Anda di halaman 1dari 2

HADIAH

Hadiah dalam berbagai bentuk dan tujuannya telah dikenal sejak masa yang paling awal
dari sejarah umat manusia. Roman-roman kuno sering menyajikan plot-plot cerita tertentu
yang melibatkan hadiah. Zaman sekarang juga ramai oleh hadiah. Malah jauh lebih ramai
ketimbang masa-masa sebelumnya. Apa yang kita saksikan sekarang dapat disebut sebagai
budaya hadiah, karena sedemikian meratanya. Berbagai perusahaan, stasiun TV, radio,
menjanjikan beragam hadiah: mulai dari benda-benda sampai tumpukan uang yang
terkadang sangat mencengangkan.

Tapi ada perbedaan mendasar dari hadiah yang kita kenal sekarang dengan hadiah-
hadiah yang dapat dibaca pada roman-roman kuno. Kita bisa membaca roman di mana
seorang raja, misalnya, menghadiahkan putrinya untuk dinikahi oleh siapa saja yang mampu
mengalahkan pendekar Anu yang jahat dan selalu merongrong kerajaan. Atau dia
menghadiahkan jabatan tinggi bagi siapa saja yang mampu memenuhi keinginan sang Raja;
atau menjanjikan hadiah besar bagi siapa yang dapat memindahkan gunung atau
menghempang sungai tertentu.

Berbeda dengan hadiah-hadiah yang dijanjikan kepada kita di zaman sekarang. Anda,
misalnya, dijanjikan jutaan rupiah bila mengirimkan dua atau tiga bungkus bekas produk
tertentu. Atau anda akan memperoleh benda-benda yang sangat mahal dengan sekedar
menebak nama seorang yang sesungguhnya kita lihat sehari-hari. Atau Anda akan menjadi
kaya raya jika dapat menebak nama benda tertentu, atau yang lainnya lagi. Ringkasnya,
hadiah di masa lalu hanya dapat diperoleh dengan syarat yang luar biasa sulit dan kerja
yang sangat berat. Sementara sekarang hadiah besar ditawarkan untuk sebuah kegiatan
yang sangat ringan dan mudah. Bandingkanlah, misalnya, seorang Cowboy
mempertaruhkan nyawanya mengejar seorang penjahat lihai dan kejam untuk mendapatkan
setumpuk hadiah uang, dengan seorang ibu rumah tangga yang beroleh jutaan rupiah
hanya dengan mengirim dua atau tiga lembar bungkus shampo bekas. Tidak mengherankan
kalau sekarang siapa saja bisa ikut berharap mendapatkan hadiah, padahal dulunya hanya
segelintir orang yang memutuskan untuk ikut berburu hadiah. Dulu, hadiah diburu, sekarang,
hadiah ditunggu.

Tersedianya bermacam hadiah di sekitar kita, barangkali, pantas untuk disambut


gembira. Namun, bagaimana kita menyikapi keberadaan hadiah tersebut adalah aspek yang
pantas untuk kita cermati. Hadiah bisa berefek positip. Tetapi, bila disikapi secara keliru,
hadiah dapat pula menimbulkan efek negatif dan bersifat destruktip terhadap mentalitas dan
etos kerja. Semua orang ingin maju dan menjadi kaya. Dahulu, keinginan ini dicapai dengan
syarat yang terpantul dalam makna pantun: “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke
tepian; sakit-sakit dahulu, senang kemudian.” Tersedianya berbagai hadiah, bonus dan
sebagainya, mendorong orang untuk melupakan rumusan lama ini. Orang semakin ingin
mendapat sesuatu yang besar dalam waktu sekejap mata dan tanpa usaha serius. Ini
adalah impian yang tak dikenal oleh orang dahulu. Di tengah kita sedang tumbuh
kecenderungan untuk mencari jalan pintas, keinginan untuk serba cepat dan serba mudah
menjadi kaya raya.
Konsekuensi logis dari kecenderungan ini adalah semakin rendahnya nilai usaha dan
kerja keras di mata sementara orang. Banyak yang hanya melihat dan menghayalkan
nikmatnya menjadi orang kaya. Tapi tak pernah bersedia menjalani kerja keras dan ulet
dalam berupaya. Banyak yang ingin jadi kaya tanpa proses yang wajar; ingin keberuntungan
terjadi begitu saja secara misterius, dan tiba-tiba dia mendapat durian runtuh, menjadi kaya
raya. Orang lebih mendambakan keanehan daripada kewajaran hidup. Banyak yang lupa
ayat ‘inna ma’al ‘usr yusra’ (susah dulu baru kemudian senang).

Begitupun, jika kita meletakkan permasalahan ini dalam konteks makro peradaban
sekarang, dan melihatnya dengan kebeningan akal nurani kita, satu dimensi lain perlu
dipertimbangkan secara serius. Di satu sisi janji-janji hadiah, kemungkinan besar berperan,
tetapi ada sisi lain yang turut mempersubur kecenderungan ini. Yaitu sulitnya kehidupan
zaman sekarang. Gejala ‘mimpi hadiah’ dapat dilihat sebagai perwujudan dari tekanan
kehidupan yang menghimpit sebagian besar masyarakat. Secara natural, manusia adalah
makhluk rasional, dan karenanya bisa menerima “berakit-rakit ke hulu.” Akan tetapi,
kekejaman dan kekerasan realitas kehidupan modern telah mendorong manusia untuk tak
selalu lagi rasional dalam sikap dan prilakunya. Bagi lapisan bawah dari masyarakat, adalah
sulit untuk menemukan celah yang wajar dan rasional untuk memperoleh kemajuan dalam
hidupnya. Segenap aspek kehidupan mereka dipenuhi oleh ketidak mungkinan. Ibarat
seorang manusia, tubuh masyarakat kita sedang menderita penyakit panas. Sedemikian
panasnya hingga dia kemudian berhallusinasi, mengigau tak menentu. Demikianlah, jika
orang terlalu sulit menemukan jalan yang wajar untuk maju, mereka mencari kemungkinan
lain. Mereka menggantungkan harapan, tak lagi pada upaya dan kerja keras, tetapi justeru
pada hal-hal yang indah dan secara artifisial menjanjikan kebahagiaan yang didambakan.

Sumber :
http://repository.uinsu.ac.id/10383/1/2020%20Esai-Esai%20Sejarah%20Pend%20dan
%20Kehidupan.pdf

E-book Esai-Esai Sejarah, Pendidikan dan Kehidupan


Karya : Prof. Dr. Hasan Asari, MA.
Diterbitkan oleh: PERDANA PUBLISHING

Anda mungkin juga menyukai