Tesis
untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Sarjana S2
Program Studi Magister Ilmu Lingkungan
diajukan oleh :
Candrika Adhiyasa
19/453311/PMU/10192
kepada
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2022
ii
iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PERBAIKAN NASKAH TESIS
Menyetujui
Dosen Pembimbing 1
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PERBAIKAN NASKAH TESIS
Menyetujui
Dosen Pembimbing 2
v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PERBAIKAN NASKAH TESIS
Menyetujui
Dosen Penguji 1
vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PERBAIKAN NASKAH TESIS
Menyetujui
Dosen Penguji 2
vii
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang mendalam saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha
Sublim, yang mewedarkan dirinya dalam alam dan dalam segala entitas yang ada
di alam semesta ini. Karena kehendak-Nya, penulis sampai pada suatu akhir dari
satu fase untuk menyiapkan diri menghadapi fase berikutnya dalam babak
kehidupan. Tesis sederhana dan jauh dari kata sempurna berjudul “Kearifan
Ekologis Masyarakat Hukum Adat Cigugur dalam Pengelolaan Hutan di Kabupaten
Kuningan Provinsi Jawa Barat (Kajian Studi Etnoekologi)” ini merupakan sebuah
dokumentasi hasil belajar singkat saya mengenai interaksi Tuhan, manusia, dan
alam di Komunitas Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan (AKUR) atau Masyarakat
Hukum Adat Cigugur, dan merupakan sebuah tanda bahwa saya telah
menyelesaikan studi master saya. Tesis ini tentu saja tidak akan selesai tanpa ada
keterlibatan begitu banyak pihak yang memberikan saya kekuatan dengan caranya
masing-masing. Secara spesifik, saya haturkan rasa terima kasih yang mendalam
kepada:
1. Rektor Universitas Gadjah Mada, Bapak Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng.,
D.Eng., IPU., ASEAN Eng.
2. Dekan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Ibu Prof. Ir. Siti
Malkhamah, M.Sc., Ph.D.
3. Kepala Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada,
Bapak Prof. Dr. Ig. L. Setyawan Purnama, M.Si.
4. Ibu Dr. Niken Wirasanti, M.Si. selaku Dosen Pembimbing I atas ilmu, arahan,
dan bimbingannya serta kesabarannya terhadap segenap ketidaktanggapan dan
keteledoran penulis.
5. Bapak Dr. Djaka Marwasta, M.Si. selaku Dosen Pembimbing II atas ilmu,
arahan, dan bimbingannya serta ketelatenan dan ketanggapannya dalam
memeriksa setiap perbaikan tesis penulis.
viii
6. Bapak Prof. Dr. M. Baiquni, M.A. selaku Dosen Penguji I atas apresiasi dan
masukan terhadap tugas akhir yang disusun oleh penulis.
7. Bapak Dr. Setiadi, M.Si. selaku Dosen Penguji II atas kritik dan saran-saran
konstruktif dalam mengevaluasi tugas akhir yang disusun oleh penulis.
8. Seluruh tenaga pendidik di Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada atas segala ilmu, masukan, bantuan,
arahan, serta bimbingan yang diberikan kepada penulis selama menempuh
pendidikan.
9. Ibu Juwita Jatikusumah Putri; Bapak Okky Satrio Djati; Masyarakat Hukum
Adat Cigugur; A Pandu Hamzah; Pak Ebo, S.Sos.; dan Kang Aang Andara yang
telah berkenan meluangkan waktunya untuk berbincang, berdiskusi, serta
memberi informasi terkait topik penelitian kepada penulis.
10. Kedua orang tua saya, Mamih Hj. N. Yayat Suryati, S.Pd. dan Peltu. T.
Samsudin (purn.) yang telah sekuat tenaga membuat penulis menjadi manusia
terbaik yang paling mungkin penulis capai. Juga kepada kedua kakak penulis,
Mbak Indriana Satya Mintarti, S.T., M.Si. dan Teh Indriati Satya Widyasih,
S.Pd., M.Pd. (almh.) yang memberi begitu banyak dukungan; moril maupun
materil.
11. Teman-teman diskusi dalam segala cuaca dan dalam segala dimensi; M.
Pengkuh Muharam, S.Kom. (Pupung), Dudi Apriandi R., S.Pd., Ronald Yega
Utama, S.Pd., De Aji Supardi, S.Pd., Ilham Taufik Fauzi, S.Pd., Ucu
Daliansyah, S.Pd., Indra Kresna Wicaksana, S.Pd., Zhilan Faris Khairul Imam,
S.Pd., Bima Adi Pradana, S.Pd., Adika Prabaswara, S.Pd., Wendi Harry
Rhamdani, S.Pd., dan last but not least, mitra utama dalam merencanakan
proyek masa depan, Ersya Nurul Ihza, S.Pd.
12. Segenap keluarga mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan, khususnya IL 2019
Genap, yang sudah lebih dari sekadar rekan belajar, melainkan sudah
selayaknya sahabat atau saudara; Mokhram Ari Arbi I., S.T., M.Sc., Zat
Ayuningsih Pambagyo, S.H., M.Sc., Yosi Atikah Syarafina, S.Si., M.Sc., Maria
Handayani Ohoira, S.Si., M.Sc., Muhammad Isbahuddin, S.P., M.Sc., dan lain-
lain.
ix
13. Keluarga-keluarga saya di berbagai komunitas yang menjadi tempat
perlindungan saya ketika merasa ditampari nasib; Bangusorum, Bukusam,
Dapur Sastra (terutama Bapak Dr. Arip Hidayat, M.Pd. dan A Tifani Kautsar,
M.Pd. yang telah menjadi teman diskusi, khususnya ihwal sastra), Pendidikan
Geografi Universitas Siliwangi (terutama Ibu Ely Satiyasih Rosali, M.Pd.,
Bapak Dr. Darwis Darmawan, M.Pd., Bapak Dr. Erwin Hilman Hakim, M.Pd.,
dan Bapak Dr. Ruli As’ari, M.Pd. yang intens, hingga hari ini, menanyakan
kabar saya), Ikatan Pelajar Mahasiswa Kuningan Jawa Barat - Yogyakarta
(IPMK), dan lain sebagainya.
14. Seluruh pihak yang telah membantu proses penyusunan tesis ini, baik secara
langsung maupun tidak, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa tesis ini begitu jauh dari kata sempurna. Namun
meski demikian, tesis ini adalah sebentuk hasil belajar penulis selama menempuh
pendidikan di Universitas Gadjah Mada. Kritik dan saran tentu terbuka lebar untuk
perbaikan dalam penelitian-penelitian selanjutnya guna mampu mencapai taraf riset
yang lebih baik dan memadai serta memberikan manfaat yang signifikan dan
konkret demi kemajuan ilmu pengetahuan.
Penulis
x
Kearifan Ekologis Masyarakat Hukum Adat Cigugur
dalam Pengelolaan Hutan di Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat
(Kajian Studi Etnoekologi)
Candrika Adhiyasa
19/453311/PMU/10192
Intisari
xi
The Ecological Wisdom of Cigugur Indigenous People
in Forest Management di Kuningan Regency West Java Province
(Ethnoecological Study)
Candrika Adhiyasa
19/453311/PMU/10192
Abstract
xii
DAFTAR ISI
xiii
4.2 Nilai dan Makna Hutan ..............................................................................46
4.2.1 Kosmologi Masyarakat Hukum Adat Cigugur ..............................47
4.2.2 Makna Hutan dalam Perspektif Masyarakat Hukum
Adat Cigugur ..................................................................................57
4.3 Pengelolaan Hutan .....................................................................................62
4.3.1 Zonasi Hutan Berdasarkan Hukum Adat .......................................63
4.3.2 Larangan Penjualan Tanah Pertanian .............................................72
4.3.3 Perlindungan Flora dan Fauna yang Dianggap Keramat ...............78
4.4 Faktor-Faktor yang Membuat Kearifan Ekologis Masyarakat Hukum Adat
Cigugur Bertahan .......................................................................................83
4.4.1 Covert Culture................................................................................84
4.4.2 Overt Culture .................................................................................95
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................111
5.1 Kesimpulan ..............................................................................................111
5.2 Saran .........................................................................................................112
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................114
LAMPIRAN ........................................................................................................117
xiv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR TABEL
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Istilah Bahasa Sunda Masyarakat Hukum Adat Cigugur ......117
Lampiran 2 Izin Penelitian ...................................................................................122
Lampiran 3 Gambar Penelitian ............................................................................123
Lampiran 4 Peta Penggunaan Lahan Kelurahan Cigugur ....................................125
Lampiran 5 Daftar Nama Informan......................................................................126
Lampiran 6 Pedoman Wawancara Mendalam .....................................................127
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
yang bersumber dari hutan, selama hidupnya. Hal ini melahirkan berbagai
yang khas dengan corak kebudayaan yang lebih dikenal sebagai kearifan lokal,
hidup sebagai dapat disebut kearifan ekologis. Kearifan ekologis yang terdapat di
dikenal sebagai kearifan lokal, memiliki peranan penting dalam mengatur pola
relasi manusia dan alam. Marfai (2012 : 36) mengemukakan bahwa kearifan lokal
ekologis yang sudah teruji oleh proses yang panjang. Berdasarkan pernyataan di
1
atas, maka dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal adalah suatu bentuk gagasan
yang dilakukan manusia tidak merugikan sesama dan lingkungannya dan akhirnya
selaras dengan alam atau kearifan ekologis bagi masyarakat adat tidak berhenti
dalam laku hidup keseharian mereka. Masyarakat adat menyadari bahwa manusia,
khususnya mereka, bukanlah eksistensi yang terpisah dari alam. Mereka adalah
suatu kesatuan ekologis. Keraf (2010 : 366) menyatakan bahwa dalam komunitas
ekologis itu, masyarakat adat memahami segala sesuatu di alam semesta ini sebagai
terkait dan saling tergantung satu sama lain. Manusia adalah bagian tak terpisahkan
dari alam.
khususnya hutan, yang termaktub dalam filsafat Tri Tangtu yang menjadi pedoman
mereka. Melalui filsafat ini, masyarakat hukum adat Sunda memandang pola relasi
egaliter antara Tuhan, alam, dan manusia, sehingga dalam praktiknya mereka tidak
menilai hubungan manusia dan alam secara hierarkis, melainkan sebagai dua entitas
Hal yang sama terdapat di masyarakat hukum adat Cigugur sebagai salah
satu masyarakat hukum adat Sunda yang masih menauladani filsafat Tri Tangtu
2
direkonstruksi sedemikian rupa dalam banyak aspek, misalnya dalam arsitektur,
mengenai pengelolaan hutan masyarakat hukum adat Cigugur ini sendiri kemudian
menjadi tiga area, yaitu leuweung larangan, leuweung tutupan, dan leuweung
dalam alam dan tidak memandang hutan sebatas komoditas untuk dikeruk hasil
ekonominya. Hal senada dijelaskan Salahudin (2017 : 271) bahwa alam ternyata,
dalam perspektif Sunda, bukanlah sesuatu yang mati sebagai objek eksploitasi, tapi
ia adalah mitra manusia dalam berkhidmat kepada Sang Batara. Sang Batara di sini
filsafat Tri Tangtunya sebagai sebuah media kontrol yang salah satunya adalah
untuk menjaga keberlangsungan hutan tentu perlu dikenali secara lebih dekat.
Upaya ini dilakukan dalam rangka mengetahui bagaimana masyarakat hukum adat
menimbang saat ini posisi sistem pengetahuan lokal begitu rentan karena dominasi
3
a. Bagaimana nilai dan makna hutan bagi masyarakat hukum adat Cigugur di
a. Menyusun konsep nilai dan makna hutan dalam perspektif masyarakat hukum
b. Mengkaji sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat Cigugur dalam
hutan, sekaligus sebagai referensi untuk pengembangan ilmu sosial budaya dan
lingkungan hidup. Manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini yakni
4
Berdasarkan permasalahan penelitian yang telah dirumuskan, diperlukan
adanya batasan lingkup dan kajian penelitian. Beberapa batasan dalam penelitian
2. Beberapa faktor yang diteliti sehubungan dengan nilai dan makna hutan dalam
masyarakat hukum adat Cigugur dan makna hutan dalam perspektif masyarakat
zonasi hutan berdasarkan hukum adat, tabu atau larangan dalam penjualan tanah
kearifan ekologis masyarakat hukum adat Cigugur bertahan adalah faktor covert
dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Penelitian ini memiliki persamaan
dengan beberapa penelitian terdahulu terkait tema utama yang diangkat, yaitu
penelitian bahkan memiliki subjek penelitian yang sama, yakni masyarakat hukum
adat Cigugur. Namun ada beberapa perbedaan penelitian ini dengan penelitian
5
terdahulu. Fokus utama penelitian ini adalah untuk mengkaji nilai dan makna hutan,
masyarakat hukum adat Cigugur bertahan. Dari beberapa fokus penelitian tersebut,
Kanekes secara umum merasa terikat dengan alam dan lingkungannya. Alam
Pasundan menjadikan manusia dan masyarakat Sunda memiliki budaya yang arif
Sunda) sebagai “manusia yang diturunkan” dari “Mandala Hiyang” oleh Tuhan (Nu
Ngersakeun) memiliki tugas suci dan mulia untuk mengelola alam bukan
selaras dan mengelola dan menjaga alam diungkapkan dalam beberapa bentuk
tradisi upacara, ungkapan tuntunan hidup dalam peribahasa, nasihat, uga, dan
alam.
geografi. Penelitian ini bertujuan untuk menggali nilai-nilai kearifan lokal yang ada
6
di masyarakat Cigugur, khususnya masyarakat AKUR (Adat Karuhun Urang)
dalam bentuk pengelolaan lahan dan tradisi yang ada kemudian mengidentifikasi-
dilakukan dengan cara wawancara yang mendalam, observasi partisipatif, dan studi
yang ada dalam masyarakat AKUR Cigugur dalam menjaga kelestarian lingkungan
hidup perlu dijaga dan dipertahankan. Salah satu caranya adalah melalui
penanaman kepada generasi muda khususnya generasi muda AKUR Cigugur dan
generasi muda daerah sekitarnya. Dunia pendidikan juga menjadi faktor penting
nilai-nilai yang diperoleh merupakan temuan dari penelitian ini adalah (1) Nilai
Integritas Keruangan, (2) Nilai Adaptasi Ekologi, (3) Nilai Keselarasan, (4) Nilai
Kebersamaan, (8) Nilai Gotong-royong, dan (9) Nilai Budaya. Nilai-nilai tersebut
lokal masyarakat adat Tugutil (studi kasus masyarakat adat Tugutil di Dusun Tukur-
ini adalah untuk (1) mengetahui bentuk-bentuk kearifan lokal dalam mengelola
7
Hasilnya menunjukkan bahwa bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat adat
Tugutil antara lain sebagai berikut: Larangan merusak sagu raja, Buko, Nonaku,
memertahankan kearifan lokal dalam mengelola hutan adalah dengan cara sebagai
Ada terdapat 149 tumbuhan yang dimanfaatkan, yang dibagi atas 100 tumbuhan
bahan pangan (71 spesies), dan 49 sumber tumbuhan obat (45 spesies).
hukum adat Cigugur sebagai sumber belajar IPS. Tujuan utama penelitian ini adalah
pembelajaran IPS di SMPN Garawangi Kelas VII A. Metode yang digunakan dalam
lokal masyarakat Cigugur Kuningan terlihat dari sistem budaya masyarakat hukum
adat Cigugur dan aturan dan norma masyarakat dalam menjaga lingkungan alam
sekitarnya. Aturan dan norma yang disepakati masyarakat hukum adat Cigugur
dalam menjaga lingkungan alam sekitarnya berupa budaya pamali yang sudah
diwariskan oleh leluhur. Pamali merupakan aturan dan norma yang mengikat
utama dikemukakan ketua adat sebagai aturan adat yang harus dipatuhi dan diyakini
8
mendapatkan balasan yang diyakini berasal dari karuhun. Aturan pamali
mengandung nilai etika sosial, kesederhanaan, dan upaya menjaga kesehatan tubuh
serta lingkungan. Penggunaan masyarakat lokal sebagai sumber belajar IPS telah
yang menjadi landasan mereka untuk tetap menjaga dan memelihara hutan Kaindea
adat. Fungsi ekologis, sosial-budaya, dan ekonomi masih baik, sementara hutan
Kaindea di wilayah Wanci telah berubah dari segi pengelolaan lahan. Pengelolaan
lokal yang ada pada masyarakat adat dalam pengelolaan hutan di Hutan Adat
Marena dan (2) mengetahui cara masyarakat adat dalam memelihara dan
kearifan lokal masyarakat adat Marena antara lain sebagai berikut: ritual sebelum
9
pakaian hutam, pelarangan menggunakan alat masak yang sudah digunakan
dalam mengelola hutan adat seperti: prinsip Mesa Soe Mesa Tengka Pada Tallan
10
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
No Peneliti, Tahun Judul Tujuan Metode Hasil
Masyarakat Sunda, khususnya
masyarakat adat Kanekes secara
umum merasa terikat dengan
alam dan lingkungannya. Alam
Pasundan menjadikan manusia
dan masyarakat Sunda memiliki
budaya yang arif dalam
mengelola lingkungannya.
