jawaban.
Pernyataan ada dua bentuk yaitu pernyataan
positif dan negatif, sedangkan alternatif jawaban
terdiri dari: sangat setuju, setuju, netral, kurang
setuju dan tidak setuju. Langkah-langkah untuk
membuat skala likert untuk menilai afektif antara
lain adalah: (1)pilih variabel afektif yang akan
diukur, (2) buat pernyataan positif terhadap
variabel yang diukur, (3) minta pertimbangan
kepada beberapa orang tentang pernyataan
positif dan negatif yang dirumuskan, (4)
tentukan alternatif jawaban yang digunakan, (5)
tentukan penskorannya dan, (6) tentukan dan
hilangkan pernyataan yang tidak berfungsi
dengan pernyataan lainnya. Contoh : Saya
membaca al-Qur’an setiap selesai shalat Magrib
a. sangat setuju
b. setuju
c. netral
d. kurang setuju
e. tidak setuju
2. Skala pilihan ganda, Skala ini bentuknya seperti
soal bentuk pilihan ganda yaitu suatu pernyataan
yang diikuti oleh sejumlah alternatif pendapat.
Contoh: Dalam melaksanakan shalat fardhu,
saya merasa:
a. senang karena dapat berdialog dengan Allah
b. mudah untuk melakukan konsentrasi
c. tidak begitu sulit untuk berkonsentrasi
d. dapat berkonsentrasi tetapi mudah
terganggu
e. sulit untuk berkonsentrasi
3. Skala thurston Skala ini mirip dengan skala likert
karena merupakan instrumen yang jawabannya
menunjukkan adanya tingkatan, thurstone
menyarankan pernyataan yang diajukan + 10
item Contoh :
4. Skala Guttman Skala ini sama dengan skala yang
disusun Bogardus yaitu pernyataan yang
durumuskan empat atau tiga pernyataan.
Pernyataan tersebut menunjukkan tingkatan yang
berurutan, apabila responden setuju persyaratan
2, diduga setuju pernyataan 1, selanjutnya setuju
pernyataan 3 diduga setuju pernyataan 1 dan 2
dan apabila setuju pernyataan 4 diduga setuju
pernyataan 1,2 dan 3. Contoh afektif yang
indikatornya hormat pada orang tua
Saya permisi kepada orang tua bila bermain ke
tetangga

Saya permisi kepada orang tua bila pergi kemana


saja

Saya permisi kepada orang tua bila pergi kapan


saja dan kemana saja 4. Saya tidak pergi kemana
saja tanpa permisi kepada orang tua
5. Skala differential Skala ini bertujuan untuk
mengukur konsep-konsep untuk tiga dimensi.
Dimensi yang akan diukur dalam kategori :

baik – tidak baik

kuat – lemah cepat – lambat aktif – pasif

6. Pengukuran Minat Untuk mengetahui/mengukur


minat siswa terhadap mata pelajaran terlebih
dahulu ditentukan indikatornya misalnya :
kehadiran di kelas, keaktifan bertanya, tepat
waktu mengumpulkan tugas, kerapian. Catatan,
mengerjakan latihan, mengulan pelajaran dan
mengunjungi perpustakaan dan lain- lain. Untuk
mengukur minat ini lebih tepat digunakan
kuesioner skala likert dengan skala lima yaitu;
sangat sering, sering, netral, jarang dan tidak
pernah. Contoh Format Penilaian Minat Siswa
Terhadap Mata pelajaran

No Pernyataan Skala JLH


SS S N J TP
1 Saya Senang mengikuti
pelajaran ini
2 Saya selalu hadir pada
mata pelajaran ini
3 Saya bertanya jika ada
yang saya tidak pahami kepada
guru
4 Saya mencatat semua yang
dijelaskan oleh guru
5 Saya mempelajari kembali semua
yang diajarkan oleh
guru dirumah
Jumlah………………..

Jawaban sangat sering diberi skor 5, sering diberi


skor 4, netral diberi skor 3, jarang skor 2, dan tidak
pernah skor 1. Selanjutnya tehnik penskoran minat
siswa terhadap mata pelajaran dengan item
pernyataan 5 butir maka skor terendah 5 dan skor
tertinggi 25, jika dibagi menjadi tiga kategori maka
skala 5 sampai 11 termasuk minat rendah, 12 sampai
18 berminat dan 19 sampai 25 sangat berminat,
maka dapat dikomfersi ke pengukuran kualitatif
karena penilaian afektif dilakukan secara kualitatif,
maka 5 - 11 = C, 12 – 18 = B, 19 – 25 = A.
Paling tidak ada dua komponen afektif yang penting
untuk dinilai setiap mata pelajaran yaitu sikap dan
minat. Sikap terhadap mata pelajaran bisa positif,
netral dan negatif. Tentu diharapkan sikap siswa
terhadap semua mata pelajaran positif sehingga akan
muncul minat yang tinggi untuk mempelajarinya,
karena minat belajar yang besar cenderung
menghasilkan prestasi yang tinggi sebaliknya minat
belajar yang kurang akan menghasilkan prestasi
yang rendah. Apabila dari sekian banyak siswa
ternyata tidak berminat dan bersikap baik dengan
substansi mata pelajaran pendidikan agama maka
guru harus mencari sebab-sebabnya, perlu dikaji dan
dilihat kembali secara menyeluruh hal yang terkait
dengan pelajaran mata pelajaran tersebut atau guru
belum menyampaikan diawal pembelajaran
indikator yang dimiliki oleh siswa, oleh karenanya
guru seharusnya menyampaikan kepada siswa
kompetensi dasar yang harus dicapai siswa sekaligus
indikator-indikator yang mesti dimiliki siswa.

3. Pengukuran Ranah Psikomotorik


Ranah psikomosotorik menurut Dave’s adalah: (a)
imitasi, (b) manipulasi, (c) ketepatan, (d) artikulasi,
dan (e) naturalisasi. Imitasi: mengamati dan
menjadikan perilaku orang lain sebagai pola. Apa
yang ditampilkan mungkin kualitas rendah. Contoh:
menjiplak hasil karya seni. Manipulasi: mampu
menunjukkan perilaku tertentu dengan mengikuti
instruksi dan praktek. Contoh: membuat hasil karya
sendiri setelah mengikuti pelajaran, ataupun
membaca mengenai hal tersebut. Ketepatan:
meningkatkan metode supaya lebih tepat. Beberapa
kekeliruan tampak jelas. Contoh: bekerja dan
melakukan sesuatu kembali, sehingga menjadi
“cukup baik.” Artikulasi: mengkoordinasikan
serangkaian tindakan, mencapai keselarasan dan
internal konsistensi. Contoh: memproduksi film
video yang menampilkan musik, drama, warna,
suara dsb. Naturalisasi: telah memiliki
tingkatperformance yang tinggi sehingga menjadi
alami, dalam melakukan tidak perlu berpikir banyak.
Misalkan: Michael Jordan bermain basket, Nancy
Lopez memukul bola golf.
Penyusunan tujuan psikomotor secara
hierarkhis dalam lima tingkat sebagai berikut: (1)
Meniru. Tujuan pembelajaran pada tingkat ini
diharapkan peserta didik dapat meniru suatu perilaku
yang dilihatnya, (2) Manipulasi. Tujuan
pembelajaran pada tingkat ini menuntut peserta
didik untuk melakukan suatu perilaku tanpa bantuan
visual, sebagaimana pada tingkat meniru. Tetapi
diberi petunjuk berupa tulisan atau instruksi verbal,
(3) Ketepatan Gerakan. Tujuan pembelajaran pada
level ini peserta didik mampu melakukan suatu
perilaku tanpa menggunakan contoh visual maupun
petunjuk tertulis, dan melakukannya dengan lancar,
tepat, seimbang dan akurat, (4) Artikulasi. Tujuan
pembelajaran pada level ini peserta didik mampu
menunjukkan serangkaian gerakan dengan akurat,
urutan yang benar, dan kecepatan yang tepat, dan (5)
Naturalisasi. Tujuan pembelajaran pada tingkat ini
peserta didik mampu melakukan gerakan tertentu
secara spontan tanpa berpikir lagi cara
melakukannya dan urutannya.
Gambar5.3, Gambar
Ranah Psikomotorik Menurut Harrow dkk

Meniru (immitation), pada pada tingkat ini


mengharapkan peserta didik untuk dapat meniru
suatu prilaku yang dilihatnya. Manipulasi
(manipulation), pada tingkat ini peserta didik
diharapkan untuk melakukan suatu prilaku tanpa
bantuan visual, sebagaimana pada tingkat meniru.
Peserta didik diberi petunjuk berupa tulisan atau
instruksi verbal, dan diharapkan melakukan tindakan
(perilaku) yang diminta. Contoh kata kerja yang
digunakan sama dengan untuk kemampuan meniru.
Ketetapan gerakan (precision), pada tingkat ini
peserta didik diharapkan melakukan suatu perilaku
tanpa menggunakan Contoh visual maupun petunjuk
tertulis, dan melakukannya dengan lancar, tepat dan
akurat. Artikulasi(artikulation), pada tingkat ini
peserta didik diharapkan untuk menunjukkan
serangkaian gerakan dengan akurat, urutan yang
benar, dan kecepatan yang tepat. Naturalisasi
(naturalization) Pada tingkat ini peserta didik
diharapkan melakukan gerakan tertentu secara
spontan atau otomatis. Peserta didik melakukan
gerakan tersebut tanpa berfikir lagi cara
melakukannya dan urutannya

Anda mungkin juga menyukai