Anda di halaman 1dari 144

KEARIFAN EKOLOGIS MASYARAKAT HUKUM ADAT

CIGUGUR DALAM PENGELOLAAN HUTAN


DI KABUPATEN KUNINGAN PROVINSI JAWA BARAT
(Kajian Studi Etnoekologi)

Tesis
untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Sarjana S2
Program Studi Magister Ilmu Lingkungan

diajukan oleh :
Candrika Adhiyasa
19/453311/PMU/10192

kepada
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2022
ii
iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PERBAIKAN NASKAH TESIS

1. Jenis Persetujuan : Perbaikan


2. Jenis Dokumen : Perbaikan Naskah S2/Tesis
3. Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan
4. Jenjang : S2
5. Nama : Candrika Adhiyasa
6. NIM Mahasiswa : 19/453311/PMU/10192
7. Judul : Kearifan Ekologis Masyarakat
Hukum Adat Cigugur dalam
Pengelolaan Hutan di Kabupaten
Kuningan Provinsi Jawa Barat
(Kajian Studi Etnoekologi)
8. Nama Dosen Pembimbing : Dr. Niken Wirasanti, M.Si.
9. Pernyataan : Persetujuan Perbaikan Tesis

Yogyakarta, Mei 2022

Menyetujui

Dosen Pembimbing 1

Dr. Niken Wirasanti, M.Si.

iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PERBAIKAN NASKAH TESIS

1. Jenis Persetujuan : Perbaikan


2. Jenis Dokumen : Perbaikan Naskah S2/Tesis
3. Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan
4. Jenjang : S2
5. Nama : Candrika Adhiyasa
6. NIM Mahasiswa : 19/453311/PMU/10192
7. Judul : Kearifan Ekologis Masyarakat
Hukum Adat Cigugur dalam
Pengelolaan Hutan di Kabupaten
Kuningan Provinsi Jawa Barat
(Kajian Studi Etnoekologi)
8. Nama Dosen Pembimbing : Dr. Djaka Marwasta, M.Si.
9. Pernyataan : Persetujuan Perbaikan Tesis

Yogyakarta, Mei 2022

Menyetujui

Dosen Pembimbing 2

Dr. Djaka Marwasta, M.Si.

v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PERBAIKAN NASKAH TESIS

1. Jenis Persetujuan : Perbaikan


2. Jenis Dokumen : Perbaikan Naskah S2/Tesis
3. Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan
4. Jenjang : S2
5. Nama : Candrika Adhiyasa
6. NIM Mahasiswa : 19/453311/PMU/10192
7. Judul : Kearifan Ekologis Masyarakat
Hukum Adat Cigugur dalam
Pengelolaan Hutan di Kabupaten
Kuningan Provinsi Jawa Barat
(Kajian Studi Etnoekologi)
8. Nama Dosen Penguji : Prof. Dr. M. Baiquni, M.A.
9. Pernyataan : Persetujuan Perbaikan Tesis

Yogyakarta, Mei 2022

Menyetujui

Dosen Penguji 1

Prof. Dr. M. Baiquni, M.A.

vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PERBAIKAN NASKAH TESIS

1. Jenis Persetujuan : Perbaikan


2. Jenis Dokumen : Perbaikan Naskah S2/Tesis
3. Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan
4. Jenjang : S2
5. Nama : Candrika Adhiyasa
6. NIM Mahasiswa : 19/453311/PMU/10192
7. Judul : Kearifan Ekologis Masyarakat
Hukum Adat Cigugur dalam
Pengelolaan Hutan di Kabupaten
Kuningan Provinsi Jawa Barat
(Kajian Studi Etnoekologi)
8. Nama Dosen Penguji : Dr. Setiadi, M.Si.
9. Pernyataan : Persetujuan Perbaikan Tesis

Yogyakarta, Mei 2022

Menyetujui

Dosen Penguji 2

Dr. Setiadi, M.Si.

vii
KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang mendalam saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha
Sublim, yang mewedarkan dirinya dalam alam dan dalam segala entitas yang ada
di alam semesta ini. Karena kehendak-Nya, penulis sampai pada suatu akhir dari
satu fase untuk menyiapkan diri menghadapi fase berikutnya dalam babak
kehidupan. Tesis sederhana dan jauh dari kata sempurna berjudul “Kearifan
Ekologis Masyarakat Hukum Adat Cigugur dalam Pengelolaan Hutan di Kabupaten
Kuningan Provinsi Jawa Barat (Kajian Studi Etnoekologi)” ini merupakan sebuah
dokumentasi hasil belajar singkat saya mengenai interaksi Tuhan, manusia, dan
alam di Komunitas Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan (AKUR) atau Masyarakat
Hukum Adat Cigugur, dan merupakan sebuah tanda bahwa saya telah
menyelesaikan studi master saya. Tesis ini tentu saja tidak akan selesai tanpa ada
keterlibatan begitu banyak pihak yang memberikan saya kekuatan dengan caranya
masing-masing. Secara spesifik, saya haturkan rasa terima kasih yang mendalam
kepada:

1. Rektor Universitas Gadjah Mada, Bapak Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng.,
D.Eng., IPU., ASEAN Eng.
2. Dekan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Ibu Prof. Ir. Siti
Malkhamah, M.Sc., Ph.D.
3. Kepala Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada,
Bapak Prof. Dr. Ig. L. Setyawan Purnama, M.Si.
4. Ibu Dr. Niken Wirasanti, M.Si. selaku Dosen Pembimbing I atas ilmu, arahan,
dan bimbingannya serta kesabarannya terhadap segenap ketidaktanggapan dan
keteledoran penulis.
5. Bapak Dr. Djaka Marwasta, M.Si. selaku Dosen Pembimbing II atas ilmu,
arahan, dan bimbingannya serta ketelatenan dan ketanggapannya dalam
memeriksa setiap perbaikan tesis penulis.

viii
6. Bapak Prof. Dr. M. Baiquni, M.A. selaku Dosen Penguji I atas apresiasi dan
masukan terhadap tugas akhir yang disusun oleh penulis.
7. Bapak Dr. Setiadi, M.Si. selaku Dosen Penguji II atas kritik dan saran-saran
konstruktif dalam mengevaluasi tugas akhir yang disusun oleh penulis.
8. Seluruh tenaga pendidik di Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada atas segala ilmu, masukan, bantuan,
arahan, serta bimbingan yang diberikan kepada penulis selama menempuh
pendidikan.
9. Ibu Juwita Jatikusumah Putri; Bapak Okky Satrio Djati; Masyarakat Hukum
Adat Cigugur; A Pandu Hamzah; Pak Ebo, S.Sos.; dan Kang Aang Andara yang
telah berkenan meluangkan waktunya untuk berbincang, berdiskusi, serta
memberi informasi terkait topik penelitian kepada penulis.
10. Kedua orang tua saya, Mamih Hj. N. Yayat Suryati, S.Pd. dan Peltu. T.
Samsudin (purn.) yang telah sekuat tenaga membuat penulis menjadi manusia
terbaik yang paling mungkin penulis capai. Juga kepada kedua kakak penulis,
Mbak Indriana Satya Mintarti, S.T., M.Si. dan Teh Indriati Satya Widyasih,
S.Pd., M.Pd. (almh.) yang memberi begitu banyak dukungan; moril maupun
materil.
11. Teman-teman diskusi dalam segala cuaca dan dalam segala dimensi; M.
Pengkuh Muharam, S.Kom. (Pupung), Dudi Apriandi R., S.Pd., Ronald Yega
Utama, S.Pd., De Aji Supardi, S.Pd., Ilham Taufik Fauzi, S.Pd., Ucu
Daliansyah, S.Pd., Indra Kresna Wicaksana, S.Pd., Zhilan Faris Khairul Imam,
S.Pd., Bima Adi Pradana, S.Pd., Adika Prabaswara, S.Pd., Wendi Harry
Rhamdani, S.Pd., dan last but not least, mitra utama dalam merencanakan
proyek masa depan, Ersya Nurul Ihza, S.Pd.
12. Segenap keluarga mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan, khususnya IL 2019
Genap, yang sudah lebih dari sekadar rekan belajar, melainkan sudah
selayaknya sahabat atau saudara; Mokhram Ari Arbi I., S.T., M.Sc., Zat
Ayuningsih Pambagyo, S.H., M.Sc., Yosi Atikah Syarafina, S.Si., M.Sc., Maria
Handayani Ohoira, S.Si., M.Sc., Muhammad Isbahuddin, S.P., M.Sc., dan lain-
lain.

ix
13. Keluarga-keluarga saya di berbagai komunitas yang menjadi tempat
perlindungan saya ketika merasa ditampari nasib; Bangusorum, Bukusam,
Dapur Sastra (terutama Bapak Dr. Arip Hidayat, M.Pd. dan A Tifani Kautsar,
M.Pd. yang telah menjadi teman diskusi, khususnya ihwal sastra), Pendidikan
Geografi Universitas Siliwangi (terutama Ibu Ely Satiyasih Rosali, M.Pd.,
Bapak Dr. Darwis Darmawan, M.Pd., Bapak Dr. Erwin Hilman Hakim, M.Pd.,
dan Bapak Dr. Ruli As’ari, M.Pd. yang intens, hingga hari ini, menanyakan
kabar saya), Ikatan Pelajar Mahasiswa Kuningan Jawa Barat - Yogyakarta
(IPMK), dan lain sebagainya.
14. Seluruh pihak yang telah membantu proses penyusunan tesis ini, baik secara
langsung maupun tidak, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tesis ini begitu jauh dari kata sempurna. Namun
meski demikian, tesis ini adalah sebentuk hasil belajar penulis selama menempuh
pendidikan di Universitas Gadjah Mada. Kritik dan saran tentu terbuka lebar untuk
perbaikan dalam penelitian-penelitian selanjutnya guna mampu mencapai taraf riset
yang lebih baik dan memadai serta memberikan manfaat yang signifikan dan
konkret demi kemajuan ilmu pengetahuan.

Yogyakarta, Mei 2022

Penulis

x
Kearifan Ekologis Masyarakat Hukum Adat Cigugur
dalam Pengelolaan Hutan di Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat
(Kajian Studi Etnoekologi)

Candrika Adhiyasa
19/453311/PMU/10192

Program Studi Magister Ilmu Lingkungan


Universitas Gadjah Mada

Intisari

Masyarakat hukum adat Cigugur merupakan masyarakat adat Sunda yang


memandang Tuhan, manusia, dan alam sebagai tiga entitas yang terintegrasi.
Kesadaran tripartit ini tertuang dalam filsafat Tri Tangtu yang menjadi pedoman
hidup mereka. Mereka juga memiliki pengetahuan lokal yang khas dalam
pengelolaan hutan. Penelitian ini bertujuan menyusun konsep nilai dan makna
hutan, mengkaji pengelolaan hutan, dan menganalisis faktor-faktor yang membuat
kearifan ekologis mereka bertahan.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan
etnoekologi yang menganalisis pengetahuan lokal mereka, pengambilan data
melalui wawancara mendalam yang dipilih dengan purposive sampling, observasi
selama beberapa hari di lokasi penelitian, dan dokumentasi. Pengambilan data
dilakukan dari Oktober sampai Desember 2021.
Hasil menunjukkan bahwa masyarakat hukum adat Cigugur memiliki
pandangan kosmologi dengan corak tripartit yang mereka sebut sebagai Tri Tangtu.
Pandangan ini memiliki korelasi dengan persepsi mereka yang memandang hutan
sebagai sebuah sistem yang bekerja seperti manusia. Pengelolaan hutan berkaitan
dengan zonasi hutan berdasarkan hukum adat, pelarangan penjualan tanah
pertanian, serta perlindungan flora dan fauna yang dianggap keramat. Faktor-faktor
yang membuat kearifan ekologis masyarakat hukum adat Cigugur bertahan ditinjau
dari dua aspek, yakni covert culture yang meliputi (1) penghormatan pada nilai-
nilai budaya Sunda dan (2) relevansi kearifan ekologis dengan zaman. Aspek overt
culture meliputi (1) struktur keluarga adat, (2) penjagaan identitas adat, dan (3)
terpeliharanya ajaran tekstual.
Kata kunci: Kearifan ekologis, masyarakat hukum adat Cigugur, pengelolaan
hutan, etnoekologi

xi
The Ecological Wisdom of Cigugur Indigenous People
in Forest Management di Kuningan Regency West Java Province
(Ethnoecological Study)

Candrika Adhiyasa
19/453311/PMU/10192

Master of Environmental Science Department


Gadjah Mada University

Abstract

Cigugur indigenous people is one of Sundanese traditional people who


looks at God, human, and nature as integrated entities. The tripartite conciousness
is embodied in Tri Tangtu’s philosophy that guides them. They have an unique local
knowledge in forest management. This research’s purposes is to construct the value
and meaning of the forest, study the forest management, and to analyze the factors
that make their ecological wisdom survive.
The method of this research using qualitative research method by
ethnoecological approach that analyze their local knowledge, data retrievals use in-
depth-interview who selected by purposive sampling, several days observation in
research location, and documentation. Data retrievals done in October until
December 2021.
The result shows that Cigugur indigenous people have nature cosmological
view in tripartite way called Tri Tangtu. This view has correlation with their
perspective about forest as a system that has a character like human beings. The
forest management related to forest zoning, prohibition to sell agricultural land,
protection of sacred flora and fauna. The factors that make their ecological wisdom
survive are viewed by two aspects, covert culture which includes (1) respect for
Sundanese traditional values and (2) the relevance of ecological wisdom through
time. Overt culture which includes (1) traditional family’s structure, (2) the guard
of traditional identity, and (3) preservation of textual documents.

Keywords: Ecological wisdom, Cigugur indigenous people, forest management,


ethnoecology

xii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................. ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ................................................................. iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PERBAIKAN TESIS ................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
INTISARI ............................................................................................................. xi
ABSTRACT ......................................................................................................... xii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................xv
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xvi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................1
1.2 Permasalahan Penelitian...............................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian .........................................................................................4
1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................................4
1.5 Batasan Penelitian ........................................................................................4
1.6 Keaslian Penelitian .......................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................17
2.1 Tinjauan Pustaka ........................................................................................17
2.1.1 Pengelolaan Hutan .........................................................................17
2.1.2 Kearifan Lokal dan Sistem Pengetahuan Lokal .............................19
2.1.3 Masyarakat Hukum Adat ...............................................................22
2.1.4 Etnoekologi ....................................................................................25
2.2 Kerangka Konseptual .................................................................................27
BAB III METODE PENELITIAN .....................................................................31
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .....................................................................31
3.2 Sumber Data ...............................................................................................34
3.3 Metode Penelitian.......................................................................................34
3.4 Aspek Kajian dan Fokus Penelitian ...........................................................35
3.5 Subjek dan Objek Penelitian ......................................................................36
3.6 Teknik Pengumpulan Data .........................................................................36
3.7 Metode Analisis Data .................................................................................39
3.8 Tahapan Penelitian .....................................................................................39
3.9 Definisi Operasional...................................................................................41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................42
4.1 Profil Masyarakat Hukum Adat Cigugur ...................................................42

xiii
4.2 Nilai dan Makna Hutan ..............................................................................46
4.2.1 Kosmologi Masyarakat Hukum Adat Cigugur ..............................47
4.2.2 Makna Hutan dalam Perspektif Masyarakat Hukum
Adat Cigugur ..................................................................................57
4.3 Pengelolaan Hutan .....................................................................................62
4.3.1 Zonasi Hutan Berdasarkan Hukum Adat .......................................63
4.3.2 Larangan Penjualan Tanah Pertanian .............................................72
4.3.3 Perlindungan Flora dan Fauna yang Dianggap Keramat ...............78
4.4 Faktor-Faktor yang Membuat Kearifan Ekologis Masyarakat Hukum Adat
Cigugur Bertahan .......................................................................................83
4.4.1 Covert Culture................................................................................84
4.4.2 Overt Culture .................................................................................95
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................111
5.1 Kesimpulan ..............................................................................................111
5.2 Saran .........................................................................................................112
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................114
LAMPIRAN ........................................................................................................117

xiv
DAFTAR GAMBAR

2.1 Kerangka Konseptual .......................................................................................30


3.1 Peta Lokasi Penelitian ......................................................................................33
4.1 Gedung Paseban Tri Panca Tunggal ................................................................42
4.2 Kosmologi Masyarakat Hukum Adat Cigugur ................................................51
4.3 Konsep Waruga Jagat dan Waruga Manusa ...................................................54
4.4 Salah Satu Areal Leuweung Larangan.............................................................68
4.5 Salah Satu Areal Leuweung Baladahan ...........................................................70
4.6 Curug Putri .......................................................................................................71
4.7 Lahan Pertanian di Wilayah Cigugur ...............................................................75
4.8 Filsafat Tri Tangtu............................................................................................90
4.9 Struktur Keluarga Masyarakat Hukum Adat Cigugur ...................................100
4.10 Panduan Praktis Tradisi Masyarakat Hukum Adat Cigugur ........................104
4.11 Naskah yang Masih Dipelihara ....................................................................107

xv
DAFTAR TABEL

1.1 Keaslian Penelitian ...........................................................................................15


3.1 Komposisi Penduduk menurut Jenis Kelamin .................................................31
3.2 Aspek Kajian dan Fokus Penelitian .................................................................36
4.1 Unit Informasi untuk Kosmologi Masyarakat Hukum Adat Cigugur ..............47
4.2 Unit Informasi untuk Makna Hutan dalam Perspektif Masyarakat Hukum Adat
Cigugur...................................................................................................................57
4.3 Unit Informasi untuk Zonasi Hutan Berdasarkan Hukum Adat.......................63
4.4 Unit Informasi untuk Larangan Penjualan Tanah Pertanian ............................72
4.5 Unit Informasi untuk Flora dan Fauna yang Dianggap Keramat .....................78
4.6 Unit Informasi untuk Faktor Covert Culture ...................................................84
4.7 Unit Informasi untuk Faktor Overt Culture .....................................................95

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Istilah Bahasa Sunda Masyarakat Hukum Adat Cigugur ......117
Lampiran 2 Izin Penelitian ...................................................................................122
Lampiran 3 Gambar Penelitian ............................................................................123
Lampiran 4 Peta Penggunaan Lahan Kelurahan Cigugur ....................................125
Lampiran 5 Daftar Nama Informan......................................................................126
Lampiran 6 Pedoman Wawancara Mendalam .....................................................127

xvii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat hidup dengan memanfaatkan sumberdaya alam, salah satunya

yang bersumber dari hutan, selama hidupnya. Hal ini melahirkan berbagai

pengalaman serta pengetahuan yang ditangkap dan disusun serta bertransformasi

sebagai suatu sistem pengetahuan yang senantiasa berkembang dalam

kebudayaannya. Kesadaran bahwa hutan memberi begitu banyak kontribusi vital

bagi kelangsungan hidup manusia membuat interaksi di antara mereka menjadi

begitu intens. Dalam sejarahnya, kebudayaan manusia selalu memandang hutan

dengan cara yang selalu berkembang.

Pada masyarakat hukum adat di Indonesia, terdapat sistem pengetahuan

yang khas dengan corak kebudayaan yang lebih dikenal sebagai kearifan lokal,

yang secara tematik apabila berkaitan dengan interaksinya dengan lingkungan

hidup sebagai dapat disebut kearifan ekologis. Kearifan ekologis yang terdapat di

masyarakat hukum adat berkembang seiringan dengan pengalamannya hidup

berdampingan dengan alam secara selaras dan egaliter.

Sistem pengetahuan atau pedoman hidup masyarakat adat, yang kemudian

dikenal sebagai kearifan lokal, memiliki peranan penting dalam mengatur pola

relasi manusia dan alam. Marfai (2012 : 36) mengemukakan bahwa kearifan lokal

adalah suatu bentuk artikulasi dan pengejawantahan dari strategi-strategi dan

respon penyesuaian dalam lingkungan dan berorientasi pada keseimbangan

ekologis yang sudah teruji oleh proses yang panjang. Berdasarkan pernyataan di

1
atas, maka dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal adalah suatu bentuk gagasan

hasil respon manusia terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga segala aktivitas

yang dilakukan manusia tidak merugikan sesama dan lingkungannya dan akhirnya

dapat mewujudkan keseimbangan dalam kehidupan ini.

Meski terpinggirkan secara sains, teknologi, dan ekonomi, kesadaran hidup

selaras dengan alam atau kearifan ekologis bagi masyarakat adat tidak berhenti

dalam tataran konseptual semata, melainkan termanifestasikan dalam praksis,

dalam laku hidup keseharian mereka. Masyarakat adat menyadari bahwa manusia,

khususnya mereka, bukanlah eksistensi yang terpisah dari alam. Mereka adalah

suatu kesatuan ekologis. Keraf (2010 : 366) menyatakan bahwa dalam komunitas

ekologis itu, masyarakat adat memahami segala sesuatu di alam semesta ini sebagai

terkait dan saling tergantung satu sama lain. Manusia adalah bagian tak terpisahkan

dari alam.

Demikian pula halnya dengan masyarakat hukum adat Sunda, yang

memiliki sistem pengetahuan lokal yang berkaitan dengan lingkungan hidup,

khususnya hutan, yang termaktub dalam filsafat Tri Tangtu yang menjadi pedoman

mereka. Melalui filsafat ini, masyarakat hukum adat Sunda memandang pola relasi

egaliter antara Tuhan, alam, dan manusia, sehingga dalam praktiknya mereka tidak

menilai hubungan manusia dan alam secara hierarkis, melainkan sebagai dua entitas

yang saling terkait.

Hal yang sama terdapat di masyarakat hukum adat Cigugur sebagai salah

satu masyarakat hukum adat Sunda yang masih menauladani filsafat Tri Tangtu

sebagai pedoman hidupnya. Filsafat Tri Tangtu sendiri dalam praktiknya

2
direkonstruksi sedemikian rupa dalam banyak aspek, misalnya dalam arsitektur,

kesenian, dan tidak terkecuali dalam pengelolaan hutan. Sistem pengetahuan

mengenai pengelolaan hutan masyarakat hukum adat Cigugur ini sendiri kemudian

hendak ditinjau dengan menggunakan etnoekologi.

Masyarakat hukum adat Cigugur mengenal konsep pembagian hutan

menjadi tiga area, yaitu leuweung larangan, leuweung tutupan, dan leuweung

baladahan. Sebagai masyarakat Sunda, masyarakat hukum adat Cigugur hidup

dalam alam dan tidak memandang hutan sebatas komoditas untuk dikeruk hasil

ekonominya. Hal senada dijelaskan Salahudin (2017 : 271) bahwa alam ternyata,

dalam perspektif Sunda, bukanlah sesuatu yang mati sebagai objek eksploitasi, tapi

ia adalah mitra manusia dalam berkhidmat kepada Sang Batara. Sang Batara di sini

dapat dimaknai secara umum sebagai Tuhan.

Kearifan ekologis masyarakat hukum adat Cigugur melalui rekonstruksi

filsafat Tri Tangtunya sebagai sebuah media kontrol yang salah satunya adalah

untuk menjaga keberlangsungan hutan tentu perlu dikenali secara lebih dekat.

Upaya ini dilakukan dalam rangka mengetahui bagaimana masyarakat hukum adat

Cigugur melalui sistem pengetahuan lokal mereka memaknai hutan beserta

pengelolaan hutan, kemudian pewarisan nilai-nilai tersebut ke generasi selanjutnya,

menimbang saat ini posisi sistem pengetahuan lokal begitu rentan karena dominasi

dari keberadaan sistem pengetahuan ilmiah dengan corak positivistis.

1.2 Permasalahan Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut yang sudah diulas di atas, maka

dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

3
a. Bagaimana nilai dan makna hutan bagi masyarakat hukum adat Cigugur di

Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat?

b. Bagaimana pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat Cigugur di

Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat?

c. Mengapa nilai-nilai kearifan lokal masyarakat hukum adat Cigugur dalam

pengelolaan hutan masih bertahan hingga kini?

1.3 Tujuan Penelitian

a. Menyusun konsep nilai dan makna hutan dalam perspektif masyarakat hukum

adat Cigugur di Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat.

b. Mengkaji sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat Cigugur dalam

pengelolaan hutan di Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat.

c. Menganalisis faktor-faktor yang membuat nilai-nilai kearifan ekologis

masyarakat hukum adat Cigugur dalam pengelolaan hutan bertahan.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya bahan kajian mengenai

kearifan ekologis masyarakat hukum adat Cigugur dalam konteks pengelolaan

hutan, sekaligus sebagai referensi untuk pengembangan ilmu sosial budaya dan

lingkungan hidup. Manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini yakni

dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak berwenang dalam merumuskan

kebijakan-kebijakan terkait pengelolaan hutan dan pembangunan wilayah tanpa

mengesampingkan eksistensi kearifan ekologis yang ada.

1.5 Batasan Penelitian

4
Berdasarkan permasalahan penelitian yang telah dirumuskan, diperlukan

adanya batasan lingkup dan kajian penelitian. Beberapa batasan dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut.

1. Lokasi penelitian ini berada di Kelurahan Cigugur Kecamatan Cigugur

Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat.

2. Beberapa faktor yang diteliti sehubungan dengan nilai dan makna hutan dalam

perspektif masyarakat hukum adat Cigugur adalah mengenai konsep kosmologi

masyarakat hukum adat Cigugur dan makna hutan dalam perspektif masyarakat

hukum adat Cigugur.

3. Beberapa faktor yang diteliti sehubungan dengan pengelolaan hutan adalah

zonasi hutan berdasarkan hukum adat, tabu atau larangan dalam penjualan tanah

pertanian, serta perlindungan flora dan fauna yang dianggap keramat.

4. Beberapa faktor yang diteliti sehubungan dengan faktor-faktor yang membuat

kearifan ekologis masyarakat hukum adat Cigugur bertahan adalah faktor covert

culture dan faktor overt culture.

1.6 Keaslian Penelitian

Berdasarkan studi literatur tentang kearifan lokal masyarakat adat dalam

pengelolaan hutan, ditemukan penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan

dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Penelitian ini memiliki persamaan

dengan beberapa penelitian terdahulu terkait tema utama yang diangkat, yaitu

kearifan lokal masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan. Beberapa

penelitian bahkan memiliki subjek penelitian yang sama, yakni masyarakat hukum

adat Cigugur. Namun ada beberapa perbedaan penelitian ini dengan penelitian

5
terdahulu. Fokus utama penelitian ini adalah untuk mengkaji nilai dan makna hutan,

pengelolaan hutan, serta faktor-faktor yang membuat nilai-nilai kearifan ekologis

masyarakat hukum adat Cigugur bertahan. Dari beberapa fokus penelitian tersebut,

selanjutnya analisis data dilakukan dengan menggunakan metode etnoekologi.

Indrawardana (2012) meneliti tentang kearifan lokal adat Sunda dalam

hubungan dengan lingkungan alam. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mendiskusikan kearifan lokal adat masyarakat Sunda dalam hubungan dengan

lingkungan alam. Penelitian dilakukan secara kualitatif terhadap masyarakat Sunda

Kanekes. Hasilnya menyatakan masyarakat Sunda, khususnya masyarakat adat

Kanekes secara umum merasa terikat dengan alam dan lingkungannya. Alam

Pasundan menjadikan manusia dan masyarakat Sunda memiliki budaya yang arif

dalam mengelola lingkungannya. Sebaliknya masyarakat Sunda yang secara

kepercayaan yang dikembangkan dalam folklor Sunda (bagian dari kebudayaan

Sunda) sebagai “manusia yang diturunkan” dari “Mandala Hiyang” oleh Tuhan (Nu

Ngersakeun) memiliki tugas suci dan mulia untuk mengelola alam bukan

mengeksploitasi alam. Adanya kesadaran posisi manusia Sunda yang diharuskan

selaras dan mengelola dan menjaga alam diungkapkan dalam beberapa bentuk

tradisi upacara, ungkapan tuntunan hidup dalam peribahasa, nasihat, uga, dan

bahkan nama-nama alam dengan memahami “karakter” dari masing-masing unsur

alam.

Aditya (2013) meneliti tentang nilai-nilai kearifan lokal masyarakat

Cigugur-Kuningan dalam pelestarian lingkungan hidup sebagai sumber belajar

geografi. Penelitian ini bertujuan untuk menggali nilai-nilai kearifan lokal yang ada

6
di masyarakat Cigugur, khususnya masyarakat AKUR (Adat Karuhun Urang)

dalam bentuk pengelolaan lahan dan tradisi yang ada kemudian mengidentifikasi-

kannya dalam pembelajaran geografi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode etnometodologi. Penelitian

dilakukan dengan cara wawancara yang mendalam, observasi partisipatif, dan studi

dokumentasi tentang masyarakat AKUR Cigugur. Hasilnya menyatakan tradisi

yang ada dalam masyarakat AKUR Cigugur dalam menjaga kelestarian lingkungan

hidup perlu dijaga dan dipertahankan. Salah satu caranya adalah melalui

penanaman kepada generasi muda khususnya generasi muda AKUR Cigugur dan

generasi muda daerah sekitarnya. Dunia pendidikan juga menjadi faktor penting

dalam menanamkan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat AKUR Cigugur. Adapun

nilai-nilai yang diperoleh merupakan temuan dari penelitian ini adalah (1) Nilai

Integritas Keruangan, (2) Nilai Adaptasi Ekologi, (3) Nilai Keselarasan, (4) Nilai

Keseimbangan, (5) Nilai Kesinambungan, (6) Nilai Ketaatan, (7) Nilai

Kebersamaan, (8) Nilai Gotong-royong, dan (9) Nilai Budaya. Nilai-nilai tersebut

kemudian diidentifikasi sebagai sumber belajar geografi.

Niapele (2014) meneliti tentang bentuk pengelolaan hutan dengan kearifan

lokal masyarakat adat Tugutil (studi kasus masyarakat adat Tugutil di Dusun Tukur-

tukur Kecamatan Wasile Timur Kabupaten Halmahera Timur). Tujuan penelitian

ini adalah untuk (1) mengetahui bentuk-bentuk kearifan lokal dalam mengelola

hutan, (2) untuk mengetahui bagaimana cara dalam memelihara dan

memertahankan kearifan lokalnya dalam mengelola hutan, dan (3) pemanfaatan

tumbuhan hutan. Penelitian ini dilakukan dengan metode eksplorasi deskriptif.

7
Hasilnya menunjukkan bahwa bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat adat

Tugutil antara lain sebagai berikut: Larangan merusak sagu raja, Buko, Nonaku,

Ma ngadodo gomu pahiyara (batasan pemeliharaan). Untuk memelihara dan

memertahankan kearifan lokal dalam mengelola hutan adalah dengan cara sebagai

berikut: Penuturan lisan, sangsi-sangsi adat, penerapan secara langsung (praktik)

Ada terdapat 149 tumbuhan yang dimanfaatkan, yang dibagi atas 100 tumbuhan

bahan pangan (71 spesies), dan 49 sumber tumbuhan obat (45 spesies).

Holihah (2015) meneliti tentang kearifan ekologis budaya lokal masyarakat

hukum adat Cigugur sebagai sumber belajar IPS. Tujuan utama penelitian ini adalah

identifikasi nilai-nilai kearifan ekologis budaya lokal masyarakat Cigugur

Kuningan dan bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dalam

pembelajaran IPS di SMPN Garawangi Kelas VII A. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode kualitatif dengan wawancara kepada narasumber.

Hasilnya menyatakan perkembangan nilai-nilai kearifan ekologis dalam budaya

lokal masyarakat Cigugur Kuningan terlihat dari sistem budaya masyarakat hukum

adat Cigugur dan aturan dan norma masyarakat dalam menjaga lingkungan alam

sekitarnya. Aturan dan norma yang disepakati masyarakat hukum adat Cigugur

dalam menjaga lingkungan alam sekitarnya berupa budaya pamali yang sudah

diwariskan oleh leluhur. Pamali merupakan aturan dan norma yang mengikat

kehidupan masyarakat hukum adat Cigugur yang terungkap dalam prinsip-prinsip

utama dikemukakan ketua adat sebagai aturan adat yang harus dipatuhi dan diyakini

kebenarannya. Budaya pamali memiliki aturan-aturan yang harus ditaati oleh

masyarakat hukum adat Cigugur. Setiap orang yang melanggarnya selalu

8
mendapatkan balasan yang diyakini berasal dari karuhun. Aturan pamali

mengandung nilai etika sosial, kesederhanaan, dan upaya menjaga kesehatan tubuh

serta lingkungan. Penggunaan masyarakat lokal sebagai sumber belajar IPS telah

memberikan dampak positif bagi pengembangan kegiatan pembelajaran di kelas.

Salam (2017) meneliti tentang kearifan lokal masyarakat adat dalam

pengelolaan hutan di Pulau Wangi-Wangi. Tujuan penelitian ini adalah menggali

sistem kognitif masyarakat di Pulau Wangi-Wangi serta latar belakang pemikiran

yang menjadi landasan mereka untuk tetap menjaga dan memelihara hutan Kaindea

sebagai hutan adat. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif. Hasilnya

menunjukkan bahwa hutan Kaindea di Pulau Wangi-Wangi menyebar pada dua

adat. Fungsi ekologis, sosial-budaya, dan ekonomi masih baik, sementara hutan

Kaindea di wilayah Wanci telah berubah dari segi pengelolaan lahan. Pengelolaan

hutan Kaindea secara umum didasarkan pada aturan adat.

Jamaluddin (2020) meneliti tentang kearifan masyarakat lokal dalam

pengelolaan hutan adat Marena Desa Pekalobean Kecamatan Anggeraja Kabupaten

Enrekang. Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui bentuk-bentuk kearifan

lokal yang ada pada masyarakat adat dalam pengelolaan hutan di Hutan Adat

Marena dan (2) mengetahui cara masyarakat adat dalam memelihara dan

memertahankan kearifan lokal dalam mengelola Hutan Adat Marena. Penelitian

dilakukan dengan menggunakan metode eksplorasi deskriptif di Desa Pekalobean

Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang. Hasilnya menunjukkan bentuk-bentuk

kearifan lokal masyarakat adat Marena antara lain sebagai berikut: ritual sebelum

bercocok tanam dan setelah memanen hasil pertanian, pelarangan menggunakan

9
pakaian hutam, pelarangan menggunakan alat masak yang sudah digunakan

masyakarat adat Marena. Untuk memelihara dan memertahankan kearifan lokal

dalam mengelola hutan adat seperti: prinsip Mesa Soe Mesa Tengka Pada Tallan

Pada Lindang, memfasilitasi sarana dan prasarana untuk menunjukkan eksistensi

masyarakat adat, penturan langsung, dan penerapan sanksi-sanksi adat.

10
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
No Peneliti, Tahun Judul Tujuan Metode Hasil
Masyarakat Sunda, khususnya
masyarakat adat Kanekes secara
umum merasa terikat dengan
alam dan lingkungannya. Alam
Pasundan menjadikan manusia
dan masyarakat Sunda memiliki
budaya yang arif dalam
mengelola lingkungannya.
Sebaliknya masyarakat Sunda
yang secara kepercayaan yang
Tujuan penelitian ini adalah dikembangkan dalam folklor
Kearifan Lokal Adat untuk mendiskusikan kearifan Penelitian dilakukan secara Sunda (bagian dari kebudayaan
1 Ira Indrawardana, 2012 Sunda dalam Hubungan lokal adat masyarakat Sunda kualitatif terhadap Sunda) sebagai “manusia yang
dengan Lingkungan Alam dalam hubungan dengan masyarakat Sunda Kanekes. diturunkan” dari “Mandala
lingkungan alam. Hiyang” oleh Tuhan (Nu
Ngersakeun) memiliki tugas suci
dan mulia untuk mengelola alam
bukan mengeksploitasi alam.
Adanya kesadaran posisi
manusia Sunda yang diharuskan
selaras dan mengelola dan
menjaga alam diungkapkan
dalam beberapa bentuk tradisi
upacara, ungkapan tuntunan
hidup dalam peribahasa, nasihat,

15
uga, dan bahkan nama-nama
alam dengan memahami
“karakter” dari masing-masing
unsur alam.

Tradisi yang ada dalam


masyarakat AKUR Cigugur
dalam menjaga kelestarian
lingkungan hidup perlu dijaga
dan dipertahankan. Salah satu
caranya adalah melalui
Penelitian ini bertujuan untuk Pendekatan yang digunakan
penanaman kepada generasi
menggali nilai-nilai kearifan dalam penelitian ini adalah
muda khususnya generasi muda
Nilai-Nilai Kearifan Lokal lokal yang ada di masyarakat pendekatan kualitatif
AKUR Cigugur dan generasi
Masyarakat Cigugur- Cigugur, khususnya masyarakat dengan metode
muda daerah sekitarnya. Dunia
Yuvenalis Anggi Kuningan dalam AKUR (Adat Karuhun Urang) etnometodologi. Penelitian
2 pendidikan juga menjadi faktor
Aditya, 2013 Pelestarian Lingkungan dalam bentuk pengelolaan dilakukan dengan cara
penting dalam menanamkan
Hidup sebagai Sumber lahan dan tradisi yang ada wawancara yang mendalam,
nilai-nilai kearifan lokal
Belajar Geografi kemudian mengidentifikasi- observasi partisipatif, dan
masyarakat AKUR Cigugur.
kannya dalam pembelajaran studi dokumentasi tentang
Adapun nilai-nilai yang
geografi. masyarakat AKUR Cigugur.
diperoleh merupakan temuan
dari penelitian ini adalah (1)
Nilai Integritas Keruangan, (2)
Nilai Adaptasi Ekologi, (3) Nilai
Keselarasan, (4) Nilai
Keseimbangan, (5) Nilai

12
Kesinambungan, (6) Nilai
Ketaatan, (7) Nilai
Kebersamaan, (8) Nilai Gotong-
royong, dan (9) Nilai Budaya.
Nilai-nilai tersebut kemudian
diidentifikasi sebagai sumber
belajar geografi.
Hasilnya menunjukkan bahwa
bentuk-bentuk kearifan lokal
masyarakat adat Tugutil antara
lain sebagai berikut: Larangan
merusak sagu raja, Buko,
Tujuan penelitian ini adalah
Nonaku, Ma ngadodo gomu
Bentuk Pengelolaan Hutan untuk (1) mengetahui bentuk-
pahiyara (batasan pemeliharaan).
dengan Kearifan Lokal bentuk kearifan lokal dalam
Untuk memelihara dan
Masyarakat Adat Tugutil mengelola hutan, (2) untuk
Penelitian ini dilakukan memertahankan kearifan lokal
(Studi Kasus Masyarakat mengetahui bagaimana cara
3 Sabaria Niapele, 2014 dengan metode eksplorasi dalam mengelola hutan adalah
Adat Tugutil di Dusun dalam memelihara dan
deskriptif. dengan cara sebagai berikut:
Tukur-tukur Kecamatan memertahankan kearifan
Penuturan lisan, sangsi-sangsi
Wasile Timur Kabupaten lokalnya dalam mengelola
adat, penerapan secara langsung
Halmahera Timur) hutan, dan (3) pemanfaatan
(praktik) Ada terdapat 149
tumbuhan hutan.
tumbuhan yang dimanfaatkan,
yang dibagi atas 100 tumbuhan
bahan pangan (71 spesies), dan
49 sumber tumbuhan obat (45
spesies).
4 Mina Holihah, 2015

13
Perkembangan nilai-nilai
kearifan ekologis dalam budaya
lokal masyarakat Cigugur
Kuningan terlihat dari sistem
budaya masyarakat hukum adat
Cigugur dan aturan dan norma
masyarakat dalam menjaga
lingkungan alam sekitarnya.
Aturan dan norma yang
disepakati masyarakat hukum
Tujuan utama penelitian ini
adat Cigugur dalam menjaga
adalah identifikasi nilai-nilai
lingkungan alam sekitarnya
kearifan ekologis budaya lokal Metode yang digunakan
Kearifan Ekologis Budaya berupa budaya pamali yang
masyarakat Cigugur Kuningan dalam penelitian ini adalah
Lokal Masyarakat hukum sudah diwariskan oleh leluhur.
dan bagaimana metode kualitatif dengan
adat Cigugur sebagai Pamali merupakan aturan dan
mengimplementasikan nilai- wawancara kepada
Sumber Belajar IPS norma yang mengikat kehidupan
nilai tersebut dalam narasumber.
masyarakat hukum adat Cigugur
pembelajaran IPS di SMPN
yang terungkap dalam prinsip-
Garawangi Kelas VII A.
prinsip utama dikemukakan
ketua adat sebagai aturan adat
yang harus dipatuhi dan diyakini
kebenarannya. Budaya pamali
memiliki aturan-aturan yang
harus ditaati oleh masyarakat
hukum adat Cigugur. Setiap
orang yang melanggarnya selalu
mendapatkan balasan yang
diyakini berasal dari karuhun.

14
Aturan pamali mengandung nilai
etika sosial, kesederhanaan, dan
upaya menjaga kesehatan tubuh
serta lingkungan. Penggunaan
masyarakat lokal sebagai sumber
belajar IPS telah memberikan
dampak positif bagi
pengembangan kegiatan
pembelajaran di kelas.
Hasilnya menunjukkan bahwa
hutan Kaindea di Pulau Wangi-
Tujuan penelitian ini adalah
Wangi menyebar pada dua adat.
menggali sistem kognitif
Fungsi ekologis, sosial-budaya,
Kearifan Lokal Masyarakat masyarakat di Pulau Wangi-
dan ekonomi masih baik,
Adat dalam Pengelolaan Wangi serta latar belakang Penelitian dilakukan dengan
5 Rahayu Salam, 2017 sementara hutan Kaindea di
Hutan di Pulau Wangi- pemikiran yang menjadi metode kualitatif
wilayah Wanci telah berubah
Wangi. landasan mereka untuk tetap
dari segi pengelolaan lahan.
menjaga dan memelihara hutan
Pengelolaan hutan Kaindea
Kaindea sebagai hutan adat.
secara umum didasarkan pada
aturan adat.
Tujuan penelitian ini adalah (1) Hasilnya menunjukkan bentuk-
Kearifan Masyarakat Lokal mengetahui bentuk-bentuk Penelitian dilakukan dengan bentuk kearifan lokal
dalam Pengelolaan Hutan kearifan lokal yang ada pada menggunakan metode masyarakat adat Marena antara
Adat Marena Desa masyarakat adat dalam eksplorasi deskriptif di Desa lain sebagai berikut: ritual
6 Jamaluddin, 2020
Pekalobean Kecamatan pengelolaan hutan di Hutan Pekalobean Kecamatan sebelum bercocok tanam dan
Anggeraja Kabupaten Adat Marena dan (2) Anggeraja Kabupaten setelah memanen hasil
Enrekang. mengetahui cara masyarakat Enrekang pertanian, pelarangan
adat dalam memelihara dan menggunakan pakaian hutam,

15
memertahankan kearifan lokal pelarangan menggunakan alat
dalam mengelola Hutan Adat masak yang sudah digunakan
Marena. masyakarat adat Marena. Untuk
memelihara dan memertahankan
kearifan lokal dalam mengelola
hutan adat seperti: prinsip Mesa
Soe Mesa Tengka Pada Tallan
Pada Lindang, memfasilitasi
sarana dan prasarana untuk
menunjukkan eksistensi
masyarakat adat, penturan
langsung, dan penerapan sanksi-
sanksi adat.

16
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Pengelolaan Hutan

Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan

didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

sumber daya hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Pengelolaan

hutan bertujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan.

Arief (2001) menjelaskan bahwa hutan adalah kumpulan pepohonan yang tumbuh

rapat beserta tumbuh-tumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna

yang berperan sangat penting bagi kehidupan di bumi ini.

Fitriana (2008) kemudian menjelaskan bahwa hutan adalah sebuah kawasan

yang di dalamnya ditemukan berbagai tumbuhan dan hewan. Kawasan-kawasan

yang ditemukan berbagai tumbuhan dan hewan. Kawasan-kawasan yang

digolongkan sebagai hutan tersebar di seluruh dunia, meliputi wilayah yang sangat

luas. Berdasarkan beberpa pengertian tentang hutan, maka dapat didefinisikan

bahwa hutan adalah suatu ekosistem yang disusun oleh unsur abiotik dan biotik

sebagai suatu jejaring yang membentuk karakteristik yang berbeda dengan area di

luarnya.

Suparmoko (1997) membagi hutan berdasarkan fungsinya sebagai berikut:

17
a. Hutan lindung, yaitu kawasan hutan yang karena sifat-sifat alamnya

diperuntukkan guna pengaturan tata air dan pencegahan bencana banjir dan

erosi, serta untuk pemeliharaan kesuburan tanah.

b. Hutan produksi, yaitu kawasan hutan yang diperuntukkan guna memproduksi

hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk

pembangunan, industri, dan ekspor.

c. Hutan suaka alam, yaitu kawasan hutan yang karena sifatnya yang khas

diperuntukkan secara khusus untuk perlindungan alam hayati lainnya.

d. Hutan wisata, yaitu kawasan hutan yang diperuntukkan secara khusus untuk

dibina dan dipelihara guna kepentingan pariwisata atau perburuan hutan.

Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

pengelolaan hutan meliputi kegiatan:

a. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan;

b. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan;

c. rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan

d. perlindungan hutan dan konservasi alam.

Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan

Kehutanan menyatakan bahwa pemanfaatan Hutan bertujuan untuk memperoleh

manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan

masyarakat. Kemudian dalam Pasal 126 Ayat (2) dijelaskan pemanfaatan hutan,

yaitu:

a. usaha pemanfaatan kawasan;

b. usaha pemanfaatan jasa lingkungan;

18
c. usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan

d. pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.

Kemudian dalam Pasal 127 Ayat (4) dijelaskan bahwa pemanfaatan dapat

dilakukan pada:

a. Hutan Lindung;

b. Hutan Produksi; atau

c. Hutan Konservasi.

Sementara itu, dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021 tentang

Penyelenggaraan Kehutanan Pasal 233 Ayat (2) menyatakan bahwa Hutan Adat

mempunyai fungsi pokok:

a. konservasi;

b. lindung; dan/atau

c. produksi.

2.1.2 Kearifan Lokal dan Sistem Pengetahuan Lokal

Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyatakan bahwa kearifan

lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk

antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.

Kearifan lokal terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat

untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang

menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun

temurun (Yudana dkk, 2015). Kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang

digunakan oleh masyarakat untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang

19
menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya, dan diekspresikan dalam

tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama (Sumarni dan

Amirudin, 2014). Kearifan lokal merupakan sebuah sistem dalam tatanan

kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi, serta lingkungan yang hidup di tengah-

tengah masyarakat lokal. Ciri yang melekat dalam kearifan lokal adalah sifatnya

yang dinamis, berkelanjutan, dan dapat diterima oleh komunitasnya (Thamrin,

2013). Kearifan lokal Indonesia tumbuh dalam kebudayaan religius, bukan

kebudayaan sekuler kaum modernis. Dalam budaya religius suku-suku ini,

masyarakatnya hidup dalam budaya simbol-simbol. Hidup ini, bagi masyarakat

dalam kearifan lokal, adalah kehidupan yang illahiah (Sumardjo, 2015 : 14-15).

Sartini (2004) mengemukakan tentang fungsi dan makna kearifan lokal, di

antaranya:

1. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumberdaya alam;

2. berfungsi untuk pengembangan sumberdaya manusia;

3. berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan;

4. berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra, dan pantangan;

5. bermakna sosial;

6. bermakna etika dan moral; serta

7. bermakna politik.

Kearifan lokal dalam masyarakat, terutama masyarakat adat sudah

mengakar kuat, cenderung eksklusif, dan bersifat mendasar serta mewujud sebagai

perilaku suatu komunitas masyarakat dalam melakukan interaksi, baik interaksi

sesama manusia, maupun interaksi manusia dan alam.

20
Dalam perwujudannya, kearifan lokal tidak dapat dilepaskan dari wujud

kebudayaan yang melatarbelakangi suatu masyarakat. Daeng (2000 : 46)

menyatakan bahwa tiap kebudayaan pada umumnya paling sedikit memiliki tiga

wujud, yaitu: (1) wujud kebudayaan sebagai suatu himpunan gagasan; (2) wujud

kebudayaan sebagai jumlah pelaku yang berpola; (3) wujud kebudayaan sebagai

sekumpulan benda dan artifacts. Wujud (1) adalah wujud yang paling abstrak.

Sebagai suatu himpunan gagasan, suatu kebudayaan tak dapat dilihat atau diamati,

karena tersimpan dalam kepala orang yang dibawa ke mana pun ia pergi.

Kebudayaan dalam wujud himpunan gagasan ini disebut sebagai cultural system

atau sistem budaya; juga disebut covert culture. Dalam wujudnya yang ke (2)

kebudayaan disebut social system atau sistem sosial, sedang dalam wujud yang ke

(3) adalah kebudayaan fisik, physical culture. Wujud (2) dan wujud (3) disebut

overt culture.

Permana (2020 : 90) mengungkapkan bahwa masyarakat lokal memiliki

pengetahuan lokal yang diwariskan secara turun-temurun dari leluhurnya sebagai

hasil dari interaksi adaptasi dengan lingkungannya dalam jangka waktu yang sangat

lama. Pengetahuan lokal diwariskan melalui bahasa ibu secara tidak tertulis, karena

tidak diwariskan secara tidak tertulis, maka pengetahuan tersimpan dalam alam

pikiran masyarakat yang bersangkutan.

Ada beberapa model pewarisan pengetahuan lokal, yakni parental learning,

peer learning, dan individual learning. Permana (2020 : 91) menjelaskan bahwa

model pewarisan parental learning adalah proses pembelajaran pengetahuan secara

vertikal (vertical transmission) dari orang tua kepada anak-anaknya dengan cara

21
melibatkan anak-anak dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dan

mengenalkan kepada mereka keragaman jenis tumbuhan, satwa, dan keragaman

lingkungan. Cara lainnya adalah orang tua suka menceritakan pengalaman dalam

mengelola sumberdaya alam seperti bertani, berladang, dan berburu satwa kepada

anak-anaknya. Peer learning adalah proses pembelajaran pengetahuan pada masa

remaja secara horisontal (horizontal transmission) dari teman sebaya melalui tukar

menukar pikiran dan informasi. Sedangkan pada masa dewasa hingga tua terjadi

pembelajaran pengetahuan oleh masing-masing individu secara mandiri (indiviual

learning) dengan melakukan trial-error secara langsung dalam mengenali dan

mengelola sumberdaya alam di daerahnya.

Permana (2020 : 94) mengungkapkan bahwa terdapat berbagai faktor yang

menyebabkan pengetahuan lokal mengalami pengikisan (erosi) antara lain, yaitu

punahnya bahasa lokal, keterikatan dengan pendidikan formal, perubahan

lingkungan, perkembangan ekonomi pasar, dan kebijakan politik. Punahnya bahasa

lokal dapat menyebabkan hilang atau pudarnya pengetahuan lokal, mengingat

bahasa menjadi semacam alat untuk mengungkapkan dan mengkomunikasikan

pengetahuan.

2.1.3 Masyarakat Hukum Adat

Menurut definisi yang diberikan oleh UN Economic and Social Council,

masyarakat adat atau tradisional adalah suku-suku bangsa yang, karena mempunyai

kelanjutan historis dengan masyarakat sebelum masuknya penjajah di wilayahnya,

menganggap dirinya berbeda dari kelompok masyarakat lain yang hidup di wilayah

mereka. ILO mengategorikan masyarakat adat sebagai (a) suku-suku asli yang

22
mempunyai kondisi sosial-budaya dan ekonomi yang berbeda dari kelompok

masyarakat lain di sebuah negara, dan yang statusnya sebagian atau seluruhnya

diatur oleh adat kebiasaan atau tradisi atau oleh hukum atau aturan mereka sendiri

yang khusus; (b) suku-suku yang menganggap dirinya atau dianggap oleh orang

lain sebagai suku asli karena mereka merupakan keturunan dari penduduk asli yang

mendiami negeri tersebut sejak dulu kala sebelum masuknya bangsa penjajah, atau

sebelum adanya pengaturan batas-batas wilayah administratif seperti yang berlaku

sekarang, dan yang mempertahankan atau berusaha mempertahankan—terlepas

dari apa pun status hukum mereka—sebagian atau semua ciri dan lembaga sosial

ekonomi, budaya, dan politik yang mereka miliki. Dalam pengertian itu,

masyarakat adat juga dikenal sebagai memiliki bahasa, budaya, agama, tanah dan

teritori yang terpisah dari kelompok masyarakat lain, dan hidup jauh sebelum

terbentuknya negara bangsa modern (Posey, 1999 : 3-4).

Tradisi-tradisi yang merupakan wujud dan kekayaan budaya masyarakat

daerah mempunyai aturan-aturan “pakem” sebagai pedoman dalam menjalankan

aktivitas keseharian, “pakem” diwujudkan dalam aktivitas keseharian menjadi etika

tak tertulis yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam ilmu hukum dan teori secara

formal dikenal masyarakat hukum adat, tetapi dalam perkembangan terakhir,

masyarakat asli Indonesia menolak dikelompokkan sedemikian mengingat perihal

adat tidak hanya menyangkut hukum, tetapi mencakup segala aspek dan tingkat

kehidupan. Yang disebut sebagai masyarakat adat adalah (1) penduduk asli (bahasa

Melayu; orang asli); (2) kaum minoritas; (3) kaum tertindas atau termarginal karena

23
identitas mereka yang berbeda dari identitas yang dominan di suatu negara

(Komarudin, 2016).

Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup, masyarakat hukum adat didefinisikan sebagai

kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis

tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat

dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata

ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

“Masyarakat hukum adat” atau istilah lain yang sejenis merujuk pada

pengertian yang dikembangkan oleh Komisi Nasional HAM yaitu suatu komunitas

antropologis yang bersifat homogen dan secara berkelanjutan mendiami suatu

wilayah tertentu, mempunyai hubungan historis dan mistis dengan sejarah masa

lampau mereka, merasa dirinya dan dipandang oleh pihak luar sebagai berasal dari

satu nenek moyang yang sama, dan mempunyai identitas dan budaya yang khas

yang ingin mereka pelihara atau lestarikan untuk kurun waktu sejarah selanjutnya,

serta tidak mempunyai posisi yang dominan dalam struktur dan sistem politik yang

ada (WWF Indonesia, 2012).

Menurut Keraf (2010) ada beberapa ciri yang membedakan masyarakat adat

dari kelompok masyarakat lain. Pertama, mereka mendiami tanah-tanah milik

nenek moyangnya, baik seluruhnya atau sebagian. Kedua, mereka mempunyai garis

keturunan yang sama, yang berasal dari penduduk asli daerah tersebut. Ketiga,

mereka mempunyai budaya yang khas, yang menyangkut agama, sistem suku,

pakaian, tarian, cara hidup, peralatan sehari-hari, termasuk untuk mencari nafkah.

24
Keempat, mereka mempunyai bahasa tersendiri. Kelima, biasanya hidup terpisah

dari kelompok masyarakat lain dan menolak atau bersikap hati-hati terhadap hal-

hal baru yang berasal dari luar komunitasnya.

2.1.4 Etnoekologi

Ilmu etnoekologi merupakan cabang ilmu yang menelaah cara-cara

masyarakat dalam memakai ekologi dan hidup selaras dengan lingkungan alam dan

sosialnya. Kehidupan masyarakat pada umumnya bergantung pada alam sehingga

mereka dapat mengamati alam dengan baik, memahami karakteristiknya, dan tahu

bagaimana cara mengelolanya (Hilmanto, 2010 : 2). Etnoekologi juga disebut

dikenal sebagai suatu bidang kajian yang luas tentang bagaimana penduduk lokal

memahami lingkungan, tanah, dan segala objek yang tinggal di atasnya, dan

interaksi yang terjadi di antara mereka termasuk interaksi penduduk dengan

makhluk hidup lain dan tanah (Johnson, 2010).