Sebaliknya masyarakat Sunda
yang secara kepercayaan yang
Tujuan penelitian ini adalah dikembangkan dalam folklor
Kearifan Lokal Adat untuk mendiskusikan kearifan Penelitian dilakukan secara Sunda (bagian dari kebudayaan
1 Ira Indrawardana, 2012 Sunda dalam Hubungan lokal adat masyarakat Sunda kualitatif terhadap Sunda) sebagai “manusia yang
dengan Lingkungan Alam dalam hubungan dengan masyarakat Sunda Kanekes. diturunkan” dari “Mandala
lingkungan alam. Hiyang” oleh Tuhan (Nu
Ngersakeun) memiliki tugas suci
dan mulia untuk mengelola alam
bukan mengeksploitasi alam.
Adanya kesadaran posisi
manusia Sunda yang diharuskan
selaras dan mengelola dan
menjaga alam diungkapkan
dalam beberapa bentuk tradisi
upacara, ungkapan tuntunan
hidup dalam peribahasa, nasihat,
15
uga, dan bahkan nama-nama
alam dengan memahami
“karakter” dari masing-masing
unsur alam.
12
Kesinambungan, (6) Nilai
Ketaatan, (7) Nilai
Kebersamaan, (8) Nilai Gotong-
royong, dan (9) Nilai Budaya.
Nilai-nilai tersebut kemudian
diidentifikasi sebagai sumber
belajar geografi.
Hasilnya menunjukkan bahwa
bentuk-bentuk kearifan lokal
masyarakat adat Tugutil antara
lain sebagai berikut: Larangan
merusak sagu raja, Buko,
Tujuan penelitian ini adalah
Nonaku, Ma ngadodo gomu
Bentuk Pengelolaan Hutan untuk (1) mengetahui bentuk-
pahiyara (batasan pemeliharaan).
dengan Kearifan Lokal bentuk kearifan lokal dalam
Untuk memelihara dan
Masyarakat Adat Tugutil mengelola hutan, (2) untuk
Penelitian ini dilakukan memertahankan kearifan lokal
(Studi Kasus Masyarakat mengetahui bagaimana cara
3 Sabaria Niapele, 2014 dengan metode eksplorasi dalam mengelola hutan adalah
Adat Tugutil di Dusun dalam memelihara dan
deskriptif. dengan cara sebagai berikut:
Tukur-tukur Kecamatan memertahankan kearifan
Penuturan lisan, sangsi-sangsi
Wasile Timur Kabupaten lokalnya dalam mengelola
adat, penerapan secara langsung
Halmahera Timur) hutan, dan (3) pemanfaatan
(praktik) Ada terdapat 149
tumbuhan hutan.
tumbuhan yang dimanfaatkan,
yang dibagi atas 100 tumbuhan
bahan pangan (71 spesies), dan
49 sumber tumbuhan obat (45
spesies).
4 Mina Holihah, 2015
13
Perkembangan nilai-nilai
kearifan ekologis dalam budaya
lokal masyarakat Cigugur
Kuningan terlihat dari sistem
budaya masyarakat hukum adat
Cigugur dan aturan dan norma
masyarakat dalam menjaga
lingkungan alam sekitarnya.
Aturan dan norma yang
disepakati masyarakat hukum
Tujuan utama penelitian ini
adat Cigugur dalam menjaga
adalah identifikasi nilai-nilai
lingkungan alam sekitarnya
kearifan ekologis budaya lokal Metode yang digunakan
Kearifan Ekologis Budaya berupa budaya pamali yang
masyarakat Cigugur Kuningan dalam penelitian ini adalah
Lokal Masyarakat hukum sudah diwariskan oleh leluhur.
dan bagaimana metode kualitatif dengan
adat Cigugur sebagai Pamali merupakan aturan dan
mengimplementasikan nilai- wawancara kepada
Sumber Belajar IPS norma yang mengikat kehidupan
nilai tersebut dalam narasumber.
masyarakat hukum adat Cigugur
pembelajaran IPS di SMPN
yang terungkap dalam prinsip-
Garawangi Kelas VII A.
prinsip utama dikemukakan
ketua adat sebagai aturan adat
yang harus dipatuhi dan diyakini
kebenarannya. Budaya pamali
memiliki aturan-aturan yang
harus ditaati oleh masyarakat
hukum adat Cigugur. Setiap
orang yang melanggarnya selalu
mendapatkan balasan yang
diyakini berasal dari karuhun.
14
Aturan pamali mengandung nilai
etika sosial, kesederhanaan, dan
upaya menjaga kesehatan tubuh
serta lingkungan. Penggunaan
masyarakat lokal sebagai sumber
belajar IPS telah memberikan
dampak positif bagi
pengembangan kegiatan
pembelajaran di kelas.
Hasilnya menunjukkan bahwa
hutan Kaindea di Pulau Wangi-
Tujuan penelitian ini adalah
Wangi menyebar pada dua adat.
menggali sistem kognitif
Fungsi ekologis, sosial-budaya,
Kearifan Lokal Masyarakat masyarakat di Pulau Wangi-
dan ekonomi masih baik,
Adat dalam Pengelolaan Wangi serta latar belakang Penelitian dilakukan dengan
5 Rahayu Salam, 2017 sementara hutan Kaindea di
Hutan di Pulau Wangi- pemikiran yang menjadi metode kualitatif
wilayah Wanci telah berubah
Wangi. landasan mereka untuk tetap
dari segi pengelolaan lahan.
menjaga dan memelihara hutan
Pengelolaan hutan Kaindea
Kaindea sebagai hutan adat.
secara umum didasarkan pada
aturan adat.
Tujuan penelitian ini adalah (1) Hasilnya menunjukkan bentuk-
Kearifan Masyarakat Lokal mengetahui bentuk-bentuk Penelitian dilakukan dengan bentuk kearifan lokal
dalam Pengelolaan Hutan kearifan lokal yang ada pada menggunakan metode masyarakat adat Marena antara
Adat Marena Desa masyarakat adat dalam eksplorasi deskriptif di Desa lain sebagai berikut: ritual
6 Jamaluddin, 2020
Pekalobean Kecamatan pengelolaan hutan di Hutan Pekalobean Kecamatan sebelum bercocok tanam dan
Anggeraja Kabupaten Adat Marena dan (2) Anggeraja Kabupaten setelah memanen hasil
Enrekang. mengetahui cara masyarakat Enrekang pertanian, pelarangan
adat dalam memelihara dan menggunakan pakaian hutam,
15
memertahankan kearifan lokal pelarangan menggunakan alat
dalam mengelola Hutan Adat masak yang sudah digunakan
Marena. masyakarat adat Marena. Untuk
memelihara dan memertahankan
kearifan lokal dalam mengelola
hutan adat seperti: prinsip Mesa
Soe Mesa Tengka Pada Tallan
Pada Lindang, memfasilitasi
sarana dan prasarana untuk
menunjukkan eksistensi
masyarakat adat, penturan
langsung, dan penerapan sanksi-
sanksi adat.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Arief (2001) menjelaskan bahwa hutan adalah kumpulan pepohonan yang tumbuh
digolongkan sebagai hutan tersebar di seluruh dunia, meliputi wilayah yang sangat
bahwa hutan adalah suatu ekosistem yang disusun oleh unsur abiotik dan biotik
sebagai suatu jejaring yang membentuk karakteristik yang berbeda dengan area di
luarnya.
17
a. Hutan lindung, yaitu kawasan hutan yang karena sifat-sifat alamnya
diperuntukkan guna pengaturan tata air dan pencegahan bencana banjir dan
hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk
c. Hutan suaka alam, yaitu kawasan hutan yang karena sifatnya yang khas
d. Hutan wisata, yaitu kawasan hutan yang diperuntukkan secara khusus untuk
manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan
masyarakat. Kemudian dalam Pasal 126 Ayat (2) dijelaskan pemanfaatan hutan,
yaitu:
18
c. usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan
Kemudian dalam Pasal 127 Ayat (4) dijelaskan bahwa pemanfaatan dapat
dilakukan pada:
a. Hutan Lindung;
c. Hutan Konservasi.
Penyelenggaraan Kehutanan Pasal 233 Ayat (2) menyatakan bahwa Hutan Adat
a. konservasi;
b. lindung; dan/atau
c. produksi.
lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk
menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun
temurun (Yudana dkk, 2015). Kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang
digunakan oleh masyarakat untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang
19
menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya, dan diekspresikan dalam
tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama (Sumarni dan
kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi, serta lingkungan yang hidup di tengah-
tengah masyarakat lokal. Ciri yang melekat dalam kearifan lokal adalah sifatnya
dalam kearifan lokal, adalah kehidupan yang illahiah (Sumardjo, 2015 : 14-15).
antaranya:
5. bermakna sosial;
7. bermakna politik.
mengakar kuat, cenderung eksklusif, dan bersifat mendasar serta mewujud sebagai
20
Dalam perwujudannya, kearifan lokal tidak dapat dilepaskan dari wujud
menyatakan bahwa tiap kebudayaan pada umumnya paling sedikit memiliki tiga
wujud, yaitu: (1) wujud kebudayaan sebagai suatu himpunan gagasan; (2) wujud
kebudayaan sebagai jumlah pelaku yang berpola; (3) wujud kebudayaan sebagai
sekumpulan benda dan artifacts. Wujud (1) adalah wujud yang paling abstrak.
Sebagai suatu himpunan gagasan, suatu kebudayaan tak dapat dilihat atau diamati,
karena tersimpan dalam kepala orang yang dibawa ke mana pun ia pergi.
Kebudayaan dalam wujud himpunan gagasan ini disebut sebagai cultural system
atau sistem budaya; juga disebut covert culture. Dalam wujudnya yang ke (2)
kebudayaan disebut social system atau sistem sosial, sedang dalam wujud yang ke
(3) adalah kebudayaan fisik, physical culture. Wujud (2) dan wujud (3) disebut
overt culture.
hasil dari interaksi adaptasi dengan lingkungannya dalam jangka waktu yang sangat
lama. Pengetahuan lokal diwariskan melalui bahasa ibu secara tidak tertulis, karena
tidak diwariskan secara tidak tertulis, maka pengetahuan tersimpan dalam alam
peer learning, dan individual learning. Permana (2020 : 91) menjelaskan bahwa
vertikal (vertical transmission) dari orang tua kepada anak-anaknya dengan cara
21
melibatkan anak-anak dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan. Cara lainnya adalah orang tua suka menceritakan pengalaman dalam
mengelola sumberdaya alam seperti bertani, berladang, dan berburu satwa kepada
remaja secara horisontal (horizontal transmission) dari teman sebaya melalui tukar
menukar pikiran dan informasi. Sedangkan pada masa dewasa hingga tua terjadi
pengetahuan.
masyarakat adat atau tradisional adalah suku-suku bangsa yang, karena mempunyai
menganggap dirinya berbeda dari kelompok masyarakat lain yang hidup di wilayah
mereka. ILO mengategorikan masyarakat adat sebagai (a) suku-suku asli yang
22
mempunyai kondisi sosial-budaya dan ekonomi yang berbeda dari kelompok
masyarakat lain di sebuah negara, dan yang statusnya sebagian atau seluruhnya
diatur oleh adat kebiasaan atau tradisi atau oleh hukum atau aturan mereka sendiri
yang khusus; (b) suku-suku yang menganggap dirinya atau dianggap oleh orang
lain sebagai suku asli karena mereka merupakan keturunan dari penduduk asli yang
mendiami negeri tersebut sejak dulu kala sebelum masuknya bangsa penjajah, atau
dari apa pun status hukum mereka—sebagian atau semua ciri dan lembaga sosial
ekonomi, budaya, dan politik yang mereka miliki. Dalam pengertian itu,
masyarakat adat juga dikenal sebagai memiliki bahasa, budaya, agama, tanah dan
teritori yang terpisah dari kelompok masyarakat lain, dan hidup jauh sebelum
tak tertulis yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam ilmu hukum dan teori secara
adat tidak hanya menyangkut hukum, tetapi mencakup segala aspek dan tingkat
kehidupan. Yang disebut sebagai masyarakat adat adalah (1) penduduk asli (bahasa
Melayu; orang asli); (2) kaum minoritas; (3) kaum tertindas atau termarginal karena
23
identitas mereka yang berbeda dari identitas yang dominan di suatu negara
(Komarudin, 2016).
tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat
dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata
“Masyarakat hukum adat” atau istilah lain yang sejenis merujuk pada
pengertian yang dikembangkan oleh Komisi Nasional HAM yaitu suatu komunitas
wilayah tertentu, mempunyai hubungan historis dan mistis dengan sejarah masa
lampau mereka, merasa dirinya dan dipandang oleh pihak luar sebagai berasal dari
satu nenek moyang yang sama, dan mempunyai identitas dan budaya yang khas
yang ingin mereka pelihara atau lestarikan untuk kurun waktu sejarah selanjutnya,
serta tidak mempunyai posisi yang dominan dalam struktur dan sistem politik yang
Menurut Keraf (2010) ada beberapa ciri yang membedakan masyarakat adat
nenek moyangnya, baik seluruhnya atau sebagian. Kedua, mereka mempunyai garis
keturunan yang sama, yang berasal dari penduduk asli daerah tersebut. Ketiga,
mereka mempunyai budaya yang khas, yang menyangkut agama, sistem suku,
pakaian, tarian, cara hidup, peralatan sehari-hari, termasuk untuk mencari nafkah.
24
Keempat, mereka mempunyai bahasa tersendiri. Kelima, biasanya hidup terpisah
dari kelompok masyarakat lain dan menolak atau bersikap hati-hati terhadap hal-
2.1.4 Etnoekologi
masyarakat dalam memakai ekologi dan hidup selaras dengan lingkungan alam dan
mereka dapat mengamati alam dengan baik, memahami karakteristiknya, dan tahu
dikenal sebagai suatu bidang kajian yang luas tentang bagaimana penduduk lokal
memahami lingkungan, tanah, dan segala objek yang tinggal di atasnya, dan
alam dan lingkungan terus terjadi antara lain seperti penurunan keanekaragaman
hayati satwa dan tumbuhan, perubahan iklim, pencemaran lingkungan baik di darat
25
Hilmanto (2010) menjelaskan bahwa ilmu yang membahas mengenai
hubungan yang erat antara manusia, ruang hidup, dan semua aktivitas manusia di
bumi yang mana ilmu ini dikembangkan oleh para tokoh seperti Friedrich Ratzel
etnoekologi, bisa diartikan bahwasanya dalam setiap wilayaj mempunyai ciri khas
tertentu yang dapat menjadikan perbedaan yang memiliki cakupan dari yang luas
hubungan-hubungan spiritual;
26
2. suatu kosmologi atau pandangan terhadap dunia yang nyata berbeda; suatu
sumberdaya alam yang dilakukan secara komunal yang didasarkan atas berbagi
Masyarakat hukum adat Cigugur memiliki interasi yang intim dengan alam,
khususnya hutan, yang terjalin melalui ikatan batin yang bersifat emosional,
kultural, dan spiritual. Hubungan yang terjalin itu membuat ekspresi kebudayaan
masyarakat hukum adat Cigugur selalu terkait dengan alam secara spiritual.
Kepercayaan lokal Sunda Wiwitan yang mereka anut juga merupakan spiritualitas
yang erat kaitannya dengan alam. Kecintaan mereka pada nilai-nilai kultural-
dari pedoman dasar filsafati Sunda, yakni filsafat Tri Tangtu yang memiliki corak
tersebut. Di dalam kebudayaan masyarakat hukum adat Cigugur, filsafat Tri Tangtu
27
kehidupan seperti arsitektur, kesenian, dan tentu saja pengelolaan hutan yang
hukum adat Cigugur dalam mengelola hutan. Eksistensi kearifan ekologis ini
mereka dari generasi ke generasi. Nilai dan makna hutan yang dipersepsi oleh
masyarakat hukum adat Cigugur melalui pola berpikir tripartit berlandaskan filsafat
Tri Tangtu itu pun beredar sebagai pengetahuan lokal yang perlu ditelisik lebih
jauh, dan salah satu pendekatan yang dianggap kompatibel untuk menelisik
tersendiri. Modernisasi yang hadir dengan membawa corak berpikir Barat yang
generasi muda masyarakat hukum adat Cigugur begitu dekat dengan jangkauan
Melalui tinjauan di atas, maka diperlukan upaya untuk menggali lebih dalam
bagaimana filsafat Tri Tangtu yang mereka anut dimanifestasikan sebagai cara
pandang mereka terhadap relasi Tuhan, manusia, dan alam (dalam konteks ini
28
membuat kearifan ekologis mereka bertahan hingga kini melalui aspek covert
29
Tata Kehidupan Masyarakat
Hukum Adat Cigugur
Kearifan ekologis
Etnoekologi
30
BAB III
METODE PENELITIAN
Kelurahan Cigugur terletak antara 108o 27’ 15’’ BT dan 05o 58’ 8’’ LS.
