Anda di halaman 1dari 20

REVIEW JURNAL

PRODUKTIVITAS PERAIRAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Produktivitas Perairan

Disusun Oleh :
Kelompok 6/Perikanan B
Sekar Fathiyah Ali 230110180069
Aisah Hasyati 230110180077
Aldy Setiady 230110180086
Dianty Hanifah Utami 230110180090
Ericka Damayanti 230110180108
Gannisa Agustina Paramartha 230110180109

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR

2020
JURNAL 1 (NASIONAL)

IDENTITAS JURNAL
Judul : Produktivitas Sekunder Komunitas Makrozoobentos Pada
Ekosistem Mangrove Desa Kuala Tambangan Kecamatan
Takisung.

Jurnal : Jurnal Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada


Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat

Volume :5

Nomor :2

Halaman : 100 - 103

Tahun : 2020

Penulis : Lestarina Putri Mudhlika dan Deddy Dharmaji

Reviewer : Kelompok 6 Perikanan B 2018

Tujuan Penelitian : Mengidentifikasi berbagai jenis makrozoobentos pada


ekosistem mangrove, mengetahui parameter kuliatas air di
ekosistem mangrove dan menganalisis indeks keanekaragaman,
keseragaman dan dominansi di ekosistem mangrove Kuala
Tambangan.
REVIEW JURNAL 1 (NASIONAL)

PENDAHULUAN
Ekosistem mangrove adalah salah satu ekosistem pesisir yang penting karena
memiliki nilai ekologis dan ekonomis. Ekosistem ini berperan sebagai penyedia
nutrien, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai biota perairan. Vegetasi hutan
mangrove mampu melindungi wilayah daratan dari dampak abrasi, amukan angin
bahkan tsunami. Salah satu komponen ekosistem mangrove yang memanfaatkan
detritus tumbuhan mangrove adalah komunitas makrozoobentos. Makrozoobentos
hidup di bagian substrat ekosistem mangrove. Keberadaan komunitas ini penting
karena berperan sebagai perantara antara detritus dan organisme dengan tingkatan
trofik yang lebih tinggi dan memberikan masukan produktivitas sekunder yang tinggi
untuk lingkungan bentik.
Terkait dengan peran makrozoobentos maka penting untuk mengetahui struktur
makrozoobentos di ekosistem mangrove dan sejauh mana keberadaan tanaman
mangrove mempengaruhi produktivitas sekunder makrozoobentos. Dengan
mengetahui tentang produktivitas sekunder yang terkait dengan makrozoobentos akan
meningkatkan pemahaman tentang potensi organisme lainnya. Tujuan dari penelitian
ini adalah mengidentifikasi berbagai jenis makrozoobentos pada ekosistem mangrove,
mengetahui parameter kuliatas air di ekosistem mangrove dan menganalisis indeks
keanekaragaman, keseragaman dan dominansi di ekosistem mangrove Kuala
Tambangan.

METODOLOGI PENELITIAN
Pengambilan sampel hewan makrobenthos berdasarkan metode Sander,
Parameter yang diamati meliputi parameter fisik, kimia dan biologi. Parameter fisik
dan kimia meliputi suhu, salinitas, dan oksigen terlarut sedangkan parameter biologi
meliputi makrozoobentos.
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Jenis Makrozoobentos
Jumlah total jenis yang terkoleksi dalam penelitian ini adalah 21 jenis, dimana
jenis yang paling sedikit ditemukan di stasiun 3 yaitu 6 spesies yang didominasi kelas
bivalvia sedangkan pada stasiun 1 ditemukan 8 spesies yang didominasi dari kelas
crustacean sedangkan pada stasiun 2 ditemukan jumlah jenis yang ditemukan 11
spesies yang didominasi oleh kelas crustacean dan gastropoda. Adanya perbedaan ini
diduga karena vegetasi mangrove pada stasiun 1 lebih rendah jika dibandingkan dengan
stasiun lainnya.
Hewan makrozoobentos akan melimpah jika kondisi substrat mendukung
dengan adanya suplai makanan dan kandungan oksigen terlarut yang cukup. Marpaung
(2013) rendahnya jumlah kelimpahan makrozoobenthos pada mangrove alami
dikarenakan fator manusia, yaitu seringnya masyarakat sekitar mengambil
makrozoobenthos khususnya pada jenis kerang - kerangan untuk dikonsumsi.

b. Indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominasi


Kategori Indeks keanekaragaman berdasarkan persamaan Shanon-Wiener
dinyatakan sangat tinggi dan tidak tercemar berkisar >3, tinggi dan tercemar ringan
berkisar antara 2–3, rendah dan setengah tercemar berkisar antara 1 – 2, sangat rendah
dan tercemar berat berkisar <1. Hasil indeks keseragam berkisar anatar 0.81 – 0.88, hal
tersebut menjadi indicator bahwa pada ekosistem mangrove Desa Kuala Tambangan
memiliki keseragaman yang tinggi karena nilainya mendekati 1. Sedangkan hasil
perhitungan indeks dominansi diperoleh berturut-turut stasiun 1 adalah 0.29, stasiun 2
yaitu 0.23 dan pada stasiun 3 diperoleh 0.13. hal tersebut menunjukkan bahwa tidak
spesies yang mendominasi, karena nilai indeks dominasi mendekati 0.

c. Parameter kualitas air


Hasil pengukuran suhu air pada stasiun 1, 2 dan 3 adalah 29 - 30°C. Suyasa
(2010), mengatakan bahwa air mempunyai beberapa sifat unik berkaitan dengan panas
yang secara bersama – sama mengurangi perubahan suhu sampai pada tingkat minimal,
sehingga perbedaan suhu dalam air lebih kecil dan perubahannya lebih lambat jika
dibandingkan dengan yang terjadi di udara. Salinitas yang diperoleh dari hasil
pengukuran pada ketiga stasiun di lokasi penelitian adalah 17%. Salinitas akan
mempengaruhi penyebaran organisme baik secara vertikal maupun horizontal. Nilai
pH yang didapat pada saat penelitian yaitu sebesar 6-8. Sebagian besar biota akuatik
sensitive terhadap perubahan pH dan menyukai nilai ph sekitar 7 – 8,5. Nilai pH ini
sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan
berakhir jika pH rendah. Kisaran nilai pH antara 5,5 – 6,0 artinya penurunan nilai
keanekaragaman plankton dan bentos semakin tampak, kelimpahan total, biomasssa,
dan produktivitas masih belum mengalami perubahan yang berarti. Hasil pengukuran
DO di ekosistem mangrove berkisar antara 6.3 – 7.1 mg/l. Ulqodry (2010) mengatakan
bahwa kadar DO yang rendah disuatu perairan mangrove diduga adanya pengaruh
proses penguraian serasah yang membutuhkan oksigen.

KESIMPULAN
Salah satu komponen ekosistem mangrove yang memanfaatkan detritus
tumbuhan mangrove adalah komunitas makrozoobentos. Makrozoobentos hidup di
bagian substrat ekosistem mangrove. Keberadaan komunitas ini sangat penting dalam
ekosistem mangrove karena berperan sebagai perantara antara detritus dan organisme
dengan tingkatan trofik yang lebih tinggi dan memberikan masukan produktivitas
sekunder yang tinggi untuk lingkungan bentik. Berdasarkan hasil pengamatan secara
langsung dilokasi penelitian jenis substrat dominan merupakan lumpur dan pasir
berlumpur.
JURNAL 2 (INTERNASIONAL)

IDENTITAS JURNAL
Judul : Secondary Productivity of Main Microcrustacean Species of
Two Tropical Reservoirs in Brazil and its Relationship with
Trophic State

Produktivitas Sekunder Spesies Mikro-Krustasea Utana dari


Dua Reservoir Tropis di Brasil dan Hubungannya dengan
Keadaan Trofik

Jurnal : Journal of Limnology

Tahun : 2016

Penulis : Brito Sofia L., Paulina M. Maia-Barbosa, dan Ricardo M.


Pinto-Coelho

Reviewer : Kelompok 6 Perikanan B 2018

Tujuan Penelitian : Memperkirakan tingkat produktivitas sekunder spesies mikro-


krustasea utama dari dua reservoir tropis, Três Marias dan
Furnas di negara bagian Minas Gerais (Brazil), selama musim
kemarau dan musim hujan.
REVIEW JURNAL 2 (INTERNASIONAL)

PENDAHULUAN
Produktivitas sekunder adalah alat penting untuk memahami komunitas
biologis, melalui parameter populasi dan reproduksi atau dengan siklus materi dan
aliran energi. Karena produktivitas sekunder adalah ukuran jumlah material baru yang
terbentuk, pengetahuan tentang kuantitas ini memungkinkan perkiraan porsi biomassa
yang diperbarui per satuan waktu (Lampert dan Sommer 2007). Bagi zooplankton,
produktivitas memiliki kepentingan khusus, karena dicirikan oleh spesies dengan
siklus hidup yang pendek dan tingkat reproduksi yang tinggi; Selain itu, produktivitas
sekunder memberikan informasi pendukung dalam studi kaskade trofik, karena
pentingnya zooplankton dalam mentransfer energi dari produsen (fitoplankton) ke
tingkat trofik yang lebih tinggi (misalnya ikan).
Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas adalah karakteristik
intrinsik masing-masing spesies, seperti biomassa, fekunditas, laju perkembangan dan
pertumbuhan, kelaparan, ketahanan terhadap tekanan lingkungan, kerentanan terhadap
predasi, dan persaingan. Faktor lingkungan juga mempengaruhi produktivitas sekunder
dan harus dipertimbangkan untuk memahami variasinya sepanjang waktu, Keadaan
trofik danau atau waduk juga dapat mempengaruhi produktivitas zooplankton, di mana
kepadatan dan biomassa Cladocera dan Copepoda yang lebih tinggi terlihat pada
lingkungan eutrofik baik di daerah tropis maupun subtropis (Pinto-Coelho et al. 2005;
Ejsmont Karabin dan Karabin 2013).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperkirakan tingkat produktivitas
sekunder spesies mikro-krustasea utama dari dua reservoir tropis, Três Marias dan
Furnas di negara bagian Minas Gerais (Brazil), selama musim kemarau dan musim
hujan. Setelah reservoir memiliki usia, luas permukaan, dan morfologi yang sama,
hipotesis kami adalah perbedaan dalam produktivitas sekunder mikro-krustasea terkait
dengan sumber makanan yang tersedia dan keadaan trofik lingkungan ini. Data
produktivitas sekunder di ekosistem perairan Brasil di berbagai negara trofik disajikan.
METODOLOGI PENELITIAN
a. Alat Dan Bahan
Alat Bahan
 Jaring plankton berukuran mata jaring 68 µm  Air gasifikasi
 Sedgwick-Rafter  Rose Bengal
 Mikroskop optik Olympus (CBA)  Buffer formalin
 Piring akrilik (untuk membudidayakan
betina)

b. Metode
Três Marias (18 ° 12’S dan 45 ° 15’W) dan Furnas (46 ° 19’W dan 20 ° 40’S)
adalah dua waduk besar di negara bagian Minas Gerais (Brasil). Keduanya dibangun
sekitar 50 tahun yang lalu, terutama untuk Pembangkit listrik, rekreasi, pemancingan
profesional dan olahraga, irigasi, dan persediaan air. Furnas Reservoir terletak di
lembah Sungai Grande di selatan Minas Gerais (Brazil); Area utara diwakili oleh
Sungai Grande, dan Area selatan diwakili oleh Sungai Sapucaí.

c. Prosedur
Pengambilan sampel dilakukan setiap dua hari, selama empat minggu, dalam
dua periode kemarau (Juli / Agustus 2006 dan Juli / Agustus 2007) dan dua periode
hujan (Januari / Maret 2007 dan Januari / Maret 2008) sebanyak 14 sampel untuk setiap
periode pengambilan sampel di masing-masing Area waduk. Periode ini dianggap
paling mewakili variasi suhu dan curah hujan tahunan. Pengumpulan dilakukan pada
titik terdalam zona limnetik di masing-masing sisi.
Untuk sampel zooplankton kualitatif dan kuantitatif, dilakukan tangkapan
vertikal dengan jaring plankton berukuran mata jaring 68 µm. Organisme dibius
dengan air gasifikasi, diwarnai dengan Rose Bengal, dan diawetkan dengan 4% buffer
formalin. Subsampel 1,0 mL dihitung dalam Sedgwick-Rafter ruang, di bawah
mikroskop optik Olympus (CBA). Data disajikan sebagai organisme per m3. Selama
penghitungan, nauplii, copepodid, dan dewasa dipisahkan untuk setiap spesies
Copepoda, dan neonatus, remaja dan dewasa dari setiap spesies Cladocera dihitung.
Betina dengan telur dan jumlah telur atau embrio untuk setiap betina juga dihitung
untuk kedua kelompok.
Atas kontribusi ini, kami mempertimbangkan spesies micro-crustacea yang
paling melimpah (yang terdiri dari setidaknya 5% komunitas zooplankton selama
musim pengambilan sampel): Thermocyclops menit Lowndes, Bosminopsis deitersi
Richard, Bosmina hagmanni Stingelin, Ceriodaphnia cornuta Sars, dan Moina minuta
Hansen di Waduk Três Marias, dan di Waduk Furnas, Selain spesies ini, kami juga
mempertimbangkan Notodiaptomus henseni Dahl, Daphnia ambigua Scourfield,
Ceriodaphnia silvestrii Daday, Diaphanosoma spinulosum Herbst, D. fluviatile
Hansen, dan Bosmina freyi De Melo dan Hebert. Penjelasan rinci tentang komunitas
zooplankton di reservoir Três Marias dan Furnas dapat ditemukan di Brito et al. (2011).
Produktivitas sekunder diperkirakan menurut Hart (1987), yang pertama kali
menentukan tingkat kelahiran terbatas per kapita, β:
β = E N-1 De-1 (eq. 1)
Dimana:
E = kepadatan telur
N = kepadatan penduduk
De = waktu perkembangan embrio
Untuk menentukan waktu perkembangan embrio, betina dewasa dikumpulkan
dari Waduk Três Marias dan Furnas dan dipelihara di laboratorium. Betina
dibudidayakan di piring akrilik 6-sumur dengan penutup transparan, diisi dengan air
waduk yang disaring melalui jaring plankton berukuran mata jaring 68 µm. Pelat
disimpan dalam ruang pertumbuhan (Eletrolab EL202) pada 22 dan 26 °C ± 1 °C (suhu
air rata-rata selama periode kering dan hujan) dan periode terang / gelap 12 jam / 12
jam. Air di piring diganti setiap hari dan pengamatan dilakukan setiap 12 jam; betina
dipantau dari produksi telur sampai kelahiran neonatus.
Untuk T. minutus, N. henseni, B. freyi, B. hagmanni dan B. deitersi, waktu
perkembangan embrio tidak dapat diperkirakan, sehingga rumus yang dikemukakan
oleh Bottrell et al. (1976) untuk Cyclopoida, Calanoida dan spesies Cladocera lainnya
digunakan:
Ln De = Ln a + b Ln T + c (Ln T)² (eq. 2)

Dimana:
De = waktu perkembangan embrio
T = suhu
a, b dan c = konstanta polynomial
Nilai konstanta polinomial disediakan oleh Bottrell et al. (1976): untuk
Cyclopoida Ln a = 4.1301, b = - 0,4141, c = - 0,2159, untuk Calanoida Ln a = 3.9650,
b = -0,4049, c = - 0,1909, untuk Cladocera Ln a = 2.3279 lainnya; b = 1,2472, c = -
0,5647.
Produktivitas sekunder (P) dihitung dengan produk dari tingkat kelahiran
terbatas per kapita (β) dan biomassa (B) (Hart, 1987):
P=β B (eq. 3)
Data biomassa dapat ditemukan di Brito et al. (2013). Perbedaan nilai
produktivitas diuji melalui Analisis Varians dua arah, diikuti dengan uji perbandingan
post-hoc Tukey. Dua analisis dilakukan: satu antara waduk dan musim dan satu lagi
antara area dan musim untuk setiap waduk. Korelasi Pearson dilakukan antara fluktuasi
temporal produktivitas setiap spesies dan data lingkungan (tersedia dalam Brito et al.,
2011): suhu, oksigen terlarut, konduktivitas listrik, klorofil-a, total padatan tersuspensi,
padatan tersuspensi organik, fosfor total, nitrit , nitrat, amonium dan nitrogen total.
Semua analisis itu dilakukan dengan Statistica 7.0 (StatSoft).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Nilai rata-rata produktivitas mikro-krustasea utama dari reservoir Três Marias
dan Furnas produktivitas microcrustacea, laju yang lebih tinggi diperoleh pada periode
hujan, dan di reservoir Furnas (F = 28,19; p 0,981). Cladocera berkontribusi paling
besar terhadap produktivitas microcrustacea, berkisar antara 42-81% di Três Marias
dan 47-65% di Furnas.
Di Waduk Três Marias, T. minutus (nilai rata-rata pada periode kering dan
hujan: 0,18 dan 0,62 mg DW.m- 3. d- 1) diikuti oleh M. minuta (nilai rata-rata pada
periode kering dan hujan: 0,04 dan 0,62 mg DW.m- 3. d- 1) adalah spesies yang paling
berkontribusi terhadap produktivitas sekunder. Di Furnas, N. henseni ( nilai rata-rata
pada periode kering dan hujan: 0,35 dan 0,98 mg DW.m- 3. d- 1) dan D. ambigua.
Korelasi yang signifikan antara produktivitas total dan suhu (r = 0.67; p <0.0001) dan
total padatan tersuspensi (r = 0.41; p <0.0001) di reservoir Três Marias. Di Furnas.
Pengetahuan tentang produktivitas sekunder spesies zooplankton di ekosistem
perairan memungkinkan kita untuk menjelaskan dinamika lingkungan ini, karena
kelompok organisme ini merupakan penghubung penting antara produsen primer dan
tingkat trofik yang lebih tinggi. Beberapa penulis (Margalef, 1983; Melão, 1999a)
menyatakan bahwa suhu dan ketersediaan pangan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi produktivitas zooplankton, Temperatur yang lebih tinggi mengurangi
waktu pembangkitan dan ukuran tubuh, menyebabkan individu mencapai usia
reproduksi lebih cepat dan meningkatkan kepadatan mereka dalam beberapa minggu.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi produktivitas microcrustacea adalah
kualitas air dan penggunaan lahan di sekitar setiap lengan waduk. Di Furnas, terlepas
dari dampak penggunaan lahan, itu menunjukkan kualitas air yang lebih baik, dengan
transparansi yang lebih tinggi dan konsentrasi oksigen terlarut.
Secara umum, nilai produktivitas sekunder yang tercatat untuk reservoir Três
Marias dan Furnas berada dalam urutan yang sama besarnya dengan yang diamati
untuk lingkungan oligotrofik lain seperti Waduk Lagoa Dourada (Melão et al. 2004
dan 2006) dan stasiun alam Danau Batata (Maia-Barbosa 2000) Stasiun terdampak
Danau Batata menunjukkan nilai antara, karena stasiun ini mesotrofik akibat tailing
bauksit. nilai yang lebih tinggi dari produktivitas micro-crustacea diamati pada musim
hujan (November hingga Maret - akhir musim semi dan selama musim panas di Brasil).
Terlepas dari perbedaan kondisi iklim atau komposisi spesies (Lehman 1988),
ekosistem perairan tropis dan subtropis tampaknya menunjukkan tingkat produktivitas
sekunder yang lebih tinggi dengan peningkatan status trofik. Microcrustacea dari danau
dan waduk di daerah tropis menunjukkan produktivitas yang berkelanjutan sedangkan
di lingkungan beriklim sedang, ini terbatas terutama pada musim tanam. Di kedua
lingkungan, status trofik dan sumber makanan adalah faktor lain yang paling
mempengaruhi produksi micro-crustacea.

Kesimpulan
Data yang dievaluasi menunjukkan bahwa selain suhu, produktivitas micro-
crustacea juga dipengaruhi oleh sumber makanan (klorofil-a dan padatan tersuspensi
organik) yang tersedia di waduk tropis penelitian ini. Selain itu, dalam skala asrama,
produktivitas sekunder di danau dan waduk Brasil juga dapat dipengaruhi oleh musim
dan status trofik, dengan nilai yang lebih tinggi diamati pada periode hujan dan
lingkungan eutrofik.
JURNAL 3 (INTERNASIONAL)

IDENTITAS JURNAL
Judul : Environmental Influence on The Secondary Productivity and
Fish Abundance in Coastal Fishing Grounds off Mangalore,
South-Eastern Arabian Sea

Pengaruh Lingkungan terhadap Produktivitas Sekunder dan


Kelimpahan Ikan di Daerah Penangkapan Ikan Pesisir Lepas
Mangalore, Laut Arab Tenggara

