Anda di halaman 1dari 4

*Jika Anies Di Penjarakan*

(Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle)

Isu memenjarakan Anies Baswedan sangat kencang setelah berbagai media massa
memberitakan video Andi Arief, tokoh Partai Demokrat, yang mengungkapkan percakapan
seseorang dengan Jokowi terkait Jokowi akan memenjarakan siapa saja tokoh-tokoh
yang dia inginkan di penjara sehubungan dengan pilpres ke depan.

Bisnis.com dalam "Klarifikasi Andi Arief Usai Sebut Jokowi Bakal Penjarakan Anies
dan Ketum KIB", 26/9, memuat pernyataan Andi Arief itu, "“Kenapa dua calon Pak
Presiden [Jokowi]? Kan Ada Anies ada Ganjar. 'Oh, Anies kan sebentar lagi masuk
penjara. Terus partai-partai lain di KIB apa segala, kalau tidak nurut tinggal
masuk penjara aja gitu'. ". Meski Andi mengklarifikasi video itu hanya untuk
kalangan internal, tapi Andi belum mengklarifikasi tentang isinya. Selain itu,
pernyataan Andi sendiri sepertinya memperkuat pernyataan SBY sebelumnya, bahwa dia
akan turun gunung meluruskan arah demokrasi karena adanya keinginan kekuasaan
merekayasa pemilu hanya diikuti dua calon presiden saja.

Pernyataan Andi dan SBY ini awalnya ditanggapi beragam, seperti menyepelekan
kredibilitas isu tersebut. Sebab, mereka melihat langkah SBY sebatas mengamankan
anaknya AHY untuk bisa menjadi Cawapres Anies Baswedan saja, ketimbang urusan
bangsa.

Namun, hari ini kita digegerkan oleh berita Koran Tempo, 1/10, yang memberitakan
upaya ketua KPK Firli Bahuri untuk memenjarakan Anies Baswedan. Dalam berita yang
viral di seluruh media sosial, Tempo menulis judul "Manuver Firli Menjegal Anies",
yang memuat antara lain" Ketua KPK Firli Bahuri ditenggarai terus menerus mendesak
satuan tugas pengusut kasus Formula E untuk menetapkan Anies sebagai tersangka.
Namun, tim pengusut kesulitan menemukan bukti permulaan.. ". Tempo yang terkenal
dengan kemampuan investigasi berita, menguraikan bahwa Firli berusaha keras
menjadikan Anies tersangka sebelum Anies ditetapkan sebagai Capres oleh beberapa
partai yang akan mendukungnya. Intervensi Firli ini juga dengan mencari berbagai
ahli, seperti Professor Romli Atma Sasmita, untuk dirayu memberikan pandangan hukum
bahwa Anies bisa jadi tersangka - dalam berita ini Romli menolak. Alhasil kita
melihat rangkaian co-existensi pernyataan SBY dan Andi Arief dengan berita Tempo
hari ini, memang ada kecenderungan penggunaan kekuasaan dalam merusak demokrasi
saat ini.

*_Mengapa Anies Harus Di Penjarakan?_*

Memenjarakan Anies adalah salah satu atau satu-satunya jalan untuk menjegal Anies
mengikuti pilpres 2024. Cara yang lainnya adalah mempertahankan PT (Presidential
Threshold) yang tinggi (20%), menghalangi terbentuknya koalisi partai-partai yang
bisa mengusung Anies dan menghancurkan potensi logistik (pengusung) Anies. Namun,
cara ini kelihatannya tidak akan sukses. Sebab, koalisi pendukung Anies, yang
dimotori Surya Paloh, semakin kemari semakin solid.

Ada tiga hal penting memotivasi penjegalan Anies. Pertama, survei-survei pilpres
tentang Anies. Kedua, pandangan geostrategis Anies. Ketiga, trauma kekalahan Ahok
2017.

Soal survei-survei kita harus membagi survei yang tergolong kredibel dan
propagandis. Dari semua survei dengan jenis manapun, Anies masuk dalam 3 besar.
Artinya, sulit menyingkirkan Anies dari survei. Nah, selanjutnya adalah survei
kredibel. Kredibel bukan dalam pengertian Reasearsch (Validitas dan Reliabilitas),
tapi lembaga surveinya. Yang ingin saya bahas adalah CSIS (Center for Strategic and
International Studies) terbaru. Lembaga ini didirikan oleh Order Baru, dengan
tujuan pembangunan, free market capitalism, dan penghilangan politik ideologis.
Terutama penihilan Islam politik. (Anomali terjadi ketika pimpinan CSIS, Dr. Rizal
Sukma, menduduki jabatan pimpinan di Ormas Muhammadiyah, beberapa tahun lalu). Pada
saat pertemuan tokoh-tokoh oposisi nasional, di Blok M, 20/9, yang diselenggarakan
Perhimpunan Menemukan Kembali Indonesia (PMKI), Rizal Dharma Putra, pimpinan
Lesperssi, lembaga "Think-Tank Pertahanan" (Lembaga ini diundang terbatas bertemu
dengan Jenderal Mark Milley, The United States Joint Chiefs of Staff, pada
kunjungan ke Jakarta
Juli lalu) memetakan CSIS saat ini pro Tiongkok. Perjalanan panjang CSIS, terlepas
dari misinya, lembaga ini adalah lembaga Think-Tank tertua dan terbesar. Sehingga,
kepentingan lembaga ini untuk mempertahankan kredibilitas cukup tinggi.

Nah, CSIS mengeluarkan survei terbaru yang mengagetkan. Jika terjadi Head to Head
antara Anies, Ganjar maupun Anies-Prabowo, Anies menang. Anies vs. Ganjar 47,8 %
vs. 43.9 % (7, 6 % belum tahu), Anies vs. Prabowo 48, 6 % vs. 42,8% dan Ganjar vs.
Prabowo, 47,25 % vs 45%. Kenapa kaget? Dari sisi metodologi, konsep survei dengan
metode "general to focus" mulai 14 capres, pengecilan ke 7 capres, lalu ke 3 capres
dan diakhiri ke head to head adalah metode reiterasi dan penegasan, di mana
responden berjenjang tanpa keraguan memilih calonnya. Hasil ini sulit diragukan,
karena konsistensi responden dapat menunjukkan reliabilitas alat survei tersebut.

Survei CSIS ini mengambil responden milenial dan generasi Z (umur 18-39 tahun).
Jumlahnya diperkirakan 60% pemilih kita saat ini. Meskipun kita tidak bisa menarik
ekstrapolasi dan membangun kesimpulan untuk seluruh populasi, namun suara milenial
dan suara generasi Z ini adalah suara masa depan Bangsa Indonesia. Ini merupakan
bukti pembusukan terhadap Anies selama ini, baik dengan isu hukum, identitas
Arab/non Jawa, gagal membangun Jakarta, tidak mampu menghancurkan Anies.

Alasan lain penjegalan Anies adalah pandangan Geostrategis Anies. Selama ini Anies
terlihat sangat dekat dengan barat. Berbeda dengan Jokowi yang dekat ke Peking.
Terakhir terlihat Anies Baswedan menjadi tamu keluarga Lee, penguasa Singapura,
selama 5 hari, beberapa minggu lalu. Menjadi tamu keluarga Lee berbeda dengan
beberapa elit kita yang hanya diundang oleh Rajaratman Institute, Nangyang
Technology University atau lembaga lainnya di Singapura. Diundang keluarga Lee
artinya Anies tidak diragukan oleh barat dan "Chinese Overseas Network".

Kedekatan Anies dengan barat tentu mencemaskan Peking yang selama ini berusaha
mengendalikan Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya. Menurut Rizal Dharma
Putra, pengangkatan mantan Duta Besar China di Indonesia menjadi direktur Asia
Kementerian Luar Negeri Peking, merupakan simbol keseriusan China untuk tetap
mendominasi politik Indonesia. Artinya, kehadiran Anies menjadi sebuah kecemasan,
khususnya ketika pertarungan Barat vs. China semakin menegangkan di kawasan ini,
dan laut China Selatan.

Ketiga, adanya benturan identitas yang tersimbol pada Anies, sejak pertarungan
Anies vs. Ahok tahun 2017 di Jakarta. Orang-orang yang mengidentifikasi diri
sebagai bukan "identitas Anies" meyakini bahwa Anies adalah ancaman besar bagi
keberlanjutan dominasi mereka dalam era kepemimpinan Jokowi

Tiga alasan penjegalan Anies di atas sebenarnya bukan problem Anies Baswedan
sendiri. Pertama, kemenangan seseorang dalam bingkai demokrasi adalah tanggung
jawab bangsa ini secara keseluruhan. Upaya-upaya (rezim) Jokowi untuk merusak
demokrasi dengan isu perpanjangan jabatan dan isu 3 periode semakin kemari semakin
mengecil. Terakhir upaya kelompok tersebut menjadikan Jokowi wakil presiden 2024,
mungkin mendampingi Prabowo. Namun, rencana ini tidak mendapat dukungan rakyat.
Jikalau demokrasi dijalankan dan Anies memenangkan pertarungan melawan Ganjar dan
Prabowo, maka itulah pilihan terbaik rakyat. Tentu saja jangan sekali-kali
diintervensi kekuasaan.

Soal geopolitik, Indonesia memang sampai saat ini belum melihat untungnya bersekutu
dengan Peking. Baik dari sisi pembangunan maupun pengentasan kemiskinan. Yang
berkembang selama ini malah kemiskinan dan pengangguran yang terus membesar,
berkuasanya oligarki, hutang melangit, munculnya kebencian terhadap ulama,
hancurnya demokrasi dan hal-hak asasi manusia serta penangkapan tokoh-tokoh oposisi
(seperti pada saya, dkk) tanpa tuduhan yang jelas. Sehingga, wajar saja kehadiran
Peking di Indonesia kurang populer dan sulit dipertahankan. RRC harus refleksi diri
dalam membangun hubungan yang baik dengan Indonesia ke depan. Jika meniru era
Sukarno Poros Jakarta-Beijing, tentu dapat dimaklumi, karena persekutuan yang
dibangun adalah untuk kesejahteraan kaum proletar.

Sedangkan soal ketiga, yang menyangkut pertarungan identitas, pihak "non-Anies"


harus refleksi diri. Identitas yang terafiliasi dengan Anies adalah identitas
perlawanan terhadap kaum kolonial. Artinya bersifat historis. Apalagi berbagai
tokoh yang tadinya berseberangan dengan Anies, seperti Sunny Tanujiwidjaja, tangan
kanan Ahok, dan Surya Tjandra, tokoh buruh yang membangun partai PSI, sudah
menyatakan mendukung Anies ke depan. Keduanya adalah kelompok oposit Anies, selama
ini. Artinya, urusan identitas ini dapat diselesaikan, jika mau.

*Resiko Memenjarakan Anies*

Memenjarakan Anies bisa saja dilakukan jika nafsu kekuasaan dan konspirasi oligarki
serta Peking tetap menguat. Persoalannya adalah resiko yang akan kita tanggung
bersama. Pertama, Anies adalah kanalisasi kelompok identitas yang selama ini oposit
terhadap rezim Jokowi. Politik kanalisasi sejak dulu kalau diperlukan untuk meredam
gejolak sosial yang besar. Kelompok Islam yang merasa teraniaya oleh rezim Jokowi
selama ini, berpretensi bahwa jalan demokratis masih merupakan sebuah jalan, dengan
Anies sebagai pemimpinnya. Anies membuat adanya migrasi dukungan politik, dari yang
revolusioner yang didengungkan Habib Riziek, menjadi teknokratis yang dilakukan
Anies. Jika ini tidak terjadi, maka gejolak ummat akan bertemu dengan situasi tanpa
pilihan, yakni mendukung Habib Rizieq.

Kedua, resiko atau ancaman ekonomi politik ke depan terlalu besar untuk dihadapi
rezim Jokowi sendiri. Jokowi, Luhut Panjaitan dan Sri Mulyani sudah menyinggung ini
berkali-kali bahwa tahun 2023 kita akan memasuki resesi. Mereka mengatakan saatnya
memperkuat persatuan nasional, solidaritas dan kerjasama menghadapi ancaman resesi
besar. Dalam pidatonya di Puncak Hari Maritim, Luhut Panjaitan mengatakan "Kalau
kita semua kompak, semua kita satu bahasa dalam keadaan yang sangat krusial ini di
mana dunia diramalkan akan memasuki global crisis, perfect storm akan terjadi dalam
beberapa waktu ke depan, kita harus menata negeri kita dengan baik" (Liputan 6,
27/9). Bahkan Luhut Panjaitan dan anaknya Jokowi, Gibran, mendatangi Rocky Gerung,
tokoh oposisi, untuk menyampaikan pesan perdamaian.

Lalu bagaimana jika Anies dipenjarakan? Tentu saja gelombang oposisi dan umat Islam
tidak bisa menerimanya. Sebab, Anies, selain mendapatkan berbagai penghargaan
nasional, dia juga terlalu banyak menyandang penghargaan internasional untuk
pembangunan yang berhasil dia lakukan. Kasus E-Formula sangat diragukan unsur
korupsinya, berbeda dengan kasus E-KTP, di mana diberitakan bahwa Ganjar menerima
uang suap $500 ribu.

Ketiga, jika Anies dipenjarakan, untuk menjegal Anies, atau kriminalisasi politik,
maka tentu saja rezim Jokowi terus menerus meruntuhkan demokrasi. Tidak ada tanda-
tanda Jokowi ingin memulihkan demokrasi. Sejarah yang dibangun Jokowi akan menjadi
sejarah buruk yang dikenang bangsa kita. Tentu Jokowi harus berubah. Bangsa ini
terlalu banyak cacatnya selama Jokowi berkuasa. Satu soal saja seperti Kasus Sambo,
dimana citacita Supremasi Hukum berubah menjadi Mafia Hukum, sudah menyita energi
bangsa yang besar. Apalagi jika merusak demokrasi.

*Catatan Penutup*
Berita Tempo tentang upaya KPK memenjarakan Anies dan pernyataan SBY adanya
rekayasa pilpres dan penjegalan calon serta video Andi Arief soal pemenjaraan Anies
telah mengagetkan kita semua. Memenjarakan Anies sangat beresiko pada gejolak
sosial ke depan. Hal ini bertentangan dengan kata-kata rezim yang melihat perlunya
kekompakan dalam menghadapi krisis ke depan (Perfect Storm). Situasi "rumput
kering" bangsa ini, yang gampang terbakar, dapat seketika berubah menjadi ganas dan
liar. Banyak negara lain menjuluki kita sebagai bangsa ramah tamah, tapi kita tahu
puluhan tahun lalu, ditanggal hari ini, jutaan rakyat mati karena saling bunuh,
karena kebencian politik dan dendam.

Anies adalah kanalisasi politik oposisi, khususnya ummat Islam. Memilih jalan
demokrasi adalah jalan damai bagi sharing tanggung jawab mengurus bangsa ini.
Namun, memenjarakan Anies atas dasar haus kekuasaan, merupakan jalan kekerasan,
yang akan selalu dikenang sebagai jalan haram.

Jika Anies dipenjarakan, maka rakyat pasti memberontak.

Anda mungkin juga menyukai