Pembicara: Abhan (Bawaslu RI), Akmal Malik (Dirjen Otda), Alwan Ola Riantoby
(Seknas JPPR), Pramono Ubaid (KPU RI) dan dr. Corona Rintawan (Mantan stafsus
BNPB)
Ketentuan pelaksanaan pilkada 2020 berdasarkan perpu 02 th. 2020 pasal 201
maupun 122, artinya dasar hukum penundaan pilkada sudah diatur di perpu tapi
bawaslu saat ini menunggu kepastian PKPU terkait revisi PKPU 08-15 th. 2019, yang
merupakan payung hukum terakhir secara teknis. Tapi secara teknis operasional masih
membutuhkan PKPU tahapan. Secara pembahasan hingga hari ini sudah selesai
namun menunggu pengesahan oleh negara. Kami juga menunggu PKPU pemilihan di
masa pandemi. Jadi nantinya ada dua PKPU yang dijadikan landasan operasional
lanjutan pelaksanaan pilkada di akhir tahun 2020 ini.
Kami juga memotret beberapa potensj permasalahan pelaksanaan pilkada 2020 nanti.
Pertama ancaman kesehatan dan keselamatan masyarakat pada kelanjutan tahapan
pilkada tersebut. Hal ini juga menjadi pertimbangan penting bagi kami dikarenakan
bsalah satu rekan kami, ibu ratna dewi petalolo, yang mengalami positif Corona. Ini
menjadi beban moral bagi kami untuk menyakinkan publik terkait kesiapan pelaksanaan
pilkada di saat wabah pandemi covid. Kemudian kedua, potensi degradasi kualitas
penyelenggaran tahapan pilkada. Ada 4 hal tahapan yang diperlukan kontak langsung
dengan publik, yakni di verfak perseorangan, pemutakhiran data pemilih, kampanye
dan pemungutan serta penghitungan suara. Memang ada wacana kampanye via
daring, meski UU sebelumnya sudah diatur metode kampanye yang sudah di limitatif.
Untuk itu PKPU diperlukan untuk membentuk aturan metode kampanye modek baru
tersebut. Berikutnya, potensi kendala anggaran biaya pemilihan. Kami kira ini sudah
menjadi pembahasan terkait potensi permasalahan pelaksanaan pilkada pada 15
desember nanti, seperti pengadaan APD. Anggaran yang tersedia sudah dialokasi
untuk pelaksanaan tahapan yang sudah semestinya. Terlebih ada masukkan
pembatasan pemilih di tiap TPS, sehingga berimplikasi untuk menambah jumlah TPS
dari jumlah semestinya. Kondisi ini akan menghasilkan pertambahan masalah yakni
pertambahan personil penyelenggara di tiap TPS. Konsekuensi APD menjadi penting,
untuk itu akan lebih baik bila anggaran pilkada 09 desember 2020 didukung oleh APBN.
Selanjutnya potensi permasalahan antusiasme partisipasi masyarakat di pilkada 2020,
khususnya keterlibatan masyarakat untuk menjadi penyelenggara di tataran akar
rumput. Berikutnya juga potensi kendala penegakan hukum pemilihan. Jangka waktu
pada pilkada kali ini sangat pendek. Terlebih wacana penyelenggaraan via daring yang
dikhawatirkan akan mengalami kendala terkiat permasalah sengketa atau proses
hukum Pemilukada nanti.
Meski keputusan pelaksanaan pilkada di masa pandemi ini menjadi batu ujian bagi kita,
kami tetap mendorong pemberlakuan protokol kesehatan pada penyelenggaraan
pilkada tersebut. Karena apabila diputuskan untuk tidak dilaksanakan, proyeksi
berakhirnya pandemi ini belum dapat dipastikan. Karena penundaan bukan solusi yang
efektif terkait pelaksanaan pilkada yang sudah disepakati di tahun ini.
Sedangkan jabatan kepala daerah yang akan melaksanakan pilkada tahun ini akan
berakhir di februari 2021. Kekhawatiran ini menyasar pada kekosongan pelaksana
kebijakan di tingkat daerah pada tahun-tahun berikutnya, khususnya dalam
menanggulangi pandemi di tiap daerah.
Kami sekalli lagi menposisikan sebagai pemberi dukungan, baik data penyelenggaraan,
pengadaan anggaran juga penjaga keamanan dan ketertiban. Kami harap pihak
penyelenggara pemilu bisa bersinergi untuk mensukseskan pelaksanaan pilkada tahun
ini. Hal ini kami usahakan juga sebagai bagian dari kebanggaan negara kita karena 97
negara lain dapat melaksanakan pilkada di masa pandemi, semangat ini akan kami tiru
untuk menunjukkan kemampuan Indonesia untuk tetap bisa melaksanakan siklus
demokrasi dengan baik. Yang terpenting adalah pelaksanaan protokol kesehatan yang
ketat seperti negara-negara yang berjumlah 97 tersebut mampu melaksanakan pilkada
di masa pandemi ini.
Kami juga merasa pilkada ini sebagai momentum bagi kepala daerah petahana untuk
membuktikan kemampuannya kembali di periode berikutnya, terutama sebagai
pembuktian kapabilitasnya dalam menanggulangi wabah di daerahnya.
JPPR telah menganalisis sejak kemunculan wabah pandemi covid ini memutuskan
untuk mendorong agar pilkada dilaksanakan di 2021. Hal ini mendasari pada dua
argumentasi, yakni konteks keselamatan pemilih dan bagaimana kita memahami
psikologis pemilih.
Apabila membahas Korsel sebagai percontohan pelaksanaan pilkada, justru kita harus
melihat bagaimana penerapan protokol kesehatan yang dilaksanakan saat
penyelenggaraan pilkada tersebut. Karena ini merupakan bagian dari potrey upaya
penanganan keselamatan masyarakat saat mengikuti tahapan pilkada. Kondisi
keselamatan masyarakat juga perlu memperhatikan pandangan penyelenggara secara
struktural di akar rumput di masa pandemi tersebut. Kondisi kesiapan penyelenggara
juga menyangkut pada anggaran dan tata kelola teknis yang berbeda di masa pandemi.
Kondisi tersebut sangat mempengaruhi psikologis pemilih yang terancam dan juga
berpengaruh pada tingkat partisipasi masyarakat pada pilkada di masa pandemi.
Terlebih pihak KPU menurunkan persentase harapan partisipasi masyarakat menjadi
70,5% yang pada faktanya pada pemilu sebelumnya dapat mencapai 83%.
Terlebih riset yang sudah dilakukan oleh litbang kompas menunjukkan tanggapan
masyarakat yang ingin memundurkan pelaksanaan pilkada di tahun 2021 tersebut
cukup tinggi. Untuk itu apabila pemerintah ingin tetap melaksanakan pilkada di tahun
2020 yaitu melalui pendidikan pemilih yang lebih massif.
Kemudian rujukan protokol kesehatan yang digunakan tidak mengacu pada protokol
kesehatan kemenkes yang sudah ada. Rancangan PKPU terkait tahapan pilkada 2020
belum memenuhi pelaksanaan protokol kesehatan secara paripurna, yakni menyasar
pada penyelenggara dan pemilih. Standar kesesuaian dengan protokol kesehataan ini
juga menambah indikator kesukseskan pelaksanaan pilkada di masa pandemi covid ini.
Terakhir, mekanisme PKPU yang membahas daftar pemilih yang belum menyesuaikan
teknis di masa New Normal. Apabila pemilih tidak mau memilih atau semisal ketidak
jelasan pemilih pada situasi pandemi yang cukup diwajarkan, belum memiliki kejelasan
pada aturannya. Terutama jam pemberian suara di tps yang dikontrol guna
melaksanakan social distancing di TPS, belum jelas secara terperinci. Kondisi belum
siapnya teknis pelaksanaan pilkada yang menyesuaikan di masa pandemi ini
dikhawatirkan menghasilkan situasi yang amburadul pada pelaksanaan kedepannya.
Meskipun pelaksanaan pilkada tetap berisiko dan rumit serta mahal, bukan berarti tidak
bisa. Karena pelaksanaan pilkada ini merujuk pada situasi pilkada di negara lain.
Landasan hukum yang digunakan sebagai regulasi juga jelas, pengambilan keputusan
berdasarkan argumen yang kokoh karena pasal di 202 ayat 2 itu membuka peluang
pelaksanaan pilkada pada desember 2020 meskipun dibuka alternatif untuk
dilaksanakan di tahun depan jika karena satu sebab. Kedua, secara politik juga kokoh
karena diambil keputusannya oleh lembaga yang berwenang khususnya lembaga
pemilu dan perwakilan partai politik yang merupakan peserta utama demokrasi di
tengah rakyat. Gugus tugas covid juga merekomendasikan agar pilkada tetap dapat
diselenggarakan selama protokol kesehatannya dikonsultasikan dengan gugus tugas
penanggulangan pandemi covid. Nah ketentuan pada perpu 2 th 2020 menjelaskan
aturan dan tata cara diatur di PKPU khususnya di tengah pandemi covid. Pembahasan
pelaksanaan pilkada pada masa wabah covid ini juga sudah melibatkan semua
stakeholder yang berwenang pada penanganan pilkada dan pandemi tersebut melalui
pelaksanaan FGD. PKPU di masa pandemi ini sudah disesuaikan pada protokol
kesehatan karena melibatkan kemenkes dan gugus tugas penanganan covid.
Rancangan PKPU terbaru tersebut sudah siap tinggal menunggu persetujuan
pemerintah. PKPU di masa pandemi ini mengatur setiap elemen yang terlibat pada
pelaksanaan pilkada 2020 nanti.
