Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fraud memiliki banyak arti bagi banyak orang, tergantung dari situasinya.

Singkatnya, fraud bisa diartikan sebagai kecurangan. Beberapa mengatakan bahwa

fraud merupakan bentuk kencurangan yang disengaja yang merupakan kebalikan dari

kejujuran, keadilan, dan kesetaraan. Walaupun fraud kecurangan dimaksudkan untuk

memaksa seseorang untuk bertindak melawan keinginan mereka sendiri, kecurangan

bisa juga digunakan seseorang untuk mempertahankan dirinya. Association of

Certified Fraud Examiners (ACFE) mendefinisikan “kecurangan dan penyalahgunaan

pekerjaan” (kecurangan karyawan) sebagai: “penggunaan pekerjaan untuk

keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan yang disengaja atau pencurian sumber

daya atau aset organisasi yang mempekerjakan”. ACFE mendefinisikan kecurangan

laporan keuangan sebagai: “misrepresentasi yang disengaja atas kondisi keuangan

sebuah perusahaan yang dilakukan melalui salah saji yang disengaja atau

penghilangan jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan untuk menipu

pengguna laporan keuangan (Singleton, Tommie W dan Singleton, Aaron J.2010:41).

Korupsi merupakan bentuk fraud yang sering terjadi di Indonesia. Bahkan

Indonesia termasuk terendah dalam Indeks Persepsi Korupsi pada tahun 2017 di

kawasan Asia Tenggara. Indonesia menduduki peringkat ke-96 dari 180 negara di
2

dunia. Di Asia Tenggara Indonesia berada di bawah Singapura (6), Brunei

Darussalam (32), Malaysia (62), dan bahkan Timor Leste (91). Di bawah Indonesia

terdapat Filipina (111), Myanmar (130), Laos (135), dan Kamboja (161). Bersamaan

dengan rilis ini, Transparansi Internasional juga menyampaikan peringkat bahwa

korupsi terus menjadi masalah global dan banyak negara yang bergerak terlalu

lamban dalam memerangi korupsi. Transparansi Internasional menyusun peringkat

korupsi di 180 negara di dunia dengan basis penilaian terkait layanan public di sebuah

negara. (kompas.com:26 Februari 2018, diakses pada 14 Januari 2019, 12:34).

Menurut tren penindakan kasus korupsi yang dikeluarkan ICW (Indonesia

Corruption Watch) pada tahun 2017, pada tahun 2017 terdapat 576 kasus korupsi,

dengan nilai kerugian negara hingga Rp 6,5 triliun dan nilai suap Rp 211 miliar. Ada

lima sektor terbanyak yang diungkap ICW terkait kasus korupsi yaitu sektor (1)

Anggaran Desa dengan jumlah nilai kerugian negara sebesar Rp 39,3 miliar, (2)

Pemerintahan dengan jumlah nilai kerugian negara sebesar Rp 255 miliar, (3)

Pendidikan dengan jumlah nilai kerugian negara Rp 81,8 milar, (4) Transportasi

dengan jumlah nilai kerugian negara Rp 985 miliar dan (5) Sosial Kemasyarakatan

dengan jumlah nilai kerugian negara sebesar Rp 41,1 miliar. (antikorupsi.org:19

Februari 2018, diakses pada 14 Janurai 2019, pukul 15:17). Di dalam tren korupsi ini,

disebutkan banyaknya orang-orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam

permasalahan korupsi pada tahun 2017, yang diurut sebagai berikut:

1. Aparatur Sipil Negara (ASN), 495 tersangka

2. Swasta, 241 tersangka


3

3. Kepala Desa, 102 tersangka

4. Masyarakat, 59 tersangka

5. Dirut atau karyawan BUMN, 50 tersangka

6. Ketua/Anggota Organisasi/ Kelompok, 44 tersangka

7. Aparatur Desa, 38 tersangka

8. Ketua/Anggota DPRD, 37 tersangka

9. Kepala Daerah, 30 tersangka

10. Dirut atau karyawan BUMD, 30 tersangka

Berdasarkan data di atas, kita bisa tahu bahwa kebanyakan kasus korupsi yang

ada di Indonesia didominasi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) dibandingkan dengan

pegawai swasta yang ada di Indonesia. Sebagai contohnya, ada yang menyangkut

proyek pembangunan gedung IPDN di Rokan Hilir (Rohil), Riau. Mantan Menteri

Dalam Negeri diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi proyek gedung IPDN di

Rokan Hilir (Rohil), Riau. Ia menyatakan bahwa proyek itu di-review dulu oleh

BPK. Setelah selesai di-review BPKP, baru ia tandatangani dan itu dilakukan untuk

berjaga-jaga, berhati-hati. Tetapi disalahgunakan juga oleh staf di bawah.

