Anda di halaman 1dari 41

RESUME

“MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT/MUDA DAN SKRINING PADA


BAYI BARU LAHIR”

DOSEN PENGAMPU :
Septi Widiyanti, S.Pd.,M.Kes

DISUSUN OLEH :
Berlian Anastasya Putri (2115371031)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANG
PROGRAM STUDI KEBIDANAN METRO
TAHUN AJARAN 2024/2025

1
I. Manajemen Terpadu Balita Sakit ( MTBS) dan Manajemen Terpadu Balita Muda
(MTBM)
A. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
1. Pengertian Manajemen Terpadu Balita Sakit ( MTBS)
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dalam bahasa Inggris yaitu Integrated
Management of Childhood Illness (IMCI) adalah suatu manajemen melalui pendekatan
terintegrasi/terpadu dalam tatalaksana balita sakit yang datang di pelayanan kesehatan,
baik mengenai beberapa klasifikasi penyakit, status gizi, status imunisasi maupun
penanganan balita sakit tersebut dan konseling yang diberikan (Surjono et al, ; Wijaya,
2009; Depkes RI, 2008). Materi MTBS terdiri dari langkah penilaian, klasifikasi penyakit,
identifikasi tindakan, pengobatan, konseling, perawatan di rumah dan kapan kembali
untuk tindak lanjut. MTBS bukan merupakan suatu program kesehatan tetapi suatu
pendekatan/cara menatalaksana balita sakit. Sasaran MTBS adalah anak umur 0-5 tahun
dan dibagi menjadi dua kelompok sasaran yaitu kelompok usia 1 hari sampai 2 bulan dan
kelompok usia 2 bulan sampai 5 tahun (Depkes RI, 2008).
Kegiatan MTBS merupakan upaya yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan
dan kematian sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di unit rawat jalan
kesehatan dasar seperti puskesmas. World Health Organization (WHO) telah mengakui
bahwa pendekatan MTBS sangat cocok diterapkan negara-negara berkembang dalam
upaya menurunkan kematian, kesakitan dan kecacatan pada bayi dan balita. MTBS telah
digunakan di lebih dari 100 negara dan terbukti dapat:
1) Menurunkan angka kematian balita,
2) Memperbaiki status gizi,
3) Meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan,
4) Memperbaiki kinerja petugas kesehatan,
5) Memperbaiki kualitas pelayanan dengan biaya lebih murah.
(Soenarto, 2009)
Materi MTBS terdiri dari langkah penilaian, klasifikasi penyakit, identifikasi
tindakan, pengobatan, konseling, perawatan di rumah dan kapan kembali. Bagan penilaian
anak sakit terdiri dari petunjuk langkah untuk mencari riwayat penyakit dan pemeriksaan
fisik. Klasifikasi dalam MTBS merupakan suatu keputusan penilaian untuk penggolongan

2
derajat keparahan penyakit. Klasifikasi bukan merupakan diagnosis penyakit yang
spesifik. Setiap klasifikasi penyakit mempunyai nilai suatu tindakan sesuai dengan
klasifikasi tersebut. Tiap klasifikasi mempunyai warna dasar, yaitu merah (penanganan
segera atau perlu dirujuk), kuning (pengobatan spesifik di pelayanan kesehatan), dan hijau
(perawatan di rumah) sesuai dengan urutan keparahan penyakit (Depkes RI, 2008;
Surjono, et al, 1998). Tiap klasifikasi menentukan karakteristik pengelolaan balita sakit.
Bagan pengobatan terdiri dari petunjuk cara komunikasi yang baik dan efektif dengan ibu
untuk memberikan obat dan dosis pemberian obat, baik yang harus diberikan di klinik
maupun obat yang harus diteruskan di rumah. Alur konseling merupakan nasihat
perawatan termasuk pemberian makan dan cairan di rumah dan nasihat kapan harus
kembali segera maupun kembali untuk tindak lanjut (Surjono et al, 1998).

Kegiatan MTBS memiliki 3 komponen khas yang menguntungkan, yaitu:


 Meningkatkan ketrampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana kasus balita sakit
(selain dokter, petugas kesehatan non-dokter dapat pula memeriksa dan menangani
pasien apabila sudah dilatih);
 Memperbaiki sistem kesehatan (perwujudan terintegrasinya banyak program
kesehatan dalam 1 kali pemeriksaan MTBS);

3
 Memperbaiki praktek keluarga dan masyarakat dalam perawatan di rumah dan
upaya pencarian pertolongan kasus balita sakit (meningkatkan pemberdayaan
masyarakat dalam pelayanan kesehatan).
(Wijaya, 2009; Depkes RI, 2008)
Berikut ini gambaran singkat penanganan balita sakit memakai pendekatan MTBS.
Seorang balita sakit dapat ditangani dengan pendekatan MTBS oleh petugas kesehatan
yang telah dilatih. Petugas memakai tool yang disebut Algoritma MTBS untuk melakukan
penilaian/pemeriksaan dengan cara: menanyakan kepada orang tua/wali, apa saja keluhan-
keluhan/masalah anak kemudian memeriksa dengan cara 'lihat dan dengar' atau 'lihat dan
raba'. Setelah itu petugas akan mengklasifikasikan semua gejala berdasarkan hasil tanya-
jawab dan pemeriksaan. Berdasarkan hasil klasifikasi, petugas akan menentukan jenis
tindakan/pengobatan, misalnya anak dengan klasifikasi pneumonia berat atau penyakit
sangat berat akan dirujuk ke dokter puskesmas, anak yang imunisasinya belum lengkap
akan dilengkapi, anak dengan masalah gizi akan dirujuk ke ruang konsultasi gizi, dst.
Di bawah ini adalah gambaran pendekatan MTBS yang sistematis dan terintegrasi
tentang hal-hal yang diperiksa pada pemeriksaan. Ketika anak sakit datang ke ruang
pemeriksaan, petugas kesehatan akan menanyakan kepada orang tua/wali secara
berurutan, dimulai dengan memeriksa tanda-tanda bahaya umum seperti:
 Apakah anak bisa minum/menyusu?
 Apakah anak selalu memuntahkan semuanya?
 Apakah anak menderita kejang?
Kemudian petugas akan melihat/memeriksa apakah anak tampak letargis/tidak sadar?
Setelah itu petugas kesehatan akan menanyakan keluhan utama lain:
 Apakah anak menderita batuk atau sukar bernafas?
 Apakah anak menderita diare?
 Apakah anak demam?
 Apakah anak mempunyai masalah telinga?
 Memeriksa status gizi
 Memeriksa anemia
 Memeriksa status imunisasi
 Memeriksa pemberian vitamin A

4
 Menilai masalah/keluhan-keluhan lain (Depkes RI, 2008)

Berdasarkan hasil penilaian hal-hal tersebut di atas, petugas akan mengklasifikasi


keluhan/penyakit anak, setelah itu melakukan langkah-langkah tindakan/ pengobatan yang
telah ditetapkan dalam penilaian/ klasifikasi. Tindakan yang dilakukan antara lain:
 Mengajari ibu cara pemberian obat oral di rumah;
 Mengajari ibu cara mengobati infeksi lokal di rumah;
 Menjelaskan kepada ibu tentang aturan-aturan perawatan anak sakit di rumah,
misal aturan penanganan diare di rumah;
 Memberikan konseling bagi ibu, misal: anjuran pemberian makanan selama anak
sakit maupun dalam keadaan sehat;
 Menasihati ibu kapan harus kembali kepada petugas kesehatan, dan lain-lain.

