Anda di halaman 1dari 14

https://kab-temanggung.kpu.go.

id/berita/baca/7799/mempertimbangkan-
beban-kerja-badan-adhoc-pada-pemilu-serentak

Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan atas


pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dengan nomor perkara
16/PUU-XIX/2021. Pemohon uji materi ini adalah mantan penyelenggara
adhoc Pemilu Serentak Tahun 2019 lalu.

Para pemohon menyampaikan beban kerja penyelenggara di tingkat


KPPS, PPS, dan PPK yang dipandang sangat berat. Salah satu
pemohon uji materi tersebut, Dimas Permana Hadi, yang merupakan
mantan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) menyampaikan pemilu
dengan lima kotak suara membuat beban kerja badan adhoc relatif
berat.

Dimas bercerita KPPS bekerja sehari sebelum pemungutan suara


dilakukan dan penghitungan suara berakhir pukul 24.00 WIB di hari yang
sama dengan pemungutan suara. Selanjutnya, KPPS masih harus
menyalin formulir berita acara pemungutan dan penghitungan suara
sampai dengan pukul 02.00 dini hari bahkan ada yang selesai pukul
06.00 keesonak harinya. Dimas berharap beban kerja badan adhoc di
Pemilu 2019 tidak terulang lagi pada Pemilu Serentak 2024 dan lebih
manusiawi. (https://rumahpemilu.org/mk-diharap-pertimbangkan-
pengalaman-penyelenggara-ad-hoc-pada-pemilu-2019) Pengalaman
Dimas tersebut bisa jadi terulang kembali oleh penyelenggara adhoc
apabila model keserentakan Pemilu dan ketentuan tidak berubah.

Pada Februari lalu, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor


55/PUU-XVII/2019 telah memberi sinyal kepada pembuat undang-
undang untuk dapat mengubah model keserentakan Pemilu sepanjang
tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih
anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden. Namun, nampaknya
hingga saat ini, model keserentakan Pemilu Tahun 2024 akan tetap
sama dengan Pemilu 2019 karena tidak ada rencana perubahan
Undang-Undang 7/2017.
Peneliti Senior LIPI, Syamsuddin Haris melihat Pemilu Serentak 2019
tidak semata-mata terkait keserentakan Pemilu tetapi pada pengaturan
durasi waktu pemungutan suara dan penghitungan suara di TPS oleh
KPPS. Menurutnya, pembentuk UU semestinya dapat menghitung
potensi kerumitan dan beban KPPS sehingga tidak memaksakan
pemungutan dan penghitungan suara dalam waktu satu hari.
(https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_6797.p
df)

Syamsuddin menegaskan, salah satu sumber permasalahan tragedi


kemanusiaan penyelenggara Pemilu dan kesulitan Pemilih pada Pemilu
Serentak 2019 adalah penumpukan lima surat suara dalam satu waktu
bersamaan serta implementasi sistem proposional terbuka dengan 16
(enam belas) Partai Politik Peserta Pemilu.

Sejalan dengan hal tersebut, Anggota Divisi Teknis Penyelenggara KPU


Provinsi Jawa Tengah, Putnawati memandang beban kerja badan adhoc
menjadi salah satu potensi masalah yang akan dihadapi dalam
keserentakan Pemilu 2024. Hal ini disampaikan pada diskusi Rabu Ingin
Tahu yang diselenggarakan KPU Provinsi Jawa Tengah secara daring
belum lama ini.

Menurutnya, perlu ada penyesuaian mekanisme kerja sehingga masalah


beban kerja penyelenggara adhoc dapat diminimalisir. Tidak adanya
jaminan kesehatan bagi Badan Adhoc dengan beban kerja yang berat
dalam Pemilu Serentak, menurut Putnawati juga menjadi potensi
masalah.

Ahli Hukum Tata Negara, Topo Santoso menegaskan perlu adanya


jaminan keselamatan, kesehatan dan pemberian beban kerja yang
manusiawi bagi seluruh pihak yang bekerja dalam pemilu, khususnya
petugas Pemilu. Pengoptimalan teknologi dalam proses pemilu terutama
pada penghitungan dan rekapitulasi suara menjadi salah satu pilihan
menyelesaikan persoalan beban kerja petugas itu.
(https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_6797.p
df)

Apabila Pemilu serentak dengan lima kotak suara dilakukan dalam satu
hari, dan semuanya dilakukan secara manual, maka akan membawa
dampak dan implikasi bagi beban kerja serta kesehatan dan
keselamatan petugas pemilu. Mengingat, adanya batasan waktu dalam
proses penghitungan dan rekapitulasi suara serta jumlah dokumen
berita acara yang harus diisi.

Meminimalisir persoalan beban kerja badan adhoc tersebut, KPU


dipandang perlu untuk membuat pengaturan-pengaturan teknis yang
dapat mengurangi beban penyelenggara terutama KPPS pada hari
pemungutan dan penghitungan suara. Wacana redesain surat suara
serta penggunaan teknologi pada tahapan pemungutan dan
penghitungan suara menjadi penting untuk terus dikaji sehingga dapat
meringankan beban penyelenggara pada Pemilu Serentak Tahun 2024.
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia beberapa waktu yang lalu
menetapkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 21 Tahun 2022
terkait Penetapan Tanggal Pemungutan Suara Pada Pemilu Serentak
Tahun 2024 yang menyatakan bahwa pemungutan suara pada Pemilu
Serentak Tahun 2024 akan dilaksanakan pada Hari Rabu, 14 Februari
2024. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 pasal 167 ayat 6
menyebutkan bahwa tahapan penyelenggaraan Pemilu di mulai paling
lambat 20 (dua puluh) bulan sebelum hari pemungutan suara, sehingga
bila dihitung mundur maka tahapan Pemilu Serentak Tahun 2024 paling
lambat dilaksanakan 14 Juni 2022. Hal tersebut dikuatkan dengan
dikeluarkannya Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan
dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu 2024. Memasuki masa tahapan
penyelenggaraan Pemilu 2024, salah satu hal pokok yang harus segera
dibentuk adalah Badan Ad hoc.
Badan Ad hoc merupakan sebuah badan yang dibentuk oleh KPU
Kabupaten/Kota untuk membantu pelaksanaan kerja-kerja KPU terkait
Pemilu ataupun Pemilihan baik di tingkat kecamatan, Desa/Kelurahan
maupun Tempat Pemungutan Suara (TPS). Badan Ad hoc sebagai
garda terdepan dalam pelaksanaan gelaran Pemilu maupun Pemilihan
mempunyai peran penting untuk mengawal kualitas demokrasi. Menilik
kembali rekrutmen Badan Ad hoc pada Pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati Wonogiri Tahun 2020 yang lalu, ada beberapa tantangan yang
harus dilalui oleh KPU Kabupaten Wonogiri.
Pertama, belum terbangunnya animo masyarakat untuk berpartisipasi
menjadi penyelenggara. Banyak masyarakat di daerah perkotaan usia
produktif yang enggan untuk mendaftar sebagai penyelenggara Ad hoc,
hal tersebut sebagian besar karena alasan kesibukan masyarakat
sehingga kurang peduli dengan prosesi Pemilihan yang berjalan.
Kedua, terdapat wilayah yang memiliki keterbatasan SDM karena
sebagaian besar masyarakatnya merantau untuk mencari pekerjaan di
kota-kota lain, padahal di saat yang sama terdapat ketentuan harus
dipenuhi jumlah pendaftar minimal dua kali kebutuhan.
Ketiga, pada Pemilihan Serentak Tahun 2020 terdapat pembatasan usia
maksimal 50 (lima puluh) tahun dan pembatasan periodisasi yang
semakin mempersempit ruang gerak rekrutmen.
Keempat, persyaratan untuk tes Kesehatan dan rapid test untuk
pencegahan penyebaran virus Covid-19 bagi Badan Ad hoc juga
menjadi alasan yang sering terlontar terutama di tingkat KPPS, karena
calon KPPS harus meluangkan waktu untuk antre cek kesehatan guna