Permana (2020 : 3) menyatakan bahwa etnoekologi terlibat dengan isu-isu

yang lebih luas, mengingat peningkatan penyusutan dan kerusakan sumberdaya

alam dan lingkungan terus terjadi antara lain seperti penurunan keanekaragaman

hayati satwa dan tumbuhan, perubahan iklim, pencemaran lingkungan baik di darat

maupun laut, penggundulan hutan (deforestasi), penurunan muka air tanah,

penggurunan (desertifikasi). Pada umumnya di berbagai belahan dunia telah terjadi

kerusakan lingkungan, namun demikian kerusakan lingkungan tidak terjadi pada

kawasan yang ditempati oleh penduduk yang maish mempraktikkan pengetahuan

dan pengelolaan berdasarkan mekanisme budaya dan ekosistem lokal, mereka

berhasil memelihara dan melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan.

25
Hilmanto (2010) menjelaskan bahwa ilmu yang membahas mengenai

hubungan yang erat antara manusia, ruang hidup, dan semua aktivitas manusia di

bumi yang mana ilmu ini dikembangkan oleh para tokoh seperti Friedrich Ratzel

yang menggunakan konsep Lebensraum (living-space) merupakan konsep ilmu

etnoekologi, bisa diartikan bahwasanya dalam setiap wilayaj mempunyai ciri khas

tertentu yang dapat menjadikan perbedaan yang memiliki cakupan dari yang luas

hingga yang terbatas, mulai dari:

1. Interelasi dan interaksi keruangan berdasarkan kerangka penyebaran, kejadian,

pertumbuhan, dan ekologi yang ada di permukaan bumi;

2. penyebaran fenomena keruangan, tidak diamati secara individual, tetapi dikaji

dalam hubungan yang kompleks sebagai suatu sistem;

3. pengkajian faktor waktu dengan menggunakan pendekatan historis pada ilmu

etnoekologi, yaitu: memperhitungkan proses perubahannya, sehingga kita dapat

memperkirakan proses perubahannya dan dapat juga melakukan prediksi

fenomena yang kita amati, seperti: penyebaran dan derajat hubungannya

menimbulkan sifat karakteristik yang sangat banyak.

Etnoekologi sendiri menekankan pada pengkajian pengetahuan lokal suatu

masyarakat dalam memahami dunia atau lingkungan hidup di sekitarnya. Berkes

(1993) mengemukakan bahwa pengetahuan lokal memiliki dimensi-dimensi sosial

budaya sebagai berikut:

1. Memiliki makna simbolik melalui sejarah lisan, nama-nama tempat, dan

hubungan-hubungan spiritual;

26
2. suatu kosmologi atau pandangan terhadap dunia yang nyata berbeda; suatu

pandangan atau pemahaman terhadap lingkungan yang berbeda dengan ilmu

pengetahuan barat seperti ilmu ekologi sebagai bagiannya;

3. hubungan-hubungan didasarkan atas pertukaran dan kewajiban di antara

anggota komunitas dan makhluk hidup lainnya, serta pranata pengelolaan

sumberdaya alam yang dilakukan secara komunal yang didasarkan atas berbagi

pengetahuan dan makna.

2.2 Kerangka Konseptual

Masyarakat hukum adat Cigugur memiliki interasi yang intim dengan alam,

khususnya hutan, yang terjalin melalui ikatan batin yang bersifat emosional,

kultural, dan spiritual. Hubungan yang terjalin itu membuat ekspresi kebudayaan

masyarakat hukum adat Cigugur selalu terkait dengan alam secara spiritual.

Kepercayaan lokal Sunda Wiwitan yang mereka anut juga merupakan spiritualitas

yang erat kaitannya dengan alam. Kecintaan mereka pada nilai-nilai kultural-

tradisional telah membuat mereka mempertahankan kearifan ekologis yang

diwariskan dari leluhurnya dalam rangka menjaga keharmonisan antara relasi

Tuhan, manusia, dan alam.

Eksistensi kearifan ekologis masyarakat hukum adat Cigugur tidak terlepas

dari pedoman dasar filsafati Sunda, yakni filsafat Tri Tangtu yang memiliki corak

epistemologis tripartit yang menghubungkan relasi Tuhan, manusia, dan alam

tersebut. Di dalam kebudayaan masyarakat hukum adat Cigugur, filsafat Tri Tangtu

ini direkonstruksi sedemikian rupa dalam pengelolaan teknis berbagai sendi

27
kehidupan seperti arsitektur, kesenian, dan tentu saja pengelolaan hutan yang

termaktub dalam konsep zonasi hutan berdasarkan aturan adat mereka.

Kearifan ekologis meripakan panduan yang menuntun perilaku masyarakat

hukum adat Cigugur dalam mengelola hutan. Eksistensi kearifan ekologis ini

memuat sejumlah peraturan yang relatif mengikat dalam kehidupan komunitas

mereka dari generasi ke generasi. Nilai dan makna hutan yang dipersepsi oleh

masyarakat hukum adat Cigugur melalui pola berpikir tripartit berlandaskan filsafat

Tri Tangtu itu pun beredar sebagai pengetahuan lokal yang perlu ditelisik lebih

jauh, dan salah satu pendekatan yang dianggap kompatibel untuk menelisik

pengetahuan lokal dalam kearifan ekologis mereka adalah etnoekologi.

Meski demikian, eksistensi dari pengetahuan lokal yang termaktub dalam

kearifan ekologis masyarakat hukum adat Cigugur itu memiliki tantangannya

tersendiri. Modernisasi yang hadir dengan membawa corak berpikir Barat yang

cenderung positivistis itu telah membuat pengetahuan lokal mereka dipertanyakan

validitasnya. Kehadiran teknologi, terutama teknologi komunikasi, telah membuat

generasi muda masyarakat hukum adat Cigugur begitu dekat dengan jangkauan

modernisasi yang berpotensi membuat mereka melupakan akar kulturalnya.

Melalui tinjauan di atas, maka diperlukan upaya untuk menggali lebih dalam

bagaimana filsafat Tri Tangtu yang mereka anut dimanifestasikan sebagai cara

pandang mereka terhadap relasi Tuhan, manusia, dan alam (dalam konteks ini

hutan) secara konseptual, juga bagaimana pengelolaan hutan berbasis kearifan

ekologis dapat diterapkan dan dipertahankan dengan meninjau faktor-faktor yang

28
membuat kearifan ekologis mereka bertahan hingga kini melalui aspek covert

culture dan overt culture.

Berdasarkan uraian di atas, maka disusunlah kerangka konseptual dalam

penelitian ini yang dapat dilihat pada Gambar 2.1.

29
Tata Kehidupan Masyarakat
Hukum Adat Cigugur

Kearifan ekologis

Pengetahuan lokal dalam


memaknai hutan

Pengetahuan lokal dalam


pengelolaan hutan

Etnoekologi

Penerapan kearifan ekologis


dalam pengelolaan hutan
Covert Culture Overt Culture

Faktor-faktor yang membuat


kearifan ekologis masyarakat
hukum adat Cigugur bertahan

Teori kearifan ekologis


masyarakat hukum adat Cigugur
dalam pengelolaan hutan

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

30
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Kelurahan Cigugur terletak antara 108o 27’ 15’’ BT dan 05o 58’ 8’’ LS.

Secara geografis letak Kelurahan Cigugur dapat dianggap sebagai salah satu

Kelurahan yang dekat dengan ibu kota Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat

dengan jarak kurang lebih 3,5 Km dari Ibu Kota Kabupaten Kuningan Provinsi

Jawa Barat serta terletak di bagian timur kaki Gunung Ciremai. Kelurahan Cigugur

berada pada ketinggian rata-rata 661 meter dari permukaan laut. Luas wilayah

Kelurahan Cigugur adalah 300,15 Ha.

Jumlah penduduk di Kelurahan Cigugur berdasarkan laporan penduduk

(Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuningan Tahun 2019) yakni terdiri dari jumlah

penduduk laki-laki sebanyak 4.011 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak

3.684 jiwa. Total jumlah penduduk Kelurahan Cigugur adalah 7.695 jiwa.

Komposisi penduduk Kelurahan Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten

Kuningan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.1 sebagai berikut.

Tabel 3.1 Komposisi Penduduk Menurut Usia dan Jenis Kelamin


Kelompok Jenis Kelamin
No Jumlah Persentase (%)
Umur Laki-laki Perempuan
1 0–4 300 278 578 7.51
2 5–9 301 272 573 7,45
3 10 – 14 350 264 614 7,98
4 15 – 19 327 257 584 7,59
5 20 – 24 193 188 381 4,95
6 25 – 29 234 220 454 5,90
7 30 – 34 283 241 524 6,81
8 35 – 39 274 324 598 7,77
9 40 – 44 340 302 642 8,34
10 45 – 49 284 261 545 7,08
11 50 – 54 258 243 501 6,51

31
Kelompok Jenis Kelamin
No Jumlah Persentase (%)
Umur Laki-laki Perempuan
12 55 – 59 255 255 510 6,63
13 60 – 64 183 189 372 4,83
14 65 – 69 165 145 310 4,03
15 70 – 74 117 84 201 2,61
16 >75 147 161 308 4,00
Jumlah 4.011 3.684 7.695 100,00
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuningan, 2019

Kearifan ekologis yang memuat nilai dan makna hutan serta pengelolaan

hutan masyarakat hukum adat Cigugur menjadi penting untuk digali dan

dirumuskan secara lebih sistematis dan mendalam melalui studi etnoekologi dalam

rangka memahami pengetahuan lokal masyarakat hukum adat Cigugur dalam

interaksinya dengan hutan. Faktor-faktor yang membuat kearifan ekologis ini

bertahan juga menjadi penting untuk menilai bagaimana suatu pengetahuan lokal

yang termuat dalam kearifan ekologis dapat diwariskan secara turun-temurun di

tengah-tengah gempiran modernisme dengan corak berpikir positivistis.

Pengambilan data dilaksanakan mulai tanggal 5 Oktober hingga 5 Desember 2021.

32
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian Kelurahan Cigugur

33
3.2 Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data

sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari pengamatan di

lapangan, dokumentasi, serta wawancara mendalam menggunakan metode

purposive sampling pada informan (tokoh masyarakat hukum adat Cigugur, kepala

Kelurahan Cigugur, budayawan, serta masyarakat hukum adat Cigugur).

Data yang diperlukan di antaranya hasil wawancara, naskah-naskah

kesundaan yang menjadi pedoman bagi masyarakat hukum adat Cigugur, yang

memuat nilai dan makna hutan serta pengelolaan hutan, serta situs-situs yang ada

di hutan yang termasuk ke dalam area hutan adat masyarakat hukum adat Cigugur.

Semua data primer tersebut diperoleh dari observasi, dokumentasi, dan wawancara

mendalam kepada informan terpilih di Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat.

Data sekunder merupakan data pendukung yang diperoleh dari instansi atau

lembaga terkait serta studi literatur. Data tersebut dapat diperoleh dari kantor

Kelurahan Cigugur, Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuningan, serta beberapa

instansi terkait di Kabupaten Kuningan. Studi literatur menggunakan buku-buku

dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan topik penelitian. Data

primer maupun data sekunder yang relevan kemudian diverifikasi dengan teknik

triangulasi serta kemudian diinterpretasikan dengan analisis etnoekologi.

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif

melalui pendekatan etnoekologi dari hasil perolehan data melalui observasi,

dokumentasi, serta wawancara mendalam guna mendeskripsikan nilai dan makna

34
hutan, pengelolaan hutan, serta faktor-faktor yang membuat kearifan ekologis

tersebut bertahan di masyarakat hukum adat Cigugur di Kabupaten Kuningan

Provinsi Jawa Barat. Pengamatan di lapangan menggunakan metode observasi

dengan melibatkan diri secara langsung dalam jangka waktu tertentu untuk ikut

menghayati nilai dan makna hutan serta meninjau pengelolaannya oleh masyarakat

hukum adat Cigugur di Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat. Selain itu

digunakan juga perolehan data melalui studi dokumentasi melalui teks, gambar,

artefak, dan lain sebagainya yang menunjang kebutuhan penelitian. Data yang

diperoleh mengenai nilai dan makna hutan kemudian akan dianalisis menggunakan

analisis etnoekologi.

3.4 Aspek Kajian dan Fokus Penelitian

Aspek kajian dalam penelitian ini terdiri dari tiga aspek utama. Aspek kajian

nilai dan makna hutan memiliki tiga fokus penelitian yang terdiri dari kosmologi

masyarakat hukum adat Cigugur, makna hutan dalam perspektif masyarakat hukum

adat Cigugur, dan paradigma holistis masyarakat hukum adat Cigugur. Aspek

pengelolaan hutan memiliki fokus penelitian yang terdiri dari zonasi hutan,

larangan penjualan tanah pertanian, dan perlindungan flora dan fauna yang

dianggap keramat. Aspek kajian faktor-faktor yang membuat kearifan ekologis

masyarakat hukum adat Cigugur bertahan terdiri dari covert culture dan overt

culture.

Aspek kajian dan fokus penelitian dalam penelitian ini disajikan dalam

Tabel 3.2.

35
Tabel 3.2 Aspek Kajian dan Fokus Penelitian
Aspek Kajian Fokus Penelitian
1. Kosmologi masyarakat hukum adat
Cigugur
Nilai dan makna hutan
2. Makna hutan dalam perspektif
masyarakat hukum adat Cigugur
1. Zonasi hutan berdasarkan hukum adat
2. Larangan penjualan tanah pertanian
Pengelolaan hutan 3. Perlindungan flora dan fauna yang
dianggap keramat
1. Covert culture
Faktor-faktor yang membuat kearifan 2. Overt culture
ekologis masyarakat hukum adat
Cigugur bertahan

3.5 Subjek dan Objek Penelitian

3.5.1 Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah narasumber (informan) yang memiliki

pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman yang mendalam dan menyeluruh

mengenai objek yang diteliti. Adapun informan dalam penelitian ini dipilih melalui

teknik purposive sampling, yang artinya peneliti melakukan pencarian informasi

dengan cara menentukan informan yang dipilih sesuai kriteria yang memenuhi

kebutuhan penelitian.

3.5.2 Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah yang menjadi sasaran dalam penelitian.

Ada pun yang menjadi objek atau sasaran dalam penelitian ini adalah nilai dan

makna hutan, pengelolaan hutan, serta faktor-faktor yang membuat kearifan

ekologis masyarakat hukum adat Cigugur bertahan di Kabupaten Kuningan

Provinsi Jawa Barat.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

36
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara

mendalam, dan studi dokumentasi dengan rincian sebagai berikut.

3.6.1 Obervasi atau Pengamatan

Observasi atau pengamatan dipilih dalam penelitian ini guna

mengoptimalkan kemampuan peneliti untuk menangkap dimensi interaksi, sikap,

perhatian, kebiasaan, kegiatan, dan sebagainya dari masyarakat hukum adat

Cigugur. Observasi dilakukan di lokasi penelitian selama beberapa hari dan juga di

lokasi-lokasi yang relevan sesuai dengan arahan informan di lapangan.

3.6.2 Wawancara

Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara

mendalam (in-depth-interview) dengan panduan semi-terstruktur. Artinya peneliti

membuat pedoman wawancara tetapi arah pembahasan selanjutnya diserahkan pada

informan sesuai dengan isu faktual yang sedang terjadi. Populasi masyarakat

Kelurahan Cigugur menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuningan (2019)

berjumlah 7.695 jiwa. Meski demikian, jumlah populasi masyarakat hukum adat

Cigugur yang tinggal di Kelurahan Cigugur hanya berjumlah 150 jiwa, populasi

lainnya tersebar di daerah lain seperti Tasikmalaya, Ciamis, dan lain sebagainya.

Informan dalam wawancara ini dipilih melalui purposive sampling dengan

pertimbangan kompetensi serta wawasan informan mengenai kearifan lokal

masyarakat hukum adat Cigugur dalam pengelolaan hutan. Karena masyarakat

hukum adat Cigugur bersifat homogen, yakni hidup dengan kultur Sunda, maka

informan yang dipilih yakni (1) Ketua Masyarakat Hukum Adat Cigugur satu orang

atau yang mewakilinya, (2) Tokoh Masyarakat Hukum Adat Cigugur yang

37
memiliki konsen dalam pengelolaan hutan satu orang, (3) Petani Hutan yang terlibat

dalam pengelolaan hutan satu orang, (4) Kepala Kelurahan Cigugur, dan (5)

Budayawan di Kabupaten Kuningan yang memahami dinamika masyarakat hukum

adat Cigugur satu orang. Kelima informan ini dianggap akan memberikan informasi

yang representatif mengenai topik yang hendak diteliti. Dengan demikian,

ditetapkan informan dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Ketua Masyarakat Hukum Adat Cigugur (diwakili) oleh Ibu Juwita Jatikusumah

Putri

b. Tokoh Masyarakat Hukum Adat Cigugur, Pak Okky Satrio

c. Kepala Kelurahan Cigugur, Pak Ebo, S.Sos.

d. Budayawan di Kabupaten Kuningan, Pandu Hamzah

e. Petani Hutan, Kang Aang Andara

3.6.3 Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi dalam penelitian ini diarahkan pada penelusuran

informasi tambahan selain dari observasi dan wawancara terkait topik yang diteliti.

Dokumen-dokumen yang dianalisi berupa dokumen tertulis, gambar, situs, serta

data elektronik seperti berita dan lain-lain.

3.6.4 Studi Literatur

Studi literatur diperlukan dalam penelitian ini untuk mendukung data primer

dan mengonfirmasi validitas data yang ditemukan di lapangan atau

membandingkan data. Pengumpulan data studi literatur dilakukan dengan cara

mengutip pembahasan penelitian terdahulu, buku-buku, dokumen-dokumen, serta

sumber tertulis lainnya sesuai dengan fokus penelitian.

38
3.7 Metode Analisis Data

Analisis dalam penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif

etnoekologi. Newing dkk (2011) dalam Permana (2020) memaparkan bahwa

analisis data penelitian etnoekologi bersifat kualitatif dan berlangsung ketika

peneliti melakukan pengumpulan data (on going analysis). Analisis kualitatif data

mencakup yaitu, pengecekan data (cross-checking), peringkasan data

(summarising), dan pengelompokkan data (synthesizing).Data yang terkumpul

antara lain seperti hasil wawancara, pengamatan terlibat, foto-foto, video, gambar-

gambar, peta, dokumen, dan lain sebagainya senantiasa ditriangulasi (cross-

checking).

Setelah data didapatkan, maka tahapan selanjutnya adalah melakukan

kategorisasi data (synthesising or categorizing). Data yang sudah dikategorisasi lalu

diinterpretasikan serta disajikan dalam bentuk narasi, tabel, dan gambar.

3.8 Tahapan Penelitian

Langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini

yaitu:

1. Pra-Lapangan

a. Menyusun rancangan

b. Memilih lapangan

c. Mengurus perjanjian

d. Menjajaki dan menilai keadaan

e. Memilih dan memanfaatkan informan

f. Menyiapkan instrumen

39
g. Persoalan etika di lapangan

2. Lapangan

a. Memahami dan memasuki lapangan

b. Pengumpulan data

3. Pengolahan Data

a. Reduksi data

b. Pengorganisasian Data

c. Interpretasi Data

3.9 Definisi Operasional

• Kearifan Ekologis

Kearifan ekologis merupakan suatu gagasan, aktivitas, dan hasil kebudayaan

suatu masyarakat lokal yang berlandaskan pada tradisi pendahulunya dalam

berhubungan dengan lingkungannya.

• Masyarakat Hukum Adat Cigugur

Masyarakat Hukum Adat Cigugur merupakan masyarakat yang tinggal di

Kecamatan Cigugur, yaitu salah satu kecamatan di Kabupaten Kuningan

Provinsi Jawa Barat di mana masyarakatnya masih mempertahankan nilai-

nilai budaya lokal dalam menjaga keselarasan hidup dengan lingkungan

(Holihah, 2015).

• Nilai

Nilai merupakan sebuah ide atau konsep tentang sesuatu yang penting dalam

kehidupan seorang individu maupun masyarakat serta menjadi perhatiannya.

• Makna

40
Makna adalah pemahaman atau hasil interpretasi seseorang atau masyarakat

mengenai sesuatu hal. Makna dapat pula berarti definisi mengenai sesuatu.

• Hutan

Hutan adalah suatu area atau lahan yang ditumbuhi oleh pepohonan atau

vegetasi kayu-kayuan yang membentuk suatu karakteristik mikro beserta

biodiversitas di dalamnya.

• Pengelolaan Hutan

Pengelolaan hutan merupakan kegiatan kehutanan yang mencakup kegiatan

perencanaan, penggunaan, pemanfaatan, perlindungan, rehabilitasi, serta

pengembalian ekosistem hutan yang bertolak dari fungsi dan status suatu

kawasan hutan.

• Pola Pewarisan Nilai

Pola pewarisan mengacu pada bagaimana suatu komunitas masyarakat,

dalam konteks ini masyarakat adat, mewariskan nilai-nilai kearifan lokalnya

yang meliputi keyakinan, tradisi, anjuran, pantangan, dan lain sebagainya

dalam rangka memertahankan identitas budaya mereka dari generasi ke

generasi.

• Etnoekologi

Mengacu pada semua studi yang mendeskripsikan interaksi penduduk lokal

dan lingkungan alam, termasuk sub-disiplin etnobotani, etnozoologi, dan

etnobiologi (Permana, 2020).

41
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Profil Masyarakat Hukum Adat Cigugur

Cigugur merupakan salah satu kelurahan dan kecamatan di Kabupaten

Kuningan Provinsi Jawa Barat yang masyarakatnya memiliki serta masih

memertahankan budaya lokal dalam menghayati alam. Budaya lokal ini salah

satunya terejawantah dalam upacara adat Seren Taun yang sudah berlangsung sejak

tahun 1937. Upacara adat Seren Taun sendiri merupakan simbol rasa syukur atas

hasil bumi (panen), terutama padi, yang menghidupi masyarakat Cigugur. Upacara

adat Seren Taun ini erat kaitannya dengan eksistensi masyarakat hukum adat

Cigugur atau lebih dikenal dengan nama Masyarakat Adat Karuhun Urang

(AKUR).

Gambar 4.1 Gedung Paseban Tri Panca Tunggal


(Sumber : Dokumentasi Lapangan, 2021)

Masyarakat hukum adat Cigugur mengarah pada suatu kelompok

masyarakat adat yang hidup di lingkungan Paseban Tri Panca Tunggal yang terletak

di Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Secara historis, eksistensi

42
masyarakat hukum adat Cigugur tidak dapat dipisahkan dari rangkaian peristiwa

perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di Kabupaten Kuningan. Secara

historis, masyarakat hukum adat Cigugur dipelopori oleh Pangeran Sadewa Alibasa

atau lebih umum dikenal dengan nama Madrais. Madrais adalah seorang keturunan

Pangeran Gebang, yakni wilayah pecahan Kesultanan Cirebon yang kini secara

administratif menjadi daerah Kabupaten Kuningan.

Pengaruh Madrais dalam mempelopori Tri Panca Tunggal tersebar cukup

luas dalam banyak aspek kehidupan masyarakat. Madrais memiliki kemampuan

untuk menghubungkan diri dengan penduduk lokal yang menganut berbagai agama

dan aliran kepercayaan. Ada juga pihak yang menyatakan bahwa Madrais adalah

orang yang sesat, dikarenakan selain mendakwahkan nilai-nilai Islam, Madrais pula

menguraikan ajaran agama lain dalam rangka mencapai puncak spiritualitas, yakni

titik Ketuhanan. Ajaran Madrais dikenal dengan nama Agama Djawa-Sunda

(ADS).

Tendi (2015 : 24-25) menjelaskan bahwa Agama Djawa Sunda adalah

sebuah ageman yang dirintis oleh Kyai Madrais sejak abad ke-19. Di masa Belanda,

saat Madrais memimpin, ajaran ini dikenal sebagai Igama Djawa Sunda. Tendi

melanjutkan, bahwa nama Djawa Sunda berasal dari suatu singkatan. Kata Djawa,

jika diurai lebih panjang berasal dari kata andjawat dan andjawab, yang artinya

adalah menyaring atau menampung dan melaksanakan. Sementara itu, kata Sunda

berasal dari kata roh susun kang den tunda, sun diambil dari kata susun dan da

diambil dari kang den tunda sehingga jika digabungkan menjadi kata Sunda yang

memiliki arti pelbagai macam zat hidup yang terdapat dalam segala sesuatu yang

43
dihasilkan oleh Roh Hurip Tanah Pakumpulan atau bumi. Singkatnya, Sunda dapat

diartikan sebagai zat-zat yang ada di dalam bumi.

Dengan demikian, maka ajaran Madrais atau ADS erat kaitannya dengan

nilai-nilai serta karakter kesundaan. Karena cukup banyak penduduk yang

memutuskan belajar kepada Madrais, pada akhirnya terbentuklah kelompok

masyarakat hukum adat Cigugur. Tonggak estafet kepemimpinan kelompok

masyarakat hukum adat Cigugur ini kemudian dilanjutkan oleh putra Pangeran

Tedjabuana, yakni Pangeran Djatikusuma. Tanggal 11 Juli 1982 didirikan

Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU). PACKU bergerak dengan

tuntunan ajaran ADS yang dikembangkan oleh Madrais. Di dalamnya, PACKU

mengupas serta menegaskan kembali beberapa ajaran ADS yang kemudian

dikembangkan oleh Pangeran Djatikusumah akan perlunya kesadaran insani yang

memiliki bangsa.

Wulandari dkk (2019 : 39) menjelaskan bahwa berdirinya PACKU ini

dianggap oleh pihak pemerintah setempat dan kelompok keagamaan tertentu, telah

menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, terutama pada kalangan umat

Katolik. Pemerintah (yang mendapatkan masukan dari kalangan pihak kaum

Kristiani dan Muslim) memandang ajaran PACKU merupakan kelanjutan dari ADS

yang telah dilarang pada tahun 1964, karenanya melalui surat keputusan Kejaksaan

Tinggi Jawa Barat No. Kep-44/K.2.3/8/1982 tanggal 25 Agustus 1982, melarang

kegiatan dan penyebaran ajaran PACKU. Sebagaimana halnya ADS, PACKU

sebagai “sebuah organisasi kepercayaan” pun akhirnya dibubarkan. Setelah

PACKU secara resmi dibubarkan, para “penganut aliran kepercayaan” tersebut

44
menamakan dirinya dengan sebutan kelompok penghayat (yang menjadi bersifat

penghayat perseorangan atau tidak terorganisir dalam suatu wadah organisasi

kepercayaan), lengkapnya penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Istilah “Penghayat” diberi makna sebagai pelaku insani adat yang mendasarkan

pada aspek budaya spiritual yang menghayati Keesaan Tuhan berdasarkan pada

pandangan dan keyakinan agama dan kepercayaannya masing-masing.

Setelah dibubarkannya PACKU, masyarakat hukum adat Cigugur kemudian

mengidentifikasi diri sebagai Komunitas Masyarakat Adat Karuhun Urang

(AKUR). Dari waktu ke waktu, orientasi dari kelompok masyarakat hukum adat

Cigugur tidak berhenti sebatas dalam kegiatan religius, melainkan merambah pada

sendi-sendi kehidupan masyarakat secara lebih luas. Masyarakat hukum adat

Cigugur memiliki karakteristik kebudayaan yang tak terpisahkan dengan karakter

budaya Sunda. Karakter budaya Sunda ini begitu erat kaitannya dengan nilai-nilai

yang memuat kearifan ekologis. Masyarakat Sunda begitu akrab dengan alam dan

lingkungannya.

Holihah (2015 : 162) menyatakan bahwa masyarakat Cigugur memiliki akar

budaya lokal yang erat kaitannya dengan pola hidup selaras paradigma

ekosentrisme. Budaya lokal tersebut berupa kearifan dalam pemilihan bentuk

arsitektur rumah, konsep leuweung larangan, cara menjaga air hulu dan hilir,

keyakinan pada tanda-tanda alam, konsep “ci” atau “lemah cai”, pola tanam, pola

konsumsi, pola kehidupann ekonomi, dan hubungan interaksi sosial. Nilai-nilai

luhur yang dipegang teguh menjadi pedoman pelaksanaan kehidupan sehari-hari.

45
Lingkungan sekitar berupa pesawahan, hutan, dan gunung menjadikan mereka

bertindak secara arif dalam berinteraksi dan beradaptasi dengan alam.

Masyarakat hukum adat Cigugur merupakan salah satu dari sekian banyak

masyarakat adat Sunda yang memiliki hubungan egaliter serta arif dengan alam.

Masyarakat hukum adat Cigugur, sebagaimana masyarakat Sunda pada umumnya,

menyadari bahwa alam merupakan partner dalam menjalani kehidupan. Hal ini

tercermin dari profesi dominan yang dilakoni oleh masyarakat hukum adat Cigugur

yang menggantungkan hidupnya kepada alam, baik itu menjadi petani, peladang,

peternak, dan lain sebagainya. Hal ini mencerminkan pula bagaimana sikap

masyarakat Sunda yang memanifestasikan filsafat Pikukuh Tilu, bahwa manusia

dan alam adalah sama-sama pengejawantahan dari Tuhan, Sang Hyang Tunggal.

4.2 Nilai dan Makna Hutan

Suatu komunitas masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat, memiliki

pengetahuan lokal yang khas serta termaktub dalam kearifan ekologis yang

diwariskannya secara turun-temurun. Sistem pengetahuan lokal ini membentuk

persepsi masyarakat hukum adat Cigugur dalam melihat hubungan manusia dan

hutan, atau secara lebih luas, alam semesta. Persepsi masyarakat hukum adat

Cigugur dalam memaknai hutan sendiri tidak terlepas dari filsafat Tri Tangtu yang

meyakini adanya pola kesatuan tiga antara entitas Tuhan, manusia, dan alam.

Perspektif masyarakat hukum adat Cigugur yang dilandasi oleh filsafat Tri Tangtu

ini juga menjadi fondasi dalam menyusun pemahaman-pemahaman mereka dalam

memaknai hutan. Pemahaman-pemahaman ini pula yang lantas ikut membentuk

paradigma dasar mereka dalam berinteraksi dengan hutan serta memandangnya

46
sebagai entitas yang tidak berada “di bawah” manusia, melainkan terhubung secara

egaliter. Hubungan yang terjalin antara manusia dan hutan sendiri tidak sekadar

dimaknai sebagai hubungan ekonomis-transaksional, melainkan juga emosional

dan spiritual. Masyarakat hukum adat Cigugur meyakini adanya interdependensi

manusia dan hutan (atau alam semesta dalam kosmologi mereka) secara kompleks

dalam kebudayaan mereka. Berikut merupakan informasi dari beberapa informan

mengenai nilai dan makna hutan yang meliputi (1) kosmologi masyarakat hukum

adat Cigugur; dan (2) makna hutan dalam perspektif masyarakat hukum adat

Cigugur.

4.2.1 Kosmologi Masyarakat Hukum Adat Cigugur

Tabel 4.1 Unit Informasi untuk Kosmologi Masyarakat Hukum Adat Cigugur

Informan Hasil Wawancara Unit Informasi

”Rama Djati pernah bilang bahwa 1. Adanya


kita itu harus bagus itu, kosmologi yang
habluminallah, habluminannas, sama menghubungkan
habluminallam, harus bagus dengan habluminallah,
alam. Itu konsep dasar yang juga habluminannas, dan
saya pikir jadi sendi-sendi utama habluminallam.
mereka, jadi filosofi dasar mereka 2. Masyarakat
berkaitan dengan alam sebagai Sunda hukum adat
Budayawan
Wiwitan atau PACKU, atau apa pun Cigugur melihat
namanya. Selalu mereka itu melihat alam sebagai
alam sebagai representasi Tuhan. representasi Tuhan.
Lingkungan sebagai representasi 3. Ekspresi
Tuhan, dan oleh karena itu maka kebudayaan mereka
dalam setiap ekspresi kebudayaan senantiasa
mereka selalu mengaitkan diri berhubungan
dengan alam.” dengan alam.

47
“Tapi alam itu sendiri adalah seperti 1. Alam dianggap
wujudna manusa, urang, nu kedah sama wujudnya
dijaga dipiara. Bagian daripada alam dengan manusia.
dunya sareng alam waruga téh teu 2. Tidak dibedakan
aya bentenna nu kedah urang jaga. antara alam dan
Jati kita sebagai manusia, alam manusia sehingga
dunya téh nya alam dunya nu kedah menjaga alam
dijaga.” adalah keharusan.
Kepala Adat
Masyarakat 1. Hutan harus
Hukum Adat “Jadi, bukan semata-mata hutan itu dijaga bukan karena
Cigugur menjadi sebuah tempat kenapa kita dianggap angker.
kudu ngajaga leuweung lantaran di 2. Mitos yang
dinya téh ada penunggu, ada apa, ada beredar tentang
apa, bukan gitu. Di mana pun ada angkernya hutan
penunggunya. Gitu. Maksudnya dianggap sebagai
mungkin orang tua kita dulu lebih cara leluhur mereka
bicara ke arah itu supaya orang tuh menasihati agar
berhati-hati memperlakukan alam. memperlakukan
Segan.” alam dengan hati-
hati.

1. Waruga Jagat
“Waruga jagat itu kalo menurut
adalah semesta
istilah Sunda itu ada tatanan waruga
manusia dan
manusa, tujuh tadi cakra itu, tatanan
waruga jagat
waruga jagat tuh semesta, planet-
adalah semesta
planet.”
alam.
Tokoh
Masyarakat “Jadi itu sama seperti … tata kelola
Hukum Adat air itu seperti urat darah di tubuh
Cigugur kita. Jadi kalau Kang Candrika
1. Tata kelola air
banyak makan makanan yang
dianggap sama
berlemak, kolesterol, penyumbatan
dengan urat darah
darah di sini, jantung bisa apa. Nah,
dalam tubuh
menurut cara pandang tata ruang
manusia.
lama, Sunda, tubuh kita pun seperti
itu. Sama seperti tata lingkungan,
kelola alam.”

48
1. Kosmologi
Sunda lama
“Jadi itu kan kosmologi lama ya.
mengatakan bahwa
Kosmologi lama yang mengatakan
dalam tubuh
bahwa di tubuh kita itu kalau ada
manusia ada tujuh
tujuh cakra. Dalam konsep Sunda
cakra.
maupun Jawa ada tujuh cakra. Cakra
2. Cakra secara
itu kalau secara biologis pusat-pusat
biologis disebut
kelenjar endokrin. Tiroid, paratiroid
pusat endokrin.
ya kan, cakra. Dalam kosmologi itu,
3. Dalam kosmologi
tata ruang buhun, tentang katakanlah
Sunda lama hutan
hutan itu juga seperti itu.”
juga diyakini
memiliki cakra.
“Jadi dalam kosmologi tata ruang
1. Dalam kosmologi
Sunda gunung itu tidak bisa
Sunda gunung tidak
dipisahkan dari laut. Jadi Sanghyang
bisa dipisahkan dari
Sirah itu kepala. Punten Kang
laut.
Candrika di kepala, di mastaka kita,
2. Gunung memiliki
ada panca indera. Di gunung juga ada
panca indra seperti
banyak titik situs yang berfungsi
manusia.
dalam kosmologi bentang alam,
3. Kepala manusia
mereka adalah panca indra. Ini ada
seperti halnya hutan
hutan larangan (menunjuk kening)
larangan karena
untuk menutup otak supaya tidak
rawan.
terbentur benda-benda keras.”

“Itu sama seperti dalam kosmologi


kita, sama seperti tubuh kita nih.
1. Pendekatan
Punten, lihat jarinya. Kalau di sini
masyarakat hukum
luka, bengkak, satu tubuh kerasa
adat Cigugur dalam
enggak? Nah, itu pendekatan kita
melihat lingkungan
melihat lingkungan, jadi mungkin
adalah holistis,
kita, mungkin fungsi hutan larangan
saling terkait.
di situ. Kalau orang belajar
2. Pendekatan ini
akupuntur atau apa, ada titik ginjal
kemungkinan tidak
tuh di kaki, di tangan ada, di sini ada,
masuk akal dalam
nah di telinga ini ada 73 titik.
perspektif luar
Kelihatannya itu gak masuk akal
(Barat).
menurut perspektif luar. Nah
menurut perspektif buhun itu masuk
akal.”

49
“Kerusakan di ujung maka akan 1. Kerusakan di satu
berakibat kerusakan di ujung lain. Itu titik akan
sama seperti pembuluh aorta kita. mengakibatkan
Kalau pembuluh vena dan aorta kita kerusakan di titik
terganggu, maka fungsi tubuh juga lain.
pasti terganggu. Jadi cara 2. Gunung dan
pandangnya, kita melihat antara lautan dipandang
gunung dan lautan itu ya sama seperti tubuh yang
seperti tubuh.” terhubung.

Sumber: Hasil Wawancara (2021)

Berdasarkan unit informasi di atas, maka didapatkan beberapa informasi

mengenai nilai dan makna hutan dalam perspektif masyarakat hukum adat Cigugur.

Masyarakat hukum adat Cigugur memiliki kosmologi yang memandang relasi

Tuhan, manusia, dan alam sebagai suatu kesatuan. Hal ini bertolak dari filsafat Tri

Tangtu yang menghubungkan tiga entitas, atau disebut juga pola kesatuan tiga.

Sumardjo (2015 : 46) menyatakan bahwa kesatuan tiga itu muasalnya dari yang

transenden, sesuatu yang metakosmos. Kalau alam Sunda ini benar dan baik, tentu

hubungannya sama dengan yang metakosmos itu. Itulah kesatuan alam antara

Langit, Manusia, dan Bumi. Langit itu Keresa, Manusia itu pemikirannya, dan

Bumi ini Kawasa, yakni menumbuhkan tanaman yang diperlukan manusia Sunda

hidup sejahtera. Lebih jauh, masyarakat Sunda melambangkan langit sebagai air,

manusia sebagai batu (yang dapat digurat dalam tulisan, pikiran), dan bumi sebagai

tanah.

Dalam tinjauan etnoekologi yang dekat kaitannya dengan pengetahuan

lokal, Berkes (1993) mengemukakan bahwa pengetahuan lokal memiliki dimensi-

dimensi sosial budaya, yang salah satunya adalah suatu kosmologi atau pandangan

terhadap dunia yang nyata berbeda; suatu pandangan atau pemahaman terhadap

50
lingkungan yang berbeda dengan ilmu pengetahuan Barat seperti ilmu ekologi

sebagai bagiannya.

Dalam konteks kosmologi ini, filsafat Tri Tangtu yang dianut masyarakat

hukum adat Cigugur tergambar dalam konsep yang sama seperti masyarakat Sunda

pada umumnya yang mengacu pada tiga dimensi, yakni kesadaran ketuhanan

(transendensi) atau habluminallah, kesadaran kemanusiaan (humanisasi) atau

habluminannas, dan kesadaran lingkungan (ekologi) atau habluminallam. Melalui

rumus filsafat Tri Tangtu ini, ketiga entitas tersebut dianggap sebagai satu kesatuan.

Gambar 4.2 Kosmologi Masyarakat Hukum Adat Cigugur


(Sumber : Analisis Data, 2022)

Alam sebagai representasi Tuhan ini memiliki keterkaitan filosofis dengan

pola kesatuan tiga atau Tri Tangtu, atau Pikukuh Tilu itu sendiri. Sumardjo (2015 :

6) menyebutkan bahwa salah satu dasar filosofi budaya Sunda adalah pola kesatuan

tiga yang kadang disebut tritangtu atau tilu sapamilu (sapamulu, sapamula). Di

kalangan masyarakat adat kasepuhan Banten Kidul dikenal dengan ungkapan

filosofisnya sebagai berikut:

51
Tilu sapamilu
dua sakarupa
hiji éta kénéh

Terjemahannya kurang lebih: tiga yang bersama, dua yang serupa, satu itu-

itu juga. Ada pemaknaan bahwa Tuhan dan alam sebenarnya bukanlah entitas yang

berbeda atau berbeda wujud, melainkan merupakan suatu kesatuan wujud. Tuhan

adalah alam, alam adalah Tuhan. Bila manusia juga diikutsertakan, maka

sebenarnya Tuhan adalah alam dan manusia, alam adalah Tuhan dan manusia,

manusia adalah alam dan Tuhan. Ketiga itu merupakan satu kesatuan wujud,

manunggal. Hiji éta kénéh. Hal ini menyebabkan Tuhan dalam keyakinan Sunda

Wiwitan jadi tidak antromorfik.

Masyarakat hukum adat Cigugur yang memandang manusia dan alam

sebagai sejajar dapat dianggap memiliki persepsi bahwa mereka menerima entitas

selain manusia sebagai komunitas ekologis. Keraf (2010 : 366) yang

mengemukakan bahwa dalam komunitas ekologis itu, masyarakat adat memahami

segala sesuatu di alam semesta ini sebagai terkait dan saling tergantung satu sama

lain. Manusia adalah bagian tak terpisahkan dari alam, dan perkembangan

kehidupan manusia menyatu dengan proses evolusi dan perkembangan kehidupan

alam semesta seluruhnya. Hubungan manusia dengan alam adalah hubungan yang

didasarkan pada kekerabatan, sikap hormat, dan cinta.

Pandangan kosmologi masyarakat hukum adat Cigugur juga tergambar

dalam ekspresi kebudayaan mereka yang senantiasa berhubungan dengan alam.

Ekspresi kebudayaan ini terutama dapat ditemui dalam tradisi adat Seren Taun yang

dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat Cigugur. Seren Taun sendiri merupakan

52
sebuah ritual berbentuk upacara adat. Upacara adat ini dilaksanakan sebagai

ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa, dan juga berupa doa-doa harapan

agar kehidupan yang lebih baik di masa mendatang dapat mereka terima. Meski

demikian, upacara adat Seren Taun ini bukan merupakan upacara keagamaan,

melainkan suatu tradisi untuk mengungkapkan rasa syukur, khususnya atas hasil

bumi yang mereka dapat selama satu tahun. Upacara adat Seren Taun ini dipusatkan

di Gedung Paseban Tri Panca Tunggal, yang merupakan Cagar Budaya tersebut.

Pesta kesenian rakyat ini berisikan seni tradisional dan diwariskan secara turun-

temurun. Agustiningsih (2020 : 18) menyatakan bahwa masyarakat Cigugur -

Kuningan adalah salah satu masyarakat Sunda yang menyelenggarakan upacara

adat Seren Taun. Masyarakat Cigugur merupakan salah satu masyarakat Sunda

yang hidup dari pertanian. Upacara Seren Taun sebenarnya tidak hanya

dilaksanakan oleh masyarakat di Cigugur saja, melainkan oleh masyarakat Sunda

di beberapa daerah di Jawa Barat.

Hutan, sebagai perwujudan dari alam, dimaknai oleh masyarakat hukum

adat Cigugur sama seperti halnya wujud manusia. Ada pemaknaan bahwa alam dan

manusia bukan merupakan entitas yang berbeda. Pengertian ini bertolak dari

ungkapan dua sakarupa, yang berarti dua entitas ini masih memiliki satu rupa, satu

wujud. Meski demikian, alam semesta merupakan moral subject, dan tidak bisa

melindungi dirinya sendiri secara aktif, melainkan sebatas dengan self-purification,

sementara manusia merupakan moral agent, yakni pihak yang memiliki peran aktif

untuk melakukan perlindungan dengan berbagai kemampuan kulturalnya. Dengan

53
demikian, manusia sudah semestinya melindungi alam semesta ini, tidak terkecuali

hutan.

Indrawardhana (2012 : 6) menyampaikan bahwa adanya kepercayaan dan

kesadaran dalam menyelaraskan dengan alam setidaknya adalah suatu wujud sikap

dan karakter di mana manusia Sunda tidak akan menjadikan alam sebagai bahan

eksploitasi. Upaya menjaga keseimbangan antara “jagat alit” (diri manusia) dengan

“jagat ageung” (alam beserta isinya) di satu sisi juga sebagai wujud religiusitas

manusia Sunda sebagai “makhluk suci” atau makhluk yang berasal dari alam

kesucian “kahiyangan”.

Gambar 4.3 Konsep Waruga Jagat dan Waruga Manusa


(Sumber : Analisis Data, 2022)

Jagat alit disebut juga sebagai waruga manusa dan jagat ageung disebut

juga sebagai waruga jagat. Waruga manusa di sini maknanya mendekati makna

mikrokosmos, yakni dunia yang berada di dalam diri manusia, atau semesta

manusia, sementara waruga jagat di sini maknanya mendekati makna

54
makrokosmos, yakni dunia fisik yang berada di luar manusia, atau alam semesta.

Ada pertautan dua dunia antara dunia di luar dan dunia di dalam, dan kedua itu

dianggap sebagai suatu perwujudan yang tidak ada bedanya, yang sudah seharusnya

sama-sama dilindungi oleh manusia.

Waruga manusa dan waruga jagat terhubung sebagai suatu sistem hidup,

antara manusia dan alam, kemudian hal ini banyak tergambar dalam ekspresi-

ekspresi kebudayaan masyarakat hukum adat Cigugur yang begitu lekat dengan

alam, yang diungkapkan secara simbolis seperti, misalnya, dalam tradisi Seren

Taun.

Ada ikatan erat antara manusia dan alam. Dalam perspektif masyarakat

hukum adat Cigugur, alam, hutan, dan gunung memiliki perbedaan yang tidak

terlalu signifikan. Dalam arti tertentu, kedua entitas ini merupakan satu kesatuan

dan merupakan mitra dalam menjalani kehidupan, yang dengan demikian sudah

sepatutnya dilindungi sedemikian rupa oleh manusia. Dalam ikatan antara waruga

manusa dan waruga jagat ada penjelasan yang lebih rinci. Dalam waruga manusa

dan waruga jagat, ada yang namanya tata kelola air, dan tata kelola air di hutan itu

diasosiasikan dengan urat darah di tubuh manusia.

Hutan memiliki sesuatu semacam “titik vital” yang sama seperti manusia.

“Titik vital” itu dapat dimaknai sebagai cakra. Sama halnya dengan hutan, manusia

pun memiliki cakra semacam itu. Titik-titik cakra yang ada di dalam diri manusia

dihubungkan dengan keberadaan kelenjar endokrin, antara lain Cakra Mahkota,

Cakra Mata, Cakra Tenggorokan, Cakra Jantung adalah kelenjar timus, Cakra

Manipura, Cakra Seks, dan Cakra Dasar. Titik-titik cakra ini tidak hanya dimiliki

55
oleh manusia, melainkan juga dimiliki oleh alam, baik itu gunung atau hutan.

Waruga manusa dan waruga jagat dihubungkan secara sistemis sebagai sesuatu

yang identik dan tidak berbeda.

Dari pandangan ini, masyarakat hukum adat Cigugur mengemukakan

bahwa mereka melakukan pendekatan anatomis-biologis dalam memandang relasi

manusia dan alam. Hal ini dapat diindikasikan bahwa mereka menganut paradigma

holistis dalam memandang eksistensi yang ada di dunia. Paradigma holistis adalah

suatu paradigma filsafat ilmu lingkungan hidup yang memandang alam semesta ini,

termasuk manusia di dalamnya, merupakan suatu jejaring hidup yang saling

terhubung dan saling ketergantungan. Keraf (2014 : 80) berpendapat bahwa semua

sistem kehidupan alamiah ini memiliki strukturnya masing-masing yang

berkembang dalam interaksi dan hubungan saling tergantung dan saling pengaruh

satu sama lain. Sebagai sistem yang hidup, setiap organisme selalu tumbuh dan

berkembang secara dinamis dalam proses saling pengaruh dan saling bergantung

satu sama lain. Maka struktur dasarnya selalu fleksibel untuk berkembang dan

berubah sesuai dengan proses interaksi tersebut.

Hal ini membuktikan bahwa masyarakat hukum adat Cigugur tidak berpikir

menggunakan dualisme Cartesian yang membedakan antara subjek dan objek,

jasmani dan rohani, serta memandang struktur alam secara parsial. Masyarakat

hukum adat Cigugur tidak membedakan hutan dengan area lain selama masing-

masing memiliki fungsi yang terintegrasi, begitu pula alam tersebut senantiasa

mijalma (terpersonifikasi) sebagai sesuatu yang hidup dan bukan sekadar benda

atau objek.

56
Melalui penggambaran sebelumnya, masyarakat hukum adat Cigugur

memiliki corak berpikir holistis dalam hubungannya dengan alam. Alam tidak

dipisahkan dari hutan, hutan tidak dipisahkan dari gunung, gunung tidak dipisahkan

dari mata air, mata air tidak dipisahkan dari sungai, sungai tidak dipisahkan dari

laut. Semua area itu dianggap berjejaring atau sebagai satu kesatuan yang apabila

terjadi kerusakan di salah satu titik, maka “rasa sakit” akan menjalar ke seluruh titik

tersebut. Bila terjadi penebangan liar di gunung, maka akan terjadi kekeringan di

pesawahan.

4.2.2 Makna Hutan dalam Perspektif Masyarakat Hukum Adat Cigugur

Tabel 4.2 Unit Informasi untuk Makna Hutan dalam Perspektif Masyarakat
Hukum Adat Cigugur

Informan Hasil Wawancara Unit Informasi

“Mereka merepresentasikan alam itu


jadi makhluk. Misalnya ieu téh
indung, gunung tuh naon. Jadi ada
personifikasi-personifikasi, supaya
mungkin kedekatan generasi
berikutnya sangat kuat terhadap 1. Alam
alam. Ajaran-ajaran detailnya saya direpresentasikan
gak tahu, cuma selalu tergambar sebagai makhluk
dalam ekspresi-ekspresi atau dipersonifikasi.
kebudayaannya. Seren Taun, Seba, 2. Alam dihormati
Budayawan
gitu ya. Alam dihormati secara secara simbolis
simbolis.” dalam ekspresi
kebudayaan.
“Mereka jadikan alam sebagai alat 3. Alam dijadikan
transendensi. Misalkan dulu ada alat transendensi.
heboh Batu Satangtung. Di mereka
itu simbol bagaimana pandangan
hidup atau keyakinan yang mereka
pegang direpresentasikan dalam
simbol-simbol alam.”
”Ari leuweung téh saleresna mah pan 1. Hutan dimaknai
Ketua Adat
penunjang kanggo kehidupan sebagai penunjang
Masyarakat
ekosistem alam. Manfaat dari hutan ekosistem.

57
Hukum Adat itu sendiri kan ya selain untuk 2. Hutan dimaknai
Cigugur menjaga habitat daripada makhluk- sebagai habitat
makhluk yang memang sudah Tuhan makhluk ciptaan
ciptakan di semesta ini, numawi juga Tuhan.
sebagai daerah resapan air. Numawi 3. Hutan dimaknai
perlindungan hutan itu sangat-sangat sebagai daerah
penting untuk kita lakukan.” resapan air yang
harus dilindungi.

“Hutan juga bagi kami bisa dibilang


sebagai kabuyutan. Jadi bukan berarti
bahwa kabuyutan itu kita di hutan
bisa meditasi, bisa melakukan 1. Hutan dimaknai
pemujaan, dan sebagainya. Jadi sebagai kabuyutan.
2. Kabuyutan.
kenapa hutan disebut kabuyutan,
merupakan warisan
hutan itu adalah bagian yang dari leluhur.
diwariskan dari leluhur kita yang
membuat kita bisa hidup sampai
sekarang.”

1. Gunung disebut
sebagai Sanghyang
“Jadi gunung itu Sanghyang Sirah. Sirah dan laut
Laut itu Sanghyang Dampal. Nah sebagai Sanghyang
begitu era modern negara ini kan Dampal.
dibagi-bagi. Ini kabupaten ini, ini 2. Konsep tata
masuk Losari, Cirebon, bukan ruang modern
Kuningan. Jadi rencana tata ruangnya berbeda dengan tata
sudah beda.” ruang masyarakat
hukum adat
Cigugur.
Tokoh 1. Ulu-ulu atau
Masyarakat jurig cai adalah
Hukum Adat “Ulu-ulu itu jadi kalo kita nebang penunggu di daerah
Cigugur pohon, jadi dalam perspektif mata air.
kasundaan, mata air radius 100 meter 2. Tidak
tuh tidak boleh ada pohon yang diperbolehkan
ditebang. Ada catchment area, menebang pohon
tangkapan air, logika sekarang. Tapi radius 100 meter
dulu kan dijaga dengan apa, mitos. dari mata air.
Éta aya ulu-ulu, gitu. Jurig cai. Tapi 3. Ulu-ulu
intinya sebetulnya itu kan merupakan mitos
keseimbangan.” yang ada untuk
menjaga mata air
dan keseimbangan
ekologis.

58
1. Ulu-ulu bukan
makhluk, melainkan
“Kami percaya ulu-ulu itu bukan
vibrasi atau
makhluk, tapi dia adalah vibrasi.
gelombang.
Setiap benda itu kan punya vibrasi
2. Vibrasi ini
ya, punya gelombang, frekuensi.
diyakini terhubung
Kalau taneman-taneman tertentu
dengan pohon
yang dia bisa meredam vibrasi,
tertentu yang
menyeimbangkan vibrasi ditebang,
apabila ditebak
maka vibrasi di daerah itu jadi rusak.
akan merusak
Bukan klenik sebetulnya.”
vibrasi di daerah
tersebut.
Sumber: Hasil Wawancara (2021)

Berdasarkan unit informasi di atas, maka didapatkan beberapa informasi

mengenai nilai dan makna hutan dalam perspektif masyarakat hukum adat Cigugur.

Masyarakat hukum adat Cigugur melihat hutan (dalam hal ini alam) sebagai

makhluk atau dipersonifikasi. Sebagai masyarakat Sunda, masyarakat hukum adat

Cigugur tidak memaknai alam sebagai sesuatu yang mati. Alam dipandang sebagai

entitas yang juga hidup, sama halnya dengan manusia. Hal ini sebagaimana

diungkapkan Salahudin (2017 : 271) bahwa alam dalam perspektif Sunda bukanlah

sesuatu yang sebagai objek eksploitasi, tapi ia adalah mitra manusia dalam

berkhidmat kepada Sang Batara. Dalam hal ini, alam dapat pula dimaknai sebagai

“alat transendensi”.

Keraf (2010 : 363) mengungkapkan bahwa dalam perspektif itu, agama

dipahami dan dihayati oleh masyarakat adat sebagai sebuah cara hidup, dengan

tujuan untuk menata seluruh hidup manusia dalam relasi yang harmonis dengan

sesama manusia dan alam. Dalam penghayatan agama seperti itu, masyarakat adat

selalu ingin mencari dan membangun harmoni di antara manusia, alam, masyarakat,

59
dan dunia gaib dengan didasarkan pada pemahaman dan keyakinan bahwa yang

spiritual menyatu dengan yang material.

Perspektif masyarakat hukum adat Cigugur yang demikian juga membuat

mereka menghormati alam secara simbolis dalam ekspresi kebudayaan mereka. Hal

ini terlihat dari bagaimana tradisi upacara Seren Taun yang mereka laksanakan

setiap tahun pada tanggal 22 Rayagung Tahun Saka. Seren Taun sendiri merupakan

sebuah ritual berbentuk upacara adat. Upacara adat ini dilaksanakan sebagai

ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa, dan juga berupa doa-doa harapan

agar kehidupan yang lebih baik di masa mendatang dapat mereka terima. Meski

demikian, upacara adat Seren Taun ini bukan merupakan upacara keagamaan,

melainkan suatu tradisi untuk mengungkapkan rasa syukur, khususnya atas hasil

bumi yang mereka dapat selama satu tahun. Meski demikian, seperti diungkapkan

Agustiningsih (2020 : 18) bahwa upacara Seren Taun sebenarnya tidak hanya

dilaksanakan oleh masyarakat di Cigugur saja, melainkan oleh masyarakat Sunda

di beberapa daerah di Jawa Barat.

Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan

didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

sumber daya hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hal ini senada

dengan perspektif masyarakat hukum adat Cigugur yang menganggap hutan

sebagai penunjang kehidupan. Hutan disebut memiliki manfaat untuk menjadi

habitat dari berbagai makhluk yang diciptakan Tuhan, tidak terkecuali manusia.

Masyarakat hukum adat sendiri Cigugur tidak terlalu membedakan hutan dan

60
gunung. Artinya keberadaan hutan di area ini memang berada di kaki gunung, yang

artinya kedua entitas ini seolah-olah merupakan satu kesatuan. Hal yang vital

adalah hutan merupakan daerah resapan air yang menjadi sumber dari kehidupan.

Masyarakat hukum adat Cigugur pun memandang hutan sebagai sesuatu

yang memang sudah semestinya dimuliakan. Ada satu ungkapan bahwa hutan

adalah kabuyutan bagi manusia. Kabuyutan merupakan istilah untuk

menggambarkan suatu wilayah yang disucikan karena fungsinya sebagai tempat

melakukan laku spiritual. Spiritual di sini tidak berhenti pada pemaknaan gaib,

melainkan cenderung bermakna ke arah laku mencapai “pencerahan”. Secara

sederhana, kabuyutan merupakan tempat bertapa, bermeditasi, untuk mendapatkan

pengetahuan dan menjadi ruang bagi laku kreatif.

Salahudin (2017 : 74) berkata bahwa tempat suci ini mengisyaratkan agar

dijaga dengan penuh kesetiaan, dedikasi dan tanggung jawab yang kemudian sering

juga disebut kabuyutan, Di kabuyutan-lah para empu dan “bangsawan pikir”

menulis naskah, mengajarkan agama, melakukan penelitian, mengembangkan ilmu

pengetahuan, dan memunajatkan doa.

Masyarakat hukum adat Cigugur mempercayai bahwa hutan atau gunung

menjadi salah satu bagian kategorikal dengan pertimbangan fungsi serta

geografinya, yang diberi nama dengan istilah-istilah bagian tubuh manusia, yakni

Sanghyang Sirah (kepala) untuk menyebut gunung, Sanghyang Tikoro

(tenggorokan) untuk menyebut dataran rendah, dan Sanghyang Dampal (telapak)

untuk menyebut pesisir/laut. Dalam kebudayaan masyarakat Sunda, tak terkecuali

masyarakat hukum adat Cigugur, dipercayai suatu mitos tentang keberadaan

61
“sosok” yang juga menghuni ketiga tempat tersebut. Namun mitos-mitos ini hidup

di kalangan masyarakat Sunda, tak terkecuali masyarakat hukum adat Cigugur,

sebagai cara para leluhurnya untuk memberi nasihat. Kategorisasi ruang semacam

ini berbeda dengan kategorisasi tata ruang modern yang membagi daerah-daerah

secara administratif.

Di Sanghyang Sirah atau pegunungan, khususnya di suatu tempat yang ada

mata airnya—suatu tempat di mana air berawal mula. Di lokasi ini dikenal ada

penunggu yang bernama jurig cai (hantu air) atau ulu-ulu. Ulu-ulu pada umumnya

merupakan mitos yang digunakan untuk nyingsieunan (menakut-nakuti) orang agar

tidak berani menebang pohon besar yang menjadi faktor keberadaan suatu mata air

di hutan. Namun meski demikian, seiring waktu berlalu mitos ulu-ulu kemudian

dijelaskan secara rasional bahwa ia merupakan suatu konsep untuk mengontrol

perilaku manusia agar tidak melakukan perusakan hutan dengan menebang pohon-

pohon besar karena hanya akan berakibat pada mengeringnya mata air. Bahwa

radius 100 meter dari mata air tersebut, tidak boleh ada pepohonan yang ditebang.

Mitos ulu-ulu dipercayai oleh masyarakat hukum adat Cigugur bukan

semata-mata sebagai makhluk, melainkan sebagai suatu gagasan berupa vibrasi

daerah. Mitos sendiri merupakan suatu konstruksi, artinya penyusunan gagasan-

gagasan yang dilahirkan oleh motif tertentu demi tujuan tertentu. Masyarakat

hukum adat Cigugur percaya bahwa apabila pohon besar ditebang dalam radius 100

meter tempat mata air muncul, maka vibrasi di area itu akan rusak dan

menyebabkan ketidakseimbangan ekologis.

4.3 Pengelolaan Hutan

62
Masyarakat hukum adat Cigugur memiliki pengetahuan lokal yang

diwariskan secara turun-temurun. Pengetahuan lokal yang berkaitan dengan tata

cara mereka memperlakukan dan mengelola lingkungan termasuk ke dalam

kearifan ekologis. Dalam kearifan ekologis ini, masyarakat hukum adat Cigugur

memiliki aturan tersendiri dalam mengelola hutan. Menurut Undang-Undang No.

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pengelolaan hutan meliputi kegiatan:

a. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan;

b. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan;

c. rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan

d. perlindungan hutan dan konservasi alam.

Dalam hal pengelolaan hutan, masyarakat hukum adat Cigugur memiliki

pengetahuan lokalnya sendiri terkait penataan zona hutan dan pelarangan

pemanfaatan sumberdaya hutan. Berikut merupakan informasi dari beberapa

informan mengenai pengelolaan hutan yang meliputi (1) zonasi hutan berdasarkan

hukum adat; (2) larangan penjualan tanah pertanian; dan (3) perlindungan flora dan

fauna yang dianggap keramat.

4.3.1 Zonasi Hutan Berdasarkan Hukum Adat

Tabel 4.3 Unit Informasi untuk Zonasi Hutan Berdasarkan Hukum Adat

Informan Hasil Wawancara Unit Informasi

“Tapi memang itu salah satu bukti


1. Masyarakat
atau cara mereka menjaga tatanan
hukum adat
lingkungan termasuk yang sudah
Cigugur memiliki
Budayawan dizonasi-zonasi itu. Jadi secara
konsep zonasi hutan
phisicly juga mereka melakukan
sebagai usaha
usaha preventif dengan aturan-aturan
preventif.
tersebut.”

63
“Ya memang dikatakan bahwa siapa
1. Siapa pun yang
yang mengganggu bakal
mengganggu area
mendapatkan sesuatu yang luar biasa
leuweung larangan
dalam hidupnya, ada karma, mamala.
akan mendapat
Ya meskipun mamala itu tidak
mamala.
diterima saat ini, belum kelihatan
2. Leuweung
atau apa, tapi yang namanya amanat
larangan memiliki
sepuh itu tetep harus kita jaga.
nilai sejarah.
Bagaimana pun beliau memiliki
3. Hutan menjadi
tanah di situ karena ada sejarah.
tempat orang-orang
Karena ada satu perjalanan yang kita
zaman dahulu untuk
tidak pernah tahu ada apa di situ.
memeroleh
Karena kan jalmi-jalmi kapungkur
pengelaman
mah tidak lepas dari pengalaman
spiritual.
batin secara spiritual.”
1. Salah satu
“Tapi sekarang udah bukan
leuweung larangan
bentuknya leuweung. Karena
bernama Leuweung
Leuweung Leutik itu cuma 700 bata,
Leutik seluas 700
dan itu sudah dipangkas semua
bata.
pohon-pohon yang ada di situ.
2. Leuweung Leutik
Kepala Adat Mangga kalau mau ke sana, mangga.
sudah bukan hutan,
Masyarakat Cuma itu kayanya sekarang sih
tetapi sudah
Hukum Adat tinggal ilalang-ilalang wae kitu. Da
menjadi padang
Cigugur memang gini, sebetulnya itu téh aya
ilalang.
di tengah perkampungan yang
3. Dalam
namanya Kampung Lumbu, ya,
manuskrip, di area
emang kalau dalam manuskrip tidak
Leuweung Leutik
boleh ada permukiman rumah di
tidak boleh
situ.”
didirikan
permukiman.
“Jadi dengan adanya hutan yang
1. Eskplotasi hutan
dieksploitasi terlalu, dipake untuk
diyakini membuat
apalah, penebangan hutan dan lain
masyarakat Hukum
sebagainya, gas alam dan lain
Adat Cigugur tidak
sebagainya, ini kita tidak bisa lagi
dapat mewariskan
mewariskan mata air-mata air untuk
mata air, melainkan
kehidupan anak cucu kita. Bukan
air mata kepada
tidak mungkin kita hanya bisa
generasi
mewariskan air mata untuk anak
selanjutnya.
cucu kita.”
1. Zonasi hutan
“Sama seperti dalam kosmologi,
dibagi ke dalam
ruang lingkungan kita pun begitu.
leuweung larangan,
Hutan larangan, tutupan, baladahan.”
leuweung tutupan,

64
dan leuweung
baladahan.

“Sebenernya leuweung larangan itu


pasti ada tandanya, entah situs, entah
apa, pasti ada. Kaya misalnya di atas
Karangsari itu ada tempat namanya
Pasebata (Pasir Batang) itu juga
leuweung larangan. Nah, kenapa kita
bilang leuweung larangan, karena
ada sejarahnya. Tahu ceritanya 1. Leuweung
Lutung Kasarung? Lutung Kasarung larangan selalu
dididik Guru Minda tuh di situ. Tapi memiliki tanda,
gak tahu sekarang begitu pengelolaan baik berupa situs,
TN mereka menganggap Pasir makam, dan lain
Batang nih apa. Artinya apa, kadang- sebagainya.
kadang kaya misalnya situs apa … 2. Selalu ada mitos
yang buat nanem semua pusaka tuh? yang meliputi area
Ada satu lagi selain Makam Panjang, leuweung larangan.
di atas Cilengkrang tuh. Jadi
wilayah-wilayah yang kaya gitu di
Ciremai tuh paling cuma tiga hektar,
empat hektar, sepuluh hektar. Kaya
Gunung Putri cuma berapa hektar.
Tapi itu kan selalu ada cerita dan
mitos.”
1. Kosmologi
Sunda melihat
“Dalam kosmologi itu sama, kita bahwa setiap bagian
Tokoh juga melihat bahwa di setiap bagian tubuh selali
Masyarakat tubuh dia selalu ada fungsi hutan memiliki fungsi
Hukum Adat larangan. Di dada kamu ada fungsi hutan larangan.
Cigugur hutan larangan untuk apa, untuk 2. Di dada ada
melindungi organ inti.” hutan larangan
untuk melindungi
organ inti.

65
1. Leuweung
“Ini leuweung baladahan, ini fungsi baldahan memiliki
ekonomi. Kalau di gunung fungsi ekonomi.
baladahan-nya bukan kamu nanem 2. Area leuweung
jagung, tapi nanem buah-buahan, baladahan ditanami
sebagai perimeter kan, apa, pisang, buah-buahan untuk
buah-buahan, sehingga monyet tidak mengatur pola
turun ke desa. Kemarin pada saat TN persebaran hewan
kan, Linggasana, itu desa-desa yang liar seperti monyet,
tadinya penghasil pisang. Bayangin babi, dan lain-lain.
orang Kuningan, daerah penghasil 3. Fungsi ekologi
pisang, tiba-tiba untuk bikin keripik lama rusak, dan
pisang beli. Orang desa dia pun beli. masyarakat sempat
Beli di Cirebon, di Jagasatru, di pasar tidak diperbolehkan
Tanjungsari ya. Beli. Padahal mengakses hutan
biasanya penghasil. Nah, kami sejak penetapan
masyarakat melihat ini kan berarti Taman Nasional
fungsi ekologis lama, ekosistem lama Gunung Ciremai
nih rusak, ancur. Masyarakat tidak sehingga fungsi
boleh masuk ngerawat hutan.” ekonomi leuweung
baladahan
terhambat.

“Baladahan itu bisa dikelola oleh 1. Leuweung


masyarakat tapi tidak boleh ditebang. baladahan boleh
Aya tanaman keras, tanaman dikelola dengan
palawija, tapi tidak boleh menebang pengecualian tidak
pohon-pohon keras. Karena wilayah boleh menebang
gunung, wilayah kepala itu rawan.” pohon keras.

“Lamun di Gunung Putri tos aya 1. Ada uga yang


belut bodas, Sukageuri bakal jadi memperingatkan
leuwi, Cigugur lebur, Kuningan perlindungan hutan
ngarangrangan. Ya airnya dari sini. di area tertentu,
Orang di daerah sini sampe dalam hal ini daerah
Sukamukti mikirnya kalau macul Gunung Putri.
ngelihat ada belut bodas. Sebetulnya 2. Uga tersebut
itu kan pertanda bahwa pipa dipercaya sebagai
geothermal kalau dilihat dari atas pipa geothermal
seperti belut. Nah para karuhun tuh yang akan
dulu udah ngasih pesen. Tapi orang- menyebabkan
orang sini mengartikan kalau macul kerusakan di daerah
manggih belut berwarna putih, kalau Gunung Putri dan
belum ada belut berwarna putih, menyebabkan uga
berarti kita belum sengsara. Itu tersebut terbukti.

66
kemarin kita menjelaskan lho, belut
bodas téh sanés kitu. Belut bodas téh
pipa. Kita kasih foto geothermal dari
atas. ‘Oh, éta belut bodas téh!’ kitu.”
Sumber: Hasil Wawancara (2021)

Berdasarkan unit informasi di atas, maka didapatkan beberapa informasi

mengenai zonasi hutan berdasarkan hukum adat yang dianut oleh masyarakat

hukum adat Cigugur. Zonasi ini bertolak dari filsafat Tri Tangtu yang secara

rekonstruktif termanifestasi dalam pembagian wilayah hutan. Zona hutan sendiri

berdasarkan hukum adat mereka dibagi menjadi tiga, yakni leuweung larangan,

leuweung tutupan, dan leuweung baladahan. Hutan berdasarkan fungsinya dalam

Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan juga

dibagi menjadi tiga bagian, yakni (1) hutan lindung, (2) hutan konservasi, dan (3)

hutan produksi.

Leuweung larangan atau hutan larangan merupakan hutan lebat dan tua

yang biasanya memiliki karakteristik hutan yang lebat dengan berbagai jenis pohon

besar dan kecil yang tumbuh secara alami. Hutan tersebut biasanya rimbun,

memiliki kerapatan pohon yang tinggi, dan masih banyak hewan yang hidup di

dalamnya. Selain itu, seperti namanya, hutan ini adalah kawasan hutan yang

terlarang untuk dimasuki masyarakat demi menjaga kelestariannya. Niasalatin dan

Weishaguna (2021 : 84) menyatakan bahwa leuweung larangan merupakan

leuweung titipan yang diperuntukan untuk resapan air. Hal ini sesuai dengan

amanat para leluhur kasepuhan untuk tidak dibuka sebagai lahan sawah karena

leuweung larangan berfungsi sebagai penahan, apabila tetap dilakukan pembukaan

lahan maka tidak ada area penahan.

67
Gambar 4.4 Salah Satu Areal Leuweung Larangan
(Sumber : Dokumentasi Lapangan, 2021)

Areal leuweung larangan dikatakan memiliki tanda-tanda tertentu seperti

situs dan sebagainya. Hal ini membuat areal hutan yang memiliki situs di dalamnya

ditandai sebagai areal “keramat”, yang dalam arti tertentu artinya tidak boleh

dikelola dengan seenaknya. Ada aturan tertentu yang pada umumnya harus

dipenuhi untuk bisa mengelola areal leuweung larangan, misalnya keadaan darurat

yang tidak terhindarkan. Leuweung larangan merupakan area yang tidak boleh

diganggu sama sekali dikarenakan keberadaannya yang begitu berpengaruh pada

kelangsungan kehidupan. Kelangsungan kehidupan di sini karena areal Leuweung

Larangan biasanya merupakan daerah resapan air yang dengan demikian menjadi

pemasok dari kebutuhan dasar manusia, yaitu air. Apabila area ini pada akhirnya

dirusak dengan tidak memerhatikan pertimbangan adat atau mitos-mitos yang

dikonstruksi oleh kebudayaan Sunda buhun, misalnya dengan melakukan

pembalakan liar, maka manusia hanya tinggal menunggu mamala atau malapetaka.

Beberapa contoh dari leuweung larangan yang sudah dieksploitasi adalah

Leuweung Leutik dan Leuweung Kuta Rambatan. Leuweung Leutik merupakan

68
tanah adat yang sudah ada sejak zaman pendiri masyarakat hukum adat Cigugur,

yakni Pangeran Madrais, tetapi mengalami sengketa warisan secara internal.

Leuweung Leutik yang dalam manuskrip disebutkan tidak diwariskan kepada

perseorangan melainkan secara kolektif diklaim oleh pihak yang masih keturunan

Pangeran Madrais yang menyebutkan bahwa areal Leuweung Leutik diwariskan

kepadanya. Leuweung Leutik pun kini sudah dijual kepada pihak lain sehingga

masyarakat hukum adat Cigugur kesulitan untuk mengembalikannya. Sedangkan

Leuweung Kuta Rambatan merupakan hutan yang di dalamnya terdapat sebuah

sesar dengan bebatuan marmer dan oniks pernah ditambang, sementara dalam

keyakinan masyarakat hukum adat Cigugur, areal leuweung larangan apabila

dirusak akan menyebabkan mamala, dalam hal Leuweung Kuta Rambatan,

dipercaya akan menyebabkan tutupan tanah di area sekitarnya bergeser dan

menyebabkan longsor.

Leuweung tutupan merupakan zona transisi antara leuweung larangan dan

leuweung baladahan. Leuweung tutupan adalah hutan yang tidak diperkenankan

untuk diganggu atau digunakan karena nilai sakralitasnya. Hutan ini tidak

diperbolehkan untuk dieksplorasi sama sekali. Leuweung tutupan ini bagi

masyarakat hukum adat Cigugur memiliki makna tutupan (penutup atau tertutup),

dan hanya boleh digunakan atas izin Pupuhu Adat, dan itu pun biasanya hanya

dalam momen-momen tertentu yang mereka anggap penting. Kawasan ini terletak

di Palutungan, Desa Cisantana. Di tempat tersebut terdapat suatu mitos mengenai

keberadaan pasukan Prabu Siliwangi yang menghilang dan menjadi penunggu di

sana.

69
Leuweung baladahan adalah jenis hutan yang memang diperuntukkan untuk

dikelola oleh masyarakat hukum adat Cigugur. Hutan tersebut bisa dimanfaatkan

meski tetap menginduk pada aturan-aturan adat. Masyarakat hukum adat Cigugur

diperbolehkan membuka huma, ladang, perkebunan, menggunakannya untuk

keperluan ternak, dan mengambil kayu bakar. Hutan ini tidak terletak begitu jauh

dari permukiman. Intinya, leuweung baladahan adalah hutan dengan fungsi-fungsi

ekonomis. Aturan-aturan adat yang berlaku dalam pemanfaatan leuweung

baladahan antara lain tidak boleh menebang pohon-pohon keras karena berpotensi

akan merusak tata kelola air, kemudian anjuran penanaman tanaman buah untuk

menjaga mobilitas satwa seperti monyet dan babi hutan agar tidak turun ke wilayah

permukiman yang berada di areal lebih rendah. Ada juga kecemasan masyarakat

hukum adat Cigugur mengenai tata kelola kehutanan saat ini yang sebagian besar

tidak sesuai dengan kondisi geografis di wilayah Kabupaten Kuningan, yang alih-

alih hendak meningkatkan produktivitas hasil kehutanan, malah membuatnya

menurun karena ketidaksesuaian fungsinya.

Gambar 4.5 Salah Satu Areal Leuweung Baladahan


(Sumber : Dokumentasi Lapangan, 2021)

70
Seperti yang diungkapkan di atas, leuweung baladahan bisa dikelola, tetapi

tetap dengan rambu-rambu adat tertentu. Meski fungsi leuweung baladahan adalah

sebagai fungsi ekonomis, masyarakat tetap tidak boleh menebang pohon-pohon

keras, kecuali memang benar-benar diperlukan. Dalam praktiknya, leuweung

baladahan dapat juga dianggap identik dengan konsep wana tani. Marfai (2012 :

123) menjelaskan bahwa pemanfaatan lahan di sekitar hutan untuk kegiatan

pertanian secara signifikan memberikan kontribusi positif pada kehidupan

masyarakat petani lokal. Pemanfaatan lahan sekitar hutan untuk pertanian oleh

masyarakat petani lokal lebih sering disebut dengan model kehutanan sosial wana

tani. Pemanfaatan lahan di sekitar hutan dalam bentuk kehutanan sosial wana tani

belum secara komprehensif memperhatikan faktor-faktor yang terkait seperti sosial

budaya, perekonomian dan pelestarian sumberdaya alam, sehingga dalam

pelaksanaan kehutanan sosial wana tani belum mendapatkan hasil yang optimal dan

signifikan terhadap masyarakat lokal dan lingkungan sumberdaya alam itu sendiri.

Gambar 4.6 Curug Putri


(Sumber : Dokumentasi Lapangan, 2021)

71
Zonasi hutan berdasarkan hukum adat ini mengalami cukup banyak

polemik. Salah polemik tersebut adalah adanya wacana ekstrasi panas bumi yang

diinisiasi oleh Kementerian Energi Sumber Daya Mineral pada tahun 2011 melalui

Keputusan Menteri ESDM Nomor: 1153.K/30/MEM/2011 tentang Penetapan

Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi di Daerah Gunung Ciremai, Kabupaten

Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat seluas wilayahnya mencapai

24.330 hektare, yang diperbarui pada tahun 2016 melalui SK WKP

7633K/30/MEM/2016 seluas 38.560 Ha. Keresahan akan adanya wacana ekstrasi

panas bumi ini mengingatkan masyarakat hukum adat Cigugur pada uga yang

mereka yakini, bahwa, “Lamun di Gunung Putri tos aya belut bodas, Sukageuri

bakal jadi leuwi, Cigugur lebur, Kuningan ngarangrangan.” Artinya kurang lebih,

”Bila di Gunung Putri sudah ada belut putih, Sukageuri jadi dangkal, Cigugur

hancur, Kuningan kekeringan.” Keberadaan frasa “belut bodas” dalam uga tersebut

diyakini oleh masyarakat hukum adat Cigugur sebagai pipa-pipa geothermal.

4.3.2 Larangan Penjualan Tanah Pertanian

Tabel 4.4 Unit Informasi untuk Larangan Penjualan Tanah Pertanian

Informan Hasil Wawancara Unit Informasi

“Terus dalam hal lain, mereka juga


melakukan langkah-langkah yang 1. Tanah-tanah
sifatnya memang tegas. Model aturan diwariskan untuk
Budayawan
tadi itu, tanahnya tidak diwariskan. kolektif dengan
Semuanya milik adat, milik aturan yang ketat.
bersama.”

72
“Kebetulan yang beli tanah-tanah itu
adalah orang luar gitu, keturunan dari
luar. Beli dari petani dengan harga 1. Tidak
murah. Jadi ada sistem seperti ini: diperkenankan
Menggunakan tokoh untuk membeli menjual tanah pada
dari petani dengan harga murah, orang luar.
kemudian dijual lagi dengan harga 2. Ada mekanisme
mahal, sehingga tanah itu sekarang, politik yang
kaya daerah Cisantana dan lain membuat tanah-
sebagainya, udah gak mungkin dibeli tanah di wilayah
oleh masyarakat biasa. Karena kalau Cigugur dijual dari
dulu satu bata itu misalnya lima petani dengan harga
puluh ribu, bahkan mungkin sepuluh murah.
ribu, sekarang udah gak kejangkau. 3. Selain karena
Udah jutaan, bahkan sebentar lagi pertimbangan
juga belasan juta. Padahal waktu budaya, larangan ini
mereka jual itu mungkin cuma dua juga ada karena
ratus ribu perbata.” pertimbangan
investasi.
“Tanpa adanya hutan yang 4. Penjualan tanah
terpelihara dan terjaga mungkin kita pada pihak luar
Kepala Adat sudah lenyap dari kapan. Nah akan menghadirkan
Masyarakat sekarang bagaimana kita menjaga pembangunan di
Hukum Adat kabuyutan atau semesta itu, dan kita wilayah Cigugur
Cigugur tidak hanya berpikir untuk kebutuhan karena merupakan
kita sekarang. Tapi kita juga harus pusat pariwisata di
bisa berpikir untuk kebutuhan anak Kabupaten
cucu kita nanti. Nah dengan Kuningan, dan hal
penggundulan hutan itu sendiri kan ini akan membuat
dulu mah di Cigugur juga terkenal keseimbangan
dengan mata air Ciereng. Sekarang ekologis terganggu.
setelah banyak penggundulan dan 5. Proses bertani
banyak bangunan ke arah atas, ada diasumsikan
yang bikin kafe bikin villa bikin apa, perlahan-lahan
terus pola hidup petani juga sudah ditinggalkan dan
berubah. Bahwa bercocok tanam itu beralih pada profesi
sendiri adalah proses yang mungkin yang “instan”.
lambat atau cepat harus ditinggalkan 6. Tanah pertanian
karena kita sudah terbiasa dengan yang dijadikan
hal-hal yang instan.” tempat permukiman
atau industri suatu
“Dan satu saat nanti mereka harus saat harus
pindah ke sebuah tempat dan di situ ditinggalkan karena
harus dikosongkan. Janten uga na, sudah ada uga.
pami saur urang Sunda mah, uga na
tos aya. Tapi kan ayeuna mah

73
berbenturan dengan masalah hak
kepemilikanlah, klaim, kan ayeuna
mah gampil diartosan itu jadi milik
kita.”

“Debit air Balong Girang 2-3 tahun 1. Debit air dalam


ini merosot drastis. Padahal hanya 2-3 tahun ini
untuk Kuningan, masih kurang. merosot karena
Datanya ada di PDAM. PDAM sini, wilayah leuweung
Cigugur selama 10 tahun terakhir, larangan
Tokoh
keliatan debit air, dan berapa dieksploitasi.
Masyarakat
lingkungan secara adat kita bilang ini 2. Eksploitasi ini
Hukum Adat
wilayah larangan, mereka bilang itu linear dengan tidak
Cigugur
cuma pinggir sawah. Kita bilang itu diakuinya hak sipil,
leuweung larangan oleh kalian politik, dan
dirusak. Warga adat tidak diakui hak lingkungan
sipil dan suara politik, hak masyarakat hokum
lingkungan diberantas, habislah.” adat Cigugur.
Sumber: Hasil Wawancara (2021)

Berdasarkan unit informasi di atas, maka didapatkan beberapa informasi

mengenai nilai dan makna hutan dalam perspektif masyarakat hukum adat Cigugur.

Masyarakat hukum adat Cigugur memiliki kosmologi yang memandang relasi

Tuhan, manusia, dan alam sebagai suatu kesatuan. Hal ini bertolak dari filsafat Tri

Tangtu yang menghubungkan tiga entitas, atau disebut juga pola kesatuan tiga.

Berdasarkan unit informasi di atas, maka didapatkan beberapa informasi

mengenai larangan penjualan tanah pertanian masyarakat hukum adat Cigugur. Hal

ini bertolak dari pertimbangan kultural serta pertimbangan ekonomis. Hal senada

juga berkaitan dengan keseimbangan ekologis yang menyusut dengan tanda

menurunnya debit air di wilayah Cigugur sendiri karena banyaknya tanah pertanian

yang dijual dan dibangun villa, dan lain semacamnya.

74
Agustiningsih (2020 : 45) menyatakan bahwa Cigugur-Kuningan itu sendiri

merupakan daerah pertanian yang subur sehingga sebagian besar masyarakatnya

bermatapencaharian sebagai petani yang menghasilkan padi. Makna padi sendiri itu

bagi masyarakat petani Sunda sangatlah dalam seperti tercermin dalam berbagai

kisah klasik sastra Sunda, seperti Pwah Aci Sanghyang Asri. Pwah Aci Sanghyang

Asri adalah dewi yang telah memberi kesuburan bagi petani sebagai utusan langit

yang turun ke bumi dan membantu manusia.

Gambar 4.7 Lahan Pertanian di Wilayah Cigugur


(Sumber : Dokumentasi Lapangan, 2021)
Pertanian, khususnya bagi masyarakat hukum adat Cigugur, merupakan

sendi kehidupan yang fundamental. Hal ini tercermin dalam ekspresi kebudayaan

mereka yang menjunjung tinggi pertanian sebagai corak kultural mereka. Upacara

adat Seren Taun dapat menjadi contoh representatif hal tersebut. Upacara itu sendiri

menyampaikan rasa syukur pada Nyi Pwah Aci Sanghyang Asri, yang merupakan

dewi pertanian dalam keyakinan masyarakat Sunda. Hal ini tidak bisa terlepas dari

kedekatan masyarakat hukum adat Cigugur dengan pertanian. Sumardjo (2015 :

109) berkata: “Dari mana segala tumbuhan keperluan hidup para petani Sunda di

zaman dulu? Dari tubuh Nyi Pohaci. Dari mana asal Nyi Pohaci? Ternyata dari

dunia bawah, dibawa ke dunia atas, baru diturunkan di dunia tengah manusia Sunda

75
(Buana Panca Tengah).” Dari penuturan itu, masyarakat hukum adat Cigugur begitu

menjunjung tinggi tanah pertanian tempat segala kebutuhan manusia ditumbuhkan.