Selain itu di dalam MTBS terdapat penilaian dan klasifikasi bagi Bayi Muda berusia
kurang dari 2 bulan, yang disebut juga Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM).
Penilaian dan klasifikasi bayi muda di dalam MTBM terdiri dari:
 Menilai dan mengklasifikasikan untuk kemungkinan penyakit sangat berat atau
infeksi bakteri;
 Menilai dan mengklasifikasikan diare;
 Memeriksa dan mengklasifikasikan ikterus;
 Memeriksa dan mengklasifikasikan kemungkinan berat badan rendah dan atau
masalah pemberian Air Susu Ibu (ASI). Di sini diuraikan secara terperinci cara
mengajari ibu tentang cara meningkatkan produksi ASI, cara menyusui yang baik,
mengatasi masalah pemberian ASI secara sistematis dan terperinci, cara merawat
tali pusat, menjelaskan kepada ibu tentang jadwal imunisasi
pada bayi kurang dari 2 bulan, menasihati ibu cara memberikan cairan tambahan pada
waktu bayinya sakit, kapan harus kunjungan ulang, dll;
 Memeriksa status penyuntikan vitamin K1 dan imunisasi;
 Memeriksa masalah dan keluhan lain. (Wijaya, 2009; Depkes RI, 2008)

2. Strategi Promosi MTBS

5
Untuk meningkatkan penemuan penderita tuberkulosis, ISPA, Malaria, DBD
secara dini pada anak Balita diperlukan puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten
(DKK) setiap daerah menerapkan suatu metode yang bersifat aktif selektif, yaitu MTBS.
Aspek positif dari data yang ada adalah walaupun Case Detection Rate (CDR) rendah
(karena penemuan pasif) tetapi target cure rate tercapai, ini menunjukkan bahwa 85% dari
yang ditemukan sembuh berarti ada pemutusan rantai penularan dengan sekitarnya.
Dengan CDR yang masih rendah walaupun yang ditemukan 85% sembuh ternyata masih
banyak anak Balita penderita TB di lapangan belum ketemu dan diobati yang merupakan
sumber penularan. Dengan cara sekarang (berdasarkan hasil penelitian) akan sulit untuk
meningkatkan CDR. Sebaiknya dinas kesehatan kabupaten dan Puskesmas menerapkan
metode penemuan penderita tuberkulosis dengan cara aktif selektif yang terintegrasi
dengan pelayanan gizi dan kesehatan dasar di Posyandu maupun di Polindes, yaitu dengan
MTBS. Alasan yang dapat menjelaskan mengapa dinas kesehatan kabupaten dan
Puskesmas tidak dapat membuat kebijakan dalam penemuan penderita tuberkulosis dan
penyakit infeksi anak Balita lainnya karena tidak adanya pendanaan yang cukup untuk
melakukan modifikasi serta pendanaan program penurunan angka kesakitan dan kematian
anak Balita. Oleh karena itu perlu promosi MTBS yang dapat membantu mencegah
penularan berbagai penyakit pada anak dan menolong penyembuhan anak balita sakit di
kota maupun di perdesaan. Sampai saat ini strategi yang dikembangkan seperti terlihat
pada Gambar 2.

6
3. PROGRAM KEMENKES UNTUK MTBS DI PUSKESMAS
Rencana Aksi MTBS 2009-2014
 Component I: Improving case management skills of first level workers through
training and follow-up.
 Component II: Ensuring that health facility supports required to provide effective
IMCI care are in place.
 Component III: Household and Community component – 16 key messages about
child care at household and community levels.

7
4. Strategi Menuju MTBS
a) Mengembalikan fungsi posyandu dan meningkatkan kembali partisipasi
masyarakat dan keluarga dalam memantau tumbuh kembang balita, mengenali dan
menanggulangi secara dini balita yang mengalami gangguan pertumbuhan melalui
revitalisasi Posyandu
b) Meningkatkan kemampuan petugas, dalam manajemen dan melakukan tatalaksana
gizi buruk untuk mendukung fungsi Posyandu yang dikelola oleh masyarakat
melalui revitalisasi Puskesmas
c) Menanggulangi secara langsung masalah gizi yang terjadi pada kelompok rawan
melalui pemberian intervensi gizi (suplementasi), seperti kapsul Vitamin A, MP-
ASI dan makanan tambahan
d) Mewujudkan keluarga sadar gizi melalui promosi gizi, advokasi dan sosialisasi
tentang makanan sehat dan bergizi seimbang dan pola hidup bersih dan sehat
e) Menggalang kerjasama lintas sektor dan kemitraan dengan swasta/dunia usaha dan
masyarakat untuk mobilisasi sumberdaya dalam rangka meningkatkan daya beli
keluarga untuk menyediakan makanan sehat dan bergizi seimbang
f) Meningkatkan Perilaku Sadar Gizi dengan :
 Memantau berat badan

8
 Memberi ASI Eksklusif pada bayi 0-6 bulan
 Makan beraneka ragam
 Menggunakan garam beryodium
 Memberikan suplementasi gizi sesuai anjuran
g) Intervensi Gizi dan Kesehatan dalam MTBS
1) Memberikan perawatan/pengobatan di Rumah Sakit dan Puskesmas pada anak
balita gizi buruk disertai penyakit penyerta
2) Pendampingan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berupa MP-ASI bagi anak
6-23 bulan dan PMT pemulihan pada anak 24-59 bulan kepada balita gizi kurang
baik yang memiliki penyakit penyerta ataupun tidak ada penyakit penyerta
h) Advokasi dan pendampingan MTBS
1) Menyiapkan materi/strategi advokasi MTBS
2) Diskusi dan rapat kerja dengan DPRD secara berkala tentang pelaksanaan dan
anggaran MTBS
3) Melakukan pendampingan di semua Puskesmas di setiap Kabupaten.

Daftar Tilik
Pelayanan Manajemen Terpadu Balita Sakit
( MTBS )
Petunjuk penilaian:
1. Tidak dikerjakan sama sekali
2. Dikerjakan dengan keraguan, langkah belum berurutan, waktu yang dibutuhkan lebih lama
3. Dikerjakan dengan baik, sesuai langkah – langkahnya, waktu belum efektif
4. Dikerjakan dengan baik, sesuai langkah – langkahnya, waktu lebih efektif

YA/TDK
NO. LANGKAH/KEGIATAN
1 2

1. Memberikan salam dan memperkenalkan diri

2. Menjelaskan tujuan pemeriksaan

9
3. Menanyakan identitas pasien pada orang tua anak

4. Menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan anak

5. Mengukur suhu tubuh anak bila ada demam

6. Menanyakan keluhan utama pasien pada orangtuanya

Menanyakan kunjungan yang ke berapa ke unit pelayanan


7.
anak

8. Memeriksa tanda-tanda bahaya umum

Menanyakan apakah anak batuk atau sukar bernapas

9.  Jika YA, tanyakan sudah berapa hari menderita


batuk

 Hitung frekuensi napas dalam satu menit dan lihat


. apakah ada tarikan dinding dada dan dengar adanya
stridor

Menanyakan apakah anak menderita diare

 Jika YA, tanyakan sudah berapa hari menderita


diare, serta adakah darah dalam tinja
10.  Nilai keadaan umum anak
 Lihat apakah matanya cekung
 Cubit kulit perutnya, apakah kembalinya sangat
lambat (> 2 detik)

10
Menanyakan apakah anak menderita demam

 Jika YA, tentukan daerah resiko malaria atau


tanyakan apakah anak dibawa berkunjung keluar
daerah dalam 2 minggu terakhir
 Tanyakan sudah berapa hari menderita demam
 Jika demam > 7 hari, tanyakan apakah demam
terjadi setiap hari
11.  Tanyakan apakah anak menderita campak dalam 3
bulan terakhir
 Lihat dan raba adanya kaku kuduk
 Lihat adakah pilek
 Lihat adakah tanda-tanda campak
 Jika anak menderita Campak, lihat adakah luka di
mulut, adakah nanah keluar dari mata dan adakah
kekeruhan pada kornea

Jika demam 2 - 7 hari, klasifikasikan demam berdarah . .

 Menanyakan adakah perdarahan dari hidung atau gusi


 Tanyakan apakah anak muntah
 Jika YA, tanyakan apakah sering dan apakah muntahnya
berdarah atau seperti kopi.
12.  Tanyakan apakah berak berwarna hitam
 Tanyakan adakah nyeri ulu hati atau gelisah
 Lihat adakah perdarahan dari hidung atau gusi
 Lihat adakah bintik perdarahan di kulit
 Raba suhu ujung ekstremitas dan raba nadinya

11
Menanyakan apakah anak mempunyai masalah telinga

 Jika YA, tanyakan apakah ada nyeri telinga


 Lihat adakah cairan keluar dari telinga
13.
 Jika YA, tanyakan sudah berapa lama
 Raba belakang telinga adakah pembengkakan dan terasa
nyeri

Memeriksa status gizi anak

 Lihat apakah anak tampak kurus


 Lihat apakah telapak tangan anak pucat
14.
 Lihat adanya pembengkakan di kedua kaki
 Tentukan BGM atau tidak BGM berdasarkan berat badan
menurut umur

15. Tanyakan status imunisasi anak

16. Tanyakan pemberian vitamin A pada anak

17. Nilai masalah atau keluhan lain

12
Melakukan penilaian pemberian makan bila amak kurus
atau anemia atau umur , 2 tahun dan tdak akan dirujukan
segera :

Tanyakan apakah ibu meneteki anak

Jika YA, berapa kali dalam 24 jam dan apakah meneteki di


waktu malam

Tanyakan apakah anak mendapat makanan atau minuman


lain
18.
Jika YA, makanan atau minuman apa, berapa kali sehari,
alat apa yang digunakan untuk makan/minum

Jika BGM, tanyakan berapa banyak makanan/minuman


diberikan, apakah anak mendapat makanan tersendiri dan
siapa yang memberikan

Tanyakan apakah selama sakit ada perubahan pemberian


makan

Jika YA, tanyakan bagaimana

Melakukan klasifikasi berdasarkan hasil anamnesa dan


19.
pengamatan (penilaian)

Mencatat hasil anamnesa dan pengamatan kedalam


20.
Lembar Status MTBS

21. Menulis rencana kunjungan ulang

Menulis nama petugas pemeriksa


22.

B. Manajemen Terpadu Balita Muda (MTBM)


1. Pengertian Manajemen Terpadu Balita Muda (MTBM)
Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM) merupakan suatu pendekatan yang
terpadu dalam tatalaksana bayi umur 1 hari – 2 bulan, baik yang sehat maupun
yang sakit, baik yang datang ke fasilitas rawat jalan maupun yang dikunjungi oleh
tenaga kesehatan pada saat kunjungan neonatal.Manajemen Terpadu Bayi Muda
ini adalah bagian dari Manajemen Terpadu Balita Sakit sebagai bentuk strategi
13
pendekatan terpadu pada kesehatan bayi umur kurang dari dua bulan untuk
mengurangi mortalitas, morbiditas dan kecacatan. Pada manajemen terpadu balita
sakit berbasis masyarakat, disebutkan bahwa bayi muda usia 0 – 2 bulan juga
harus mendapatkan 4 macam pelayanan yang termsuk dalam MTBS-M berikut:
a. Perawatan esensial bayi baru lahir
b. Pengenalan tanda bahaya bayi baru lahir dan persiapan rujukan bila
diperlukan
c. Penatalaksanaan bayi berat lahir rendah (BBLR)
d. Penatalaksanaan infeksi pada bayi baru lahir
Keempat pelayanan ini diberikan tidak hanya sesaat setelah lahir saja
namun diberikan sampai bayi mencapai usia 2 bulan bila suatu waktu
mengalami keluhan tertentu yang termasuk dalam 4 pelayanan tadi wajib
segera ditindak lanjuti.

2. Standar Pelayanan Minimal (SPM)


Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2019
tentang standar teknis pemenuhan mutu pelayanan dasar pada SPM bidang
kesehatan masyarakat. Juknis Standar Pelayanan Minimal pelayanan kesehatan
bayi baru lahir , meliputi :
a. Standar Kuantitas
Kunjungan neonatal minimal 3 kali selama masa periode neonatal dengan
ketentuan sebagai berikut:
 Kunjungan Neonatal 1 (KN1) dilakukan pada 6 – 24 jam
 Kunjungan Neonatal 2 (KN2) dilakukan pada 3 – 7 hari
 Kunjungan Neonatal 3 (KN3) dilakukan pada 8 – 28 hari

b. Standar Kualitas
1) Pelayanan neonatal esesnsial saat lahir (0-6 jam) meliputi:
 Memotong dan merawatan tali pusat
 Melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
 Melakukan Pencegahan perdarahan (injeksi vitamin K1)
 Memberikan salep/ tetes mata antibiotik
 Memberikan imunisasi (injeksi vaksin Hepatitis B0)

c. Pelayanan Neonatal setelah lahir (6 jam – 28 hari) meliputi:


 Memberikan konseling perawatan bayi baru lahir dan ASI eksklusif
 Memeriksa kesehatan dengan menggunakan pendekatan MTBM
 Memberikan vitamin K1 bagi yang lahir tidak di fasilitas pelayanan
kesehatan atau belum mendapatkan vitamin K1
 Memberikan Imunisasi Hepatitis B injeksi untuk bayi usia ˂24 jam
yang lahir tidak ditolong tenaga kesehatan
 Menangani dan merujuk kasus neonatal komplikasi
Sebagian besar bayi hanya memerlukan perawatan sederhana pada saat
dilahirkan, yaitu diberikan kehangatan, jalan napas dibersihkan, dikeringkan,
dan dinilai warna untuk menentukan kondisi serta perlu tidaknya dilakukan
rujukan.

3. Konsep Dasar MTBM


Batasan usia bayi muda kurang dari 2 bulan adalah bayi usia mulai
dari 0 hari sampai 2 bulan yaitu : usia neonatal dini dimulai dari usia 0 hari
14
sampai dengan 7 hari (0-7 hari), neonatal lanjut usia 8 hari sampai dengan 28
hari (8-28 hari), dan bayi usia 29 hari sampai dengan 11 bulan 29 hari. Bayi
muda ini sangat mudah sekali menjadi sakit, cepat menjadi berat dan serius
bahkan dapat meninggal terutama pada usia satu minggu pertama kehidupan
bayi. Penyakit yang terjadi pada minggu pertama kelahiran bayi selalu
berkaitan pada saat masa kehamilan dan waktu persalinan. Keadaan ini
merupakan karakteristik khusus yang harus dipertimbangkan pada saat
membuat klasifikasi suatu penyakit. Sebagian besar ibu memiliki kebiasaan
untuk tidak membawa bayi muda ke fasilitas kesehatan. Untuk mengantisipasi
kondisi tersebut program kesehatan ibu dan anak (KIA) memberikan
pelayanan kesehatan pada bayi baru lahir melalui kunjungan rumah oleh
petugas kesehatan.
Kegiatan kunjungan rumah ini dapat memantau kesehatan bayi baru
lahir dan bisa melakukan deteksi dini terhadap masalah kesehatan bayi.
Dengan seperti itu petugas kesehatan juga dapat memberikan nasihat dan
mengajari kepada ibu bayi bagaimana cara memberikan asuhan dasar kepada
bayi mudanya bisa dilakukan selama di rumah, apabila terjadi kondisi tertentu
yang sekiranya memerlukan tindakan perlu dilakukan rujukan segera pada
bayi untuk diberikan penanganan. Proses penanganan bayi muda tidak jauh
berbeda dengan penanganan balita sakit umur 2 bulan sampai dengan 5 tahun.

4. Pelaksanaan MTBM pada Bayi Umur Kurang 2 Bulan


Proses manajemen kasus dalam pelaksanaan MTBM dilakukan dengan
urutan langkah-langkah dan penjelasan cara pelaksanaannya. Adapun urutan
langkah-langkah pelaksanaan Manajemen Terpadu Bayi Muda yaitu :

a) Penilaian dan Klasifikasi


Klasifikasi dalam algoritma bayi muda yaitu :
 Warna merah muda yang menunjukkan bahwa bayi sakit beratdan
harus dirujuk segera setelah pengobatan pra rujukan.
 Warna kuning yang berarti bayi dapat berobat jalan dan membutuhkan
pengobatan medis spesifik serta nasihat.
 Warna hijau yang berarti bayi sakit ringan dan cukup diberi nasihat
sederhana tentang penanganan di rumah.