Secara geografis letak Kelurahan Cigugur dapat dianggap sebagai salah satu
Kelurahan yang dekat dengan ibu kota Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat
dengan jarak kurang lebih 3,5 Km dari Ibu Kota Kabupaten Kuningan Provinsi
Jawa Barat serta terletak di bagian timur kaki Gunung Ciremai. Kelurahan Cigugur
berada pada ketinggian rata-rata 661 meter dari permukaan laut. Luas wilayah
(Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuningan Tahun 2019) yakni terdiri dari jumlah
penduduk laki-laki sebanyak 4.011 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak
3.684 jiwa. Total jumlah penduduk Kelurahan Cigugur adalah 7.695 jiwa.
Kuningan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.1 sebagai berikut.
31
Kelompok Jenis Kelamin
No Jumlah Persentase (%)
Umur Laki-laki Perempuan
12 55 – 59 255 255 510 6,63
13 60 – 64 183 189 372 4,83
14 65 – 69 165 145 310 4,03
15 70 – 74 117 84 201 2,61
16 >75 147 161 308 4,00
Jumlah 4.011 3.684 7.695 100,00
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuningan, 2019
Kearifan ekologis yang memuat nilai dan makna hutan serta pengelolaan
hutan masyarakat hukum adat Cigugur menjadi penting untuk digali dan
dirumuskan secara lebih sistematis dan mendalam melalui studi etnoekologi dalam
bertahan juga menjadi penting untuk menilai bagaimana suatu pengetahuan lokal
32
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian Kelurahan Cigugur
33
3.2 Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari pengamatan di
purposive sampling pada informan (tokoh masyarakat hukum adat Cigugur, kepala
kesundaan yang menjadi pedoman bagi masyarakat hukum adat Cigugur, yang
memuat nilai dan makna hutan serta pengelolaan hutan, serta situs-situs yang ada
di hutan yang termasuk ke dalam area hutan adat masyarakat hukum adat Cigugur.
Semua data primer tersebut diperoleh dari observasi, dokumentasi, dan wawancara
Data sekunder merupakan data pendukung yang diperoleh dari instansi atau
lembaga terkait serta studi literatur. Data tersebut dapat diperoleh dari kantor
dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan topik penelitian. Data
primer maupun data sekunder yang relevan kemudian diverifikasi dengan teknik
34
hutan, pengelolaan hutan, serta faktor-faktor yang membuat kearifan ekologis
dengan melibatkan diri secara langsung dalam jangka waktu tertentu untuk ikut
menghayati nilai dan makna hutan serta meninjau pengelolaannya oleh masyarakat
hukum adat Cigugur di Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat. Selain itu
digunakan juga perolehan data melalui studi dokumentasi melalui teks, gambar,
artefak, dan lain sebagainya yang menunjang kebutuhan penelitian. Data yang
diperoleh mengenai nilai dan makna hutan kemudian akan dianalisis menggunakan
analisis etnoekologi.
Aspek kajian dalam penelitian ini terdiri dari tiga aspek utama. Aspek kajian
nilai dan makna hutan memiliki tiga fokus penelitian yang terdiri dari kosmologi
masyarakat hukum adat Cigugur, makna hutan dalam perspektif masyarakat hukum
adat Cigugur, dan paradigma holistis masyarakat hukum adat Cigugur. Aspek
pengelolaan hutan memiliki fokus penelitian yang terdiri dari zonasi hutan,
larangan penjualan tanah pertanian, dan perlindungan flora dan fauna yang
masyarakat hukum adat Cigugur bertahan terdiri dari covert culture dan overt
culture.
Aspek kajian dan fokus penelitian dalam penelitian ini disajikan dalam
Tabel 3.2.
35
Tabel 3.2 Aspek Kajian dan Fokus Penelitian
Aspek Kajian Fokus Penelitian
1. Kosmologi masyarakat hukum adat
Cigugur
Nilai dan makna hutan
2. Makna hutan dalam perspektif
masyarakat hukum adat Cigugur
1. Zonasi hutan berdasarkan hukum adat
2. Larangan penjualan tanah pertanian
Pengelolaan hutan 3. Perlindungan flora dan fauna yang
dianggap keramat
1. Covert culture
Faktor-faktor yang membuat kearifan 2. Overt culture
ekologis masyarakat hukum adat
Cigugur bertahan
mengenai objek yang diteliti. Adapun informan dalam penelitian ini dipilih melalui
dengan cara menentukan informan yang dipilih sesuai kriteria yang memenuhi
kebutuhan penelitian.
Objek dalam penelitian ini adalah yang menjadi sasaran dalam penelitian.
Ada pun yang menjadi objek atau sasaran dalam penelitian ini adalah nilai dan
36
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara
Cigugur. Observasi dilakukan di lokasi penelitian selama beberapa hari dan juga di
3.6.2 Wawancara
informan sesuai dengan isu faktual yang sedang terjadi. Populasi masyarakat
berjumlah 7.695 jiwa. Meski demikian, jumlah populasi masyarakat hukum adat
Cigugur yang tinggal di Kelurahan Cigugur hanya berjumlah 150 jiwa, populasi
lainnya tersebar di daerah lain seperti Tasikmalaya, Ciamis, dan lain sebagainya.
hukum adat Cigugur bersifat homogen, yakni hidup dengan kultur Sunda, maka
informan yang dipilih yakni (1) Ketua Masyarakat Hukum Adat Cigugur satu orang
atau yang mewakilinya, (2) Tokoh Masyarakat Hukum Adat Cigugur yang
37
memiliki konsen dalam pengelolaan hutan satu orang, (3) Petani Hutan yang terlibat
dalam pengelolaan hutan satu orang, (4) Kepala Kelurahan Cigugur, dan (5)
adat Cigugur satu orang. Kelima informan ini dianggap akan memberikan informasi
a. Ketua Masyarakat Hukum Adat Cigugur (diwakili) oleh Ibu Juwita Jatikusumah
Putri
informasi tambahan selain dari observasi dan wawancara terkait topik yang diteliti.
Studi literatur diperlukan dalam penelitian ini untuk mendukung data primer
38
3.7 Metode Analisis Data
peneliti melakukan pengumpulan data (on going analysis). Analisis kualitatif data
antara lain seperti hasil wawancara, pengamatan terlibat, foto-foto, video, gambar-
checking).
yaitu:
1. Pra-Lapangan
a. Menyusun rancangan
b. Memilih lapangan
c. Mengurus perjanjian
f. Menyiapkan instrumen
39
g. Persoalan etika di lapangan
2. Lapangan
b. Pengumpulan data
3. Pengolahan Data
a. Reduksi data
b. Pengorganisasian Data
c. Interpretasi Data
• Kearifan Ekologis
(Holihah, 2015).
• Nilai
Nilai merupakan sebuah ide atau konsep tentang sesuatu yang penting dalam
• Makna
40
Makna adalah pemahaman atau hasil interpretasi seseorang atau masyarakat
mengenai sesuatu hal. Makna dapat pula berarti definisi mengenai sesuatu.
• Hutan
Hutan adalah suatu area atau lahan yang ditumbuhi oleh pepohonan atau
biodiversitas di dalamnya.
• Pengelolaan Hutan
pengembalian ekosistem hutan yang bertolak dari fungsi dan status suatu
kawasan hutan.
generasi.
• Etnoekologi
41
BAB IV
memertahankan budaya lokal dalam menghayati alam. Budaya lokal ini salah
satunya terejawantah dalam upacara adat Seren Taun yang sudah berlangsung sejak
tahun 1937. Upacara adat Seren Taun sendiri merupakan simbol rasa syukur atas
hasil bumi (panen), terutama padi, yang menghidupi masyarakat Cigugur. Upacara
adat Seren Taun ini erat kaitannya dengan eksistensi masyarakat hukum adat
Cigugur atau lebih dikenal dengan nama Masyarakat Adat Karuhun Urang
(AKUR).
masyarakat adat yang hidup di lingkungan Paseban Tri Panca Tunggal yang terletak
42
masyarakat hukum adat Cigugur tidak dapat dipisahkan dari rangkaian peristiwa
historis, masyarakat hukum adat Cigugur dipelopori oleh Pangeran Sadewa Alibasa
atau lebih umum dikenal dengan nama Madrais. Madrais adalah seorang keturunan
Pangeran Gebang, yakni wilayah pecahan Kesultanan Cirebon yang kini secara
untuk menghubungkan diri dengan penduduk lokal yang menganut berbagai agama
dan aliran kepercayaan. Ada juga pihak yang menyatakan bahwa Madrais adalah
orang yang sesat, dikarenakan selain mendakwahkan nilai-nilai Islam, Madrais pula
menguraikan ajaran agama lain dalam rangka mencapai puncak spiritualitas, yakni
(ADS).
sebuah ageman yang dirintis oleh Kyai Madrais sejak abad ke-19. Di masa Belanda,
saat Madrais memimpin, ajaran ini dikenal sebagai Igama Djawa Sunda. Tendi
melanjutkan, bahwa nama Djawa Sunda berasal dari suatu singkatan. Kata Djawa,
jika diurai lebih panjang berasal dari kata andjawat dan andjawab, yang artinya
adalah menyaring atau menampung dan melaksanakan. Sementara itu, kata Sunda
berasal dari kata roh susun kang den tunda, sun diambil dari kata susun dan da
diambil dari kang den tunda sehingga jika digabungkan menjadi kata Sunda yang
memiliki arti pelbagai macam zat hidup yang terdapat dalam segala sesuatu yang
43
dihasilkan oleh Roh Hurip Tanah Pakumpulan atau bumi. Singkatnya, Sunda dapat
Dengan demikian, maka ajaran Madrais atau ADS erat kaitannya dengan
masyarakat hukum adat Cigugur ini kemudian dilanjutkan oleh putra Pangeran
memiliki bangsa.
dianggap oleh pihak pemerintah setempat dan kelompok keagamaan tertentu, telah
Kristiani dan Muslim) memandang ajaran PACKU merupakan kelanjutan dari ADS
yang telah dilarang pada tahun 1964, karenanya melalui surat keputusan Kejaksaan
44
menamakan dirinya dengan sebutan kelompok penghayat (yang menjadi bersifat
Istilah “Penghayat” diberi makna sebagai pelaku insani adat yang mendasarkan
pada aspek budaya spiritual yang menghayati Keesaan Tuhan berdasarkan pada
(AKUR). Dari waktu ke waktu, orientasi dari kelompok masyarakat hukum adat
Cigugur tidak berhenti sebatas dalam kegiatan religius, melainkan merambah pada
budaya Sunda. Karakter budaya Sunda ini begitu erat kaitannya dengan nilai-nilai
yang memuat kearifan ekologis. Masyarakat Sunda begitu akrab dengan alam dan
lingkungannya.
budaya lokal yang erat kaitannya dengan pola hidup selaras paradigma
arsitektur rumah, konsep leuweung larangan, cara menjaga air hulu dan hilir,
keyakinan pada tanda-tanda alam, konsep “ci” atau “lemah cai”, pola tanam, pola
45
Lingkungan sekitar berupa pesawahan, hutan, dan gunung menjadikan mereka
Masyarakat hukum adat Cigugur merupakan salah satu dari sekian banyak
masyarakat adat Sunda yang memiliki hubungan egaliter serta arif dengan alam.
menyadari bahwa alam merupakan partner dalam menjalani kehidupan. Hal ini
tercermin dari profesi dominan yang dilakoni oleh masyarakat hukum adat Cigugur
yang menggantungkan hidupnya kepada alam, baik itu menjadi petani, peladang,
peternak, dan lain sebagainya. Hal ini mencerminkan pula bagaimana sikap
dan alam adalah sama-sama pengejawantahan dari Tuhan, Sang Hyang Tunggal.
pengetahuan lokal yang khas serta termaktub dalam kearifan ekologis yang
persepsi masyarakat hukum adat Cigugur dalam melihat hubungan manusia dan
hutan, atau secara lebih luas, alam semesta. Persepsi masyarakat hukum adat
Cigugur dalam memaknai hutan sendiri tidak terlepas dari filsafat Tri Tangtu yang
meyakini adanya pola kesatuan tiga antara entitas Tuhan, manusia, dan alam.
Perspektif masyarakat hukum adat Cigugur yang dilandasi oleh filsafat Tri Tangtu
46
sebagai entitas yang tidak berada “di bawah” manusia, melainkan terhubung secara
egaliter. Hubungan yang terjalin antara manusia dan hutan sendiri tidak sekadar
manusia dan hutan (atau alam semesta dalam kosmologi mereka) secara kompleks
mengenai nilai dan makna hutan yang meliputi (1) kosmologi masyarakat hukum
adat Cigugur; dan (2) makna hutan dalam perspektif masyarakat hukum adat
Cigugur.
Tabel 4.1 Unit Informasi untuk Kosmologi Masyarakat Hukum Adat Cigugur
47
“Tapi alam itu sendiri adalah seperti 1. Alam dianggap
wujudna manusa, urang, nu kedah sama wujudnya
dijaga dipiara. Bagian daripada alam dengan manusia.
dunya sareng alam waruga téh teu 2. Tidak dibedakan
aya bentenna nu kedah urang jaga. antara alam dan
Jati kita sebagai manusia, alam manusia sehingga
dunya téh nya alam dunya nu kedah menjaga alam
dijaga.” adalah keharusan.
Kepala Adat
Masyarakat 1. Hutan harus
Hukum Adat “Jadi, bukan semata-mata hutan itu dijaga bukan karena
Cigugur menjadi sebuah tempat kenapa kita dianggap angker.
kudu ngajaga leuweung lantaran di 2. Mitos yang
dinya téh ada penunggu, ada apa, ada beredar tentang
apa, bukan gitu. Di mana pun ada angkernya hutan
penunggunya. Gitu. Maksudnya dianggap sebagai
mungkin orang tua kita dulu lebih cara leluhur mereka
bicara ke arah itu supaya orang tuh menasihati agar
berhati-hati memperlakukan alam. memperlakukan
Segan.” alam dengan hati-
hati.
1. Waruga Jagat
“Waruga jagat itu kalo menurut
adalah semesta
istilah Sunda itu ada tatanan waruga
manusia dan
manusa, tujuh tadi cakra itu, tatanan
waruga jagat
waruga jagat tuh semesta, planet-
adalah semesta
planet.”
alam.
Tokoh
Masyarakat “Jadi itu sama seperti … tata kelola
Hukum Adat air itu seperti urat darah di tubuh
Cigugur kita. Jadi kalau Kang Candrika
1. Tata kelola air
banyak makan makanan yang
dianggap sama
berlemak, kolesterol, penyumbatan
dengan urat darah
darah di sini, jantung bisa apa. Nah,
dalam tubuh
menurut cara pandang tata ruang
manusia.
lama, Sunda, tubuh kita pun seperti
itu. Sama seperti tata lingkungan,
kelola alam.”
48
1. Kosmologi
Sunda lama
“Jadi itu kan kosmologi lama ya.
mengatakan bahwa
Kosmologi lama yang mengatakan
dalam tubuh
bahwa di tubuh kita itu kalau ada
manusia ada tujuh
tujuh cakra. Dalam konsep Sunda
cakra.
maupun Jawa ada tujuh cakra. Cakra
2. Cakra secara
itu kalau secara biologis pusat-pusat
biologis disebut
kelenjar endokrin. Tiroid, paratiroid
pusat endokrin.
ya kan, cakra. Dalam kosmologi itu,
3. Dalam kosmologi
tata ruang buhun, tentang katakanlah
Sunda lama hutan
hutan itu juga seperti itu.”
juga diyakini
memiliki cakra.
“Jadi dalam kosmologi tata ruang
1. Dalam kosmologi
Sunda gunung itu tidak bisa
Sunda gunung tidak
dipisahkan dari laut. Jadi Sanghyang
bisa dipisahkan dari
Sirah itu kepala. Punten Kang
laut.
Candrika di kepala, di mastaka kita,
2. Gunung memiliki
ada panca indera. Di gunung juga ada
panca indra seperti
banyak titik situs yang berfungsi
manusia.
dalam kosmologi bentang alam,
3. Kepala manusia
mereka adalah panca indra. Ini ada
seperti halnya hutan
hutan larangan (menunjuk kening)
larangan karena
untuk menutup otak supaya tidak
rawan.
terbentur benda-benda keras.”
49
“Kerusakan di ujung maka akan 1. Kerusakan di satu
berakibat kerusakan di ujung lain. Itu titik akan
sama seperti pembuluh aorta kita. mengakibatkan
Kalau pembuluh vena dan aorta kita kerusakan di titik
terganggu, maka fungsi tubuh juga lain.
pasti terganggu. Jadi cara 2. Gunung dan
pandangnya, kita melihat antara lautan dipandang
gunung dan lautan itu ya sama seperti tubuh yang
seperti tubuh.” terhubung.
mengenai nilai dan makna hutan dalam perspektif masyarakat hukum adat Cigugur.
Tuhan, manusia, dan alam sebagai suatu kesatuan. Hal ini bertolak dari filsafat Tri
Tangtu yang menghubungkan tiga entitas, atau disebut juga pola kesatuan tiga.
