Anda di halaman 1dari 16

Pendidika adalah proses sistematis yang dirancang untuk

mentransfer pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai, dan norma-


norma budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ini
adalah upaya sadar untuk mempersiapkan individu agar dapat
berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat. Pendidikan dapat
terjadi dalam berbagai bentuk dan konteks, termasuk formal
(sekolah dan perguruan tinggi), nonformal (pelatihan kerja, kursus
ekstrakurikuler), dan informal (belajar dari pengalaman sehari-
hari, interaksi sosial).

Aspek-aspek utama dari pendidikan melibatkan:

1. Transfer Pengetahuan: Memberikan informasi dan konsep-


konsep yang dapat membantu individu memahami dunia di
sekitarnya.
2. Pengembangan Keterampilan: Mempersiapkan individu dengan
keterampilan praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari atau di lingkungan kerja.
3. Pembentukan Karakter dan Nilai: Mendorong pengembangan
karakter yang positif, moralitas, dan nilai-nilai yang diakui oleh
masyarakat.
4. Pengembangan Pemikiran Kritis: Mendorong kemampuan
berpikir analitis, kritis, dan kreatif untuk memecahkan masalah
dan menghadapi tantangan.
5. Sosialisasi: Menyediakan lingkungan di mana individu dapat
belajar berinteraksi sosial, memahami norma dan etika, serta
membangun keterampilan komunikasi.
6. Pemberdayaan Masyarakat: Pendidikan dapat berperan dalam
memberdayakan individu dan masyarakat, memberi mereka alat
untuk meningkatkan kualitas hidup dan berkontribusi pada
pembangunan sosial dan ekonomi.
Pendidikan dapat dianggap sebagai investasi jangka panjang
dalam pembangunan individu dan masyarakat. Tujuannya tidak
hanya untuk mentransfer pengetahuan tetapi juga untuk
membentuk karakter, membuka peluang, dan memberikan dasar
bagi kemajuan sosial. Pendekatan terhadap pendidikan dapat
bervariasi di seluruh budaya dan sistem pendidikan, tetapi pada
intinya, pendidikan memiliki peran penting dalam kontes
pendidikan merupakan metode yang menbuat anak itu pintar apa
itu metode pendidikan
Ada berbagai metode pendidikan yang digunakan untuk
mentransfer pengetahuan, mengembangkan keterampilan, dan
membentuk karakter individu. Pemilihan metode pendidikan
seringkali bergantung pada tujuan pembelajaran, karakteristik
siswa, dan konteks pendidikan. Berikut adalah beberapa metode
pendidikan yang umum digunakan: Metode Ceramah:

 Deskripsi: Guru menyampaikan informasi kepada siswa


secara lisan.
 Kelebihan: Efektif untuk menyampaikan informasi besar

dalam waktu singkat.


 Keterbatasan: Minim interaksi siswa, cenderung pasif.

2. Diskusi Kelompok:
 Deskripsi: Siswa berpartisipasi dalam diskusi kelompok

untuk membahas ide, pemecahan masalah, atau konsep


tertentu.
 Kelebihan: Mendorong keterlibatan siswa, meningkatkan

keterampilan berpikir kritis dan sosial.


 Keterbatasan: Memerlukan fasilitator yang baik untuk
memandu diskusi.
3. Pembelajaran Kooperatif:
 Deskripsi: Siswa bekerja sama dalam kelompok untuk

mencapai tujuan pembelajaran bersama.


 Kelebihan: Mendorong kerja sama dan keterampilan

interpersonal.
 Keterbatasan: Memerlukan manajemen kelompok yang

efektif.
4. Pembelajaran Berbasis Proyek:
 Deskripsi: Siswa terlibat dalam proyek nyata yang

memerlukan pemecahan masalah dan penerapan konsep


pembelajaran.
 Kelebihan: Memotivasi siswa, mengembangkan

keterampilan praktis.
 Keterbatasan: Memerlukan waktu yang lebih lama dan

sumber daya.
5. Pembelajaran Berbasis Masalah:
 Deskripsi: Siswa memecahkan masalah dunia nyata

menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang mereka


pelajari.
 Kelebihan: Mendorong pemikiran analitis dan pemecahan

masalah.
 Keterbatasan: Memerlukan panduan guru yang efektif.

6. Metode Demonstrasi:
 Deskripsi: Guru memperlihatkan langkah-langkah atau

prosedur tertentu.
 Kelebihan: Memberikan contoh konkret, memfasilitasi

pemahaman.
 Keterbatasan: Siswa mungkin tidak aktif secara langsung.
7. Pembelajaran Daring (E-learning):
 Deskripsi: Penggunaan teknologi untuk mendukung

pembelajaran, termasuk kursus daring dan sumber daya


pembelajaran elektronik.
 Kelebihan: Fleksibel, akses dari mana saja.

 Keterbatasan: Memerlukan akses internet, keterampilan

teknologi.
8. Metode Penugasan:
 Deskripsi: Pemberian tugas kepada siswa untuk

memperdalam pemahaman mereka.


 Kelebihan: Mendorong pembelajaran mandiri.

 Keterbatasan: Memerlukan umpan balik guru.

Pendekatan pendidikan yang efektif seringkali melibatkan


kombinasi beberapa metode untuk memenuhi kebutuhan
beragam siswa dan mencapai berbagai tujuan pembelajaran.
Pendidikan yang berkualitas sering kali mengintegrasikan
metode-metode ini dengan konteks pembelajaran yang relevan
dan menarik bagi siswa
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi (Kemendikbudristek)
adalah kementerian dalam Pemerintah Indonesia yang
menyelenggarakan urusan di bidang pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan vokasi,
dan pendidikan tinggi; pengelolaan kebudayaan; penelitian; riset;
dan pengembangan teknologi. Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden Indonesia,[2] dan dipimpin
oleh seorang Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi (Mendikbudristek).
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Awal Kemerdekaan (1945–1950)[sunting | sunting sumber]
Pada prakemerdekaan pendidikan bukan untuk mencerdaskan
kaum pribumi, melainkan lebih pada kepentingan kolonial
penjajah. Pada bagian ini, semangat menggeloraan ke-Indonesia-
an begitu kental sebagai bagian dari membangun identitas diri
sebagai bangsa merdeka. Karena itu tidaklah berlebihan jika
instruksi menteri saat itu pun berkait dengan upaya memompa
semangat perjuangan dengan mewajibkan bagi sekolah untuk
mengibarkan sang merah putih setiap hari di halaman sekolah,
menyanyikan lagu Indonesia Raya, hingga menghapuskan
nyanyian Jepang Kimigayo.[3]
Organisasi kementerian yang saat itu masih bernama
Kementerian Pengajaran pun masih sangat sederhana. Namun,
kesadaran untuk menyiapkan kurikulum sudah dilakukan. Menteri
Pengajaran yang pertama dalam sejarah Republik Indonesia
adalah Ki Hadjar Dewantara. Pada Kabinet Syahrir I, Menteri
Pengajaran dipercayakan kepada Mr. Mulia. Mr. Mulia melakukan
berbagai langkah seperti meneruskan kebijakan menteri
sebelumnya di bidang kurikulum berwawasan kebangsaan,
memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan, serta menambah
jumlah pengajar.[3]
Pada Kabinet Syahrir II, Menteri Pengajaran dijabat oleh
Muhammad Sjafei sampai tanggal 2 Oktober 1946. Selanjutnya,
Menteri Pengajaran dipercayakan kepada Mr. Soewandi hingga
27 Juni 1947. Pada era kepemimpinan Mr. Soewandi ini terbentuk
Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia yang
diketuai Ki Hadjar Dewantara. Panitia ini bertujuan meletakkan
dasar-dasar dan susunan pengajaran baru.[3]
Era Demokrasi Liberal (1951–1959)[sunting | sunting sumber]
Dapat dikatakan pada masa ini stabilitas politik menjadi sesuatu
yang langka, demikian halnya dengan program yang bisa
dijadikan tonggak, tidak bisa dideskripsikan dengan baik. Selama
masa demokrasi liberal, sekitar sembilan tahun, telah terjadi tujuh
kali pergantian kabinet. Kabinet Natsir yang terbentuk tanggal 6
September 1950, menunjuk Dr. Bahder Johan sebagai Menteri
Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (PP dan K). Mulai bulan
April 1951 Kabinet Natsir digantikan Kabinet Sukiman yang
menunjuk Mr. Wongsonegoro sebagai Menteri PP dan K.
Selanjutnya Dr. Bahder Johan menjabat Menteri PP dan K sekali
lagi, kemudian digantikan Mr. Mohammad Yamin, RM. Soewandi,
Ki Sarino Mangunpranoto, dan Prof. Dr. Prijono.[3]
Pada periode ini, kebijakan pendidikan merupakan kelanjutan
kebijakan menteri periode sebelumnya. Yang menonjol pada era
ini adalah lahirnya payung hukum legal formal di bidang
pendidikan, yaitu UU Pokok Pendidikan Nomor 4 Tahun 1950.[3]
Era Demokrasi Terpimpin (1959–1966)[sunting | sunting
sumber]
Dekret Presiden 5 Juli 1959 mengakhiri era demokrasi
parlementer, digantikan era demokrasi terpimpin. Di era
demokrasi terpimpin banyak ujian yang menimpa bangsa
Indonesia. Konfrontasi dengan Belanda dalam masalah Irian
Barat, sampai peristiwa G30S/PKI menjadi ujian berat bagi
bangsa Indonesia.[3]
Dalam Kabinet Kerja I, 10 Juli 1959–18 Februari 1960, status
kementerian diubah menjadi menteri muda. Kementerian yang
mengurusi pendidikan dibagi menjadi tiga menteri muda, di
antaranya: Menteri Muda Bidang Sosial Kulturil dipegang Dr.
Prijono, Menteri Muda PP dan K dipegang Sudibjo, dan Menteri
Muda Urusan Pengerahan Tenaga Rakyat dipegang Sujono.[3]
Era Orde Baru (1966–1998)[sunting | sunting sumber]
Setelah Pemberontakan G30S/PKI berhasil dipadamkan,
terjadilah peralihan dari demokrasi terpimpin ke demokrasi
Pancasila. Era tersebut dikenal dengan nama Orde Baru yang
dipimpin Presiden Soeharto. Kebijakan di bidang pendidikan pada
era Orde Baru cukup banyak dan beragam mengingat orde ini
memegang kekuasaan cukup lama yaitu 32 tahun. Kebijakan-
kebijakan tersebut antara lain kewajiban penataran P4 bagi
peserta didik, normalisasi kehidupan kampus, bina siswa melalui
OSIS, ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan atau EYD,
Kuliah Kerja Nyata (KKN) bagi mahasiswa, merintis sekolah
pembangunan, dan lain-lain. Pada era ini, tepatnya tahun 1978,
tahun ajaran baru digeser ke bulan Juni. Pembangunan
infrastruktur pendidikan juga berkembang pesat pada era ini.[3]
Menteri pendidikan dan kebudayaan pada era ini antara lain Dr.
Daud Joesoef, Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, Prof. Dr. Fuad
Hassan, Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro, dan Prof. Dr.
Wiranto Aris Munandar.[3]
Era Reformasi (1998–sekarang)[sunting | sunting sumber]
Masa Awal Reformasi[sunting | sunting sumber]
Setelah berjaya memenangkan enam kali Pemilu, Orde Baru
pada akhirnya sampai pada akhir perjalanannya. Pada tahun
1998, Indonesia diterpa krisis politik dan ekonomi. Demonstrasi
besar-besaran pada tahun tersebut berhasil memaksa Presiden
Soeharto meletakkan jabatannya. Kabinet pertama pada era
reformasi adalah kabinet hasil Pemilu 1999 yang
dipimpin Presiden Abdurrahman Wahid. Pada masa ini,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diubah menjadi
Departemen Pendidikan Nasional dengan menunjuk Dr. Yahya
Muhaimin sebagai Menteri Pendidikan Nasional. Pada tahun
2001, MPR menurunkan Presiden Abdurrahman Wahid dalam
sidang istimewa MPR dan mengangkat Megawati
Soekarnoputri sebagai presiden. Di era pemerintahan Presiden
Megawati, Mendiknas dijabat Prof. Drs. A. Malik Fadjar, M.Sc.[3]
Masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono[sunting | sunting sumber]
Pada pemilihan Umum 2004 dan 2009,
rakyat Indonesia memilih presiden secara langsung. Pada dua
pemilu tersebut, Susilo Bambang Yudhoyono berhasil terpilih
menjadi presiden. Selama kepemimpinan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, jabatan Mendiknas secara berturut-turut
dijabat oleh Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA. dan Prof. Dr. Ir.
Mohamad Nuh. Pada tahun 2011 istilah departemen diganti
menjadi kementerian dan pada tahun 2012 bidang pendidikan
dan kebudayaan disatukan kembali menjadi Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.[3] Kebijakan pendidikan pada era
reformasi antara lain perubahan IKIP menjadi universitas,
reformasi undang-undang pendidikan dengan lahirnya Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003, Ujian Nasional (UN), sertifikasi
guru dan dosen, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), pendidikan
karakter, dan lain-lain.[3]
Masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo[sunting | sunting
sumber]
Pada Kabinet Kerja (2014–2019), kementerian ini dirombak
dengan mengeluarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi ke
dalam Kementerian Riset dan Teknologi yang berubah namanya
menjadi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
[4]
Sementara itu, direktorat jenderal lainnya (Ditjen Pendidikan
Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal; Ditjen Pendidikan
Dasar; Ditjen Pendidikan Menengah; dan Ditjen Kebudayaan)
tetap berada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.[5] Saat
pembentukan Kabinet Indonesia Maju (23 Oktober 2019),
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi kembali dimasukkan dalam
struktur Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada tahun 2021, saat perombakan kedua Kabinet Indonesia
Maju, Kementerian Riset dan Teknologi digabungkan ke
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-
Ristek). Kementerian ini dipimpin oleh Nadiem Makarim yang
dilantik oleh Presiden Joko Widodo pada 28 April 2021.[6]
Perubahan nama[sunting | sunting sumber]

 Departemen Pengajaran (1945–1948)


 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1948–1955, 1966–
1999)
 Departemen Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1955–
1966)
 Departemen Pendidikan Nasional (1999–2009)
 Kementerian Pendidikan Nasional (2009–2011)
 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2011–2021)
 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
(2021–kini)
Tugas dan fungsi[sunting | sunting sumber]
Kemendikbudristek menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pendidikan dan kebudayaan ilmu pengetahuan, dan
teknologi untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara.[7]
Urusan pendidikan dan kebudayaan[sunting | sunting sumber]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai tugas
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan
dan kebudayaan untuk membantu Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan
tugas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
menyelenggarakan fungsi:[2]

1. perumusan dan penetapan kebijakan di bidang pendidik dan


tenaga kependidikan, pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, pendidikan menengah, pendidikan vokasi, pendidikan
tinggi, dan pengelolaan kebudayaan;
2. koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi di perguruan tinggi dalam
rangka melaksanakan tridharma perguruan tinggi;
3. perumusan dan penetapan kebijakan di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi;
4. pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian formasi
pendidik, pemindahan pendidik, dan pengembangan karier
pendidik, serta pemindahan pendidik dan tenaga
kependidikan lintas daerah provinsi;
5. penyusunan standar, kurikulum, dan asesmen di bidang
pendidikan;
6. penetapan standar nasional pendidikan dan kurikulum
nasional pendidikan menengah, pendidikan dasar,
pendidikan anak usia dini, dan pendidikan nonformal;
7. pelaksanaan kebijakan di bidang pendidikan tinggi;
8. pelaksanaan kebijakan di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi di perguruan tinggi dalam rangka melaksanakan
tridharma perguruan tinggi;
9. pelaksanaan fasilitasi pendidik dan tenaga kependidikan dan
penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, pendidikan menengah, pendidikan vokasi, dan
pendidikan tinggi, serta kebudayaan;
10. pelaksanaan kebijakan di bidang pelestarian cagar
budaya dan pemajuan kebudayaan;
11. pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan perfilman
nasional;
12. pelaksanaan pengembangan, pembinaan, dan
pelindungan bahasa dan sastra;
13. pelaksanaan pengelolaan sistem perbukuan;
14. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas
pelaksanaan urusan Kementerian di daerah;
15. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan
pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur
organisasi di lingkungan Kementerian;
16. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang
menjadi tanggung jawab Kementerian;
17. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan
Kementerian; dan
18. pelaksanaan dukungan substantif kepada seluruh
unsur organisasi di lingkungan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan;
19. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat, sejak 1923
menjadi Ki HadjarDewantara, EYD: Ki Hajar Dewantara, beberapa
menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro; 2
Mei 1889 – 26 April 1959;[1] selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi"
atau "KHD") adalah bangsawan Jawa, aktivis
pergerakan kemerdekaan Indonesia,guru bangsa, kolumnis, politisi,
dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman
penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa,
suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para
pribumi untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya
para priyayi maupun orang-orang Belanda.
20. Pada tahun 1959 atas jasa-jasanya dalam mengembangkan
pendidikan di Indonesia, Ki Hadjar Dewantara dianugerahi gelar
sebagai Bapak Pendidikan Nasional oleh Presiden Soekarno. tanggal
kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari
Pendidikan Nasional Indonesia. Bagian
dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani,
menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia.
Namanya diabadikan sebagai salah satu nama sebuah kapal
perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya juga
diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun edisi
1998.[2]
21. Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh
Presiden RI, Sukarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28
November 1959).[3]
22. Ki Hajar Dewantara juga merupakan peletak dan perintis
pendidikan nasional berbasis kebudayaan.[4]
23. Masa muda dan awal karier[sunting | sunting sumber]
24. Soewardi saat muda
25. Soewardi berasal dari lingkungan
keluarga bangsawan Kadipaten Pakualaman. Ia merupakan putra
dari GPH Soerjaningrat dan cucu dari Paku Alam III. Ia
menamatkan pendidikan dasar di Europeesche Lagere School.
Sekolah ini merupakan sekolah dasar khusus untuk anak-anak yang
berasal dari Eropa. Ia sempat melanjukan pendidikan kedokteran
di STOVIA. Namun, ia tidak menamatkannya karena
kondisi kesehatan yang buruk.[5]
26. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di
beberapa surat kabar. Ia pernah bekerja untuk surat
kabar Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem
Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia tergolong salah seorang
penulis yang handal pada masanya. Gaya tulisannya bersifat
komunikatif dengan gagasan-gagasan yang antikolonial.[6]
27. Aktivitas pergerakan[sunting | sunting sumber]
28. Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif
dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi
Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk
menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia
(terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan
kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO
di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
29. Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde,
suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang
memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas
pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD
mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya pula.
30. Als ik een Nederlander was[sunting | sunting sumber]

31. Ki Hadjar Dewantara


(Chris Lebeau, 1919)
32. Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan
sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan
kemerdekaan Belanda dari Prancis pada tahun 1913, timbul reaksi
kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian
menulis "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk
Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga". Namun kolom KHD yang
paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli:
"Als ik een Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De
Expres pimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di
kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain
sebagai berikut.
33. "Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan
menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah
kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu,
bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh
si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide
untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka,
dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja
penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang
terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku
ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu
kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".
34. Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat
oleh Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang berbeda dari
tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang menulis,
mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi
Soewardi untuk menulis dengan gaya demikian.
35. Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur
Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas
permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto
Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga
diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga
Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.[7]
36. Dalam pengasingan[sunting | sunting sumber]
37.Soewardi, Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo (Tiga
Serangkai) tahun 1914 saat diasingkan di Negeri Belanda
38. Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam
organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische
Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Tahun 1913 dia
mendirikan Indonesisch Pers-bureau, "kantor berita Indonesia". Ini
adalah penggunaan formal pertama dari istilah "Indonesia", yang
diciptakan tahun 1850 oleh ahli bahasa asal Inggeris George Windsor
Earl dan pakar hukum asal Skotlandia James Richardson Logan.
39. Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum
pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga
memperoleh Europeesche Akta, suatu ijazah pendidikan yang
bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga
pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat
pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat,
seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan
pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-
pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem
pendidikannya sendiri.
40. Taman Siswa[sunting | sunting sumber]
41. Ki Hadjar Dewantara bersama murid-murid
Taman Siswa (ca. 1922)
42. Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919.
Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya.
Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk
mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang berencana
untuk ia dirikan.[butuh rujukan]Pada tanggal 3 Juli 1922, ia akhirnya
mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa di Yogyakarta.[8] Saat
ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia
mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi
menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini
dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik
secara fisik maupun jiwa.
43. Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini
sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh,
semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung tuladha,
ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di depan memberi
contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi
dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia
pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan
Tamansiswa.
44. Pengabdian pada masa Indonesia merdeka[sunting | sunting
sumber]
45.Surat Ketetapan Presiden Indonesia tentang pengangkatan Ki Hadjar
Dewantara sebagai Mahaguru Sekolah Polisi Republik Indonesia bagian
Tinggi di Mertojoedan, Magelang Patung Ki
Hajar Dewantara
46. Tanggal 17 Agustus 1946 ditetapkan sebagai Maha Guru pada
Sekolah Polisi Republik Indonesia bagian Tinggi di Mertoyudan
Magelang, oleh P.J.M. Presiden Republik Indonesia.
47. Pada masa pemerintahan Presiden Indonesia yaitu Soekarno,
Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai Menteri Pendidikan
Indonesia yang pertama. Pengangkatannya pada tahun 1956.[9] Lalu,
pada tanggal 19 Desember 1956, ia juga mendapatkan gelar
Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada.[10]
48. Ki Hadjar Dewantara juga diditetapkan sebagai Bapak
Pendidikan Nasional atas jasa-jasanya dalam
mengembangkan pendidikan di Indonesia. Selain itu, tanggal 2 Mei
yang merupakan hari kelahirannya, ditetapkan sebagai Hari
Pendidikan Nasional.[11] Ketetapan hari tersebut disahkan dalam
Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 305 Tahun
1959 bersamaan dengan penetapannya sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia.[12] Surat keputusan tersebut diterbitkan tanggal 28
November 1959.
49. Wafat[sunting | sunting sumber]
50. Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia di Kota Yogyakarta pada
tanggal 26 April 1959. Lokasi wafatnya di Padepokan Ki Hadjar
Dewantara. Jenazahnya kemudian disimpan di Pendapa Agung
Taman Siswa untuk kemudian dimakamkan di Taman Wijaya
Brata pada tanggal 29 April 1959. Upacara pemakamannya dipimpin
oleh Soeharto yang bertindak sebagai inspektur upacara.[13]

Anda mungkin juga menyukai