Melakukan penilaian dan klasifikasi pada bayi muda dengan cara sebagai
berikut:
 Menilai kemungkinan penyakit sangat berat atau infeksi berat.Periksa
apakah bayi tidak bisa minum atau memuntahkan semua, kejang, nafas
dalam 1 menit, tarikan dinding dada, merintih, suhu tubuh, pustul di
kulit, mata bernanah dan kemerahan pada pusar.
 Menilai diare. Jika ibu mengatakan bayi diare, maka lihat keadaan
umum bayi (letargis, gelisah/ rewel, mata cekung), periksa cubitan
kulit perut (turgor) dengan melihat apakah kulit cepat kembali atau
lama kembali kesemula.
 Menilai ikterus. Apabila kelihatan bayi kuning, umur berapa mulai
timbulnya kuning, melihat warna tinja pucat, kemudian menentukan
warna kuning sampai di daerah tubuh yang mana.

15
 Menilai kemungkinan berat badan rendah dan atau masalah pemberian
ASI. Melakukan penilaian tentang cara menyusui dan memeriksa rush
atau kelainan pada bibir/ langit-langit mulut.
 Memeriksa status pemberian vitamin K1 dan status pemberian
imunisasi. Jika belum diberikan maka vitamin K1 dapat diberikan
sampai bayi berusia 3 bulan, untuk imunisasi Hepatitis B0 dapat
diberikan maksimal pada bayi berumur 1 minggu.
 Menanyakan kepada ibu masalah lain yang terjadi pada bayi seperti
kelainan bawaan atau kelainan kongenital, melihat adanya trauma lahir
dan perdarahan atau taampak kemerahan pada tali pusat.
 Menanyakan pada ibu bayi berkaitan dengan kesehatan bayi, keluhan
atau masalah yang timbul.

b) Menentukan Tindakan dan Pengobatan


Klasifikasi warna memerlukan tindakan rujukan segera. Bayi usia
muda dengan klasifikasi warna kuning tidak memerlukan rujukan masih bisa
ditangani dengan pengobatan sederhana dan diberi edukasi saja.

1) Tindakan Pra Rujukan , Bayi muda yang membutuhkan rujukan adalah


bayi yang mempunyai klasifikasi berat (warna merah pada bagan
algoritma). Menyiapkan tindakan rujukan dan menjelaskan alasan
merujuk bayi, memberitahu ibu bayi bagaimana menyiapkan segala
sesuatu yang diperlukan pada saat melakukan rujukan dan proses
perjalanan ke tempat rujukan.

2) Pengobatan/ Tindakan yang Tidak Memerlukan Rujukan Klasifikasi


bayi muda yang tidak diperlukan adanya tindakan rujukan adalah
klasifikasi berwarna kuning dan berwarna hijau pada algoritma
MTBM. Beberapa bayi muda yang tidak memerlukan pengobatan atau
tindakan rujukan adalah cukup dengan memberikan kehangatan pada
bayi, mencegah terjadinya penurunan gula darah bayi (hipoglikemi),
memberikan terapi per oral dengan antibiotic yang sesuai, melakukan
rehidrasi oral, mengobati luka dan memberikan asuhan dasar bayi
muda.

c) Pencatatan
Petugas kesehatan harus mencatat dan menuliskan hasil pemeriksaan
pada formulir pencatatan bayi muda dan buku Kesehatan Ibu dan
Anak secara lengkap.

d) Konseling dan Ketrampilan Komunikasi


Konseling yang diberikan adalah dengan mengajari ibu cara
pemberian obat, pemberian ASI, merawat tali pusat, jadwal imunisasi,
kapan segera kembali kontrol dan melakukan kunjungan ulang.

e) Pencegahan Infeksi
Bayi baru lahir sangat rentan terhadap infeksi. Tindakan –
tindakan pencegahan infeksi saat melaksanakan kunjungan neonatal
adalah cuci tangan sebelum dan setelah bersentuhan dengan bayi,
memakai sarung tangan bersih, pastikan semua peralatan dan bahan
16
yang digunakan telah di desinfeksi tingkat tinggi (DTT) atau
sterilisasi, pastikan semua pakaian, handuk dan kain yang digunakan
sudah dalam keadaan bersih dan hangat. Timbangan, pita pengukur,
thermometer dan benda lain yang akan bersentuhan dengan bayi harus
sudah bersih. Gunakan ruangan yang hangat dan terang, siapkan
tempat pemeriksaan yang bersih, kering, hangat dan aman.

f) Melakukan Kunjungan Neonatal Ulang sebagai pelayanan tindak


lanjut ,Bidan saat kunjungan ulang terhadap neonatal dapat dapat
melakukan penilaian apakah neonatal membaik setelah diberikan obat
dan tindakan lainnya. Maka kunjungan ulang dilakukan dalam waktu
dua hari untuk melihat tanda infeksi yang disebabkan oleh bakteri
lokal, permasalahan pada pemberian ASI, memeriksa adanya trauma,
bercak putih di mulut, hipotermia sedang, memeriksa terjadinya diare
disertai dehidrasi ringan atau sedang, memeriksa adanya ikterus
fisiologis apabila tampak kuning, untuk pemantauan pemerikasaan
berat badan bayi rendah menurut umur perlu melakukan kunjungan
dilakukan 14 hari. Apabila bayi mempunyai masalah lain maka bidan
menggunakan penilaian awal lengkap seperti pada saat melakukan
kunjungan awal.

5. Hal-hal yang Menunjang Keberhasilan Penerapan Manajemen Terpadu


Bayi Muda
Faktor yang dapat menunjang keberhasilan penerapan Manajemen
Terpadu Bayi Muda di Puskesmas adalah pengetahuan dan keterampilan
petugas, ketersediaan obat, alat dan formulir pencatatan, monitoring pasca
pelatihan, pembinaan teknis dan supervisi di Puskesmas serta dukungan,
komitmen dari pimpinan Puskesmas dan jajarannya.

17
18
II. Screening Pada Bayi Baru Lahir (BBL)
Skrining pada bayi baru lahir adalah istilah yang menggambarkan berbagai cara tes
yang dilakukan pada bayi baru lahir untuk mengetahui kelainan sedini mungkin agar dapat
dilakukan penanganan untuk mencegah kecacatan atau kematian bayi serta mengoptimalkan
pertumbuhan anak jangka panjang. Setiap skrining memiliki tujuan spesifik sesuai dengan
apa yang akan diketahui kelainannya.
Sub Materi Pokok 2 pada materi pokok ini adalah sebagai berikut:
1. Skrining PJB kritis
2. Skrining hipotiroid kongenital

1. Skrining PJB Kritis


A. PengertianPJB
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) merupakan salah satu kelainan kongenital
pada bayi baru lahir (BBL) yang berkontribusi pada morbiditas dan mortalitas bayi
dan anak di seluruh dunia. Penyakit jantung bawaan (PJB) termasuk jenis kelainan
kongenital paling umum ditemukan pada anak baru lahir. PJB didefinisikan sebagai
abnormalitas struktur jantung atau pembuluh darah besar intrathoracal yang dapat
mempengaruhi fungsi kardiovaskular secara signifikan. Sedangkan PJB kritis adalah
PJB yang membutuhkan intervensi transkateter atau bedah, termasuk didalamnya PJB
tergantung duktus dan PJB sianosis yang tidak tergantung duktus. Diantara bayi
dengan PJB, sekitar 25% diantaranya merupakan suatu PJB kritis, yang
membutuhkan intervensi bedah ataupun kateterisasi dalam tahun pertama kehidupan.
Sayangnya, PJB kritis tidak selalu terdeteksi saat prenatal bahkan saat perawatan bayi
baru lahir. sehingga saat bayi dengan PJB kritis dipulangkan, bayi mengalami
perburukan di rumah dan terlambat kembali ke rumah sakit. Hal ini menyebabkan
tingginya angka kematian bayi dengan PJB kritis. Bayi dengan PJB kritis berisiko
19
kematian atau membutuhkan tindakan invasif berupa operasi bedah atau kateterisasi
intervensi dalam usia 28 hari setelah lahir.