Sumardjo (2015 : 46) menyatakan bahwa kesatuan tiga itu muasalnya dari yang
transenden, sesuatu yang metakosmos. Kalau alam Sunda ini benar dan baik, tentu
hubungannya sama dengan yang metakosmos itu. Itulah kesatuan alam antara
Langit, Manusia, dan Bumi. Langit itu Keresa, Manusia itu pemikirannya, dan
Bumi ini Kawasa, yakni menumbuhkan tanaman yang diperlukan manusia Sunda
hidup sejahtera. Lebih jauh, masyarakat Sunda melambangkan langit sebagai air,
manusia sebagai batu (yang dapat digurat dalam tulisan, pikiran), dan bumi sebagai
tanah.
dimensi sosial budaya, yang salah satunya adalah suatu kosmologi atau pandangan
terhadap dunia yang nyata berbeda; suatu pandangan atau pemahaman terhadap
50
lingkungan yang berbeda dengan ilmu pengetahuan Barat seperti ilmu ekologi
sebagai bagiannya.
Dalam konteks kosmologi ini, filsafat Tri Tangtu yang dianut masyarakat
hukum adat Cigugur tergambar dalam konsep yang sama seperti masyarakat Sunda
pada umumnya yang mengacu pada tiga dimensi, yakni kesadaran ketuhanan
rumus filsafat Tri Tangtu ini, ketiga entitas tersebut dianggap sebagai satu kesatuan.
pola kesatuan tiga atau Tri Tangtu, atau Pikukuh Tilu itu sendiri. Sumardjo (2015 :
6) menyebutkan bahwa salah satu dasar filosofi budaya Sunda adalah pola kesatuan
tiga yang kadang disebut tritangtu atau tilu sapamilu (sapamulu, sapamula). Di
51
Tilu sapamilu
dua sakarupa
hiji éta kénéh
Terjemahannya kurang lebih: tiga yang bersama, dua yang serupa, satu itu-
itu juga. Ada pemaknaan bahwa Tuhan dan alam sebenarnya bukanlah entitas yang
berbeda atau berbeda wujud, melainkan merupakan suatu kesatuan wujud. Tuhan
adalah alam, alam adalah Tuhan. Bila manusia juga diikutsertakan, maka
sebenarnya Tuhan adalah alam dan manusia, alam adalah Tuhan dan manusia,
manusia adalah alam dan Tuhan. Ketiga itu merupakan satu kesatuan wujud,
manunggal. Hiji éta kénéh. Hal ini menyebabkan Tuhan dalam keyakinan Sunda
sebagai sejajar dapat dianggap memiliki persepsi bahwa mereka menerima entitas
segala sesuatu di alam semesta ini sebagai terkait dan saling tergantung satu sama
lain. Manusia adalah bagian tak terpisahkan dari alam, dan perkembangan
alam semesta seluruhnya. Hubungan manusia dengan alam adalah hubungan yang
Ekspresi kebudayaan ini terutama dapat ditemui dalam tradisi adat Seren Taun yang
dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat Cigugur. Seren Taun sendiri merupakan
52
sebuah ritual berbentuk upacara adat. Upacara adat ini dilaksanakan sebagai
ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa, dan juga berupa doa-doa harapan
agar kehidupan yang lebih baik di masa mendatang dapat mereka terima. Meski
demikian, upacara adat Seren Taun ini bukan merupakan upacara keagamaan,
melainkan suatu tradisi untuk mengungkapkan rasa syukur, khususnya atas hasil
bumi yang mereka dapat selama satu tahun. Upacara adat Seren Taun ini dipusatkan
di Gedung Paseban Tri Panca Tunggal, yang merupakan Cagar Budaya tersebut.
Pesta kesenian rakyat ini berisikan seni tradisional dan diwariskan secara turun-
adat Seren Taun. Masyarakat Cigugur merupakan salah satu masyarakat Sunda
yang hidup dari pertanian. Upacara Seren Taun sebenarnya tidak hanya
adat Cigugur sama seperti halnya wujud manusia. Ada pemaknaan bahwa alam dan
manusia bukan merupakan entitas yang berbeda. Pengertian ini bertolak dari
ungkapan dua sakarupa, yang berarti dua entitas ini masih memiliki satu rupa, satu
wujud. Meski demikian, alam semesta merupakan moral subject, dan tidak bisa
sementara manusia merupakan moral agent, yakni pihak yang memiliki peran aktif
53
demikian, manusia sudah semestinya melindungi alam semesta ini, tidak terkecuali
hutan.
kesadaran dalam menyelaraskan dengan alam setidaknya adalah suatu wujud sikap
dan karakter di mana manusia Sunda tidak akan menjadikan alam sebagai bahan
eksploitasi. Upaya menjaga keseimbangan antara “jagat alit” (diri manusia) dengan
“jagat ageung” (alam beserta isinya) di satu sisi juga sebagai wujud religiusitas
manusia Sunda sebagai “makhluk suci” atau makhluk yang berasal dari alam
kesucian “kahiyangan”.
Jagat alit disebut juga sebagai waruga manusa dan jagat ageung disebut
juga sebagai waruga jagat. Waruga manusa di sini maknanya mendekati makna
mikrokosmos, yakni dunia yang berada di dalam diri manusia, atau semesta
54
makrokosmos, yakni dunia fisik yang berada di luar manusia, atau alam semesta.
Ada pertautan dua dunia antara dunia di luar dan dunia di dalam, dan kedua itu
dianggap sebagai suatu perwujudan yang tidak ada bedanya, yang sudah seharusnya
Waruga manusa dan waruga jagat terhubung sebagai suatu sistem hidup,
antara manusia dan alam, kemudian hal ini banyak tergambar dalam ekspresi-
ekspresi kebudayaan masyarakat hukum adat Cigugur yang begitu lekat dengan
alam, yang diungkapkan secara simbolis seperti, misalnya, dalam tradisi Seren
Taun.
Ada ikatan erat antara manusia dan alam. Dalam perspektif masyarakat
hukum adat Cigugur, alam, hutan, dan gunung memiliki perbedaan yang tidak
terlalu signifikan. Dalam arti tertentu, kedua entitas ini merupakan satu kesatuan
dan merupakan mitra dalam menjalani kehidupan, yang dengan demikian sudah
sepatutnya dilindungi sedemikian rupa oleh manusia. Dalam ikatan antara waruga
manusa dan waruga jagat ada penjelasan yang lebih rinci. Dalam waruga manusa
dan waruga jagat, ada yang namanya tata kelola air, dan tata kelola air di hutan itu
Hutan memiliki sesuatu semacam “titik vital” yang sama seperti manusia.
“Titik vital” itu dapat dimaknai sebagai cakra. Sama halnya dengan hutan, manusia
pun memiliki cakra semacam itu. Titik-titik cakra yang ada di dalam diri manusia
Cakra Mata, Cakra Tenggorokan, Cakra Jantung adalah kelenjar timus, Cakra
Manipura, Cakra Seks, dan Cakra Dasar. Titik-titik cakra ini tidak hanya dimiliki
55
oleh manusia, melainkan juga dimiliki oleh alam, baik itu gunung atau hutan.
Waruga manusa dan waruga jagat dihubungkan secara sistemis sebagai sesuatu
manusia dan alam. Hal ini dapat diindikasikan bahwa mereka menganut paradigma
holistis dalam memandang eksistensi yang ada di dunia. Paradigma holistis adalah
suatu paradigma filsafat ilmu lingkungan hidup yang memandang alam semesta ini,
terhubung dan saling ketergantungan. Keraf (2014 : 80) berpendapat bahwa semua
berkembang dalam interaksi dan hubungan saling tergantung dan saling pengaruh
satu sama lain. Sebagai sistem yang hidup, setiap organisme selalu tumbuh dan
berkembang secara dinamis dalam proses saling pengaruh dan saling bergantung
satu sama lain. Maka struktur dasarnya selalu fleksibel untuk berkembang dan
Hal ini membuktikan bahwa masyarakat hukum adat Cigugur tidak berpikir
jasmani dan rohani, serta memandang struktur alam secara parsial. Masyarakat
hukum adat Cigugur tidak membedakan hutan dengan area lain selama masing-
masing memiliki fungsi yang terintegrasi, begitu pula alam tersebut senantiasa
mijalma (terpersonifikasi) sebagai sesuatu yang hidup dan bukan sekadar benda
atau objek.
56
Melalui penggambaran sebelumnya, masyarakat hukum adat Cigugur
memiliki corak berpikir holistis dalam hubungannya dengan alam. Alam tidak
dipisahkan dari hutan, hutan tidak dipisahkan dari gunung, gunung tidak dipisahkan
dari mata air, mata air tidak dipisahkan dari sungai, sungai tidak dipisahkan dari
laut. Semua area itu dianggap berjejaring atau sebagai satu kesatuan yang apabila
terjadi kerusakan di salah satu titik, maka “rasa sakit” akan menjalar ke seluruh titik
tersebut. Bila terjadi penebangan liar di gunung, maka akan terjadi kekeringan di
pesawahan.
Tabel 4.2 Unit Informasi untuk Makna Hutan dalam Perspektif Masyarakat
Hukum Adat Cigugur
57
Hukum Adat itu sendiri kan ya selain untuk 2. Hutan dimaknai
Cigugur menjaga habitat daripada makhluk- sebagai habitat
makhluk yang memang sudah Tuhan makhluk ciptaan
ciptakan di semesta ini, numawi juga Tuhan.
sebagai daerah resapan air. Numawi 3. Hutan dimaknai
perlindungan hutan itu sangat-sangat sebagai daerah
penting untuk kita lakukan.” resapan air yang
harus dilindungi.
1. Gunung disebut
sebagai Sanghyang
“Jadi gunung itu Sanghyang Sirah. Sirah dan laut
Laut itu Sanghyang Dampal. Nah sebagai Sanghyang
begitu era modern negara ini kan Dampal.
dibagi-bagi. Ini kabupaten ini, ini 2. Konsep tata
masuk Losari, Cirebon, bukan ruang modern
Kuningan. Jadi rencana tata ruangnya berbeda dengan tata
sudah beda.” ruang masyarakat
hukum adat
Cigugur.
Tokoh 1. Ulu-ulu atau
Masyarakat jurig cai adalah
Hukum Adat “Ulu-ulu itu jadi kalo kita nebang penunggu di daerah
Cigugur pohon, jadi dalam perspektif mata air.
kasundaan, mata air radius 100 meter 2. Tidak
tuh tidak boleh ada pohon yang diperbolehkan
ditebang. Ada catchment area, menebang pohon
tangkapan air, logika sekarang. Tapi radius 100 meter
dulu kan dijaga dengan apa, mitos. dari mata air.
Éta aya ulu-ulu, gitu. Jurig cai. Tapi 3. Ulu-ulu
intinya sebetulnya itu kan merupakan mitos
keseimbangan.” yang ada untuk
menjaga mata air
dan keseimbangan
ekologis.
58
1. Ulu-ulu bukan
makhluk, melainkan
“Kami percaya ulu-ulu itu bukan
vibrasi atau
makhluk, tapi dia adalah vibrasi.
gelombang.
Setiap benda itu kan punya vibrasi
2. Vibrasi ini
ya, punya gelombang, frekuensi.
diyakini terhubung
Kalau taneman-taneman tertentu
dengan pohon
yang dia bisa meredam vibrasi,
tertentu yang
menyeimbangkan vibrasi ditebang,
apabila ditebak
maka vibrasi di daerah itu jadi rusak.
akan merusak
Bukan klenik sebetulnya.”
vibrasi di daerah
tersebut.
Sumber: Hasil Wawancara (2021)
mengenai nilai dan makna hutan dalam perspektif masyarakat hukum adat Cigugur.
Masyarakat hukum adat Cigugur melihat hutan (dalam hal ini alam) sebagai
Cigugur tidak memaknai alam sebagai sesuatu yang mati. Alam dipandang sebagai
entitas yang juga hidup, sama halnya dengan manusia. Hal ini sebagaimana
diungkapkan Salahudin (2017 : 271) bahwa alam dalam perspektif Sunda bukanlah
sesuatu yang sebagai objek eksploitasi, tapi ia adalah mitra manusia dalam
berkhidmat kepada Sang Batara. Dalam hal ini, alam dapat pula dimaknai sebagai
“alat transendensi”.
dipahami dan dihayati oleh masyarakat adat sebagai sebuah cara hidup, dengan
tujuan untuk menata seluruh hidup manusia dalam relasi yang harmonis dengan
sesama manusia dan alam. Dalam penghayatan agama seperti itu, masyarakat adat
selalu ingin mencari dan membangun harmoni di antara manusia, alam, masyarakat,
59
dan dunia gaib dengan didasarkan pada pemahaman dan keyakinan bahwa yang
mereka menghormati alam secara simbolis dalam ekspresi kebudayaan mereka. Hal
ini terlihat dari bagaimana tradisi upacara Seren Taun yang mereka laksanakan
setiap tahun pada tanggal 22 Rayagung Tahun Saka. Seren Taun sendiri merupakan
sebuah ritual berbentuk upacara adat. Upacara adat ini dilaksanakan sebagai
ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa, dan juga berupa doa-doa harapan
agar kehidupan yang lebih baik di masa mendatang dapat mereka terima. Meski
demikian, upacara adat Seren Taun ini bukan merupakan upacara keagamaan,
melainkan suatu tradisi untuk mengungkapkan rasa syukur, khususnya atas hasil
bumi yang mereka dapat selama satu tahun. Meski demikian, seperti diungkapkan
Agustiningsih (2020 : 18) bahwa upacara Seren Taun sebenarnya tidak hanya
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hal ini senada
habitat dari berbagai makhluk yang diciptakan Tuhan, tidak terkecuali manusia.
Masyarakat hukum adat sendiri Cigugur tidak terlalu membedakan hutan dan
60
gunung. Artinya keberadaan hutan di area ini memang berada di kaki gunung, yang
artinya kedua entitas ini seolah-olah merupakan satu kesatuan. Hal yang vital
adalah hutan merupakan daerah resapan air yang menjadi sumber dari kehidupan.
yang memang sudah semestinya dimuliakan. Ada satu ungkapan bahwa hutan
melakukan laku spiritual. Spiritual di sini tidak berhenti pada pemaknaan gaib,
Salahudin (2017 : 74) berkata bahwa tempat suci ini mengisyaratkan agar
dijaga dengan penuh kesetiaan, dedikasi dan tanggung jawab yang kemudian sering
geografinya, yang diberi nama dengan istilah-istilah bagian tubuh manusia, yakni
61
“sosok” yang juga menghuni ketiga tempat tersebut. Namun mitos-mitos ini hidup
sebagai cara para leluhurnya untuk memberi nasihat. Kategorisasi ruang semacam
ini berbeda dengan kategorisasi tata ruang modern yang membagi daerah-daerah
secara administratif.
mata airnya—suatu tempat di mana air berawal mula. Di lokasi ini dikenal ada
penunggu yang bernama jurig cai (hantu air) atau ulu-ulu. Ulu-ulu pada umumnya
tidak berani menebang pohon besar yang menjadi faktor keberadaan suatu mata air
di hutan. Namun meski demikian, seiring waktu berlalu mitos ulu-ulu kemudian
perilaku manusia agar tidak melakukan perusakan hutan dengan menebang pohon-
pohon besar karena hanya akan berakibat pada mengeringnya mata air. Bahwa
radius 100 meter dari mata air tersebut, tidak boleh ada pepohonan yang ditebang.
gagasan yang dilahirkan oleh motif tertentu demi tujuan tertentu. Masyarakat
hukum adat Cigugur percaya bahwa apabila pohon besar ditebang dalam radius 100
meter tempat mata air muncul, maka vibrasi di area itu akan rusak dan
62
Masyarakat hukum adat Cigugur memiliki pengetahuan lokal yang
kearifan ekologis. Dalam kearifan ekologis ini, masyarakat hukum adat Cigugur
informan mengenai pengelolaan hutan yang meliputi (1) zonasi hutan berdasarkan
hukum adat; (2) larangan penjualan tanah pertanian; dan (3) perlindungan flora dan
Tabel 4.3 Unit Informasi untuk Zonasi Hutan Berdasarkan Hukum Adat
63
“Ya memang dikatakan bahwa siapa
1. Siapa pun yang
yang mengganggu bakal
mengganggu area
mendapatkan sesuatu yang luar biasa
leuweung larangan
dalam hidupnya, ada karma, mamala.
akan mendapat
Ya meskipun mamala itu tidak
mamala.
diterima saat ini, belum kelihatan
2. Leuweung
atau apa, tapi yang namanya amanat
larangan memiliki
sepuh itu tetep harus kita jaga.
nilai sejarah.
Bagaimana pun beliau memiliki
3. Hutan menjadi
tanah di situ karena ada sejarah.
tempat orang-orang
Karena ada satu perjalanan yang kita
zaman dahulu untuk
tidak pernah tahu ada apa di situ.
memeroleh
Karena kan jalmi-jalmi kapungkur
pengelaman
mah tidak lepas dari pengalaman
spiritual.
batin secara spiritual.”
1. Salah satu
“Tapi sekarang udah bukan
leuweung larangan
bentuknya leuweung. Karena
bernama Leuweung
Leuweung Leutik itu cuma 700 bata,
Leutik seluas 700
dan itu sudah dipangkas semua
bata.
pohon-pohon yang ada di situ.