Masyarakat hukum adat Cigugur memahami bahwa tanah, hutan, gunung,

dan mata air, merupakan sesuatu yang diberikan oleh Gusti Sikang Sawiji-wiji yang

sudah semestinya dikelola dengan baik dan demi kesejahteraan bersama. Holihah

(2015 : 164) berpendapat bahwa warga masyarakat hukum adat Cigugur secara adat

tidak boleh untuk menjual tanah mereka keluar dari wilayahnya. Peraturan ini

secara tidak langsung tetap menjaga kawasan dan wilayah mereka tetap berada

dalam ruang lingkup aturan adat. Aturan ini juga memungkinkan warga untuk tetap

mengelola tanahnya sesuai dengan aturan adat. Larangan ini menjadi tindakan nyata

untuk menjaga keberlangsungan hidup masyarakat adat sekitar. Dikhawatirkan jika

tanah dijual ke masyarakat luar, maka keberlangsungan nilai dan adat istiadat

sekitar akan terancam dengan masuknya pengaruh luar.

Larangan menjual tanah pada orang luar dengan pertimbangan yang masuk

akal, juga dengan pemahaman pada investasi berbasis lahan. Artinya, lahan

merupakan sesuatu yang harganya relatif akan semakin mahal seiring

pembangunan, terlebih di wilayah yang memang sentral dalam banyak aspek,

seperti wilayah di Kecamatan Cigugur yang memiliki potensi untuk pengembangan

wisata alam. Ada banyak investor yang membidik lahan-lahan di daerah Kecamatan

Cigugur untuk dibangun menjadi villa, objek wisata, restoran, dan lain sebagainya,

yang dengan demikian akan mengorbankan lahan-lahan pertanian yang sejak dulu

dikelola oleh masyarakat lokal, dan pembangunan-pembangunan tersebut

76
berpotensi merusak lingkungan baik secara langsung maupun secara tidak

langsung.

Corak berpikir dalam masyarakat modern yang cenderung industrial

membuat budaya bercocok tanam dinilai sebagai profesi yang kurang bergengsi,

tidak produktif, dan merepotkan. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat memilih

untuk menjual lahannya dan lantas kemudian menggunakan uang hasil penjualan

lahan tersebut sebagai modal untuk kepentingan lain, misalnya berwirausaha. Hal

ini menyebabkan aktivitas bertani perlahan-lahan ditinggalkan dan lahan-lahan

pertanian sebelumnya dialihfungsikan untuk hal-hal lain, misalnya pembebasan

lahan dengan vegetasi yang rapat untuk pembangunan area penginapan.

Terkait hal tersebut, ada dampak langsung pada debit air di Balong Girang

yang menurun drastis dalam 2-3 tahun terakhir sehingga bahkan tidak bisa

memenuhi kebutuhan air di Kabupaten Kuningan. Kemudian di wilayah Cigugur,

debit air menurun secara berkala selama 10 tahun terakhir. Hal ini dikarenakan

adanya perusakan di area-area leuweung larangan. Hal tersebut terus dilakukan

karena masyarakat hukum adat Cigugur dengan kearifan ekologisnya tidak

dipertimbangkan dalam proses pembangunan.

Nilai-nilai kearifan ekologis yang dihidupi oleh masyarakat adat dalam

pengelolaan hutan tidak bisa bertahan tanpa ada kerjasama dari pihak lain, terutama

dari pihak yang memiliki wewenang politik. Hal ini disadari betul oleh masyarakat

hukum adat Cigugur bahwa untuk memertahankan nilai-nilai itu, mereka harus juga

melakukan semacam penetrasi politis, yakni menuangkan gagasan-gagasan

77
kearifan lokalnya dalam kerangka yang dapat diterapkan dalam regulasi

konstitusional.

Padahal Keraf (2010 : 379) mengemukakan bahwa untuk menyelamatkan

kearifan tradisional dan kembali ke etika masyarakat adat, hak-hak masyarakat adat

harus diakui dan dijami oleh semua masyarakat dunia. Harus ada komitmen politik

di tingkat global dan nasional untuk melindungi hak-hak masyarakat adat beserta

seluruh kearifan tradisionalnya. Melalui jalan ini, kita bukan saja menyelamatkan

keberadaan masyarakat adat beserta seluruh kekayaan dan kearifan tradisionalnya,

melainkan juga menyelamatkan krisis ekologi yang terutama disebabkan oleh cara

pandang dan perilaku masyarakat modern.

Meski demikian, komitmen politik ternyata cenderung lebih berpihak pada

investasi dan perkembangan ekonomi ketimbang pada kelestarian ekosistem dan

eksistensi kearifan ekologis serta masyarakat hukum adat yang memeliharanya.

Masyarakat hukum adat Cigugur tidak bisa berbuat banyak untuk berkontribusi

melalui nilai-nilai kearifan ekologisnya dalam tata kelola lingkungan, khususnya

tata kelola pemanfaatan lahan dan mata air, dikarenakan potensi keberadaan

intervensi berbagai pihak investor yang lebih mengedepankan pertumbuhan

ekonomi ketimbang kelestarian lingkungan dan eksistensi kearifan ekologis.

4.3.3 Perlindungan Flora dan Fauna yang Dianggap Keramat

Tabel 4.5 Unit Informasi untuk Flora dan Fauna yang Dianggap Keramat

Informan Hasil Wawancara Unit Informasi

“Ikan Dewa dianggap memiliki 1. Ikan Dewa


energi kekuatan supranatural, tapi itu dipercayai memiliki
Budayawan
mitos yang beredar di masyarakat kekuatan
Kabupaten Kuningan, bukan supernatural.

78
eksklusif di masyarakat hukum adat 2. Kepercayaan ini
Cigugur.” tidak eksklusif ada
di masyarakat
hokum adat
Cigugur.

Kepala Adat 1. Adanya larangan


“Di mana pun ada penunggunya, tapi
Masyarakat untuk
kami melarang menggunakan pohon
Hukum Adat memanfaatkan
rasamala.”
Cigugur pohon rasamala.

“Jadi misalnya setiap gunung itu


selalu ada istilahnya Gentong Bumi. 1. Reservoar air
Ada pusat-pusat air, reservoar yang disebut dengan
Tokoh besar. Kenapa sih di Balong Girang istilah Gentong
Masyarakat sini ikan dewa sama seperti di balong bumi.
Hukum Adat Darma? Di Cibulan? Karena 2. Cigowong
Cigugur sumbernya, reservoar, atau gentong disebut sebagai
buminya itu sama, di Cigowong sana. mata air purba
Itu mata air purba yang paling paling tinggi.
tinggi.”
“Jadi gentong bumi yang paling
besar itu ada di antara Cigowong
sampe Gunung Putri. Itu gentong
buminya Gunung Ciremai. Jadi dia
kaya reservoar besar. Dia
mengalirkan air ke Darmaloka, ada 1. Gunung Putri
ikan dewa, di sini ada ikan dewa. disebut gentong
Terus orang bilang oh itu ikan gaib. bumi paling besar.
Lho itu kan cara sepuh kita supaya 2. Mitos Ikan Dewa
ikan itu gak habis … Jadi dulu ikan diciptakan untuk
itu hanya ada di gunung-gunung menghindari
purba. Gunung Toba, Danau Toba, kepunahan.
sama Ciremai … Jadi daerah
Mandirancan sudah mulai bisa
diternak ternyata ikan ini, ditangkar.
Di Cibulan juga diternak. Ikan
Dewa.”

79
“Kalo kita ke Palutungan kan ada 1. Pohon dangdeur
warung tuh dekat Taman Nasional. dilarang untuk
Éta tangkal naon? Dangdeur. Itu ditebang karena
yang kita larang. Dan itu pertanda pohon itu pertanda
bahwa di bawah itu ada kantung air. keberadaan mata
Kita dilarang motong pohon itu … air.
Di situ radius sampe lima meter pasti 2. Dalam radius
ada titik air. Ya kalo ditebang, kita sampai lima meter
sendiri yang rugi. Tapi sekarang kan, dari pohon
kaya yang pohon dangdeur di deket dangdeur diyakini
Saung Stroberi. Ini yang punya ada mata air.
saung, alesannya nih tanah mereka. 3. Keberadaan
Tadinya di Palutungan tuh ada dua pohon dangdeur
atau tiga, tahun 90 saya masih sudah semakin
ngelihat. Tapi yang dua di deket langka.
Saung Stroberi 1, udah gak ada.”

1. Pohon dangdeur
dipercayai ditunggu
“Itu kan ada pohon besar, dangdeur
oleh semacam
namanya. Suka ada penunggunya.
Petani Hutan makhluk halus dan
Gak boleh ditebang. Waktu itu
akan memberi
ditebang malah nimpa rumah.”
mamala pada
penebangnya.

Sumber: Hasil Wawancara (2021)

Berdasarkan unit informasi di atas, maka didapatkan beberapa informasi

mengenai flora dan fauna yang dianggap keramat. Masyarakat hukum adat Cigugur

mengeramatkan Ikan Dewa, pohon rasamala, dan pohon dangdeur. Meski

demikian, pengeramatan ini bukan semata-mata karena kepercayaan supernatural,

melainkan juga karena pertimbangan ekologis.

Ada pemahaman bahwa tempat-tempat yang memiliki sumber air yang

sama, yakni Cigowong, salah satunya ditandai oleh keberadaan Ikan Dewa. Ikan

Dewa sendiri lebih dikenal dengan nama kancra bodas dan memiliki mitos yang

relatif mengakar bukan hanya di kalangan masyarakat hukum adat Cigugur,

80
melainkan di masyarakat Kabupaten Kuningan. Rosali dan Adhiyasa (2021)

menyatakan bahwa masyarakat Kabupaten Kuningan bahkan memperlakukan

bangkai Ikan Dewa serta mengurusnya sebagaimana jenazah manusia. Dengan ini

dapat dimaknai, bahwa Ikan Dewa tidak dipandang sebatas ikan dalam tataran

biologis dan ekonomis, melainkan sebagai makhluk yang memiliki nilai inheren.

Meski demikian, saat ini Ikan Dewa tidak dipandang sedemikian mistis, melainkan

lebih secara simbolis, bahwa apabila ada ikan tersebut, berarti air di kawasan itu

bersumber dari Cigowong, mata air purba.

Ikan Dewa terdapat di beberapa lokasi di Kabupaten Kuningan seperti

Darmaloka, Cibulan, Linggajati, Balong Cigugur, dan lain-lain. Hal ini

menandakan keberadaan aliran air dari mata air purba Gunung Ciremai. Mitos

bahwa Ikan Dewa tidak boleh dikonsumsi juga merupakan sebuah upaya preventif

agar menghindari kepunahan spesies ini. Meski demikian, ternyata Ikan Dewa saat

ini sudah mulai dibudidayakan di beberapa daerah seperti di Mandirancan, Cibulan,

dan lain-lain. Hal ini membuktikan bahwa mitos Ikan Dewa di masyarakat

Kabupaten Kuningan perlahan-lahan memudar atau terhubungkan dengan

pemikiran yang lebih rasional.

Masyarakat hukum adat Cigugur sangat memerhatikan kondisi mata air

yang ada di areal hutan Gunung Ciremai. Mereka menganggap bahwa mata air

adalah sumber utama dari kehidupan, yang dengan demikian sudah sepatutnya

dilindungi sedemikian rupa. Karena kesadaran ini, kemudian mereka melarang

penebangan pohon-pohon besar, misalnya adalah pohon dangdeur (Ceiba

pentandra), yang juga dipercayai memiliki penunggu.

81
Meski pohon dangdeur dianggap sebagai pohon yang tidak boleh ditebang

karena dapat menyerap air, investasi di bidang pariwisata yang memerlukan

pembukaan lahan yang pada akhirnya terpaksa membuat pohon dangdeur yang ada

di area itu ditebang hingga membuat keberadaan pohon dangdeur semakin sedikit.

Hal ini begitu disayangkan oleh masyarakat hukum adat Cigugur karena kerugian

kolektif yang dapat dihasilkan dari aktivitas tersebut. Meski demikian, nilai adat

mereka memang tidak dapat diterapkan pada semua kalangan, apalagi investor yang

memang tidak memiliki keterkaitan budaya atau agama dengan mereka.

Selain pohon dangdeur, masyarakat hukum adat Cigugur juga melarang

penggunaan pohon rasamala (Altingia excelsa). Holihah (2015 : 163-164)

menuturkan bahwa masyarakat hukum adat Cigugur melarang menggunakan pohon

rasamala untuk bahan bangunan rumah, baik rumah penduduk maupun rumah adat.

Pelarangan ini merupakan aturan leluhur karena menurut leluhur penggunaan

pohon rasamala apalagi secara berlebihan dilarang bagi masyarakat adat. Kayu

rasamala hanya dapat digunakan untuk membuat tempat peristirahatan atau saung,

diambil daunnya untuk lalap dan diambil bibitnya untuk ditanam. Pelanggaran

terhadap aturan ini akan memberikan dampak yang cukup berat seperti kebakaran

dan kerusakan bangunan. Pelarangan penggunaan pohon rasamala untuk bahan

baku bangunan memberikan dampak positif terhadap kelestarian hutan. Hal ini

karena keberadaan pohon rasamala akan tetap utuh dan bisa mencapai umur

puluhan bahkan ratusan tahun.

Pohon rasamala dapat tumbuh sampai 40 hingga 60 meter. Mengingat

bahwa masyarakat hukum adat Cigugur begitu memperhatikan vegetasi yang bisa

82
menyimpan air, maka pohon rasamala juga kemungkinan besar dilarang untuk

digunakan kayunya (dalam arti lain ditebang) agar keadaan tata kelola mata air di

hutan tidak rusak.

4.4 Faktor-Faktor yang Membuat Kearifan Ekologis Masyarakat Hukum

Adat Cigugur Bertahan

Kearifan ekologis yang dilandasi oleh pengetahuan lokal suatu komunitas

masyarakat dituntut bergerak di antara intervensi modernitas dan cara berpikir

ilmiah yang positivistis dan mengacu pada ilmu pengetahuan Barat. Permana (2020

: 90) mengungkapkan bahwa pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang

diwariskan secara turun-temurun dari leluhurnya sebagai hasil dari interaksi

adaptasi dengan lingkungannya dalam jangka waktu yang sangat lama.

Pengetahuan lokal diwariskan melalui bahasa ibu secara tidak tertulis, karena tidak

diwariskan secara tidak tertulis, maka pengetahuan tersimpan dalam alam pikiran

masyarakat yang bersangkutan.

Dewasa ini, relevansi pengetahuan lokal yang termaktub dalam kearifan

ekologis, khususnya yang dimiliki masyarakat hukum adat Cigugur, semakin

dipertanyakan validitasnya dalam pengelolaan lingkungan dan juga hutan. Perlu

diketahui faktor-faktor apa saja yang membuat kearifan ekologis masyarakat

hukum adat Cigugur bertahan hingga kini. Faktor-faktor itu lantas ditinjau melalui

tinjauan wujud budaya. Daeng (2000 : 46) menyatakan bahwa tiap kebudayaan

pada umumnya paling sedikit memiliki tiga wujud, yaitu: (1) wujud kebudayaan

sebagai suatu himpunan gagasan; (2) wujud kebudayaan sebagai jumlah pelaku

yang berpola; (3) wujud kebudayaan sebagai sekumpulan benda dan artifacts.

83
Wujud (1) adalah wujud yang paling abstrak. Sebagai suatu himpunan gagasan,

suatu kebudayaan tak dapat dilihat atau diamati, karena tersimpan dalam kepala

orang yang dibawa ke mana pun ia pergi. Kebudayaan dalam wujud himpunan

gagasan ini disebut sebagai cultural system atau sistem budaya; juga disebut covert

culture. Dalam wujudnya yang ke (2) kebudayaan disebut social system atau sistem

sosial, sedang dalam wujud yang ke (3) adalah kebudayaan fisik, physical culture.

Wujud (2) dan wujud (3) disebut overt culture.

Berikut merupakan informasi dari beberapa informan mengenai faktor-

faktor yang membuat kearifan ekologis masyarakat hukum adat Cigugur bertahan

yakni (1) Covert Culture yang meliputi (a) penghormatan pada nilai-nilai budaya

Sunda, (b) relevansi kearifan ekologis dengan zaman; dan (2) Overt Culture yang

meliputi; (a) struktur keluarga adat, (b) penjagaan identitas adat, (c) terpeliharanya

ajaran tekstual.

4.4.1 Covert Culture

Tabel 4.6 Unit Informasi untuk Faktor Covert Culture

Informan Hasil Wawancara Unit Informasi

“Mereka kan punya sendi nilai 1. Masyarakat


sangat menghormati orang tua. Saya hukum adat
pikir sendi nilai itu sangat kuat Cigugur memiliki
dibanding relasi manusia modern penghormatan yang
dengan orang tua. Dari rengkuh, tata tinggi pada orang
krama, budaya Sunda yang tua, berbeda dengan
sebetulnya dalam bahasa ada undak relasi manusia
Budayawan
usuk. Itu mereka pake. Pupuhunya modern.
Rama Djati memang mendidik kutub 2. Ketua adat
tersebut secara mendekati feodal, masyarakat hukum
ketat, tapi bukan dalam artian adat Cigugur
negatif. Seperti di keraton. Ada rule- mendidik
rule yang sifatnya hierarkis. Ada tua keturunannya
muda, ménak bukan ménak, itu terasa seperti di keraton

84
di sana. Kalau mau nyuguhin ada. dan mendekati
Tapi kalau orang luar ya mereka juga feodal.
egaliter.” 3. Mereka memiliki
aturan adat yang
bersifat hierarkis.
“Pola penyampaian nilai atau seperti
itu terhadap generasi, kita hanya
memberi pengertian dan pemahaman
terhadap mereka mengenai … ini
1. Pola pewarisan
metode yang saya pake. Enggak
nilai tidak banyak
berat-berat. Enggak banyak kitab.
melalui kitab,
Tapi saya mencoba kitab hayat saya.
melainkan
Saya terlahir menjadi perempuan,
pemahaman secara
saya menjadi anak kedua orang tua
dialogis.
saya, saya menjadi bagian dari
2. Media
masyarakat Cigugur yang berlatar
pembelajaran yang
belakang tradisi budaya dan adat
digunakan lebih
Sunda, saya menjadi bagian dari
menekankan pada
masyarakat Indonesia. Lima ini
“kitab hayat” atau
bukan pilihan saya. Lima ini Tuhan
eksistensi personal.
yang berikan kepada saya. Tiba-tiba
saya lahir sebagai perempuan dan
ada di antara kedua orang tua saya,
saudara-saudara saya.”
Kepala Adat
1. Ada penerimaan
Masyarakat
“Saya pikir innalillahi wa innalilaihi identitas asali
Hukum Adat
rojiun, atanapi mulih ka jati mulang melalui kalimat
Cigugur
ka asal. Saya terlahir jadi orang mulih ka jati
Sunda tidak harus balik seperti orang mulang ka asal.
Kanada. Siapa pun itu. Mau orang 2. Kesadaran akan
Arabnya, mau orang Mesirnya, mau penerimaan
orang Inggrisnya, mau orang identitas asali ini
Cinanya. Kalau mereka memiliki diyakini bisa
kesadaran itu, tidak akan ada menghindarkan
keinginan untuk saling menguasai. manusia dari
Seperti itu. Jadi kalau pun saya kehendak untuk
ngasih tuntunan terhadap anak-anak, saling menguasai.
kamu tetep dalam koridor, bukan 3. Generasi muda
kamu tidak boleh bergaul, bukan masyarakat hukum
kamu tidak boleh merasakan adat Cigugur
modernisasi, tapi sebetulnya pola- diperbolehkan
pola pikir seperti ini adalah pola-pola bergaul dan
pikir manusia modern. Karena itu ya merasakan
akan membuat kita mandiri, kehidupan modern,
berkarakter, berkepribadian. Orang meski dengan tetap
modern itu bukan dari pengikut, memegang teguh

85
bukan jadi pengekor, tapi menjadi nilai-nilai
pelopor.” ajarannya.
4. Masyarakat
“Kami meneguhkan diri mengikuti hukum adat
apa yang menjadi ajaran dan Cigugur mengikuti
tuntunan leluhur sama seperti Baduy, ajaran yang
atau misalnya menggenapi saudara diwariskan oleh
kita yang di Baduy untuk leluhur seperti
melestarikan.” masyarakat adat
Kanekes atau
“Tapi yang namanya amanat sepuh Baduy.
itu tetep harus kita jaga. Bagaimana 5. Sepuh atau orang
pun beliau memiliki tanah di situ tua mewariskan
karena ada sejarah. Karena ada satu amanah yang
perjalanan yang kita tidak pernah diyakini harus
tahu ada apa di situ. Karena kan dijaga dan
jalmi-jalmi kapungkur mah tidak dipelihara.
lepas dari pengalaman batin secara 6. Orang-orang
spiritual.” zaman dulu tidak
lepas dari
“Dalam ajaran Sunda itu, kita mesti pengalaman batin
miindung ka waktu, mibapa ka dan spiritual.
jaman. Dan tugas kita berbeda.” 7. Ada ajaran Sunda
yang berbunyi
miindung ka waktu,
mibapa ka jaman.
1. Mitos yang
diwariskan oleh
“ … dan itu kelihatannya mitos gitu, leluhur dilihat
tapi kalau kami mengatakan itu sebagai suatu nilai.
adalah value. Nilai di masyarakat 2. Nilai-nilai
kalau masih tetep sabilulungan.” tersebut diyakini
akan bermanfaat
apabila ada
Tokoh
kebersamaan atau
Masyarakat
sabilulungan.
Hukum Adat
Cigugur 1. Tanah adat yang
“Jadi kata temen-temen geologi itu diwariskan oleh
sesar dangkal, itu ujung dari sesar leluhurnya
yang apa, Gunung Kendeng sana dipercaya memiliki
sampai ujungnya di situ, sesar itu. fungsi-fungsi
Sesar Baribis. Nah di ujung situ konservasi yang
fungsi onix itu kalau kata sepuh konkret,
sepuh di situ seperti pamageuh.” sebagaimana
Leuweung Kuta

86
Rambatan yang
memiliki fungsi
sebagai pamageuh
atau penahan
getaran.
1. Pendekatan
masyarakat hukum
“Itu sama seperti dalam kosmologi adat Cigugur dalam
kita, sama seperti tubuh kita nih. melihat lingkungan
Punten, lihat jarinya. Kalau di sini melalui kosmologi
luka, bengkak, satu tubuh kerasa lama ini sesuai
enggak? Nah, itu pendekatan kita dengan pemahaman
melihat lingkungan, jadi mungkin biologis saat ini.
kita, mungkin fungsi hutan larangan 2. Pendekatan
di situ. Kalau orang belajar kosmologi Sunda
akupuntur atau apa, ada titik ginjal yang dianut
tuh di kaki, di tangan ada, di sini ada, masyarakat hokum
nah di telinga ini ada 73 titik. adat Cigugur
Kelihatannya itu gak masuk akal memiliki kerangka
menurut perspektif luar. Nah pengetahuan yang
menurut perspektif buhun itu masuk berbeda dengan
akal.” kerangka
pengetahuan Barat.
1. Kerusakan di satu
“Kerusakan di ujung maka akan titik akan
berakibat kerusakan di ujung lain. Itu mengakibatkan
sama seperti pembuluh aorta kita. kerusakan di titik
Kalau pembuluh vena dan aorta kita lain.
terganggu, maka fungsi tubuh juga 2. Pendekatan
pasti terganggu. Jadi cara holistis semacam ini
pandangnya, kita melihat antara relevan dengan
gunung dan lautan itu ya sama konsep pengelolaan
seperti tubuh.” lingkungan
mutakhir.
“Nah, akhirnya bagaimana supaya 1. Komunikasi
mereka nih akhirnya bisa paham. masyarakat hukum
Memahami dengan bahasa yang bisa adat Cigugur
mereka ngerti. Anak sekarang udah kepada generasi
gak bisa lagi sekadar ditakut-takuti. mudanya
Mereka bisa lihat google, youtube. disesuaikan dengan
Jadi cara kita berdialog, karakter zaman
berkomunikasi pun, tidak bisa menggunakan
sekadar satu arah, memang harus media.
komunikatif. Mereka lebih akrab 2. Pewarisan
sama Kinmaster, anak adat pun pengetahuan tidak
begitu. Jadi buatin dokumenter anak- lagi berjalan satu

87
anak SMP. Mereka bikin foto, arah, melainkan dua
video.” arah atau dialog.

1. Metode
pewarisan
pengetahuan lama
sudah tidak
“Kalo sepuh-sepuh di sini mah yang
kompatibel dengan
usia 70-an, nerangin sama anak-anak
gaya komunikasi
SMP gitu, lima menit kérék mereka.
generasi baru
Saya enggak, saya setel film. Terus
masyarakat hukum
kita bahas film. Baru kena. Karena
adat Cigugur.
anak adat juga megang handphone.
2. Pewarisan
Anak sekarang. Kita larang cuma
pengetahuan sudah
ditakut-takuti gitu, gak masuk.”
menggunakan
media dan tidak lagi
dengan cara ditakut-
takuti dengan mitos.
Sumber: Hasil Wawancara (2021)

Berdasarkan unit informasi di atas, maka didapatkan beberapa informasi

mengenai faktor-faktor yang membuat kearifan ekologis masyarakat hukum adat

Cigugur bertahan dalam kerangka covert culture yang terdiri dari (a) penghormatan

pada nilai-nilai budaya Sunda; dan (b) relevansi kearifan ekologis dengan zaman.

a. Penghormatan pada Nilai-Nilai Budaya Sunda

Sebagai masyarakat hukum adat, masyarakat hukum adat Cigugur hidup

dengan berpedoman pada nilai-nilai budaya Sunda yang diwariskan secara turun-

temurun. Nilai-nilai Sunda ini salah satunya terejawantah dalam keyakinan lokal

Sunda Wiwitan. Ajaran Sunda Wiwitan sendiri merupakan suatu kepercayaan lokal

yang telah ada sebelum masuknya Hindu-Budha ke Indonesia, bahkan menurut

beberapa sumber berusia lebih tua daripada kebudayaan Jawa. Hal ini membuktikan

betapa masyarakat hukum adat Cigugur memiliki penghormatan yang tinggi pada

88
nilai-nilai budaya Sunda, yang secara konkret terbukti dengan merawat warisan-

warisan budaya hingga sekarang.

Pangeran Djatikusumah dalam Hidayat dan Masturina (2017 : 80)

menyatakan bahwa sesungguhnya manusia tidak bisa terlepas dari akar

kebudayaan. Indonesia merupakan wilayah yang memiliki masyarakat plural

sehingga kebudayaan yang dimilikinya sangat beragam. Sunda Wiwitan merupakan

budaya yang dimiliki oleh masyarakat Sunda yang dijadikan sebagai warisan

leluhur yang patut untuk dilestarikan. Sunda wiwitan juga sering dipakai sebagai

penamaan atas keyakinan atau sistem keyakinan “masyarakat keturunan Sunda”

yang masih mengukuhkan ajaran spiritual leluhur kesundaan. Penamaan itu tidak

muncul serta merta sebagai sebuah konsep penamaan keyakinan oleh komunitas

penganut Sunda Wiwitan, tetapi kemudian dilekatkan pada beberapa komunitas dan

individu Sunda (orang Sunda) yang dengan kokoh mempertahankan budaya

spiritual dan tuntunan ajaran leluhur Sunda.

Hal ini senada dengan uraian dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan

bahwa masyarakat hukum adat didefinisikan sebagai kelompok masyarakat yang

secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan

pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta

adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

Kepercayaan lokal Sunda Wiwitan sendiri cakupannya begitu luas, bahkan

merambah hingga ke sendi-sendi tradisi dalam pengelolaan hutan. Namun meski

demikian, nilai utama budaya Sunda terletak pada konsep Tri Tangtu atau Pikukuh

89
Tilu yang membedakan tiga kategori entitas yakni Resi, Ratu, dan Rama. Konsep

Tri Tangtu sendiri teraktualisasi dalam dimensi-dimensi kebudayaan lain seperti

pengelolaan hutan yang terbagi ke dalam tiga zona, yakni leuweung larangan,

leuweung tutupan, dan leuweung baladahan.

Masyarakat hukum adat Cigugur meyakini bahwa setiap ide-ide

kebudayaan Sunda yang diwariskan oleh leluhurnya merupakan sesuatu yang sudah

teruji dan relevan untuk dipergunakan dalam menjalani hidup. Misalnya titik-titik

leuweung larangan diyakini masyarakat hukum adat Cigugur sebagai suatu lokasi

yang berhubungan dengan pengalaman batin secara spiritual para leluhurnya, dan

dengan demikian sudah semestinya dilindungi. Implementasi konkret dalam

melindungi leuweung larangan itu merupakan bukti penghormatan serta keyakinan

mereka pada nilai-nilai budaya Sunda.

Gambar 4.8 Filsafat Tri Tangtu


(Sumber : Dokumentasi Lapangan, 2021)

90
Implementasi konsep Tri Tangtu atau Pikukuh Tilu di masyarakat hukum

adat Cigugur dan, misalnya, masyarakat adat Kanekes cukup berbeda. Masyarakat

hukum adat Cigugur melakukan tapa di nagara sementara masyarakat adat

Kanekes melakukan tapa di mandala. Masyarakat hukum adat Cigugur

mengabdikan komunitasnya pada prinsip-prinsip kebangsaan, sedangkan

masyarakat adat Kanekes menghidupi ruang-ruang kulturalnya sendiri dan tidak

terlibat dalam urusan politik. Hal ini dapat dilihat dengan partisipasi Ibu Dewi Kanti

(salah satu putri Pangeran Djatikusumah) yang menjadi anggota Komnas

Perempuan. Secara lebih jauh, konsep Tri Tangtu dalam masyarakat Cigugur juga

tercermin dalam inti ajaran mereka yakni (1) ngaji badan yang mengkaji cara-ciri

manusia, (2) tuhu ka na tanah yang mengkaji cara-ciri bangsa, dan (3) madep ka

ratu raja 3-2-4-5 lilima 6.

Cara-ciri manusia merupakan implementasi Ratu, yakni untuk menjadi

manusia seutuhnya yang meliputi welas asih (cinta kasih), undak-usuk (tatanan

dalam keluarga), tata krama (tatanan perilaku), budi bahasa dan budaya, serta

wiwaha yudha naradha (sifat dasar manusia yang selalu memerangi sesuatu

sebelum melakukannya). Cara-ciri bangsa merupakan implementasi Rama, yakni

untuk mengetahui bangsanya yang meliputi rupa, adat, bahasa, aksara, dan budaya.

Madep ka ratu raja 3-2-4-5 lilima 6 memiliki arti sebagai berikut:

1) Ratu-raja 3 = Waspada terhadap jalannya Sir, Rasa, dan Pikir;

2) Ratu-raja 2 = Hukum keseimbangan antara sifat manusia dan sifat bangsa;

3) Ratu-raja 4 = Waspada pada aktivitas sepasang tangan dan sepasang kaki;

91
4) Ratu-raja 5 = Waspada pada penggunaan panca indra yang menghubungkan

manusia dengan alam sekitar;

5) Ratu-raja lilima = Sifat dari fungsi panca indra kita sama, tetapi sifat-sifat

bangsa berbeda;

Ratu-raja 6 = Tunggal wujud manusia seutuhnya yang diciptakan Tuhan

untuk menciptakan kedamaian di alam ini.

b. Relevansi Kearifan Ekologis dengan Zaman

Salah satu tantangan bagi kebertahanan kearifan lokal adalah relevansi nilai-

nilainya terhadap zaman. Tantangan ini bukanlah sesuatu yang mudah dijawab,

tetapi tidak dapat dihindari. Masyarakat hukum adat Cigugur pada akhirnya dituntut

oleh zaman untuk menyesuaikan diri. Masyarakat hukum adat Cigugur sudah

memiliki perhatian terhadap penyesuaian zaman ini. Ada suatu ungkapan yang

digenggam erat oleh mereka, yakni miindung ka waktu, mibapa ka jaman, yang

artinya suatu eksistensi, termasuk eksistensi mereka, sudah semestinya mampu

menyesuaikan diri dengan zaman. Apabila modernitas pada akhirnya, dalam

konteks keilmuan, menekankan metode ilmiah dalam memahami beragam realitas,

maka ajaran Sunda kuno yang dilestarikan oleh masyarakat hukum adat Cigugur

dituntut untuk melakukan penyesuaian secara metodis.

Masyarakat hukum adat Cigugur menyadari bahwa Tri Tangtu atau Pikukuh

Tilu merupakan pedoman nilai dan manifestasinya dapat berupa berbagai hal. Tentu

yang dimaksud dengan penyesuaian kembali ajaran Sunda dan relevansinya dengan

zaman bukanlah mengganti atau menghilangkan nilai-nilai dari Tri Tangtu itu

sendiri, melainkan melakukan penyesuaian pada implementasinya. Pembagian

92
ruang sendiri yang bertolak dari kosmologi alam Sunda nilai-nilainya masih

dipegang. Mereka masih percaya pada keberadaan, misalnya, ulu-ulu di daerah

Sanghyang Sirah atau mata air, hanya dalam pemaknaannya, ulu-ulu yang dulu

dianggap sebagai makhluk gaib, kini diyakini secara lain.

Ulu-ulu sendiri pada saat ini dipahami dengan perspetif yang mendekati

ilmiah. Ulu-ulu dianggap sebagai personifikasi yang menghadirkan nilai tertentu,

dan nilai ini hanya dapat dipahami apabila terdapat suatu sikap solidaritas atau

sabilulungan, termasuk dalam upaya mencintai dan melindungi hutan.

Kepercayaan pada ulu-ulu, pada nilai sakralitas mata air, akan menyebabkan

adanya kebersamaan karena secara praktis melindungi sumber air yang menjadi

kebutuhan hajat hidup banyak orang.

Nilai-nilai kearifan ekologis yang pada umumnya dianggap mistis atau

klenik, justru dibantah oleh masyaraka hukum adat Cigugur. Mereka menganggap

bahwa mitos itu sekadar metode leluhur mereka untuk melindungi sesuatu. Dengan

kesadaran akan miindung ka waktu, mibapa ka jaman, pada akhirnya masyarakat

hukum adat Cigugur juga mulai memandang dengan perspektif yang ilmiah. Ada

pergeseran epistemologis dari mitos ke logos dengan tetap memertahankan

pengetahuan warisan leluhurnya.

Di zaman modern ini, kearifan ekologis, atau secara umum kearifan lokal,

semakin tergusur dan dilupakan. Orang cenderung berpikir secara modern yang

diimpornya dari peradaban Barat. Menjadi modern adalah keharusan (Sumardjo,

2015 : 331). Keyakinan Sunda Wiwitan dengan kearifan lokalnya yang memandang

alam sebagai kitab sucinya menekankan pada pembelajaran melalui pengalaman

93
langsung dengan belajar pada entitas-entitas alamiah, juga fenomena-fenomena apa

pun yang dapat ditemui oleh manusia. Keluhuran ajaran mereka tidak berhenti pada

kemasan, melainkan pada nilai-nilai penghayatannya.

Masyarakat hukum adat Cigugur memahami struktur kepercayaan ini lahir

dari semacam ungkapan rasa syukur pada entitas-entitas yang melindungi

leluhurnya. Misalnya pada zaman batu ada suatu keyakinan yang berterima kasih

pada batu gua yang melindungi mereka, begitu juga pada pohon besar yang

memberikan berbagai kebutuhan seperti buah dan air serta peneduhan. Hal ini

dianggap wajar sebagai suatu evolusi dalam berkeyakinan.

Pertautan antara manusia dan alam merupakan sesuatu yang sudah berjalan

sejak zaman purbakala, sehingga melahirkan nilai-nilai spiritualitas yang sarat

dengan penghayatan dan kearifan. Masyarakat hukum adat Cigugur, misalnya,

mengenal konsep penataan hutan dan mata air yang termaktub dalam zonasi hutan

yang disebut dengan Patanjala. Patanjala ini secara mitologi diyakini sebagai dewa

hujan, tetapi keyakinan tersebut melahirkan sistem zonasi hutan. Area hutan

larangan yang melindungi area-area serapan air pada gilirannya dapat dimengerti

sebagai suatu pendekatan keilmuan dalam pengelolaan hutan dan mata air. Sistem-

sistem semacam ini masih bertahan di beberapa komunitas masyarakat adat seperti

masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dan terbukti mampu menciptakan

keseimbangan dalam pengelolaan lingkungan. Keilmuan modern pada akhirnya

mulai memerhatikan kearifan lokal sebagai suatu sistem pengetahuan yang relevan

dengan kondisi geografis dan kultural-historis budaya yang ada di masing-masing

area.

94
Meski demikian, Permana (2020 : 94) mengungkapkan bahwa terdapat

berbagai faktor yang menyebabkan pengetahuan lokal mengalami pengikisan

(erosi) antara lain, yaitu punahnya bahasa lokal, keterikatan dengan pendidikan

formal, perubahan lingkungan, perkembangan ekonomi pasar, dan kebijakan

politik. Punahnya bahasa lokal dapat menyebabkan hilang atau pudarnya

pengetahuan lokal, mengingat bahasa menjadi semacam alat untuk mengungkapkan

dan mengkomunikasikan pengetahuan. Keraf (2010 : 377) berpendapat bahwa

hilangnya hak-hak masyarakat adat, termasuk hilangnya hak untuk hidup dan

bertahan sesuai dengan identitas dan keunikan tradisi budayanya serta hak untuk

menentukan dirinya sendiri. Di tengan invasi dan dominasi masyarakat modern

karena pengaruh Barat, masyarakat adat yang berbeda tradisi budayanya kehilangan

hak hidupnya.

Masyarakat hukum adat Cigugur sendiri menghadapi tantangan yang pelik

dalam berbagai aspek dalam menjaga nilai-nilai kearifan ekologis yang berkaitan

dengan pengelolaan hutan. Dimulai dengan mulai berkurangnya jumlah penutur

bahasa Sunda dalam generasi hari ini, yang secara linear melahirkan degradasi

mengenai pemahaman-pemahaman pengetahuan lokal berbasis adat. Pendidikan

formal yang menekankan keilmuan dan cara berpikir yang cenderung mengacu

pada Barat atau bercorak positivistis, intervensi pemodal yang hendak

mengeksploitasi ruang hidup masyarakat hukum adat Cigugur, dan juga intervensi

politis yang dialami oleh mereka.

4.4.2 Overt Culture

Tabel 4.7 Unit Informasi untuk Faktor Overt Culture

95
Informan Hasil Wawancara Unit Informasi

1. Struktur keluarga
“Pupuhunya Rama Djati memang
masyarakat hokum
mendidik kutub tersebut secara
adat Cigugur seperti
mendekati feodal, ketat, tetapi bukan
ketat seperti
dalam artian negatif.. Seperti di
keraton, serta
keraton.”
mendekati feodal
dalam pemaknaan
“Paseban itu eksklusif. Bahkan di
positif.
Cigugur sendiri, kiri-kanan itu bukan
2. Paseban Tri
anggota. Model saya deket rumah,
Panca Tunggal
cuma kita bergaul secara saling
Budayawan bersifat eksklusif,
menghormati.”
tetapi menghormati
perbedaan.
“Mereka kan punya sendi nilai sangat
3. Masyarakat
menghormati orang tua. Saya pikir
hukum adat
sendi nilai itu sangat kuat dibanding
Cigugur memiliki
relasi manusia modern dengan orang
sendi nilai sangat
tua. Dari rengkuh, tata krama,
menghormati orang
budaya Sunda yang sebetulnya dalam
tua yang berbeda
bahasa ada undak-usuk.”
dengan masyarakat
modern.
1. Struktur keluarga
adat tidak
dimaksudkan untuk
“Ini bukan masalah nepotisme, tapi
melakukan
cara orang tua kami untuk mendidik
nepotisme.
kami semua, membimbing, ngaping.
2. Keluarga adat
Bukan pemimpin, tapi pangaping.
ada untuk
Mendampingi, gitu ya. Bukan
menyiapkan
memimpin.”
pendampingan pada
Kepala Adat masyarakat hukum
Masyarakat adat.
Hukum Adat “Kita mah simple aja. Hidup juga 1. Masyarakat
Cigugur begitu mudah Tuhan berikan. Kenapa hukum adat
kita tidak mempermudah hidup kita Cigugur
untuk bisa menerima orang lain. menekankan hidup
Bersahabat dengan batin kita, dengan sederhana dan
jiwa kita, dengan keadaan kita. Jadi menerima
tinggal ngajalankeun hirup mah. perbedaan.
Kitu.” 2. Pewarisan
pengetahuan tidak
“Enggak banyak kitab. Tapi saya sebatas melalui
mencoba kitab hayat saya. Saya kitab tertulis,

96
terlahir menjadi perempuan, saya melainkan menjadi
menjadi anak kedua orang tua saya, teladan dalam
saya menjadi bagian dari masyarakat hidup.
Cigugur yang berlatar belakang 3. Masyarakat
tradisi budaya dan adat Sunda, saya hukum adat
menjadi bagian dari masyarakat Cigugur
Indonesia. Lima ini bukan pilihan menekankan
saya. Lima ini Tuhan yang berikan pentingnya
kepada saya … Mungkin dari lima memaksimalkan
inilah yang Tuhan ingin bisa saya penerimaan dan
pertanggungjawabkan.” penjagaan
identitasnya.
“Apa sih implementasinya dari 4. Masyarakat
falsafah negara Indonesia? Karena hukum adat
Indonesia juga kalau tidak ada yang Cigugur menyadari
memertahankan kesundaannya, bahwa keragaman
Jawa-nya, ini gak akan ada Indonesia identitas budaya
lagi. Gak akan ada. Jadi kami tuh adalah pertahanan
sebetulnya tinggal di sebuah negara terakhir eksistensi
dengan kebijakan pemerintah yang kebangsaan.
tidak menyadari bahwa kami adalah 5. Masyarakat
benteng terakhir pertahanan hukum adat
eksistensi kebangsaan.” Cigugur
memercayai bahwa
“Saya pikir innalillahi wa innailaihi mereka harus
rojiun, atanapi mulih ka jati mulang “kembali” dengan
ka asal. Saya terlahir jadi orang identitas yang utuh
Sunda, tidak harus balik seperti sebagaimana
orang Kanada. Siapa pun itu. Mau diberikan sejak lahir
orang Arabnya, mau orang Mesirnya, melalui ungkapan
mau orang Inggrisnya, mau orang mulih ka jati
Cinanya.” mulang ka asal.
6. Kitab Sunda
“Sumber ajaran itu kan ada yang Wiwitan mengacu
secara tutur ada yang secara tertulis. pada naskah-naskah
Yang tertulis itu sebetulnya dari Sunda Kuno seperti
naskah-naskah Sunda Kuno juga Sanghyang Siksa
begitu banyak. Dari Siksa Kanda ng Kanda ng Karesian,
Karesian, Amanat Galunggung, dan Amanat
lain sebagainya. Kemudian juga Galunggung, dan
kebetulan karena Pangeran Madrais sebagainya.
yang membangkitkan kembali 7. Pangeran
kesadaran untuk melestarikan Madrais banyak
spiritualitas lokal, beliau banyak menulis manuskrip.
menulis dalam tulisan tangan dan itu 8. Tulisan Pangeran
sudah masuk ke dalam manuskrip, Madrais kurang

97
naskah kuno. Dia juga punya tulisan, lebih ada 150.000
aksara yang sangat mandiri, dan lembar yang
kurang lebih ada 150.000 lembar sebagian sudah
manuskrip yang kita punya, dan yang didigitalisasi.
sudah didigitalisasi oleh British 9. Pewarisan
Library 30.000 lembar, oleh pengetahuan
DREAMSEA 30.000 lembar. Jadi berpedoman pada
sebetulnya sudah bisa diakses naskah terulis,
sepertinya tulisan tangan Pangeran tetapi
Madrais di internet itu.” pemahamannya
disampaikan
“Patokannya itu pasti dari yang melalui tutur.
tertulis, tapi untuk memantapkannya 10. Ada seni
sendiri adalah melalui bagaimana bertutur dalam
kita memberi pemahaman- budaya Sunda yang
pemahaman secara tutur. Karena disebut sebagai
bagaimana pun, hukum adat itu tidak siloka, atau bahasa
tertulis, ada ko yang tertulis. Ada simbolis.
yang tersurat ada yang tersirat. Itu.
Yang tersirat sendiri sebetulnya
kalau untuk leluhur-leluhur kita
zaman dulu, untuk menasihati atau
memberikan pemahaman terhadap
keturunan atau terhadap lingkungan
dan lain sebagainya, lebih banyak
menggunakan simbol, siloka. Jadi
bukan dengan kata yang dogma,
kamu tidak boleh begini kamu tidak
boleh begitu. Tapi lebih pada ke
simbol.”

1. Masyarakat
“Saya memang bukan kelahiran hokum adat
tanah ini, tapi selama 3-4 tahun ini Cigugur yang tidak
saya sudah makan dan minum dari lahir di wilayah
tanah ini, dan saya siap mati untuk Sunda begitu
Tokoh tanah ini.” memertahankan
Masyarakat identitas barunya.
Hukum Adat
Cigugur

98
1. Generasi
masyarakat hokum
“Kalau generasi saya, kita sudah adat Cigugur mulai
mulai harus bicara lebih rasional, berbicara lebih
bukan lagi mitos. Jadi seperti rasional, bukan lagi
misalnya pohon apa. Kalau saya di mitos.
sini kan, saya nih suara gak bagus, 2. Pewarisan
jadi kalo mau nyanyi juga jelek, pengtahuan juga
mamaos gak laku. Di sini dilakukan melalui
senimannya bagus-bagus, jadi saya berbagai bentuk
lebih ke misalnya ngajak anak kesenian dan kajian
meditasi, sejarah, seperti itu.” spiritualitas,
kesejarahan, dan
lain-lain.
“Di Cigugur kan ada banyak
penganut ya. Mungkin sudah baca
materinya dari profil kemarin. Ada
1. Masyarakat di
yang menganut agama Islam,
Kelurahan Cigugur
Protestan, Katolik, Hindu, Budha,
Kepala heterogen, dan
dan juga Kepercayaan. Tapi dengan
Kelurahan meski demikian
adanya komunikasi dan sikap
Cigugur tetap menjaga
kegotongroyongan, masyarakat jadi
kebersamaan dan
bersatu. Tidak ada diskriminasi. Ada
toleransi.
koordinasi dan bersatu. Kalau ada
apa pun bergotong royong,
kerjasamanya bagus.”
Sumber: Hasil Wawancara (2021)

Berdasarkan unit informasi di atas, maka didapatkan beberapa informasi

mengenai faktor-faktor yang membuat kearifan ekologis masyarakat hukum adat

Cigugur bertahan dalam kerangka overt culture yang terdiri dari (a) struktur

keluarga adat; (b) penjagaan identitas adat; dan (c) terpeliharanya ajaran tekstual.

a. Struktur Keluarga Adat

Ruang pewarisan nilai paling dasar adalah keluarga. Hal ini memungkinkan

keluarga menjadi garda terdepan dalam upaya memertahankan nilai-nilai kearifan

ekologis masyarakat hukum adat Cigugur. Hal ini dapat dilihat dari struktur

kepemimpinan adat yang ada. Stuktur kepemimpinan adat ini terdiri dari beberapa

99
posisi, yakni (1) Pupuhu Adat, (2) Girang Pangaping Adat, (3) Ais Pangaping Adat,

(4) Kokolot, (5) Girang Serat, (6) Panitén, dan (7) Candoli. Untuk Pupuhu Adat

dipegang oleh keturunan Pangeran Madrais langsung, yakni anak laki-laki pertama.

Saat ini dipegang oleh Pangeran Djatikusumah, sebelumnya dipegang oleh

Pangeran Tedjabuana, anak dari Pangeran Madrais. Untuk Girang Pangaping Adat

dipegang oleh anak-anak dari Pupuhu Adat. Jabatan kedua, yakni Girang Pangaping

Adat, juga dipilih dari keturunan Pangeran Madrais, dan untuk jabatan yang lain

dipegang oleh anggota masyarakat hukum adat lain melalui permusyawarahan di

waréh (wilayah)-nya masing-masing.

Ada alasan tertentu yang membuat posisi Pupuhu Adat dan Girang

Pangaping Adat dipegang oleh keturunan Pangeran Madrais. Hal ini terkait dengan

konsolidasi anggota masyarakat adat yang tersebar di berbagai wilayah dan tidak

terpusat di daerah Cigugur. Ada upaya menjaga “pendidikan” bagi pemegang

jabatan vital seperti Pupuhu Adat dan Girang Pangaping Adat, yang dengan

demikian membuat keluarga Pangeran Madrais “terjaga” kapasitasnya untuk

memelihara komunitas adat Cigugur ini, dan bukan semata-mata karena

mempertahankan kekuasaan dalam komunitas adat.

Gambar 4.9 Struktur Keluarga Masyarakat Hukum Adat Cigugur


(Sumber : Analisis Data, 2021)

100
Artinya ada semacam hierarki yang menjadi sistem untuk menanamkan

kesadaran pada individu masyarakat hukum adat Cigugur untuk bergotong royong

dalam mempertahankan kearifan lokalnya. Meski demikian, sistem semacam ini,

yang memberikan kesan feodal, tidaklah dimaksudkan untuk menciptakan kelas

sosial dalam komunitas masyarakat hukum adat Cigugur, melainkan sebagai suatu

bentuk pendidikan untuk menyiapkan individu-individu tertentu yang siap

mendampingi masyarakat hukum adat Cigugur secara umum.

Jadi meskipun bersifat hierarkis, masyarakat hukum adat Cigugur

sebenarnya tidak memperlakukan anggota komunitasnya sebagai bawahan, apalagi

abdi, melainkan sederajat. Hanya saja ada tugas-tugas khusus yang dimiliki oleh

keturunan Pangeran Madrais dalam konteks menggerakkan komunitas masyarakat

hukum adat Cigugur ini. Hal ini tercermin bagaimana masyarakat hukum adat

Cigugur yang berada di waréh lain berdatangan secara bergiliran ke Paseban Tri

Panca Tunggal untuk melakukan kegiatannya.

Dalam hal ini pewarisan nilai-nilai kearifan ekologis juga begitu lekat

ditanamkan melalui pendidikan keluarga. Permana (2020 : 91) menjelaskan bahwa

model pewarisan parental learning adalah proses pembelajaran pengetahuan secara

vertikal (vertical transmission) dari orang tua kepada anak-anaknya dengan cara

melibatkan anak-anak dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dan

mengenalkan kepada mereka keragaman jenis tumbuhan, satwa, dan keragaman

lingkungan. Cara lainnya adalah orang tua suka menceritakan pengalaman dalam

mengelola sumberdaya alam seperti bertani, berladang, dan berburu satwa kepada

anak-anaknya. Peer learning adalah proses pembelajaran pengetahuan pada masa

101
remaja secara horisontal (horizontal transmission) dar teman sebaya melalui tukar

menukar pikiran dan informasi. Sedangkan pada masa dewasa hingga tua terjadi

pembelajaran pengetahuan oleh masing-masing individu secara mandiri (indiviual

learning) dengan melakukan trial-error secara langsung dalam mengenali dan

mengelola sumberdaya alam di daerahnya.

Berangkat dari sana, sistem pewarisan nilai-nilai kearifan ekologis

masyarakat hukum adat Cigugur dilakukan dengan model pewarisan parental

learning, yakni proses penanaman pengetahuan secara vertikal (vertical

transmission) dari orang tua kepada anak-anaknya dengan cara melibatkan anak-

anak dalam pengelolaan sumberdaya alam dan mengenalkan mereka keragaman

jenis tumbuhan, satwa, dan keragaman lingkungan dalam koridor nilai-nilai

kearifan ekologis yang memuat paham tradisional masyarakat hukum adat Cigugur.

b. Penjagaan Identitas Adat

Identitas budaya dapat didefinisikan sebagai rincian karakteristik atau ciri-

ciri kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-

batasnya (Liliweri, 2002 : 41-45). Identitas budaya masyarakat hukum adat Cigugur

juga memiliki batasan-batasan perbedaan kulural antara komunitas mereka dan

komunitas masyarakat umum di luar kelompoknya. Karakteristik ini tentu tidak

merupakan karakteristik fisik-biologis, melainkan cara berpikir, pola hidup,

kepercayaan, dan lain semacamnya.

Menjadi bagian dari masyarakat hukum adat di tengah-tengah pusaran

modernitas tentu bukan hal mudah. Penerimaan dari masyarakat luar juga seringkali

tidak sesuai dengan harapan masyarakat hukum adat. Stigma negatif, diskriminasi,

102
dan lain semacamnya tidak jarang menjadi tantangan berat bagi anggota masyarakat

hukum adat untuk mempertahankan identitasnya.

Meski ada perbedaan identitas, masyarakat hukum adat Cigugur dapat

berbaur dengan masyarakat umum yang ada di wilayah Cigugur. Hal inilah yang

mencerminkan bahwa masyarakat hukum adat Cigugur memiliki daya lenting yang

baik dalam penyesuaian diri dengan masyarakat umum. Hal yang sama juga

dilakukan oleh masyarakat umum yang menerima perbedaan, misalnya keyakinan,

masyarakat hukum adat Cigugur. Eksklusivisme yang digenggam oleh masyarakat

hukum adat Cigugur lebih kepada ajaran leluhur beserta ritual-ritual tertentu, tetapi

dalam menjalani hidup, masyarakat hukum adat relatif terbuka.

Penanaman nilai-nilai toleransi ini, yang sekaligus juga pada penerimaan

akan identitas diri, disampaikan dengan ajaran “kitab hayat”. “Kitab hayat” yang

dimaksudkan adalah laku hidup personal, yang artinya setiap figur orang tua

masyarakat hukum adat Cigugur mengajarkan bagaimana menerima identitas diri

sendiri sebagai masyarakat hukum adat sekaligus menerima identitas masyarakat

umum dengan memberikan contoh atau tauladan.

Dalam upaya menjaga identitas adat ini, masyarakat hukum adat Cigugur

melakukan “pendidikan” yang ketat, terutama untuk garis keturunan Pangeran

Madrais yang kelak menduduki posisi Pupuhu Adat dan Girang Pangaping Adat

yang mendampingi masyarakat hukum adat Cigugur secara keseluruhan. Salah satu

bukti pendidikan khusus ini terlihat dari bagaimana anak-anak begitu menghormati

orang tuanya.

103
Dalam budaya Sunda, ada yang dinamakan undak-usuk, yang artinya adalah

“aturan” atau “tata krama”. Hal ini tercermin misalnya dalam bahasa. Seorang anak

tidak bisa sembarangan berbahasa dengan orang tuanya. Ada tingkatan bahasa yang

harus diperhatikan. Misalnya ketika mengatakan makan, maka seorang anak tidak

bisa menyebutkan kata madang atau dahar, karena itu biasanya digunakan untuk

orang sebayanya. Untuk orang yang lebih tua atau dihormati, biasanya seorang anak

akan menyebutkan kata tuang.

Gambar 4.10 Panduan Praktis Tradisi Masyarakat Hukum Adat Cigugur


(Sumber : Dokumentasi Lapangan, 2021)

Masyarakat hukum adat Cigugur memiliki kesadaran untuk memertahankan

identitasnya, baik itu sebagai laki-laki atau perempuan, kemudian sebagai seorang

anak, sebagai bagian dari masyarakat hukum adat dengan latar belakang

kebudayaan Sunda, dan juga menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Penjagaan

104
identitas ini, yang pada gilirannya terarah pada kesadaran kebangsaan, membuat

masyarakat hukum adat Cigugur menyadari bahwa mereka harus tetap menjadi

dirinya sendiri di tengah-tengah perbedaan.

Masyarakat hukum adat Cigugur menyadari bahwa identitas etnik

merupakan bagian integral dari terbentuknya identitas kebangsaan Indonesia.

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural, dan pluralitas ini hanya akan bisa

bertahan apabila masing-masing dari masyarakat etnik mampu mempertahankan

identitasnya.

Identitas diri adalah niscaya, dan hal itu adalah sesuatu yang dianggap oleh

masyarakat hukum adat Cigugur sebagai sesuatu yang harus

dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban ini secara konkret adalah dengan

pemeliharaan dan bukan meninggalkan akar kebudayaannya sendiri dengan

mengikuti arus modernisme yang pada gilirannya melahirkan anonimitas. Adagium

mulih ka jati mulang ka asal merupakan suatu keyakinan bagi masyarakat hukum

adat Cigugur untuk menerima identitas yang diberikan oleh Tuhan dan kemudian

memeliharanya hingga akhir hayat.

Seperti yang termaktub dalam ajaran Tri Tangtu atau Pikukuh Tilu mereka,

penjagaan identitas adat dilakukan dengan cara tetap bertahan dengan cara-ciri

manusa, yakni mengkaji secara terus menerus identitas dirinya sendiri sebagai

manusia yang ditandai dengan sifat welas asih welas asih (cinta kasih), undak-usuk

(tatanan dalam keluarga), tata krama (tatanan perilaku), budi bahasa dan budaya,

serta wiwaha yudha naradha (sifat dasar manusia yang selalu memerangi sesuatu

sebelum melakukannya). Penjagaan ini juga melebar pada kajian kesadaran sebagai

105
bangsa melalui cara-ciri bangsa yang ditandai dengan rupa, adat, bahasa, aksara,

dan budaya.

Selain daripada menjaga identitasnya dalam arus modernitas dan juga

keragamaan identitas di Indonesia, mereka juga harus terus berusaha bertahan dari

perilaku yang tidak adil dalam urusan administrasi. Dalam urusan administrasi

kependudukan mereka kesulitan untuk mencantumkan Sunda Wiwitan di kolom

agama di KTP sebagai “lainnya”, dan pernah ada kejadian agama mereka diisi

secara acak oleh petugas menjadi Islam, Kristen, dan lain-lain tanpa persetujuan

mereka. Kesulitan administratif ini juga dialami oleh masyarakat hukum adat

Cigugur yang hendak menguruskan legalitas pernikahannya, tetapi mereka menuai

kesulitan. Karena sulitnya mengurus surat nikah, akhirnya anak-anak mereka juga

kesulitan untuk mengurus akta kelahiran dan ada beberapa kasus ditulis sebagai

anak yang lahir dari hubungan tidak resmi. Hal ini tentu saja memberikan pukulan

pada masyarakat hukum adat Cigugur. Meski demikian, mereka tetap teguh

menjaga identitasnya.

c. Terpeliharanya Ajaran Tekstual

Salah satu sumber ajaran tulisan yang diacu oleh masyarakat hukum adat

Cigugur adalah kitab Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian, Amanat Galunggung,

dan lain-lain. Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian merupakan sebuah naskah

Sunda buhun (kuno) yang ditulis pada tahun 1440 Saka (kalender Sunda) atau

sekitar 1518 Masehi. Kitab Siksa Sanghyang Kanda ng Karesian disebut Kropak

630 oleh Perpustakaan Nasional Indonesia. Menurut Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan (1992-1993 : 5) naskah kuno Jawa Barat “Siksa Kanda Karesian”

106
mengungkap gambaran masyarakat dan kebudayaan pada masa Prabu Siliwangi,

kurang lebih pada awal abad ke-16, meskipun sifatnya masih fragmentaris.

Sementara itu Amanat Galunggung adalah nama dari naskah-naskah Sunda

kuno yang ada di Kabupaten Garut. Naskah ini diperkirakan disusun pada abad ke-

15 dan konon naskah ini lebih tua dari Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian. Selain

itu, ada banyak sumber tulisan Pangeran Madrais sendiri yang dijadikan sumber

pedoman hidup masyarakat hukum adat Cigugur.

Gambar 4.11 Naskah yang Masih Dipelihara


(Sumber : Dokumentasi Lapangan, 2021)

Tulisan Pangeran Madrais memiliki kemiripan dengan aksara Cacarakan,

tetapi ada beberapa perbedaan. Tulisan-tulisan tersebut, menurut Ibu Emmy Ratna

Gumilang, putri kedua Pangeran Djatikusumah, menggunakan bahasa campuran

bahasa Jawa, Sunda, Cirebon, dan Melayu. Ditulis pada kurun waktu antara tahun

107
1869-1932. Menurut PikiranRakyat.com (2018) Tim Pelaksana program Digital

Repository if Endangered and Affected Manuscript in Southeast Asia

(DREAMSEA) mendokumentasikan naskah-naskah kuni manuskrip karya tulis

tangan Pangeran Madrais, di geung Paseban Tri Panca Tunggal, Kelurahan

Cigugur, Kabupaten Kuningan. Pedokumentasian digital isi manuskrip tersebut

sudah berlangsung hingga tanggal 31 Oktober 2018. Sementara untuk digitalisasi

manuskrip tulisan Madrais sebanyak 30.000 lembar lainnya telah dilakukan oleh

British Library pada tahun 2017.

Dalam budaya Sunda dikenal budaya tutur untuk mewariskan nilai-nilai

tradisionalnya. Budaya tutur tersebut umumnya bersifat sastrawi. Ada banyak

bentuknya, dan yang paling umum dikenal serta digunakan adalah siloka. Siloka

sendiri memiliki makna carita pesékeun (cerita yang perlu dikupas).

Iskandarwassid (1992 : 143) menjelaskan siloka sebagai berikut:

“Siloka disebut di dieu lantaran mindeng dikeunakeun ka na karya sastra,


boh sabagian boh sagembléngna, anu eusina mangrupa sasmita atawa
perlambang ajén-ajén kahirupan anu leuwih utama, kawaluyaan hirup,
hirup walagri, niat jeung laku-lampah hadé, jsté.”

Artinya:

“Siloka disebut di sini karena sering digunakan dalam karya sastra, baik
sebagian atau seluruhnya, yang isinya berupa sasmita atau perlambang dari
nilai-nilai kehidupan yang lebih utama, keselamatan hidup, hidup teratur,
niat dan perilaku yang baik, dan lain-lain.”

Salahudin (2015 : 25) menjelaskan bahwa siloka adalah semacam ungkapan

yang dikemas dalam bentuk simbol atau metafora. Tentu setiap siloka bukan hanya

memberikan tafsir yang beragam, namun juga dapat mendatangkan salah

pengertian ketika dimaknai secara keliru dan serampangan.

108
Intinya siloka adalah bahasa simbolis yang sering digunakan oleh

masyarakat Sunda, tak terkecuali masyarakat hukum adat Cigugur dalam

berkomunikasi. Namun komunikasi di sini tidak berarti dalam setiap komunikasi

masyarakat hukum adat Cigugur akan menggunakan siloka, melainkan siloka

menjadi bagian tak terpisahkan dalam khazanah bahasa Sunda. Umumnya siloka

banyak ditemukan dalam pepatah, cerita-cerita, lirik-lirik dalam kesenian, dan

sebagainya. Contoh siloka adalah “hérang caina beunang laukna,” artinya adalah

“jernih airnya, dapat ikannya.” Pepatah yang mengandung siloka ini biasanya

digunakan untuk menasihati, misalnya agar orang tidak berusaha memperkaya diri

dengan merusak hutan yang hanya akan “memperkeruh kehidupan semua orang”.

Dewasa ini, arus informasi sudah tidak bisa terbendung dan tersalurkan

kepada setiap orang melalui gawainya. Dengan demikian siloka yang biasa

digunakan untuk menuturkan nilai-nilai kehidupan menjadi sulit diterima karena

adanya berbagai perbandingan kebudayaan di luar sana, yang memang relatif lebih

“terus terang” dan “masuk akal”. Pada akhirnya, masyarakat hukum adat Cigugur

sekalipun memerlukan suatu penyesuaian baru, yakni dengan memberi penjelasan-

penjelasan logis dari pepatah-pepatah yang mengandung siloka tersebut.

Selain mengubah siloka menjadi bahasa yang lebih “logis” dan tidak

memiliki makna ganda, peran teknologi juga dimaksimalisasikan untuk menunjang

proses pengajaran nilai-nilai tersebut. Metode “ceramah” atau pembicaraan satu

arah bukan lagi metode yang relevan untuk dipergunakan pada generasi masyarakat

hukum adat Cigugur yang memang hidup di era komunikasi digital. Pada akhirnya,

penyesuaian metode dan teknologi penunjang lainnya tidak dapat dihindari.

109
Implementasi ajaran tekstual tersebut hadir dalam kegiatan tradisional

masyarakat hukum adat Cigugur dalam menata pola bermasyarakatnya. Hal ini

misalnya tercermin dalam tata cara mereka melakukan upacara kematian,

pernikahan, dan lain sebagainya dalam komunitas masyarakat mereka. Tata cara

prosesi tersebut tentu berbeda dengan tata cara prosesi pada masyarakat umum yang

memiliki latar belakang agama atau kebudayaan tertentu. Selain itu, implementasi

ini juga tercermin dalam tradisi kesenian mereka yakni dalam tarian seperti Tari

Buyung, guguritan (puisi yang dinyanyikan), dan lain semacamnya. Implementasi

ajaran tekstual yang cukup presisi hadir dalam rangkaian upacara adat Seren Taun

yang berisi berbagai macam komponen kesenian sesuai dengan panduan tertulis

yang diwariskan secara turun temurun dan dipelihara di Paseban Tri Panca Tunggal.

110
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Nilai dan Makna Hutan dalam Perspektif Masyarakat Hukum Adat Cigugur

Masyarakat hukum adat Cigugur memiliki tiga kesadaran, yakni kesadaran

ketuhanan (transendensi) atau habluminallah, kesadaran kemanusiaan (humanisasi)

atau habluminannas, dan kesadaran lingkungan (ekologi) atau habluminallam. Tiga

kesadaran ini bertolak dari konsep Tri Tangtu dalam kebudayaan Sunda.

Masyarakat hukum adat Cigugur memandang hutan sebagai kabuyutan dan

representasi Tuhan. Hutan dimaknai pula sebagai sebuah sistem yang terhubung

dengan manusia dalam konsep jagat ageung (makrokosmos) dan jagat alit

(mikrokosmos). Hal ini mencerminkan paradigma holistis masyarakat hukum adat

Cigugur.

2. Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat Cigugur

Pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat Cigugur meliputi zonasi

hutan berdasarkan hukum adat yang mengacu pada filsafat Tri Tangtu yang

membagi zona hutan ke dalam tiga bagian: (1) leuweung larangan yakni hutan

larangan tempat mata air atau fungsi-fungsi tertentu yang dilarang diakses, (2)

leuweung tutupan yakni hutan transisi, dan (3) leuweung baladahan yakni hutan

produksi yang memiliki fungsi ekonomis untuk penanaman, meski demikian zona

ini tetap tidak memperbolehkan penebangan pohon keras. Tanah pertanian pun

dilarang untuk dijual karena kedekatan mereka dengan kehidupan agraria dan

111
kesadaran kultural mengenai mitos dewi pertanian, Pwah Aci Sanghyang Asri dan

kesadaran investatif untuk mempertahankan tanah yang harganya selalu meningkat.

Beberapa flora dan fauna seperti Ikan Dewa (Tor douronensis), pohon dangdeur

(Ceiba pentandra) dan pohon rasamala (Altingia excelsa) tidak diperbolehkan

untuk diganggu atau ditebang karena pertimbangan adat.

3. Faktor-Faktor yang Membuat Kearifan Ekologis Masyarakat Hukum Adat

Cigugur Bertahan

Faktor-faktor yang membuat kearifan lokal mereka bertahan ditinjau dari

dimensi covert culture yang meliputi (1) penghormatan pada nilai-nilai budaya

Sunda melalui pedomannya pada filsafat Tri Tangtu dan (2) relevansi kearifan

ekologis dengan zaman yang mengaktualisasikan pengelolaan hutan tradisional

dengan pengelolaan hutan kontemporer, serta dimensi overt culture yang meliputi

(1) struktur keluarga adat yang mewariskan nilai-nilai kearifan ekologis melalui

model parental learning, yakni proses penanaman pengetahuan secara vertikal

(vertical transmission), (2) penjagaan identitas adat melalui penerimaan identias

kolektif dan pelestarian tradisi, dan (3) terpeliharanya ajaran tekstual melalui

berbagai upaya dokumentasi (digitalisasi) dan aktualisasinya dalam sikap hidup

keseharian.

5.2 Saran

1. Untuk Pemerintah

Kearifan ekologis masyarakat hukum adat Cigugur perlu diketahui secara

meluas di jajaran pemerintahan, khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten

112
Kuningan, guna memiliki kesadaran pengelolaan hutan yang lebih sesuai dengan

kebutuhan faktual geografis dan kultural-historis setempat. Hal ini penting

menimbang begitu banyak nilai-nilai lokalitas yang besar kemungkinannya tidak

memiliki peran signifikan dalam pengaturan hukum konstisusi dan Peraturan

Daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan.

2. Untuk Masyarakat Umum

Masyarakat umum, khususnya di Kabupaten Kuningan, perlu mengetahui

nilai-nilai kearifan ekologis masyarakat hukum adat Cigugur menimbang

pengetahuan ini berkaitan dengan etnisitas mayoritas masyarakat di Kabupaten

Kuningan. Kearifan ekologis ini berfungsi untuk memandang alam, terutama hutan,

dengan penuh kearifan sebagai upaya preventif eksploitasi hutan karena kesalahan

cara berpikir.

3. Untuk Peneliti Selanjutnya

Ada cukup banyak bidang yang dapat dikaji lebih lanjut bertolak dari kajian

ini. Beberapa di antaranya adalah kajian konseptualisasi nilai-nilai adat masyarakat

hukum adat Cigugur melalui teks-teks asli budaya Sunda yang dapat dieksplorasi

ke dalam berbagai topik melalui ilmu filologi. Kajian lainnya dapat

dikonsentrasikan pada manajemen konflik terkait pembangunan yang terjadi di

sekitar kawasan Kelurahan Cigugur, dinamika wacana ekstrasi panas bumi, atau

pembangunan lain yang bersinggungan dengan nilai-nilai kearifan ekologis

masyarakat hukum adat Cigugur.

113
DAFTAR PUSTAKA

[PP] Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan


Kehutanan.

[UU] Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup.

[UU] Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Aditya, Y.A., 2013, Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Cigugur-Kuningan


dalam Pelestarian Lingkungan Hidup sebagai Sumber Belajar Geografi,
Tesis: Universitas Pendidikan Indonesia.

Agustiningsih, D.D., 2020, Seren Taun: Merawat Tradisi di Cigugur-Kuningan,


Yogyakarta: Penerbit Deepublish.

Arief, A., 2001, Hutan dan Kehutanan, Yogyakarta: PT. Kanisius.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuningan, 2019, Kecamatan Cigugur dalam


Angka 2019, Kuningan: BPS Kabupaten Kuningan.

Berkes, F., 1993, Traditional Ecological Knowledge in Perspective dalam Inglis,


J.T. (ed), Traditional Ecological Knowledge: Concept and Cases,
Canadian: International Program on Traditional Ecological Knowledge and
International Research Center.

Daeng, H.J., 2000, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan: Tinjauan


Antropologis, Daerah Istimewa Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992/1993, Siksa Kanda Karesian.


Jakarta: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.

Fitriana, R., 2008, Mengenal Hutan, Bandung: Putra Setia.

Hidayat dan Masturina (ed)., 2017, Eksistensi dan Resistensi Sunda Wiwitan di
Cigugur, Kuningan, Jakarta: Labsos Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Jakarta.

Hilmanto, R., 2010, Etnoekologi, Bandar Lampung: Penerbit Universitas Lampung.

Holihah, M., 2015, Kearifan Ekologis Budaya Lokal Masyarakat Hukum Adat
Cigugur sebagai Sumber Belajar IPS, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol.
24, No. 2, hal. 163-178.

114
Indrawardana, I., 2012, Kearifan Lokal Adat Masyarakat Sunda dalam Hubungan
dengan Lingkungan Alam, Komunitas, Vol. 4, No. 1, hal. 1-8.

Iskandarwassid, 1992, Kamus Istilah Sastra: Pangdeudeul Pangajaran Sastra


Sunda, Bandung: CV. Geger Sunten.

Jamaluddin, 2020, Kearifan Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Hutan Adat


Marena Desa Pekalobean Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang,
Skripsi: Universitas Muhammadiyah Makassar.

Johnson, L.M., 2010, Trail of Story, Traveller’s Path: Replections on Ethnoecolofy


and Landscape, Canada: AU Press.

Keraf, S.A., 2010, Etika Lingkungan Hidup, Jakarta: Kompas.

Keraf, S.A., 2014, Filsafat Lingkungan Hidup, Daerah Istimewa Yogyakarta: PT


Kanisius.

Komarudin, D., 2016, Bisnis Orang Sunda (Studi Teologi dalam Etika Bisnis Orang
Sunda), el Harakah, Vol. 18, No, 1, hal. 94-109.

Liliweri, A., 2002, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta:


LKIS.

Marfai, M.A., 2012, Pengantar Etika Lingkungan dan Kearifan Lokal, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Newing, H., dkk., 2011, Conducting Research in Conservation: Social Science


Methods and Practice, Routledge, London, dan New York.

Niapele, S., 2014, Bentuk Pengelolaan Hutan dengan Kearifan Lokal Masyarakat
Adat Tugutil (Studi Kasus Masyarakat Adat Tugutil di Dusun Tukur-tukur
Kecamatan Wasile Timur Kabupaten Halmahera Timur), Jurnal Ilmiah
Agribisnis dan Perikanan, Vol. 6, No. 3, hal. 63-72.

Permana, S., 2020, Etnoekologi: Pengetahuan, Pengelolaan, dan Konservasi Alam


Berbasis Masyarakat Lokal, Daerah Istimewa Yogyakarta: Graha Ilmu.

PikiranRakyat.com, 2018, DREAMSEA Digitalisasi Manuskrip Pangeran Madrais


(internet), https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-
01302492/dreamsea-digitalisasi-manuskrip-pangeran-madrais-431938
(diakses 23 Januari 2022).

Posey, D.A., 1999, Cultural and Spiritual Values of Biodiversity: A Complementary


Contribution to the Global Biodiversity Assessment, London: Intermediate
Technology Publications and UNEP.

115
Rosali, E.S., dan Adhiyasa, C., 2021, The Myth of The Fish God (Tor douronensis)
in The Perspective of Biocentrism, KaPIN: International Journal of
Education and Sociotechnology, Vol. 1, No. 3, hal. 48-53.

Salahudin, A., 2017, Sufisme Sunda, Bandung: Penerbit Nuansa.

Salam, R., 2017, Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Hutan di
Pulau Wangi-Wangi, Walasuji, Vol. 8, No. 1, hal. 113-128.

Sartini, 2004, Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafati, Jurnal
Filsafat, Vol. 37, No. 2, hal. 111-120.

Sumardjo, J., 2015, Sunda: Pola Rasionalitas Budaya, Bandung: Penerbit Kelir.

Sumarni dan Amirudin, 2014, Pengelolaan Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal,


Malam: Aditya Media Publishing.

Suparmoko, 1997, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Daerah Istimewa
Yogyakarta: BPFE.

Tendi, 2015, Sejarah Agama Djawa Sunda di Cigugur Kuningan 1939-1964, Tesis:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Thamrin, H., 2013, “Kearifan Lokal dalam Pelestarian Lingkungan (The Local
Wisdom in Environmental Sustainable)”, Kutub Khanah, Vol. 16, No. 1,
hal. 46-59.

Wulandari, N., R. Gunawan, dan D. Bandarsyah, 2019, Keberadaan Komunitas


Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) dalam Pelestarian Budaya
Sunda Wiwitan: Studi Kasus di Cigugur, Kuningan, Chronologia: Journal
History Education, Vol. 1, No. 2, hal. 33-53.

WWF Indonesia, 2012, Masyarakat Hukum Adat dan Konservasi, Kertas Posisi.

Yudana, G., I. Aliyah, dan R.P. Utomo, 2015, Pengelolaan Kawasan Gunung Lawu
Berwawasan Lingkungan dan Kearifan Lokal di Kabupaten Karanganyar,
CoUSD Proceedings, hal. 119-131.

116
Lampiran
Lampiran 1 Daftar Istilah Bahasa Sunda Masyarakat Hukum Adat Cigugur

A
Ageung Besar
Alit Kecil
Anggeus Beres, selesai
Aroteun Minuman
Ayeuna Sekarang

B
Badé Mau, akan
Baé Saja, biarkan
Balaréa Khalayak ramai
Balong Kolam
Baraya Saudara
Belut Bodas Belut putih, metafora bagi pipa-pipa
geothermal dalam uga yang diyakini
masyarakat hukum adat Cigugur
Béré Beri, méré (memberi)
Beunang Dapat
Biwir Bibir
Bodas Putih
Boh Atau
Boléd Ubi
Buncelik Melotot

C
Cainyusu Mata air
Ci Air
Curug Air terjun

D
Da Digunakan untuk mengekspresikan
penyangkalan
Dampal Telapak
Dia Kata lain dari sia, berarti kamu (kasar)
Dieu Sini
Di na Dalam
Dupi Kalau

E
Éta Itu
Eusi Isi

117
Euweuh Tidak ada

G
Gaduh Punya
Gélo Gila
Getih Darah
Gusti Tuhan
Gusti Sikang Sawiji-wiji Tuhan yang Satu-satunya, Tuhan yang Maha
Esa

H
Hadé Bagus, baik
Hakan Makan (kasar)
Halodo Kemarau
Henteu Tidak
Hérang Jernih, bening
Hiber Terbang
Hideung Hitam
Hyang Eksistensi spritual tak kasatmata, biasanya
memiliki kekuatan adikodrati atau
supernatural

I
Istrén Lantik, ngistrénan (melantik)

J
Jadi Jadi
Jangjang Sayap
Jelema Manusia, orang
Jeung Sama, dengan, dan
Jiga Seperti
Jurig Hantu, setan

K
Ka Ke, pada
Kabuyutan Tempat yang sakral
Kahirupan Kehidupan
Kanggo/Kanggé Untuk, pada
Kaprak Jelajah, ngaprak (menjelajah)
Kapungkur Dulu, dahulu
Karana Ucapan, pikiran
Karuhun Leluhur
Kawasa Tindakan, tenaga, kuasa
Kawas Seperti
Kedah Harus
Kénéh Masih, saja

118
Kérék Mendengkur (tidur)
Keresa/Keresaning Kehendak
Kila-kila Totondén, berarti tanda-tanda (alam)
Kitu Begitu
Ku Oleh, sama
Kunaon Kenapa

L
Lantaran Karena
Lebur Hancur
Lemah cai Tanah air/kampung halaman
Leres Benar, betul
Leungit Hilang
Leuweung Hutan
Leuweung Baladahan Hutan yang diperuntukan untuk diolah oleh
masyarakat, hutan dengan fungsi ekonomi.
Leuweung Larangan Hutan terlarang yang dikeramatkan dan
biasanya tidak boleh, apalagi dirusak.
Leuweung Leutik Secara harfiah berarti “hutan kecil”.
Leuweung Leutik adalah nama dari hutan
adat milik masyarakat hukum adat Cigugur
Leuweung Tutupan Hutan reboisasi
Leuwi Cekungan yang dalam, dangkal, sungai
Luhur Atas

M
Mamala Bencana, malapetaka
Mamaos Tembang, nyanyian
Mandala Gunung
Mangga Silakan
Manuk Burung
Mastaka Kepala
Maung Macan
Ménak Ningrat, bangsawan, orang terpandang
Mindeng Sering
Moal Tidak akan
Mulih Pulang, kembali
Munjung Berterima kasih, bersyukur

N
Naros Bertanya
Neda Makan (untuk sebaya)
Ngaing Kata lain dari aing, berarti aku (kasar)
Ngaprak Menjelajah
Ngarangrangan Tandus, kekeringan
Ngora Muda

119
Nu Yang
Numawi Itu sebabnya
Nu Ngersakeun Yang Menghendaki
Nyiru Sunting
Nyolok Mencolok, mencoblos
Nyungcung Menjulang

P
Pageuh Kuat (untuk ikatan atau pasak), pamageuh
(pengikat, penguat)
Pamali Tabu, pantangan, atau larangan
Pan Kan
Pangaping Pendamping
Patanjala Dewa Hujan, tetapi digunakan juga untuk
menamai suatu rancangan Perda di
Kabupaten Kuningan mengenai tata kelola air
berbasis kearifan tradisional.
Peueut Nira
Piara Pelihara
Punten Permisi, maaf
Puseur Pusat

R
Rumasa Merasa

S
Saat Kering, surut
Sabilulungan Gotong royong, kebersamaan, solidaritas
Saha Siapa
Sanés Bukan
Sanghyang Dewa, sesuatu yang agung, suci, atau spritual.
Sapertos Seperti
Sareng Sama, dan, dengan
Sasajén Sesajen
Sérep Cadangan
Sepuh Tua, sesepuh (tetua)
Sieun Takut, nyingsieunan (menakut-nakuti)
Siloka Bahasa yang dipenuhi simbol
Sirah Kepala
Sok Suka, sering, digunakan juga untuk
menyilakan

T
Taleus Talas
Tangkal Pohon
Tapa Tapa, meditasi

120
Tepang Kenal, nepangan (menemui)
Teu Kependekan dari henteu, berarti tidak
Teu acan Belum
Téwak Tangkap, néwak (menangkap)
Tikoro Tenggorokan
Tilu Tiga
Tuang Makan (halus)

U
Udag Kejar, ngudag (mengejar)
Uga Pepatah yang berisi prediksi sebab-akibat
Ulah Jangan
Urang Kita, kami, saya (tergantung konteks)

W
Wareg Kenyang
Waréh Wilayah
Waruga Badan

121
Lampiran 2 Izin Penelitian

122
Lampiran 3 Gambar Penelitian

(Sumber: Dokumentasi Lapangan, 2021)

123
Lanjutan :

(Sumber: Dokumentasi Lapangan, 2021)

124
Lampiran 4 Peta Penggunaan Lahan Kelurahan Cigugur

125
Lampiran 5 Daftar Nama Informan

Waktu
No Nama Informan Usia Profesi
Wawancara
50 21 November
1 Juwita Jatikusumah Putri Girang Pangaping Adat
Tahun 2021
2 dan 3
50
2 Okky Satrio Girang Pangaping Adat Desember
Tahun
2021
45 3 Desember
3 Aang Andara Petani Hutan
Tahun 2021
57 27 Oktober
4 Ebo, S.Sos. Lurah Cigugur
Tahun 2021
41 28 Oktober
5 Pandu Hamzah Budayawan
Tahun 2021

126
Lampiran 6 Pedoman Wawancara Mendalam

PEDOMAN WAWANCARA
Kearifan Lokal Masyarakat Hukum Adat Cigugur dalam Pengelolaan Hutan
di Kabupaten Kuningan (Kajian Studi Etnoekologi)

1. Bagaimana nilai dan makna hutan dalam perspektif masyarakat hukum adat
Cigugur?
a. Bagaimana masyarakat hukum adat Cigugur memaknai alam?
b. Apa pengertian hutan dalam perspektif masyarakat hukum adat
Cigugur?
2. Bagaimana pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat Cigugur?
a. Bagaimana upaya perlindungan hutan adat Cigugur?
1) Bagaimana aturan adat yang mengatur mengenai perlindungan
hutan?
2) Bagaimana tradisi perlindungan hutan yang ada?
b. Bagaimana upaya pemanfaatan hutan oleh masyarakat hukum adat
Cigugur?
1) Bagaimana aturan adat yang mengatur mengenai pemanfaatan
hutan?
2) Bagaimana tradisi pemanfaatan hutan yang ada?
3. Mengapa nilai-nilai kearifan lokal masyarakat hukum adat Cigugur masih
bertahan hingga kini?
a. Apa saja sumber ajaran yang digunakan masyarakat hukum adat
Cigugur?
b. Bagaimana sistem pewarisan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat
hukum adat Cigugur?
4. Bagaimana upaya memertahankan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat
hukum adat Cigugur dalam pengelolaan hutan?

127

Anda mungkin juga menyukai