Anda di halaman 1dari 5

BEDAH KASUS PT XAT

27 Desember 2010 pukul 8:53


Pada tanggal 11 Januari 2007, PT XAT telah mengajukan keberatan atas SKPKB PPN Pasal
16D masa pajak Januari s.d Desember tahun pajak 2004. SKPKB disebabkan adanya pajak
atas penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk
diperjualbelikan pada tahun 2004. Penyerahan didasarkan pada pembukuan wajib pajak PT
XAT dan Akta Perjanjian Ikatan Jual Beli Nomor 0 tanggal 7 Januari 2004 Notaris NS, antara
PT XAT dengan PT XAA.
PT XAT keberatan dengan alasan tidak ada PPN yang dibayar saat perolehan aktiva berupa
bangunan dan mesin. Aktiva tersebut diperoleh PT XAT tahun 1994 sesuai dengan
pembukuan PT XAT dan dokumen berupa Akta Ikatan Jual Beli dan Pengoperan Nomor 000
tanggal 31 Desember 1994 Notaris VRH, dari PT XAA. Adapun nilai penyerahan / penjualan
aktiva tahun 2004 adalah Rp 6 milyar dengan rincian tanah Rp.1,2 milyar, bangunan Rp.1,9
milyar dan mesin Rp.2,9 milyar. Atas bangunan sudah disetorkan sendiri PPN pasal 16D
sebesar Rp.190 juta, sehingga pemeriksa mengenakan pajaknya sejumlah Rp.290 juta.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 tentang perubahan kedua atas Undangundang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Barang Mewah, pada pasal 16D telah ditetapkan bahwa Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) dikenakan atas penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang
menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang
dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.
Dalam bagian penjelasan telah ditambahkan bahwa penyerahan aktiva tersebut tidak
dikenakan pajak apabila PPN yang dibayar pada waktu perolehannya tidak dapat
dikreditkan berdasarkan ketentuan dalam UU ini, kecuali jika tidak dapat dikreditkannya
PPN tersebut karena bukti peng-kreditannya tidak memenuhi persyaratan administratif,
misalnya Faktur Pajaknya tidak diisi lengkap sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 13 ayat (5).
Contoh kasus yang sama mengenai penjualan aktiva tetap ada pada PT ABC untuk tahun
pajak 2000. Dalam surat Direktur Jenderal Pajak nomor S-137/PJ.51/2002 tanggal 12
Februari 2002, terkait transaksi tersebut oleh Direktur PPN dan PTLL sudah ditegaskan
bahwa :
1. Penjualan aktiva tidak dikenakan PPN pasal 16D karena pada saat perolehannya tidak
terdapat Pajak Masukan yang dibayar.
2. Transaksi yang tidak memenuhi kriteria pasal 16D tidak perlu dimasukan dalam SPT
Masa PPN.
Contoh kasus yang lain terkait penyerahan tanah dan bangunan bekas pabrik pada PT ABC,
dengan surat Direktur Jenderal Pajak nomor S-1043/PJ.53/2002 tanggal 10 Oktober 2002
pada butir (3) diberikan penegasan bahwa atas penyerahan aktiva berupa tanah dan
bangunan yang dilakukan oleh PT ABC tidak terutang PPN karena pada saat perolehannya

tidak terdapat PPN Pajak Masukan yang dibayarkan. Oleh karena itu PT ABC tidak perlu
menerbitkan Faktur Pajak.
Dalam Berita Acara Pembahasan Keberatan dengan Wajib Pajak tanggal 16 Juli 2007
diketahui bahwa penjualan aktiva tersebut adalah satu paket, bahwa aktiva yang dijual adalah
sama dengan aktiva yang dibeli saat perolehannya, dan bahwa tidak ada PPN yang dibayar
saat perolehannya. Sesuai dengan Berita Acara Pembahasan Keberatan dengan Pemeriksa
pajak tertanggal 16 Juli 2007, pada bagian akhir, diketahui bahwa pemeriksa setuju untuk
tidak dikenakan PPN Pasal 16D sepanjang tidak ada PPN yang dibayar oleh PT XAT dan
PPN tersebut tidak dikreditkan.
Atas permohonan keberatan PPN pasal 16D tersebut telah dibuat Laporan Penelitian
Keberatan Nomor 000/PJ.071/2007 tanggal 9 Agustus 2007 untuk kemudian dikeluarkan
Keputusan Dirjen Pajak Nomor 000/PJ.07/2007 tanggal 22 Oktober 2007 yang menyetujui
keberatan wajib pajak. Berdasarkan hal ini, wajib pajak kemudian mengurus pengembalian
pajak yang telah disetorkannya.
Berdasarkan Keterangan Ahli yang dilakukan oleh Bareskrim Mabes Polri terhadap Sdr US,
SH.MSc. yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan Ahli pada tanggal 21 Juni 2010 dan
Sdri. ESS SH.CN.Msi pada tanggal 18 Juni 2010 menjelaskan bahwa atas transaksi tersebut
seharusnya dikenakan PPN, berdasarkan ketentuan:
1. Ketentuan Peralihan, Pasal 35 ayat (2) PP No.50 tahun 1994, tanggal 28 Desember
1994 tentang Pelaksanaan UU No.8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan
PPBM sebagaimana telah diubah dengan UU No.11 tahun 1994 adalah atas
penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang
diperoleh sebelum berlaku UU No.11 tahun 1994 tentang perubahan atas UU PPN
tahun 1984 dikenakan PPN
2. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-01/PJ/51/1995 tanggal 2 Januari 1995 tentang
Pelaksanaan Ketentuan Peralihan dalam rangka Pelaksanaan UU Nomor 11 tahun
1994 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa
dan PPNBM pada point 3, butir 3.1 adalah: untuk peristiwa-peristiwa yang semula
tidak terhutang PPN menjadi terhutang PPN.
Berdasarkan hal tersebut, maka BPKP Deputi Investigasi dalam laporan nomor SR000/D6/02/2010 tanggal 7 Juli 2010 telah menyimpulkan bahwa atas fakta-fakta yang
terungkap diatas maka tidak dikenakannya PPN terhadap transaksi jual beli antara PT XAT
selaku penjual dengan PT XAA selaku pembeli telah menimbulkan kerugian keuangan negara
sebesar Rp.570.952.000,- Meskipun hingga saat ini jumlah tersebut menjadi tanda tanya
dalam dasar perhitungannya. Adapun rincian perhitungannya sebagai berikut:
1)