2. Leuweung Leutik
Kepala Adat Mangga kalau mau ke sana, mangga.
sudah bukan hutan,
Masyarakat Cuma itu kayanya sekarang sih
tetapi sudah
Hukum Adat tinggal ilalang-ilalang wae kitu. Da
menjadi padang
Cigugur memang gini, sebetulnya itu téh aya
ilalang.
di tengah perkampungan yang
3. Dalam
namanya Kampung Lumbu, ya,
manuskrip, di area
emang kalau dalam manuskrip tidak
Leuweung Leutik
boleh ada permukiman rumah di
tidak boleh
situ.”
didirikan
permukiman.
“Jadi dengan adanya hutan yang
1. Eskplotasi hutan
dieksploitasi terlalu, dipake untuk
diyakini membuat
apalah, penebangan hutan dan lain
masyarakat Hukum
sebagainya, gas alam dan lain
Adat Cigugur tidak
sebagainya, ini kita tidak bisa lagi
dapat mewariskan
mewariskan mata air-mata air untuk
mata air, melainkan
kehidupan anak cucu kita. Bukan
air mata kepada
tidak mungkin kita hanya bisa
generasi
mewariskan air mata untuk anak
selanjutnya.
cucu kita.”
1. Zonasi hutan
“Sama seperti dalam kosmologi,
dibagi ke dalam
ruang lingkungan kita pun begitu.
leuweung larangan,
Hutan larangan, tutupan, baladahan.”
leuweung tutupan,
64
dan leuweung
baladahan.
65
1. Leuweung
“Ini leuweung baladahan, ini fungsi baldahan memiliki
ekonomi. Kalau di gunung fungsi ekonomi.
baladahan-nya bukan kamu nanem 2. Area leuweung
jagung, tapi nanem buah-buahan, baladahan ditanami
sebagai perimeter kan, apa, pisang, buah-buahan untuk
buah-buahan, sehingga monyet tidak mengatur pola
turun ke desa. Kemarin pada saat TN persebaran hewan
kan, Linggasana, itu desa-desa yang liar seperti monyet,
tadinya penghasil pisang. Bayangin babi, dan lain-lain.
orang Kuningan, daerah penghasil 3. Fungsi ekologi
pisang, tiba-tiba untuk bikin keripik lama rusak, dan
pisang beli. Orang desa dia pun beli. masyarakat sempat
Beli di Cirebon, di Jagasatru, di pasar tidak diperbolehkan
Tanjungsari ya. Beli. Padahal mengakses hutan
biasanya penghasil. Nah, kami sejak penetapan
masyarakat melihat ini kan berarti Taman Nasional
fungsi ekologis lama, ekosistem lama Gunung Ciremai
nih rusak, ancur. Masyarakat tidak sehingga fungsi
boleh masuk ngerawat hutan.” ekonomi leuweung
baladahan
terhambat.
66
kemarin kita menjelaskan lho, belut
bodas téh sanés kitu. Belut bodas téh
pipa. Kita kasih foto geothermal dari
atas. ‘Oh, éta belut bodas téh!’ kitu.”
Sumber: Hasil Wawancara (2021)
mengenai zonasi hutan berdasarkan hukum adat yang dianut oleh masyarakat
hukum adat Cigugur. Zonasi ini bertolak dari filsafat Tri Tangtu yang secara
berdasarkan hukum adat mereka dibagi menjadi tiga, yakni leuweung larangan,
dibagi menjadi tiga bagian, yakni (1) hutan lindung, (2) hutan konservasi, dan (3)
hutan produksi.
Leuweung larangan atau hutan larangan merupakan hutan lebat dan tua
yang biasanya memiliki karakteristik hutan yang lebat dengan berbagai jenis pohon
besar dan kecil yang tumbuh secara alami. Hutan tersebut biasanya rimbun,
memiliki kerapatan pohon yang tinggi, dan masih banyak hewan yang hidup di
dalamnya. Selain itu, seperti namanya, hutan ini adalah kawasan hutan yang
leuweung titipan yang diperuntukan untuk resapan air. Hal ini sesuai dengan
amanat para leluhur kasepuhan untuk tidak dibuka sebagai lahan sawah karena
67
Gambar 4.4 Salah Satu Areal Leuweung Larangan
(Sumber : Dokumentasi Lapangan, 2021)
situs dan sebagainya. Hal ini membuat areal hutan yang memiliki situs di dalamnya
ditandai sebagai areal “keramat”, yang dalam arti tertentu artinya tidak boleh
dikelola dengan seenaknya. Ada aturan tertentu yang pada umumnya harus
dipenuhi untuk bisa mengelola areal leuweung larangan, misalnya keadaan darurat
yang tidak terhindarkan. Leuweung larangan merupakan area yang tidak boleh
Larangan biasanya merupakan daerah resapan air yang dengan demikian menjadi
pemasok dari kebutuhan dasar manusia, yaitu air. Apabila area ini pada akhirnya
pembalakan liar, maka manusia hanya tinggal menunggu mamala atau malapetaka.
68
tanah adat yang sudah ada sejak zaman pendiri masyarakat hukum adat Cigugur,
perseorangan melainkan secara kolektif diklaim oleh pihak yang masih keturunan
kepadanya. Leuweung Leutik pun kini sudah dijual kepada pihak lain sehingga
sesar dengan bebatuan marmer dan oniks pernah ditambang, sementara dalam
menyebabkan longsor.
untuk diganggu atau digunakan karena nilai sakralitasnya. Hutan ini tidak
masyarakat hukum adat Cigugur memiliki makna tutupan (penutup atau tertutup),
dan hanya boleh digunakan atas izin Pupuhu Adat, dan itu pun biasanya hanya
dalam momen-momen tertentu yang mereka anggap penting. Kawasan ini terletak
sana.
69
Leuweung baladahan adalah jenis hutan yang memang diperuntukkan untuk
dikelola oleh masyarakat hukum adat Cigugur. Hutan tersebut bisa dimanfaatkan
meski tetap menginduk pada aturan-aturan adat. Masyarakat hukum adat Cigugur
keperluan ternak, dan mengambil kayu bakar. Hutan ini tidak terletak begitu jauh
baladahan antara lain tidak boleh menebang pohon-pohon keras karena berpotensi
akan merusak tata kelola air, kemudian anjuran penanaman tanaman buah untuk
menjaga mobilitas satwa seperti monyet dan babi hutan agar tidak turun ke wilayah
permukiman yang berada di areal lebih rendah. Ada juga kecemasan masyarakat
hukum adat Cigugur mengenai tata kelola kehutanan saat ini yang sebagian besar
tidak sesuai dengan kondisi geografis di wilayah Kabupaten Kuningan, yang alih-
70
Seperti yang diungkapkan di atas, leuweung baladahan bisa dikelola, tetapi
tetap dengan rambu-rambu adat tertentu. Meski fungsi leuweung baladahan adalah
baladahan dapat juga dianggap identik dengan konsep wana tani. Marfai (2012 :
masyarakat petani lokal. Pemanfaatan lahan sekitar hutan untuk pertanian oleh
masyarakat petani lokal lebih sering disebut dengan model kehutanan sosial wana
tani. Pemanfaatan lahan di sekitar hutan dalam bentuk kehutanan sosial wana tani
pelaksanaan kehutanan sosial wana tani belum mendapatkan hasil yang optimal dan
signifikan terhadap masyarakat lokal dan lingkungan sumberdaya alam itu sendiri.
71
Zonasi hutan berdasarkan hukum adat ini mengalami cukup banyak
polemik. Salah polemik tersebut adalah adanya wacana ekstrasi panas bumi yang
diinisiasi oleh Kementerian Energi Sumber Daya Mineral pada tahun 2011 melalui
panas bumi ini mengingatkan masyarakat hukum adat Cigugur pada uga yang
mereka yakini, bahwa, “Lamun di Gunung Putri tos aya belut bodas, Sukageuri
bakal jadi leuwi, Cigugur lebur, Kuningan ngarangrangan.” Artinya kurang lebih,
”Bila di Gunung Putri sudah ada belut putih, Sukageuri jadi dangkal, Cigugur
hancur, Kuningan kekeringan.” Keberadaan frasa “belut bodas” dalam uga tersebut
72
“Kebetulan yang beli tanah-tanah itu
adalah orang luar gitu, keturunan dari
luar. Beli dari petani dengan harga 1. Tidak
murah. Jadi ada sistem seperti ini: diperkenankan
Menggunakan tokoh untuk membeli menjual tanah pada
dari petani dengan harga murah, orang luar.
kemudian dijual lagi dengan harga 2. Ada mekanisme
mahal, sehingga tanah itu sekarang, politik yang
kaya daerah Cisantana dan lain membuat tanah-
sebagainya, udah gak mungkin dibeli tanah di wilayah
oleh masyarakat biasa. Karena kalau Cigugur dijual dari
dulu satu bata itu misalnya lima petani dengan harga
puluh ribu, bahkan mungkin sepuluh murah.
ribu, sekarang udah gak kejangkau. 3. Selain karena
Udah jutaan, bahkan sebentar lagi pertimbangan
juga belasan juta. Padahal waktu budaya, larangan ini
mereka jual itu mungkin cuma dua juga ada karena
ratus ribu perbata.” pertimbangan
investasi.
“Tanpa adanya hutan yang 4. Penjualan tanah
terpelihara dan terjaga mungkin kita pada pihak luar
Kepala Adat sudah lenyap dari kapan. Nah akan menghadirkan
Masyarakat sekarang bagaimana kita menjaga pembangunan di
Hukum Adat kabuyutan atau semesta itu, dan kita wilayah Cigugur
Cigugur tidak hanya berpikir untuk kebutuhan karena merupakan
kita sekarang. Tapi kita juga harus pusat pariwisata di
bisa berpikir untuk kebutuhan anak Kabupaten
cucu kita nanti. Nah dengan Kuningan, dan hal
penggundulan hutan itu sendiri kan ini akan membuat
dulu mah di Cigugur juga terkenal keseimbangan
dengan mata air Ciereng. Sekarang ekologis terganggu.
setelah banyak penggundulan dan 5. Proses bertani
banyak bangunan ke arah atas, ada diasumsikan
yang bikin kafe bikin villa bikin apa, perlahan-lahan
terus pola hidup petani juga sudah ditinggalkan dan
berubah. Bahwa bercocok tanam itu beralih pada profesi
sendiri adalah proses yang mungkin yang “instan”.
lambat atau cepat harus ditinggalkan 6. Tanah pertanian
karena kita sudah terbiasa dengan yang dijadikan
hal-hal yang instan.” tempat permukiman
atau industri suatu
“Dan satu saat nanti mereka harus saat harus
pindah ke sebuah tempat dan di situ ditinggalkan karena
harus dikosongkan. Janten uga na, sudah ada uga.
pami saur urang Sunda mah, uga na
tos aya. Tapi kan ayeuna mah
73
berbenturan dengan masalah hak
kepemilikanlah, klaim, kan ayeuna
mah gampil diartosan itu jadi milik
kita.”
mengenai nilai dan makna hutan dalam perspektif masyarakat hukum adat Cigugur.
Tuhan, manusia, dan alam sebagai suatu kesatuan. Hal ini bertolak dari filsafat Tri
Tangtu yang menghubungkan tiga entitas, atau disebut juga pola kesatuan tiga.
mengenai larangan penjualan tanah pertanian masyarakat hukum adat Cigugur. Hal
ini bertolak dari pertimbangan kultural serta pertimbangan ekonomis. Hal senada
menurunnya debit air di wilayah Cigugur sendiri karena banyaknya tanah pertanian
74
Agustiningsih (2020 : 45) menyatakan bahwa Cigugur-Kuningan itu sendiri
bermatapencaharian sebagai petani yang menghasilkan padi. Makna padi sendiri itu
bagi masyarakat petani Sunda sangatlah dalam seperti tercermin dalam berbagai
kisah klasik sastra Sunda, seperti Pwah Aci Sanghyang Asri. Pwah Aci Sanghyang
Asri adalah dewi yang telah memberi kesuburan bagi petani sebagai utusan langit
sendi kehidupan yang fundamental. Hal ini tercermin dalam ekspresi kebudayaan
mereka yang menjunjung tinggi pertanian sebagai corak kultural mereka. Upacara
adat Seren Taun dapat menjadi contoh representatif hal tersebut. Upacara itu sendiri
menyampaikan rasa syukur pada Nyi Pwah Aci Sanghyang Asri, yang merupakan
dewi pertanian dalam keyakinan masyarakat Sunda. Hal ini tidak bisa terlepas dari
109) berkata: “Dari mana segala tumbuhan keperluan hidup para petani Sunda di
zaman dulu? Dari tubuh Nyi Pohaci. Dari mana asal Nyi Pohaci? Ternyata dari
dunia bawah, dibawa ke dunia atas, baru diturunkan di dunia tengah manusia Sunda
75
(Buana Panca Tengah).” Dari penuturan itu, masyarakat hukum adat Cigugur begitu
dan mata air, merupakan sesuatu yang diberikan oleh Gusti Sikang Sawiji-wiji yang
sudah semestinya dikelola dengan baik dan demi kesejahteraan bersama. Holihah
(2015 : 164) berpendapat bahwa warga masyarakat hukum adat Cigugur secara adat
tidak boleh untuk menjual tanah mereka keluar dari wilayahnya. Peraturan ini
secara tidak langsung tetap menjaga kawasan dan wilayah mereka tetap berada
dalam ruang lingkup aturan adat. Aturan ini juga memungkinkan warga untuk tetap
mengelola tanahnya sesuai dengan aturan adat. Larangan ini menjadi tindakan nyata
tanah dijual ke masyarakat luar, maka keberlangsungan nilai dan adat istiadat
Larangan menjual tanah pada orang luar dengan pertimbangan yang masuk
akal, juga dengan pemahaman pada investasi berbasis lahan. Artinya, lahan
wisata alam. Ada banyak investor yang membidik lahan-lahan di daerah Kecamatan
Cigugur untuk dibangun menjadi villa, objek wisata, restoran, dan lain sebagainya,
yang dengan demikian akan mengorbankan lahan-lahan pertanian yang sejak dulu
76
berpotensi merusak lingkungan baik secara langsung maupun secara tidak
langsung.
membuat budaya bercocok tanam dinilai sebagai profesi yang kurang bergengsi,
tidak produktif, dan merepotkan. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat memilih
untuk menjual lahannya dan lantas kemudian menggunakan uang hasil penjualan
lahan tersebut sebagai modal untuk kepentingan lain, misalnya berwirausaha. Hal
Terkait hal tersebut, ada dampak langsung pada debit air di Balong Girang
yang menurun drastis dalam 2-3 tahun terakhir sehingga bahkan tidak bisa
debit air menurun secara berkala selama 10 tahun terakhir. Hal ini dikarenakan
pengelolaan hutan tidak bisa bertahan tanpa ada kerjasama dari pihak lain, terutama
dari pihak yang memiliki wewenang politik. Hal ini disadari betul oleh masyarakat
hukum adat Cigugur bahwa untuk memertahankan nilai-nilai itu, mereka harus juga
77
kearifan lokalnya dalam kerangka yang dapat diterapkan dalam regulasi
konstitusional.
kearifan tradisional dan kembali ke etika masyarakat adat, hak-hak masyarakat adat
harus diakui dan dijami oleh semua masyarakat dunia. Harus ada komitmen politik
di tingkat global dan nasional untuk melindungi hak-hak masyarakat adat beserta
seluruh kearifan tradisionalnya. Melalui jalan ini, kita bukan saja menyelamatkan
melainkan juga menyelamatkan krisis ekologi yang terutama disebabkan oleh cara
Masyarakat hukum adat Cigugur tidak bisa berbuat banyak untuk berkontribusi
tata kelola pemanfaatan lahan dan mata air, dikarenakan potensi keberadaan
Tabel 4.5 Unit Informasi untuk Flora dan Fauna yang Dianggap Keramat
78
eksklusif di masyarakat hukum adat 2. Kepercayaan ini
Cigugur.” tidak eksklusif ada
di masyarakat
hokum adat
Cigugur.
79
“Kalo kita ke Palutungan kan ada 1. Pohon dangdeur
warung tuh dekat Taman Nasional. dilarang untuk
Éta tangkal naon? Dangdeur. Itu ditebang karena
yang kita larang. Dan itu pertanda pohon itu pertanda
bahwa di bawah itu ada kantung air. keberadaan mata
Kita dilarang motong pohon itu … air.
Di situ radius sampe lima meter pasti 2. Dalam radius
ada titik air. Ya kalo ditebang, kita sampai lima meter
sendiri yang rugi. Tapi sekarang kan, dari pohon
kaya yang pohon dangdeur di deket dangdeur diyakini
Saung Stroberi. Ini yang punya ada mata air.
saung, alesannya nih tanah mereka. 3. Keberadaan
Tadinya di Palutungan tuh ada dua pohon dangdeur
atau tiga, tahun 90 saya masih sudah semakin
ngelihat. Tapi yang dua di deket langka.
Saung Stroberi 1, udah gak ada.”
1. Pohon dangdeur
dipercayai ditunggu
“Itu kan ada pohon besar, dangdeur
oleh semacam
namanya. Suka ada penunggunya.