memenuhi persyaratan/ mendapatkan surat sehat dan bebas Covid 19.
Kelima, dari sisi administrasi dan pengelolaan data, dengan melihat
jumlah kebutuhan Ad hoc yang luar biasa banyak, tentunya perlu
ketelitian, kecermatan, dan ketepatan waktu. Pengelolaan data dalam
bentuk manual (hardcopy) selama ini membutuhkan waktu lama serta
memakan tempat yang banyak dalam pengarsipannya.
Terkait hal tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
Pertama, KPU perlu melakukan tindakan preventif dengan
melaksanakan pemetaan daerah yang memungkinkan sepi peminat
sebagai langkah antisipasi sejak dini, juga perlu berkoordinasi dan
bersinergi dengan pemangku wilayah baik di tingkat kecamatan maupun
desa/kelurahan untuk mendorong masyarakatnya berpartisipasi aktif
dengan mendaftarkan diri menjadi penyelenggara pemilu, terutama di
tingkat kecamatan, desa/kelurahan maupun Tempat Pemungutan Suara
(TPS).
Kedua, untuk daerah yang sepi pendaftar, KPU perlu membuat langkah
dengan melaksanakan pendidikan pemilih berkelanjutan untuk
masyarakat khususnya segmen pemilih pemula dan segmen
perempuan. Di masa pre-election pelaksanaan Pemilu maupun
Pemilihan, KPU bisa dengan melaksanakan Program “KPU Sambang
Desa dan Seventeen Minutes’’ yakni kegiatan pendidikan pemilih untuk
masyarakat Desa/Kelurahan dan siswa siswi yang sedang melakukan
praktik kerja industri di KPU Wonogiri dengan tujuan untuk mendorong
kesadaran masyarakat berpartisipasi aktif menjadi penyelenggara pada
pelaksanaan Pemilu Tahun 2024.
Ketiga, KPU perlu memfasilitasi dengan memberikan kemudahan
pendaftaran bagi masyarakat melalui skema jemput bola dengan
membentuk beberapa titik zonasi layanan tempat pendaftaran agar
masyarakat lebih mudah melakukan pendaftaran bagi calon anggota
PPK maupun PPS. Proses zonasi ini juga akan lebih efektif ketika
pendaftaran dilaksanakan melalui online, tentunya dengan beberapa
pertimbangan salah satunya adalah kemudahan akses internet.
Keempat, khusus untuk KPPS, guna mempermudah mendapatkan surat
keterangan sehat, KPU perlu berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah
untuk memfasilitasi calon KPPS tersebut secara khusus.
Kelima, berkaitan dengan proses administrasi dan pengelolaan data,
KPU perlu memanfaatkan teknologi dengan membangun sebuah
aplikasi untuk mendukung serta mempermudah proses rekrutmen badan
ad hoc. Pemanfaatan teknologi ini memiliki peran yang besar yaitu
meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam proses rekrutmen Ad hoc.
Senada dengan Revolusi Industri 4.0, pemanfaatan IPTEK yang bijak
juga harus segera diterapkan dalam proses rekrutmen Badan Ad hoc.
Misalnya mulai menggunakan pendaftaran berbasis website atau
Google Form sehingga data yang terinput tertampung secara otomatis
dan dikelola dalam single database yang akrual atau real time. Dengan
monitoring secara real time maka bisa langsung diketahui daerah-
daerah minim pendaftar dan dapat segera dilakukan pendekatan untuk
menyelesaikan problem tersebut. Pendaftaran secara online juga
mempermudah pengelolaan dokumen administrasi yang biasanya
menumpuk dan susah dicari menjadi dapat mudah ditemukan dengan
fitur sort yang tersedia. Pada prinsipnya diperlukan langkah-langkah
inovatif untuk mendorong penyelenggaraan Pemilu yang inklusif, lancar
tanpa kendala, serta semakin berkualitas untuk penegakan dan
pembangunan budaya demokrasi. Semoga…(*)
https://bawaslu.go.id/id/berita/beban-kerja-penyelenggara-terlalu-tinggi-bagja-potensi-
timbulkan-masalah

Badan Pengawas Pemilihan Umum- Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan beban
kerja penyelenggara pemilu yang terlalu tinggi, menjadi salah satu potensi yang bisa
menimbulkan masalah. Beban kerja yang dimaksud Bagja, adalah salah satu persoalan
yang dialami penyelenggara tingkat ad hoc.

Semisal, dia mencontohkan, terkait daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan Ketiga
(DPTHP-3) yang sudah ditetapkan oleh KPU berdasarkan hasil rekapitulasi berjenjang,
bisa saja diubah kembali ke DPTHP-2 per-TPS, menyesuaikan putusan Mahkamah
Konstitusi (MK).

"Hal ini menyebabkan pengawas di lapangan harus kerja keras lagi. Bahkan pada
Pemilu Serentak 2019 lalu, ada sekitar 894 petugas penyelenggara adhoc meninggal
dunia karena beban kerja yang berat," ucapnya saat menjadi pembicara di Workshop
Nasional Anggota DPRD Partai HANURA, Senin (19/9/2022).

Dalam acara yang bertema 'Menguatkan Tugas Pokok Fungsi, Menuntaskan Tanggung
Jawab Konstusi' tersebut, juga dijabarkan Bagja faktor lain selain beban kerja
penyelenggara. Semisal, terbatasnya SDM penyelenggara yang memenuhi
persyaratan.

Ini terbukti ketika Pemilu Serentak 2019 lalu, banyak penyelenggara pemilu adhoc yang
dipersoalkan oleh peserta pemilu karena tidak memenuhi persyaratan minimal usia 25
tahun.

Guna mengantisipasi hal serupa terjadi, Bagja menegaskan, Bawaslu sudah


mengusulkan agar ada Perppu terkait pemenuhan syarat yang lebih longgar.

"Karena kami kesulitas mencari penyelenggara adhoc yang sesuai syarat, apabila nanti
ada Perppu, syarat penyelenggara adhoc khususnya pengawas tps, minimal pendidikan
SMP," terangnya.
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17344

Sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan


Umum (UU Pemilu) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (9/6/2021) siang.
Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 16/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh
Akhid Kurniawan, Dimas Permana Hadi, Heri Darmawan, dan Subur Makmur. Para
Pemohon memberikan kuasa kepada Fadli Ramadhanil, Catherine Natalia, Heroik
Mutaqin Pratama, dan Kahfi Adlan Hafiz.

Adapun materi yang diujikan yaitu Pasal 167 ayat (3), dan Pasal 347 ayat (1) UU
Pemilu. Pasal 167 ayat (3) berbunyi, “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak
pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional”. Sedangkan Pasal 347 ayat
(1), “Pemungutan suara Pemilu diselenggarakan secara serentak.”

Para Pemohon adalah warga negara Indonesia yang pada penyelenggaraan Pemilu
2019 bertugas sebagai penyelenggara pemilu di tingkat Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dan Panitia
Pemungutan Suara (PPS). Akhid Kurniawan adalah KPPS di TPS No. 024, Kelurahan
Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Dimas
Permana Hadi adalah PPK di Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Slemen, DI Yogyakarta.
Heri Darmawan adalah PPK di Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat.
Kemudian Subur Makmur adalah PPS di Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya,
Kota Depok, Jawa Barat.

Kahfi Adlan Hafiz selaku kuasa hukum Pemohon dalam persidangan memaparkan
beban kerja para Pemohon sebagai penyelenggara pemilu di tingkat KPPS, PPK, PPS
pada Pemilu 2019. Kahfi mengungkapkan, terdapat persoalan yang sangat penting
dan mendasar terkait beban kerja penyelenggara pemilu.

“Beban kerja penyelenggara pemilu, khususnya penyelenggara di tingkat KPPS, PPK,


dan PPS yang menurut para Pemohon sangat berat, tidak rasional, dan tidak layak,”
kata Kahfi.

Beban yang sangat berat dan tidak rasional tersebut, jelas Kahfi, disebabkan oleh
penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan secara serentak dalam format lima jenis
surat suara dalam waktu yang bersamaan yakni Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Berdasarkan pengalaman Akhid Kurniawan (Pemohon I), lanjut Kahfi, tugas KPPS
dalam penyelenggaraan pemilu, tidak hanya dilaksanakan pada hari H pemungutan
suara saja. Petugas KPPS, sudah mulai bertugas paling tidak sejak H-3 sebelum hari
pemungutan suara. Pekerjaan dan aktifitas yang dilakukan mulai dari proses
penerirnaan dan pengamanan logisitik pemilu, dan membangun lokasi TPS. Pada hari
berikutnya, langsung secara berturut-turut menyelenggarakan pemungutan dan
penghitungan suara untuk lima jenis surat suara sekaligus.