Pokok Pajak dan Sanksi Administratif pasal 13 ayat (2)

2)
Sanksi administratif pasal 14 ayat (4)
58.000.000,3)
Imbalan bunga pasal 27A ayat (1)
9.280.000,-

Rp.429.200.000,Rp.
Rp.

4)
Imbalan bunga pasal 27A ayat (1)
22.272.000,-

Rp.

5)
Imbalan bunga pasal 27A ayat (1)
52.200.000,-

Rp.

Jumlah
Rp.570.952.000,Baik Keterangan Ahli maupun BPKP Deputi Investigasi sebenarnya sudah mengakui bahwa
transaksi jual beli antara PT XAT selaku penjual dengan PT XAA selaku pembeli tidak
terhutang PPN pasal 16D melainkan terhutang PPN. Dengan demikian, secara implisit,
keputusan Dirjen Pajak untuk menerima keberatan dari Wajib Pajak atas PPN 16D dianggap
sudah betul namun harus diganti dengan SKPKB atas PPN.
Permasalahan berikutnya adalah tidak ada SOP yang mengatur Unit Keberatan baik di tingkat
Kanwil DJP maupun Kantor Pusat untuk mengalihkan penetapan pajak yang seharusnya.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 545/KMK.04/2000 maupun perubahannya dengan
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 123/PMK.03/2006 tentang Tata
Cara Pemeriksaan Pajak hanya mengatur mengenai pemeriksaan pajak. Tidak ada
pembahasan mengenai tata cara pengajuan dan penelitian keberatan serta penyampaian hasil
laporan penelitian keberatan.
Unit Keberatan tidak dapat merubah materi pajak yang dipersengketakan sedangkan
wewenang untuk menerbitkan SKPKB ada pada pihak Kantor Pelayanan Pajak. Laporan
Penelitian Keberatan yang dibuat oleh Unit Keberatan ditujukan kepada Direktur Jenderal
Pajak dan tidak ditembuskan kepada KPP terkait. Tidak ada KP Data yang harus dibuat
terhadap kesimpulan yang dibuat oleh Unit Keberatan untuk disampaikan kepada KPP
tersebut untuk menerbitkan SKPKB yang baru. Yang ada pada SOP hanyalah bahwa tim
keberatan wajib mengirimkan salinan putusan keberatan tersebut ke KPP terkait, dan
berdasarkan salinan tersebut sudah menjadi kewajiban KPP terkait untuk bertindak
sebagaimana mestinya.
Contoh yang menarik mengenai perubahan materi pajak yang dipersengketakan dapat dilihat
pada Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.00266/BPSP/M.VII/13/1999 dimana Pemeriksa
telah menerapkan tarip 10% untuk menghitung PPh pasal 26 terhutang, namun dalam tingkat
keberatan tarip yang digunakan adalah sebesar 20%. Majelis berkesimpulan bahwa tarif yang
seharusnya adalah 10%, karenanya Majelis berkesimpulan koreksi terbanding atas tarif PPh
pasal 26 tidak dapat dipertahankan. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa Majelis Pengadilan
Pajak juga tidak memiliki wewenang untuk merubah materi sengketa, sehingga putusan
Majelis hanyalah membatalkan koreksi PPh pasal 26 tersebut.
Contoh lain adalah Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.00824/PP/M.VII/12/2003 dimana
pemeriksa mengenakan PPh pasal 23 atas biaya bunga yang telah dibayarkan kepada pihak
ke-3 (non bank) yang belum dipungut PPh pasal 23. Majelis berkesimpulan bahwa pajak
terhutang yang dikenakan atas biaya bunga yang telah dibayarkan kepada pihak ke-3 (non
bank) seharusnya adalah PPh pasal 4 ayat (2) karenanya Majelis berkesimpulan bahwa
koreksi Terbanding tersebut tidak dapat dipertahankan. Disini kembali dapat dilihat bahwa
Majelis Pengadilan Pajak juga tidak merubah materi sengketa, sehingga putusan Majelis

hanyalah membatalkan koreksi PPh pasal 23 saja, dan tidak merubah / mengenakan menjadi
PPh pasal 4 ayat (2).
Penulis berkesimpulan bahwa DEMI KEADILAN, petugas pajak yang tidak pandai
seharusnya tidak boleh mengorbankan Wajib Pajak. Dengan demikian, Keputusan Dirjen
Pajak Nomor 000/PJ.07/2007 tanggal 22 Oktober 2007 yang menyetujui keberatan wajib
pajak atas SKPKB PPN pasal 16D terhadap transaksi jual beli antara PT XAT selaku penjual
dengan PT XAA selaku pembeli sudah tepat dan seharusnya bukan merupakan kasus pidana
korupsi yang melawan hukum.
Oleh : DR Dayan Hakim NS, SE.AK.MM.BKP. 22 nov 2010
https://www.facebook.com/notes/dayan-hakim/bedah-kasus-ptxat/473569277131

Contoh Kasus Perlakukan PPN atas Sewa Guna Usaha


dengan hak opsi (leasing)
Posted on 5 November 2011 by fayanuar

Leasing yang dimaksud adalah leasing dengan hak opsi, sehingga terjadi penyerahan BKP
dan jasa leasing sendiri tidak termasuk JKP.
Contoh Kasus :
Pak Nurman selaku direktur PT Renta Investama (bergerak di bidang penyewaan mobil dan
telah dikukuhkan sebagai PKP) berencana membeli 15 unit mobil Honda Jazz untuk
menambah pangsa pasar di kalangan kawula muda. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya
dipilihlah metode pembelian secara leasing dengan hak opsi.
Pada tanggal 24 Maret 2011, Pak Nurman mewakili perusahaannya mendatangi kantor PT
Finance Lease Utama untuk merencanakan pembelian secara leasing tersebut. Dalam
pertemuan tersebut disepakati PT Finance Lease sebagai lessor akan memilih PT Honda
Utama (PKP dealer mobil honda) sebagai supplier. Namun sebelum kontrak ditandatangani,
Pak Nurman harus terlebih dahulu memastikan barang yang ia terima benar-benar sesuai
keinginannya sehingga kontrak baru dapat ditandatangani keesokan harinya.
Akhirnya, pada tanggal 25 Maret 2011, surat perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi
ditandatangani. Dalam kontrak tersebut, disebutkan bahwa harga jual untuk 10 unit mobil
adalah Rp. 1.500.000.000 dan bunga sebesar 9% per tahun. Pembayaran akan dilakukan
sebanyak 12 kali terhitung mulai tanggal 1 April 2011. PT Renta Investama mulai dapat
menguasai mobil Honda Jazz dari PT Honda Utama terhitung sejak ditanda tangani nya surat

perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi, yaitu tanggal 25 Maret 2011. Hak opsi sendiri
akan diberikan pada tanggal 31 Maret 2012.
Analisis PPN :
Dalam transaksi sewa guna usaha dengan hak opsi, BKP dianggap diserahkan langsung dari
supplier ke leasee. Sesuai dengan SE 129/PJ/2010 supplier wajib membuat faktur pajak
dengan menggunakan identitas lessee sebagai pembeli Barang Kena Pajak (tidak
menggunakan metode qualitate qua (q.q.) karena BKP langsung diserahkan dari supplier,
bukan berasal dari persediaan lessor ). PPN yang terutang merupakan pajak keluaran bagi
supplier dan merupakan pajak masukan bagi lessee.
Meskipun pengalihan atau penyerahan hak atas BKP baru dilakukan tanggal 31 Maret 2012
dan pembayaran Harga Jual BKP tsb dilakukan secara bertahap sejak 1 April 2011, tetapi
karena penguasaan atas BKP telah berpindah dari penjual kepada pembeli atau dari lessor
kepada lessee, maka UU PPN menentukan bahwa penyerahan BKP dianggap telah terjadi
pada saat perjanjian ditandatangani, kecuali apabila saat berpindahnya penguasaan secara
nyata atas BKP tsb terjadi lebih dahulu daripada saat ditandatanganinya perjanjian. Untuk
Transaksi diatas, PPN terutang pada tanggal 25 Maret 2011.

http://duniapajak.com/peraturan-pajak/perlakuan-ppn-atas-sewa-gunausaha-dengan-hak-opsi

UU No 42 Tahun 2009

SE 129/PJ/2010

http://www.pajak2000.com/event_detail.php?id=12

http://fayanuar.wordpress.com/2011/11/05/contoh-kasus-perlakukan-ppnatas-sewa-guna-usaha-dengan-hak-opsi-leasing/

Anda mungkin juga menyukai