Jurnal : Indian Journal Fish

Volume : 63

Nomor :3

Halaman : 24 - 32

Tahun : 2016

Penulis : Thomas Sujitha, A. P. Dineshbabu, K. M. Rajesh, Prathibha


Rohit, G. D. Nataraja dan P. Mishal

Reviewer : Kelompok 6 Perikanan B 2018

Tujuan Penelitian : Menilai pola musiman distribusi ikan di daerah pemukatan,


spesies dominan yang ada, menghubungkan kelimpahannya
dengan variabel hidrografi dan menyediakan data dasar untuk
pengelolaan perairan pesisir berbasis ekosistem.
REVIEW JURNAL 3 (INTERNASIONAL)

PENDAHULUAN
Berdasarkan data statistik CMFRI tangkapan ikan di sepanjang pantai India
menunjukan angka yang besar dengan presentase 70% pada 2013 dan 50% pada tahun
berikutnya. Pantai Mangalore dan Malpe pada 2009 menyumbang lebih dari 53% dari
total pendaratan ikan laut dan 43% perikanan pukat-hela (trawl) udang di Karnataka.
Parameter lingkungan mempengaruhi produktivitas dan kelimpahan ikan di ekosistem
laut. Oleh karena itu, dilakukan penelitian mengenai analisis pengaruh parameter
hidrografi terhadap biomassa zooplankton dan kelimpahan ikan di daerah pemukatan
pantai Mangalore, Laut Arab Tenggara.

METODOLOGI PENELITIAN
a. Alat
 Jaring pukat-hela (trawl) udang (mata jaring kantong trawl 30 mm dan panjang
tali ris atas 28,8 m), hasil tangkapan dikumpulkan, dihitung, ditimbang, dan
diidentifikasi.
 Plankton net (mesh size 90 μm) dianalisis dengan metode Varghese Molly dan
Krishnan (2009).
 Termometer kaca merkuri standar untuk mengukur suhu daerah in situ.
 Penganalisis air multiparameter WTW (Multi 350i) (Merck, Jerman) untuk
mengukur pH daerah in situ.
b. Analisis Sampel Air
 Kadar oksigen terlarut (DO)
 Salinitas
 Fosfat
 Silikat
 Klorofil a yang dianalisis secara spektrofotometri (Parsons et al.1989).
 Analisis nutrisi (PO, NO, SiO) dianalisis dengan metode kolorimetri (Parson et
al. 1984).
Periode 12 bulan dibagi menjadi tiga musim, yaitu musim pra-monsun
(Februari-Mei), monsun (Juni-September) dan pasca-monsun (Oktober-Januari)
(Srinath et al. 2003). Total biomassa di daerah tersebut diperkirakan dengan
menggunakan metode areal sapuan (Klima 1976).

c. Analisis Data
Uji statistik multivariat dan ordinasi digunakan untuk menentukan pola struktur
komunitas. Untuk menghitung indeks keanekaragaman (indeks Shannon Weiner)
digunakan perangkat lunak primer v6 yang diusulkan oleh Clarke dan Warwick (2001),
yaitu progrram SIMPER (Similarity of Percentage) dan non-metrik MDS (non Metric
Multidimensional Scaling). Teknik MDS non-metrik multivariat digunakan untuk
mengidentifikasi variasi musiman komposisi zooplankton berdasarkan kesamaan
Bray-Curtis dengan menggambarkan komposisi kelompok ke dalam ruang dua
dimensional (Clarke dan Warwick, 2001). Teknik SIMPER untuk mengidentifikasi
jenis organisme tertentu yang menjadi spesies dominan di lokasi yang berbeda, untuk
mengetahui perbedaan spesies dan spesies apa yang menjadi pembeda (Clarke dan
Gorley 2001).
Untuk mengidentifikasi hubungan variasi musiman pada ikan dan zooplankton
dengan variabel lingkungan menggunakan Canonical Correspondence Analysis
(CCA). Metode ini memilih kombinasi linier dari variabel lingkungan yang
memaksimalkan penyebaran skor spesies (Ter Braak 1986). Prosedur ini dilakukan
dengan menggunakan EXCELSTAT.