Persoalan konstitusional yang diajukan oleh para Pemohon ke Mahkamah, berkaitan


langsung dengan kedudukan para Pemohon sebagai penyelenggara Pemilu 2019.
Kendati demikian, Para Pemohon bertekad akan kembali berpartisipasi sebagai
penyelenggara pemilu di baik di level KPPS, PPK, PPS pada Pemilu 2024. Persoalan
konstitusionalitas ini juga akan berdampak pada kepentingan yang lebih luas,
khususnya terkait dengan beban kerja penyelenggara pemilu ad hoc di seluruh
wilayah Indonesia untuk penyelenggaraan Pemilu 2024, khususnya KPPS, PPK dan PPS
pada tahapan pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara, yang punya kaitan
langsung agar penyelenggaraan pemilu bisa berjalan sesuai dengan daulat rakyat,
pemilu yang jujur, adil, serta beban kerja penyelenggara pemilu yang lebih rasional,
layak, dan manusiawi.

Kerugian Konstitusional

Terhadap dalil-dalil para Pemohon, Hakim Konstitusi Saldi Isra antara lain menyoroti
kerugian konstitusional para Pemohon. “Kerugian konstitusional itu harus menyebut
hak-hak apa dalam UUD yang Pemohon itu dirugikan haknya kalau permohonan ini
tidak dikabulkan. Jadi harus merujuk ketentuan dalam UUD 1945, harus dicantumkan
pasal-pasalnya. Agar kami melihat apakah benar ada kerugian hak konstitusional,”
tegas Saldi selaku Ketua Panel Hakim MK.
Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menasihati para Pemohon agar
menyebutkan pasal-pasal yang diuji dalam bagian “perihal” permohonan. Tujuannya
agar memudahkan orang mengetahui pasal-pasal yang diuji dan diinginkan para
Pemohon. Kemudian di bagian Kewenangan Mahkamah pada permohonan, Enny
menyarankan agar dibuat singkat saja, tidak terlalu panjang. Selain itu, Enny meminta
uraian yang bersifat naratif pada bagian kedudukan hukum.

Selanjutnya Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mempertanyakan kerugian


konstitusional para Pemohon apakah hanya sebatas persoalan beban kerja. “Apakah
ada sudut lain yang menjadi kerugian konstitusional para Pemohon,” kata Manahan.

Penulis: Nano Tresna Arfana.


https://perludem.org/2021/11/23/menanti-tafsir-baru-pemilu-serentak-
menyelamatkan-beban-berat-penyelenggara-ad-hoc-untuk-pemilu-2024/

Menanti Tafsir Baru Pemilu Serentak: Menyelamatkan Beban Berat


Penyelenggara Ad Hoc untuk Pemilu 2024

Pada 2019 lalu, terdapat 894 petugas garda terdepan pemilu yang
meninggal dunia, serta 5.175 petugas yang jatuh sakit akibat beratnya
beban kerja penyelenggaraan Pemilu. Hal ini beralasan, sebab Pemilu
2019 lalu, merupakan pemilu serentak yang menggabungkan pemilihan
DPR, DPD, Presiden, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota. Dengan
format tersebut, Pemilu Indonesia bahkan dinobatkan sebagai pemilu-
satu-hari tersulit oleh berbagai media internasional.

Berdasarkan kondisi tersebut, empat mantan penyelenggara ad


hoc Pemilu 2019, mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 167
ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Kedua pasal itu merupakan payung hukum penyelenggaraan format
Pemilu Serentak Lima Kotak. Berikut nama-nama Para Pemohon:
1. Akhid Kurniawan (KPPS TPS No. 024, Wirokerten, Banguntapan, Bantul, DIY)
2. Dimas Permana Hadi (PPK Ngaglik, Sleman, DIY)
3. Heri Darmawan (PPK Sukmajaya, Depok, Jawa Barat)
4. Subur Makmur (PPS Abadijaya, Sukmajaya, Depok, Jawa Barat)

Para Pemohon berkeinginan kembali menjadi penyelenggara pemilu.


Hal ini dikarenakan, selain niat untuk menjaga demokrasi, mereka juga
memiliki rekam jejak baik, sehingga selalu dipercaya oleh masyarakat.
Karenanya, Para Pemohon berpotensi mendapatkan kerugian yang
sama pada Pemilu 2024 mendatang, sejak RUU Pemilu yang urung
dibahas oleh pembentuk undang-undang.

Permohonan yang diajukan Para Pemohon, menekankan soal beban


kerja akibat penerapan format Pemilu Lima Kotak. Walaupun Para
Pemohon bekerja pada level yang berbeda, beban kerja yang tidak
manusiawi tesebut tak dapat dihindari. Misalnya KPPS mulai bekerja H-
3 pemungutan suara, dimulai dari pengamanan logistik, hingga
menghitung perolehan hasil suara.

Akibat jenis surat suara yang banyak, maka penghitungannya juga


semakin lama dan mengakibatkan waktu kerja yang panjang tanpa jeda.
Hal yang sama juga terjadi pada PPS di tingkat kelurahan. Di Kelurahan
Abadijaya, wilayah kerja pemohon, terdapat 865 kotak suara yang
distribusinya harus dikawal dalam waktu yang sempit.

Di tingkat Kecamatan, PPK juga mendapatkan kelelahan yang berat


akibat penjagaan logistik hingga distribusinya yang melalui kecamatan,
memakan waktu lama tanpa jeda. Selain itu, pada proses rekapitulasi
suara di kecamatan banyak terdapat kesalahan hitung KPPS akibat
kelelahan yang menurunkan fokus petugas, sehingga kotak suara yang
sudah dihitung harus kembali dibuka.

Berdasarkan ilustrasi tersebut, Para Pemohon memohon agar format


Pemilu Lima Kotak diubah. Perubahan dilakukan dengan menarik
pemilihan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dari Pemilu
Serentak. Hal ini mengingat Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019, yang
menyatakan format Pemilu setidaknya harus menyerentakkan Pemilihan
DPR, DPD, dan Presiden. Karenanya, bila Pemilihan DPRD Provinsi
dan DPRD Kab/Kota ditarik dari pemilu serentak, tetap dapat dianggap
konstitusional.

Bila Permohonan ini diterima oleh MK, beberapa persoalan dapat


terselesaikan, seperti Pertama, jumlah logistik yang harus diamankan
dan didistribusikan dalam satu waktu lebih ringan. Kedua, pemilih tidak
mengalami kebingungan dalam memberikan suaranya, sebab hanya tiga
jenis surat suara saja yang dipilih. Ketiga, waktu penghitungan dan
rekapitulasi perolehan hasil suara juga lebih singkat dan tidak menguras
energi.

Ketiga implikasi tersebut, berujung pada upaya meringankan beban


kerja para penyelenggara, terutama yang terjun langsung ke lapangan.
Hal ini penting agar dapat menjamin penyelenggaraan pemilu yang lebih
rasional, manusiawi, dan manajemen pemilu yang lebih baik. Kualitas
manajemen pemilu, tentu krusial dalam menjamin kualitas pemilu dan
prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Selain itu,
penyelenggara juga dapat terhindar dari bahaya kesehatan akibat beban
kerja yang sangat berat, jika Mahkamah mengabulkan permohonan ini.

Tim Kuasa Hukum Pemohon No. Perkara 16/PUU-XIX/2021


https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/11/17/pernyataan-bebas-afiliasi-politik-
tak-jamin-integritas-badan-ad-hoc-pemilu

beban kerja badan adhoc pemilu 2024

https://nasional.kompas.com/read/2022/06/02/14514481/pemilu-dan-pilkada-
serentak-2024-alasan-urgensi-dan-tantangan

https://serupa.id/beban-kerja-dan-analisis-beban-kerja-pengertian-indikator-jenis-
faktor/

Anda mungkin juga menyukai