dibayarkan oleh penjual, sedangkan pajak yang dibayar pembeli disebut Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB)
Dasar hukum pajak yang dikenakan kepada penjual, yakni PPh, adalah Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas
Tanah dan/atau Bangunan. Berikut bunyi pasal tersebut:
“Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan wajib dibayar pajak penghasilan”
Pajak pembelian tanah ini juga harus dibayarkan oleh penjual sebelum membuat akta jual beli. Jadi tanpa ada
pembayaran PPh, maka penjual dianggap melanggar aturan sehingga Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
setempat dapat menolak untuk membuatkan akta jual beli.
Ketentuan ini dapat kita temukan dalam pasal 39 ayat 1 huruf g Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah. Bunyi pasal tersebut sebagai berikut:
“PPAT menolak untuk membuat akta, jika :
1. tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan”
Jadi, menurut bunyi peraturan di atas, bagi penjual yang belum melunasi PPh, maka transaksi jual beli tidak
bisa dilaksanakan karena PPAT pun tidak akan mau membuatkan akta jual beli.
Jika merujuk ke aturannya, PPh yang dikenakan adalah sebesar 2,5% dari total (bruto) nilai pengalihan hak
atas tanah yang ditransaksikan. Misal, sebuah tanah telah sepakat untuk melakukan transaksi tanah senilai
Rp400.000.000,00. Maka berdasarkan peraturan yang ditetapkan, besarnya PPh adalah:
2.5% x Rp400.000.00 = Rp10.000.000,00.