Anda di halaman 1dari 3

TINJAUAN YURIDIS PENELITIAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS DAN BANGUNAN

UNTUK JUAL BELI TANAH DI KOTA JAMBI

Pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan hanya dapat dilakukan apabila
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat pembuat akta tanah selanjutnya disebut PPAT,
PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang
mana akta otentik tersebut merupakan bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
Dalam melakukan perbuatan atau peristiwa hukum jual beli tanah tersebut orang pribadi
atau badan yang memperoleh hak atas dan/atau bangunan dikenakan pajak yang disebut bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), Sistem pemungutan untuk BPHTB adalah self
assesment yaitu wajib pajak diberikan kepercayaan penuh untuk mengitung, memperhitungkan,
membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang, karena itu setiap wajib pajak BPHTB
wajib menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri BPHTB yang terutang
dengan menggunakan surat setoran pajak daerah BPHTB. 1 Melalui Undang-undang Nomor 28
Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (PDRD), setiap daerah diberikan hak
untuk memungut pajak BPHTB di daerahnya masing-masing, dengan syarat harus berdasarkan
Peraturan Daerah (Perda) mengenai pemungutan BPHTB. Suatu daerah yang tidak memiliki
peraturan daerah tidak dapat memungut BPHTB.2 Pemerintah daerah harus memiliki payung
hukum untuk melakukan pemungutan BPHTB berupa peraturan daerah, selain itu pemerintah
daerah harus menyiapkan sumber daya manusia dan prosedur pemungutan BPHTB.
Terkait hal tersebut Kota Jambi merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki
kewenangan untuk melakukan pemungutan dan pelayanan BPHTB yaitu dengan dikeluarkannya
beberapa peraturan terkait BPHTB, yaitu Peraturan Daerah Jambi Nomor 10 tahun 2010 tentang
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Peraturan Walikota Jambi Nomor 19 Tahun 2010
Tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), kemudian Peraturan Daerah Jambi Nomor 10 tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak

1
Marihot Pahala Siahaan, 2013, Edisi Revisi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 597
2
Diana Anastasia dan Lilis Setiawati, op.cit, hlm.677.
Atas Tanah dan Bangunan tersebut diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2016
Tentang perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan, selanjutnya muncul peraturan walikota Jambi Nomor 3 tahun 2016
Tentang Klasifikasi Penetapan Nilai Tanah dan Bangunan Sebagai Dasar Pengenaan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, kemudian tidak lama setelah itu keluar pula Peraturan
Walikota Jambi Nomor 25 tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Nomor 3
Tahun 2016 Tentang Klasifikasi Penetapan Nilai Tanah dan Bangunan Sebagai Dasar Pengenaan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan. Peraturan tersebut serta peraturan - peraturan
lainnya yang terkait menjadi landasan hukum operasional dalam teknis pelaksanaan pengenaan
dan pemungutan BPHTB di Kota Jambi.
Demi kepentingan pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan maka
BPHTB tersebut harus dilakukan penelitian/validasi SSPD BPHTB terlebih dahulu. Penelitian
SSPD BPHTB disini maksudnya adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Badan
Pendapatan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah selanjutnya disebut BPPRD untuk
mencocokkan data di dalam SSPD dengan keadaan di lapangan dan data yang ada pada instansi
yang berwenang, salah satu penelitian yang dilakukan oleh BPPRD adalah meneliti kebenaran
penghitungan BPHTB yang meliputi komponen nilai perolehan objek pajak selanjutnya disebut
NPOP, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak selanjutnya disebut NPOPTKP, tarif,
pengenaan atas obyek pajak tertentu, besarnya BPHTB yang terutang, dan BPHTB yang harus
dibayar kemudian meneliti kebenaran penghitungan BPHTB yang disetor, termasuk besarnya
pengurangan yang dihitung sendiri oleh wajib pajak.
Pajak terutang BPHTB untuk jual beli tanah yang harus dibayar oleh wajib pajak
ditentukan berdasarkan perhitungan besarnya nilai perolehan objek pajak (NPOP) dikurangi
dengan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP) yaitu Rp.60.000.000 (enam
puluh juta rupiah) kemudian hasil dari pengurungan tersebut dikalikan dengan tarif pajak yaitu 5
%, dari hasil perhitungan tersebut maka dapat diketahui besarnya pajak terutang BPHTB yang
harus dibayar oleh wajib pajak.3 Pasal 6 ayat (1) Peraturan Daerah Jambi Tentang perubahan
Atas Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor
10 tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, menyebutkan bahwa
dasar pengenaan pajak adalah nilai perolehan objek pajak, kemudian pada ayat (2) menyebutkan

3
Peraturan Walikota Jambi Nomor 10 Tahun 2010
nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal jual beli adalah harga
transaksi, selanjutnya pada ayat (3) menyebutkan jika NPOP sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) hurif a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada nilai jual objek
pajak (NJOP) yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun
terjadinya perolehan, maka dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP pajak bumi dan
bangunan.
Beberapa permasalahan yang muncul terkait dengan proses jual beli tanah terjadi antara
wajib pajak BPHTB dengan BPPRD yaitu mengenai perbedaan harga tanah dan/atau bangunan
yang dilaporkan oleh wajib pajak yaitu pembeli pada saat penelitian SSPD BPHTB dengan harga
yang diperoleh dan ditetapkan oleh BPPRD berdasarkan hasil penelitian dari BPPRD, yang mana
hal tersebut berpengaruh terhadap besarnya jumlah pajak terutang BPHTB yang harus dibayar
oleh wajib pajak BPHTB. Dalam menentukan nilai dari tanah dan/atau bangunan BPPRD
cenderung mengacu kepada hasil penelitian dilapangan dan Peraturan Walikota Jambi Nomor 3
tahun 2016 Tentang Klasifikasi Penetapan Nilai Tanah dan Bangunan Sebagai Dasar Pengenaan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, dan Peraturan Walikota Jambi Nomor 25 tahun
2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Klasifikasi
Penetapan Nilai Tanah dan Bangunan Sebagai Dasar Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
Dan Bangunan, apabila berdasarkan hasil penelitian dari BPPRD ditemukan bahwa nilai pajak
terhutang BPHTB yang dilaporkan oleh wajib pajak lebih kecil dari apa yang seharusnya
dibayarkan maka BPPRD maka akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar
Tambahan (SKPDKBT).
Besarnya pajak BPHTB yang harus dibayarkan oleh wajib pajak menyebabkan sebagian
wajib pajak mengurungkan/membatalkan niatnya untuk jual beli tanah dan/atau bangunan
sehingga mengakibatkan kinerja PPAT dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran
tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah tidak dapat terlaksana secara optimal dan itu juga
berdampak terhadap perekonomian dari PPAT itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai