Anda di halaman 1dari 3

Sisi Gelap Kuliah di Luar Negeri: Ketika Mahasiswa Indonesia Menjadi

“Sapi Perah” di Inggris dan Australia

MOJOK.CO – Ada sebuah anggapan bahwa mahasiswa Indonesia adalah cash cows atau “sapi
perah” bagi kampus-kampus di Inggris dan Australia.
Sebagai tutor privat English conversation dewasa, saya beberapa kali mendapatkan mahasiswa
Indonesia yang sedang bersiap untuk studi keluar negeri, baik S2 atau S3. Mereka pasti nanya soal
cara memilih kampus, berapa universitas yang dulu saya lamar, negaranya mana saja, program
studinya apa, dan sebagainya.
Saya dulu menempuh master di University of Liverpool (UoL) di Inggris. UoL itu, dulu, adalah satu
dari beberapa kampus yang sudi menerima saya sebagai mahasiswa S2 dengan peringkat kampus
beragam. Menariknya, semua kampus yang menerima saya itu berada di Inggris dan Australia.
Sebaliknya, satu kampus di Jerman menolak aplikasi saya.
Pengalaman menempuh perkuliahan di beberapa kampus di luar negeri ini tidak unik, ya. Saya yakin
ada banyak juga teman-teman saya yang mengalami hal serupa. Waktu itu rasanya senang dan bangga
betul. Tapi ketika mulai riil menjalaninya, rasa senang dan bangga itu bergeser.

Ketika mahasiswa Indonesia terkejut dengan fakta perkuliahan di Liverpool, Inggris


Saya ingat hari-hari pertama masuk kuliah di Management School (Fakultas Ekonomi) UoL. Saya
terkejut. Rupanya, 80% dari 30 siswa di program saya berasal dari Cina daratan. Saya juga
menemukan pola yang serupa di beberapa program master lain. Tidak hanya di Management School,
tapi juga di fakultas lain.
Satu spekulasi muncul di benak saya. Pendidikan tinggi di Inggris dan Australia itu sifatnya
komersial. Pemerintah tidak banyak memberikan subsidi. Kenyataan ini mengharuskan kampus-
kampus di sana mencari penghasilan untuk beroperasi. Nah, salah satu sumbernya yang menjanjikan
adalah mahasiswa internasional (mahasiswa Indonesia dan yang berasal dari luar Eropa). Kami harus
membayar biaya kuliah berlipat kali lebih mahal daripada mahasiswa asal Eropa.
Baca Juga:

Alasan Banyak Mahasiswa Indonesia di Singapura Pindah Kewarganegaraan


21 JULI 2023
Siswa SMA di Jogja yang Diterima 11 Kampus Top Dunia Berbagi Tips Bisa Kuliah di Luar Negeri
2 JUNI 2023
Silakan kalian memeriksa fakta di atas. Biaya kuliah bagi mahasiswa internasional di Inggris dan
Australia termasuk yang termahal di dunia. Negara-negara termahal lainnya di antaranya, ada
Amerika Serikat, Kanada, dan Selandia Baru.

Ketika mahasiswa internasional menjadi “sapi perah”


Sah-sah saja sebenarnya jika misalnya memegang anggapan ada uang, ada barang. Saya menikmati
sistem pendidikan dengan fasilitas mentereng yang meng-upgrade pola pikir saya ketika menghadapi
masalah. Tapi sayangnya, sebagai mahasiswa Indonesia, kemampuan berbahasa Inggris dan bergaul
saya di tingkat global jadi mentok akibat komposisi mahasiswa seperti di atas.
Jangan salah, setelah saya tanya-tanya beberapa dari teman sekelas saya itu, mereka juga sama
kagetnya, kok. Melihat komposisi seperti itu, mereka juga jadi sulit berkembang.
Beberapa waktu kemudian, saya mendapati sebuah video tentang situasi serupa yang juga terjadi di
Australia. Sejumlah kampus di sana memiliki proporsi mahasiswa internasional dominan dari negara
tertentu seperti Cina dan India. Lebih parah lagi, video itu juga menyinggung beberapa kampus yang
“menurunkan” standar demi menerima mahasiswa internasional sebanyak-banyaknya.
Contoh maraknya adalah memberikan “kelonggaran” untuk menerima mahasiswa asing yang
kemampuan bahasa Inggrisnya di bawah standar. Ini vital, ya. Demi bisa menyampaikan gagasan dan
argumen dengan baik sebagai hasil dari berpola pikir kritis (critical thinking) dan berdasar yang
diharapkan di sana, kemampuan berbahasa Inggris calon mahasiswa harus memadai.

Turut menggerakkan perekonomian setempat


Saya harap kamu menonton video di atas dan bisa menangkap emosi di sana. Kamu bisa melihat
bahwa tidak hanya mahasiswa internasional, tapi juga mahasiswa lokal yang kecewa atas kurangnya
keragaman di kelas. Bahkan, ada mahasiswa dan dosen yang memilih drop out.
Berbicara lebih luas lagi, atas keberadaan mahasiswa internasional ini, tidak hanya kampus yang
menikmatinya. Sebagai mahasiswa Indonesia, Selama masa studi di sana, saya dan mereka pasti
menghabiskan uang untuk biaya akomodasi, makan, belanja baju, wisata, dan seterusnya. Artinya,
kami sudah turut menggerakkan perekonomian setempat.
Setelah masa studi selesai, apakah mahasiswa internasional berpeluang besar mendapatkan pekerjaan
di sana? Ya nggak juga. Secara umum, ketika di sebuah negara maju itu masih ada warganya yang
menganggur, mengapa mereka mau repot-repot merekrut mahasiswa internasional untuk kerja yang
prosesnya bisa lebih rumit?
Ya bisa saja, sih. Apalagi kalau kamu mau menerima bayaran jauh di bawah standar. Kondisi ini bisa
melahirkan banyak konsekuensi mana dan belum tentu bagus. Jadi, melihat kondisi yang ada, negara-
negara seperti Inggris dan Australia yang akan merasakan untung atas keberadaan mahasiswa
Indonesia dan mahasiswa internasional lainnya.

Hubungan antara mahasiswa Indonesia dengan kampus = bisnis


Kamu perlu mencatat bahwa mahasiswa Indonesia harus membayar mahal untuk kuliah dan tinggal di
Inggris atau Australia. Setelah lulus, cari kerjanya sulit. Untuk tugas akhir, tak jarang mereka
melakukan riset yang berkaitan dengan negara asalnya. Kampus-kampus itu jadi bisa mengakumulasi
wawasan tentang negara kita. Hasilnya, kampus-kampus itu tetap lebih unggul.
Dari sekian penjabaran ini, saya tidak mengatakan kalau universitas di Inggris, Australia, dan lainnya
yang mahal itu mutunya pasti/patut diragukan. Yang mau saya katakan adalah, seandainya skema di
atas itu benar terjadi, kalian sebagai mahasiswa Indonesia yang akan rugi.

Berarti, kalau diterima di banyak kampus di negara seperti Inggris atau Australia,
gimana, tuh?
Kalau program studinya sesuai dengan yang diminati, ya nggak ada salahnya memantapkan diri
menempuh salah satunya. Tapi, manfaatkan waktumu di sana yang terbatas itu seoptimal mungkin,
baik di dalam maupun luar kampus. Kamu, sebagai mahasiswa Indonesia, wajib memiliki pola pikir
ini sebelum berangkat.
Pergi kuliah ke LN itu tidak hanya tentang akademis, tapi jauh lebih luas. Selain itu, bagi saya, S2
saya di LN dulu itu ibarat solo traveling di negeri antah berantah dan dalam periode lama.
Pengalaman dan keahlian yang saya peroleh dari solo traveling sebelumnya ternyata sangat berguna
sekali di sana.
Dari awal, adalah kamu yang menyusun pilihan dan rencana sendiri. Seandainya realitanya jauh dari
harapan dan kamu kecewa, ya kamu juga yang harus menyusun plan B, plan C-nya sendiri, on the
spot. Pokoknya, gimana caranya rasa kecewa itu terobati. Studi ke LN itu keputusan besar dengan
biaya investasi (dan mungkin juga pengorbanan) yang besar pula. Sekalinya kecewa, bisa kecewa
berat itu.

Sekali lagi, ini adalah hubungan bisnis


Kalau pergaulan di kampusmu itu mentok, artinya kamu harus cari komunitas lain selain komunitas
mahasiswa Indonesia. Kamu juga harus mencoba segala cara halal agar bisa berhasil secara
akademis. Yang ingin kerja part-time, silakan. Di luar itu, coba eksplorasi berbagai hal. Ada banyak
pengalaman baru di luar sana yang bisa kamu lihat dan rasakan, yang berbeda jauh dengan di tanah
air. Kapan lagi?
Ingat, hubunganmu dengan kampus dan negara tujuanmu itu tadi adalah hubungan bisnis. Jadi,
sebagai mahasiswa Indonesia, harus mengambil banyak nilai tambah dan manfaat dari transaksi
dengan mereka. Ini supaya paling tidak, secara psikologis, transaksi itu impas.
Dulu saya menemukan tipikal mahasiswa internasional yang cenderung hanya berorientasi akademis.
Ketika kegiatan studi tidak sesuai harapan, mereka stuck, lalu seperti tidak bersemangat. Mereka jadi
nggak betah selama. Mau dia ke sana atas beasiswa atau biaya sendiri, bagi saya, itu transaksi yang
merugikan. It’s a bad deal.
UoL, sejak beberapa tahun terakhir, sudah membuka kampus cabang di Cina. Mereka membangun
kerja sama dengan salah satu universitas setempat. Jadi, mudah-mudahan, mahasiswa Indonesia yang
lebih baru dari saya, yang berkampus langsung di Liverpool, sudah bisa mendapatkan pengalaman
studi yang lebih lengkap dari saya dulu, ya.
Penulis: Suryagama Harinthabima
Editor: Yamadipati Seno

Anda mungkin juga menyukai