Petani Hutan makhluk halus dan
Gak boleh ditebang. Waktu itu
akan memberi
ditebang malah nimpa rumah.”
mamala pada
penebangnya.
mengenai flora dan fauna yang dianggap keramat. Masyarakat hukum adat Cigugur
sama, yakni Cigowong, salah satunya ditandai oleh keberadaan Ikan Dewa. Ikan
Dewa sendiri lebih dikenal dengan nama kancra bodas dan memiliki mitos yang
80
melainkan di masyarakat Kabupaten Kuningan. Rosali dan Adhiyasa (2021)
bangkai Ikan Dewa serta mengurusnya sebagaimana jenazah manusia. Dengan ini
dapat dimaknai, bahwa Ikan Dewa tidak dipandang sebatas ikan dalam tataran
biologis dan ekonomis, melainkan sebagai makhluk yang memiliki nilai inheren.
Meski demikian, saat ini Ikan Dewa tidak dipandang sedemikian mistis, melainkan
lebih secara simbolis, bahwa apabila ada ikan tersebut, berarti air di kawasan itu
menandakan keberadaan aliran air dari mata air purba Gunung Ciremai. Mitos
bahwa Ikan Dewa tidak boleh dikonsumsi juga merupakan sebuah upaya preventif
agar menghindari kepunahan spesies ini. Meski demikian, ternyata Ikan Dewa saat
dan lain-lain. Hal ini membuktikan bahwa mitos Ikan Dewa di masyarakat
yang ada di areal hutan Gunung Ciremai. Mereka menganggap bahwa mata air
adalah sumber utama dari kehidupan, yang dengan demikian sudah sepatutnya
81
Meski pohon dangdeur dianggap sebagai pohon yang tidak boleh ditebang
pembukaan lahan yang pada akhirnya terpaksa membuat pohon dangdeur yang ada
di area itu ditebang hingga membuat keberadaan pohon dangdeur semakin sedikit.
Hal ini begitu disayangkan oleh masyarakat hukum adat Cigugur karena kerugian
kolektif yang dapat dihasilkan dari aktivitas tersebut. Meski demikian, nilai adat
mereka memang tidak dapat diterapkan pada semua kalangan, apalagi investor yang
rasamala untuk bahan bangunan rumah, baik rumah penduduk maupun rumah adat.
pohon rasamala apalagi secara berlebihan dilarang bagi masyarakat adat. Kayu
rasamala hanya dapat digunakan untuk membuat tempat peristirahatan atau saung,
diambil daunnya untuk lalap dan diambil bibitnya untuk ditanam. Pelanggaran
terhadap aturan ini akan memberikan dampak yang cukup berat seperti kebakaran
baku bangunan memberikan dampak positif terhadap kelestarian hutan. Hal ini
karena keberadaan pohon rasamala akan tetap utuh dan bisa mencapai umur
bahwa masyarakat hukum adat Cigugur begitu memperhatikan vegetasi yang bisa
82
menyimpan air, maka pohon rasamala juga kemungkinan besar dilarang untuk
digunakan kayunya (dalam arti lain ditebang) agar keadaan tata kelola mata air di
ilmiah yang positivistis dan mengacu pada ilmu pengetahuan Barat. Permana (2020
Pengetahuan lokal diwariskan melalui bahasa ibu secara tidak tertulis, karena tidak
diwariskan secara tidak tertulis, maka pengetahuan tersimpan dalam alam pikiran
hukum adat Cigugur bertahan hingga kini. Faktor-faktor itu lantas ditinjau melalui
tinjauan wujud budaya. Daeng (2000 : 46) menyatakan bahwa tiap kebudayaan
pada umumnya paling sedikit memiliki tiga wujud, yaitu: (1) wujud kebudayaan
sebagai suatu himpunan gagasan; (2) wujud kebudayaan sebagai jumlah pelaku
yang berpola; (3) wujud kebudayaan sebagai sekumpulan benda dan artifacts.
83
Wujud (1) adalah wujud yang paling abstrak. Sebagai suatu himpunan gagasan,
suatu kebudayaan tak dapat dilihat atau diamati, karena tersimpan dalam kepala
orang yang dibawa ke mana pun ia pergi. Kebudayaan dalam wujud himpunan
gagasan ini disebut sebagai cultural system atau sistem budaya; juga disebut covert
culture. Dalam wujudnya yang ke (2) kebudayaan disebut social system atau sistem
sosial, sedang dalam wujud yang ke (3) adalah kebudayaan fisik, physical culture.
faktor yang membuat kearifan ekologis masyarakat hukum adat Cigugur bertahan
yakni (1) Covert Culture yang meliputi (a) penghormatan pada nilai-nilai budaya
Sunda, (b) relevansi kearifan ekologis dengan zaman; dan (2) Overt Culture yang
meliputi; (a) struktur keluarga adat, (b) penjagaan identitas adat, (c) terpeliharanya
ajaran tekstual.
84
di sana. Kalau mau nyuguhin ada. dan mendekati
Tapi kalau orang luar ya mereka juga feodal.
egaliter.” 3. Mereka memiliki
aturan adat yang
bersifat hierarkis.
“Pola penyampaian nilai atau seperti
itu terhadap generasi, kita hanya
memberi pengertian dan pemahaman
terhadap mereka mengenai … ini
1. Pola pewarisan
metode yang saya pake. Enggak
nilai tidak banyak
berat-berat. Enggak banyak kitab.
melalui kitab,
Tapi saya mencoba kitab hayat saya.
melainkan
Saya terlahir menjadi perempuan,
pemahaman secara
saya menjadi anak kedua orang tua
dialogis.
saya, saya menjadi bagian dari
2. Media
masyarakat Cigugur yang berlatar
pembelajaran yang
belakang tradisi budaya dan adat
digunakan lebih
Sunda, saya menjadi bagian dari
menekankan pada
masyarakat Indonesia. Lima ini
“kitab hayat” atau
bukan pilihan saya. Lima ini Tuhan
eksistensi personal.
yang berikan kepada saya. Tiba-tiba
saya lahir sebagai perempuan dan
ada di antara kedua orang tua saya,
saudara-saudara saya.”
Kepala Adat
1. Ada penerimaan
Masyarakat
“Saya pikir innalillahi wa innalilaihi identitas asali
Hukum Adat
rojiun, atanapi mulih ka jati mulang melalui kalimat
Cigugur
ka asal. Saya terlahir jadi orang mulih ka jati
Sunda tidak harus balik seperti orang mulang ka asal.
Kanada. Siapa pun itu. Mau orang 2. Kesadaran akan
Arabnya, mau orang Mesirnya, mau penerimaan
orang Inggrisnya, mau orang identitas asali ini
Cinanya. Kalau mereka memiliki diyakini bisa
kesadaran itu, tidak akan ada menghindarkan
keinginan untuk saling menguasai. manusia dari
Seperti itu. Jadi kalau pun saya kehendak untuk
ngasih tuntunan terhadap anak-anak, saling menguasai.
kamu tetep dalam koridor, bukan 3. Generasi muda
kamu tidak boleh bergaul, bukan masyarakat hukum
kamu tidak boleh merasakan adat Cigugur
modernisasi, tapi sebetulnya pola- diperbolehkan
pola pikir seperti ini adalah pola-pola bergaul dan
pikir manusia modern. Karena itu ya merasakan
akan membuat kita mandiri, kehidupan modern,
berkarakter, berkepribadian. Orang meski dengan tetap
modern itu bukan dari pengikut, memegang teguh
85
bukan jadi pengekor, tapi menjadi nilai-nilai
pelopor.” ajarannya.
4. Masyarakat
“Kami meneguhkan diri mengikuti hukum adat
apa yang menjadi ajaran dan Cigugur mengikuti
tuntunan leluhur sama seperti Baduy, ajaran yang
atau misalnya menggenapi saudara diwariskan oleh
kita yang di Baduy untuk leluhur seperti
melestarikan.” masyarakat adat
Kanekes atau
“Tapi yang namanya amanat sepuh Baduy.
itu tetep harus kita jaga. Bagaimana 5. Sepuh atau orang
pun beliau memiliki tanah di situ tua mewariskan
karena ada sejarah. Karena ada satu amanah yang
perjalanan yang kita tidak pernah diyakini harus
tahu ada apa di situ. Karena kan dijaga dan
jalmi-jalmi kapungkur mah tidak dipelihara.
lepas dari pengalaman batin secara 6. Orang-orang
spiritual.” zaman dulu tidak
lepas dari
“Dalam ajaran Sunda itu, kita mesti pengalaman batin
miindung ka waktu, mibapa ka dan spiritual.
jaman. Dan tugas kita berbeda.” 7. Ada ajaran Sunda
yang berbunyi
miindung ka waktu,
mibapa ka jaman.
1. Mitos yang
diwariskan oleh
“ … dan itu kelihatannya mitos gitu, leluhur dilihat
tapi kalau kami mengatakan itu sebagai suatu nilai.
adalah value. Nilai di masyarakat 2. Nilai-nilai
kalau masih tetep sabilulungan.” tersebut diyakini
akan bermanfaat
apabila ada
Tokoh
kebersamaan atau
Masyarakat
sabilulungan.
Hukum Adat
Cigugur 1. Tanah adat yang
“Jadi kata temen-temen geologi itu diwariskan oleh
sesar dangkal, itu ujung dari sesar leluhurnya
yang apa, Gunung Kendeng sana dipercaya memiliki
sampai ujungnya di situ, sesar itu. fungsi-fungsi
Sesar Baribis. Nah di ujung situ konservasi yang
fungsi onix itu kalau kata sepuh konkret,
sepuh di situ seperti pamageuh.” sebagaimana
Leuweung Kuta
86
Rambatan yang
memiliki fungsi
sebagai pamageuh
atau penahan
getaran.
1. Pendekatan
masyarakat hukum
“Itu sama seperti dalam kosmologi adat Cigugur dalam
kita, sama seperti tubuh kita nih. melihat lingkungan
Punten, lihat jarinya. Kalau di sini melalui kosmologi
luka, bengkak, satu tubuh kerasa lama ini sesuai
enggak? Nah, itu pendekatan kita dengan pemahaman
melihat lingkungan, jadi mungkin biologis saat ini.
kita, mungkin fungsi hutan larangan 2. Pendekatan
di situ. Kalau orang belajar kosmologi Sunda
akupuntur atau apa, ada titik ginjal yang dianut
tuh di kaki, di tangan ada, di sini ada, masyarakat hokum
nah di telinga ini ada 73 titik. adat Cigugur
Kelihatannya itu gak masuk akal memiliki kerangka
menurut perspektif luar. Nah pengetahuan yang
menurut perspektif buhun itu masuk berbeda dengan
akal.” kerangka
pengetahuan Barat.
1. Kerusakan di satu
“Kerusakan di ujung maka akan titik akan
berakibat kerusakan di ujung lain. Itu mengakibatkan
sama seperti pembuluh aorta kita. kerusakan di titik
Kalau pembuluh vena dan aorta kita lain.
terganggu, maka fungsi tubuh juga 2. Pendekatan
pasti terganggu. Jadi cara holistis semacam ini
pandangnya, kita melihat antara relevan dengan
gunung dan lautan itu ya sama konsep pengelolaan
seperti tubuh.” lingkungan
mutakhir.
“Nah, akhirnya bagaimana supaya 1. Komunikasi
mereka nih akhirnya bisa paham. masyarakat hukum
Memahami dengan bahasa yang bisa adat Cigugur
mereka ngerti. Anak sekarang udah kepada generasi
gak bisa lagi sekadar ditakut-takuti. mudanya
Mereka bisa lihat google, youtube. disesuaikan dengan
Jadi cara kita berdialog, karakter zaman
berkomunikasi pun, tidak bisa menggunakan
sekadar satu arah, memang harus media.
komunikatif. Mereka lebih akrab 2. Pewarisan
sama Kinmaster, anak adat pun pengetahuan tidak
begitu. Jadi buatin dokumenter anak- lagi berjalan satu
87
anak SMP. Mereka bikin foto, arah, melainkan dua
video.” arah atau dialog.
1. Metode
pewarisan
pengetahuan lama
sudah tidak
“Kalo sepuh-sepuh di sini mah yang
kompatibel dengan
usia 70-an, nerangin sama anak-anak
gaya komunikasi
SMP gitu, lima menit kérék mereka.
generasi baru
Saya enggak, saya setel film. Terus
masyarakat hukum
kita bahas film. Baru kena. Karena
adat Cigugur.
anak adat juga megang handphone.
2. Pewarisan
Anak sekarang. Kita larang cuma
pengetahuan sudah
ditakut-takuti gitu, gak masuk.”
menggunakan
media dan tidak lagi
dengan cara ditakut-
takuti dengan mitos.
Sumber: Hasil Wawancara (2021)
Cigugur bertahan dalam kerangka covert culture yang terdiri dari (a) penghormatan
pada nilai-nilai budaya Sunda; dan (b) relevansi kearifan ekologis dengan zaman.
dengan berpedoman pada nilai-nilai budaya Sunda yang diwariskan secara turun-
temurun. Nilai-nilai Sunda ini salah satunya terejawantah dalam keyakinan lokal
Sunda Wiwitan. Ajaran Sunda Wiwitan sendiri merupakan suatu kepercayaan lokal
beberapa sumber berusia lebih tua daripada kebudayaan Jawa. Hal ini membuktikan
betapa masyarakat hukum adat Cigugur memiliki penghormatan yang tinggi pada
88
nilai-nilai budaya Sunda, yang secara konkret terbukti dengan merawat warisan-
budaya yang dimiliki oleh masyarakat Sunda yang dijadikan sebagai warisan
leluhur yang patut untuk dilestarikan. Sunda wiwitan juga sering dipakai sebagai
yang masih mengukuhkan ajaran spiritual leluhur kesundaan. Penamaan itu tidak
muncul serta merta sebagai sebuah konsep penamaan keyakinan oleh komunitas
penganut Sunda Wiwitan, tetapi kemudian dilekatkan pada beberapa komunitas dan
Hal ini senada dengan uraian dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta
adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
demikian, nilai utama budaya Sunda terletak pada konsep Tri Tangtu atau Pikukuh
89
Tilu yang membedakan tiga kategori entitas yakni Resi, Ratu, dan Rama. Konsep
pengelolaan hutan yang terbagi ke dalam tiga zona, yakni leuweung larangan,
kebudayaan Sunda yang diwariskan oleh leluhurnya merupakan sesuatu yang sudah
teruji dan relevan untuk dipergunakan dalam menjalani hidup. Misalnya titik-titik
leuweung larangan diyakini masyarakat hukum adat Cigugur sebagai suatu lokasi
yang berhubungan dengan pengalaman batin secara spiritual para leluhurnya, dan
90
Implementasi konsep Tri Tangtu atau Pikukuh Tilu di masyarakat hukum
adat Cigugur dan, misalnya, masyarakat adat Kanekes cukup berbeda. Masyarakat
terlibat dalam urusan politik. Hal ini dapat dilihat dengan partisipasi Ibu Dewi Kanti
Perempuan. Secara lebih jauh, konsep Tri Tangtu dalam masyarakat Cigugur juga
tercermin dalam inti ajaran mereka yakni (1) ngaji badan yang mengkaji cara-ciri
manusia, (2) tuhu ka na tanah yang mengkaji cara-ciri bangsa, dan (3) madep ka
manusia seutuhnya yang meliputi welas asih (cinta kasih), undak-usuk (tatanan
dalam keluarga), tata krama (tatanan perilaku), budi bahasa dan budaya, serta
wiwaha yudha naradha (sifat dasar manusia yang selalu memerangi sesuatu
untuk mengetahui bangsanya yang meliputi rupa, adat, bahasa, aksara, dan budaya.
91
4) Ratu-raja 5 = Waspada pada penggunaan panca indra yang menghubungkan
5) Ratu-raja lilima = Sifat dari fungsi panca indra kita sama, tetapi sifat-sifat
bangsa berbeda;
Salah satu tantangan bagi kebertahanan kearifan lokal adalah relevansi nilai-
nilainya terhadap zaman. Tantangan ini bukanlah sesuatu yang mudah dijawab,
tetapi tidak dapat dihindari. Masyarakat hukum adat Cigugur pada akhirnya dituntut
oleh zaman untuk menyesuaikan diri. Masyarakat hukum adat Cigugur sudah
memiliki perhatian terhadap penyesuaian zaman ini. Ada suatu ungkapan yang
digenggam erat oleh mereka, yakni miindung ka waktu, mibapa ka jaman, yang
maka ajaran Sunda kuno yang dilestarikan oleh masyarakat hukum adat Cigugur
Masyarakat hukum adat Cigugur menyadari bahwa Tri Tangtu atau Pikukuh
Tilu merupakan pedoman nilai dan manifestasinya dapat berupa berbagai hal. Tentu
yang dimaksud dengan penyesuaian kembali ajaran Sunda dan relevansinya dengan
zaman bukanlah mengganti atau menghilangkan nilai-nilai dari Tri Tangtu itu
92
ruang sendiri yang bertolak dari kosmologi alam Sunda nilai-nilainya masih
Sanghyang Sirah atau mata air, hanya dalam pemaknaannya, ulu-ulu yang dulu
Ulu-ulu sendiri pada saat ini dipahami dengan perspetif yang mendekati
dan nilai ini hanya dapat dipahami apabila terdapat suatu sikap solidaritas atau
Kepercayaan pada ulu-ulu, pada nilai sakralitas mata air, akan menyebabkan
adanya kebersamaan karena secara praktis melindungi sumber air yang menjadi
klenik, justru dibantah oleh masyaraka hukum adat Cigugur. Mereka menganggap
bahwa mitos itu sekadar metode leluhur mereka untuk melindungi sesuatu. Dengan
hukum adat Cigugur juga mulai memandang dengan perspektif yang ilmiah. Ada
Di zaman modern ini, kearifan ekologis, atau secara umum kearifan lokal,
semakin tergusur dan dilupakan. Orang cenderung berpikir secara modern yang
2015 : 331). Keyakinan Sunda Wiwitan dengan kearifan lokalnya yang memandang
93
langsung dengan belajar pada entitas-entitas alamiah, juga fenomena-fenomena apa
pun yang dapat ditemui oleh manusia. Keluhuran ajaran mereka tidak berhenti pada
leluhurnya. Misalnya pada zaman batu ada suatu keyakinan yang berterima kasih
pada batu gua yang melindungi mereka, begitu juga pada pohon besar yang
memberikan berbagai kebutuhan seperti buah dan air serta peneduhan. Hal ini
Pertautan antara manusia dan alam merupakan sesuatu yang sudah berjalan
mengenal konsep penataan hutan dan mata air yang termaktub dalam zonasi hutan
yang disebut dengan Patanjala. Patanjala ini secara mitologi diyakini sebagai dewa
hujan, tetapi keyakinan tersebut melahirkan sistem zonasi hutan. Area hutan
larangan yang melindungi area-area serapan air pada gilirannya dapat dimengerti
sebagai suatu pendekatan keilmuan dalam pengelolaan hutan dan mata air. Sistem-
sistem semacam ini masih bertahan di beberapa komunitas masyarakat adat seperti
mulai memerhatikan kearifan lokal sebagai suatu sistem pengetahuan yang relevan
area.
94
Meski demikian, Permana (2020 : 94) mengungkapkan bahwa terdapat
(erosi) antara lain, yaitu punahnya bahasa lokal, keterikatan dengan pendidikan
hilangnya hak-hak masyarakat adat, termasuk hilangnya hak untuk hidup dan
bertahan sesuai dengan identitas dan keunikan tradisi budayanya serta hak untuk
karena pengaruh Barat, masyarakat adat yang berbeda tradisi budayanya kehilangan
hak hidupnya.
dalam berbagai aspek dalam menjaga nilai-nilai kearifan ekologis yang berkaitan
bahasa Sunda dalam generasi hari ini, yang secara linear melahirkan degradasi
formal yang menekankan keilmuan dan cara berpikir yang cenderung mengacu
mengeksploitasi ruang hidup masyarakat hukum adat Cigugur, dan juga intervensi
95
Informan Hasil Wawancara Unit Informasi
1. Struktur keluarga
“Pupuhunya Rama Djati memang
masyarakat hokum
mendidik kutub tersebut secara
adat Cigugur seperti
mendekati feodal, ketat, tetapi bukan
ketat seperti
dalam artian negatif.. Seperti di
keraton, serta
keraton.”
mendekati feodal
dalam pemaknaan
“Paseban itu eksklusif. Bahkan di
positif.
Cigugur sendiri, kiri-kanan itu bukan
2. Paseban Tri
anggota. Model saya deket rumah,
Panca Tunggal
cuma kita bergaul secara saling
Budayawan bersifat eksklusif,
menghormati.”
tetapi menghormati
perbedaan.
“Mereka kan punya sendi nilai sangat
3. Masyarakat
menghormati orang tua. Saya pikir
hukum adat
sendi nilai itu sangat kuat dibanding
Cigugur memiliki
relasi manusia modern dengan orang
sendi nilai sangat
tua. Dari rengkuh, tata krama,
menghormati orang
budaya Sunda yang sebetulnya dalam
tua yang berbeda
bahasa ada undak-usuk.”
dengan masyarakat
modern.
1. Struktur keluarga
adat tidak
dimaksudkan untuk
“Ini bukan masalah nepotisme, tapi
melakukan
cara orang tua kami untuk mendidik
nepotisme.
kami semua, membimbing, ngaping.
2. Keluarga adat
Bukan pemimpin, tapi pangaping.
ada untuk
Mendampingi, gitu ya. Bukan
menyiapkan
memimpin.”
pendampingan pada
Kepala Adat masyarakat hukum
Masyarakat adat.
Hukum Adat “Kita mah simple aja. Hidup juga 1. Masyarakat
Cigugur begitu mudah Tuhan berikan. Kenapa hukum adat
kita tidak mempermudah hidup kita Cigugur
untuk bisa menerima orang lain. menekankan hidup
Bersahabat dengan batin kita, dengan sederhana dan
jiwa kita, dengan keadaan kita. Jadi menerima
tinggal ngajalankeun hirup mah. perbedaan.
Kitu.” 2. Pewarisan
pengetahuan tidak
“Enggak banyak kitab. Tapi saya sebatas melalui
mencoba kitab hayat saya. Saya kitab tertulis,
96
terlahir menjadi perempuan, saya melainkan menjadi
menjadi anak kedua orang tua saya, teladan dalam
saya menjadi bagian dari masyarakat hidup.
Cigugur yang berlatar belakang 3. Masyarakat
tradisi budaya dan adat Sunda, saya hukum adat
menjadi bagian dari masyarakat Cigugur
Indonesia. Lima ini bukan pilihan menekankan
saya. Lima ini Tuhan yang berikan pentingnya
kepada saya … Mungkin dari lima memaksimalkan
inilah yang Tuhan ingin bisa saya penerimaan dan
pertanggungjawabkan.” penjagaan
identitasnya.
“Apa sih implementasinya dari 4. Masyarakat
falsafah negara Indonesia? Karena hukum adat
Indonesia juga kalau tidak ada yang Cigugur menyadari
memertahankan kesundaannya, bahwa keragaman
Jawa-nya, ini gak akan ada Indonesia identitas budaya
lagi. Gak akan ada. Jadi kami tuh adalah pertahanan
sebetulnya tinggal di sebuah negara terakhir eksistensi
dengan kebijakan pemerintah yang kebangsaan.
tidak menyadari bahwa kami adalah 5. Masyarakat
benteng terakhir pertahanan hukum adat
eksistensi kebangsaan.” Cigugur
memercayai bahwa
“Saya pikir innalillahi wa innailaihi mereka harus
rojiun, atanapi mulih ka jati mulang “kembali” dengan
ka asal. Saya terlahir jadi orang identitas yang utuh
Sunda, tidak harus balik seperti sebagaimana
orang Kanada. Siapa pun itu. Mau diberikan sejak lahir
orang Arabnya, mau orang Mesirnya, melalui ungkapan
mau orang Inggrisnya, mau orang mulih ka jati
Cinanya.” mulang ka asal.
6. Kitab Sunda
“Sumber ajaran itu kan ada yang Wiwitan mengacu
secara tutur ada yang secara tertulis. pada naskah-naskah
Yang tertulis itu sebetulnya dari Sunda Kuno seperti
naskah-naskah Sunda Kuno juga Sanghyang Siksa
begitu banyak. Dari Siksa Kanda ng Kanda ng Karesian,
Karesian, Amanat Galunggung, dan Amanat
lain sebagainya. Kemudian juga Galunggung, dan
kebetulan karena Pangeran Madrais sebagainya.
yang membangkitkan kembali 7. Pangeran
kesadaran untuk melestarikan Madrais banyak
spiritualitas lokal, beliau banyak menulis manuskrip.
menulis dalam tulisan tangan dan itu 8. Tulisan Pangeran
sudah masuk ke dalam manuskrip, Madrais kurang
97
naskah kuno. Dia juga punya tulisan, lebih ada 150.000
aksara yang sangat mandiri, dan lembar yang
kurang lebih ada 150.000 lembar sebagian sudah
manuskrip yang kita punya, dan yang didigitalisasi.
sudah didigitalisasi oleh British 9. Pewarisan
Library 30.000 lembar, oleh pengetahuan
DREAMSEA 30.000 lembar. Jadi berpedoman pada
sebetulnya sudah bisa diakses naskah terulis,
sepertinya tulisan tangan Pangeran tetapi
Madrais di internet itu.” pemahamannya
disampaikan
“Patokannya itu pasti dari yang melalui tutur.
tertulis, tapi untuk memantapkannya 10. Ada seni
sendiri adalah melalui bagaimana bertutur dalam
kita memberi pemahaman- budaya Sunda yang
pemahaman secara tutur. Karena disebut sebagai
bagaimana pun, hukum adat itu tidak siloka, atau bahasa
tertulis, ada ko yang tertulis. Ada simbolis.
yang tersurat ada yang tersirat. Itu.
Yang tersirat sendiri sebetulnya
kalau untuk leluhur-leluhur kita
zaman dulu, untuk menasihati atau
memberikan pemahaman terhadap
keturunan atau terhadap lingkungan
dan lain sebagainya, lebih banyak
menggunakan simbol, siloka. Jadi
bukan dengan kata yang dogma,
kamu tidak boleh begini kamu tidak
boleh begitu. Tapi lebih pada ke
simbol.”
1. Masyarakat
“Saya memang bukan kelahiran hokum adat
tanah ini, tapi selama 3-4 tahun ini Cigugur yang tidak
saya sudah makan dan minum dari lahir di wilayah
tanah ini, dan saya siap mati untuk Sunda begitu
Tokoh tanah ini.” memertahankan
Masyarakat identitas barunya.
Hukum Adat
Cigugur
98
1. Generasi
masyarakat hokum
“Kalau generasi saya, kita sudah adat Cigugur mulai
mulai harus bicara lebih rasional, berbicara lebih
bukan lagi mitos. Jadi seperti rasional, bukan lagi
misalnya pohon apa. Kalau saya di mitos.
sini kan, saya nih suara gak bagus, 2. Pewarisan
jadi kalo mau nyanyi juga jelek, pengtahuan juga
mamaos gak laku. Di sini dilakukan melalui
senimannya bagus-bagus, jadi saya berbagai bentuk
lebih ke misalnya ngajak anak kesenian dan kajian
meditasi, sejarah, seperti itu.” spiritualitas,
kesejarahan, dan
lain-lain.
“Di Cigugur kan ada banyak
penganut ya. Mungkin sudah baca
materinya dari profil kemarin. Ada
1. Masyarakat di
yang menganut agama Islam,
Kelurahan Cigugur
Protestan, Katolik, Hindu, Budha,
Kepala heterogen, dan
dan juga Kepercayaan. Tapi dengan
Kelurahan meski demikian
adanya komunikasi dan sikap
Cigugur tetap menjaga
kegotongroyongan, masyarakat jadi
kebersamaan dan
bersatu. Tidak ada diskriminasi. Ada
toleransi.
koordinasi dan bersatu. Kalau ada
apa pun bergotong royong,
kerjasamanya bagus.”
Sumber: Hasil Wawancara (2021)
Cigugur bertahan dalam kerangka overt culture yang terdiri dari (a) struktur
keluarga adat; (b) penjagaan identitas adat; dan (c) terpeliharanya ajaran tekstual.
Ruang pewarisan nilai paling dasar adalah keluarga. Hal ini memungkinkan
ekologis masyarakat hukum adat Cigugur. Hal ini dapat dilihat dari struktur
kepemimpinan adat yang ada. Stuktur kepemimpinan adat ini terdiri dari beberapa
99
posisi, yakni (1) Pupuhu Adat, (2) Girang Pangaping Adat, (3) Ais Pangaping Adat,
(4) Kokolot, (5) Girang Serat, (6) Panitén, dan (7) Candoli. Untuk Pupuhu Adat
dipegang oleh keturunan Pangeran Madrais langsung, yakni anak laki-laki pertama.
Pangeran Tedjabuana, anak dari Pangeran Madrais. Untuk Girang Pangaping Adat
dipegang oleh anak-anak dari Pupuhu Adat. Jabatan kedua, yakni Girang Pangaping
Adat, juga dipilih dari keturunan Pangeran Madrais, dan untuk jabatan yang lain
Ada alasan tertentu yang membuat posisi Pupuhu Adat dan Girang
Pangaping Adat dipegang oleh keturunan Pangeran Madrais. Hal ini terkait dengan
konsolidasi anggota masyarakat adat yang tersebar di berbagai wilayah dan tidak
jabatan vital seperti Pupuhu Adat dan Girang Pangaping Adat, yang dengan
100
Artinya ada semacam hierarki yang menjadi sistem untuk menanamkan
kesadaran pada individu masyarakat hukum adat Cigugur untuk bergotong royong
sosial dalam komunitas masyarakat hukum adat Cigugur, melainkan sebagai suatu
abdi, melainkan sederajat. Hanya saja ada tugas-tugas khusus yang dimiliki oleh
hukum adat Cigugur ini. Hal ini tercermin bagaimana masyarakat hukum adat
Cigugur yang berada di waréh lain berdatangan secara bergiliran ke Paseban Tri
Dalam hal ini pewarisan nilai-nilai kearifan ekologis juga begitu lekat
vertikal (vertical transmission) dari orang tua kepada anak-anaknya dengan cara
lingkungan. Cara lainnya adalah orang tua suka menceritakan pengalaman dalam
mengelola sumberdaya alam seperti bertani, berladang, dan berburu satwa kepada
101
remaja secara horisontal (horizontal transmission) dar teman sebaya melalui tukar
menukar pikiran dan informasi. Sedangkan pada masa dewasa hingga tua terjadi
transmission) dari orang tua kepada anak-anaknya dengan cara melibatkan anak-
kearifan ekologis yang memuat paham tradisional masyarakat hukum adat Cigugur.
ciri kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-
batasnya (Liliweri, 2002 : 41-45). Identitas budaya masyarakat hukum adat Cigugur
modernitas tentu bukan hal mudah. Penerimaan dari masyarakat luar juga seringkali
tidak sesuai dengan harapan masyarakat hukum adat. Stigma negatif, diskriminasi,
102
dan lain semacamnya tidak jarang menjadi tantangan berat bagi anggota masyarakat
berbaur dengan masyarakat umum yang ada di wilayah Cigugur. Hal inilah yang
mencerminkan bahwa masyarakat hukum adat Cigugur memiliki daya lenting yang
baik dalam penyesuaian diri dengan masyarakat umum. Hal yang sama juga
hukum adat Cigugur lebih kepada ajaran leluhur beserta ritual-ritual tertentu, tetapi
akan identitas diri, disampaikan dengan ajaran “kitab hayat”. “Kitab hayat” yang
dimaksudkan adalah laku hidup personal, yang artinya setiap figur orang tua
Dalam upaya menjaga identitas adat ini, masyarakat hukum adat Cigugur
Madrais yang kelak menduduki posisi Pupuhu Adat dan Girang Pangaping Adat
yang mendampingi masyarakat hukum adat Cigugur secara keseluruhan. Salah satu
bukti pendidikan khusus ini terlihat dari bagaimana anak-anak begitu menghormati
orang tuanya.
103
Dalam budaya Sunda, ada yang dinamakan undak-usuk, yang artinya adalah
“aturan” atau “tata krama”. Hal ini tercermin misalnya dalam bahasa. Seorang anak
tidak bisa sembarangan berbahasa dengan orang tuanya. Ada tingkatan bahasa yang
harus diperhatikan. Misalnya ketika mengatakan makan, maka seorang anak tidak
bisa menyebutkan kata madang atau dahar, karena itu biasanya digunakan untuk
orang sebayanya. Untuk orang yang lebih tua atau dihormati, biasanya seorang anak
identitasnya, baik itu sebagai laki-laki atau perempuan, kemudian sebagai seorang
anak, sebagai bagian dari masyarakat hukum adat dengan latar belakang
kebudayaan Sunda, dan juga menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Penjagaan
104
identitas ini, yang pada gilirannya terarah pada kesadaran kebangsaan, membuat
masyarakat hukum adat Cigugur menyadari bahwa mereka harus tetap menjadi
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural, dan pluralitas ini hanya akan bisa
identitasnya.
Identitas diri adalah niscaya, dan hal itu adalah sesuatu yang dianggap oleh
mulih ka jati mulang ka asal merupakan suatu keyakinan bagi masyarakat hukum
adat Cigugur untuk menerima identitas yang diberikan oleh Tuhan dan kemudian
Seperti yang termaktub dalam ajaran Tri Tangtu atau Pikukuh Tilu mereka,
penjagaan identitas adat dilakukan dengan cara tetap bertahan dengan cara-ciri
manusa, yakni mengkaji secara terus menerus identitas dirinya sendiri sebagai
manusia yang ditandai dengan sifat welas asih welas asih (cinta kasih), undak-usuk
(tatanan dalam keluarga), tata krama (tatanan perilaku), budi bahasa dan budaya,
serta wiwaha yudha naradha (sifat dasar manusia yang selalu memerangi sesuatu
sebelum melakukannya). Penjagaan ini juga melebar pada kajian kesadaran sebagai
105
bangsa melalui cara-ciri bangsa yang ditandai dengan rupa, adat, bahasa, aksara,
dan budaya.
keragamaan identitas di Indonesia, mereka juga harus terus berusaha bertahan dari
perilaku yang tidak adil dalam urusan administrasi. Dalam urusan administrasi
agama di KTP sebagai “lainnya”, dan pernah ada kejadian agama mereka diisi
secara acak oleh petugas menjadi Islam, Kristen, dan lain-lain tanpa persetujuan
mereka. Kesulitan administratif ini juga dialami oleh masyarakat hukum adat
kesulitan. Karena sulitnya mengurus surat nikah, akhirnya anak-anak mereka juga
kesulitan untuk mengurus akta kelahiran dan ada beberapa kasus ditulis sebagai
anak yang lahir dari hubungan tidak resmi. Hal ini tentu saja memberikan pukulan
pada masyarakat hukum adat Cigugur. Meski demikian, mereka tetap teguh
menjaga identitasnya.
Salah satu sumber ajaran tulisan yang diacu oleh masyarakat hukum adat
Sunda buhun (kuno) yang ditulis pada tahun 1440 Saka (kalender Sunda) atau
sekitar 1518 Masehi. Kitab Siksa Sanghyang Kanda ng Karesian disebut Kropak
106
mengungkap gambaran masyarakat dan kebudayaan pada masa Prabu Siliwangi,
kurang lebih pada awal abad ke-16, meskipun sifatnya masih fragmentaris.
kuno yang ada di Kabupaten Garut. Naskah ini diperkirakan disusun pada abad ke-
15 dan konon naskah ini lebih tua dari Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian. Selain
itu, ada banyak sumber tulisan Pangeran Madrais sendiri yang dijadikan sumber
tetapi ada beberapa perbedaan. Tulisan-tulisan tersebut, menurut Ibu Emmy Ratna
bahasa Jawa, Sunda, Cirebon, dan Melayu. Ditulis pada kurun waktu antara tahun
107
1869-1932. Menurut PikiranRakyat.com (2018) Tim Pelaksana program Digital
manuskrip tulisan Madrais sebanyak 30.000 lembar lainnya telah dilakukan oleh
bentuknya, dan yang paling umum dikenal serta digunakan adalah siloka. Siloka
Artinya:
“Siloka disebut di sini karena sering digunakan dalam karya sastra, baik
sebagian atau seluruhnya, yang isinya berupa sasmita atau perlambang dari
nilai-nilai kehidupan yang lebih utama, keselamatan hidup, hidup teratur,
niat dan perilaku yang baik, dan lain-lain.”
yang dikemas dalam bentuk simbol atau metafora. Tentu setiap siloka bukan hanya
108
Intinya siloka adalah bahasa simbolis yang sering digunakan oleh
menjadi bagian tak terpisahkan dalam khazanah bahasa Sunda. Umumnya siloka
sebagainya. Contoh siloka adalah “hérang caina beunang laukna,” artinya adalah
“jernih airnya, dapat ikannya.” Pepatah yang mengandung siloka ini biasanya
digunakan untuk menasihati, misalnya agar orang tidak berusaha memperkaya diri
dengan merusak hutan yang hanya akan “memperkeruh kehidupan semua orang”.
Dewasa ini, arus informasi sudah tidak bisa terbendung dan tersalurkan
kepada setiap orang melalui gawainya. Dengan demikian siloka yang biasa
adanya berbagai perbandingan kebudayaan di luar sana, yang memang relatif lebih
“terus terang” dan “masuk akal”. Pada akhirnya, masyarakat hukum adat Cigugur
Selain mengubah siloka menjadi bahasa yang lebih “logis” dan tidak
arah bukan lagi metode yang relevan untuk dipergunakan pada generasi masyarakat
hukum adat Cigugur yang memang hidup di era komunikasi digital. Pada akhirnya,
109
Implementasi ajaran tekstual tersebut hadir dalam kegiatan tradisional
masyarakat hukum adat Cigugur dalam menata pola bermasyarakatnya. Hal ini
pernikahan, dan lain sebagainya dalam komunitas masyarakat mereka. Tata cara
prosesi tersebut tentu berbeda dengan tata cara prosesi pada masyarakat umum yang
memiliki latar belakang agama atau kebudayaan tertentu. Selain itu, implementasi
ini juga tercermin dalam tradisi kesenian mereka yakni dalam tarian seperti Tari
ajaran tekstual yang cukup presisi hadir dalam rangkaian upacara adat Seren Taun
yang berisi berbagai macam komponen kesenian sesuai dengan panduan tertulis
yang diwariskan secara turun temurun dan dipelihara di Paseban Tri Panca Tunggal.
110
BAB V
5.1 Kesimpulan
1. Nilai dan Makna Hutan dalam Perspektif Masyarakat Hukum Adat Cigugur
kesadaran ini bertolak dari konsep Tri Tangtu dalam kebudayaan Sunda.
representasi Tuhan. Hutan dimaknai pula sebagai sebuah sistem yang terhubung
dengan manusia dalam konsep jagat ageung (makrokosmos) dan jagat alit
Cigugur.
hutan berdasarkan hukum adat yang mengacu pada filsafat Tri Tangtu yang
membagi zona hutan ke dalam tiga bagian: (1) leuweung larangan yakni hutan
larangan tempat mata air atau fungsi-fungsi tertentu yang dilarang diakses, (2)
leuweung tutupan yakni hutan transisi, dan (3) leuweung baladahan yakni hutan
produksi yang memiliki fungsi ekonomis untuk penanaman, meski demikian zona
ini tetap tidak memperbolehkan penebangan pohon keras. Tanah pertanian pun
dilarang untuk dijual karena kedekatan mereka dengan kehidupan agraria dan
111
kesadaran kultural mengenai mitos dewi pertanian, Pwah Aci Sanghyang Asri dan
Beberapa flora dan fauna seperti Ikan Dewa (Tor douronensis), pohon dangdeur
Cigugur Bertahan
dimensi covert culture yang meliputi (1) penghormatan pada nilai-nilai budaya
Sunda melalui pedomannya pada filsafat Tri Tangtu dan (2) relevansi kearifan
dengan pengelolaan hutan kontemporer, serta dimensi overt culture yang meliputi
(1) struktur keluarga adat yang mewariskan nilai-nilai kearifan ekologis melalui
kolektif dan pelestarian tradisi, dan (3) terpeliharanya ajaran tekstual melalui
keseharian.
5.2 Saran
1. Untuk Pemerintah
112
Kuningan, guna memiliki kesadaran pengelolaan hutan yang lebih sesuai dengan
Kuningan. Kearifan ekologis ini berfungsi untuk memandang alam, terutama hutan,
dengan penuh kearifan sebagai upaya preventif eksploitasi hutan karena kesalahan
cara berpikir.
Ada cukup banyak bidang yang dapat dikaji lebih lanjut bertolak dari kajian
hukum adat Cigugur melalui teks-teks asli budaya Sunda yang dapat dieksplorasi
sekitar kawasan Kelurahan Cigugur, dinamika wacana ekstrasi panas bumi, atau
113
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat dan Masturina (ed)., 2017, Eksistensi dan Resistensi Sunda Wiwitan di
Cigugur, Kuningan, Jakarta: Labsos Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Jakarta.
Holihah, M., 2015, Kearifan Ekologis Budaya Lokal Masyarakat Hukum Adat
Cigugur sebagai Sumber Belajar IPS, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol.
24, No. 2, hal. 163-178.
114
Indrawardana, I., 2012, Kearifan Lokal Adat Masyarakat Sunda dalam Hubungan
dengan Lingkungan Alam, Komunitas, Vol. 4, No. 1, hal. 1-8.
Komarudin, D., 2016, Bisnis Orang Sunda (Studi Teologi dalam Etika Bisnis Orang
Sunda), el Harakah, Vol. 18, No, 1, hal. 94-109.
Marfai, M.A., 2012, Pengantar Etika Lingkungan dan Kearifan Lokal, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Niapele, S., 2014, Bentuk Pengelolaan Hutan dengan Kearifan Lokal Masyarakat
Adat Tugutil (Studi Kasus Masyarakat Adat Tugutil di Dusun Tukur-tukur
Kecamatan Wasile Timur Kabupaten Halmahera Timur), Jurnal Ilmiah
Agribisnis dan Perikanan, Vol. 6, No. 3, hal. 63-72.
115
Rosali, E.S., dan Adhiyasa, C., 2021, The Myth of The Fish God (Tor douronensis)
in The Perspective of Biocentrism, KaPIN: International Journal of
Education and Sociotechnology, Vol. 1, No. 3, hal. 48-53.
Salam, R., 2017, Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Hutan di
Pulau Wangi-Wangi, Walasuji, Vol. 8, No. 1, hal. 113-128.
Sartini, 2004, Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafati, Jurnal
Filsafat, Vol. 37, No. 2, hal. 111-120.
Sumardjo, J., 2015, Sunda: Pola Rasionalitas Budaya, Bandung: Penerbit Kelir.
Suparmoko, 1997, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Daerah Istimewa
Yogyakarta: BPFE.
Tendi, 2015, Sejarah Agama Djawa Sunda di Cigugur Kuningan 1939-1964, Tesis:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Thamrin, H., 2013, “Kearifan Lokal dalam Pelestarian Lingkungan (The Local
Wisdom in Environmental Sustainable)”, Kutub Khanah, Vol. 16, No. 1,
hal. 46-59.
WWF Indonesia, 2012, Masyarakat Hukum Adat dan Konservasi, Kertas Posisi.
Yudana, G., I. Aliyah, dan R.P. Utomo, 2015, Pengelolaan Kawasan Gunung Lawu
Berwawasan Lingkungan dan Kearifan Lokal di Kabupaten Karanganyar,
CoUSD Proceedings, hal. 119-131.
116
Lampiran
Lampiran 1 Daftar Istilah Bahasa Sunda Masyarakat Hukum Adat Cigugur
A
Ageung Besar
Alit Kecil
Anggeus Beres, selesai
Aroteun Minuman
Ayeuna Sekarang
B
Badé Mau, akan
Baé Saja, biarkan
Balaréa Khalayak ramai
Balong Kolam
Baraya Saudara
Belut Bodas Belut putih, metafora bagi pipa-pipa
geothermal dalam uga yang diyakini
masyarakat hukum adat Cigugur
Béré Beri, méré (memberi)
Beunang Dapat
Biwir Bibir
Bodas Putih
Boh Atau
Boléd Ubi
Buncelik Melotot
C
Cainyusu Mata air
Ci Air
Curug Air terjun
D
Da Digunakan untuk mengekspresikan
penyangkalan
Dampal Telapak
Dia Kata lain dari sia, berarti kamu (kasar)
Dieu Sini
Di na Dalam
Dupi Kalau
E
Éta Itu
Eusi Isi
117
Euweuh Tidak ada
G
Gaduh Punya
Gélo Gila
Getih Darah
Gusti Tuhan
Gusti Sikang Sawiji-wiji Tuhan yang Satu-satunya, Tuhan yang Maha
Esa
H
Hadé Bagus, baik
Hakan Makan (kasar)
Halodo Kemarau
Henteu Tidak
Hérang Jernih, bening
Hiber Terbang
Hideung Hitam
Hyang Eksistensi spritual tak kasatmata, biasanya
memiliki kekuatan adikodrati atau
supernatural
I
Istrén Lantik, ngistrénan (melantik)
J
Jadi Jadi
Jangjang Sayap
Jelema Manusia, orang
Jeung Sama, dengan, dan
Jiga Seperti
Jurig Hantu, setan
K
Ka Ke, pada
Kabuyutan Tempat yang sakral
Kahirupan Kehidupan
Kanggo/Kanggé Untuk, pada
Kaprak Jelajah, ngaprak (menjelajah)
Kapungkur Dulu, dahulu
Karana Ucapan, pikiran
Karuhun Leluhur
Kawasa Tindakan, tenaga, kuasa
Kawas Seperti
Kedah Harus
Kénéh Masih, saja
118
Kérék Mendengkur (tidur)
Keresa/Keresaning Kehendak
Kila-kila Totondén, berarti tanda-tanda (alam)
Kitu Begitu
Ku Oleh, sama
Kunaon Kenapa
L
Lantaran Karena
Lebur Hancur
Lemah cai Tanah air/kampung halaman
Leres Benar, betul
Leungit Hilang
Leuweung Hutan
Leuweung Baladahan Hutan yang diperuntukan untuk diolah oleh
masyarakat, hutan dengan fungsi ekonomi.
Leuweung Larangan Hutan terlarang yang dikeramatkan dan
biasanya tidak boleh, apalagi dirusak.
Leuweung Leutik Secara harfiah berarti “hutan kecil”.
Leuweung Leutik adalah nama dari hutan
adat milik masyarakat hukum adat Cigugur
Leuweung Tutupan Hutan reboisasi
Leuwi Cekungan yang dalam, dangkal, sungai
Luhur Atas
M
Mamala Bencana, malapetaka
Mamaos Tembang, nyanyian
Mandala Gunung
Mangga Silakan
Manuk Burung
Mastaka Kepala
Maung Macan
Ménak Ningrat, bangsawan, orang terpandang
Mindeng Sering
Moal Tidak akan
Mulih Pulang, kembali
Munjung Berterima kasih, bersyukur
N
Naros Bertanya
Neda Makan (untuk sebaya)
Ngaing Kata lain dari aing, berarti aku (kasar)
Ngaprak Menjelajah
Ngarangrangan Tandus, kekeringan
Ngora Muda
119
Nu Yang
Numawi Itu sebabnya
Nu Ngersakeun Yang Menghendaki
Nyiru Sunting
Nyolok Mencolok, mencoblos
Nyungcung Menjulang
P
Pageuh Kuat (untuk ikatan atau pasak), pamageuh
(pengikat, penguat)
Pamali Tabu, pantangan, atau larangan
Pan Kan
Pangaping Pendamping
Patanjala Dewa Hujan, tetapi digunakan juga untuk
menamai suatu rancangan Perda di
Kabupaten Kuningan mengenai tata kelola air
berbasis kearifan tradisional.
Peueut Nira
Piara Pelihara
Punten Permisi, maaf
Puseur Pusat
R
Rumasa Merasa
S
Saat Kering, surut
Sabilulungan Gotong royong, kebersamaan, solidaritas
Saha Siapa
Sanés Bukan
Sanghyang Dewa, sesuatu yang agung, suci, atau spritual.
Sapertos Seperti
Sareng Sama, dan, dengan
Sasajén Sesajen
Sérep Cadangan
Sepuh Tua, sesepuh (tetua)
Sieun Takut, nyingsieunan (menakut-nakuti)
Siloka Bahasa yang dipenuhi simbol
Sirah Kepala
Sok Suka, sering, digunakan juga untuk
menyilakan
T
Taleus Talas
Tangkal Pohon
Tapa Tapa, meditasi
120
Tepang Kenal, nepangan (menemui)
Teu Kependekan dari henteu, berarti tidak
Teu acan Belum
Téwak Tangkap, néwak (menangkap)
Tikoro Tenggorokan
Tilu Tiga
Tuang Makan (halus)
U
Udag Kejar, ngudag (mengejar)
Uga Pepatah yang berisi prediksi sebab-akibat
Ulah Jangan
Urang Kita, kami, saya (tergantung konteks)
W
Wareg Kenyang
Waréh Wilayah
Waruga Badan
121
Lampiran 2 Izin Penelitian
122
Lampiran 3 Gambar Penelitian
123
Lanjutan :
124
Lampiran 4 Peta Penggunaan Lahan Kelurahan Cigugur
125
Lampiran 5 Daftar Nama Informan
Waktu
No Nama Informan Usia Profesi
Wawancara
50 21 November
1 Juwita Jatikusumah Putri Girang Pangaping Adat
Tahun 2021
2 dan 3
50
2 Okky Satrio Girang Pangaping Adat Desember
Tahun
2021
45 3 Desember
3 Aang Andara Petani Hutan
Tahun 2021
57 27 Oktober
4 Ebo, S.Sos. Lurah Cigugur
Tahun 2021
41 28 Oktober
5 Pandu Hamzah Budayawan
Tahun 2021
126
Lampiran 6 Pedoman Wawancara Mendalam
PEDOMAN WAWANCARA
Kearifan Lokal Masyarakat Hukum Adat Cigugur dalam Pengelolaan Hutan
di Kabupaten Kuningan (Kajian Studi Etnoekologi)
1. Bagaimana nilai dan makna hutan dalam perspektif masyarakat hukum adat
Cigugur?
a. Bagaimana masyarakat hukum adat Cigugur memaknai alam?
b. Apa pengertian hutan dalam perspektif masyarakat hukum adat
Cigugur?
2. Bagaimana pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat Cigugur?
a. Bagaimana upaya perlindungan hutan adat Cigugur?
1) Bagaimana aturan adat yang mengatur mengenai perlindungan
hutan?
2) Bagaimana tradisi perlindungan hutan yang ada?
b. Bagaimana upaya pemanfaatan hutan oleh masyarakat hukum adat
Cigugur?
1) Bagaimana aturan adat yang mengatur mengenai pemanfaatan
hutan?
2) Bagaimana tradisi pemanfaatan hutan yang ada?
3. Mengapa nilai-nilai kearifan lokal masyarakat hukum adat Cigugur masih
bertahan hingga kini?
a. Apa saja sumber ajaran yang digunakan masyarakat hukum adat
Cigugur?
b. Bagaimana sistem pewarisan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat
hukum adat Cigugur?
4. Bagaimana upaya memertahankan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat
hukum adat Cigugur dalam pengelolaan hutan?
127