0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
143 tayangan9 halaman
1. Dokumen tersebut membahas tentang racun yang dihasilkan oleh dinoflagellata yang menyebabkan red tide dan keracunan makanan laut khususnya dari kerang-kerangan (Bivalvia) yang dapat menyebabkan keracunan paralytic shellfish poisoning (PSP).
2. Dinoflagellata penyebab red tide dapat memproduksi toksin saxitoxin yang berbahaya bagi manusia apabila dikonsumsi melalui kerang yang terkontaminasi.
3. Efek rac
1. Dokumen tersebut membahas tentang racun yang dihasilkan oleh dinoflagellata yang menyebabkan red tide dan keracunan makanan laut khususnya dari kerang-kerangan (Bivalvia) yang dapat menyebabkan keracunan paralytic shellfish poisoning (PSP).
2. Dinoflagellata penyebab red tide dapat memproduksi toksin saxitoxin yang berbahaya bagi manusia apabila dikonsumsi melalui kerang yang terkontaminasi.
3. Efek rac
1. Dokumen tersebut membahas tentang racun yang dihasilkan oleh dinoflagellata yang menyebabkan red tide dan keracunan makanan laut khususnya dari kerang-kerangan (Bivalvia) yang dapat menyebabkan keracunan paralytic shellfish poisoning (PSP).
2. