Anda di halaman 1dari 13

Studi Penggunaan Antihipertensi Golongan Angiotensin Receptor

Blockers Terhadap Pasien Gagal Ginjal Kronik Stadium V di


Rumah Sakit Bhayangkara Surabaya
Ursula Dua Klowe Bura(a)*, Didik Hasmonob, Siti Surdijatia, Ruddy Hartonoc
(a)
Fakultas Farmasi, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Surabaya, Indonesia
(b)
Fakultas Farmasi, Universitas Airlangga Surabaya, Surabaya, Indonesia
(c)
Rumah Sakit Bhayangkara Surabaya, Surabaya, Indonesia

Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal baik secara fungsional atau struktural selama lebih dari 3 (tiga)
bulan dengan atau tanpa penurunan Gromerular Filtration Rate (GFR), dimanifestasikan sebagai salah satu
kelainan patologi atau pertanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan komposisi darah atau urin atau kelainan
radiologi. Selain itu gagal ginjal kronik juga didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan nilai GFR kurang dari 60
ml / menit / 1,73 m2, selama lebih dari 3 (tiga) bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Salah satu faktor
resiko terjadinya gagal ginjal kronik adalah hipertensi. Tujuan pemberian antihipertensi adalah untuk mencegah
terjadinya kerusakan lebih lanjut pada organ lain, selain itu juga untuk menurunkan tekanan darah pasien gagal
ginjal kronik dengan target ≤ 140 mmHg. Antihipertensi golongan Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
merupakan terapi lini pertama yang digunakan untuk mengurangi tekanan darah sehingga dapat menunda
kerusakan ginjal. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pola penggunaan obat antihipertensi golongan ARB
pada pasien gagal ginjal kronik stadium V di Rumah Sakit Bhayangkara Surabaya yang dikaitkan dengan data
klinik dan data laboratorium. Penelitian dilakukan secara observasional dengan rancangan penelitian bersifat
deskriptif dan pengambilan data secara retrospektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang memenuhi
kriteria inklusi adalah 30 pasien menggunakan terapi antihipertensi ARB, dimana jumlah jenis kelamin terbanyak
67% laki-laki dan 33% perempuan, jumlah terbanyak pada usia 31-70 tahun, jumlah terbanyak 90% untuk
penggunaan ARB dan antihipertensi lainnya dan ARB tunggal 10%, kombinasi paling banyak antihipertensi
golongan ARB dan CCB 41%. Tekanan darah pasien sebagian besar memenuhi target ≤ 140 mmHg.

Kata Kunci : gagal ginjal kronik stadium V, antihipertensi, angiotensin receptor blockers, tekanan darah

Study of the Use of Angiotensin Receptor Blocker Antihypertensive


Against Patients with Chronic Renal Failure in Stage V in Surabaya
Bhayangkara Hospital
Chronic renal failure is functional or structural kidney damage for more than 3 (three) months with or without a
decrease in the Glomerular Filtration Rate (GFR), manifested as one of the pathological abnormalities or a sign of
kidney damage, including blood or urine composition abnormalities or radiology abnormalities. In addition, chronic
renal failure is also defined as a condition of GFR value of less than 60 ml / minute / 1.73 m2, for more than 3
(three) months with or without kidney damage. One of the risk factor for chronic renal failure is hypertension. The
purpose of antihypertensive administration is to prevent further damage to other organs, and also to reduce blood
pressure in patients with chronic renal failure with a target of ≤ 140 mmHg. Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
is a first-line therapy used to reduce blood pressure so that it can delay kidney damage. The purpose of this study
was to determine the pattern of antihypertensive drug use in the ARB class in patients with stage V chronic renal
failure at Bhayangkara Hospital in Surabaya which was associated with clinical and laboratory data. The study was
conducted observationally with a descriptive research design and retrospective data collection. The results
showed that those who met the inclusion criteria were 30 patients using antihypertensive ARB therapy, where the
highest number of sexes were 67% male and 33% female, the highest populations at the age of 31-70 years, the
highest populations was 90% for ARB use and other antihypertensive drug and a single ARB use of 10 %, the most
common combination ofantihypertensive group is ARB and Calsium Channel Blocker (CCB) 41%. The patient’s
blood pressure mostly meets the target of ≤ 140 mmHg.

Keywords: the fifth stage of chronic renal failure, antihypertensive, angiotensin receptor blockers, blood pressure.

*Corresponding author: Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Jl. Raya Kalisari
Selatan No. 1 Surabaya, e-mail: innabura18@gmail.com

JOURNAL OF PHARMACY SCIENCE AND PRACTICE I VOLUME 4 I NUMBER 2 I OCTOBER 2017 88


J PHARM SCI & PRACT, 2017, 4(2): 88-95

PENDAHULUAN Harrison, 2014). Regimen terapi yang


Gagal ginjal kronik menurut Kidney direkomendasikan oleh Eighth Joint National
Disease Outcome Quality Initiative dibagi Committee (JNC 8) (2014) dan Guidelines for
menjadi dua kriteria, yakni kerusakan ginjal baik Clinical Care Ambulatory (2014), sebagai terapi
secara fungsional atau struktural selama lebih dari pengobatan pilihan pertama pada penderita
tiga bulan dengan atau tanpa penurunan penyakit gagal ginjal kronik dengan hipertensi
Gromerular Filtration Rate (GFR), adalah antihipertensi golongan Angiotensin
dimanifestasikan sebagai salah satu kelainan Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) atau
patologi atau pertanda kerusakan ginjal, termasuk Angiotensin Receptor Blockers (ARB) dengan
kelainan komposisi darah atau urin atau kelainan target tekanan darah yang dicapai ≤ 140/90
radiologi. Selain itu gagal ginjal kronik juga mmHg.
didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan nilai Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan,
GFR kurang dari 60 ml / menit / 1,73 m2, selama maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
lebih dari 3 (tiga) bulan dengan atau tanpa pola penggunaan antihipertensi, dalam hal ini
kerusakan ginjal (KDIGO, 2013). golongan ARB (Angiotensin Reseptor Bloker)
Dari data yang diperoleh melalui Indonesia pada pasien gagal ginjal kronik yang sedang
Renal Registry (IRR) tahun 2014, dikatakan menjalani hemodialisis dan juga untuk
bahwa urutan penyebab gagal ginjal pasien mengevaluasi profil target penurunan tekanan
dengan hemodialisis pada tahun 2014 masih sama darah setelah penggunaan antihipertensi yang
dengan tahun sebelumnya. Penyakit gagal ginjal disertai dengan hemodialisis.
dengan hipertensi meningkat menjadi 37% diikuti
oleh nefropati diabetika sebanyak 27%,
glomerulopati primer memberi proporsi yang METODE PENELITIAN
cukup tinggi sampai 10% dan nefropati obstruktif Rancangan Penelitian
pun masih memberi angka 7% di mana pada data Penelitian ini menggunakan penelitian
di negara maju angka ini sangat rendah. observasional di mana penelitian ini tidak
Penyakit gagal ginjal kronik sangat memberikan perlakuan terhadap sampel.
dipengaruhi berbagai faktor, salah satu di Rancangan penelitian dilakukan secara deskriptif
antaranya yaitu penurunan jumlah nefron, dan pengumpulan data dilakukan secara
hipertensi kapiler glomerulus, dan proteinuria. retrospektif dengan cara mengambil sampel
Jika terjadi penurunan jumlah nefron yang aktif, dengan tujuan dan pertimbangan tertentu.
maka nefron yang tersisa akan mengalami Pengambilan sampel dilakukan
hipertrofi dan fungsi ginjal akan menurun. berdasarkan kriteria inklusi yaitu pasien dengan
Hilangnya nefron aktif ini membuat nefron yang diagnosis penyakit gagal ginjal kronik V dengan
tersisa mengalami hiperfiltrasi dan hipertensi hipertensi yang menggunakan antihipertensi
yang menurun pada perubahan struktur golongan Angiotensin Receptor Blockers (ARB) di
glomerulus (Ganong, 2012). Unit Hemodialisis Rumah Sakit Bhayangkara
Secara patofisiologi, penyakit gagal ginjal Surabaya. Kriteria eksklusi yaitu pasien dengan
kronik pada awalnya tergantung pada penyakit diagnosis gagal ginjal kronik V dengan hipertensi
yang mendasari. Pengurangan massa ginjal dengan data Rekam Medik Kesehatan (RMK)
mengakibatkan hipertrofi struktural dan meliputi data laboratorium dan data klinik yang
fungsional nefron yang masih tersisa sebagai tidak lengkap.
upaya kompensasi, yang diperantarai oleh Bahan penelitian adalah Rekam Medik
molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth Kesehatan (RMK) pasien dengan diagnosa
factors. Hal ini menyebabkan terjadinya penyakit ginjal kronik V yang menjalani
hiperfiltrasi, diikuti peningkatan tekanan kapiler hemodialisis pada periode Juni 2017 sampai
dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini dengan September 2017. Pengolahan data dari
berlangsung singkat, dan diikuti oleh proses lembar pengumpulan data dibuat dalam bentuk
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang tersisa. tabel dan persentase dan kemudian dilakukan
Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan analisis secara deskriptif.
fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak ada lagi. Adanya HASIL DAN PEMBAHASAN
peningkatan aktivitas aksis RAA intrarenal, ikut Data yang diperoleh dari penelitian yang
memberikan kontribusi terhadap terjadinya dilakukan secara retrospektif menunjukkan
hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas (Suwitra, bahwa jumlah pasien yang menderita gagal ginjal
2014). kronik stadium V dengan menggunakan terapi
Salah satu penyebab terbesar terjadinya antihipertensi golongan Angiotensin Receptor
gagal ginjal kronik stadium V adalah hipertensi Blockers (ARB) selama periode Juni - September
(Ganong, 2012). Beberapa golongan obat 2017 sebanyak 30 pasien yang memenuhi kriteria
antihipertensi yang biasa digunakan adalah inklusi. Pasien gagal ginjal kronik stadium V
diuretik tiazid, diuretik hemat kalium, loop menjalani hemodialisis dengan frekuensi
diuretic, β-Blockers, α1-blockers, Angiotensin hemodialisis 2-3 kali per minggu di Unit
Receptor Blockers (ARBs), Calcium Chanel Hemodialisa Rumah Sakit Bhayangkara Surabaya.
Blocker (CCB), dan ACE inhibitor (Greenberg and

JOURNAL OF PHARMACY SCIENCE AND PRACTICE I VOLUME 4 I NUMBER 2 I OCTOBER 2017 89


Studi Penggunaan Antihipertensi Golongan Angiotensin Receptor Blockers Terhadap Pasien Gagal Ginjal Kronik Stadium V di Rumah Sakit Bhayangkara Surabaya

Berdasarkan distribusi gender (jenis Selain itu juga penelitian yang dilakukan
kelamin) dalam penelitian ini dapat dilihat bahwa Aness (2008) menyatakan bahwa prevalensi laki-
persentase pasien gagal ginjal kronik stadium V laki gagal ginjal kronik lebih banyak dua kali lipat
adalah 67% laki-laki dan 33% perempuan (Tabel 1 dibandingkan dengan perempuan. Salah satu
dan Gambar 1). Hal ini juga sama seperti yang penyebabnya adalah kebiasaan merokok yang
terdapat pada literatur dimana dikatakan bahwa dapat menimbulkan risiko terjadinya gagal ginjal
jumlah pasien gagal ginjal kronik laki-laki tiap kronik. Efek merokok akut yaitu meningkatkan
tahun melebihi jumlah pasien perempuan pacuan simpatis yang akan berakibat pada
(Indonesia Renal Registry, 2011). Beberapa peningkatan tekanan darah, takikardi, dan
penelitian juga menunjukkan hasil yang sama di penumpukan katekolamin dalam sirkulasi. Pada
antaranya penelitian yang dilakukan oleh Tokala fase akut beberapa pembuluh darah juga sering
et al. (2015) yang menunjukkan bahwa dari 34 mengalami vasokonstriksi misalnya pada
pasien dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak pembuluh darah koroner, sehingga pada perokok
(88,2%) dibandingkan dengan pasien perempuan akut sering diikuti dengan peningkatan tahanan
(11,8%). Jenis kelamin merupakan salah satu pembuluh darah ginjal sehingga terjadi
variabel yang dapat memberikan perbedaan angka penurunan laju filtrasi glomerulus dan fraksi filter
kejadian pada pria dan wanita. Insiden gagal (Grassi et al., 1994; Orth et al., 2000).
ginjal pria dua kali lebih besar dibandingkan
dengan perempuan, dikarenakan secara dominan Tabel 2. Jenis kelamin pasien gagal ginjal kronik
pria lebih sering mengalami penyakit sistemik, stadium V dengan hipertensi yang menggunakan
serta riwayat penyakit keluarga yang diturunkan antihipertensi golongan Angiotensin Receptor
(Levey et al., 2007). Pria lebih rentan terkena Blocker (ARB).
gangguan ginjal daripada perempuan, seperti batu No. Jenis Jumlah Persentase
ginjal. Hal ini disebabkan karena berkurangnya Kelamin Pasien (%)
volume pada urin atau kelebihan senyawa, 1. Laki-laki 21 70
pengaruh hormon, keadaan fisik dan intensitas 2. Perempuan 9 30
aktivitas, di mana saluran kemih pria yang lebih Total 30 100%
sempit membuat batu ginjal menjadi lebih sering
tersumbat dan menyebabkan masalah. Pola gaya Jenis kelamin pasien gagal ginjal kronik
hidup laki-laki berisiko terkena gagal ginjal kronik stadium V dengan hipertensi yang menggunakan
karena kebiasaan minum alkohol yang dapat antihipertensi golongan Angiotensin Receptor
menyebabkan ketegangan pada ginjal sehingga Blocker (ARB) dapat dilihat pada tabel 2. Usia
ginjal bekerja lebih keras. Karsinogen alkohol pasien gagal ginjal konik stadium V pada sampel
yang disaring keluar dari tubuh melalui ginjal penelitian ini terdistribusi pada rentang usia
mengubah DNA dan merusak sel-sel ginjal sekitar 31-70 tahun, yaitu usia 31-40 tahun (27%),
sehingga berpengaruh pada fungsi ginjal (Hartini, 41-50 tahun (6%), 51-60 tahun (50%), dan 61-70
2016). tahun (10%) (Tabel 3, Gambar 2). Tampak bahwa
persentase pasien terbesar berada pada rentang
Tabel 1. Karakteristik Jenis Kelamin Pasien usia 51-60 tahun. Hal ini disebabkan karena
Gagal Ginjal Kronik Stadium V semakin bertambahnya usia, semakin berkurang
No. Jenis Jumlah Persentase pula fungsi ginjal dan berhubungan dengan
Kelamin Pasien (%) penurunan kecepatan ekskresi glomerulus serta
1. Laki-laki 20 67 memburuknya fungsi tubulus. Penurunan fungsi
2. Perempuan 10 33 ginjal dalam skala kecil merupakan proses normal
Total 30 100% bagi setiap manusia seiring bertambahnya usia,
namun karena adanya beberapa faktor risiko
dapat menyebabkan potensi terjadinya gagal
ginjal kronik. Hal ini juga terdapat dalam literatur
di mana dikatakan berdasarkan data tahun 2011,
pasien gagal ginjal kronik terbanyak pada rentang
usia 45-54 tahun yaitu sebanyak 27% (Indonesia
Renal Registry, 2011). Menurut Mcclellan dan
Flanders (2003) terbukti bahwa faktor risiko gagal
ginjal salah satunya adalah usia yang lebih tua.
Berdasarkan status pasien (Tabel 4) yang
tercatat pada penelitian ini, seluruh pasien yang
menjadi sampel penelitian, yaitu 30 orang pasien,
secara keseluruhan menggunakan BPJS sebagai
salah satu sarana pelayanan jasa yang digunakan.
Individu dengan status sosial ekonomi
berkecukupan akan mampu menyediakan segala
Gambar 1. Diagram jenis kelamin pasien gagal fasilitas yang diperlukan untuk memenuhi
ginjal kronik stadium V. kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, individu dengan

JOURNAL OF PHARMACY SCIENCE AND PRACTICE I VOLUME 4 I NUMBER 2 I OCTOBER 2017 90


J PHARM SCI & PRACT, 2017, 4(2): 88-95

status sosial ekonominya rendah akan mengalami memiliki gejala atau gangguan metabolik yang
kesulitan di dalam memenuhi kebutuhan dapat terlihat seperti pada stadium 3-5, seperti
hidupnya, di mana hal ini akan berhubungan anemia, hiperparatiroidisme, penyakit
dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan yang kardiovaskuler dan malnutrisi (Hudson and
ada (Sunaryo, 2009). Berdasarkan Indonesia Wazny, 2015). Pada saat pasien mencapai stadium
Renal Registry (2012) dikatakan bahwa V, terjadi gangguan berat badan, status gizi,
persentase status pasien yang menjalani keseimbangan elektrolit dan air serta timbulnya
hemodialisis secara pribadi atau umum sebanyak keadaan uremia (Kasper et al., 2005).
32%, sedangkan 68% lainnya menggunakan Berdasarkan Indonesia Renal Registry (2014)
layanan kesehatan seperti Askes, Gakin, persentase terbesar penyebab gagal ginjal kronik
Jamkesmas, dan asuransi swasta yang saat ini pasien adalah penyaki hipertensi (89%) dan
layanan kesehatan ini digabung dalam BPJS. Dari nefropati diabetik (22%). Hipertensi dapat
penelitian ini juga dapat dilihat bahwa status menyebabkan gagal ginjal kronik, dimana terjadi
pasien dapat mempengaruhi dalam hal pemberian penurunan jumlah nefron yang menyebabkan
terapi maupun pemeriksaan lainnya karena dari terjadinya hipertensi intraglomerular yang
yang kita ketahui bahwa BPJS yang digunakan kemudian akan meningkatkan produksi matriks
oleh masyarakat bersifat terbatas, di mana tidak ekstraselular sehingga menimbulkan
semuanya dapat teralokasi secara lengkap dan glomerulosklerosis (Steddon et al., 2014).
sesuai dengan segala permintaan dari pasien. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Oleh karena itu sangat dibutuhkan bentuk (Supadmi, 2011) dikatakan bahwa pasien gagal
komunikasi yang baik antara pasien dan tenaga ginjal kronik yang menjalani hemodialis
kesehatan, ataupun tenaga kesehatan dalam hal mempunyai riwayat hipertensi (28 pasien) yang
ini farmasis dengan tenaga kesehatan lainnya menunjukkan bahwa hipertensi merupakan salah
dalam pengaturan pelayanan yang efektif dan satu faktor risiko gagal ginjal kronik.
efisien bagi tiap pasien.
Tabel 4. Status Pasien Gagal Ginjal Kronik
Tabel 3. Karakteristik Usia Pasien Gagal Ginjal Stadium V
Kronik Stadium V. No. Status Jumlah Persentase
No. Usia Jumlah Persentase Pasien Pasien (%)
pasien (%) 1. Umum 0 0
1. 21-30 2 6 2. BPJS 30 100
2. 31-40 8 27 Total 30 100
3. 41-50 2 6
4. 51-60 15 50
5. 61-70 3 10 Tabel 5. Klasifikasi Pasien Gagal Ginjal Kronik
6. 71-80 0 0 Stadium V
7. 81-90 0 0 GFR
Total 30 100 Jumlah Persentase
Stadium (mL/min/1,
Pasien (%)
73 m )2

1 ≥ 90 0 0
2 60-89 0 0
Usia Pasien 3 30-59 0 0
4 15-29 0 0
5 < 15 30 100
10% 6% Total 30 100

27% Terapi antihipertensi yang diberikan pada


30 pasien gagal ginjal kronik stadium V di Rumah
Sakit Bhayangkara Surabaya terdiri dari terapi
51% 6% tunggal dan terapi kombinasi dengan
antihipertensi lainnya. Terapi tunggal
antihipertensi golongan ARB diberikan kepada 3
pasien sedangkan terapi kombinasi dengan
Gambar 2. Diagram usia pasien gagal ginjal antihipertensi lainnya diberikan kepada 27 pasien
kronik stadium V. (Tabel 6). Antihipertensi golongan ARB dan
kombinasi antihipertensi lainnya diberikan secara
Semua pasien pada penelitian ini oral. Antihipertensi golongan ARB bekerja dengan
didiagnosis menderita gagal ginjal kronik stadium memblokade AT1 reseptor sehingga menyebabkan
V dengan nilai GFR ≤ 15 mL / menit / 1,73 m2 vasodilatasi, peningkatan ekskresi Na+ dan cairan
(Tabel 5) di mana pengukuran GFR menggunakan (mengurangi volume plasma), menurunkan
metode MDRD 4-variabel menggunakan hipertrofi vaskular. Selain memblokade AT1, ARB
parameter SCr dan Usia (Mahmoud, 2008). tidak menurunkan konsentrasi angiotensin II
Penderita stadium 1 atau 2 biasanya tidak dalam darah jika terjadi perangsangan AT2 lebih

JOURNAL OF PHARMACY SCIENCE AND PRACTICE I VOLUME 4 I NUMBER 2 I OCTOBER 2017 91


Studi Penggunaan Antihipertensi Golongan Angiotensin Receptor Blockers Terhadap Pasien Gagal Ginjal Kronik Stadium V di Rumah Sakit Bhayangkara Surabaya

banyak oleh angiotensin II yang menyebabkan digunakan untuk kombinasi yaitu ARB, CCB,
vasodilatasi dan antiproliferasi (Kabo, 2014). Beta-blockers, dan Centrally-acting alpha-2
agonists yang merupakan golongan obat yang
Tabel 6. Penggunaan Antihipertensi Golongan paling sering dikombinasikan dengan
Angiotensin Recceptor Blockers (ARB) antihipertensi golongan ARB dimana efeknya
No. Terapi Jumlah Persentase dapat mempercepat penurunan tekanan darah.
Pasien (%) Dari literatur juga disebutkan salah satunya
1. Antihipertensi 3 10 Centrally-acting alpha-2 agonists memiliki
golongan ARB fungsi menurunkan tekanan darah pada pasien
2. Antihipertesni 27 90 dengan gagal ginjal kronik (Straka et al., 2008).
Golongan ARB Penggunaan terapi dengan menggunakan 2 atau
+ lebih obat antihipertensi dianjurkan untuk pasien
antihipertensi yang mempunyai tekanan darah yang sangat
lainnya tinggi dimana tekanan darahnya berada jauh dari
Total 30 100 target tekanan darah yang sebenarnya. Hal ini
juga dibenarkan sesuai dengan yang tertulis pada
Hasil penelitian (Tabel 7) menunjukkan literatur (Schwinghammer, 2008) yang
bahwa pasien mendapat terapi antihipertensi mengatakan bahwa kombinasi obat antihipertensi
golongan ARB tunggal yaitu terapi Candensartan sering diperlukan untuk mengontrol tekanan
(8 mg) 1x1 mg per hari sejumlah 1 pasien dan darah dan banyak pasien menggunakan
Irbesartan (150 mg) 1x1 mg per hari sejumlah 2 kombinasi 2 atau lebih penggunaan
pasien. Penggunaan dosis tunggal ini memenuhi antihipertensi. Menurut JNC 8 kombinasi
prosedur yang terdapat pada guideline JNC 8 antihipertensi yang tidak disarankan untuk
dimana untuk dosis per hari Candensartan 4 mg diberikan adalah antihipertensi golongan ARB
dengan target dosis 12-32 mg per hari dan dengan ACEi, hal ini dikarenakan dapat
Irbesartan dosis sehari 75 mg dengan target dosis meningkatkan serum kreatinin dan menyebabkan
300 mg per hari. Selain itu tercatat juga pada efek metabolik seperti hiperkalemia, terutama
penelitian ini penggunaan antihipertensi golongan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal
ARB dengan antihipertensi lainnya (Tabel 9) (James et al., 2014). Hasil penelitian tidak
menunjukkan bahwa total pemberian kombinasi menunjukkan adanya pemakaian kombinasi
antara antihipertensi golongan ARB dan CCB kedua golongan obat ini yaitu golongan ARB
sebanyak 11 pasien (41%), jumlah persentase dengan golongan ACEi.
kombinasi golongan antihipertensi ini lebih Berdasarkan guideline JNC 8 target
banyak dibandingkan dengan kombinasi tekanan darah untuk hipertensi adalah 120/80
antihipertensi lainnya. mmHg, akan tetapi pasien dengan gagal ginjal
kronik stadium V target tekanan darah yang harus
Tabel 7. Penggunaan Antihipertensi Golongan dicapai adalah ≤ 140/90 mmHg. Hasil penelitian
ARB Tunggal (Tabel 10) menunjukkan bahwa hasil pengukuran
No. Antihipertensi Jumlah Persentase tekanan darah yang tercatat pada saat pre
Golongan ARB Pasien (%) hemodialisis dan post hemodialisis secara
1. Candensartan 1 33 keseluruhan pada beberapa pasien memberikan
(1x1) po penurunan tekanan darah yang sesuai dengan
2. Irbesartan (1x1) 2 67 target terapi, tetapi ada juga beberapa pasien yang
po tidak memberikan hasil sesuai dengan target
pencapaian. Tekanan darah pasien yang
Kombinasi yang paling banyak adalah memenuhi target terapi menunjukkan bahwa
dengan antihipertensi golongan CCB (Calcium sebanyak 18 pasien (60%) memenuhi target
Channel Blocker) dimana antihipertensi golongan tekanan darah pasien gagal ginjal kronik dengan
ini dapat mencegah atau memblok kalsium masuk hipertensi menurut JNC 8 yaitu ≤ 140/90 mmHg
ke dalam dinding pembuluh darah. Kalsium dan 12 pasien (40%) dengan tekanan darah
diperlukan otot untuk melakukan kontraksi, berada di atas target tekanan darah yang
karena kalsium dihambat maka sel-sel otot polos diinginkan (Tabel 11, Gambar 3). Dari hasil
pembuluh darah akan mengalami relaksasi, yang pengukuran tekanan darah dapat kita analisa
akan mengakibatkan terjadinya vasodilatasi dan bahwa salah satu penyebab terjadinya gagal ginjal
menurunnya tekanan darah (Eliot dan Ram, kronik adalah hipertensi yang tidak terkendali
2011). Berdasarkan penelitian yang tercatat dan yang menyebabkan kerusakan pada organ tubuh
dibandingkan dengan dosis pemberian yang lainnya sehingga memicu terjadinya gagal ginjal
tercantum dalam guideline JNC 8 telah kronik dengan komplikasi penyakit lainnya
memenuhi prosedur dalam pemberian terapi. (Tedjasukmana, 2012).
Dalam penelitian ini kombinasi obat Berdasarkan hasil penelitian penggunaan
antihipertensi yang diterima oleh pasien yaitu 2, 3 obat antihipertensi tunggal dibandingkan dengan
dan 4 macam kombinasi golongan antihipertensi kombinasi dapat dilihat bahwa capaian tekanan
(Tabel 8). Golongan antihipertensi yang darah pasien lebih menunjukkan hasil yang sesuai
dengan guideline JNC 8 jika pasien menggunakan

JOURNAL OF PHARMACY SCIENCE AND PRACTICE I VOLUME 4 I NUMBER 2 I OCTOBER 2017 92


J PHARM SCI & PRACT, 2017, 4(2): 88-95

kombinasi antihipertensi golongan ARB dan CCB. mengurangi terjadinya peningkatan tekanan
Hal ini juga dijelaskan pada penelitian yang darah pada saat hemodialisis dan juga dapat
dilakukan oleh Naysila (2012), yaitu dikatakan mengurangi terjadinya hipertensi dan penyakit
bahwa dengan menggunakan kombinasi kardiovaskular.
antihipertensi golongan ARB dan CCB dapat

Tabel 8. Pola Penggunaan Antihipertensi Golongan ARB Dengan Antihipertensi Golongan Lainnya
Kombinasi Jenis, Dosis, dan Frekuensi Pemberian Terapi Antihipertensi
Obat 4
Obat 1 Obat 2 Obat 3 (Centrally- Jumlah Persentase
(ARB) (CCB) (β-blocker) acting alpha-2 Pasien (%)
agonist)
Irbesartan Amlodipin 10 7 22
300 mg (1x1 mg (1x1 mg)
mg)
Irbesartan Nifedipin CC Bisoprolol 5 Metildopa 250 mg 1 4
300 mg (1x1 30 mg (1x1) mg (1x1 mg) (1x1 mg)
mg)
Irbesartan Amlodipin 10 Bisoprolol 5 Metildopa 250 mg 1 8
300 mg (1x1 mg (1x1) mg (1x1 mg) (1x1 mg)
mg)
Irbesartan Amlodipin 10 Bisoprolol 5 Metildopa 250 mg 1 4
300 mg (1x1 mg (1x1) mg (1x1 mg) (1x1 mg)
mg)
Micardis 80
mg (1x1 mg)
Irbesartan Amlodipin 10 Metildopa 250 mg 2 8
300 mg (1x1 mg (1x1) (1x1 mg)
mg)
Irbesartan Amlodipin 10 Bisoprolol Metildopa 250 mg 2 8
300 mg (1x1 mg (1x1) nemifumarate (1x1 mg)
mg) 2,5 mg (1x1)
Irbesartan Nifedipin CC Bisoprolol 5 Metildopa 250 mg 1 4
300 mg (1x1 30 mg (1x1) mg (1x1 mg) (1x1 mg)
mg)
Telmisartan Nifedipin CC 1 4
80 mg (1x1 30 mg (1x1)
mg)
Telmisartan Bisoprolol 1 4
80 mg (1x1 nemifumarate
mg) 2,5 mg (1x1)
Telmisartan Amlodipin 10 3 10
80 mg (1x1 mg (1x1)
mg)
Telmisartan Amlodipin 10 Bisoprolol 5 Metildopa 250 mg 2 8
80 mg (1x1 mg (1x1) mg (1x1 mg) (1x1 mg)
mg)
Telmisartan Amlodipin 10 Bisoprolol 5 2 4
80 mg (1x1 mg (1x1) mg (1x1 mg)
mg) Bisoprolol
nemifumarate
2,5 mg (1x1)
Telmisartan Nifedipin CC Bisoprolol 5 Metildopa 250 mg 2 8
80 mg (1x1 30 mg (1x1) mg (1x1 mg) (1x1 mg)
mg)
Candensartan Amlodipin 10 Metildopa 250 mg 1 4
8 mg (1x1 mg) mg (1x1) (1x1 mg)

Berdasarkan hasil penelitian yang telah lainnya digunakan untuk menghambat terjadinya
tercatat dan diuraikan diketahui bahwa perkembangan proses penyakit menuju ke
pemberian antihipertensi golongan ARB secara penyakit komplikasi yang dapat menyebabkan
tunggal dan kombinasi dengan antihipertensi kerusakan fungsi organ tubuh lainnya.

JOURNAL OF PHARMACY SCIENCE AND PRACTICE I VOLUME 4 I NUMBER 2 I OCTOBER 2017 93


Studi Penggunaan Antihipertensi Golongan Angiotensin Receptor Blockers Terhadap Pasien Gagal Ginjal Kronik Stadium V di Rumah Sakit Bhayangkara Surabaya

Berdasarkan Tedjasukmana (2012) dikatakan terapi sehingga pada akhirnya tujuan dari proses
bahwa tujuan dari terapi antihipertensi dalam pelayanan kesehatan pada pasien dapat tercapai.
kasus gagal ginjal kronik adalah untuk mencegah
komplikasi, menurunkan kejadian kardiovaskular, Tabel 10. Profil Perubahan Tekanan Darah
serebrovaskular, dan renovaskular, dengan kata Terhadap Pasien Dengan Menggunakan Terapi
lain menurunkan efek tekanan darah tinggi Antihipertensi Golongan Angiotensin Receptor
terhadap kerusakan end-organ. Blockers (ARB).
Tekanan Darah (mmHg)
Nama
Pre Post
Pasien
Hemodialisis Hemodialisis
Tn. APT 140/80 140/80
Tn. AHP 90/60 90/60
Tn. ASD 130/80 150/90
Tn. BST 130/80 140/80
Ny. BDS 140/90 140/90
Ny. CSU 150/80 140/80
Tn. DST 130/80 130/80
Tn. DSS 140/80 140/80
Tn. HSY 150/90 150/90
Gambar 3. Diagram profil tekanan darah pasien Tn. HRY 120/80 120/80
gagal ginjal kronik stadium V. Tn. HKW 110/80 100/80
Tn. IPT 180/90 170/90
Tabel 9. Terapi Lain Terhadap Pasien Gagal Ny. LES 150/80 160/80
Ginjal Kronik Stadium V Tn. LKY 140/80 140/80
Kombinasi Jumlah Persentase Ny. MNH 140/80 130/90
antihipertensi pasien (%) Ny. MRT 140/80 150/80
ARB + CCB 11 41 Tn. MOD 160/80 160/90
ARB + CCB + β- 10 37 Tn. MZM 130/80 120/80
bloker + Ny. NLR 160/90 180/90
Centrally-acting Ny. NRS 120/80 110/70
α-2 agonists Tn. PWH 130/80 160/80
ARB + CCB + 3 11 Ny. RRM 130/80 130/80
Centrally-acting Tn. RPA 150/80 150/80
α-2 agonists Tn. SHD 140/90 140/90
ARB + β-bloker 1 4 Tn. ISB 120/80 120/80
ARB + CCB + β- 2 7 Tn. SBG 140/80 130/90
bloker Tn. SBT 120/80 120/80
Total 27 100 Ny. TRM 130/80 150/80
Tn. WKS 150/80 150/90
Dari pembahasan di atas dapat diketahui TN. YWS 160/90 160/90
bahwa manajemen terapi pada pasien gagal ginjal
kronik stadium V sangat kompleks, tidak Tabel 11. Profil tekanan darah pasien gagal ginjal
mempertimbangkan dari satu sisi melainkan perlu kronik stadium V
mempertimbangkan banyak hal terutama dalan Tekanan
pemilihan terapi pada pasien. Di sinilah peran Jumlah Persentase
No. darah
farmasis untuk bekerja sama dengan tenaga pasien (%)
(mmHg)
kesehatan lainnya untuk lebih memperluas dan
1. ≤ 140/90 18 60
memperketat perencanaan dan pemantauan
2. ≥ 140/90 12 40
Total 30 100

KESIMPULAN
Penggunaan antihipertensi golongan centrally-acting alpha-2 agonist. Penggunaan
Angiotensin Receptor Blockers (ARB) ditemukan kombinasi antihipertensi paling banyak yaitu
pada 30 pasien, di mana 3 pasien (10%) antihipertensi golongan ARB dan CCB sebanyak
menggunakan antihipertensi secara tunggal dan 11 pasien (41%), dan pencapaian target tekanan
27 pasien (90%) menggunakan kombinasi darah pasien (≤ 140 / 90 mmHg) sebanyak 18
antihipertensi CCB, nitrat, beta blockers, dan pasien (60%).