B. Epidemiologi
Berbagai studi menunjukkan negara-negara Asia menempati peringkat
tertinggi prevalensi PJB di dunia, dengan proporsi 1 per 100 kelahiran hidup. PJB
berkontribusi terhadap 81 kasus per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan PJB
berdampak pada 70% penurunan harapan hidup pada perinatal (bayi berusia hingga
28 hari kehidupan). Penyakit jantung bawaan (PJB) kritis pada anak merupakan
manifestasi berat penyakit jantung bawaan dengan gejala yang dapat mengancam
jiwa sehingga memerlukan intervensi dalam tahun pertama kehidupan, karena PJB
kritis adalah penyumbang terbesar (64,7%) kematian karena PJB pada bayi.
Meskipun di Indonesia belum terdapat data prevalensi morbiditas dan
mortalitas akibat PJB pada bayi, namun data SDKI (2017), menunjukkan angka
kematian pada bayi dengan kelainan kongenital (termasuk PJB) menempati urutan
ke-4 untuk kategori bayi usia 0 - 7 hari, dan merupakan peringkat ke- 2 (dua)
kematian bayi usia 8 – 28 hari di Indonesia. Diprediksi 50.000 bayi mengalami PJB
atau 3⁄4 nya merupakan Penyakit Jantung Bawaan (PJB). Sedangkan sekitar 1⁄4 nya
merupakan PJB kritis atau berkisar 12.500 bayi lahir dengan PJB kritis di Indonesia.
Sehingga dapat diestimasi bahwa sebahagian besar kematian pada kelainan
kongenital bayi 0 – 28 hari disebabkan karena PJB dan PJB kritis.
Pemeriksaan dini akan sangat berpengaruh pada kualitas hidup pasien PJB.
Deteksi dini juga bisa dilakukan melalui USG prenatal, namun ini jarang dilakukan
dan memerlukan ketrampilan khusus. Pemeriksaan fisik yaitu bising jantung untuk
mendeteksi PJB kritis hanya mendeteksi setengah dari PJB kritis. Pemeriksaan baku
emas PJB adalah ekokardiografi, tetapi di FKTP dapat menggunakan pulse oksimeter
yang hemat biaya, tidak melukai bayi dan mudah dilakukan.
Di Amerika Serikat, skrining PJB kritis menggunakan pulse oksimeter sudah
rutin dilakukan. Evaluasi 6 tahun setelah implementasi program skrining PJB kritis,
ditemukan penurunan 33% kematian PJB kritis dan potensial penurunan 120
kematian bayi pertahun akibat PJB kritis

20
C. GejalaKlinisUmum
Tidak semua PJB kritis menunjukkan gejala. Bayi baru lahir dengan PJB
kritis, pada saat lahir tampak sehat, tidak bergejala. Gejala dan tanda PJB kritis
muncul pada saat duktus arteriosus menutup, biasanya pada saat bayi sudah
dipulangkan dari tempat dilahirkannya.
Terdapat 3 gejala utama yang dapat diobservasi/sering terlihat pada PJB kritis:
1) Sianosis sentral atau warna biru pada lidah, gusi dan mukosa bukal. Sianosis
dapat terlihat bila hasil pemeriksaan pulse oksimeternya menunjukkan < 80%.
2) Sesak napas: SpO2 yang rendah dapat terkait dengan kesulitan bernapas atau
gangguan pernapasan seperti pneumonia, asma, atau penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK).
3) Warna Kulit: sianosis (warna kulit menjadi kebiruan), atau membran mukosa
yang kebiruan (seperti bibir dan kuku) dapat menjadi tanda SpO2 yang
rendah. Ini dapat mengindikasikan masalah sirkulasi atau oksigenasi yang
serius.
Adapun pemeriksaan lainnya yang dapat ditemukan oleh petugas, adalah:
1) Detak jantung tidak teratur: Kadar oksigen yang rendah dalam darah juga
dapat mempengaruhi detak jantung. Detak jantung yang tidak teratur atau
terlalu cepat (takikardia) dapat menunjukkan adanya masalah kesehatan yang
perlu ditangani.
2) Penurunan perfusi sistemik: Penurunan ini menyebabkan tekanan nadi
ekstremitas bawah lebih lemah dibandingkan tangan kanan, tekanan darah di
kaki lebih rendah dibandingkan tangan kanan.
Diagnosis PJB kritis dapat ditegakkan dengan melakukan kombinasi 3 hal berikut:
skrining pulse oksimeter, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan ekokardiografi.
Kombinasi dari ketiga hal tersebut adalah pendekatan yang paling baik untuk
mencegah adanya keterlambatan diagnosis. Petugas Kesehatan di puskesmas perlu
melakukan pemeriksaan fisik dan skrining menggunakan pulse oksimeter terlebih
dahulu. Adapun hasil pemeriksaan pulse oksimetri terbagi menjadi 3 yaitu lolos
(negatif), ulang dan gagal (positif) berarti petugas Kesehatan perlu merujuk. Jika bayi
dicurigai terdapat gejala PJB, maka bayi dirujuk untuk pemeriksaaan ekokardiografi.
Berikut ini adalah algoritma pemeriksaan skrining pulse oksimeter di puskesmas.

21
Pemeriksaan dilakukan pada tangan kanan dan kaki bayi. Hasil pemeriksaan
pulse oksimeter terdiri atas 3 kategori, yaitu lolos (negatif) jika hasil menunjukkan
SpO2 > 95%, Pemeriksaan ulang jika SpO2 < 95%, dan pemeriksaan gagal (positif)
jika hasil menunjukkan < 90% (Lihat pembahasan pada materi pokok 4). Berikut ini
adalah bagan hasil skrining pemeriksaan pulse oksimeter.

22
Pemeriksaan dini akan sangat berpengaruh pada kualitas hidup pasien PJB.
Deteksi dini juga bisa dilakukan melalui USG prenatal, namun ini jarang dilakukan
dan memerlukan ketrampilan khusus. Pemeriksaan fisik yaitu bising jantung untuk
mendeteksi PJB kritis hanya mendeteksi setengah dari PJB kritis. Skrining yang dapat
dilakukan di FKTP di Indonesia dengan menggunakan pulse oksimeter. Oleh karena
itu, pelatihan ini diistilahkan dengan nama Indonesian Newborn Pulse Oximetry
Training (INPOST).
Di bawah ini merupakan bagan pemeriksaan pulse oksimeter dan indikasi yang dapat
digunakan sebagai indikator untuk menentukan tindakan selanjutnya yang perlu
dilakukan oleh petugas Kesehatan di FKTP.

23
DAFTAR TILIK PENYAKIT JANTUNG BAWAAN KRITIS (PJB)
YA/TDK
LANGKAH/KEGIATAN
1 2
Sebelum melakukan tindakan, cuci tangan terlebih dahulu
Bersihkan probe pulse oksimeter
Pasien harus dalam keadaan tenang dan hangat tapi tidak sedang
tertidur
Periksa identitas pasien, pastikan identitas pasien sudah sesuai dan
sudah berusia 24 jam
Pasang probe di tangan kanan
Pastikan bayi nyaman dan hangat, lalu nyalakan pulse oksimeter
Observasi nilai saturasi yang muncul di layar, pastikan dilayar terlihat
gelombang yang merupakan detak jantung pasien.
Tunggu selama 30 detik

24
Nilai saturasi yang muncul setelah 30 detik disebut preductal
Lepaskan probe dari tangan kanan
Pastikan kaki hangat sebelum dipasangkan probe
Pemasangan probe dapat dilakukan pada kaki kanan atau kaki kiri
Pasang probe di kaki kanan
Pastikan bayi nyaman dan hangat
Observasi nilai saturasi yang muncul di layar, pastikan dilayar terlihat
gelombang yang merupakan detak jantung pasien
Tunggu selama 30 detik
Nilai saturasi yang muncul setelah 30 detik disebut postductal
Lepaskan probe dari kaki, pastikan bayi nyaman dan hangat
Matikan alat pulse oksimeter
Catat kedua nilai saturasi yang didapat pada NSO Chart

