Anda di halaman 1dari 25

REVIEW JURNAL PRODUKTIFITAS PERIKANAN

PRODUKTIFITAS PRIMER

Disusun Oleh:
Kelompok 1 / Perikanan C
Alvis Diandra Putra 230110180125
Reggieta Aulia Dwi Oktaviani 230110180131
Siti Zahra Riandi 230110180133
Mohammad Badai Putra Surahman 230110180162
Ocsasena Pratama 230110180167

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JATINANGOR
2020
Jurnal 1 Internasional:
Judul Abundance of Phytoplankton In The Coastal Waters of South
Sumatera
Jurnal Ilmu Kelautan
Volume, Nomor 22(1): 31-39
dan Halaman
Tahun 2017
ISSN 0853-7291
Penulis Riris Aryawati, Dietriech G. Bengen, Tri Prartono, and
Hilda Zulkifli

Abstrak
Fitoplankton memiliki peran penting dalam pembentukan basis rantai
makanan yang bertanggung jawab dalam produksi primer, kelimpahan dan jumlah
spesies fitoplankton dapat mempengaruhi tingkat kesuburan air secara tidak
lansung. Penelitian bertujuan untuk mengetahui keberaadaan fitoplankton sebagai
bioindikator kualitas perairan yang ditinjau dari kelimpahan, indeks
keanekaragaman, indeks keseragaman, dan koefisien saprobik di perairan
Sumatera Selatan. Penelitian dilakukan di sepuluh stasiun saat air pasang dan
surut dengan pengambilan sampel fioplankton secara vertical menggunakan jaring
plankton yang berbentuk kerucut dengan diameter 30 cm, panjang 100 cm, dan
ukuran mata jaring 30 μm.
Hasil penelitian menemukan 41 genera fitoplankton yang terdiri dari famili
Bacillariophyceae (26 genera), Dinophyceae (7 genera) Cyanophyceae (7 genera)
dan Chlorophyceae (1 genus). Jumlah genera tertinggi tercatat pada saat pasang
surut pada bulan November (24 genera), dan terendah pada bulan Mei saat pasang
tinggi (16 genera). Kelimpahan fitoplankton tertinggi tercatat pada bulan Agustus
saat pasang tinggi (2,68 x 107 sel.m-3), dan terendah pada bulan Mei saat air
pasang (6,59 x 105 sel.m-3). Indeks keanekaragaman (H'), indeks keseragaman (E),
dan indeks dominansi (D) berkisar antara 0,64–3, 0,15–0,71, dan 0,15–0,83
Pendahuluan
Pada daerah pesisir Sumatera Selatan sumber air berasal dari sungai Musi
dan Banyuasin serta sungai kecil lainnya yang dimanfaatkan untuk kegiatan
rumah tangga, industri, transportasi, budidaya, penangkapan ikan, dan lainnya.
Kegiatan tersebut akan menghasilkan limbah yang akan mempengaruhi organisme
pada perairan, salah satunya fitoplankton. Fitoplankton merupakan salah satu
produsen pada perairan yang dapat digunakan sebagai bioindikator untuk kualitas
air. Fitoplankton dapat dijadikan bioindikator dikarenakan habitat, mobilitas, dan
mendiami suatu perairan dengan waktu yang relatif lama. Penyebaran kelimpahan
dan keanegaraan fitoplankton dapat menunjukan perubahan kualitas air yang
dipengaruhi oleh meningkatnya aktivitas pada perairan pesisir. Oleh karena itu,
jurnal ini bertujuan meneliti kelimpahan musiman dan keragamaan fitoplankton
serta mengevaluasi kualitas perairan pesisir Sumatera Selatan.
Bahan dan Metode
Pengambilan sampel di perairan Banyuasin pada 10 stasiun saat air pasang
dan surut. Pengambilan sampel dilakukan secara vertikal dari kedalaman 2 meter
ke permukaan air. Alat yang digunakan jaring plankton dengan ukuran mata jaring
30 μm, diameter mulut jaring 30 cm, dan panjang jaring 100 cm, ember, botol
sampel 250 mL, dan bahan pengawet 4% formaldehida.
Menganalisis data kelimpahan fitoplankton menggunakan formula APHA
dab analisis keragaman fitoplankton menggunakan persamaan Shannon dan
Weaver. Pada penelitian ini terdapat indeks keragaman yang menunjukan
banyaknya variasi gen atau spesies dalam suatu perairan, indeks keseragaman
untuk menentukan pola sebaran biota, indeks dominasi untuk mengetahui
dominasi spesies tertentu.
Hasil dan Pembahasan
1. Spesies dan Kelimpahan Fitoplankton
Mengamati komposisi spesies dapat menggambarkan keanekaragaman atau
jumlah spesies dalam suatu komunitas dan dapat digunakan untuk menganalisis
lingkungan perairan tersebut. Komposisi genus pada perairan Banyuasin di
dominasi oleh 26 genera kelompok diatom, 7 genera Dinophyceae, 7 genera
Cyanophyceae, dan 1 genus Chlorophyceae. Pada saat pasang surut lebih
didominasi oleh kelompok Bacillariophyceae karena mampu beradaptasi dan
toleransi yang tinggi.
Kelimpahan fitoplankton berbanding lurus dengan produktivitas perairan.
Kelimpahan pada perairan Banyuasin berkisar antara 6,59x105 - 4,21x107 sel.m-3,
secara umum kelimpahan akan lebih tinggi pada saat air surut daripada air pasang.
Pada setiap bulan kelimpahan didominasi oleh kelompok Bacillariophyceae,
namun pada bulan Agustus didominasi oleh Chaetoceros dan Skeletonema, hal
tersebut dapat diakibatkan oleh tingginya kadar silikat dan didukung oleh suhu
dan tingkat salinitas.
2. Keragaman Fitoplankton
Berdasarkan hasil indeks keseragaman, keanekaragaman, dan dominasi
menunjukan bahwa perairan Banyuasin secara umum tidak stabil. Pada bulan Mei
kondisi perairan sangat baik sedangkan pada bulan agustus sangat tidak
menguntungkan, hal tersebut diduga akibat faktor lingkungan. Pada musim
peralihan (Mei) kondisi lingkungan sangat mendunkung untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakan berbagai fitoplankton sehingga meningkatnya kelimpahan
berbagai spesies, berbeda dengan musim timur (Juli) yang kondisi lingkungannya
tidak kondusif untuk tumbuh dan berkembang sehingga hanya spesies tertentu
yang dapat berdaptasi seperti Bacillariophyceae, Chaetoceros, dan Skeletonema.
3. Kondisi Kualitas Air di Perairan Pesisir Sumatera Selatan
Berdasarkan hasil pengukuran parameter air, suhu air laut berkisar antara
27,6-31,9°C, salinitas berkisar antara 0,09-33,05 ppm, pH berkisar antara 6,0-8,5;
DO berkisar antara 3,49-8,22 mg.L-1, fosfat berkisar antara 0,02-1,11 mg.L-1, nitrat
berkisar antara 0,64-3,98 mg.L1, silikat berkisar antara 0,001-0,430 mg.L-1. Nilai
parameter lingkungan di perairan pesisir Sumatera Selatan, secara umum dinilai
masih layak untuk pertumbuhan fitoplankton.
Parameter suhu air laut masih dapat mendukung pertumbuhan fitoplankton,
nilai pH perairan laut dan pesisir secara umum berkisar antara 7,7-8, nilai DO
untuk menunjang organisme secara normal harus melebihi 2 mg.L -1, baku mutu
nitrat air laut 0,008 mg.L-1, baku mutu fosfat air laut 0,015 mg.L-1, dan konsentrasi
silikat lebih rendah pada musim kemarau daripada musim hujan.
Kesimpulan
Hasil penelitian menemukan 41 fitoplankton yang terdiri dari famili
Bacillariophyceae (26 genera), Dinophyceae (7 genera) Cyanophyceae (7 genera)
dan Chlorophyceae (1 genus) dengan jumlah genera tertinggi pada musim pasang
surut di bulan November (24 genera) dan terendah pada musim pasang tinggi di
bulan Mei (16 genera). Kelimpahan fitoplankton tertinggi tercatat pada bulan
Agustus saat pasang tinggi (2,68 x 107 sel.m-3), dan terendah
pada bulan Mei saat air pasang (6,59 x 10 5 sel.m-3). Indeks keanekaragaman (H'),
indeks keseragaman (E), dan indeks dominasi (D) berkisar antara 0,64-3; 0,15-
0,71, dan 0,15-0,83.

Jurnal 2 Internasional:
Primary Productivity of Jatigede Reservoirs in Sumedang, West Java
Produktivitas Primer Waduk Jatigede di Sumedang, Jawa Barat
Muthi’ah Atsari Hamiedah1*, Zahidah1 , Heti Herawati1 and Isni Nurruhwati

Abstrak
Waduk Jatigede merupakan waduk yang terletak di Sumedang Jawa Barat
yang dibangun untuk irigasi air, pembangkit listrik, pariwisata, dan perikanan
tangkap. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai produktivitas primer
sebagai salah satu indikator kelayakan badan air Waduk Jatigede untuk
menangkap aktivitas perikanan. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus -
September 2019. Pengambilan sampel dilakukan dilakukan di 4 stasiun di
permukaan, setengah kedalaman kompensasi, dan kedalaman kompensasi.
Estimasi produktivitas primer menggunakan metode pengukuran konsentrasi
klorofil-a. Hasilnya menunjukkan waduk Jatigede air oligotrofik karena
produktivitas primer di perairan Waduk Jatigede adalah relatif rendah jika
dihitung berdasarkan konsentrasi klorofil-a.
Pengantar
Waduk Jatigede memiliki luas ± 4122 ha dan terletak di Kabupaten
Sumedang, Jawa Barat. Waduk dibangun dengan batang Sungai Cimanuk dan
merupakan waduk multifungsi. Waduk ini berfungsi sebagai pembangkit listrik,
irigasi, dan pengendalian banjir. Perikanan tangkap menjadi salah satu sektor yang
dapat dikembangkan sebagai alternatif untuk mata pencaharian masyarakat di
waduk jatigede. Upaya yang bisa dilakukan untuk referensi sumber daya ikan di
darat secara umum dengan distribusi benih ikan dan pengendalian air . Perluasan
benih ikan sedang dilakukan untuk meningkatkan produksi hasil tangkapan
perikanan. Untuk kegiatan penangkapan ikan diperlukan perairan subur dengan
kelimpahan fitoplankton yang cukup banyak.dikarenakan ikan yang ditebar
diharapkan dapat memanfaatkan fitoplankton sebagai pakan alami.
Kualitas air merupakan parameter yang perlu diperhatikan,
dipertimbangkan dalam menentukan air layak atau tidak kegiatan perikanan
tangkap. Salah satu harapan kualitas air di saluran air adalah untuk melihat nilai
produktivitas primer. Produktivitas adalah kecepatan proses fotosintesis atau
pengikatan karbon dan produksi karbohidrat (organik zat) dalam satuan waktu dan
volume tertentu . Dalam ekosistem perairan, fitoplankton menjadi salah satu
organisme produsen utama yang menyebar di perairan yang lebih luas. Karena itu
secara signifikansi fitoplankton di perairan lebih tinggi dari dua produsen utama
yaitu Macrofita dan
Perifiton.
Fitoplankton mengubah zat anorganik menjadi bahan organik melalui
proses fotosintesis dengan bantuan sinar matahari hasilnya disebut produksi
primer. Fitoplankton mengandung klorofil – a pigmen aktif dalam sel tumbuhan
yang berperan sebagai peran penting dalam proses fotosintesis irigasi . Klorofil-A
adalah salah satunya parameter yang menentukan primer produktivitas di dalam
air. Konsentrasi klorofil-a sangat kuat terkait dengan kondisi lingkungan air.
Metode
2.1 Area Penelitian
Penelitian dilakukan di Waduk Jatigede , Sumedang, Jawa Barat,
Indonesia. Penelitian dilakukan selama Agustus 2019 hingga September 2019
yang merupakan musim kemarau Indonesia. Pengamatan kualitas air dilakukan di
Laboratorium Sumber Daya Perairan (SDP) Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Penentuan stasiun dilakukan
dengan metode survey dan teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
purposive sampling. Penentuan penelitian Stasiun dan pengambilan sampel dipilih
berdasarkan air sungai yang mengalir dan masuk ke Waduk Jatigede, termasuk:
 Stasiun 1 adalah inlet Waduk Jatigede terletak di Desa Sukamenak,
Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat dengan lokasi geografis 6 °
55'58.8 "S - 108 ° 05'20.3 "E. Station 1 dipilih karena merupakan daerah
masukan air yang didominasi di tepi Sungai Cimanuk dengan rata-rata
kedalaman 2, 89 m.
 Stasiun 2 adalah bagian tengah, beralih dari masuknya air dari Sungai
Cimanuk ke bagian tengah waduk. Stasiun 2 memiliki kedalaman rata-rata
4,88 m. Stasiun 2 terletak di Desa Leuwihideung, Darmaraja, Kabupaten
Sumedang, Jawa Barat dengan letak geografis 6 ° 54'40.1 "S-108 °
05'46.4" BT.
 Stasiun 3 adalah bagian tengah dari reservoir yang menerima masukan air
dari Sungai Cimanuk serta anak sungai lainnya, seperti Sungai Cinambo,
Sungai Cibayawak, Sungai Cihonje, Sungai Cicacaban, dan Sungai
Cimuja. Stasiun ini memiliki kedalaman rata-rata 31.94 m. Stasiun 3
terletak di desa Jemah, Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat
dengan lokasi geografis 6 ° 53'06.8 "S108 ° 06'11.3" E
 Stasiun 4 merupakan zona keluarnya air dari Waduk Jatigede dari berbagai
masuknya air. Stasiun memiliki kedalaman rata-rata dari 53 m. Stasiun 4
terletak di desa Cijeungjing, Darmaraja, Sumedang, Jawa Barat dengan
letak geografis lokasinya adalah 6 ° 51'32.6 "S - 108 ° 05'49.0" E.
2.2 Pengambilan Sampling dan Pengukuran Air
Pengambilan sampel air dan klorofil-a dilakukan keluar dengan lima kali
pengambilan sampel dalam 1 minggu Sampel diambil dari jam 9 pagi sampai jam
2 siang. Air dan klorofil-a diambil di keempat stasiun tersebut dilakukan di bagian
permukaan, dengan kedalaman setengah kompensasi, dan kedalaman kompensasi
di setiap stasiun observasi. Sampel klorofil-A diambil dengan memasukkan 1 liter
air ke dalam vial kemudian airnya disaring menggunakan kertas saring untuk
mendapatkan klorofil-a di laboratorium. Pengukuran kualitas air seperti derajat
keasaman (pH), CO2, dan DO (Oksigen Terlarut) diukur secara in situ. Sedangkan
nitrat, fosfat, dan BOD (Biokimia Oksigen Permintaan) diukur di ex situ.
2.3 Pengukuran Produktivitas Primer
Metode yang digunakan untuk penghitungan produktivitas primer adalah
perhitungan pigmen klorofil-a konsentrasi sebagai berikut
Klorofil-a = Ca. (v / V.L)
Ca Diperoleh dari persamaan: 11,6 D665 - 1,31 D645 -0,14 D630
Deskripsi:
v = Acetone Volume used (mL)
V = Filtered water Volume to be extracted (L)
L = Cuvet length (cm)
D665 = Optical density at wavelengths 665 nm
D630 = Optical density at wavelengths 630 nm

3. Hasil Dan Diskusi


Hasil produktivitas primer pengukuran berdasarkan nilai konsentrasi
klorofil pada empat stasiun dengan tiga kedalaman berbeda diperoleh nilai
klorofil-a berkisar antara 0,023 - 0,076 mg / L (Tabel 1). Dari Hasil observasi
diperoleh nilai rata-rata konsentrasi tertinggi ada di stasiun 4 jam kedalaman
setengah dari kompensasi, yang sebesar 0,062 mg / L dan nilai rata-rata
konsentrasi klorofil-a terendah berada di stasiun 1 tepatnya di kedalaman
kompensasi 0,035 mg / L.
Nilai produktivitas primer yang tinggi berdasarkan konsentrasi klorofil-a
di Stasiun 4 adalah dipengaruhi oleh transparansi cahaya yang masuk air yang
digunakan fitoplankton untuk proses fotosintesis 93,10 ± 18,49. Turunnya
transparansi cahaya yang memasuki air, semakin rendah nilai produktivitas primer
yang dihasilkan. Tapi kalau nilai transparansi juga tinggi juga dapat menyebabkan
penurunan nilai produktivitas primer karena sifat dari fitoplankton adalah
penghambat foto. Seperti yang ditunjukkan di Tabel 2, rata-rata, primer yang
dihasilkan nilai produktivitas tidak lebih tinggi dari primer nilai produktivitas
dengan setengah kompensasi.
Kedalaman terendah di lokasi penelitian terendah adalah di Station 1
dengan nilai 2.89 m karena station 1 adalah lokasi terdekat ke daratan. Kedalaman
tertinggi di stasiun 4 adalah 53 m. Kedalaman air akan mempengaruhi masuknya
sinar matahari ke dalam perairan, semakin tinggi kedalamannya dari pada yang
semakin berkurang sinar matahari yang memasuki perairan dan akan
mempengaruhi keberadaan fitoplankton serta kemampuan fitoplankton dalam
fotosintesis dan semakin tinggi kedalamannya maka nilai produktivitas airnya
lebih rendah.
Temperatur air di lokasi ini berkisar dari 26,58 - 27, 48 ° C yang
merupakana kisaran suhu baik untuk pertumbuhan fitoplankton bagi fotosintesis.
Kisaran suhu optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan plankton di daerah
tropis bersuhu 20-30 ° C. Parameter suhu harus diperhatikan mengingat
fitoplankton sudah optimal suhu dan kisaran toleransi tertentu. Suhu tinggi akan
merusak klorofil-a in fitoplankton yang menyebabkan menurunnya kandungan
klorofil-a sehingga nilai produktivitas primer akan menurun. Begitu juga jika suhu
terlalu rendah.
Kecepatan arus di perairan Jatigede kisaran reservoir 0,13 - 0,21 m / s.
Nilai arus rata-rata terendah ada di Stasiun 2, yaitu 0,13 m / s, sedangkan rata-rata
arus tertinggi saat ini berada di Station 3, yaitu 0.21 m / s. Di Station 3, kecepatan
angin sangat tinggi karena jarak dari daratan, sehingga di stasiun 3 nilai rata-rata
kecepatan arus lebih tinggi dari stasiun pengamatan lainnya. Arus memainkan
peran penting dalam pergerakan nutrisi di perairan. Nutrisi ini berguna untuk
pertumbuhan organisme akuatik tersebut sebagai plankton. Pemanfaatan arus
pergerakan oleh biota adalah sarana mengemudi terutama biota perenang yang
tidak kuat seperti plankton.
Derajat keasaman (pH) dalam adaptasi organisme di perairan. Rata-rata
pH tertinggi nilainya di Station 3 pada kedalaman setengah kompensasi dan di
stasiun 4 pada kedalaman setengah kompensasi, yaitu 8.4. Sedangkan yang
terendah nilai rata-rata berada di stasiun 2 dengan kedalaman kompensasi yaitu
7.69. Batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi tergantung pada faktor
fisik, kimia, dan biologis. pH ideal untuk kehidupan fitoplankton berkisar dari 6,5
- 8,0, artinya pH di perairan Waduk Jatigede sangat ideal untuk kehidupan
fitoplankton. Nilai pH air yang tinggi atau rendah tergantung pada beberapa
faktor, yaitu kondisi gas dalam air seperti CO, konsentrasi garam karbonat dan
bikarbonat, dan proses dekomposisi bahan organik pada dasar perairan.
Karbon dioksida (CO2) adalah salah satu parameter penting di suatu
daerah karena keberadaannya dibutuhkan untuk proses fotosintesis. Nilai rata-rata
tertinggi ada di stasiun 1 tepatnya di permukaan, yaitu 9.21 mg / L, sedangkan
nilai rata-rata terendah yaitu 4,19 mg / L 3 titik, yaitu stasiun 2 di permukaan,
Stasiun 3 di permukaan, dan stasiun 4 di seluruh kedalaman diuji. Tingginya CO2
di Stasiun 1 karena proses pembusukan pohon yang belum dibersihkan sebelum
proses pengisian air masuk waduk Jatigede.
Nilai rata-rata BOD tertinggi konsentrasi di Waduk Jatigede berada pada
Station 1, yaitu 12,64 mg / L dan terendah nilai rata-rata dari 4 stasiun adalah
11,02 mg / L. Sampah organik berupa sampah menjadi penyebabnya dari stasiun 1
memiliki nilai BOD tertinggi dibandingkan dengan stasiun lain. Berdasarkan hasil
dari pengamatan selama penelitian, Stasiun 1 adalah daerah reservoir inlet dan ada
kegiatan masyarakat seperti kegiatan bertani di sekitar stasiun 1 yang berpotensi
dapat menambah bahan organik ke dalam badan air. Juga, sebelum kebanjiran, di
areal Station 1 masih diperoleh pohon yang masih dalam proses dekomposisi dan
ada sisa bangunan yang menyebabkan peningkatan konsentrasi bahan organik di
wilayah tersebut. Itu nilai BOD yang besar menandakan adanya mikro-organisme
dalam garis besar bahan organik untuk menggambarkan keberadaan bahan
organik tinggi.
Nilai rata-rata konsentrasi oksigen terlarut (DO tertinggi di Jatigede
Reservoir berada di Station 3 di permukaan 7.1 mg / L, sedangkan yang paling
rendah ada di stasiun 2 yaitu pada kedalaman setengah kompensasi sekitar 6,4
mg / L. Nilai DO yang rendah pada stasiun ke-2 adalah dipengaruhi oleh suhu.
Suhu menyala stasiun 2 cukup tinggi dibandingkan dengan 3 dan 4 stasiun, yaitu
berkisar antara 27,06 -27, 46 ° C. Saat nilai temperatur naik maka oksigen terlarut
di dalam air akan berkurang. Oksigen dalam air sangat penting karena itu
mempengaruhi kehidupan organisme baik secara langsung maupun secara tidak
langsung. Konsentrasi oksigen terlarut di perairan berhubungan dengan
fitoplankton sebagai penghasil oksigen melalui proses fotosintesis.
Nutrisi menjadi salah satu faktor penting dalam proses pertumbuhan dan
reproduksi fitoplankton. Nilai rata-rata paling tinggi konsentrasi amonia di Waduk
Jatigede berada di stasiun 1 tepatnya di kedalaman setengah Kompensasinya
adalah 0,040 mg / L, sedangkan rata-rata konsentrasi konsentrasi amonia berada
pada stasiun 4 tepatnya di kedalaman kompensasi 0,006 mg / L. Nilai tinggi
konsentrasi amonia di stasiun 1 disebabkan oleh jumlah pohon yang tersisa di
proses dekomposisi. Salah satu sumber amonia senyawa di perairan berasal dari
metabolisme hewan dan hasil dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota
perairan yang telah mati) oleh bakteri. Amonia yang sebagian besar berada di
perairan hasil dan proses metabolisme air organisme dan proses pembusukan
organik materi atau sampah organik seperti rumah tangga sampah dan lain-lain
oleh bakteri yang terbawa arus. Amonia terkonsentrasi di air tawar harus tidak
lebih dari 0,02 mg / L. Tinggi konsentrasi amonia dapat menjadi indikasi
kontaminasi zat organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpasan
pupuk pertanian.
Berdasarkan hasil pengukuran rata-rata konsentrasi nitrat (Tabel 2),
Stasiun 1 memiliki nilai rata-rata konsentrasi nitrat tertinggi di kedalaman
kompensasi, yaitu 0,256 mg / L. Kandungan nitrat yang tinggi saat ini lokasi
diduga karena stasiun 1 adalah lokasi inlet reservoir berdekatan dengan wilayah
pertanian dan pemukiman penduduk jadi masih banyak yang organik. Tinggi
konsentrasi nitrat di dalam air bisa merangsang pertumbuhan dan perkembangan
organisme di air bila didukung oleh ketersediaan nutrisi. Sedangkan kandungan
nitrat paling rendah adalah tersedia di 4 stasiun di permukaan dengan nitrat rata-
rata 0,168 mg / L. Konsentrasi nitrat lebih dari 0,2 mg / L dapat menyebabkan
terjadinya eutrofikasi (pengayaan) dari air, yang selanjutnya merangsang
pertumbuhan ganggang dan tumbuhan air dengan cepat atau disebut Mekar.
Stasiun 1 memiliki nilai rata-rata paling tinggi konsentrasi fosfat tepatnya
di kedalaman kompensasi 0,185 mg / L. Meningkatnya senyawa fosfat
dipengaruhi oleh asupan hara daerah tangkapan air, yaitu aktivitas warga di
sekitar waduk, dan kegiatan perikanan. Berdasarkan observasi, pada Station 1
terdapat aktivitas penduduk berupa kegiatan pertanian serta perikanan kegiatan
dalam bentuk penangkapan. Nilai rata-rata konsentrasi fosfat terendah berada
pada Station 3 yang berada di kedalaman setengah kompensasi dengan nilai rata-
rata konsentrasi fosfat 0,139 mg / L. Rendahnya konsentrasi fosfat di Stasiun 3
dikarenakan fosfat dimanfaatkan dengan baik oleh fitoplankton dalam proses
fotosintesis. fosfat adalah salah satu bentuk fosfor yang bisa dimanfaatkan oleh
tanaman dan unsur hara yang penting untuk tanaman sehingga menjadi faktor
pembatas dan mempengaruhi produktivitas air.
Berdasarkan nilai klorofil-a rata-rata diperoleh, Waduk Jatigede
diklasifikasikan sebagai air oligotrofik. Klasifikasi didasarkan pada status trofik
air adalah klorofil pada kisaran 0 - 2 mg / L, diklasifikasikan sebagai oligotrofik, 2
- 5 mg / L dalam Meso-oligotrofik, 5 - 20 mg / L diklasifikasikan sebagai
mesotrofik, 20 – 50 mg / L diklasifikasikan sebagai eurotrofik dan> 50 mg / L
diklasifikasikan sebagai Hyper-eurotrophic. Bisa jadi mengatakan bahwa waduk
Jatigede memiliki primer yang rendah produktivitas, karena memiliki kelimpahan
dan konten klorofil-a fitoplankton relatif rendah perairan. Semakin tinggi
produktivitas primer air, semakin tinggi daya dukung ekosistem organismenya,
semakin rendah Produktivitas utama makan, semakin rendah kapasitas
ekosistemnya.
Beberapa parameter fisika-kimia mempengaruhi distribusi klorofil dari
Jatigede. Reservoir Klorofil-a merupakan salah satu parameternya yang sangat
menentukan produktivitas primer di air. Konsentrasi klorofil yang rendah adalah
sangat terkait dengan lingkungan kondisi air. Kualitas air yang baik adalah tempat
tinggal yang baik untuk fitoplankton karena kandungan klorofil-a bisa berupa
fitoplankton digunakan sebagai indikator tinggi rendahnya produktivitas air.
4. Kesimpulan
Produktivitas primer di waduk Jatigede masih relatif rendah dengan rata-
rata tiap stasiun dan kedalaman bidangnya antara 0,035 mg / L - 0,062 mg / L.
Waduk Jatigede bagus untuk kegiatan perikanan tangkap dan organisme akuatik,
dilihat dari parameter kualitas air termasuk transparansi cahaya, kedalaman, arus,
suhu, pH, karbon dioksida, DO, BOD5, nitrogen, dan fosfat mempengaruhi
keberadaannya fitoplankton dan klorofil-a di Waduk Jatigede , sehingga
mempengaruhi produktivitas primer.
Jurnal 3 Nasional:
Judul Estimasi Produktivitas Primer Perairan Berdasarkan Konsentrasi
Klorofil-A yang Diekstrak dari Citra Satelit Landsat-8 Di Perairan
Kepulauan Karimun Jawa (Estimation Of Sea Primary
Productivity Based On Chlorophyll-A Concentration Derived
From Satellite Landsat-8 Imagery In Karimun Jawa Island)
Jurnal Penginderaan Jauh
Volume, Nomor 14(1): 25-36
dan Halaman
Tahun 2017
Penulis Mulkan Nuzapril1, Setyo Budi Susilo, James P. Panjaitan,

Abstrak
Produktivitas primer perairan merupakan faktor penting dalam
pemantauan kualitas perairan laut karena berperan dalam siklus karbon dan rantai
makanan bagi organisme heterotrof. Estimasi produktivitas primer perairan dapat
diduga melalui nilai konsentrasi klorofil-a, namun konsentrasi klorofil-a
permukaan laut hanya mampu menjelaskan 30% produktivitas primer laut.
Penelitian ini bertujuan untuk membangun model estimasi produktivitas primer
berdasarkan nilai konsentrasi klorofil-a dari lapisan kedalaman permukaan sampai
kedalaman kompensasi. Model hubungan produktivitas primer dengan konsentrasi
klorofil-a yang diekstrak dari citra satelit Landsat-8 kemudian dapat digunakan
untuk mengestimasi produktivitas primer satelit. Penentuan klasifikasi kedalaman
dilakukan dengan mengukur nilai koefisien atenuasi menggunakan luxmeter
underwater datalogger 2000 dan secchi disk. Penetrasi cahaya yang masuk ke
kolom perairan dimana produksi primer masih berlangsung atau kedalaman
kompensasi berkisar antara 28,75 – 30,67 m.1
Pendahuluan
Produktivitas primer adalah kecepatan terjadinya proses fotosintesis atau
pengikatan karbon dan produksi karbohidrat (zat organik) dalam satuan waktu dan
volume tertentu. Produktivitas primer perairan merupakan salah satu faktor
penting dalam ekosistem perairan laut, karena berperan dalam siklus karbon dan
rantai makanan untuk organisme heterotrof. Pada ekosistem akuatik sebagian
besar produktivitas primer perairan dilakukan olah fitoplankton dan kurang lebih
produksi primer di laut berasal dari fitoplankton.
Konsentrasi klorofil-a sering digunakan untuk mengestimasi biomassa
fitoplankton dan produktivitas perairan yang dapat digunakan dalam pengelolaan
sumberdaya laut dan pemantaun kualitas perairan. Pemanfaatan teknologi
penginderaan jauh dapat digunakan untuk mendeteksi biomassa pigmen, namun
tidak dapat mendeteksi produktivitas primer. Sehingga produksi oleh fitoplankton
dihitung menggunakan model bio-optik melalui perekaman data oleh sensor
satelit. Prosedur untuk mengestimasi produktivitas primer dari data satelit dapat
dihitung menggunakan algoritma model produktivitas primer
Model estimasi produktivitas primer perairan menggunakan penginderaan
jauh satelit telah banyak dikembangkan yaitu oleh Behrenfald and Falkowski,
(1997); Behrenfald et al. (2005); Hirawake et al. (2012). Namun, penerapan
model ini membutuhkan masukan data yang banyak. Selain itu, kendala dari
model hubungan antara konsentrasi klorofil-a dan produktivitas primer perairan
yaitu salah satunya karena sensor satelit hanya mampu mendeteksi pada
kedalaman permukaan laut atau kedalaman satu atenuasi cahaya. Menurut
Campbell et al., (2002) konsentrasi klorofil-a permukaan hanya mampu
menjelaskan kurang lebih 30 % produktivitas primer laut sedangkan produktivitas
primer berlangsung sampai 4,6x kedalaman atenuasi cahaya atau kedalaman
kompensasi. Kedalaman kompensasi sendiri merupakan kedalaman dimana
intensitas cahaya tinggal 1% dari intensitas cahaya di permukaan dimana proses
fotosintesis dan respirasi seimbang.
Metodologi
1. Lokasi dan data
Penelitian dilakukan di perairan pulau Karimunjawa dan Kemujan pada 20 stasiun
pengamatan. Karakatersitik perairan Karimun Jawa yang terdiri dari ekosistem
karang, mangrove dan lamun membuat produktivitas primer dipengaruhi banyak
faktor. Penelitian dilakukan pada 15-18 Mei 2016 dan berada pada koordinat 5⁰
46’ 00” – 5⁰ 54’ 00” LS dan 110⁰ 22’ 30” – 110⁰33’30” BT. Data citra satelit
yang digunakan adalah citra Landsat-8 OLI pada path/ row 120/64 dengan tanggal
perekaman satelit 15 Mei 2016.

2. Pengambilan data insitu


Prosedur pengambilan data dilakukan dengan mengambil contoh sampel
air menggunakan van dorn bottle sampler pada tiap stasiun pengamatan dan tiga
titik kedalaman pada zona eufotik. Kedalaman ditentukan dengan mencari terlebih
dahulu nilai koefisien atenuasi. Perhitungan koefisien atenuasi dihitung
menggunakan hukum Beer Lambert (Parson et al., 1984). Pengukuran intensitas
cahaya menggunakan luxmeter underwater datalogger 2000, sehingga
perhitungan koefisien atenuasi adalah:
K=ln ¿ ¿
dimana:
Iz = Intensitas cahaya pada kedalaman z (lux),
Io = Intensitas cahaya permukaan (lux),
K = Koefisien atenuasi (m-1),
z = Kedalaman (m).

Persamaan empiris lain untuk menghitung koefisien atenuasi dari


pembacaan kedalaman keping secchi disk dengan menggunakan hubungan
persamaan empiris dari Tilmann et al. (2000), sebagai berikut:
1.242
K=0.191+
Zsd
dimana:
k = koefisien atenuasi (m-1),
Zsd = kedalaman secchi disk (m).

Sampel air yang diambil yaitu pada kedalaman permukaan atau kedalaman
satu atenuasi cahaya (k-1), kedalaman tengah zona eufotik dan kedalaman
kompensasi. Kedalaman kompensasi dihitung menggunakan rumus:
4.6
kedalaman konpensasi=
k
Pengukuran produktivitas primer dilakukan secara insitu dari komposit
sampel air yang telah didapat dengan menggunakan metode botol-terang dan botol
gelap. Pengukuran dilakukan pada siang hari antara pukul 09.00 – 15.00 WIB
dengan inkubasi selama 3 - 5 jam. Oksigen terlarut yang diukur menggunakan
metode Winkler. Nilai okigen terlarut tersebut kemudian digunakan untuk
menghitung nilai produktivitas primer.
3. Pengolahan Citra Satelit
Tahap pengolahan citra satelit dimulai dengan melakukan koreksi
geometrik dan radiometrik. Koreksi geometrik pada prinsipnya digunakan untuk
memperbaiki kesalahan posisi citra satelit terhadap lokasi sebenarnya di
permukaan bumi dan memiliki acuan sistem koordinat. Citra satelit Landsat-8
OLI juga dikoreksi secara radiometrik untuk mengubah nilai digital number (DN)
menjadi nilai reflektansi dengan resolusi radiometrik 16-bit integer pada produk
level 1 dan dikonversi menjadi nilai reflektansi Top of Atmosphere (TOA).
Konversi nilai untuk reflektansi TOA menggunakan persamaan dari USGS
(2015):
pλ’ = Mp*Qcal + Ap
dimana :
ρλ' = reflektansi TOA (top of atmosfer), tanpa koreksi sudut matahari,
Mp = REFLECTANCEW_ MULT_ BAND_x, di mana x adalah nomor Band,
Ap = REFLECTANCEW_ADD_BAND_x, di mana x adalah nomor Band,
Qcal = Nilai digital number (DN).

Besaran ρλ bukan reflektansi TOA karena belum dilakukan koreksi sudut


elevasi matahari. Sudut elevasi matahari terdapat dalam metadata. Untuk
menghitung ρλ sebenarnya digunakan persamaan:
ρλ= ρλ'/ sin (θ)

Dimana:
ρλ = TOA reflektansi,
in θ) = Sudut elevasi matahari.

Koreksi atmosferik menggunakan metode Dark Object Subtraction (DOS)


untuk mendapatkan nilai reflektansi permukaan. Asumsi yang digunakan yaitu
nilai piksel minimum harus bernilai nol sehingga nilai minimum selain nol
dianggap berasal dari atmosfer (Jaelani et al., 2015). Ekstraksi nilai konsentrasi
klorofil-a dari citra satelit Landsat-8 dilakukan dengan menggunakan algoritma
yang dikembangkan oleh Jaelani et al. (2015), dengan persamaan:
λ (¿ )
log ( chl−a )=−0.9889 x +0.361 9
λ ( NIR )
dimana Chl-a adalah nilai konsentrasi klorofil-a (mg/m 3), dan λ(red) dan
λ(NIR) adalah nilai reflektansi pada kanal merah dan inframerah dekat pada
Landsat-8 OLI. Nilai konsentrasi klorofil-a tersebut masih nilai konsentrasi
klorofil-a permukaan sehingga untuk mentrans-formasi menjadi nilai konsentrasi
klorofil-a seluruh zona eufotik menggunakan algoritma (Nuzapril et al., 2017)
dengan persamaan:
K= 0.1442 + 0.615C

dimana K adalah konsentrasi klorofil-a kolom air seluruh daerah eufotik


(mg/m3) dan C adalah konsentrasi klorofil-a permukaan (mg/m3).
4. Model produksi primer
Analisis model produktivitas primer pada penelitian ini dilakukan untuk
mengestimasi produktivitas primer berdasarkan nilai konsentrasi klorofil-a yang
diekstrak dari citra satelit. Model hubungan ini dirancang agar konsentrasi
klorofil-a satelit dapat ditransformasi untuk mengestimasi produktivitas primer
satelit dengan persamaan sebagai berikut:
PPsat = a + b (Chlsat)
Dimana:

Ppsat = Produktvitas primer satelit (mgC/m3/jam),


Chlsat = Konsentrasi klorofil-a satelit (mg/m3),
a dan b = koefisien regresi.

5. Validasi Model
Akurasi data dari pengukuran dengan citra satelit, dengan membanding-
kannya dengan data pengukuran insitu menggunakan analisis Root Mean Square
Difference (RMSD). Perhitungan RMSD adalah sebagai berikut:
N

RMSD=
dimana:
√ ∑ logPPi−logPPj2
i1=1
n

Log PPi = data produktivitas primer estimasi citra satelit (mgC/ m3/jam),
Log PPj = data produktivitas primer insitu (mgC/m3/jam),
N = jumlah data.
Apabila nilai RMSD <0.3 mengindikasikan keakuratan pada model
terhadap nilai pengukuran insitu.

Hasil dan Pembahasan


1. Koefieien Atenuasi Secchi Disk dan Luxmeter Underwater
Berdasarkan perhitungan nilai koefisien atenuasi, hasil yang diperoleh
berkisar antara 0,13 – 0,21m-1 dengan rata-rata 0,16 m-1 dan nilai koefisien
atenuasi dengan secchi disk berkisar antara 0,12 – 0,21 m-1 dengan rata–rata
koefisien atenuasi 0,15 m-1. Pengukuran nilai koefisien atenuasi antara luxmeter
underwater dan secchi disk secara signifikan tidak berbeda nyata (p>0,05).
Berdasarkan nilai koefisien atenuasi sehingga dapat dihitung kedalaman eufotik
atau kedalaman kompensasi yaitu berkisar antara 28,75 – 30,67 m.

2. Distribusi konsentrasi Klorofil-a


Konsentrasi klorofil-a permukaan memiliki nilai yang lebih kecil dan
terkadang sama dengan konsentrasi kedalaman di kolom perairan. Nilai
konsentrasi klorofil-a pada lapisan permukaan berkisar antara 0,118 – 0,589
mg/m3 dengan nilai rata-rata 0,233 mg/m3, pada lapisan kolom perairan nilai
konsentrasi klorofil lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan permukaan dengan
nilai berkisar antara 0,202 – 0,760 mg/m3 dengan nilai rata-rata 0,542 mg/m3.
3. Model Produktivtas Primer
Nilai produktivitas primer bersih berdasarkan data pengukuran insitu
berkisar antara 37 – 75 mgC/m 3/jam dengan rata-rata produktivitas primer per
harinya yaitu 562 mgC/m3/hari. Model hubungan antara produktivitas primer
dengan konsentrasi klorofil-a dengan beberapa integrasi kedalaman menunjukkan
bahwa nilai korelasi tertinggi produktivitas primer yaitu dengan nilai konsentrasi
klorofil-a kolom air seluruh zona eufotik r = 0.81. Korelasi terendah hubungan
antara konsentrasi klorofil-a dengan produktivitas pimer yaitu pada lapisan
kedalaman kompensasi r = 0.24.
Distribusi produktivitas primer dari analisis citra satelit menunjukkan
bahwa nilai produktivitas primer lebih tinggi berada di sekitar perairan yang dekat
dengan daratan dan semakin rendah ke arah laut lepas (Gambar 3-4). Hal tersebut
karena pada daerah pesisir Karimun Jawa dihuni oleh ekosistem penting seperti
ekosistem karang, lamun dan mangrove yang mempunyai nutrien tinggi.

Tabel 3-1: Korelasi Hubungan Konsentrasi Klorofil-A dengan Produktivitas


Primer
Model regresi r r2

Hill et al. (2013) 0,81 0,66


Hill and Zimmerman (2010) 0,86 0,74
Susilo et al. (1995) 0,86 0,73
Susilo (1999) 0,67 0,45
Model estimasi citra satelit dengan hasil ekstraksi konsentrasi klorofil-a
citra satelit (Gambar 3-5a) menghasilkan persamaan:
PPsat = 46,376 + 33,204(Chlsat)
Korelasi antara konsentrasi klorofil-a citra satelit dengan produktivitas
primer yaitu sebesar (r) = 0.71 (Gambar 3-5a). Pengujian akurasi antara estimasi
citra satelit dengan pengukuran insitu memiliki nilai error atau RMSD sebesar
0,09 dan R2= 0,54 (Gambar 3-5b) yang menunjukkan keakuratan antara model
estimasi produktivitas dengan hasil pengukuran insitu. Varian data produktivitas
primer model dengan produktivitas primer insitu secara signifikan tidak berbeda
nyata (p>0,05), sehingga konsentrasi klorofil-a yang diekstrak dari citra satelit
dapat digunakan untuk mengestimasi produktivitas primer perairan.

Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa penetrasi cahaya yang masuk kedalam
kolom perairan pada zona eufotik mencapai 28,75 – 30,67 m. Model estimasi
produktivitas primer berdasarkan nilai konsentrasi klorofil-a citra satelit Landsat-8
dapat dihitung menggunakan persamaan PP= 46,376+ 33,204Chlsat. Model
persamaan tersebut dapat digunakan untuk analisis spasial citra satelit, untuk
mengestimasi produktivitas primer di suatu wilayah menggunakan citra satelit
Landsat-8.

Anda mungkin juga menyukai