Anda di halaman 1dari 10

Judul jurnal : Jurnal Penelitian Perikanan lndonesia

Judul : Observasi Biota Penghasil Biotoksin Dan Kualitas Air di Perairan Banjarmasin

Volume : Volume 11 Nomor 8

Tahun : 2005

Penulis : Jovita Tri Murtini dan Nugroho Aji

Latar Belakang

Biotoksin adalah racun yang terdapat pada biota atau makhluk hidup. Biotoksin yang terdapat
pada biota laut dikenal sebagai biotoksin laut (marine biotoxin). Biotoksin laut ini menyebabkan
sejumlah penyakit bawaan pangan yang berasal dari produk perikanan. organisme yang menjadi
sumber dan memproduksi sebagian besar biotoksin adalah spesies alga laut mikro tertentu
(kecuali tetrodotoxin, racun yang dihasilkan oleh ikan buntal). Keracunan biotoksin akibat
makan ikan belum banyak dilaporkan di Indonesia, tetapi di Amerika Serikat dikatakan bahwa
keracunan makan ikan yang disebabkan
oleh biotoksin ciguatera adalah sekitar 31% (Bryan, 1987). Di Kalimantan Timurdilaporkan
terjadi keracunan setelah makan kerang kepah (Meristrix meristrix).

Tujuan :
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui jenis dan kelimpahan plankton terutama penghasil
biotoksin di perairan Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Metode Penelitian :
Dalam penelitian ini, observasi diambil dari 9 stasiun. 3 stasiun di perairan laut sejauh 1 mil dari
garis pantai, 3 stasiun sejauh 2 mil dan 3 stasiun lain sejauh 3 mil dari garis pantai. Jarak antar
stasiun adalah 1 mil. Contoh yang diambil adalah air laut (menggunakan alat water sampler,
plankton (Menggunakan alat plankton net) dan kerang kepah (Menstix meristix) yang ditangkap
oleh nelayan setempat.
Parameter yang diamati adalah suhu dan oksigen terlarut (DO) menggunakan DO meter dan pH
menggunakan pH meter. Analisis unsur hara air laut meliputi nitrat, nitrit, fosfat, amonia dan
sulfur (menggunakan alat kolori meter), sedangkan analisis saksitoksin menggunakan HPLC
(Kirschbaum ef a/.1993)

Hasil Penelitian
Tabel 1. Stasiun lokasi pengambilan contoh di perairan Banjarmasin

Air laut yang diambil pada bulan Juni pada jarak 1 dan 2 mil sangat terpengaruh oleh air
sungai sehingga salinitasnya cukup rendah. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh
bertiupnya angin darat, tetiapi pada jarak 3 mil salinitiasnya cukup tinggi yakni sekitar 27-36 ppt.
Sebaliknya pada pengambilan contoh bulan Agustus pengaruh sungai terjadi sampai jarak 1 mil,
hal ini kemungkinan disebabkan karena bertiupnya angin tenggara yang juga mengakibatkan air
sumber
penduduk di sekitar aliran sungai menjadi asin dan tidakdapat digunakan sebagai air minum.
Pada bulan Oktober salinitas air laut kembali menurun, karena pengaruh air hujan. Nilai pH air
laut pada bulan Juni dan Oktober pada jarak 1 dan 2 mil di bawah 8,0, sedangkan yang berjarak 3
mil sudah melebihi 8,0. Kelarutan oksigen cukup bagus.
Tabel 2. Kondisi fisik air laut di perairan Banjarmasin

Kesimpulan
Hasil analisis kandungan saksitosin disajikan pada Tabel 3. Kandungan saksitoksin pada kerang
kepah yang dianalisis dengan menggunakan HPLC ternyata masih cukup rendah yaitu sekitar
1,43-3,32 ppb. Hal ini kemungkinan berasal dari plankton Dinophysis dan Protoperidinium, yang
termakan oleh kerang. Batas kandungan maksimal saksitoksin yang diperbolehkan adalah 80
mg/kg (Setiapermana, 1992).

Tabel 3. Kandungan saksitoksin pada kenang kepah (Meritrix meitrix) dari perairan Banjarmasin
Plankton yang kemungkinan mengandung saksitoksin adalah jenis dinoflagellata Dinophysis dan
Protoperidinium, dan ditemukan tidak pada semua stasiun yang diambil contohnya.
Kelimpahannya masih relatif rendah yaitu kurang dari 1x1ffsel/m3. Kandungan saksitoksin pada
kerang yang hidup di perairan tersebut masih sangat rendah di bawah ambang batas, sehingga
masih aman untuk dikonsumsi.
Judul jurnal : ILMU KELAUTAN

Judul : Akumulasi dan Depurasi Toksin PSP (Paralytic Shellfish Poisoning) oleh Kerang Hijau

Volume : Vol 19(1):27–34

Tahun : 2014

Penulis : Haryoto Kusnoputranto, Setyo S. Moersidik, Djarot S. Wisnubroto dan Murdahayu


Makmur

Latar Belakang
Perairan pantai Teluk Jakarta mempunyai peranan besar, dimana berbagai sektor
memanfaatkan wilayah ini, antara lain industri, perhubungan, perdagangan, perikanan dan
pariwisata dan juga berfungsi sebagai penampung limbah dari darat (BPLHD, 2011). Misalnya,
dilaporkan adanya kandungan PAH yang melebihi ambang batas (Ahmad, 2012). Sebagai
sumber perikanan, Teluk Jakarta berbenturan secara fungsi dengan tempat tampungan limbah,
sehingga hasil perikanan terutama kerang rentan akan risiko toksik baik dari bahan kimia
maupun dari toksin mikroalga. Toksik mikroalga dihasilkan dari tingginya pertumbuhan
mikroalga di Teluk Jakarta yang dipicu oleh tingginya asupan limbah organik dari darat.
Toksin PSP masuk dalam rantai makanan melalui filter feeder dan bentik, yang kemudian
berpindah ke predator dan meneruskan kepada top predator seperti mamalia laut, burung laut
termasuk manusia (Lage, 2010). Sebagai salah satu filter feeder (Suryono, 2006), kerang hijau
(Perna viridis) banyak dibudidayakan di Teluk Jakarta, temasuk di Cilincing dan mempunyai
kemampuan tumbuh sangat cepat karena suburnya perairan. Resiko terakumulasinya toksin
mikroalga pada kerang sangat tinggi dan berpotensi berpindah ke manusia yang
mengkonsumsinya (Dinas Nakala, 2006). Usaha depurasi toksin dalam kerang termasuk PSP
merupakan salah satu upaya untuk menghindari dampak tersebut
Meode Penelitian
Studi akumulasi dilakukan di bagan kerang hijau perairan Cilincing Jakarta Utara, dengan
memisahkan kerang hijau yang berukuran sama dan ditempatkan kembali ke bagan. Sampling dilakukan
setiap minggu selama 2 bulan dan diukur juga kelimpahan fitoplankton, pH, suhu dan salinitas perairan.
Hasil penelitian
Akumulasi toksin PSP oleh Kerang Hijau Suhu air permukaan waktu pengambilan sampel kerang
hijau berkisar antara 30,44-32.90 oC, pH air permukaan berkisar antara 7,10-8,34 dan salinitas bervariasi
antara 28-30‰ (Tabel 1). Dibandingkan baku mutu air laut, pH air laut masih dalam rentang baku mutu,
sedangkan Suhu air laut ada nilai yang jauh diatas baku mutu. Hal ini karena waktu pengambilan sampel
yang dilakukan pada saat siang dengan cuaca panas. Sedangkan salinitas yang terukur rerata dibawah
baku mutu.

Kelimpahan mikroalga yang ada di perairan Teluk Jakarta, pada umumnya didominasi oleh
Diatom dan kelimpahan Dinoflagelata di perairan Cilincing berkisar dari 0,04-8,53% selama 5 tahun Tingginya
kelimpahan Diatom serta rendahnya kelimpahan Dinoflagelata mencirikan perairan yang kaya nutrien
(Hodgkiss dan Lu, 2004).
Walaupun kelimpahan Dinoflagelata rendah di Teluk Jakarta (Tabel 2), biota laut di perairan tetap
berkemungkinan mengandung toksin dari mikroalga Dinoflagelata, karena kemampuan akumulasi biota
seperti kerang hijau yang mampu mengakumulasi toksin dalam jangka waktu yang lama (Hamasaki et al.,
2003). Tentu saja perlu diwaspadai karena kerang hijau sebagai produk perikanan yang banyak
dibudidayakan di Teluk Jakarta bersifat filter feeder, atau menyaring makanan dan berpotensi
menyebabkan keracunan pada konsumen kerang hijau tersebut.
Konsentrasi saksitoksin dalam daging kerang berhubungan erat dengan kelimpahan
Dinoflagelata penghasil saksitoksin (Hamasaki et al., 2003). Hasil penelitian menunjukkan tidak
satupun Dinoflagelata penghasil saksitoksin ditemukan walaupun terdapat saksitoksin pada
kerang hijau yang disampling. Namun beberapa penelitian di Teluk Jakarta melaporkan adanya
Pyrodinium bahamense var. Compressum (PbC) dan penghasil saksitoksin lainnya seperti
Gonyaulax sp. (Wiadnyana dan Praseno, 1997), alga PbC (Praseno dan Wiadnyana, 1996),
Gymnodium sp. (Siregar, 2002). Gonyaulax sp. dan Gymnodium sp. Juga ditemukan pada
sampling bulan Mei 2001, sedangkan hasil analisis saksitoksin dalam kerang hijau pada saat
bersamaan terdeteksi sebesar 2,1– 2,3 µg STX eq. 100 g-1 daging kerang (Mulyasari et al.,
2003). Data pengamatan series selama lima tahun juga menunjukkan adanya alga kelas
Dinoflagelata (BPLHD, 2011).

Kesimpulan
Akumulasi toksin PSP oleh kerang hijau (Perna viridis) di kawasan budidaya kerang
hijau Cilincing (Januari–Pebruari 2011) berada dalam rentang 4,11–11,96 µg STX eq. 100g-1
dan tidak terdapat hubungan antara kelimpahan Dinoflagelata dengan konsentrasi saksitoksin
pada kerang hijau. Hal ini disebabkan karena uji akumulasi tidak dilakukan pada saat blooming
mikroalga. Uji depurasi saksitoksin dari kerang hijau selama 24 jam menurunkan konsentrasi
saksitoksin sebanyak 60%. Mekanisme depurasi seperti ini dapat digunakan sebagai sistem
pemutus rantai toksin dari mikroalga ke manusia khususnya saksitoksin pada kerang hijau.
Judul jurnal : JPB Perikanan

Judul : DETERMINASI KONSENTRASI SAKSITOKSIN PADA KERANG HIJAU


DARI PASAR DI SEKITAR TELUK JAKARTA SERTA BAGAN DI TELUK LAMPUNG
DAN TELUK PANIMBANG

Volume : Vol. 8 No. 2 Tahun 2013: 115–123

Tahun : 2013

Penulis : Haryoto Kusnoputranto, Setyo S. Moersidik, Djarot S. Wisnubroto dan Murdahayu


Makmur

Laar Belakang
Pada umumnya, toksin yang dihasilkan oleh alga terbagi dalam lima grup berdasarkan gejala
yang dihasilkan, yaitu Paralytic Shellfish Poisoning (PSP), Diarhetic Shellfish Poisoning (DSP),
Amnesic Shellfish Poisoning (ASP), Ciguatera Shellfish Poisoning (CSP) dan Neurotoxic
Shellfish Poisoning (NSP) (FAO), 2004). Toksin PSP, yang dikenal dengan nama saksitoksin
(STX) dihasilkan oleh alga toksik seperti Alexandrium tamarense, Pyrodinium bahamense var
Compressum (PbC), Gymnodinium catenatum dan beberapa dinoflagelata lain (Dam et al.,
2009). Perpindahan dan penyebaran alga toksik di perairan biasanya melalui arus laut dan air
ballast kapal. Penyebaran alga toksik di Indonesia bagian timur diperkirakan karena arus laut,
sedangkan di Teluk Jakarta dan Teluk Lampung yang mempunyai aktifitas pelayaran yang
tinggi, diasumsikan berasal dari dari air ballast kapal yang masuk ke pelabuhan.
Tujuan
Tujuan untuk meneliti konsentrasi saksitoksin pada kerang hijau yang di jual di pasar dan
di habitat tempat hidupnya.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan pengumpulan sampel dan preparasi
Hasil Penelitian
Sampel kerang hijau yang diambil dari Teluk Panimbang-Banten digunakan sebagai
pembanding,
karena Teluk Panimbang merupakan perairan yang relatif bersih dan tidak banyak mengandung
limbah (Panggabean, 2009). Pada waktu pengambilan sampel Panimbang, tidak ditemukan
kerang hijau yang dijual di pasar karena memang tidak sedang musim panen sehingga sampel
diambil dari bagan kerang hijau milik Unit Sanitasi Kekerangan yang berada persis di laut depan
unit sanitasi. Hal ini berbeda dengan pengambilan sampel di Cilincing dan Dadap yang
dilakukan di pasar, karena budidaya kerang di kedua tempat tersebut mempunyai masa panen
yang panjang dan hampir setiap waktu.
Sampel Teluk Lampung diambil berdasarkan hasil penelitian Widiarti (2004) tentang ditemukan
alga PbC
di Teluk Lampung dengan kelimpahan yang tinggi. Keberadaan Pyrodinium di perairan Teluk
Lampung
pertama kali diketahui pada tahun 1999, di Desa Hanura. Pada saat ditemukan, terdapat 8,9x104
sel
dalam tiap liter air laut. Jumlah tersebut meningkat lebih dari 2 kali lipat menjadi 2,3x109 sel per
liter air
laut.
Kandungan Saksitoksin dalam Sampel Kerang Hijau
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa konsentrasi saksitoksin berkisar dari 4,928 μg
STXeq. per 100 g daging kerang (sampel Muara Karang) sampai dengan 17,3378 μg STXeq. per
100 g daging kerang (pada sampel Cilincing 1). Dari data hasil analisis, ditemukan bahwa
konsentrasi saksitoksin pada kerang hijau masih di bawah tingkat toleransi saksitoksin yang
ditetapkan. Indonesia menetapkan konsentrasi 80 μg STXeq. per 100 g, yang diatur pada SNI
3460.1:2009 tentang daging kerang beku (BSN, 2009). Dengan terpenuhinya persyaratan mutu
tersebut, maka diharapkan masyarakat yang mengkonsumsi produk kekerangan dapat terhindar
dari resiko gangguan Kesehatan.
Sampel dari Teluk Lampung yang diperkirakan mempunyai konsentrasi STX lebih tinggi,
karena tingginya kelimpahan alga PbC di Teluk Lampung (Widiarti, 2004), ternyata
mengandung toksin yang tidak terlalu tinggi dan hampir sama dengan sampel dari Teluk
Panimbang, Dadap 1 dan Cilincing 3 yaitu pada kisaran 6,3–7,7 μg STXeq. per 100 g.

KESIMPULAN
Konsentrasi saksitoksin pada kerang hijau di Pasar Cilincing, Pasar Muara Karang dan
Pasar Dadap serta Teluk Lampung dan Teluk Panimbang berkisar antara 4,928-17,3378 µg
STXeq. per 100 g daging kerang dan masih di bawah ambang yang dipersyaratkan yaitu 80 µg
STXeq. per 100 g. Konsentrasi saksitoksin pada kerang hijau ini dapat digunakan sebagai
critical point dalam melindungi kesehatan masyarakat dari kerentanan jejaring makanan dan
sebagai dasar informasi untuk kajian risiko toksin alga terutama saksitoksin dalam manajemen
dan komunikasi risiko kepada masyarakat terutama untuk konsumen kerang.

Anda mungkin juga menyukai