2. Skrining Hipotiroid kongenital


A. Pengertian Hipotiroid kongenital
Hipotiroid kongenital adalah keadaan menurun atau tidak berfungsinya
kelenjar tiroid yang didapat sejak bayi baru lahir. Hal ini terjadi karena kelainan
anatomi atau gangguan metabolisme pembentukan hormon tiroid atau defisiensi
iodium. Hormon Tiroid yaitu Tiroksin yang terdiri dari Tri-iodotironin (T3) dan
Tetra-iodotironin (T4), merupakan hormon yang diproduksi oleh kelenjar tiroid
(kelenjar gondok). Pembentukannya memerlukan mikronutrien iodium. Hormon ini
berfungsi untuk mengatur produksi panas tubuh, metabolisme, pertumbuhan tulang,

25
kerja jantung, saraf, serta pertumbuhan dan perkembangan otak. Dengan demikian
hormon ini sangat penting peranannya pada bayi dan anak yang sedang tumbuh.
Kekurangan hormon tiroid pada bayi dan masa awal kehidupan, bisa mengakibatkan
retardasimental (keterbelakangan mental) dan hambatan pertumbuhan
(pendek/stunted). Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK) adalah Skrining yang
dilakukan pada Bayi Baru Lahir (BBL) untuk mendeteksi apakah terjadi penurunan
atau tidak berfungsinya kelenjar tiroid yang didapat sejak bayi baru lahir.

B. Gejala dan tanda kelainan


Sebagian besar bayi dengan hipotiroid kongenital tidak menunjukkan tanda
dan gejala yang jelas ketika lahir. Hal inilah yang menyebabkan pentingnya tindakan
skrining pada bayi yang baru lahir. Pada kasus lain, gejala dan ciri-ciri hipotiroid
kongenital 10orm muncul sesaat setelah bayi lahir atau pada bulan pertama setelah
kelahiran. Gejala dan tanda kelainan yang muncul akibat hipotiroid kongenital adalah
1) Letargi (aktivitas menurun)
2) Icterus (kuning)
3) Makroglosi (lidah besar)
4) Hernia umbilikalis (bodong)
5) Hidung pesek
6) Konstipasi
7) Kulit kering
8) Skin mottling (cutis marmorata)/burik
9) Mudah tersedak
10) Suara serak
11) Hipotoni (tonus otot menurun)
12) Ubun-ubun melebar
13) Perut buncit
14) Mudah kedinginan (intoleransi terhadap dingin)
15) Miksedema (wajah sembab)
16) Gangguan tumbuh kembang (menyebabkan retardasi mental dan pendek)
Jika sudah muncul gejala klinis, berarti telah terjadi retardasi mental. Untuk itu
penting sekali dilakukan SHK pada semua bayi baru lahir sebelum timbulnya gejala
klinis di atas, karena makin lama gejala makin berat. Gangguan pertumbuhan dan
perkembangan mulai tampak nyata pada umur 3–6 bulan dan gejala khas hipotiroid

26
menjadi lebih jelas. Perkembangan mental semakin terbelakang, terlambat duduk dan
berdiri serta tidak mampu belajar bicara. Bila tidak segera dideteksi dan diobati, maka
bayi akan mengalami kecacatan yang sangat merugikan kehidupan berikutnya. Anak
akan mengalami gangguan pertumbuhan fisik secara keseluruhan, dan yang paling
menyedihkan adalah keterbelakang perkembangan mental yang tidak dapat
dipulihkan. HK pada bayi baru lahir dapat bersifat menetap (permanen) maupun
transien. HK permanen membutuhkan pengobatan seumur hidup dan penanganan
khusus. Penderita HK permanen ini akan menjadi beban keluarga dan negara.

C. Patofisiologi
Sebelumnya perlu dipahami kerja hipotalamus – hipofisis – tiroid (Gambar 2).
Hipotalamus mengatur hipofisis/pituitari agar memproduksi Thyroid stimulating
hormone (TSH) untuk stimulasi kelenjar tiroid supaya memproduksi hormon tiroid
(T4 dan T3). Kelenjar tiroid atau kelenjar gondok adalah kelenjar berbentuk seperti
kupu-kupu yang terletak di bagian depan leher. Kelenjar tiroid dengan bantuan
iodium akan memproduksi hormon tiroid, terutama hormon T4 (tiroksin) dan T3.
Hormon tiroid mutlak diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan otak yang
normal, pertumbuhan linear (tinggi badan), mengatur produksi panas tubuh dan
diperlukan untuk kerja jantung.

27
Selama kehamilan, plasenta berperan sebagai media transportasi elemen-
elemen penting untuk perkembangan janin. Thyroid Releasing Hormone (TRH) dan
iodium yang berguna untuk membantu pembentukan Hormon Tiroid (HT) janin bisa
bebas melewati plasenta. Selama dalam kandungan, hormon tiroksin (T4) dapat
melewati plasenta sehingga didalam kandungan perkembangan otak janin terlindungi
dari pengaruh hipotiroid kongenital. Namun disamping itu, antibody terhadap TSH
(TSH receptor antibody) dan obat anti tiroid yang dimakan ibu juga dapat melewati
plasenta. Sementara, TSH, yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan
dan produksi hormon tiroid, justru tidak dapat melewati plasenta. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa keadaan hormon tiroid dan obat-obatan yang sedang
dikonsumsi ibu sangat berpengaruh terhadap kondisi hormon tiroid janinnya. Lebih
dari 95% bayi dengan HK tidak memperlihatkan gejala saat dilahirkan. Kalaupun ada
sangat samar dan tidak khas karena selama dikandungan bayi masih dilindungi oleh
hormon tiroid yang didapat dari ibu melalui plasenta. Jika tidak dilakukan deteksi
dini dan tidak segera diterapi maka gejala akan semakin tampak jelas.
Sebagian besar HK adalah HK primer yang sebabnya adalah gangguan di
kelenjar tiroidnya. Sebagian besar (90%) disebabkan karena kelenjar tiroidnya tidak
terbentuk (agenesis tiroid), kelenjar tiroidnya berukuran kecil (hipoplasia tiroid) atau
28
karena letak kelenjar tiroidnya dan sebagian kecil disebabkan karena
dishormogenesis tiroid (gangguan pembentukan hormon didalam kelenjar tiroid).
Pada HK primer, kelenjar tiroid tidak mampu memproduksi hormon tiroid meskipun
distimulasi oleh TSH yang dihasilkan oleh kelenjar pituitari, sehingga pada
pemeriksaan akan ditemukan kadar FT4 yang rendah dan kadar TSH yang tinggi.

D. Dampak
Secara garis besar dampak hipotiroid kongenital dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1) Dampak terhadap Anak.
Bila tidak segera dideteksi dan diobati, maka bayi akan mengalami kecacatan
yang sangat merugikan kehidupan berikutnya. Anak akan mengalami retardasi
mental dan gangguan pertumbuhan (pendek).
2) Dampak terhadap Keluarga.
Keluarga yang memiliki anak dengan gangguan hipotiroid kongenital akan
mendapat dampak secara ekonomi maupun secara psikososial. Anak dengan
retardasi mental akan membebani keluarga secara ekonomi karena harus
mendapat pendidikan, pengasuhan dan pengawasan yang khusus. Secara
psikososial, keluarga akan lebih rentan terhadap lingkungan sosial karena
rendah diri dan menjadi stigma dalam keluarga dan masyarakat. Selain itu
produktivitas keluarga menurun karena harus mengasuh anak dengan
hipotiroid kongenital.
3) Dampak terhadap Negara.
Bila tidak dilakukan skrining pada setiap bayi baru lahir, negara akan
menanggung beban biaya Pendidikan, pengobatan, dan biaya hidup bayi
dengan hipotiroid kongenital seumur hidupnya. Jumlah penderita akan
terakumulasi setiap tahunnya. Selanjutnya negara akan mengalami kerugian
sumber daya manusia yang berkualitas untuk pembangunan bangsa.

E. Proses Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK)


1. Persiapan
Persiapan SHK harus dimulai dengan memberikan penjelasan kepada orang tua
mengenai pentingnya dilakukan SHK. Penjelasan yang disampaikan kepada orang tua
harus dilakukan secara persuasif, dengan bahasa yang sederhana dan mudah
dimengerti dengan tetap memperhatikan keadaan orang tua pada saat memberikan

29
penjelasan. Penjelasan yang disampaikan terutama tentang tujuan dilakukan SHK,
bagaimana proses pemeriksaan yang akan dilakukan pada bayi, manfaat dilakukan
SHK serta dampak buruk yang akan terjadi pada bayi jika tidak dilakukan SHK.
Setelah mendapatkan persetujuan dari orang tua bayi tidak perlu tertulis secara
khusus, tetapi dicantumkan bersama-sama dengan persetujuan tindakan medis lainnya
pada saat bayi masuk ke ruang perawatan bayi. Maka selanjutnya pengambilan
spesimen darah dapat dilakukan. Namun, jika setelah diberikan penjelasan orang tua
menolak untuk dilakukan SHK pada bayinya, maka orang tua harus menandatangani
formulir penolakan untuk mencegah adanya tuntutan di kemudian hari jika bayi yang
bersangkutan menderita HK.
Formulir ini harus disimpan pada rekam medis bayi. Bila kelahiran dilakukan di
rumah, bidan/penolong persalinan harus tetap meminta orangtua menandatangani
atau membubuhkan cap jempol pada formulir “Penolakan” yang dibawa dan harus
disimpan dalam arsip di fasilitas pelayanan kesehatan tempatnya bekerja. Penolakan
dapat terjadi terhadap skrining maupun test konfirmasi. Jumlah penolakan tindakan
pengambilan spesimen darah dan formulirnya harus dilaporkan secara berjenjang
pada koordinator Skrining BBL tingkat provinsi/kabupaten/kota, melalui koordinator
tingkat puskesmas setempat pada bulan berikutnya.
Setelah keluarga bayi paham dan bersedia untuk dilakukan skrining hipotiroid
kongenital, persiapan selanjunya adalah persiapan alat.
Alat yang digunakan untuk SHK adalah:
a) Sarungtangansteril
b) Lancet pediatrik (ukuran kedalaman 2 mm, dengan ujung berbentuk
pisau/blade tip lancet)
c) Kotak limbah tajam/safety box
d) Kertas saring
e) Kapas
f) Alcohol swab atau kapas alcohol 70%
g) Kassasteril
h) Rakpengering

30
2. Langkah-langkah Pengambilan Spesimen
Hal yang penting diperhatikan pada pengambilan spesimen ialah :
a. Waktu(timing)PengambilanDarah
Pengambilan spesimen darah yang paling ideal adalah ketika umur bayi 48
sampai 72 jam. Oleh karenanya perlu kerjasama dengan dokter spesialis
anak (Sp.A), dokter spesialis kandungan dan kebidanan/obgyn (Sp.OG),
dokter umum, perawat dan bidan yang menolong persalinan untuk
melakukan pengambilan spesimen darah bayi yang baru dilahirkan pada
hari ketiga. Ini berarti ibu dapat dipulangkan setelah 48 jam pasca
melahirkan (perlu koordinasi dengan penolong persalinan). Sebaiknya
darah tidak diambil dalam 24 jam pertama setelah lahir karena pada saat
itu kadar TSH mawsih tinggi, sehingga akan memberikan sejumlah hasil
tinggi/positif palsu (false positive). Jika bayi sudah dipulangkan sebelum
24 jam, maka spesimen perlu diambil pada kunjungan neonatal berikutnya
melalui kunjungan rumah atau pasien diminta datang ke fasyankes.
b. Data / Identitas Bayi
Sebelum pengambilan spesimen, Isi identitas bayi (Gambar 4). dengan
lengkap dan benar dalam kertas saring. Data yang kurang lengkap akan
memperlambat penyampaian hasil tes.

31
Berikut ini petunjuk umum pengisian identitas bayi pada kertas saring :
1) Pastikan tangan pengisi data/pengambil spesimen darah bersih dan kering
sebelum mengambil kartu informasi/kertas saring. Gunakan sarung tangan.
Usahakan tangan tidak menyentuh bulatan pada kertas saring.
2) Hindari pencemaran pada kertas saring seperti air, air teh, air kopi, minyak,
susu, cairan antiseptik, bedak dan/atau kotoran lain.
3) Pastikandataditulislengkapdanhindarikesalahanmenulis data. Bila data tidak
lengkap dan salah, akan menghambat atau menunda kecepatan dalam
pemberian hasil tes dan kesalahan interpretasi.
4) Isi data pasien dengan pulpen warna hitam/biru yang tidak luntur.
5) Amankan kertas saring agar tidak kotor. Usahakan kertas saring tidak banyak
disentuh petugas lain.
6) Tuliskan seluruh data dengan jelas dan lengkap. Gunakan HURUF
KAPITAL.

Petunjuk pengisian data demografi bayi dalam kertas saring. Harap diisi :
1) Nama rumah sakit/rumah bersalin/puskesmas/klinik bidan
2) Nomor rekam medis bayi
3) Nama ibu, suku bangsa/etnis, dan nama bayi bila sudah ada
32
4) Nama ayah, suku bangsa/etnis
5) Alamat dengan jelas (nomor rumah, jalan/gang/blok/ RT/ RW, kode pos)
6) Nomor telepon dan telepon seluler , atau nomor telepon yang dapat
dihubungi. Lengkapi dengan email jika ada.
7) Dokter/ petugas penanggung jawab beserta no telepon selulernya.
8) Kembar atau tidak, beri tanda √ pada kotak yang disediakan. Bila kembar, beri
tanda √ sesuai jumlah kembar.
9) Umur kehamilan dalam minggu
10) Prematur atau tidak
11) Jenis kelamin, beri tanda √ pada kotak yang disediakan 12) Berat badan dalam
gram. Pilih prematur atau tidak
12) Data lahir :
 Tanggal 2 digit (contoh tanggal 2→02)
 Bulan 2 digit (contoh bulan Maret→ 03, Desember→ 12)
 Tahun 2 digit (contoh tahun 2006 → 06 , 2012→ 12)
13) Data jam bayi lahir : jam : menit (contoh : 10:15) Data spesimen :
 Tanggal/bulan/tahun, 2 digit (contoh : 8 Februari 2006 → 08/02/06)
 Data jam diambil spesimen : jam : menit (contoh : 10:15)
 Spesimen diambil dari darah tumit atau vena 15) Keterangan lain, bila ada
bisa ditambahkan:
 Transfusi darah (ya/tidak)
 Ibu minum obat anti tiroid saat hamil
 Ada atau tidak kelaianan bawaan pada bayi
 Bayi sakit (dengan perawatan di NICU)
 Bayi mendapat pengobatan atau tidak. Bila mendapat pengobatan, sebutkan.

3. MetodedanTempatPengambilanDarah
Teknik pengambilan darah yang digunakan adalah melalui tumit bayi (heel prick).
Teknik ini adalah cara yang sangat dianjurkan dan paling banyak dilakukan di seluruh
dunia. Darah yang keluar diteteskan pada kertas saring khusus sampai bulatan kertas
penuh terisi darah, kemudian setelah kering dikirim ke laboratorium SHK. Perlu
diperhatikan dengan seksama, pengambilan spesimen dari tumit bayi harus dilakukan
sesuai dengan tata cara pengambilan spesimen tetes darah kering. Petugas kesehatan
yang bisa mengambil darah: dokter, bidan, dan perawat terlatih yang memberikan
33
pelayanan pada bayi baru lahir serta analis kesehatan. Prosedur pengambilan
spesimen darah melalui tahapan berikut:
a) Cuci tangan menggunakan sabun dengan air bersih mengalir dan pakailah
sarung tangan.
b) Posisikan bayi dengan posisi kaki lebih rendah daripada kepala bayi.
c) Tumit bayi yang akan ditusuk dihangatkan terlebih dahulu dengan cara
menggosok-gosok dengan jari atau bayi diletakkan di tempat penghangat
bayi/infant warmer.
d) Agar bayi lebih tenang, pengambilan spesimen dilakukan sambil disusui
ibunya atau dengan perlekatan kulit bayi dengan kulit ibu (skin to skin
contact)
e) Tentukan lokasi penusukan yaitu bagian lateral tumit kiri atau kanan sesuai
daerah berwarna merah, (gambar 5 dan 6)

f) Bersihkan daerah yang akan ditusuk dengan antiseptik kapas alkohol 70%,
tunggu sampai kering (gambar 7)
g) Tusuk tumit dengan lanset steril sekali pakai dengan ukuran kedalaman 2 mm.
Gunakan lanset dengan ujung berbentuk pisau (blade tip lancet) (gambar 8)

34
h) Setelah tumit ditusuk, usap tetes darah pertama dengan kain kasa steril
(gambar 9)
i) Kemudian lakukan pijatan lembut sehingga terbentuk tetes darah yang cukup
besar. Hindarkan gerakan memeras karena akan mengakibatkan hemolisis
atau darah tercampur cairan jaringan. (gambar 10)

j) Selanjutnya teteskan darah ke tengah bulatan kertas saring sampai bulatan


terisi penuh dan tembus kedua sisi. Hindarkan tetesan darah yang berlapis-
lapis (layering). Ulangi meneteskan darah ke atas bulatan lain. Bila darah
tidak cukup, lakukan tusukan di tempat terpisah dengan menggunakan lanset
baru. Agar bisa diperiksa, dibutuhkan sedikitnya satu bulatan penuh spesimen
darah kertas saring (Gambar 11)

k) Sesudah bulatan kertas saring terisi penuh, tekan bekas tusukan dengan
kasa/kapas steril sambil mengangkat tumit bayi sampai berada diatas kepala
bayi. (gambar 12). Bekas tusukan diberi plester ataupun pembalut hanya jika
diperlukan.

35
4. Tata laksana spesimen
Setelah diperoleh spesimen darah di kertas saring, Sebelum spesimen di kirim ke
laboratorium, penting diperhatikan metode pengeringan specimen. Proses setelah
mendapatkan specimen adalah
a. Segera letakkan di rak pengering dengan posisi horizontal atau diletakkan di
atas permukaan datar yang kering dan tidak menyerap (non absorbent).,
b. Biarkan spesimen mengering (warna darah merah gelap) Sebaiknya biarkan
spesimen di atas rak pengering sebelum dikirim ke laboratorium dan jangan
menyimpan spesimen di dalam laci dan kena panas atau sinar matahari
langsung atau dikeringkan dengan pengering.

36
c. Jangan meletakkan pengering berdekatan dengan bahan-bahan yang
mengeluarkan uap seperti cat, aerosol, dan insektisida.

5. Pengiriman Spesimen
Setelah spesimen kering, maka spesimen siap dikirim ke laboratorium. Berikut
tata cara pengiriman spesimen yang benar dan tepat :
a. Ketika spesimen akan dikirim, masukkan ke dalam kantong plastik zip lock.
Satu lembar kertas saring dimasukkan ke dalam satu plastik Dapat juga
dengan menyusun kertas saring secara berselang–seling untuk menghindari
agar bercak darah tidak saling bersinggungan, atau taruh kertas diantara
bercak darah.
b. Masukkan ke dalam amplop dan sertakan daftar specimen yang dikirim.
c. Amplop berisi spesimen dimasukkan ke dalam kantong plastic agar tidak
tertembus cairan/kontaminan sepanjang perjalanan.
d. Pengiriman dapat dilakukan oleh petugas pengumpul specimen atau langsung
dikirim melalui layanan jasa pengiriman yang tersedia.
e. Spesimen dikirimkan ke laboratorium SHK yang telah ditunjuk oleh
kementerian kesehatan.
f. Pengiriman tidak boleh lebih dari 7 (tujuh) hari sejak spesimen diambil.
Perjalanan pengiriman tidak boleh lebih dari 3 hari.

6. Komunikasi Informasi Edukasi SHK


Komunikasi merupakan proses pengiriman pesan dari pengirim pesan ke
penerima pesan. Komunikasi di bidang kesehatan bertujuan untuk menyampaikan
informasi, meningkatkan kepercayaan, mempengaruhi, membantu penyembuhan, dan
mendorong perubahan perilaku.Dalam melakukan pelayanan SHK pada bayi baru
37
lahir, dokter, bidan ataupun perawat harus memberikan informasi kepada orang tua
mengenai:
a. Pentingnya dilakukan SHK pada BBL yaitu untuk mencegah terjadinya
kerusakan otak yang ireversibel yang menyebabkan terjadinya retardasi
mental dan untuk mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan. SHK ini
mendeteksi apakah terjadi penurunan atau tidak berfungsinya kelenjar
tiroid yang didapat sejak bayi baru lahir.
b. Gejala dan tanda kelainan yang timbul jika hipotiroid kongential tidak
terdeteksi dini dengan program SHK dan akibat jika diagnosis HK
terlambat (lihat Materi Pokok 1).
c. Waktu pemeriksaan dilakukan pada usia 48 sampai 72 jam.
d. Cara pengambilan spesimen pada bagian tumit bayi
e. Hasil pemeriksaan Skrining Hipotiroid Kongenital danpenanganan hasil
SHK positif.
Penjelasan yang disampaikan kepada orang tua harus dilakukan secara persuasif,
dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti dengan tetap memperhatikan
keadaan orang tua pada saat memberikan penjelasan.

38
DAFTAR TILIK
SKRINNING HYPOTHIROID
KONGENITAL (SHK)
UPTD
PUSKESMAS
DINAS BIROBULI
KESEHATAN No. Kode : -/DT/I/2019 Ditetapkan oleh
Kepala UPTD Puskesmas
KOTA PALU Terbitan : Birobuli
DAFTAR No. Revisi :
TILIK Tgl Mulai Berlaku :
Halaman : 1-2 Susanti, SKM
NIP.19740205200112 2001
Kegiatan Pelaksanaan
No. TIDAK
Apakah : YA TIDAK
BERLAKU
Apakah Keluarga dijelaskan tentang prosedur (langkah) dan
1.
tindakan yang akan dilakukan kepada bayi?

2. Apakah Mengisi data yang diperlukan?

3. Apakah Membuat dan mengajukan informed consent?


Apakah Mengatur posisi bayi, yaitu kaki bayi pada posisi

4. lebih rendah/posisi bayi dalam keadaan menyusu dengan


ibunya?
Apakah Mencuci tangan dan menggunakan APD serta
5.
sarung tangan sebelum melakukan tindakan?

6. Apakah Melakukan kompres hangat pada kaki bayi?


Apakah Membersihkan daerah tumit yang akan ditusuk
7.
dengan kapas alkohol 70%?
Apakah Mengeringkan daerah tumit dengan kain
8.
kassa/kassa kering?
Apakah Melakukan tusukan pada area tumit kaki bayi, yaitu
9.
pada bagian laretal atau medial tumit dengan linset steril?
Apakah Tetesan darah pertama diusap dengan kassa steril

10. dan mengambil tetesan darah kedua sambil dipijat lembut


tanpa gerakan memeras tumit?
11. Apakah Daerah tengah kedua bulatan kertas saring di

39
ditetesi dengan darah hingga penuh (membentuk bulatan
besar) dan menembus ke bagian belakang kertas saring?
Apakah Bekas tusukan ditekan dengan kassa/kapas steril

12. sambil mengangkat tumit bayi sampai berada di atas kepala


bayi?
Apakah Kertas saring dikeringkan pada suhu ruangan, tanpa
terkena cahaya matahari atau pemanasan langsung?

13. Apakah diletakkan di rak pengering dengan posisi


horizontal atau di letakkan di atas permukaan datar yang
kering dan tidak menyerap?
Apakah Setelah specimen kering, kertas saring di masukkan

14. di dalam plastik kemudian dimasukkan lagi ke dalam


amplop untuk dikirim ke Laboratorium?

40
41

Anda mungkin juga menyukai