Menurutnya, nilai proyek gedung IPDN di Rohil tak sampai Rp 100 miliar, sehingga

pelaksanaannya cukup berada di bawah sekjen. Untuk proyek di Rohil, diduga adanya

penyimpangan dalam proyek bernilai Rp 91,62 miliar sehingga menyebabkan

kerugian keuangan negara sebesar Rp 34 miliar. (detik.com: 8 Januari 2019, diakses

pada 18 Januari 2019, pukul 10:16)


4

Berdasarkan paparan di atas, bisa kita lihat bahwa masih adanya terjadi

kecurangan yang terjadi di sekitar Aparat Sipil Negara (ASN). Kejadian-kejadian di

atas tersebut terjadi karena lemahnya pengendalian internal yang ada di dalam

pemerintahan daerah di Riau. Karena itu, maka potensi fraud di lingkungan

pemerintah daerah Provinsi riau masih sangat tinggi. Adapun beberapa hal yamg

dapat menjadi penyebab munculnya fraud adalah sebagai berikut:

1. Sistem Pengendali Internal

2. Kesesuaian kompensasi

3. Kultur organisasi

4. Penegakan hukum

Pegendalian intern mencakup unsur-unsur pengendalian intern: lingkungan

pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi,

serta pemantauan untuk mengarahkan seluruh kegiatan agar tujuan dari kegiatan

dapat dicapai secara efektif, efisien, dipercayanya informasi dan data, serta ditaatinya

peraturan dan ketentuan yang berlaku. Pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004

tentang Perbendaharaan Negara dalam Pasal 58 dengan sangat tepat mengamanatkan

kepada Presiden RI selaku Kepala Pemerintahan, agar mengatur dan

menyelenggarakan pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara

menyeluruh, untuk meningkatkan kinerja, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan

keuangan daerah/negara. Penelitian sebelumnya yang diteliti oleh Zulkarnain (2013)

pada pegawai instansi pemerintahan di kota Surakarta , ia menemukan bahwa

terdapat pengaruh antara sistem pengendalian internal terhadap kecurangan akuntansi


5

pada instansi pemerintahan kota Surakarta. Bertentangan dengan itu, penilitian yang

dilakukan oleh Yulian, dkk (2017), mereka menemukan bahwa tidak terdapat

pengaruh sistem pengendalian intern terhadap kecenderungan kecurangan pada

Satuan Kerja Pemerintahan Daerah (SKPD) Bima.

Selain pengendalian intern, kesesuaian kompensasi merupakan yang

memengaruhi terjadinya kecurangan. Menurut Hasibuan (2003:119) dalam Indriani

dkk (2018), kompensasi adalah remunerasi yang adil dan beralasan yang diberikan

kepada pegawai atas jasa-jasa dalam mencapai tujuan organisai. Indikator atau alat

mengukur yang digunakan yang didesain dalam peniltian Gibson (1997) dalam

Indriani (2018) disebutkan: kompensasi keuangan, pengakuan untuk kerja organisasi

yang sukses, promosi, penyelesaian tugas, dan kesetaraan kompensasi divisi. Pada

penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Zulkarnain (2013) terhadap pegawai

instansi pemerintahan kota Surakarta, ia menemukan bahwa adanya pengaruh dari

kesesuaian kompensasi terhadap tindakan kecurangan yang diteliti pada pegawai

instansi pemerintahan kota Surakarta. Sedangkan pada penelitian oleh Permatasari

dkk (2017) pada pegawai keuangan pemerintah Kabupaten Banyuwangi, mereka

menemukan bahwa tidak ada pengaruh dari kesesuaian kompensasi terhadap

kecenderungan kecurangan pada pegawai keuangan Kabupaten Banyuwangi.

Selain dua variabel di atas, ada juga budaya organisasi yang memengaruhi

terjadinya kecurangan yang ada di pemerintahan daerah. Menurut Robbins

(2009:248) dalam Indriani, dkk (2018), budaya organisasi membagikan sistem nilai
6

dalam sebuah organisasi yang mana dengan menentukan bagaimana para pegawai

melakukan aktifitas-aktifitas untuk meraih tujuan organisasi. Indikator-indikator atau

alat untuk menilai yang didesain oleh Robbins (2009) dalam Indriani, dkk (2018)

dikatakan: inovasi dan pengambilan risiko, perhatian terhadap hal detil, orientasi

hasil, orientasi orang-orang,orientasi tim, keagresifan dan stabilitas. Dalam penelitian

Zulkarnain (2013) yang melakukan studi kasus pada dinas se-kota Surakarta, ia tidak

menemukan adanya pengaruh antara kultur organisasi dengan kecenderungan

kecurangan yang ada di sektor pemerintahan kota Surakarta. Sedangkan dalam

penelitian Permatasari, dkk (2017) yang mana melakukan penelitian terhadap

pegawai keuangan di Kabupaten Banyuwangi, mereka menemukan adanya pengaruh

antara kultur organisasi dengan kecenderungan kecurangan pada pegawai keuangan

pemerintahan Kabupaten Banyuwangi.

