Anda di halaman 1dari 2

Gerakan transformasi Ki Hadjar Dewantara (KHD), yang dikenal dengan nama Pendidikan Taman

Siswa, memiliki dampak yang signifikan dalam perkembangan pendidikan Indonesia sebelum dan
sesudah kemerdekaan. Namun, seperti halnya dengan setiap gerakan atau ideologi, ada argumen kritis
yang dapat diberikan terhadapnya.

Gerakan tansformasi KHD dibedakan menjadi dua fase, pertama fase sebelum kemerdekaan dan kedua
fase sesudah kemerdekaan. Fase pertama dimulai dari lahirnya Taman Siswa Tahun 1920 yang
merupakan cikal bakal pweubahan radikal dalam Pendidikan dan pengajaran. Setelah itu didirikan
Taman Siswa Yogyakarta Tahun 1922 sebagai gerbang emas kemerdekaan dan kebebasan kebudayaan
Indonesia. Sedangkan transformasi Pendidikan KHD setelah fase kemerdekaan dimulai dari terbitnya:

• Kurikulum Rentjana Pembelajaran Tahun 1947


• Kurikulum Rentjana Pelajaran Terurai Tahun1952.
• Kurikulum Rentjana Pendidikan Tahun 1964
• Kurikulum Tahun 1968
• Kurikulum 1975
• Kurikulum1984
• Kurikulum 1994
• Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004
• Kurikulum Tingat Satuan Pendidikan 2006
• Kurikulum 2013
• Kurikulum Merdeka

Berikut adalah beberapa argumen kritis tentang gerakan transformasi Ki Hadjar Dewantara dalam
perkembangan pendidikan Indonesia:

1. Elitisme : Meskipun Pendidikan Taman Siswa bertujuan untuk memberikan pendidikan kepada
semua lapisan masyarakat, pada kenyataannya, pendidikan ini lebih banyak diakses oleh kalangan elit
atau kelas menengah atas. Hal ini disebabkan oleh biaya pendidikan yang relatif tinggi dan kurangnya
aksesibilitas bagi masyarakat miskin.

2. Kesenjangan Gender : Gerakan Pendidikan Taman Siswa pada awalnya cenderung mendiskriminasi
gender, dengan fokus utama pada pendidikan laki-laki. Peran perempuan dalam pendidikan pada masa
itu sering diabaikan atau dianggap kurang penting.

3. Pendekatan Kultural Tertentu : Meskipun pendekatan Pendidikan Taman Siswa menekankan


pentingnya budaya lokal dalam pendidikan, hal ini juga dapat dianggap sebagai batasan. Pendekatan
yang terlalu kultural mungkin menghambat inovasi dan integrasi dengan konsep pendidikan global yang
lebih luas.
4. Keterbatasan Kurikulum : Kurikulum Pendidikan Taman Siswa pada awalnya cenderung terfokus
pada pembelajaran praktis dan keterampilan kerja, sering kali diabaikan dalam pembelajaran intelektual
atau akademik yang lebih mendalam. Hal ini dapat menghasilkan lulusan yang terampil secara praktis
tetapi kurang dalam pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep dan teori.

5. Keterbatasan Akses : Meskipun Pendidikan Taman Siswa berusaha untuk memberikan akses
pendidikan kepada semua lapisan masyarakat, pada kenyataannya, masih ada banyak masyarakat yang
tidak memiliki akses ke pendidikan yang berkualitas karena berbagai hambatan seperti jarak, biaya, dan
infrastruktur.

6. Kehati-hatian Politik : Pendidikan Taman Siswa pada awalnya mencoba untuk tetap netral dalam hal
politik, namun pada kenyataannya, gerakan ini tidak sepenuhnya terhindar dari intervensi politik. Hal
ini dapat mengarah pada manipulasi agenda pendidikan untuk kepentingan politik tertentu.

Meskipun ada argumen kritis ini terhadap gerakan transformasi Ki Hadjar Dewantara, penting untuk
diingat bahwa kontribusinya terhadap perkembangan pendidikan Indonesia tidak dapat dipungkiri.
Gerakan ini membuka jalan bagi inklusivitas, keberagaman, dan fokus pada pendidikan yang berpusat
pada siswa, yang masih menjadi nilai-nilai penting dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini.

Anda mungkin juga menyukai