Sikap publik terkait pilkada ini masih terbelah. Tingkat pertisipasi pilkada secara
nasional masih di sekitaran 74,5%. Untuk itu jangan membandingkan partisipasi pemilu
dengan partisipasi pilkada yang sangat berbeda. Kesiapan publik untuk hadir pada
pilkada 2020 dalam situasi pandemi itu 64,8% berdasarkan litbang kompas, yang bagi
KPU itu cukup menggembirakan. Terlebih waktu pelaksanaan masih ada 6 bulan
kedepan. Waktu menjadi unsur yang sangat penting pada tahapan pendidikan pemilih
kedepannya.
Pandemi covid di tiap daerah memiliki bentuk wabah yang berbeda beda berdasarkan
kriteria warna zona seperti merah, kuning atau hijau. Terlebih indikator penentuan zona
tersebut memiliki 15 indikator yang nyatanya tidak mudah memutuskan jenis warna
zona pandemi tersebut.
Kemudian apabila mengacu pada rekomendasi gugus tugas dan epidemiologi terkait
pelaksanaan pilkada, kita juga harus mempertimbangkan aliran epidemiologi karena
ada dua pandangan yang berbeda. Karena masih ada pakar epidemiologi yang merasa
situasi pandemi ini belum aman.
Closing Statement:
Akmal Malik
Ini kan diskursus, dimana perbedaan pandangan menjadi hal yang lumrah. Untuk itu
kita harus tetap optimis dalam pelaksanaan pilkada kali ini. Karena sudah melalui
diskusi dan kesepakatan dengan tenaga kesehatan untuk rekomendasi pelaksanaan
pilkada tahun ini.
Tentunya pembelajaran kepada negara yang sukses di masa pandemi tersebut sedang
kami upayakan. Terutama masalah biaya, momentum di bulan desember ini sudah
merupakan keputusan yang tepat. Karena apabila diundur, alokasi anggaran ini
nantinya terseral untuk penanganan pandemi terlebih perserapan anggaran yang turun
di tahun ini. Situasi pengunduran pilkada justru malah semakin tidak mungkin. Untuk itu
kita harus tetap optimis.
Saat ini bentuk optimisme kami pada pengadaan logistik APD pada pihak
penyelenggara sedang kami usahakan untuk hibah dari pemda yang mengadakan
pilkada tersebut. Juga ada beberapa daerah yang bisa mengoptimalkan pelaksanakan
pilkada di tengah pandemi, bahkan tidak membutuhkan penambahan anggaran.
Biaya perawatan pasien covid merupakan biaya yang mahal dikarenakan kebutuhan
adanya logistik penanganan wabah bagi pasien ini masih kesulitan. Sehingga
kebutuhan APD ini masi kesulitan, bahkan hanya untuk penanganan satu pasien covid
saja. Kemudian ventilator yang kurang tersedia menjadi polemik utama. Prosedur
penanganan jenazah pasien covid yang berbeda, hal hal tersebut menjadi biaya
tambahan menjadi mahal.
Protokol kesehatan itu merupakan protokol wajib yang harus dilaksanakan karena
efeknya tidak hanya bagi pengidap virus covid tetapi juga bagi lingkungan sekitarnya.
Untuk itu dimohon pada pelaksanaan pilkasa agar tidak meremehkan protokol
kesehatan.
Pramono Ubaid
Posisi KPU saat ini ditempatkan pada situasi yang realistis. KPU sangat optimis, di sisi
lain juga tidak terlalu dihinggapi perasaan sangat pesimis. Maka amanah pelaksanaan
pilkada kali ini ditunaikan oleh KPU di masa pandemi berfokus pada pengadaan APD
dan logistik penanganan pandemi ini di tps, kemudian pelaksanaan protokol kesehatan
menjadi kata kunci utama di tahapan pilkada 2020 kali ini.
Persentuhan petugas KPU dengan publik terjadi di akhir bulan ini, pada tahapan verfak
dukungan calon perseorangan. Mudah-mudahan teknis di lapangan dipenuhi secara
disiplin oleh penyelenggara dan pemilih di lapangan nanti. Kami juga mengupayakan
persentuhan langsung untuk dikurangi. Semisal penggunaan pulpen pribadi pada publik
saat verifikasi faktual, bukan menggunakan pulpen dari petugas di lapangan. Semoga
kondisi juga menjadi pendidikan disiplin masyarakat terhadap aturan dan protokol
kesehatan.
Alwan Ola
Kami rasa diperlukan bagi seluruh stakeholder yang bertanggung jawab pada
pelaksanaan pilkada kali ini untuk bersinergi secara bersama, terutama pada
pendidikan pemilih di masyarakat khususnya pada pemahaman protokol kesehatan di
tingkat akar rumput. Secanggih apapun regulasi yang dirancang, semendetail protokol
kesehatan yang disiapkan, anggaran yang sudah disiapkan akan menjadi percuma
apabila efektifitas pendidikan pemilih tidak dimaksimalkan bagi masyarakat.