HASIL DAN PEMBAHASAN


HASIL
a. Keragaman Ikan
Selama periode penelitian selama tiga musim, 85 spesies ikan bersirip / kerang
ditangkap di pukat dasar dimana 41 adalah ikan bersirip, 24 adalah krustasea, 18
moluska dan dua echinodermata. Di antaranya, squilla Oratosquilla nepa, flatfish
Cynoglossus macrostomus, silverbellies Leiognathus spp. dan udang diamati selama
semua musim. Rata-rata indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H ') untuk musim
pra-musim dan pasca-musim adalah 1,45 dan 1,26. Spesies dominan selama pra-
monsun dan monsun adalah Oratosquilla nepa, sedangkan selama periode pasca-
monsun Cynoglossus macrostomus. Spesies lain melimpah selama pra-musim dan
pasca musim hujan adalah Trichiurus lepturus dan Epinephelus diacanthus. Analisis
SIMPER mengungkapkan bahwa genus utama berkontribusi pada kemiripan pada
musim-musim sebelum dan sesudah musim hujan ditemukan Johnius spp. dan
Cynoglossus spp.,. Selama pra-musim, biomassa didominasi oleh Squilla sedangkan
Cynoglossus spp. didominasi selama musim pasca monsun.
b. Keragaman Zooplankton
Delapan belas kelompok zooplankton diamati selama masa belajar. Kelompok
utama adalah copepoda, chaetognath, larva dekapoda, lucifers, cladocerans, radiolaria,
medusa, ctenophores, siphonophores, polychaetes, pteropoda, usus buntu,
echinodermata, bivalvia, larva gastropoda, telur dan larva ikan, amphipoda, salps dan
doliolids. Total kepadatan zooplankton (angka) diperkirakan pada pra-monsun dan
musim pasca-monsun adalah 27437 dan 48966 m-3. Zooplankton menunjukkan musim
yang signifikan (p <0,01) perbedaan antara pra-musim (Feb-Mei) dan musim pasca-
monsun (Okt-Jan). Keragamannya tinggi musim pasca-monsun. Copepoda
mendominasi sepanjang pertandingan tahun, diikuti oleh salp dan doliolids di pra-
monsun dan cladocerans di musim pasca-monsun. kelompok utama yang berkontribusi
pada kesamaan adalah copepoda dan larva dekapoda pada pra-musim dan copepoda
dan cladocerans pada musim-musim pasca-musim.
c. Hidrografi Musim
Silikat dalam air permukaan berkorelasi negatif dengan DO (p <0,01),
sedangkan klorofil a menunjukkan korelasi positif dengan DO (p <0,05). Korelasi
positif yang signifikan juga diamati antara silikat dan nitrat (p <0,01). Oksigen terlarut
menunjukkan variasi antar musim dengan DO minimum yang tercatat pada bulan
September (monsun). DO air dasar (30 m) menunjukkan korelasi positif yang
signifikan dengan pH. Silikat menunjukkan korelasi negatif dengan suhu, DO dan pH.
CCA dilakukan untuk menjelaskan hubungan tersebut antara kumpulan ikan
dan kerang, zooplankton dan variabel hidrografi. Hanya kelompok ikan dan kerang
utama dalam tangkapan pukat-hela (trawl) udang yang dipertimbangkan untuk analisis
CCA. Terjadinya Squilla, C. Macrostomus dan Parapenaeopsis stylifera dikaitkan
dengan suhu rendah dan menunjukkan korelasi positif dengan silikat dan fosfat. Squilla
juga menunjukkan korelasi negatif yang signifikan dengan suhu dan pH (p <0,01).
Muraenesox, Nemipterus, Sepiella inermis dan Charybdis hoplites dikaitkan dengan
suhu tinggi, sedangkan Saurida spp. dan Leiognathus spp. menunjukkan korelasi
negatif dengan suhu dan nitrat.
Kelimpahan cladocerans dan lucifer tinggi pada musim pasca-monsun dan
dikaitkan dengan DO dan nitrit yang tinggi di lingkungan. Demikian pula, copepoda
melimpah pada musim pasca-monsun dan dikaitkan dengan DO tinggi, fosfat dan
klorofil a dan SST rendah. Telur dan larva ikan dikaitkan dengan kadar fosfat, silikat
dan nitrat. Apendikularia dan siphonofor lebih menyukai DO tinggi dan suhu rendah
selama musim pasca-monsun. Kelimpahan radiolaria, salps dan bivalvia diamati pada
musim pramusim di lingkungan dengan SST tinggi dan DO rendah, fosfat dan silikat.
Selain itu, kelimpahan chaetognaths, larva dekapoda, siphonophores dan apendikularia
terkait dengan kandungan klorofil a yang tinggi.

PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil data kelimpahan ikan dan zooplankton menunjukan variasi
musiman sehingga komunitas biotik merespon variabilitas lingkungan musiman.
Perbedaan struktur komunitas ini dikarenakan adanya perbedaan kelimpahan antara 3-
5 spesies dari hasil tangkapan di perairan pantai selama kedua musim. Karena
similaritas musiman diamati pada kelimpahan ikan dan parameter lingkungan (CCA),
maka satu atau lebih variabel oseanografi berpotensi mempengaruhi struktur komunitas
biotik di wilayah.
Keterkaitan ikan dan zooplankton menunjukan copepoda sebagai kelompok
zooplankton yang mendominasi dan berpengaruh terhadap similaritas musiman. Sesuai
dengan penelitian Abdurahiman et al. (2010) yang menyatakan bahwa copepoda
merupakan mangsa yang sangat mempengaruhi predatornya di perairan pesisir
tenggara Laut Arab.
Dalam jurnal menyatakan bahwa suhu dan nutrisi merupakan parameter
lingkungan yang mempengaruhi biota ikan karena spesies menunjukkan afinitas tinggi
terhadap variabel tersebut. Dengan demikian suhu dan nutrisi dapat dianggap sebagai
indikator utama perbedaan musim dalam komunitas biotik yang diteliti.
Biomassa ikan pada musim pasca monsun cukup tinggi, hal ini dikarenakan
terjadinya upwelling di Laut Arab bagian timur membawa air yang kaya nutrien ke
permukaan dan mengakibatkan peningkatan produktivitas, yang kondusif untuk
peningkatan biomassa (Panikkar dan Jayaraman, 1966; Shankar et al. 2002). Perbedaan
dalam struktur komunitas disebabkan oleh perbedaan kemunculan relatif dan
kelimpahan 4 sampai 6 spesies. Dengan demikian, perubahan komposisi spesies bukan
karena perubahan tiba-tiba pada taksa dominan musiman, tetapi karena gradien
kelimpahan relatif.
Biomassa ikan dan kerang pada musim monsun (September) terjadi penurunan
hal ini berkaitan dengan kadar DO di perairan dasar yang rendah. Menurunnya
kelimpahan ikan dan udang di perairan disebabkan oleh terbentuknya lapisan anoksik
di dasar perairan (Dineshbabu et al. 2012). Sehingga dapat diketahui bahwa biomassa
ikan yang tinggi diperoleh pada musim pasca-monsun hal ini disebabkan karena adanya
input nutrisi yang dibawa oleh upwelling selama south-west monsun. Pada musim
pasca-monsun nilai SST (sea surface temperature) lebih rendah dibandingkan pada
musim pra-monsun. SST rendah mendukung reproduksi Squilla, yang memiliki afinitas
tinggi terhadap nutrisi di dalam air. Sehingga berdasarkan hasil penelitan dalam jurnal
disebutkan bahwa squilla merupakan komponen biomassa utama yang ditemukan
hingga kedalaman 30 m.
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa adanya pengaruh parameter hidrografi terhadap
biomassa zooplankton dan kelimpahan ikan di daerah pemukatan pantai Mangalore,
Laut Arab Tenggara. Biomassa ikan yang tinggi diperoleh pada musim pasca-monsun
karena adanya input nutrisi yang dibawa oleh upwelling selama south-west monsun
dan pada musim monsun terjadi penurunan biomassa ikan dan zooplankton karena
kadar DO yang rendah.
DAFTAR PUSTAKA

Brito, S. L., Paulina, M. M. B, dan R. M. P. Coelho. 2016. Secondary Productivity of


Main Microcrustacean Species of Two Tropical Reservoirs in Brazil and its
Relationship with Trophic State. Journal of Limnology.
Lestarina, P. M., dan D. Dharmaji. 2020. Produktivitas Sekunder Komunitas
Makrozoobentos Pada Ekosistem Mangrove Desa Kuala Tambangan
Kecamatan Takisung. Jurnal Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat, 5 (2): 100-103.
Thomas, S.A. P. D., K. M. Rajesh, P. Rohit, G. D. Nataraja, dan P. Mishal. 2016.
Environmental Influence on The Secondary Productivity and Fish Abundance
in Coastal Fishing Grounds off Mangalore, South-Eastern Arabian Sea. Indian
Journal Fish, 63 (2): 24-32.

Anda mungkin juga menyukai