Terakhir, penegakan hukum dalam melakukan sistem pemerintahan

memengaruhi terjadinya kecenderungan kecurangan yang terjadi di pemerintahan

daerah. Berdasarkan Asshiddiqie (2008:11) dalam Indriani, dkk (2018), proses dalam

melakukan penerapan hukum terhadap satuan kerja ataupun fungsi hukum norma

secara signifikan sebagai sebuah tanda atas perantara dalam jalur atau hubungan

hukum dalam sebuah kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Indikator atau alat

mengukur yang digunakan yang dirancang oleh Robbins (2009), yang disebut

olehnya: respons dari pejabat-pejabat, proses penegakan hukum, penegakan hukum

berdasarkan aturan-aturan yang ada, aturan dari hukum yang berisikan kepatuhan

dinas dan hukum. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Permatasari, dkk (2017),
7

mereka menemukan bahwa adanya pengaruh antara penegakan hukum terhadap

kecenderungan kecurangan. Sedangkan dalam penelitian Zulkarnain (2013), ia tidak

menemukan adanya pengaruh dari penegakan hukum terhadap kecenderungan

kecurangan.

Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa masih adanya perbedaan hasil yang

didapati oleh peneliti-peneliti terdahulu. Sehingga peneliti ingin meneliti kembali

apakah variable-variabel yang telah disebut sebelumnya berpengaruh terhadap

kecenderungan kecurangan. Penelitian ini mengacu kepada penelitian yang diteliti

oleh Zulkarnain (2013) yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi terjadinya

Fraud Di Sektor Pemerintahan (Studi Kasus Pada Dinas Se-Kota Surakarta)”, yang

mana ia meneliti pengaruh dari Keefektifan Sistem Pengendalian Internal, kesesuaian

kompensasi, kultur organisasi, perilaku tidak etis, gaya kepemimpinan, Sistem

Pengendalian Internal dan penegakan hukum terhadap fraud di sektor pemerintahan

se-kota Surakarta. Perbedaan penilitian ini dengan penelitian Zulkarnain (2013)

adalah peneilitian ini dilakukan di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Provinsi

Riau dan peneliti menambahkan variabel budaya etis organisasi kedalam penelitian

ini. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul “PENGARUH

SISTEM PENGENDALIAN INTERN, KESESUAIAN KOMPENSASI, KULTUR

ORGANISASI DAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KECENDERUNGAN

KECURANGAN”.
8

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah penilitian

ini adalah:

1. Apakah Sistem Pengendalian Intern berpengaruh terhadap kecenderungan

kecurangan?

2. Apakah kesesuaian kompensasi berpengaruh terhadap kecenderungan

kecurangan?

3. Apakah kultur organisasi berpengaruh terhadap kecenderungan

kecurangan?

4. Apakah penegakan hukum berpengaruh terhadap kecenderungan

kecurangan?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menguji dan menganalisa apakah Sistem Pengendalian Intern

berpengaruh terhadap kecenderungan kecurangan.

2. Untuk menguji dan menganalisa apakah kesesuaian kompensasi

berpengaruh terhadap kecenderungan kecurangan.

3. Untuk menguji dan menganalisa apakah kultur organisasi berpengaruh

terhadap kecenderungan kecurangan.


9

4. Untuk menguji dan menganalisa apakah penegakan hukum berpengaruh

terhadap kecenderungan kecurangan.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Melalui penelitian ini, peneliti mencoba memberikan bukti empris tentang

pengaruh keefektifan Sistem Pengendalian Intern, kesesuaian kompensasi, kultur

organisasi dan penegakan hukum terhadap kecenderungan kecurangan yang

terjadi di sektor pemerintahan daerah Provinsi Riau.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Organisasi Perangkat Daerah di Provinsi Riau

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan masukan

dalam rangka untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kerja.

b. Akademisi

Sebagai bahan informasi, referensi dan masukan bagi peneliti sejenis

maupun civitas akademika lainnya dalam rangka mengembangkan ilmu

pengetahuan untuk perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan.

1.5 Sistematika Penulisan

BAB I :PENDAHULUAN

Pada bab ini berisi mengenai latar belakang masalah dilakukanna

penelitian ini, rumusan masalah yaitu berdasarkan latar belakang

yanga ada timbul pertanyaan-pertanyaan peneliti yang nantinya


10

menjadi sebuah hipotesis, dan tujuan kegunaan penelitian yang

menjelaskan tujuannya dilakukan penelitian dan manfaat yang

didapat dari penelitian ini.

BAB II :TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

Pada bab ini menjelaskan mengenai landasan teori yang digunakan

oleh peneliti dalam melakukan penelitian, penelitian terdahulu,

kerangka pemikiran, dan hipotesis dari penelitian yang dilakukan.

BAB III :METODE PENELITIAN

Di bab ini akan dijelaskan mengenai metode penekitian aitu

penjelasan dari tiap-tiap variabel, populasi dan sampel dari penelitian,

dan jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan metode

analisis yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB IV :HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini berisi uraian mengenai hasil penelitian yang dilakukan

sesuai dengan perumusan masalah, tujuan penelitian dan hipotesis

yang diajukan, yang meliputi gambaran hasil penelitian, pengujian

terhadap hipotesis, dan analisis.

BAB V :PENUTUP

Pada bab ini berisikan kesimpulan, keterbatasan penelitian yang

dilakukan serta memberikan implikasi penelitian dan saran untuk

penelitian yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai