Anda di halaman 1dari 59

HUBUNGAN ANTARA UNSUR HARA DENGAN

FITOPLANKTON DAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN


TELUK JAKARTA

MASYKHUR ABDUL KADIR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Hubungan Antara
Unsur Hara dengan Fitoplankton dan Zooplankton di Perairan Teluk Jakarta,
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Masykhur Abdul Kadir


NPM C251110031
RINGKASAN

MASYKHUR ABDUL KADIR. Hubungan antara Unsur Hara dengan


Fitoplankton dan Zooplankton di perairan Teluk Jakarta, yang dibimbing oleh
ARIO DAMAR dan MAJARIANA KRISANTI.
Masukan bahan organik dari daratan ke muara sungai mengakibatkan
peningkatan unsur hara sehingga berpengaruh terhadap kualitas air di perairan
Teluk Jakarta. Nitrogen dan fosfat merupakan nutrisi yang berpotensi untuk
meningkatkan kesuburan perairan, dan dapat pula meningkatkan kelimpahan
fitoplankton di perairan Teluk Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
hubungan antara unsur hara dengan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton di
perairan Teluk Jakarta.
Lokasi penelitian di Teluk Jakarta, Teluk yang berada di Provinsi DKI
Jakarta. Penelitian di lakukan pada bulan Juli hingga Oktober 2013. Pengambilan
contoh air di lakukan 1 kali dalam sebulan di 15 stasiun pengamatan selama 4
bulan. Analisis kualitas air, di Laboratorium Fisika-Kimia Perairan, sedangkan
analisis fitoplankton dan zooplankton di Laboratorium Biologi Mikro, kedua
laboraturium ini berada di Devisi Produktivitas Perairan. Departemen Manajeman
Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian
Bogor.
Hasil penelitian kualitas air berdasarkan pola sebaran menunjukan
semakin ke arah lepas pantai nilai suhu, kecerahan, pH, salinitas lebih tinggi
dibandingkan ke arah daratan dengan nilai suhu kisaran 30,8-32,4°C terdapat di
stasiun 10 (muara Sungai Marunda). Kecerahan dengan nilai kisaran 180-850 cm
ditemukan di stasiun 4 tengah perairan. Salinitas dengan kisaran 30-31‰ terdapat
di stasiun 7 (mulut terluar teluk). pH dengan nilai kisaran 8,43-8,98 terdapat di
stasiun 10 (muara Sungai Marunda). Sedangkan BOD dan DO menunjukan nilai
lebih tinggi di sungai dan muara sungai Teluk Jakarta, dengan nilai kisaran BOD
6,3-10,6 mg/L terdapat di stasiun 13 (Sungai Angke). Nilai DO dengan kisaran
6,2-14,5 mg/L terdapat di stasiun 10 (muara Sungai Marunda). Hal ini
menunjukan bahwa adanya pengaruh masukan bahan organik dari daratan melalui
sungai.
Pola sebaran N dan P menunjukan adanya pengaruh masukan dari daratan
melalui sungai, sehingga nilai N dan P lebih tinggi di kawasan pesisir. Nilai nitrat
lebih tinggi dengan nilai rata-rata 0,228 mg/L terdapat di stasiun 14 (Tanjung
Priok). Nilai nitrit lebih tinggi dengan nilai rata-rata 0,026 mg/L terdapat di
stasiun 15 (Sungai Marunda). Ortofosfat lebih tinggi dengan nilai rata-rata 0,513
mg/L terdapat di stasiun 14 (Tanjung Priok). Ammonium lebih tinggi dengan nilai
rata-rata 2,398 mg/L terdapat di stasiun 14 (Tanjung Priok). Silikat lebih tinggi
dengan nilai rata-rata 0,143 mg/L terdapat di stasiun 12 (muara Sungai Priok).
Sedangkan klorofil-a dengan nilai lebih tinggi rata-rata 21,339 µg/L terdapat di
stasiun 10 (muara Sungai Marunda).
Kawasan perairan Teluk Jakarta mengalami eutrofikasi (pengayaan
nutrien), terutama di sungai dan muara sungai, sehingga berdampak pada
kelimpahan fitoplankton. Sesuai index TRIX menunjukan Teluk Jakarta pada
kondisi hipertrofik, mesotrofik dan eutrofik. Hal tersebut sesuai dengan pola
sebaran N dan P, sehingga dapat meningkatkan kelimpahan fitoplankton di stasiun
10 (muara Sungai Marunda) dengan jumlah 16 393 262 222 sel/m3. Didominasi
oleh jenis Chaetoceros sp, Bacteriastrum sp, Skeletonema sp, Nitzschia dan
Thalassiosira sp. Meningkatnya fitoplankton dapat pula meningkatkan
kelimpahan zooplankton di stasiun 10 (muara Sungai Marunda) dengan jumlah
5174 976 Ind/m3. Dengan jenis yang dominan Nauplius sp, Oithona sp, Calanus
sp, Acartia sp. Meningkatnya kelimpahan fitoplankton dan zooplankton
menunjukan adanya hubungan pola makan memakan fitoplankton dan
zooplankton di perairan Teluk Jakarta.

Kata kunci : Teluk Jakarta, Unsur Hara, Fitoplankton dan Zooplankton.


SUMMARY

MASYKHUR ABDUL KADIR. Relationship between Nutrients and


Phytoplankton and Zooplankton in the Waters of Jakarta Bay. Supervised by
ARIO DAMAR and MAJARIANA KRISANTI.

The influx of organic materials from the mainland to the river estuaries
resulted in the increase in the nutrients that automatically affected the water
quality in the waters of Jakarta Bay. Nitrogen and phosphate are the nutrients that
have the potential to improve the fertility of the waters of Jakarta Bay in addition
to increasing the abundance of its phytoplankton. This study aimed to analyze the
relationship between the nutrients and the abundance of phytoplankton and
zooplankton in the waters of Jakarta Bay.
The research was conducted at Jakarta Bay in the Province of Jakarta from
July to October 2013. The water sampling was performed once a month at 15
observation stations for four months. The analysis of the water quality was carried
out in Marine Physics-Chemistry Laboratory, while the analysis of phytoplankton
and zooplankton was in Micro Biology Laboratory, The second is in the
Laboratory Waters Productivity Division, the Department of Water Resource
Management, the Faculty of Fisheries and Marine Science, Bogor Agricultural
University.
The research results of water quality based on the distribution pattern
showed that the farther to the sea, the higher the temperature, brightness, pH, and
salinity, compared to approaching to the land with a temperature range of 30.8-
32.40C at station 10 (the estuary of the Marunda River). Brightness with a value
range of 110-280 cm was found at station 4 (the middle waters). Salinity with a
value range of 31-30 ‰ was at station 7 (the outermost bay). pH with a value
range of 8.43-8.98 was at station 10 (the estuary of the Marunda River).
Meanwhile, BOD and DO had higher values in the rivers and the mouth of the
Jakarta Bay rivers with a BOD value range of 6.3-10.6 mg/L at station 13 (the
Angke River). The DO value ranging from 6.2-14.5 mg/L was at station 10 (the
estuary of the Marunda River).
The pattern of distribution of the content of N and P N and P showed that
the effect of the influx from the land through the rivers, making the values of N
and P higher in the coastal area. The value of nitrate was higher with an average
of 0.228 mg/L at station 14 (Tanjung Priok). The value of nitrite was higher with
an average of 0.026 mg/L at station 15 (the Marunda River). Orthophosphate was
higher with an average value of 0.513 mg/L at station 14 (Tanjung Priok).
Ammonium was higher with an average value of 2.398 mg/L at station 14
(Tanjung Priok). Silicate was higher with an average value of 0.143 mg/L at
station 12 (the estuary of the Priok River). Meanwhile, chlorophyll-a with a higher
value of 21.339 mg/L was at station 10 (the estuary of the Marunda River).
The waters of Jakarta Bay are undergoing the process of eutrophication
(nutrient enrichment), especially in the rivers and their estuaries, resulting in the
abundance of phytoplankton. TRIX index showed that Jakarta Bay was in
hypertrophic, mesotrophic and eutrophic conditions. This is consistent with the
distribution pattern of N and P, which increased the abundance of phytoplankton
at station 10 (the estuary of the Marunda River) with 16 393 262 222 cells/m3,
dominated by such types as Chaetoceros sp, Bacteriastrum sp, Skeletonema sp,
Nitzschia and Thalassiosira sp. The increased phytoplankton could also raise the
abundance of zooplankton at Station 10 (the estuary of the Marunda River) with
5174 976 Ind/m3, with the dominant species being Nauplius sp, Oithona sp,
Calanus sp, Acartia sp. The increased abundance of phytoplankton and
zooplankton shows the relationship consuming diet phytoplankton and
zooplankton in the waters of Jakarta Bay.

Keywords: Jakarta Bay, Nutrients, Phytoplankton and Zooplankton


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
lPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin lPB.
HUBUNGAN ANTARA UNSUR HARA DENGAN
FITOPLANKTON DAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN
TELUK JAKARTA

MASYKHUR ABDUL KADIR

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan (SDP)

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Enan M Adiwilaga
Judul Tesis : Hubungan Antara Unsur Hara Dengan Fitoplankton dan
Zooplankton di Perairan Teluk Jakarta
Nama : Masykhur Abdul Kadir
NRP : C251110031

Disetujui :
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Tuhan yang Maha
Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul
yang dipilih dalam penelitian adalah Hubungan Antara Unsur Hara dengan
Fitoplankton dan Zooplankton di Perairan Teluk Jakarta, yang telah dilaksanakan
sejak bulan Juli hingga Oktober 2013. Begitu pula analisis kualitas air di
Laboratorium Fisika-Kimia Perairan, sedangkan analisis fitoplankton dan
zooplankton di Laboratorium Biologi Mikro, kedua Laboraturium ini berada di
Devisi Produktivitas Perairan. Departemen Manajeman Sumberdaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Ario Damar, MSi, dan
Ibu Dr Majariana Krisanti, SPi MSi selaku pembimbing utama dan kedua, serta
Bapak Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc sebagai Ketua Program Studi. Ucapan terima
kasih juga kepada Bapak Dr Ir Enan M. Adiwilaga sebagai penguji utama yang
telah banyak memberikan masukan dan saran. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada staf dosen Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Perairan dan staf pegawai tata usaha, teman-teman yang membantu dalam hal
perkuliahan dan selama menulis karya ilmiah ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ditjen DIKTI atas
beasiswa studi lanjut (BPPS). Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
Bapak Bambang, Bapak Yayat dan Bapak Agus Romli serta staf/asisten pada
Laboratorium Fisika-Kimia Perairan dan Laboratorium Biologi Mikro, Devisi
Produktivitas Perairan. Departemen Manajeman Sumberdaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, yang banyak membantu
saat sampling di lapangan dan pengujian sampel di Laboratorium. Sujud dan
terima kasih yang dalam penulis persembahkan kepada Ibunda tercinta Sitti
Hamzah dan Ayahanda tercinta (Alm) Sadik Abdul Kadir, atas dorongan yang
kuat dan kebijaksanaan serta do’a, sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan pada Jenjang Strata dua (S2). Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada keluarga besar (Alm) Sadik Abdul Kadir di Ternate dan di Jakarta, yang
telah memberikan motifasi dalam penyelesaian Studi ini. Ucapan terima kasih
juga penulis haturkan kepada saudari Widya Utami, Amd. Keb, yang telah
membantu memberikan dorongan dalam penyelesaian studi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

Masykhur Abdul Kadir


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
PERNYATAAN iii
RINGKASAN iv
SUMMARY vi
HALAMAN PENGESAHAN xi
PRAKATA xiii
DAFTAR ISI xiv
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xv
I PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Pendekatan Masalah 1
Tujuan 2
Manfaat 2
II METODE PENELITIAN 3
Waktu dan Lokasi Penelitian 3
Alat dan Bahan 4
Metode Pengambilan Data 5
Analisis Kelimpahan Plankton 5
Analisis Data 6
III HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Hasil 7
Suhu 8
Kecerahan 8
Salinitas 9
pH 10
BOD 11
DO 12
Nitrat [NO3-N] 13
Nitrit [NO2-N] 14
Ortofosfat [PO4-P] 15
Ammonium [NH4] 16
Silikat [SiO2] 17
Klorofil-a 18
Kesuburan perairan 19
Fitoplankton 20
Zooplankton 21
Hubungan kualitas air dengan fitoplankton dan Zooplankton
analisis (PCA) 22
Pembahasan 24
Dinamika kualitas air dan peningkatkan kelimpahan
fitoplankton dan zooplankton 24
IV KESIMPULAN DAN SARAN 29
Kesimpulan 30
Saran 30
DAFTAR PUSTAKA 30

DAFTAR TABEL

1. Parameter Fisika-Kimia dan Biologi perairan yang diukur 5


2. Kisaran beberapa parameter kualitas air yang dihitung pada
Stasiun pengamatan di Teluk Jakarta. 7
3. Konsentrasi Unsur Hara Diperairan Teluk Jakarta 7

DAFTAR GAMBAR

1. Diagram hubungan unsur hara dengan fitoplankton dan zooplankton


pada perairan Teluk Jakarta 3
2. Peta lokasi penelitian di perairan Teluk Jakarta 4
3. Pola sebaran suhu 8
4. Pola sebaran kecerahan 9
5. Pola sebaran salinitas 10
6. Pola sebaran pH 11
7. Pola sebaran BOD 12
8. Pola sebaran DO 13
9. Pola sebaran nitrat [NO3-N] 14
10. Pola sebaran nitrit [NO2-N] 15
11. Pola sebaran ortofosfat [PO4-P] 16
12. Pola sebaran ammonium [NH4] 17
13. Pola sebaran silikat [SiO2] 18
14. Pola sebaran klorofil-a 19
15. Sebaran rata-rata klorofil-a di kawasan Teluk Jakarta 19
16. Tingkat kesuburan di kawasan perairan Teluk Jakarta 20
17. Rata-rata kelimpahan fitoplankton per stasiun di 4 kali pengambilan
Sampel di masing-masing stasiun pengamatan. 21
18. Rata-rata kelimpahan zooplankton per stasiun di 4 kali pengambilan
Sampel di masing-masing stasiun pengamatan. 22
19. Analisis Komponen Utama (PCA) kelimpahan fitoplankton
dan zooplankton. 23
1

I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kualitas lingkungan suatu perairan akan mempengaruhi kehidupan biota


yang ada di dalamnya. Menurut Tafangenyasha and Dzinomwa (2005) bahwa
Perubahan kondisi kualitas air di perairan melalui aliran sungai merupakan
dampak buangan dari daratan yang dapat mengganggu organisme perairan.
Kondisi demikian juga berlaku di Teluk Jakarta. Perairan Teluk Jakarta banyak
mendapat masukan bahan organik dari aktivitas manusia yang terbawa ke Teluk
Jakarta melalui masukan dari beberapa sungai yang bermuara ke perairan ini. Hal
ini tentunya akan mempengaruhi kualitas air di perairan Teluk Jakarta. Beban
masukan ini berpotensi dalam meningkatkan bahan organik dan anorganik dan
pencemaran lainya. Bahan organik yang ada akan didekomposisi oleh
mikroorganisme menjadi nutrien, dan selanjutnya akan digunakan oleh organisme
autrotrof dalam hal ini fitoplankton melalui fotosintesis dan dapat berdampak
pada peningkatan produktivitas primer perairan (Jerling 2003).
Fitoplankton memegang peranan yang sangat penting dalam suatu
perairan, fungsi ekologinya sebagai produsen primer dan awal mata rantai dalam
jaring makanan menyebabkan fitoplankton sering dijadikan skala ukuran
kesuburan suatu perairan. Kesuburan juga dapat disebabkan oleh zat hara yang
masuk ke lingkungan perairan seperti fosfat, nitrat, silikat, dan ammonia akan
berpengaruh terhadap perkembangan fitoplankton dan zooplankton (Somoue et al.
2005). Unsur N dan P turut berperan dalam pemindahan energi dari produsen ke
tingkat tropik yang lebih tinggi melalui rantai makanan. Zooplankton merupakan
konsumen pertama yang memanfaatkan produksi primer yaitu fitoplankton.
Peranan zooplankton sebagai mata rantai antara produsen primer dengan
karnivora besar dan kecil dapat mempengaruhi kompleksitas rantai makanan
dalam ekosistem perairan (Somoue et al. 2005). Zooplankton seperti halnya
organisme lain hanya dapat hidup dan berkembang dengan baik pada kondisi
perairan yang sesuai seperti perairan laut (Jerling 2003).
Untuk mengkaji hal tersebut salah satu yang dapat dilakukan yaitu dengan
mengetahui kualitas air serta kandungan N dan P di perairan Teluk Jakarta.
Menurut Turner et al. (1999), apabila kondisi lingkungan sesuai dengan
kebutuhan zooplankton maka akan terjadi proses pemangsaan fitoplankton oleh
zooplankton, dan apabila kondisi lingkungan dan ketersediaan fitoplankton tidak
sesuai dengan kebutuhan zooplankton maka zooplankton akan mencari kondisi
lingkungan dan makanan yang lebih sesuai.
Tekanan yang di hadapi Teluk Jakarta dapat memberi pengaruh positif
maupun negatif bagi fitoplankton maupun zooplankton. Berdasarkan hal tersebut
perlu di lakukan penelitian pengaruh unsur hara terhadap kelimpahan fitoplankton
serta zooplankton yang merupakan konsumen pertama yang memanfaatkan
produksi primer fitoplankton, di perairan Teluk Jakarta.

Pendekatan Masalah

Adanya masukan bahan organik yang berasal dari daratan serta kondisi
hidrodinamika di perairan dapat menyebabkan banyaknya ketersediaan unsur hara
2

di perairan Teluk Jakarta. Bahan organik yang masuk ke perairan melalui muara
sungai akan didekomposisi menjadi nutrien, sehingga dapat digunakan oleh
fitoplankton untuk pertumbuhan sebagai dasar dari jaring makanan di perairan
Teluk Jakarta. Masukan bahan organik yang bersumber dari sungai dalam jumlah
yang banyak dapat meningkatkan konsentrasi padatan tersuspensi dan
meningkatkan kekeruhan, sehingga dapat menyebabkan kecerahan perairan
semakin berkurang. Hal ini akan mempengaruhi proses fotosintesis. Parameter
kualitas air lainnya seperti suhu dan salinitas, serta hidrodinamika perairan sangat
berpengaruh terhadap produktivitas primer fitoplankton. Produktivitas primer
fitoplankton dan parameter kualitas air juga akan berpengaruh terhadap
kelimpahan zooplankton di perairan tersebut (Gambar 1).
Berbagai aktivitas yang terjadi di daratan masuk melalui sungai sehingga dapat
menyebabkan perubahan yang terjadi di perairan Teluk Jakarta di antaranya
melalui:
1. Masukan bahan organik ke dalam perairan akan mempengaruhi kualitas air di
perairan Teluk Jakarta.
2. Masukan bahan organik akan meningkatkan N dan P di perairan Teluk
Jakarta.
3. Meningkatnya kualitas air dapat mempengaruhi kesuburan perairan dan dapat
meningkatkan kelimpahan zooplankton di perairan Teluk Jakarta.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara unsur hara


dengan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton di perairan Teluk Jakarta.

Manfaat

Adapun manfaat penelitian ini adalah :


1. Untuk mengetahui sebaran kualitas air dan nutrien di perairan Teluk Jakarta.
2. Untuk mengetahui hubungan N dan P terhadap kelimpahan fitoplankton dan
zooplankton.
3. Untuk mengetahui kesuburan perairan sebagai dasar pengelolaan perairan di
Teluk Jakarta.
3

Gambar 1. Diagram pendekatan masalah hubungan unsur hara dengan


biomassa fitoplankton dan zooplankton pada perairan Teluk
Jakarta.

II METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian di lakukan pada bulan Juli hingga Oktober 2013 di Teluk


Jakarta. Pengambilan contoh air dilakukan pada bulan Juli hingga Oktober 2013.
Pengambilan contoh air dilakukan 1 kali dalam sebulan di 15 stasiun selama 4
bulan (Tahap I bulan Juli, tahap II bulan Agustus, tahap III bulan September, dan
tahap IV bulan Oktober). Lokasi titik pengamatan pengambilan sampel disajikan
pada Gambar 2. Analisis contoh air dilakukan di Laboratorium Fisika-Kimia
Perairan, sedangkan analisis fitoplankton dan zooplankton di Laboratorium
Biologi Mikro. Kedua Laboratorium ini berada di Divisi Produktivitas dan
Lingkungan Perairan, Departemen Manajeman Sumberdaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Penentuan lokasi pengambilan sampel ditentukan berdasarkan masukan
dari sungai utama yang bermuara ke Teluk Jakarta yaitu Muara Angke, Tanjung
Priok dan Muara Marunda. Pengambilan sampel dilakukan mulai dari arah sungai
ke lepas pantai, dengan empat tahap pengambilan sampel yang dilakukan pada
masing-masing stasiun pengamatan. Pengambilan sampel yang berawal dari
4

Muara Angke, kemudian menuju ke Tanjung Priok dan berakhir di Muara


Marunda. Stasiun pengamatan sebagai objek pengambilan sampel yang dilakukan
berdasarkan titik koordinat. Titik koordinat yang mengarah ke lepas pantai
terdapat di mulut terluar teluk, sedangkan yang mengarah ke pesisir perairan
terdapat di sungai dan muara sungai.

Gambar 2. Peta lokasi penelitian di perairan Teluk jakarta

Lokasi Muara Angke dan Muara Marunda merupakan kawasan padat


pemukiman, disamping itu pula terdapat wilayah ekosistem mangrove yang dapat
memberikan masukan. Di daerah Muara Angke terdapat Waduk Pluit, sedangkan
wilayah Tanjung Priok merupakan kawasan industri dan pelabuhan, serta
pemukiman, sehingga dapat memberikan masukan berupa bahan organik
(tersuspensi) dan bahan anorganik dalam perairan.

Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah contoh air dan plankton
yang diambil dari setiap stasiun pengamatan, bahan lain yang di gunakan adalah
bahan kimia baik untuk analisis kualitas air, maupun untuk keperluan pengawetan.
Alat yang digunakan untuk menentukan lokasi titik koordinat yaitu dengan
memakai GPS (Global Positioning System). Pengambilan sampel air dengan
menggunakan Van Dorn water sampler. Alat untuk mengukur tingkat kecerahan
dengan menggunakan Secchi disk. Botol sampel dan cool box sebagai
penyimpanan sampel air untuk analisis di laboraturium, pH meter (YSI-30) untuk
mengukur tingkat keasaman, thermometer untuk mengukur suhu dan plankton net
35 mikron meter (µm) sebagai alat untuk pengambilan plankton.
5

Metode Pengambilan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui data primer dan sekunder. Data


primer berupa zooplankton, sedangkan data sekunder berupa fitoplankton, kualitas
air (fisika-kimia), klorofil-a dan nutrien anorganik terlarut yang diperoleh dari
Damar et al. (2013). Data fisika, kimia dan biologi yang digunakan pada
penelitian disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter Fisika, Kimia, dan Biologi Perairan yang diukur
ParameterAnalisis Satuan Alat/Metode Lokasi
A. Fisika
Suhu °C Termometer In situ
Kecerahan Cm Secchi disk In situ
Salinitas ‰ Refraktometer In situ
B. Kimia
pH - pH meter Insitu
Nitrat mg/L Spektrofotometer Laboratorium
Nitrit mg/L Spektrofotometer Laboratorium
Ortoposfat mg/L Spektrofotometer Laboratorium
Ammonium NH4 mg/L Spektrofotometer Laboratorium
Silikat mg/L Spektrofotometer Laboraturium
DO mg/L In situ
BOD mg/L Botol sampel In situ
C. Biologi
Kelimpahan
sel/m3 Pencacahan Laboratorium
Fitoplankton
Klorofil-a mg/L Spektrofotometer Laboratorium
Zooplankton* Ind/m3 Pencacahan Laboratorium
Sumber: Damar et al. (2013), * Data primer.

Untuk pengambilan sampel zooplankton di setiap stasiun pengamatan di


ambil 5 liter dari kolom air pada kedalaman (0-1,4m), dengan menggunakan Van
Dorn. Sampel yang telah diambil disimpan dalam wadah pendingin atau cool box,
kemudian dibawa dan dianalisis di laboratorium. Sampel zooplankton kemudian
diawetkan dengan larutan Lugol, sedangkan identifikasi dan pencacahan dengan
menggunakan sensus SRC, dengan acuan identifikasi, Conway et al. (2003),
Davis (1955), Smith (1977).

Analisis Kelimpahan Plankton


Kelimpahan zooplankton dinyatakan dalam jumlah individu perliter.
Penentuan kelimpahan zooplankton dilakukan dengan menggunakan metode SRC
(modifikasi APHA 2012), adalah sebagai berikut :

Vt (ml) A cg (mm2 )
1
N (Ind / L)  n (Ind) X X X
Vcg (ml) A (mm2 ) V (L)
a d
6

Keterangan:
N = Kelimpahan total/genus (sel/volume)
n = Jumlah individu yang terobservasi
Vt = Jumlah volume air yang tersaring (ml)
Vcg = Jumlah volume air dalam satu slide (ml)
Acg = Luas penampang wadah/slide (mm)
Aa = Jumlah luas yang diobservasi/diamati (mm)
Vd (L) = Jumlah volume air yang di saring

Analisis Data
Pola sebaran spasial untuk menentukan seberapa besar distribusi dari
parameter kualitas air dan nutrien di perairan Teluk Jakarta. Analisis ini
menggunakan surfer 8.0 dengan memakai metode interpolasi. Metode gridding
geostatistik yang menghasilkan peta visual dari data tidak teratur yang
menghubungkan dari kawasan pesisir sampai pada kawasan lepas pantai. Dengan
demikian dapat menginterpolasi nilai-nilai dari berbagai parameter yang
diaplikasikan dalam bentuk kontur atau peta dasar (Yang et al. 2013).
Trophic Index (TRIX) yang dikembangkan oleh Giovanardi dan
Vollenweider (2004) didefinsikan sebagai kombinasi linear logaritmik dari empat
variabel, yaitu klorofil-a, oksigen saturasi, nitrogen, dan ortofosfat. Distribusi data
TRIX indeks dapat di analisis dengan distribusi statistik yang memiliki
keuntungan yaitu, dapat di kombinasikan dua atau lebih parameter yang dapat
diinterpretasikan (Nasrollahzadeh et al. 2008), dengan rumus sebagai berikut:
Ærtebjerg et al. (2001).

TRIX = (k/n) Ʃi=n ((log M–logL)/(logU–logL))i

Keterangan:
k = Faktor skala (10)
n = Jumlah variabel (4)
U = Batas atas
L = Batas bawah
M = Nilai variab

Analisis Komponen Utama (Principal Components Analysis) yang


digunakan untuk melihat hubungan parameter fisika-kimia dan biologi. Tujuan
utama analisis PCA ini untuk melihat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
kelimpahan fitoplankton dan zooplankton di perairan Teluk Jakarta. Analisis ini
menggunakan program XLstat (Bengen 2000).
7

III HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Nilai parameter fisika dan kimia di perairan Teluk Jakarta disajikan pada
Tabel 2, sedangkan konsentrasi unsur hara dan klorofil-a disajikan pada Tabel 3.

Tabel 2. Kisaran beberapa parameter kualitas air yang dihitung pada 15 stasiun
pengamatan di Teluk Jakarta
Parameter
Stasiun Suhu (°C) Kecerahan Salinitas pH BOD DO (mg/L)
(cm) (‰) (mg/L)
1 29,9-30,4 150-780 28-30 8,17-8,65 3,2-1,9 6,1-8,4
2 29,6-30,5 170-450 23-27 8,14-8,82 6,7-1,9 6,5-8,8
3 29,2-30,9 80-105 8-21 7,45-8,35 2,4-6,7 4,1-5,8
4 30,7-30,2 180-850 28-31 8,29-8,68 1,7-6,7 6,6-9,4
5 30,1-30,6 170-450 26-31 8,24-8,83 0,9-2,4 6,7-11,0
6 31,4-30,8 120-420 29-31 8,37-8.84 1,9-2,5 5,8-10,3
7 30,7-31,0 280-350 30-31 8,4-8,71 2,0-3,2 6,80-10,1
8 29,9-31,5 100-280 27-31 8,33-8,93 1,4-6,7 7-10,5
9 30,4-32,1 20-140 8-31 7,4-8,50 2,5-8,7 5,4-9,4
10 30,8-32,4 40-200 21-31 8,43-8,98 2,5-8,4 6,2-14,5
11 29,9-30,7 20-55 5-18 7,40-8,22 2,4-6,7 2,2-3,6
12 29,9-31,2 110-280 5-31 8,30-8,83 1,6-6,7 6-10,6
13 30-30,8 20-60 0-29 7,3-7,59 6,3-10,6 0,6-10,7
14 25-32,4 7-28,7 0-5 6,54-8,06 6,6-10 0,5-1,7
15 25-32,6 30-7,32 0-25 7,52-8,85 4,2-8,7 5,5-9,7
Sumber Damar et al. (2013)

Tabel 3. Konsentrasi unsur hara dan klorofil-a di perairan Teluk Jakarta.


Parameter
Ortho
Nitrat Nitrit Amonium Silikat
Stasiun Phosphat DIN Klorofil –a
(NO3-N) (NO2-N)+ (NH4) +
(SiO2)
(PO4-P) +
1 0,047 0,007 0,126 0,020 0,099 0,179 3,765
2 0,126 0,013 0,362 0,074 0,535 0,500 11,712
3 0,030 0,004 0,638 0,218 0,749 0,670 3,843
4 0,092 0,005 0,848 0,020 0,086 0,942 14,605
5 0,015 0,009 0,071 0,060 0,089 0,090 4,816
6 0,145 0,007 0,159 0,026 0,114 0,307 5,945
7 0,292 0,007 0,112 0,227 0,094 0,407 5,894
8 0,041 0,013 0,128 0,024 0,047 0,182 9,770
9 0,093 0,027 1,212 0,079 0,328 1,332 8,437
10 0,037 0,013 1,047 0,172 0,264 1,096 21,339
11 0,041 0,008 1,484 0,255 0,555 1,529 3,783
12 0,122 0,010 0,101 0,039 0,143 0,232 11,721
13 0,021 0,008 1,617 0,266 0,617 1,645 1,741
14 0,228 0,016 2,398 0,513 0.720 2,641 0,385
15 0,134 0,026 0,651 0,243 0,602 0,811 23,627
Sumber Damar et al. (2013)
8

Suhu
Berdasarkan nilai sebaran suhu yang ditampilkan pada Gambar 3, dapat di
lihat bahwa pengambilan sampel tahap I sebaran nilai suhu lebih tinggi di Muara
Marunda ke tengah perairan dibandingkan di Tanjung Priok dan Muara Angke.
Sebaran nilai suhu pada pengukuran sampel tahap II dan IV memiliki pola yang
sama yaitu semakin ke arah arah lepas pantai nilai suhu semakin tinggi, dengan
nilai kisaran 30,8-32,4°C yang terdapat di stasiun 10 (muara Sungai Marunda).
Akan tetapi pada pengukuran sampel tahap III pola sebaran menunjukan nilai
suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan ketiga tahapan pengukuran sampel
lainya, dengan nilai kisaran 25-32,4°C nilai terendah ditemukan di stasiun 14
Tanjung Priok, dengan nilai kisaran 24,5-33,5°C. Variasi sebaran suhu yang
ditemukan terutama di Tanjung Priok dan Sungai Angke disebabkan karena
kondisi musim dan adanya perbedaan waktu pengukuran sampel (pagi dan siang
hari).

a) b)

c) d)

Gambar. 3 Sebaran suhu (a) pengambilan sampel tahap I (Juli) (b) pengambilan
sampel tahap II (Agustus) (c) pengambilan sampel tahap III
(September) (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan
Teluk Jakarta.
Kecerahan
Berdasarkan nilai sebaran kecerahan selama empat kali pengukuran
sampel (Gambar 4) diketahui bahwa semakin jauh dari daratan nilai sebaran
kecerahan semakin tinggi. Kisaran kecerahan tertinggi ditemukan di stasiun 4
tengah perairan dengan kisaran 180-850 cm. Sebaliknya semakin ke arah sungai
nilai sebaran lebih rendah dengan nilai kisaran 7-28,7cm yang ditemukan di
9

stasiun 14 (Tanjung Priok). Rendahnya nilai kecerahan di wilayah sungai diduga


disebabkan masukan bahan organik bersumber dari daratan yang terdorong oleh
aliran air melalui sungai, sehingga dapat menyebabkan nilai kecerahan semakin
rendah dibagian sungai. Penurunan kecerahan terjadi seiring peningkatan
kekeruhan yang disebabkan oleh adanya bahan organik, anorganik yang
tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus) maupun bahan organik
dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme (APHA 1976).

a) b)

c d)

Gambar. 4 Sebaran kecerahan (a) pengambilan sampel tahap I (Juli) (b)


pengambilan sampel tahap II (Agustus) (c) pengambilan sampel
tahap III (September) (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di
perairan Teluk Jakarta.

Salinitas
Berdasarkan nilai sebaran salinitas selama empat kali pengukuran sampel
(Gambar 5) diketahui bahwa pada pengukuran sampel tahap I nilai sebaran
salinitas lebih tinggi ditengah perairan baik Marunda, Priok, dan Angke
dibandingkan ke muara sungai. Kisaran nilai salinitas cukup tinggi dengan kisaran
30-31‰ yang terdapat di stasiun 7 (mulut terluar teluk). Salinitas yang tinggi di
perairan Teluk Jakarta akan mempengaruhi organisme perairan. Hal ini
disebabkan karena salinitas merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi fisiologi pertumbuhan dan aktivitas reproduksi organisme
(Michael 2005).
Pada pengukuran sampel salinitas tahap II, III dan IV memiliki nilai
sebaran yang sama yaitu nilai salinitas lebih rendah di wilayah Tanjung Priok dan
Muara Angke, dibandingkan di Muara Marunda dengan nilai kisaran 0-25 ‰
yang terdapat di stasiun 15 Sungai Marunda.
10

Rendahnya nilai salinitas di ke tiga tahapan pengukuran sampel tersebut diduga


disebabkan karena masukan air tawar dari sungai sehingga dapat menyebabkan
rendahnya salinitas di perairan.

a) b)

c)
d)

Gambar. 5 Sebaran salinitas (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b)


pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel
tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober)
di perairan Teluk Jakarta.

pH
Berdasarkan nilai sebaran pH selama empat kali pengkuran sampel yang
ditampilkan pada Gambar 6 diketahui bahwa di ke empat tahapan pengukuran
sampel menunjukan nilai sebaran yang sama. Nilai pH lebih tinggi di Tanjung
Priok dan Muara Marunda ke perairan lepas dibandingkan dengan Muara Angke,
dengan nilai kisaran 8,43-8,98 terdapat di stasiun 10 (muara Sungai Marunda).
Akan tetapi nilai pH lebih rendah ditemukan di wilayah muara Sungai Angke,
dengan nilai kisaran 7,3-7,59 yang terdapat di stasiun 13 (Sungai Angke).
Rendahnya pH diduga disebabkan karena masukan limbah organik terlarut yang
mendominasi wilayah Muara Angke dibandingkan dengan Tanjung Priok dan
Muara Marunda.
Berdasarkan kisaran nilai pH yang diperoleh, maka perairan Teluk Jakarta
dapat dikatakan layak bagi proses pertumbuhan dan kelimpahan fitoplankton.
McConnaughey (1974) menyatakan bahwa pH air laut bersifat basa dan umumnya
berkisar antara 7,5-8,4. Nilai kisaran pH yang layak untuk kehidupan fitoplankton
adalah sebesar 6-9. Diatom mulai berkurang perkembangannya pada nilai pH
antara 4,6-7,5, namun demikian pada kisaran pH tersebut masih didapatkan
berbagai jenis diatom.
11

a) b)

c)) d)

Gambar. 6 Sebaran pH (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b) pengambilan


sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel tahap III
(September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan
Teluk Jakarta.

BOD
Berdasarkan nilai sebaran BOD yang disajikan pada Gambar 7 diketahui
bahwa pada pengambilan sampel tahap I nilai sebaran BOD ditemukan lebih
tinggi di muara sungai dan mulut terluar teluk dibandingkan dengan di tengah
perairan. Nilai BOD tertinggi ditemukan berkisar 6,3-10,6 mg/L yang terdapat di
stasiun 13 Sungai Angke. Akan tetapi pengambilan sampel tahap II, III dan IV
ditemukan nilai sebaran BOD lebih rendah di tengah perairan teluk dibandingkan
dengan di muara sungai, dengan kisaran 0,9-2,4 mg/L yang terdapat di stasiun 5
(tengah perairan Tanjung Priok). Hal ini diduga disebabkan karena masukan
bahan organik yang semakin berkurang dari Tanjung Priok, sehingga dapat
menyebabkan rendahnya nilai BOD di wilayah tengah perairan.
12

a) b)

c) d)

Gambar. 7 Sebaran BOD (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b) pengambilan
sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel tahap III
(September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan
Teluk Jakarta.

DO
Berdasarkan nilai sebaran DO selama empat kali pengambilan sampel
(Gambar 8), diketahui bahwa pada pengambilan sampel tahap I nilai sebaran DO
lebih tinggi di tengah perairan Tanjung Priok dibandingkan dengan Muara Sungai
Angke dan Muara Marunda. Sebaran nilai DO pada pengambilan sampel tahap II
menunjukan bahwa semakin ke arah lepas pantai nilai sebaran DO semakin tinggi
dibandingkan ke arah sungai, dengan nilai kisaran 6,2-14,5 mg/L yang terdapat di
stasiun 10 (muara Sungai Marunda). Sebaran nilai DO pada pengambilan sampel
tahap III menunjukan pola bahwa nilai DO lebih tinggi di Tanjung Priok dan
muara Sungai Marunda dibandingkan dengan muara Sungai Angke. Sedangkan
nilai sebaran DO pada pengambilan sampel tahap IV menunjukan bahwa nilai DO
lebih rendah di Sungai Angke dan Tanjung Priok dibandingkan di muara Sungai
Marunda, dengan nilai kisaran 0,5-1,7 mg/L yang terdapat di stasiun 14 (Tanjung
Priok).
Rendahnya sebaran nilai DO di beberapat titik pengamatan terutama pada
waktu pengambilan sampel tahap ke IV diduga disebabkan karena tingginya
masukan bahan organik di kawasan tersebut, sehingga dapat mempengaruhi nilai
DO di perairan Teluk Jakarta. Berdasarkan baku mutu air laut KMNLH No 51
Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, (Lampiran 3) dijelaskan bahwa
permukaan laut dalam keadaan normal mengandung oksigen > 5. Apabila
13

dibandingkan dengan nilai yang didapatkan diperairan Teluk Jakarta, maka secara
umum diduga masih dapat mendukung kehidupan organisme.

a) b)

c) d)

Gambar. 8 Sebaran DO (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b) pengambilan


sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel tahap III
(September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di perairan
Teluk Jakarta.

Nitrat [NO3-N]
Berdasarkan nilai sebaran nitrat yang ditampilkan pada Gambar 9
diketahui bahwa pada pengambilan sampel tahap I nilai nitrat lebih tinggi di
bagian terluar teluk (mulut teluk) dan muara Sungai Marunda dibandingkan
dengan Tanjung Priok. Selanjutnya pengambilan sampel tahap II dan III
menunjukan pola yang sama yaitu nilai nitrat lebih tinggi di muara sungai dan
bagian terluar teluk (mulut teluk), dengan nilai rata-rata 0,228 mg/L yang terdapat
di stasiun 14 (Tanjung Priok). Sedangkan pengambilan sampel tahap IV
ditemukan sebaran nilai nitrat semakin rendah ke arah tengah perairan
dibandingkan ke perairan lepas (mulut teluk), dengan nilai rata-rata 0,030 mg/L
yang terdapat di stasiun 3 (tengah perairan).
Rendahnya sebaran nilai nitrat di beberapa titik pengamatan terutama pada
waktu pengambilan sampel tahap ke IV, diduga disebabkan karena masukan
nutrien hanya mendominasi di wilayah sungai, sehingga semakin jauh ke perairan
konsentrasi nitrat semakin berkurang. Hal tersebut dapat mempengaruhi
rendahnya nilai nitrat di perairan Teluk Jakarta.
14

a) b)

c) d)

Gambar 9. Sebaran nitrat (NO3-N) (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b)
pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel
tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di
perairan Teluk Jakarta.

Nitrit [NO2-N]
Berdasarkan nilai sebaran nitrit yang ditampilkan pada Gambar 10
diketahui bahwa pada pengambilan sampel tahap I nilai nitrit lebih tinggi di muara
Sungai Marunda dibandingkan dengan Tanjung Priok, dan Angke dengan nilai
rata-rata 0,026 mg/L yang terdapat di stasiun 15 (Sungai Marunda). Selanjutnya
pengambilan sampel tahap II pola yang didapatkan menunjukan nilai nitrit lebih
tinggi di ke tiga muara sungai. Namun sebaliknya pengambilan sampel tahap III
pola yang didapatkan selain lebih tinggi di muara sungai juga terdapat di bagian
terluar Teluk (mulut Teluk) dibandingkan ke arah tengah perairan.
Sedangkan nilai sebaran nitrit pada waktu pengambilan sampel tahap IV
menunjukan pola semakin menurun ke arah tengah perairan, dengan nilai rata-rata
0,004 mg/L yang terdapat di stasiun 3 tengah perairan muara Sungai Angke.
Rendahnya sebaran nilai nitrit di beberapa titik pengamatan terutama pengambilan
sampel tahap IV, diduga disebabkan karena berkurangnya masukan nutrien dari
daratan, sehingga dapat mempengaruhi nilai nitrit. Sebaran nitrit juga mengikuti
pola sebaran nitrat (Gambar 9), berdasarkan bahan organik yang masuk ke
perairan (Gambar 7).
15

a) b)

c) d)

Gambar 10. Sebaran nitrit (NO2-N) (a) pengambilan sampel tahap I (Juli) (b)
pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel
tahap III (September) (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober)
di perairan Teluk Jakarta.

Ortofosfat [PO4-P]
Berdasarkan sebaran nilai ortofosfat yang disajikan pada Gambar 11
menunjukan bahwa pengambilan sampel tahap I nilai ortofosfat lebih tinggi di
muara sungai dan bagian terluar teluk (mulut teluk) dibandingkan ditengah
perairan, dengan nilai rata-rata 0,513 mg/L yang terdapat di stasiun 14 (Tanjung
Priok). Pada pengambilan sampel tahap II, III dan IV menunjukan pola sebaran
yang sama yaitu semakin ke lepas pantai pola sebaran ortofosfat lebih rendah,
dengan nilai rata-rata 0,020 mg/L yang terdapat di stasiun 1 (bagian terluar
Tanjung Priok).
Rendahnya nilai sebaran ortofosfat di beberapa titik pengamatan terutama
di ketiga tahap pengambilan sampel tersebut diduga disebabkan karena pengaruh
masukan dari daratan perairan teluk, sehingga dapat menyebabkan fosfat hanya
mendominasi wilayah sungai. Berkurangnya sumber bahan organik di daratan
menyebabkan nilai ortofosfat lebih rendah yang terdapat di wilayah tengah
perairan dan bagian terluar teluk.
16

a) b)

c) d)

Gambar 11. Sebaran ortofosfat (PO4-P) (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b)
pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel
tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di
perairan Teluk Jakarta.

Ammonium [NH4]
Berdasarkan nilai sebaran ammonium selama empat kali pengambilan
sampel (Gambar 12), menunjukan bahwa pada pengambilan sampel tahap I nilai
ammonium lebih tinggi di muara sungai dan bagian terluar teluk (mulut teluk)
dibandingkan ditengah perairan, dengan nilai rata-rata 2,398 mg/L yang terdapat
di Sungai Priok. Sedangkan pengambilan sampel tahap II, III dan IV menunjukan
pola yang sama yaitu nilai ammonium semakin rendah ke arah tengah perairan
dibandingkan ke arah muara sungai, dengan nilai rata-rata 0,071 mg/L yang
terdapat di stasiun 5 tengah perairan Tanjung Priok.
Rendahnya sebaran ammonium di beberapa titik pengamatan diantaranya
pada ke tiga tahap pengambilan sampel tersebut, diduga disebabkan karena
masukan nutrien hanya mendominasi wilayah sungai, sehingga semakin jauh
menuju lepas pantai nilai ammonium semakin rendah. Hal ini sama dengan nilai
sebaran BOD yang disajikan pada Gambar 7, yaitu nilai BOD lebih rendah ke
arah tengah perairan dan menuju lepas pantai, sedangkan lebih tinggi terdapat di
pesisir (sungai dan muara sungai).
17

a) b)

c) d)

Gambar 12. Sebaran ammonium (NH4) (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b)
pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel
tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober) di
perairan Teluk Jakarta.

Silikat [SiO2]
Berdasarkan nilai sebaran silikat selama empat kali pengambilan sampel
(Gambar 13) diketahui bahwa pada pengambilan sampel tahap I, II, dan IV
menunjukan pola sebaran yang sama, yaitu nilai silikat lebih tinggi di ke tiga
muara sungai dibandingkan ke arah tengah perairan, dengan nilai rata-rata 0,143
mg/L yang terdapat di stasiun 12 (muara Sungai Priok). Sedangkan pengambilan
sampel tahap III ditemukan nilai sebaran silikat lebih rendah di Tanjung Priok dan
Muara Marunda dibandingkan dengan Muara Angke, dengan nilai rata-rata 0,047
mg/L yang terdapat di stasiun 8 tengah perairan Sungai Marunda.
Rendahnya nilai sebaran silikat yang terdapat di kawasan Teluk Jakarta,
diduga disebabkan karena ion-ion terlarut berasal dari daratan yang masuk
melalui sungai semakin berkurang terutama di Sungai Priok sehingga
menyebabkan nilai silikat lebih rendah (Gambar 13). Sumber silikat di perairan
pesisir utamanya berasal dari hasil pelapukan mineral tanah yang mengandung
silika yang kemudian larut dalam aliran sungai-sungai menuju ke pesisir dan laut
(Liu et al. 2009).
18

a) b)

c) d)

Gambar 13. Sebaran silikat (SiO2) (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b)
pengambilan sampel tahap II (Agustus).(c) pengambilan sampel
tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober)
di perairan Teluk Jakarta.

Klorofil-a
Berdasarkan nilai sebaran klorofil-a yang ditampilkan pada Gambar 14
diketahui bahwa pengambilan sampel tahap I nilai klorofil-a lebih tinggi di muara
sungai dan bagian terluar teluk (mulut teluk) dibandingkan ditengah perairan,
dengan nilai rata-rata 21,339µg/L yang terdapat di stasiun 10 muara Sungai
Marunda. Sedangkan pengambilan sampel tahap II, III dan IV menunjukan pola
sebaran yang sama yaitu nilai klorofil-a lebih rendah di Muara Priok dan Muara
Angke dibandingkan dengan Muara Marunda, dengan nilai rata-rata 0,385µg/L
yang terdapat di Tanjung Priok.
Rendahnya nilai klorofil-a yang ditemukan di ke tiga tahap pengambilan
sampel tersebut terutama di wilayah Sungai Angke dan Tanjung Priok, diduga
disebabkan karena stasiun 13 dan 14 (Tanjung Priok dan Sungai Angke) berada di
Sungai. Disamping itu didukung pula dengan kecerahan yang ditemukan lebih
rendah, sehingga menyebabkan fitoplankton tidak dapat berfotosintesis secara
optimal (Gambar 15).
19

a) b)

c) d)

Gambar 14. Sebaran klorofil-a (a) pengambilan sampel tahap I (Juli). (b)
pengambilan sampel tahap II (Agustus). (c) pengambilan sampel
tahap III (September). (d) pengambilan sampel tahap IV (Oktober)
di perairan Teluk Jakarta.

25
Konsentrasi Klorofil-a (µg/L)

20

15

10

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Stasiun

Gambar 15. Nilai rata-rata klorofil-a di kawasan perairan Teluk Jakarta.


20

Kesuburan perairan
Kesuburan perairan di Teluk Jakarta berdasarkan indeks TRIX disajikan
pada Gambar 16.

Gambar 16. Tingkat kesuburan di kawasan perairan Teluk Jakarta.

Sesuai dengan uji Trofik Index, perairan Teluk Jakarta dikategorikan


sebagai perairan hipertrofik di wilayah Tanjung Priok, pada stasiun 6 (tengah
perairan Muara Priok) dengan nilai 6,172, dan stasiun 4 (tengah perairanTanjung
Priok) dengan nilai 6,139, selanjutnya perairan mesotrofik ditemukan di wilayah
Muara Angke pada stasiun 3 (tengah perairan muara Sungai Angke) dengan nilai
3,745, stasiun 11 (muara Sungai Angke) dengan nilai 3,806, selanjutnya stasiun
13 (Sungai Angke) dengan nilai 3,138 dan satu stasiun terdapat di wilayah
Marunda diantaranya stasiun 15 (Sungai Marunda) dengan nilai 3,712.
Sedangkan kategori perairan eutrofik terdapat di wilayah Marunda pada
stasiun 10 (muara Sungai Marunda), dengan nilai 5,9949, stasiun 9 (tengah
perairan Muara Marunda) dengan nilai 4,431 dan stasiun 8 (lepas pantai perairan
Muara Marunda) dengan nilai 5,909, stasiun 7 (lepas pantai Muara Marunda)
dengan nilai 5,693, selanjutnya terdapat pula tiga stasiun berada pada wilayah
Muara Priok diantaranya stasiun 14 (Tanjung Priok) dengan nilai 4,767
selanjutnya stasiun 12 (muara Sungai Priok) dengan nilai 5,298 dan stasiun 5
(lepas pantai perairan Muara Priok) dengan nilai 5,030 dan terdapat dua stasiun di
wilayah lepas pantai Muara Angke yaitu stasiun 2 dan stasiun 1 masing-masing di
lepas pantai dengan nilai 5,188 dan 5,364.
Menurut Moodley et al. (2001) keberadaan konsentrasi nutrien dan
biomassa fitoplankton terdapat di dalam kolom air sebagai efek dari eutrofikasi.
Hal tersebut sesuai pola sebaran bahwa semakin ke arah lepas pantai DIN semakin
rendah disebabkan karena bahan organik hanya terkonsentrasi di sungai dan
semakin berkurang menuju ke lepas pantai. Hal tersebut dapat diikuti dengan nilai
DIN, semakin ke pesisir konsentrasi DIN semakin tinggi. (Gambar 9, 10, dan 12).
Tingginya sebaran N dan P yang didapatkan dengan nilai rata-rata cukup
tinggi berada pada stasiun 10 (muara Sungai Marunda), nitrat [NO3-N] sebesar
0,037 mg/L. Nitrit [NO2-N] sebesar 0,013 mg/L. Selanjutnya Ammonium [NH4]
sebesar 1,047 mg/L, dan ortofosfat [PO4-P] sebesar 0,172 mg/L. Sedangkan
klorofil-a didapatkan dengan nilai rata-rata 21,339 µg/L. Keberadaan nutrien
21

sejalan dengan keberadaan bahan organik yang mendiami kawasan Muara Sungai
perairan Teluk Jakarta, hal ini disebabkan karena sebaran nutrien tidak merata
yang merupakan efek loading unsur hara dari Muara ke lepas pantai perairan
Teluk Jakarta.

Fitoplankton
Kelimpahan fitoplankton tertinggi di perairan Teluk Jakarta ditemukan di
muara Sungai Marunda (Gambar 16). (Lampiran 2) Kelimpahan fitoplankton di
stasiun 10 muara Sungai Marunda sebesar 16 393 262 222 sel/m3, dengan
kelimpahan tertinggi didominasi oleh kelas Bacillariophyceae (Lampiran 4),
dengan jenis Chaetoceros sp., Bacteriastrum sp., Skeletonema sp., Nitzschia sp,
Thalassiosira sp. Kelimpahan fitoplankton tertinggi selanjutnya ditemukan di
Stasiun 8 berada pada kawasan lepas pantai muara Sungai Marunda dengan
kelimpahan sebanyak 7 655 191 999 sel/m3, Stasiun 15 Sungai Marunda dengan
kelimpahan sebanyak 4 435 278 711 sel/m3, Stasiun 12 berada di Tanjung Priok
dengan kelimpahan sebanyak 7 244 757 334 sel/m3. Sedangkan kelimpahan
fitoplankton paling rendah terdapat di stasiun 13 (Muara Angke), dengan jumlah
kelimpahan fitoplankton sebanyak 578 425 332 sel/m3.
18.000
16.000
Kelimpahan (x106 sel/m3)

14.000
12.000
10.000
8.000
6.000
4.000
2.000
-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
stasiun
Sumber. Damar et al. (2013)

Gambar. 17 Rata-rata kelimpahan fitoplankton per stasiun pada 4 kali


pengambilan sampel di masing-masing stasiun pengamatan.

Zooplankton
Secara spasial kelimpahan zooplankton ditemukan pada stasiun 10 (muara
Sungai Marunda) sebanyak 5174 976 Ind/m3 , Selanjutnya Stasiun 15 di Sungai
Marunda dengan kelimpahan sebanyak 655 012 Ind/m3, Stasiun 9 tengah perairan
muara Sungai Marunda kelimpahan sebanyak 589 347 Ind/m3. Dengan
kelimpahan tertinggi didominasi oleh kelas Crustacea (Lampiran 5), dengan jenis
Naupilus ., Oithona sp., Microsetella sp., Acartia sp., Corycaeus sp. Kelimpahan
zooplankton lebih tinggi terdapat juga di Stasiun 12 Tanjung Priok dengan jumlah
kelimpahan sebanyak 667 628 Ind/m3, dan juga di stasiun 11 muara Sungai
Angke dengan jumlah kelimpahan sebanyak 977 143 Ind/m3. Sedangkan
kelimpahan zooplankton terendah terdapat di sebagian besar kawasan Sungai
Angke, pada stasiun 3 di tengah perairan Muara Angke dengan jumlah
22

kelimpahan sebanyak 324 270 Ind/m3. Selanjutnya stasiun 13 Sungai Angke


sebanyak 41 914 Ind/m3, dan stasiun 14 Sungai Priok dengan kelimpahan
zooplankton sebanyak 78 271 Ind/m3. (Gambar 17).
6000
kelimpahan ( Ind/m3)

5000

4000

3000

2000

1000

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Stasiun

Gambar. 18 Rata-rata Kelimpahan zooplankton per stasiun pada 4 kali


pengambilan sampel di masing-masing stasiun pengamatan
perairan Teluk Jakarta.
Hubungan kualitas air dengan fitoplankton dan zooplankton (analisis PCA)
Hasil analisis komponen utama menunjukan bahwa informasi yang
menggambarkan korelasi antara parameter fisik-kimia dan biologi perairan
terhadap stasiun pengamatan dibentuk oleh dua sumbu utama (F1 dan F2), dengan
eigenvalue cumulative berkisar 79,68 %. Hal ini mempunyai makna bahwa
informasi yang bisa didapatkan dari analisis dengan menggunakan dua sumbu
tersebut sebesar 79,68% , dari total informasi. Informasi tersebut masing-masing
dijelaskan oleh sumbu satu sebesar 57,93% dan sumbu dua sebesar 21,76%.
Kualitas air sebagai penentu (faktor utama) perairan Teluk Jakarta. Sesuai
dengan data yang dihasilkan melalui analisis komponen utama parameter fisika-
kimia dan biologi dapat dijelaskan bahwa, kelompok pertama memberikan
gambaran bahwa stasiun pengamatan (1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, dan 12) masing-masing
berada di mulut luar Teluk dan di tengah perairan serta satu stasiun terdapat di
muara Sungai Priok, dicirikan oleh beberapa parameter fisika-kimia perairan di
antaranya suhu, kecerahan, salinitas, pH dan DO yang cukup tinggi dibandingkan
dengan stasiun yang lainnya (Gambar 19). Dengan nilai korelasi pada (Lampiran
2), Pada stasiun ini didapatkan suhu mencapai kisaran 30,7-30,2 0C, kecerahan
mencapai kisaran 180-850 cm, pH dengan kisaran 8,37-8,93, DO dengan kisaran
6,7-11,0 mg/L.
Kelompok kedua memberikan gambaran pada stasiun pengamatan (11, 13,
14, 3) yang berada di Sungai Angke, Muara Angke dan Sungai Priok. Sebagai
penciri utama fisika-kimia adalah BOD, Ammonium, Ortofosfat dan Total DIN
yang tinggi di stasiun tersebut (Gambar 19). Dengan nilai korelasi pada
(Lampiran 2), di stasiun ini ditemukan nilai BOD dengan kisaran 6,3-10,6 mg/L,
Ammonium dengan nilai rata-rata 2,398 mg/L, Ortofosfat dengan nilai rata-rata
0,266 mg/L, dan total DIN dengan nilai rata-rata 2,641 mg/L. Tingginya nilai
23

BOD sebagai masukan bahan organik dalam perairan Teluk Jakarta, dapat
meningkatkan Ortofosfat, Ammonium dan Total DIN. Hal ini memungkinkan
letak stasiun berada di sungai, sehingga kualitas airnya relatif tinggi.
Kelompok ketiga dapat dijelaskan bahwa pada stasiun 10 (muara Sungai
Marunda). Memiliki penciri utama kimia-biologi adalah klorofil-a, fitoplankton
dan zooplankton (Gambar 19). Dengan nilai korelasi pada (Lampiran 2), di
stasiun ini ditemukan nilai klorofil-a sebesar 21,339 µg/L. Tingginya nilai
klorofil-a diduga dipengaruhi oleh faktor nutrien yang masuk melalui sungai
sehingga dapat meningkatkan fitoplankton dan terjadi peningkatan kesuburan
perairan Teluk Jakarta.
Keterangan:
Pada kedua sumbu utama tersebut terbentuk tiga kelompok keterkaitan
parameter fisik-kimia, biologi serta N dan P di perairan dengan stasiun
pengamatan. Satu kelompok teridentifikasi berada pada sumbu F1, sementara dua
kelompok teridentifikasi berada pada sumbu F2.
Variabel (antara F1 dan F2: 79.68 %)
1
Klorofil-a
Zooplankton
0,75 Fitoplankton
Nitrit
0,5 suhu
BOD
0,25 Silikat DO
F1 (57,93 %)

Ortofosfat
Ammonium pH
0 DIN
Nitrat salinitas
-0,25

-0,5
kecerahan

-0,75

-1
-1 -0,75 -0,5 -0,25 0 0,25 0,5 0,75 1
F2 (21,76 %)

Stasiun (antara F1 dan F2: 79.68 %)


6
Stasiun 10
4
Stasiun 15
2
F1 (57.93 %)

Obs9 Stasiun 8
Stasiun 11 Stasiun 12
0 Stasiun 2
Stasun 14 Stasiun 13 Stasiun 3 Stasiun 6
Stasiun 7
-2 Stasiun 5
Stasiun 4 Stasiun 1

-4

-6
-12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12
F2 (21.76 %)

Gambar 19. Analisis komponen utama kelimpahan fitoplankton dan zooplankton


pada sumbu 1 dan sumbu 2 sebaran spasial stasiun pengamatan.
24

Pembahasan

Dinamika kualitas air dan kaitannya dengan kelimpahan fitoplankton dan


zooplankton
Karakteristik lingkungan perairan di kawasan Teluk Jakarta dipengaruhi
parameter penciri masing-masing. Stasiun pengamatan yang berada ditengah
sampai mulut terluar Teluk Jakarta, dicirikan oleh parameter fisika-kimia perairan
diantaranya suhu, kecerahan, Salinitas, pH dan DO. Dengan demikian nilai
kualitas air yang didapatkan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun
lainnya (Gambar 19). Hal ini didukung dengan hasil penelitian pola sebaran
spasial yang ditemukan menjelaskan bahwa semakin jauh ke arah lepas pantai,
semakin tinggi pula nilai suhu, kecerahan, salinitas, pH dan DO (Gambar 3, 4, 5,
6, dan 8). Tingginya parameter kualitas air diantaranya suhu di wilayah tersebut,
disebabkan karena pada saat pengukuran dan pengambilan sampel di ke empat
kali pengulangan berada pada musim kemarau atau peralihan (penghujan ke
kemarau), sehingga cahaya matahari secara langsung menembus kolom perairan.
Hal ini menyebabkan tingginya nilai suhu akibat terjadi penguapan secara
terus-menerus di stasiun pengamatan, seperti dikemukakan oleh Damar (2003)
bahwa suhu di musim hujan memiliki nilai lebih rendah jika dibandingkan dengan
musim kemarau. Tingginya suhu dan pergerakan massa air laut yang terdorong
dari arah muara sungai yang berdekatan dengan stasiun pengamatan (tengah
sampai mulut terluar teluk). Hal ini diduga dapat meningkatkan salinitas pada
stasiun 1 dengan kisaran 28-30 ‰, stasiun 2 dengan kisaran 23-27 ‰, stasiun 4
dengan kisaran 28-31 ‰. Stasiun 5 dengan kisaran 26-31 ‰, stasiun 6 dengan
kisaran 29-31 ‰, stasiun 7 dengan kisaran 30-31 ‰, stasiun 8 dengan kisaran 27-
31 ‰, stasiun 12 dengan kisaran 5-31 ‰. Hal yang sama juga terdapat pada nilai
pH di perairan, yaitu pada stasiun 1 dengan kisaran 8,17-8,65 stasiun 2 dengan
kisaran 8,14-8,82 stasiun 4 dengan kisaran 8,29-8,68 stasiun 5 dengan kisaran
8,24-8,83. Stasiun 6 dengan kisaran 8,37-8,84 stasiun 7 dengan kisaran 8,4-8,71
stasiun 8 dengan kisaran 8,33-8,8,93 dan stasiun 12 dengan kisaran 8,30-8,83,
sehingga nilai yang didapatkan sesuai dengan kisaran normal salinitas di perairan
laut untuk pertumbuhan organisme. Hal yang sama juga pada nilai pH yang
ditemukan layak untuk kehidupan fitoplankton.
Dengan meningkatnya parameter kualitas air, sehingga terjadi proses
fotosintesis pada fitoplankton yang berdampak pada peningkatan oksigen terlarut.
Salmin (2005) menyatakan bahwa pada lapisan permukaan, kadar oksigen akan
lebih tinggi, karena adanya proses difusi antara air dan udara bebas serta adanya
proses fotosintesis. Hal ini didukung dengan pola sebaran yang didapatkan bahwa
semakin ke arah lepas pantai pola sebaran DO semakin tinggi (Gambar 8).
Dengan pola sebaran DO yang didapatkan pada (stasiun tengah perairan sampai
ke mulut teluk) mencerminkan tingginya nilai DO di masing-masing stasiun. Hal
ini diduga disebabkan karena stasiun yang berdekatan dengan sungai ataupun
masukan air dari sungai di bagian timur Teluk Jakarta. Hal tersebut menyebabkan
adanya pergerakan air (turbulensi), sehingga memberikan dampak terhadap
kandungan oksigen terlarut. Cass and Daly (2014) bahwa tingginya oksigen di
perairan pesisir dapat meningkatkan pertumbuhan organisme di perairan pantai.
Nilai DO yang didapatkan di stasiun pengamatan 1 dengan nilai DO kisaran 6,1-
8,4 mg/L, stasiun 2 dengan nilai DO kisaran 6,5-8,8 mg/L, stasiun 4 dengan nilai
25

DO kisaran 6,6-9,4 mg/L, stasiun 5 dengan nilai DO kisaran 6,7-11,0 mg/L,


selanjutnya stasiun 6 dengan nilai DO kisaran 5,8-10,3 mg/L, stasiun 7 dengan
nilai DO kisaran 6,80-10,1 mg/L, stasiun 8 dengan nilai DO kisaran 7-10,5 mg/L,
dan stasiun 12 dengan nilai DO kisaran 6-10,6 mg/L. Tingginya nilai DO di
masing-masing stasiun dibandingkan dengan baku mutu air laut KMNLH NO 51
Tahun 2004 masih layak untuk kehidupan organisme (Lampiran 3).
Hal ini didukung juga oleh kecerahan yang tinggi yang terdapat di stasiun
(tengah perairan sampai ke mulut teluk), kecerahan merupakan indikator bahwa
adanya masukan bahan organik dari sungai, sehingga dapat menyebabkan tinggi
rendahnya nilai kecerahan. Boyer et al. (2009) kecerahan yang rendah
mencerminkan pengaruh kualitas air yang terintegrasi terutama masukan bahan
organik dari daratan ke perairan pesisir. Selanjutnya Richardson (2008)
menyatakan bahwa faktor yang berkontribusi terhadap tingginya nilai trofik level
di perairan teluk, termasuk kecerahan yang mendorong sebagian besar
fitoplankton menjadi blooming. Berkurangnya masukan bahan organik melalui
sungai dari pesisir perairan Teluk Jakarta, dan di bagian timur Teluk Jakarta,
dapat menyebabkan tingginya nilai kecerahan di stasiun yang berada di tengah
perairan sampai ke mulut teluk. Hal ini didukung pula dengan pola sebaran
kecerahan yang didapatkan Gambar 4 bahwa, semakin jauh dari daratan pola
sebaran kecerahan semakin tinggi.
Berkurangnya masukan bahan organik dari tengah perairan sampai ke
mulut teluk, dapat berpengaruh terhadap nilai nitrogen di perairan teluk. Sesuai
dengan hasil yang didapatkan bahwa nilai nitrogen, ortofosfat dan silikat
mengalami penurunan, begitu pula total DIN sebagai dasar dari pertumbuhan
fitoplankton di perairan, dengan nilai lebih rendah terdapat di lokasi terluar
perairan di mulut teluk. Sedangkan nilai yang cukup tinggi mengarah kedaratan
pesisir perairan dan adanya masukan bahan organik dari sungai yang terletak di
bagian timur Teluk Jakarta (Tabel 3), sehingga mengalami proses dekomposisi
bahan organik di tengah perairan sampai ke mulut teluk. Sesuai dengan indek
TRIX wilayah tengah perairan sampai ke mulut Teluk memiliki nilai klorofil-a
yang cukup tinggi dengan rata-rata 14,605 µg/L dan 5,945 µg/L, ortofosfat
dengan nilai rata-rata 0,020 mg/L dan 0,026 mg/L terdapat di stasiun 4 dan 6
masing-masing berada di tengah perairan Tanjung Priok, sehingga dapat
berpengaruh terhadap fitoplankton (alga bloom) di tengah perairan Tanjung Priok.
Tingginya nilai klorofil-a Gambar 15 yang terdapat di stasiun 4 dan 6 di
wilayah (tengah perairan Tanjung Priok), memberikan gambaran bahwa kualitas
air sangat mendukung dalam peningkatan kesuburan perairan. Menurut
Giovanardi dan Vollenweider (2004) analisis TRIX sebagai kombinasi linear
logaritmik dari empat variabel, yaitu klorofil-a, oksigen saturasi, nitrogen, dan
ortofosfat. Kondisi kawasan perairan yang menjadi penentu dalam peningkatan
kesuburan dengan berdasarkan sebaran N dan P serta kualitas air yang didapatkan.
Tingginya nilai klorofil-a yang didapatkan di ke dua stasiun tersebut diduga
disebabkan oleh melimpahnya fitoplankton (alga bloom) yang memanfaatkan
nutrien untuk pertumbuhan melalui fotosintesis. Kandungan oksigen yang cukup
tinggi dengan kisaran 6,6-9,4 mg/L, pada stasiun 4 dan stasiun 6 dengan nilai
kisaran 5,8-10,3 mg/L masing-masing terdapat di tengah perairan Tanjung Priok,
26

(Tabel 2) diduga berkaitan dengan kelimpahan fitoplankton sebagai penghasil


oksigen.
Wilayah yang secara langsung mendapatkan masukan bahan organik dari
daratan merupakan daerah pesisir perairan Teluk Jakarta, sehingga masukan
bahan organik akan memberikan dampak terhadap ekosistem perairan. Menurut
Dai et al. (2012) masukan nutrien dari sungai ke muara sungai selalu meningkat
sepanjang tahun seiring dengan aktivitas manusia. Kawasan Teluk Jakarta
merupakan kawasan padat pemukiman dan kegiatan industri, sehingga
menghasilkan bahan pencemar. Hal tersebut didukung dengan hasil sebaran BOD
yang didapatkan Gambar 7 menjelaskan bahwa sebaran BOD ditemukan lebih
tinggi di perairan pesisir di sungai dan muara sungai serta sebagian lepas pantai.
Stasiun yang secara langsung mendapatkan masukan bahan organik yaitu di
stasiun 11 yang berada di muara Sungai Angke, stasiun 13 yang berada di Sungai
Angke, stasiun 14 yang berada di Sungai Priok, dan stasiun 3 yang berada di
tengah perairan Muara Angke. Dengan adanya masukan bahan organik ke
perairan pesisir teluk, sehingga dapat menyebabkan peningkatan unsur hara (N
dan P) diantaranya Ammonium, Ortofosfat dan Total DIN. Dengan nilai yang
cukup tinggi terdapat di stasiun muara dan muara sungai (Sungai Angke dan
Sungai Priok). Menurut Xu et al. (2010) bahan organik yang masuk melalui
aliran sungai akan menghasilkan nutrien.
Menurut Boyd (1982) keberadaan ammonia di perairan menunjukan
adanya penguraian bahan organik. Demikian halnya dengan nilai ammonium yang
didapatkan di perairan pesisir (sungai dan muara sungai) Teluk Jakarta, nilai lebih
tinggi ditemukan menunjukan bahwa adanya proses penguraian bahan organik
yang disebabkan karena suplai bahan pencemar dari daratan melalui sungai.
Selanjutnya Ounissi et al. (2014) menjelaskan bahwa limbah industri dari pabrik
dapat memberikan masukan yang mengandung unsur ammonium ke dalam
perairan teluk. Oleh sebab itu masukan bahan organik melalui sungai dapat
meningkatkan nilai ammonium. Penguraian bahan organik akan dimanfaatkan
oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan terutama fitoplankton. Dugdale et al.
(2007) menyatakan bahwa proses produksi primer dengan tingginya tingkat trofik
tergantung pada kuantitas air yang akan meningkatkan masukan konsentrasi
ammonium (antropogenik). Tingginya nilai silikat disebabkan oleh limbah
organik yang masuk melalui sungai di Teluk Jakarta. Seperti yang dijelaskan oleh
Sverdrup et al. (1960) bahwa silikat di permukaan berasal dari aliran sungai yang
masuk dalam badan perairan, sehingga kandungan silikat yang rendah ditemukan
di lapisan permukaan perairan.
Selanjutnya Tantasarit et al. (2013) mengemukakan bahwa keberadaan
organisme atau spesies pada konsentrasi nutrien yang tinggi dapat dipengaruhi
oleh pembuangan air limbah dari daratan yang masuk melalui sungai. Hal ini
dapat disebabkan oleh proses dekomposisi bahan organik yang terjadi di pesisir
Teluk (sungai dan muara sungai), akan menghasilkan nutrien sehingga dapat
meningkatkan pertumbuhan alga (fitoplankton) di sungai dan muara sungai Teluk
Jakarta. Menurut Miller et al. (2008) masukan nutrien dari muara sungai penting
bagi pertumbuhan fitoplankton. Apabila nutrien yang dihasilkan terlalu banyak di
perairan teluk, maka akan berdampak pada ekosistem pesisir (Sattar et al. 2014).
Dengan demikian tingginya nutrien di sungai dan muara sungai Teluk Jakarta,
akan berpengaruh pada produktivitas perairan dengan pemanfaatan fitoplankton
27

sebagai organisme yang sering dijadikan skala ukuran kesuburan suatu perairan.
Miller et al. (2008) menyatakan bahwa masukan nutrien dari muara sungai
penting bagi pertumbuhan fitoplankton.
Selanjutnya Menurut Ecological Society of America (2000) masukan N
dan P yang berlebihan ke perairan pesisir menyebabkan fosfat akan mengendap di
sedimen secara perlahan sehingga proporsi N lebih besar dari fosfat tetap tersedia
secara biologis. Selanjutnya Ounissi et al. (2014) menjelaskan bahwa limbah
industri dari pabrik dapat memberikan masukan bahan pencemar ke dalam
perairan Teluk yang mengandung unsur fosfat. Maka nilai rata-rata ortofosfat
yang didapatkan 0,172 mg/L dan 0,039 mg/L masing-masing berada di muara
Sungai Marunda dan Tanjung Priok perairan Teluk Jakarta, telah memenuhi
syarat minimum yang diperlukan untuk tumbuh kembangnya fitoplankton di
perairan. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Yuliana et al. (2012) di perairan Teluk Jakarta dengan nilai ortofosfat yang
didapatkan dengan kisaran 0,0114-0,1021 mg/L. Menurut Macketum (1969),
untuk pertumbuhan optimal fitoplankton diperlukan kandungan ortofosfat pada
kisaran 0,09-1,80 mg/L. Dengan demikian tingginya nilai ortofosfat di kawasan
Muara Marunda diduga dapat menyebabkan kesuburan perairan akibat masukan
dari daratan Teluk Jakarta.
Disamping itu sebagian wilayah pesisir Teluk Jakarta merupakan daerah
persawahan dan daerah mangrove, sehingga dapat memberikan pasokan nutrien
ke perairan Teluk. Limbah pertanian adalah sumber nitrat utama untuk muara
sungai (Conway et al. 2003). Menurut Zhang et al. (2013) jumlah senyawa [NH4-
N], [NO3-N], dan [NO2-N] dalam perairan lebih tinggi di muara sungai karena
masukan dari sungai dan tingkat akumulasi di muara lebih tinggi. Dengan
demikian total DIN yang didapatkan berindikasi bahwa wilayah perairan Teluk
Jakarta berstatus eutrofik (pengayaan nutrien) diantaranya stasiun 1 (berada di
mulut terluar teluk), stasiun 2, 5, 8, 9 (berada di tengah perairan) stasiun 12, 10
masing-masing berada di muara Sungai Priok dan muara Sungai Marunda.
Sedangkan status perairan mesotrofik (kesuburan sedang) ditemukan di stasiun
stasiun 3, 11, 13 dan 15, masing-masing berada di wilayah Muara Angke dan
Sungai Marunda. Hal ini didukung dengan hasil sebaran N dan P yang didapatkan
bahwa, semakin ke arah lepas pantai N dan P semakin rendah disebabkan karena
bahan organik hanya mendominasi di sungai dan semakin berkurang menuju lepas
pantai sehingga nilai N dan P lebih tinggi terdapat di wilayah perairan pesisir (di
sungai dan muara sungai), (Gambar 9, 10, 11 dan 12).
Menurut Newton et al. (2003) peningkatan bahan organik dalam
ekosisitem perairan dapat menyebabkan pengayaan nutrien, sehingga dapat
meningkatkan produksi primer. Pengayaan nutrien (eutrofikasi) di pesisir Teluk
Jakarta (di sungai dan muara sungai), akan membawa dampak terhadap
pertumbuhan alga yang secara berlebihan dan menyebabkan terjadinya alga
bloom. Selanjutnya Newton et al. (2003) menyatakan bahwa masukan air tawar
dari sungai sebagai respon bagi organisme dalam ekosistem perairan. Sejalan
dengan penelitian Damar (2003) bahwa tingginya nilai nutrien dan produktivitas
biomassa fitoplankton, menunjukan adanya kemampuan secara alami dari
lingkungan perairan laut yang menyerap efek pengkayaan nutrien dari daratan.
Dengan demikian eutrofikasi yang terjadi di perairan pesisir Teluk Jakarta,
28

merupakan akibat dari aktivitas yang timbul dari daratan, sehingga dapat
menyebabkan perubahan dalam sturuktur dan fungsi dari fitoplankton dan
zooplankton di perairan pesisir Teluk Jakarta.
Masukan limbah organik dari persawahan di sekitar kawasan Sungai
Marunda Stasiun 15, diduga banyak memberikan konstribusi terhadap
peningkatan bahan organik di muara Sungai Marunda. Hal ini sesuai dengan nilai
klorofil-a yang didapatkan (Tabel 3). Hasil ini didukung dengan pola sebaran
kecerahan yang menjelaskan bahwa semakin jauh dari daratan kecerahan semakin
tinggi, dan ke arah sungai kecerahan semakin rendah (Gambar 4). Kecerahan yang
ditemukan di stasiun 10 (muara Sungai Marunda), dengan nilai kisaran 40-200 cm
dapat mempengaruhi proses fotosintesis terhadap fitoplankton dengan
memanfaatkan klorofil-a sebagai indikator kesuburan perairan. Marinho dan
Rodrigues (2003) menjelaskan bahwa komunitas fitoplankton pada dasarnya
merupakan penghasil pigmen klorofil-a. Oleh sebab itu klorofil-a merupakan
pigmen yang biasa ditemukan dalam organisme autrotrof (fitoplankton) yang
menyerap cahaya secara langsung dengan memanfaatkan klorofil-a untuk proses
fotosintesis di perairan Teluk Jakarta.
Distribusi fitoplankton yang di dapatkan sangat berfariasi mengikuti pola
sebaran N dan P serta tingginya kualitas air. Seperti di jelaskan pada Gambar 17
bahwa fitoplankton cukup tinggi di stasiun yang berada di pesisir pantai,
kemudian rendah di bagian tengah dan sebagian di mulut teluk. Sedangkan stasiun
yang mendapatkan kelimpahan fitoplankton lebih tinggi terdapat di stasiun 10
(muara Sungai Marunda), Gambar 17. Hal ini disebabkan karena pada stasiun
tersebut terdapat di muara sungai, sehingga mendapatkan masukan nitrogen yang
cukup tinggi dengan nilai sebesar 1,096 mg/L (total nitrogen anorganik).
Tingginya nilai nitrogen dapat meningkatkan biomassa fitoplankton dengan nilai
rata-rata 21,339 µg/L dibandingkan dengan stasiun yang lainnya. Di samping itu
tingginya nilai kecerahan kisaran 40-200 cm dapat mendukung kelimpahan
fitoplankton sebanyak 16 393 262 222 sel/m3 (Gambar. 17). Dengan komposisi
fitoplankton terbanyak yaitu dari kelas Bacillariophycae. Dominasinya oleh jenis
Chaetoceros sp., Bacteriastrum sp., Skeletonema sp., Nitazschia sp, Thalassiosira
sp. Masukan nutrien di perairan Teluk Jakarta merupakan salah satu indikasi
bahwa keberadaan nutrien sejalan dengan pertumbuhan dari jenis fitoplankton.
Seperti yang dikemukaan oleh Llebot et al. (2011) bahwa secara khusus perairan
pesisir terkena pengaruh antropogenik (seperti masukan nutrien dari muara
sungai), akan berdampak langsung terhadap variabilitas fitoplankton.
Nitrogen menjadi faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bagi
fitoplankton di perairan Teluk Jakarta. Peningkatan fitoplankton di perairan Teluk
Jakarta dapat berpengaruh pada produksi primer perairan. Sugimoto et al. (2004)
menjelaskan bahwa nitrogen dalam perairan pesisir digunakan sebagai indikator
produksi primer. Meningkatnya nitrogen di perairan Teluk Jakarta dapat
berindikasi bahwa banyaknya sumber makanan bagi hewan karnivora, herbivora
dan omnivora, sebab fitoplankton merupakan mata rantai pertama dalam siklus
mata rantai di perairan. Selanjutnya Sumich (1992) menjelaskan bahwa
fitoplankton berperan sebagai penghasil oksigen dan bahan makanan bagi
organisme perairan. Semakin banyak fitoplankton di perairan Teluk Jakarta
terutama di sungai, muara sungai, semakin banyak pula hewan laut yang
29

memangsanya. Sebagai rantai makanan di perairan laut, fitoplankton dimangsa


oleh zooplankton (grazing).
Meningkatnya fitoplankton di muara Sungai Marunda, dapat pula
meningkatkan kelimpahan zooplankton di muara Sungai Marunda. Dengan hasil
yang didapatkan Gambar 17 menunjukan bahwa zooplankton meningkat dengan
jumlah sebanyak 517 4976 Ind/m3 yang di dominasi oleh kelas Crustacea,
dengan jenis yang dominan Nauplius, Oithona sp, Calanus sp, Acartia sp.
Keberadaan oksigen terlarut di perairan Teluk Jakarta sangat membantu proses
metabolisme bagi zooplankton untuk mempertahankan hidup. Zooplankton,
sebagai penyebab dari pemangsaan (grazing). Chen et al. (2011) menjelaskan
bahwa meningkatnya klorofil-a signifikan lebih tinggi dan memberikan
konstribusi yang banyak di stasiun muara sungai, sehingga nutrisi diduga
bermanfaat bagi ketersediaan makanan untuk zooplankton. Oleh sebab itu
keberadaan fitoplankton terutama di stasiun 10 (muara Sungai Marunda) perairan
Teluk Jakarta mengindikasikan banyaknya sumber makanan. Proses suksesi
populasi zooplankton secara alamiah sangat bergantung pada ketersediaan
makanan (Asriyana dan Yuliana 2012). Dengan demikian keberadaan
fitoplankton sangat mendukung proses pemangsaan di perairan Teluk Jakarta
terutama di sungai dan muara sungai.

IV KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Distribusi kelimpahan zooplankton di Teluk Jakarta memiliki pola


sebaran yang berkorelasi sangat erat dengan sebaran fitoplankton, yaitu tinggi di
stasiun-stasiun tepi pantai untuk kemudian menurun sejalan dengan menjauhi tepi
pantai. Pola hubungan yang erat antara zooplankton dengan fitoplankton ini
menunjukan hubungan pola makan memakan fitoplankton dan zooplankton.
Pola sebaran fitoplankton yang tinggi di tepi pantai untuk kemudian
rendah di perairan tengah dan bagian sisi luar di pengaruhi oleh sebaran
konsentrasi unsur hara (nitrogen, fosfat dan silikat) yang sekaligus membuktikan
bahwa sumber utama unsur hara bagi Teluk Jakarta adalah berasal dari sungai
(daratan). Ketersediaan cahaya dan unsur hara dapat mendukung pertumbuhan
serta kelimpahan fitoplankton dan zooplankton di Teluk Jakarta. Pada muara
sungai konsentrasi unsur hara sangat tinggi namun karena ketersediaan cahaya
rendah, maka daerah ini kurang optimal mendukung perkembangan biomassa
fitoplankton. Sementara itu, pada perairan tepi pantai dimana cahaya lebih
meningkat, kelimpahan fitoplankton (yang kemudian di ikuti kelimpahan
zooplankton) akan meningkat. Hal ini di sebabkan pada lokasi ini, ketersediaan
unsur hara walaupun tidak setinggi dengan muara sungai, namun masih sangat
memadai bagi perkembangan fitoplankton.
Sebagai bahan pengelolaan, maka harus di lakukan upaya untuk
mengurangi masukan unsur hara dari daratan Teluk Jakarta. Pencemaran perairan
yang terjadi di Teluk Jakarta sangat memprihatinkan, apabila dibiarkan dalam
jangka waktu yang panjang akan terjadi degradasi pada akhirnya dapat
mengganggu ekosistem perairan. Oleh sebab itu perlu dilakukannya langkah-
30

langkah untuk menanggulangi hal tersebut dengan menggunakan metode-metode


terbaru.

Saran

1. Meningkatnya unsur hara di sebabkan oleh masukan bahan organik dari


daratan melalui sungai di kawasan Teluk Jakarta. Oleh sebab itu penekanan
terhadap masukan bahan organik harus di lakukan, hal ini bertujuan untuk
menyeimbangkan kandungan nutrien dan kualitas air, sehingga dapat
mendukung pertumbuhan dan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton.
2. Perlu dilakukan penelitian yang mampu mencakup keragaman komunitas
zooplankton di saat musim barat.

DAFTAR PUSTAKA

Ærtebjerg GJ, Carstensen K, Dahl J, Hansen K, Nygard B, Rygg K, Sørensen G,


Severinsen S, Casartelli W, Schrimpf C, Schiller JN, Druon. 2001. EEA
Project: Manager Anita Kunitzer. Eutrophication in Europe’s coastal
waters. Copenhagen (DK). European Environmental Agency.
[APHA] American Public Health Association. 1976. Standard Methods for The
Examination of Water and Wastewater. 4th edition. Washington DC (US):
American Public Health Association.
[APHA] American Public Health Association. 2005. Standard Methods for The
Examination of Water and Wastewater. 21th Edition. Washington DC
(US): American Public Health Assosiation American Water Work
Association/Water Enviroment Federation.
[APHA] American Public Health Association. 2012. Standard Methods for The
Examination of Water and Wastewater. 22nd edition. Washington DC
(US): American Public Health Association.
Asriyana, Yuliana. 2012. Produktivitas Perairan: Fenomena Red Tide atau
kejadian perubahan warna di permukaan perairan secara dramatis
diakibatkan oleh pertumbuhan yang cepat (blooming) dari fitoplankton.
Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan analisis Data Biofisik
Sumberdaya Pesisir. Bogor (ID). Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor..
Boyd CE. 1982. Water Quality Management for fish Ponds Culture. New York
(US): Elsevier Scientific Publishing Company.
Boyer JN, Kelble CR, Ortner PB, Rudnick DT. 2009. Phytoplankton bloom status:
Chlorophyll-a biomass as an indicator of water quality condition in the
southern estuaries of Florida, USA. Ecological Indicators .9: 56 – 67.
Cass CJ, Daly KL. 2014. Eucalanoid copepod metabolic rates in the oxygen
minimum zone of the eastern tropical north Pacific: Effects of oxygen and
temperature. Deep-Sea Research I. 94: 137–149.
Chen M, Chen B, Harrison P, Liu H 2011. Dynamics of mesozooplankton
assemblages in subtropical coastal waters of Hong Kong: A comparative
31

study between a eutrophic estuarine and a mesotrophic coastal site.


Continental Shelf Research. 31: 1075–1086.
Conway DVP, White RG, Ciles JHD, Gallienne CP, Robins DB. 2003. Guide to
the Coastal and Surface zooplankton of the south-western India Ocean.
Marine Biological Association of The United Kingdom Occasional
Publication (UK). United States of America.
Dai X, Lu D, Xia P, Wang H, He P. 2012. A 50-year temporal record of
dinoflagellate cysts in sediments from the Changjiang estuary, East China
Sea, in relation to climate and catchment changes. Estuarine, Coastal and
Shelf Science: 112: 192-197.
Damar A. 2003. Effects of Enrichment on Nutrient Dynamics, Phytoplankton
Dynamics and Productivity in Indonesian Tropical Water: A Comparison
Between Jakarta Bay, Lampung Bay and Semangka Bay. [disertasi]. Kiel
(DE). Christian Albrechts University. Germany.
Damar A, Vitner Y, Palmirmo P, Kadir MS. 2013. Deteksi Faktor Lingkungan
Pemicu Timbulnya Peledakan Populasi Fitoplankton (RED TIDE) di
Perairan Teluk Jakarta dan Kaitannya dengan Eutrofikasi Perairan Pesisir
dan Laut. Laporan penelitian BOPTN Dikti.
Davis CC. 1955. The marine and Fresh-Waters Plankton. Associate Profesor of
Biology Westen Reserve University. Michigan (US): Michigan State
University Press.
Dugdale RC, Wilkerson FP, Hogue VE, Marchi A. 2007. The role of ammonium
and nitrate in spring bloom development in San Francisco Bay. Estuarine,
Coastal and Shelf Science. 73: 17-29.
[ESA] Ecological Society of America. 2000. Nutrient Pollution of Coastal Rivers,
Bays, and Seas. Issues in Ecology. New York (US). United States of
America.
Giovanardi F, Vollenweider RA. 2004. Trophic conditions of marine coastal
waters: experience in applying the Trophic Index TRIX to two areas of the
Adriatic and Tyrrhenian seas. J Limnol. 63(2): 199-218.
Jerling H. 2003. The zooplankton community of the Mhlathuze (Richard Bay)
estuary : two decades after construction of the harbour. African Journal Of
Marine Science. (1):289-299.
Liu SM, Hong GH, Zhang J, Ye XW, Jiang XL. 2009. Nutrient budgets for large
Chinese estuaries. Biogeosciences, 6:2245-2263.
Llebot C, Sole J, Delgado M, Tejedor MF, Camp J, Estrada M. 2011.
Hydrographical forcing and phytoplankton variability in two semi-
enclosed estuarine bays. Journal of Marine Systems 86: 69–86.
Mackentum KM. 1969. The Practice of Water Pollution Biology. United State
Departemen of The Interior (US): Federal Water Pollution Controll
Administration. Devision of The Technikal Support.
Marinho MM, Rodrigues SV. 2003. Phytoplankton of an eutrophic tropical
reservoir: comparison of biomass estimated from counts with chlorophyll-
a biomass from HPLC measurements. Hydrobiologia. 505:77-88
McConnaughey BH. 1974. Introduction to Marine Biology. London (GB). The
CV Mosby Company St. Louis.
32

Meybeck M, Friedrich G, Thomas R, and Chapma D. 1992. Water Quality


Assessments - A Guide to Use of Biota, Sediments and Water in
Environmental Monitoring - Second Edition Edited by Deborah Chapman.
Paris (FR). UNESCO.
Michael N. 2005. A method to determine which nutrient is limiting for plant
growth in estuarine waters at any salinity. Marine Pollution Bulletin.
50(9): 945–955.
Miller CJ, Roelke DL, Davis SE, Li HP, Gable G. 2008. The role of inflow
magnitude and frequency on plankton communities from the Guadalupe
Estuary. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 80(2): 67–73.
[MNLH] Menteri Negara Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004. Tentang Baku
Mutu Air Laut. Jakarta (ID). MNLH.
Moodley L, Heip C H R, Middelburg J. 2001. Benthic activity in sediments of the
northwestern Adriatic Sea: sediment oxygen consumption, macro- and
meiofauna dynamics. Journal of Sea Research 40: 263-280.
Nasrollahzadeh HS, Din ZB, Foong SY, Makhlough A. 2008. Trophic status of
the Iranian Caspian Sea based on water quality parameters and
phytoplankton diversity. Continental Shelf Research. 28: 1153– 1165.
Newton A, Icely JD, Falcao M, Nobre A, Nunes JP, Ferreira JG, Vale C. 2003.
Evaluation of eutrophication in the Ria Formosa coastal lagoon, Portugal.
Continental Shelf Research. 23: 1945–1961.
Ounissi M, Ziouch OR, Aounallah O. 2014. Variability of the dissolved nutrient
(N, P, Si) concentrations in the Bay of Annaba in relation to the inputs of
the Seybouse and Mafragh estuaries. Marine Pollution Bulletin. 80: 234-
244.
Rice E, Stewart G. 2013. Analysis of interdecadal trends in chlorophyll and
temperature in the Central Basin of Long Island Sound. Estuarine, Coastal
and Shelf Science. 128: 64-75.
Richardson A. 2008. In hot water: zooplankton and climate change. ICES Journal
of Marine Science 65: 279-295.
Salmin. 2005. Oksigen terlarut (DO) dan kebutuhan oksigen biologi (BOD)
sebagai salah satu indikator untuk menentukan kualitas perairan. Oseana
Jurnal. 30(3): 21–26.
Sattar MA, Kroeze C, Strokal M. 2014. The increasing impact of food production
on nutrient export by rivers to the Bay of Bengal 1970–2050. Marine
Pollution Bulletin. 80: 168–178.
Smith DB. 1977. A Guide To Marine Coastal Plankton and Marine Invertebratae
Larvae. California.(US). Departemen of Biology West Valley Comunity
College Saratoga.
Somoue L, Elkhiati N, Ramdani M, Hoai TL, Ettahiri O, Berraho A, Chi TD.
2005. Abundance and structure of copepod communities along the Atlantic
coast of southern Morocco. Acta Adriat. 46(1): 63–76.
Sugimoto R, Kasai A, Yamao S, Fujiwara T, Kimura T. 2004. Variation in
particulate organic matter accompanying changes of river discharge in Ise
Bay. Bulletin of the Japanese Society of Fisheries Oceanography. 68(3):
142–150.
Sumich JL. 1992. An introduction to the biology of marine life. the United States
of America (US): W.C. Brown Publishers.
33

Svedrup H, Johnson, Fleming R H. 1960. Their Physic, Chemistry and General


Biology. New York (US): Prentice Hall.
Tantanasarit C, Englande AJ, Babel S. 2013. Nitrogen, phosphorus and silicon
uptake kinetics by marine diatom Chaetoceros calcitrans under high
nutrient concentrations. Journal of Experimental Marine Biology and
Ecology. 446: 67–75.
Tafangenyasha, C. and Dzinomwa T. 2005. Land-use Impacts on River Water
Quality in Lowveld Sand River Systems in South-East Zimbabwe. Land
Use and Water Resources Research 5 : 3.1-3.10.
Turner JT, Tester PA, Lincoln JA, Carlsson P, Graneli E.1999. Effects of N:P:Si
ratios and zooplankton grazing on phytoplankton communities in the
northern Adreatic Sea. III. Zooplankton populations and Grazing. Journal
Aquatic Microbial Ecology. 8: 67-75.
Xu J, Yin K, Liu H , Lee JHW, Anderson DM, Ho AYT, Harrison PJ. 2010. A
Comparison of Eutrophication impacts in two Harbours in Hong Kong
with different Hydrodynamics. Journal of Marine Systems 83: 276–286.
Yang CS, Kao SP, Lee FB, Hung PS. 2013. Twelve Different Interpolation
Methods: A Case Study of Surfer 8,0. Proceedings of the XXth ISPRS
Congress. Vol. 35: Chicago (US): National Chung Hsing University. hlm
1-8.
Yuliana A, Enan MA, Enang H, Niken TMP. 2012. Hubungan antara kelimpahan
fitoplankton dan parameter fisik-kimiawi perairan di Teluk Jakarta. Jurnal
Akuatika 3(2): 169-179.
Zhang L, Wang Lu, Yin K, Lü Y, Zhang D, Yang Y, Huang X.. 2013. Pore water
nutrient characteristics and the fluxes across the sediment in the Pearl
River estuary and adjacent waters, China. Estuarine, Coastal and Shelf
Science. 133: 182 – 192.
34

Lampiran
Lampiran 1
Rata-rata kelimpahan fitoplankton (sel/m3), data di peroleh dari Damar et al. 2013, dan zooplankton* (Ind/m3) per stasiun, merupakan data primer.
Kelimpahan Fitoplankton
Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8
Sampling I 15.144.960.000 8.853.475.556 7.616.657.781 2.632.066.667 5.073.376.000 3.195.808.000 4.801.536.000 28.114.986.668
Sampling II 20.565.335 1.015.526.400 5.071.475.890 130.666.667 436.138.667 696.981.333 2.860.356.265 1.298.348.798
Sampling III 1.121.433.603 2.415.167.998 1.373.100.799 612.019.200 451.470.932 2.414.801.069 235.822.934 724.616.532
Sampling IV 237.030.400 3.463.936.001 720.588.800 926.208.000 2.864.298.667 2.386.713.600 1.066.538.667 482.815.997
Rata-rata 4.130.997.335 3.937.026.489 3.695.455.818 1.075.240.134 2.206.321.067 2.173.576.001 2.241.063.467 7.655.191.999

Lanjutan
Stasiun 9 10 11 12 13 14 15
Sampling I 456.576.000 51.359.715.556 608.733.334 24.426.666.667 80.608.000 757.799.999 1.270.004.444
Sampling II 1.186.099.200 2.359.790.932 9.885.017.602 1.109.171.200 1.053.434.664 3.835.473.066 3.264.704.001
Sampling III 1.199.653.867 2.061.047.466 658.747.733 2.484.881.068 651.541.333 378.156.800 13.097.881.599
Sampling IV 1.195.315.200 9.792.494.934 761.535.997 958.310.400 528.117.332 323.157.332 109.324.801
Rata-rata 1.009.411.067 16.393.262.222 2.978.508.667 7.244.757.334 578.425.332 1.323.646.799 4.435.478.711

Kelimpahan Zooplankton*
Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Sampling I 68504 264829 61988 110275 501255 6132 149124 560,15 644359 921053 42506 702589 58479 62657 609021
Sampling II 12030 65162 632986 19650 1604 218044 79951 37213 558895 16616543 371729 457143 28872 22857 994887
Sampling III 102757 260152 461954 61354 69174 43208 198949 336844 790225 1683610 3318798 1109776 33685 203008 942355
Sampling IV 51578 535338 140153 25966 59495 415211 233784 986897 363909 1478698 175537 401005 46618 24561 73784
Rata-rata 58717 281370 324270 54311 157882 170649 165452 340379 589347 5174976 977143 667628 41914 78271 655012
Lampiran 2

Nilai korelasi (parameter fisika-kimia dan biologi) antar faktor dan stasiun di perairan Teluk
Jakarta.

1. Korelasi antar faktor


F1 F2
BOD 0,7914 0,1238
kecerahan 0,5041 0,2899
suhu 0,6094 0,1637
salinitas 0,9647 0,0084
pH 0,9576 0,0063
DO 0,8418 0,0814
Ammonium 0,8945 0,0054
Nitrat 0,3792 0,0035
Nitrit 0,2093 0,2993
Silikat 0,4178 0,0451
Ortofosfat 0,9387 0,0173
DIN 0,9046 0,0034
Klorofil-a 0,0387 0,8480
Fitoplankton 0,1629 0,6100
Zooplankton 0,0740 0,7579

2. Korelasi antar stasiun


F1 F2
Stasiun 1 0,4979 0,3910
Stasiun 2 0,5489 0,1770
Stasiun 3 0,3984 0,0040
Stasiun 4 0,4231 0,3498
Stasiun 5 0,6551 0,2881
Stasiun 6 0,7528 0,0852
Stasiun 7 0,4608 0,2505
Stasiun 8 0,8384 0,0054
Stasiun 9 0,0001 0,0772
Stasiun 10 0,1832 0,7352
Stasiun 11 0,7230 0,0002
Stasiun 12 0,7580 0,0008
Stasiun 13 0,8617 0,0124
Stasiun 14 0,8890 0,0011
Stasiun 15 0,1342 0,3535
Lampiran III.
BAKU MUTU AIR LAUT Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
UNTUK BIOTA LAUT Nomor: Tahun 2004

No. Parameter Satuan Baku mutu

FISIKA
1. Kecerahana m coral: >5
mangrove: -
lamun: >3
2. Kebauan - alami 3
3. Kekeruhana NTU <5
4. Padatan tersuspensi totalb mg/l coral: 20
mangrove: 80
lamun: 20
5. Sampah - nihil 1(4)
6. Suhuc o
C alami 3( c)
coral: 28-30( c)
mangrove: 28-32 ( c)
lamun: 28-30( c)
7. Lapisan minyak 5 - nihil 1(5)

KIMIA
1. pHd - 7 - 8,5( d)
2. Salinitase %o alami 3( e)
coral: 33-34( e)
mangrove: s/d 34 ( e)
lamun: 33-34( e)
3. Oksigen terlarut (DO) mg/l >5
4. BOD5 mg/l 20
5 Ammonia total (NH 3-N) mg/l 0,3
6. Fosfat (PO4-P) mg/l 0,015
7. Nitrat (NO3-N) mg/l 0,008
-
8. Sianida (CN ) mg/l 0,5
9. Sulfida (H 2S) mg/l 0,01
10. PAH (Poliaromatik hidrokarbon) mg/l 0,003
11. Senyawa Fenol total mg/l 0,002
12. PCB total (poliklor bifenil) µg/l 0,01
13. Surfaktan (deterjen) mg/l MBAS 1
14 Minyak & lemak mg/l 1
15. Pestisidaf µg/l 0,01
7
16. TBT (tributil tin) µg/l 0,01

Logam terlarut:
17. Raksa (Hg) mg/l 0,001
18. Kromium heksavalen (Cr(VI)) mg/l 0,005
19. Arsen (As) mg/l 0,012
No. Parameter Satuan Baku mutu
20. Kadmium (Cd) mg/l 0,001
21. Tembaga (Cu) mg/l 0,008
22. Timbal (Pb) mg/l 0,008
23. Seng (Zn) mg/l 0,05
24. Nikel (Ni) mg/l 0,05

BIOLOGI
1. Coliform (total) g MPN/100 ml 1000( g)
2. Patogen sel/100 ml nihil 1
3. Plankton sel/100 ml tidak bloom 6

RADIO NUKLIDA
1. Komposisi yang tidak diketahui Bq/l 4

Catatan:
1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan)
2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional
maupun nasional.
3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim).
4. Pengamatan oleh manusia (visual ).
5. Pengamatan oleh manusia (visual ). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer ) dengan
ketebalan 0,01mm
6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat menyebabkan eutrofikasi.
Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan
kestabilan plankton itu sendiri.
7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal
a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic
b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman
c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami
d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH
e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman
f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor
g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.
<10% perubahan euphotic depth

<10% perubahan konsentrasi rata2 musiman

<0,2 satuan perubahan pH

>6 (>80-90% kejenuhan)

0.002
0.05
Pestisida (acrolein) = 0.0002

0.001
0.05
0.05
0.002
0.005
0.005
0.015
Lampiran 4, kelimpahan kelas fitoplankton di masing-masing stasiun pada empat
kali pengambilan sampel, di peroleh dari Damar et al. 2013.

Pengambilan Sampel Tahap I

60000
Kelimpahan Kelas Fitoplankton (x106)

50000

40000
Cyanophyceae
30000 Euglenophyceae
Pengambilan Sampel Tahap II
Chlorophyceae
20000
Baccilariophyceae
Dinophyceae
10000

0
1 4 7 2 5 8 3 6 9 10 11 12 13 14 15
Stasiun

Pengambilan Sampel Tahap II

12000
Kelimpahan Kelas Fitoplankton sel/m3(x106)

10000

8000
Cyanophyceae
6000 Euglenophyceae
Chlorophyceae
4000
Baccilariophyceae
Dinophyceae
2000

0
1 4 7 2 5 8 3 6 9 10 11 12 13 14 15
Stasiun
Lanjutan Lampiran 4

Pengambilan Sampel Tahap III

12000
Kelimpahan Kelas Fitoplankton sel/m3(x106)

10000

8000
Cyanophyceae
6000 Euglenophyceae
Chlorophyceae
4000
Baccilariophyceae

2000 Dinophyceae

0
1 4 7 2 5 8 3 6 9 10 11 12 13 14 15
Stasiun

Pengambilan Sampel Tahap IV

12000
Kelimpahan Kelas Fitoplankton sel/m3(x106)

10000

8000 Cyanophyceae
Euglenophyceae
6000
Chlorophyceae
4000 Baccilariophyceae
Dinophyceae
2000

0
1 4 7 2 5 8 3 6 9 10 11 12 13 14 15
Stasiun
Lampiran 5, kelimpahan kelas zooplankton di masing-masing stasiun pada empat
kali pengambilan sampel.

Pengambilan sampel tahap I

60.000

50.000
Zooplankton (ind/m3)
Kelimpahan kelas

40.000
Cyanophyceae
30.000 Euglenophyceae
Chlorophceae
20.000
Bacillariophcae
10.000 Dinophyceae
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Stasiun

Pengambilan Sampel Tahap II

12.000,00

10.000,00
Zooplankton (ind/m3)
Kelimpahan kelas

8.000,00
Cyanophyceae
6.000,00 Euglenophyceae
Chlorophceae
4.000,00
Bacillariophcae
2.000,00 Dinophyceae

0,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Stasiun
Lanjutan lampiran 5

Pengambilan sampel tahap III

14.000,00

12.000,00
Zooplankton (ind/m3)

10.000,00
Kelimpahan kelas

Pengambilan sampel tahap I Cyanophyceae


8.000,00
Euglenophyceae
6.000,00
Chlorophceae
4.000,00 Bacillariophcae
2.000,00 Dinophyceae
0,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Stasiun

Pengambilan sampel tahap IV

12.000,00

10.000,00
Zooplankton (ind/m3)
Kelimpahan kelas

8.000,00
Cyanophyceae
6.000,00 Euglenophyceae
Chlorophceae
4.000,00
Bacillariophcae
2.000,00 Dinophyceae

0,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Stasiun
RIWAYAT HIDUP
Masykhur Abdul Kadir, lahir di Ternate Propinsi Maluku Utara pada
tanggal 14 September 1977 merupakan anak ke-8 dari 7 bersaudara dari
pasangan (Almarhum) Sadik Abdul Kadir dan Sitti Hamzah. Penulis
menempuh pendidikan formal Strata Satu (S1) pada tahun 1998 di Fakultas
Pertanian Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Universitas
Khairun Ternate. Selama penulis kuliah banyak kegiatan eksternal yang di
ikuti diantaranya sebagai salah satu tenaga pendamping dan penyusunan
dokumen AMDAL reklamasi pantai Kota Ternate pada tahun 1999-2000
kerja sama pemerintah Kota Ternate dengan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) elSal, begitu pula sebagai staf penyusun dokumen
barang dan jasa pada Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Daerah (LPJKD) Kota Ternate
pada tahun 2000-2001. Penulis memperoleh gelar Sarjana Pertanian (S.P) pada tahun 2001,
kemudian pada tahun 2004 penulis diangkat sebagai tenaga honorer di Balai Penyuluh Pertanian
(BIPP) Kota Ternate. Tahun 2008 penulis diangkat sebagai tenaga pengajar di Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Khairun Ternate (UNKHAIR) pada Program Studi
Manajemen Sumber Daya Perairan sampai sekarang, dengan mengasuh Mata Kuliah Biologi
Laut, Ekologi Perairan, Pengantar Ilmu Perikanan dan Tumbuhan Air. Pada tahun 2011 penulis
melanjutkan studi ke jenjang Strata Dua (S2) di Institut Pertanian Bogor, Mayor Pengelolaan
Sumber Daya Perairan (SDP), dengan menggunakan beasiswa Ditjen Dikti. Sedangkan
penelitian yang dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
(M.Si), pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan dengan judul” Hubungan Antara
Unsur Hara Dengan Fitoplankton dan Zooplankton di perairan Teluk Jakarta” dibawah
bimbingan Dr. Ir. Ario Damar, M.Si dan Dr. Majariana Krisanti S.Pi M.Si.

Anda mungkin juga menyukai