DAFTAR PUSTAKA Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 9th edition,


McGraw-Hill, New York, pp 787-788.
Hudson, J.Q. and Wazny, L.D., 2015, ‘Renal Disorders:
Chronic Kidney Disease’ in: Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, Eliot, W.J. and Ram, C.V.S., 2011, Calcium Channel Blocker,
G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., The Journal of Clinical Hypertension, 13(9):687.

JOURNAL OF PHARMACY SCIENCE AND PRACTICE I VOLUME 4 I NUMBER 2 I OCTOBER 2017 94


J PHARM SCI & PRACT, 2017, 4(2): 88-95

Eknoyan, G., 2007, Chronic kidney disease as a global public


Ganong, W.F. 2012, Review of Medical Physiology, 24th health problem: Approaches and initiatives-a position
Edition, McGraw Hill Companies Inc., New York, pp. 673-676. statement from Kidney Disease Improving Global Outcomes,
Jurnal Kidney International, 72:247-259.
Grassi, G., Seravalle, G., Calhoun, D.A., Bolla, G.B.,
Giannattasio, C.G., Marabini, M., Del Bo, A., Mansia, G., 1994, Mahmoud, M.A., 2008, Drug Therapy Problems and Quality
Mechanisms responsible for sympathetic activation by cigarret of Life in Patients with Chronic Kidney Disease,
smoking in humans, Circulation, 90: 248-253. University Sains Malaysia, Kuala Lumpur.

Greenberg, G. and Harrison, V.R. 2014, Guidelines For Clinical Mcclellan, W.M., dan Flanders, W.D., 2003, Risk Factor for
Care Ambulatory, Michigan Medicine, University of Michigan, progessive chronic kidney disease, Journal of the American
pp. 14-15. Society of Nephrology, 14:S65-S70.

Hartini, S., 2016, ‘Gambaran Karakteristik Pasien Gagal ginjal Naysila, A.M., 2012, ‘Faktor Risiko Hipertensi Intradialitik
Kronis Yang Menjalani Hemodialisa Di Rumah Sakit Umum Pasien Penyakit Ginjal Kronik’, Laporan Hasil Karya Tulis
Daerah Dr. Moewardi’, Skripsi, Fakultas Ilmu Kesehatan Ilmiah, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro,
Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Semarang.

Indonesia Renal Registry (IRR), 2011, Report of Indonesian Orth, S.R., Ogata, H., and Ritz, E., 2000, Smoking and kidney,
Renal Registry 4th Edition,Perkumpulan Nefrologi Indonesia Nephrol Dial Transplant, 15:1509-1511.
(Pernefri), pp 38.
Schwinghammer, T.L., 2008.‘Renal Disorders: Chronic
Indonesia Renal Registry(IRR). 2012, Report Of Indonesian Kidney Disease’, inDipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee,
Renal Registry 5hEdition.Perkumpulan Nefrologi Indonesia G.C., Matzke, G.R., PharmacotherapyHandbook: A
(Pernefri), pp 7. Approach, 7thedition, MC Graw-Hill, USA, pp 140-144, 166.

Indonesia Renal Registry (IRR), 2014, Report Of Indonesian Steddon, S., Ashman, N., Chesser, S., and Cunningham, J.,
Renal Registry 7th Edition.Perkumpulan Nefrologi Indonesia 2014, Oxford Handbook of Nephrology and Hypertension,
(Pernefri), pp 13-15. Oxford University Press, New York, pp. 604- 608.

James, P.A., Oparil, S., Carter, B.L., Cushman, W.C., Straka, R.J., Burkhardt R.D., and Parra, D. 2008.‘Chronic and
Himmelfarb, C.D., Handler, J., Lackland, D.T., LeFevre, M.L., End-Stage Renal Disease’,in: M.A. Chisholm-Burn, B.G.,
MacKenzie, T.D., Ogedegbe, O., Smith, S.C., Svetkey, L.P., Wells, T.L., Scheinghammer, P.M., Malone, J.M., Kolesar,
Taler, S.J., Townsend, R.R., Wright, J.T., Narva, A.S., Ortiz, E., J.C., Rotchafer, J.T., Dipiro. Pharmacotherapy Principle &
2014, ‘Evidence-Based Guidline For The Management of High Practice. USA: McGraw Hill Co.
Blood Pressure In Adults’, Report From The Panel Members
Appoitnted To The Eighth Joint National Committee (JNC 8), Sunaryo, 2009, Psikologi untuk Keperawatan, EGC, Jakarta.
311 (5): 507-20. Supadmi, W., 2011, Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi
Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis,
Kabo, P. 2014, Bagaimana Menggunakan Obat-Obat Jurnal Ilmiah Kefarmasian, 1(1): 67-80.
Kardiovaskular Secara Rasional, Edisi Pertama, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Suwitra, K., 2014, ‘Penyakit Ginjal Kronik’ dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Pusat Penerbitan
Kasper, D.L., Braunwald, E., Hauser, S., Longo, D., Jameson, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, pp. 2160-
J.L., and Fauci, A.S., 2005, ‘Harrison’s Principles of Internal 2161.
Medicine 16th edition’, McGraw Hill, New York.
Tedjasukmana, P., 2012, Tata Laksana Hipertensi, Cermin
Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Dunia Kedokteran-192, 39(4): 251-255.
Work Group, 2013 KDIGO Clinical Practice Guideline for The
Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. Tokala, B.F., Kandou, L.F.J. dan Dundu, A.E., 2015, Hubungan
Kidney International, Supplement, 2013, 3: 1-150. Antara Lamanya Menjalani Hemodialisis Dengan Tingkat
Kecemasan Pada Pasien Dengan Penyakit Ginjal Kronik Di
Levey, A.S., Atkins, R., Coresh, J., Cohen, E.P., Collins, A.J., RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, Jurnal e-Clinic (eCl), 3
Eckard, K.U., Nahas, M.E., Jaber, B.L., Jadoul, M., Levin, A., (1): 402-407.
Powe, N.R., Rossert, J., Wheeler, D.C., Lamaire, N., and

JOURNAL OF PHARMACY SCIENCE AND PRACTICE I VOLUME 4 I NUMBER 2 I OCTOBER 2017 95


http://jurnal.fk.unand.ac.id 68

Artikel Penelitian

Perbandingan Levofloxacin dengan Ciprofloxacin Peroral


dalam Menurunkan Leukosituria Sebagai Profilaksis Isk pada
Kateterisasi di RSUP. Dr. M. Djamil Padang
1 1 3
Marwazi Sofyan , Alvarino , Erkadius

Abstrak
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah keadaan ketika kuman tumbuh dan berkembang biak di dalam saluran
kemih dalam jumlah yang bermakna. Diagnosis ISK ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis bakteriuria dan
leukosituria. ISK pasca kateterisasi merupakan penyebab terbesar infeksi nosokomial, dengan sumber kuman bisa
dari penyebaran ascending (seperti penggunaan kateter), hematogen maupun limfogen. Antibiotik profilaksis perlu
diberikan untuk mencegah infeksi, mengingat tingginya kemungkinan ISK pasca kateterisasi. Flouroquinolon saat ini
masih direkomendasikan untuk profilaksis ISK, namun akhir-akhir ini banyak laporan tentang resistensi terhadap
golongan ini, terutama ciprofloxacin. Ciprofloxacin adalah golongan fluoroquinolon generasi kedua sedangkan
Levofloxacin merupakan generasi ketiga. Di RSUP DR M Djamil, khususnya di SMF Urologi belum ada data mengenai
perbandingan keefektifan levofloxacin dan ciprofloxacin ini terhadap profilaksis ISK. Oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian keefektifan levofloxacin dibandingkan dengan ciprofloxacin dalam menurunkan insiden leukosituria sebagai
profilaksis ISK pada pasien yang dipasang kateter Foley. Metode: Subjek diambil dari 30 pasien yang akan dipasang
kateter Foley, yang dibagi atas dua kelompok atas 15 pasien. Setelah pemasangan dilakukan urinalisis untuk
menentukan kadar leukosit <10/LPB, lalu diberi Levofoloxacin 750 mg dan Ciprofloxacin 750 mg secara oral pada
masing-masing kelompok. Tiga hari kemudian dilakukan urinalisis ulang. Hasil Penelitian: Tidak didapatkan perbedaan
bermakna dalam kadar lekosit urin antara kedua kelompok baik pada hari pemasangan kateter (p Fisher = 0,159) atau
pun tiga hari kemudian (p fisher = 0,097). Penurunan kadar lekosit urin juga tidak bermakna antara kelompok
Levofloxacin dan Ciprofloxacin (Chi-square = 1,222; P>5%). Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan keefektifan antara
Levofloxacin oral 750 mg dengan Ciprofloxacin oral 750 mg dalam menurunkan insiden leukosituria sebagai terapi
profilaksis terhadap ISK pada pasien yang dipasang Foley catheter.
Kata kunci: Levofloxacin, Ciprofloxacin, Leukosituria.

Abstract
Urinary tract infection (UTI) occurred when bacteria grow and multiply in the urinary tract in significant
quamtities. The diagnosis of UTI is confirmed by clinical manifestations with bacteriuria and leukocyturia. Post-
catheterization UTI is the biggest cause of nosocomial infection, with the bacteria spread in ascending (such as the
use of catheter), haematogenous or lymphogenous fashions. Prophylactic antibiotic is needed to prevent infection
because the probability of post-catheterization UTI is high. Fluoroquinolone is currently recommended for UTI
prophylaxis, however, reports about resistance to it is accumulating, especially ciprofloxacin. Ciprofloxacin is the
second generation fluoroquinolone, and the later addition is Levofloxacin as the third generation fluoroquinolone. At
RSUP Dr. M. Djamil, notably at the Urology section, no data is available regarding the comparison of the effectiveness
between the two generations. It is therefore a research on this efficacy between those antibiotics in lowering the
incidence of leukocyturia as the measure to prevent UTI in patients with Foley catheter. Method: Subjects are 30
patients with Foley catheter, divided into two groups of 15 patients each. After insertion of catheter, urinalysis was
performed to determine that the lecocyte count was less than 10 per high power field of the microscope, and each
group then received either Ciprofloxacin or Levofloxacin, 750 mg orally. Urinalysis was repeated three days after the
catheter wa inserted. Results: No significant differnce was found in urinary leucocyte count between the two groups,
either on the day cathete was inserted (p Fisher = 0.159) or three days after (p Fisher 0.097). There was no significant
difference on the reduction of lucocyte count among the two groups (chi-square = 1.222; P>5%). Conclusion: There
was no difference in effectiveness between oraly administered 750 mg Levofloxacin and 750 mg Ciprofloxacin in
lowering the incidence of leukocyturia as prophilactic measures against UTI on patients using Foley catheter.
Keywords: Levofloxacin, Ciprofloxacin, Leukosituria.

Affiliasi penulis :1. Bagian Bedah Fak Kedokteran Unand, 2. Bagian Infeksi saluran kemih (ISK) adalah keadaan
Histologi Fak kedokteran Unand, dimana kuman tumbuh dan berkembang biak dalam
Korespondensi : Marwazi Sofyan email:
saluran kemih dalam jumlah yang bermakna.
marwazi_sofyan@yahoo.co.id Telp: 0751-31746
Diagnosa ISK ditegakkan berdasarkan manifestasi
klinis dengan bakteriuria dan leukosituria (bermakna: 
Pendahuluan 10 / LPB atau pyuria). ISK dapat berlangsung dengan

Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 69

gejala (simptomatis) atau tanpa gejala (asimptomatis). keempat. Martin C.M. mendapatkan angka infeksi
ISK pasca kateterisasi merupakan penyebab terbesar sebesar 100% dalam empat hari dengan perawatan
infeksi nosokomial. Infeksi saluran kemih bisa terjadi terbuka, demikian pula yang didapat oleh Levin J,
pada saluran kemih atas (seperti pyelonephritis) sedangkan Francies dan Landers mendapatkan angka
2,4-6,8-10,20
maupun bawah (seperti cystitis atau urehtritis). infeksi sebesar 92% dalam waktu tiga hari.
Penyebab ISK terbanyak adalah bakteri gram negatif Pada pemeriksaan urine segar digunakan
E.coli, penyebab lain seperti Proteus dan Klebsiella. kriteria penemuan kuman perlapangan pandang, bila
Sumber kuman pada ISK bisa dari penyebaran kuman ditemukan maka hasilnya dikatakan bermakna.
ascending (seperti penggunaan kateter), hematogen Dengan metode ini dapat ditemukan satu atau lebih
1,2,6,13,18
maupun limfogen. kuman, sensitifitasnya 80-100% (rata-rata 93%) dan
Infeksi saluran kemih pasca kateterisasi spesifisitasnya 60-93% (rata-rata 79%). Bila
4
merupakan porsi terbesar dari infeksi nosokomial. dibandingan dengan kriteria biakan urine positif 10
Pada penderita hipertropi prostat dengan retensio colony forming unit (CFU )/ml, sensitivitas yang tinggi
urine, pemasangan kateter merupakan suatu juga diperoleh dengan urine mikroskopis positif. Dari
pertolongan, selain menghilangkan rasa nyeri juga penemuan adanya satu kuman perlapangan pandang
mencegah akibat-akibat yang dapat ditimbulkan diperoleh sensitifitas 72-97% dan spesifisitas 82-89%,
2,5,10,12,15,18
karena adanya bendungan air kemih. sedangkan dengan ditemukan 5 kuman perlapangan
Tata cara pemasangan kateter yang pandang diperoleh spesifisitas sebesar 99%.
atraumatik dengan tindakan aseptik merupakan syarat Pemeriksaan ini menggunakan bilik hitung untuk darah
mutlak untuk tindakan ini agar infeksi yang mungkin guna menentukan jumlah leukosit dan bakteri. Bilik
2,7,8,20
terjadi dapat dicegah. hitung mempunyai beberapa keuntungan antara lain
Walaupun sedemikian sempurnanya cara memudahkan penghitungan jumlah dengan
pemasangan kateter, infeksi masih saja terjadi mengunakan gelas objek dan bilik hitung akan
sebesar 2% pada kateterisasi tunggal, 10% pada menjamin jumlah urine tetap dan merata yang akan
kateterisasi berulang dan 95-100% pada kateterisasi mempermudah difusi sinar sehingga gambaran bakteri
20 4
menetap. tampak lebih jelas.
Infeksi saluran kemih pasca kateterisasi ini Dari penelitian Aumas P dkk, di RSUP DR M
terjadi karena kuman dapat masuk melalui lumen Djamil Padang didapatkan hasil dari pemeriksaan
kateter, rongga yang terjadi antara dinding kateter sendimen urine memiliki nilai sensitifitas yang cukup
dengan mukosa uretra serta akibat bentuk muara tinggi (85%) dan spesifisitas 26%, berarti pemeriksaan
uretra yang sulit dicapai antiseptik, sehingga kuman sendimen urine dapat menemukan 85% kasus ISK
yang berada disini akan terdorong ke dalam kandung pada anak, tetapi hanya menyingkirkan 26% kasus
3,5,6,8,9 16
kemih yang pada dasarnya adalah steril. anank yang tidak menderita ISK.
Infeksi kandung kemih dapat menimbulkan Antibiotik profilaksis ialah antimikroba yang
akibat lanjutan, bahkan sampai pyonefrosis yang akan digunakan untuk mencegah infeksi sebelum infeksi
5,6,8,9
berakhir dengan kegagalan ginjal. bergejala. Antibiotik profilaksis diberikan ½ jam
Hal lain yang memperburuk keadaan adalah sebelum tindakan dan boleh dilanjutkan maksimal 72
adanya infeksi yang asimtomatis sehingga jam paska tindakan. Dalam Guidelines Urologi
memperlambat pengobatan yang seharusnya didapat. Indonesia dijelaskan bahwa waktu pemberian
Tingginya infeksi setelah pemasangan kateter juga antibiotik profilaksis adalah antara < 1 jam sebelum
sebagai akibat sulitnya pengontrolan dan perawatan tindakan sampai maksimal 24 jam pasca tindakan dan
serta penggantian kateter pada penderita yang menurut Guidelines Urologi Eropa menjelaskan bahwa
8,9
memerlukan pemasangan kateter yang lama. waktu pemberian antibiotik untuk profilaksis adalah < 2
Perawatan kateter secara tertutup dapat jam sebelum tindakan dan tidak boleh lebih dari 3 jam
mengurangi infeksi sampai lebih dari 50%, hal ini setelah tindakan. Mengingat tingginya kemungkinan
banyak membantu menurunkan angka infeksi saluran ISK pasca kateterisasi maka perlu diberi antibiotik
kemih setelah pemasangan kateter. Walaupun tak profilaksis. Antibiotik golongan flouroquinolon saat ini
dapat menghilangkannya, karena infeksi masih dapat masih direkomendasikan sebagai antibiotik profilaksis
terjadi melalui dinding kateter, sambungan antara infeksi saluran kemih karena fluoroquinolone
kateter dan tabung pengumpul, serta antara tabung mempunyai daya antibakteri yang kuat terhadap E.
5,6,8,9
pengumpul dengan kantung pengumpul. coli, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, H. influenzae,
Pemakaian kateter menetap terbanyak Providencia, Serratia, Salmonella, N. meningitidis, N.
dilakukan terhadap penderita hipertropi prostat,dimana gonorrhoeae, B. catarrhalis dan Yersinia
Sarim melaporkan bahwa didapatkan angka infeksi enterocolitica. Dalam Guidelines Urologi Eropa
saluran kemih sebelum operasi sebanyak 44% pada antibiotik golongan fluoroquinolon direkomendasikan
penderita yang dilakukan pemasangan kateter, sebagai antibiotik profilaksis. Namun akhir-akhir ini
sedang yang tidak dilakukan pemasangan kateter banyak laporan tentang resistensi golongan
infeksi hanya terjadi pada 12% kasus. Lubis HR flouroquionolon sebagai profilaksis atau terapi ISK
menemukan sebanyak 54% di Medan sedang Adenan terutama ciprofloxacin yang berkisar antara 20%-
12,13,18-20
mendapatkan angka yang lebih tinggi yakni sebesar 30%.
69,2%. Paper pada tahun 1978 melakukan penelitian Ciprofloxacin adalah antibiotik yang termasuk
perkembangbiakan kuman setelah pemasangan dalam golongan fluoroquinolon generasi kedua
kateter, dimana didapatkan perkembangbiakan bakteri sedangkan Levofloxacin merupakan generasi ketiga
sudah terjadi dalam 24 jam, baik dengan perawatan yang merupakan golongan kuinolon baru dengan
kateter terbuka ataupun tertutup, selanjutnya penambahan atom fluor pada cincin kuinolon, oleh
didapatkan bahwa setiap harinya terjadi penambahan karena itu dinamakan juga Fluorokuinolon. Perubahan
infeksi sebesar 5-10% bila dilakukan perawatan struktur ini secara dramatis meningkatkan daya
kateter secara tertutup, sedangkan dengan perawatan bakterinya, memperlebar spektrum antibakteri,
terbuka, angka infeksi sebesar 95% dalam hari

Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 70

memperbaiki penyerapannya di saluran cerna, serta Tabel 3. Penurunan Leukosit pada Levofloxacin
11,14,17
memperpanjang masa kerja obat. oral 750 mg dan Ciprofloxacin oral 750 mg

Metode Penelitian Chi


Jenis penelitian ini merupakan Penurunan A B Total square
eksprimental dengan membandingkan antara dua <5 5 8 13
kelompok sampel yang dipasang foley catheter 5/> 10 7 17 1,222
dimana masing-masing kelompok diberikan Total 15 15 30
Levofloxacin 750 mg peroral dan Ciprofloxacin 750 mg
peroral,kemudian dibandingkan hasil urinalisanya Berdasarkan hasil analisa pada tabel diatas,
dengan penilaian leukosit dalam urin sebelum didapatkan penurunan hasil leukosit pada urin pasien
pemberian antibiotik tersebut diatas dan 3 hari setelah >/5 LPB sebanyak 10 orang pada kelompok yang telah
pemasangan foley chateter. diberikan obat Levofloxacin oral 750 mg, lebih banyak
Data dikumpulkan dan diolah secara manual dibandingkan dengan kelompok yang telah diberikan
dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi obat Ciprofloxacin oral 750 mg. Kemudian, didapatkan
setelah terdapat hasil dari urinalisa. Analisa data hasil p value = 1,222 berarti p value > 0,05 berarti
dilakukan secara non-parametrik. tidak terdapat perbedaan bermakna antara efektifitas
Levofloxacin 750 mg peroral dengan Ciprofloxacin 750
Hasil mg peroral.
Penelitian telah dilakukan di RSUP. Dr. M.
Djamil Padang pada 30 pasien yang ada indikasi Tabel 4. kadar leukosit urinalisa I,urinalisa II dan
kateterisasi urin dan dibagi menjadi 2 kelompok (tiap penurunannya
kelompok 15 orang). Pada kelompok A diberikan
Levofloxacin oral 750 mg dan kelompok B diberikan Mean Mean
Ciprofloxacin oral 750 mg. A SD B SD P S/NS
Urinalisis I 6.300 2.455 6.033 2.475 0.769 NS
Tabel 1. Uji Urinalisa I Urinalisis II 1.167 0.724 1.700 0.775 0.061 NS

Penurunan 5.133 2.167 4.333 1.877 0.289 NS


Urinalisa p
I A B Total Fisher Berdasarkan tabel di atas, pada uji urinalisa I
<5 3 6 9 rata-rata kadar leukosit pasien yang berada pada
5/> 12 9 21
0.159 kelompok yang akan diberikan obat Levofloxacin oral
750 mg hampir sama dibandingkan rata-rata kadar
Total 15 15 30 leukosit pasien pada kelompok yang akan diberikan
obat Ciprofloxacin oral 750 mg yaitu 6.300±2.455:
Berdasarkan hasil analisa pada tabel diatas, 6.033±2.475/ LPB dengan hasil p value = 0,769.
didapatkan hasil leukosit pada urin pasien <5 LPB Sedangkan pada uji urinalisa II, rata-rata kadar
sebanyak 3 orang pada kelompok yang akan diberikan leukosit pasien yang berada pada kelompok yang
obat Levofloxacin oral 750 mg, lebih sedikit telah diberikan obat Levofloxacin oral 750 mg sedikit
dibandingkan dengan kelompok yang akan diberikan lebih kecil dibandingkan rata-rata kadar leukosit
obat Ciprofloxacin oral 750 mg. Kemudian, didapatkan pasien yang berada pada kelompok yang telah
hasil p value = 0,159 berarti p value > 0,05 berarti diberikan obat Ciprofloxacin oral 750 mg yaitu
tidak terdapat perbedaan bermakna antara hasil 1.167±0.724 : 1.700±0.775/ LPB dengan hasil p value
leukosit pada urin yang akan diberikan Levofloxacin = 0,061. Selanjutnya, rata-rata penurunan kadar
750 mg peroral dengan yang akan diberikan leukosit pasien pada kelompok yang telah diberikan
Ciprofloxacin 750 mg peroral. obat Levofloxacin oral 750 mg lebih besar
dibandingkan rata-rata kadar leukosit pasien pada
Tabel 2. Uji Urinalisa II kelompok yang telah diberikan obat Ciprofloxacin oral
750 mg yaitu 5.133±2.167 : 4.333±1.877/ LPB dengan
Urinalisa p hasil p value = 0,289. Berdasarkan hasil diatas
II A B Total Fisher
didapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang
<5 7 3 10
5/> 8 12 20 0.097 bermakna antara efektifitas Levofloxacin 750 mg
Total 15 15 30 peroral dengan Ciprofloxacin 750 mg peroral dalam
penurunan kadar leukosit pada urin.
Berdasarkan hasil analisa pada tabel diatas,
didapatkan hasil leukosit pada urin pasien <5 LPB Pembahasan
sebanyak 7 orang pada kelompok yang telah diberikan Infeksi saluran kemih pasca kateterisasi
obat Levofloxacin oral 750 mg, lebih banyak merupakan porsi terbesar dari infeksi nosokomial.
dibandingkan dengan kelompok yang telah diberikan Dalam menegakkan diagnosa ISK harus didasarkan
obat Ciprofloxacin oral 750 mg. Kemudian, didapatkan pada manifestasi klinis dengan bakteriuria dan
hasil p value = 0,097 berarti p value > 0,05 berarti leukosituria. Walaupun sedemikian sempurnanya cara
tidak terdapat perbedaan bermakna antara efektifitas pemasangan kateter, infeksi masih saja terjadi.
Levofloxacin 750 mg peroral dengan Ciprofloxacin 750 Mengingat tingginya kemungkinan ISK pasca
mg peroral. keteterisasi seperti tersebut diatas maka perlu

Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 71

diberikan antibiotik profilaksis pada saat pemasangan leukosituria sebagai profilaksis ISK pada pasien yang
kateter. Antibiotik golongan florokuinolon saat ini dipasang Foley catheter.
masih direkomendasikan sebagai antibiotik profilaksis Hal ini memang tidak sesuai dengan teori
terhadap ISK. dari beberapa literatur yang mengatakan bahwa
Dalam penelitian ini, peneliti akan Levofloxacin merupakan antibiotik golongan
membandingkan efektifitas antara Levofloxacin oral fuorokuinolon generasi ketiga, dimana daya
dengan Ciprofloxacin oral dalam menurunkan insiden antibakterinya lebih kuat dan spektrumnya lebih luas
terjadinya leukosituria sebagai salah satu indikator bila dibandingkan dengan Ciprofloxacin yang
dalam menegakkan diagnosa ISK sebagai tindakan merupakan golongan fluorokuinolon generasi kedua.
profilaksis terhadap ISK pasca kateterisasi urin dalam Tetapi kedua antibiotik yang sama-sama merupakan
hal ini foley catheter. golongan fluorokuinolon ini merupakan antibiotik yang
Telah dilakukan penelitian terhadap 30 orang mempunyai daya antibakteri yang kuat terhadap
pasien yang ada indikasi kateterisasi, dimana setelah bakteri yang menyebabkan ISK, sehingga sampai saat
dilakukan pemasangan foley chateter langsung ini masih direkomendasikan sebagai antibiotik
lakukan urinalisa pertama yang kemudian dibagi profilaksis ISK.
menjadi 2 kelompok yang masing-masing kelompok
diberikan Levofloxacin oral 750 mg (kelompok A) dan Kesimpulan
Ciprofloxacin oral 750 mg (kelompok B). Gambaran 1. Pemberian Levofloxacin oral 750 mg dan
leukosit dalam urin pada urinalisa pertama tidak boleh Ciprofloxacin oral 750 mg efektif dalam
>10/LPB, karena leukosit dalam urin akan bermakna menurunkan insiden leukosituria pada pasien
bila >10/LPB (leukosituria/pyuria). yang dipasang Foley catheter.
Dari Urinalisa pertama tersebut didapatkan 2. Tidak terdapat perbedaan efektifitas antara
gambaran leukosit dalam urin pada 15 sampel pemberian Levofloxacin oral 750 mg dengan
kelompok A yang akan diberikan Levofloxacin oral 750 Ciprofloxacin oral 750 mg dalam menurunkan
mg sebanyak 3 orang dengan leukosit <5/LPB , dan insiden leukosituria sebagai terapi profilaksis
12 orang dengan leukosit >5/LPB dan dari 15 sampel terhadap ISK pada pasien yang dipasang
pada kelompok B yang akan diberikan Ciprofloxacin Foley catheter.
oral 750 mg didapatkan 5 orang dengan leukosit
<5/LPB dan 10 orang dengan leukosit >5/LPB . Daftar Pustaka
Berdasarkan analisa diatas didapatkan bahwa semua 1. Burkit H.J. Problem Diagnosis and Management.
sampel tidak menunjukkan gambaran leukosituria In: Essensial Surgery. London: Churchill
pada urinalisa sebelum pemberian Levofloxacin oral Livingstone;1992.p. 405-482.
750 mg atau Ciprofloxacin oral 750 mg dan setelah 2. Cravens D.D. Urinary Catheter Management.
dilakukan uji statistik tidak didapatkan perbedaan yang American Family Physician. 2000.
bermakna kadar leukosit dalam urin antara pasien http/www.findarticles.com/cf_O/m3225/2_61/594
pada kedua kelompok tersebut diatas. 86856/print.jhtml.
Pada hari ke 3 setelah pemasangan Foley 3. Purnomo B.B. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: CV
catheter, masing-masing kelompok (A dan B) Infomedika; 2000: 200-214
dilakukan urinalisa kedua. Dari urinalisa kedua 4. Eko, Titin Nugraheni. Pemeriksaan Mikroskopis
didapatkan gambaran leukosit dalam urin pada 15 Urine untuk Diagnosis Infeksi Saluran Kemih
sampel kelompok A sebanyak 7 orang dengan leukosit pada Neonatus. Semarang : Universitas
<5/LPB dan 8 orang dengan leukosit >5/LPB Diponegoro. 2003.
sedangkan gambaran leukosit dalam urin pada 15 5. Hargreave T.B. Bladder and Prostate. In:
sampel kelompok B didapatkan 3 orang dengan Farquhanson’s Text Book of Operative surgery.
th
leukosit <5/LPB dan 12 orang dengan leukosit >5/LPB 8 ed.London : Churchill Livingstone. 1995 : 621-
. Setelah dilakukan uji statistik didapatkan hasil bahwa 653.
th
tidak ada perbedaan bermakna kadar leukosit dalam 6. Blandy JP . Lectures Notes on Urology.3 ed.
urin antara pasien pada kolompok A dibandingkan Bleckwell-Scientific Publication. 1983. p. 159-221
dengan pasien pada kelompok B. 7. Brown R.B. Clinical Urology Illustrated. ADIS
Berdasarkan dari data hasil urinalisa pertama Health Schience Press. 1982: 54-59.
dan kedua diatas menunjukkan bahwa Levofloxacin 8. Bahnson RR . Physiology of The Kidney, Ureter,
dan Ciprofloxacin yang diberikan secara oral dengan and Bladder in Basic Science Review for
dosis 750 mg adalah sama-sama efektif dalam Surgeous. edited by Simmons and Steed. D L
menurunkan kadar leukosit dalam urin, dimana secara WB Sondrs Company. 1990:270-287.
teoritis sesuai dengan yang direkomendasikan dalam 9. Ganong WF. Fisiologi Kedokteran : Berkemih
Guidelines Urologi dan yang ditulis dalam beberapa (Review of Medical Physiology). Edisi 10.
literatur bahwa antibiotik golongan fluorokuinolon Diterjemahkan oleh : Adji Dharma. EGC. 1983 :
merupakan antibiotik terpilih sebagai profilaksis 626-628.
terhadap ISK. 10. Rochani. Retensio Urin dalam Kedaruratan Non
Kemudian dilakukan uji statistik dengan Medik dan Bedah. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
membandingkan efektifitas masing-masing antara 2000: 95-98.
Levofloxacin dan Ciprofloxacin yang diberikan secara 11. Reksoprawiro S. Ilmu Penggunaan Antibiotik
oral dengan dosis 750 mg dalam penurunan kadar Profilaksis pada Pembedahan. Surabaya :
leukosit dalam urin pada masing-masing kelompok Departemen/SMF Ilmu Bedah FK Unair/RS Dr.
sampel (Kelompok A diberikan Levofloxacin dan Soetomo.
kelompok B diberikan Ciprofloxacin) didapatkan hasil 12. Kasatpibal N, Norgaard M, Sorensen H. Risk of
bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna tingkat Surgical Site Infection and Eficiency of Antibiotic
efektifitas antara Pemberian Levofloxacin oral dengan Prophylaxix : A Cohort Study of Appendectomy
Ciprofloxacin oral dalam menurunkan insiden

Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 72

Patients in Thailand. BMC infeksious disease.


2006:6-111. 17. Farmakologi Dan Terapi Departemen
13. Dzen S.M. Kuman Penyebab Infeksi Saluran Farmakologi dan terapeutik Fakultas Kedokteran
Kemih dan Kepekaannya terhadap Antibiotik. Universitas Indonesia. Jakarta. Edisi 5. 2007.
Lab. Mikrobiologi FK Unibraw. Malang: Medika. Hal: 210 – 246.
1996 ; 12(10):944-949. 18. Naber KG, Bergman B, bishop MC, Johansen
14. Nicholas R. Infeksi dan Pemilihan Antibiotik. TEB,
Dalam: Buku Ajar Bedah. Editor : Sabiston D.C. 19. Botto H, Lobel B (E.d).European Association of
Terjemahan: Adrianto P dan Timan. Jakarta Urology : Guidelines on Urinary and Male Genital
:EGC; 1995.p. 206-207. Tract Infection.2011: 78 – 88.
15. Raharjo D. Perbesaran Prostat Jinak Manifestasi 20. Iwan A,dkk. Guidelines Penatalaksanaan infeksi
Klinik Dan Manajemen. Jakarta: saluran Kemih (ISK) dan Genitalia pria 2007.
Ropanasuri.1997, 15(1): 37-44. Hal.: 35 – 37.
16. Aumas P, dkk. Uji diagnostik Tiga metode 21. Furqan. Evaluasi Biakan Urine pada Penderita
Pemeriksaan Urinalisi Untuk Identifikasi Cepat BPH setelah Pemasangan Kateter menetap,
Infeksi Saluran kemih pada Anak. Padang : FK Pertama kali dan Berulang. Bagian Ilmu Bedah
UNAND; 2011. FK USU. Medan.2003.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(1)

Anda mungkin juga menyukai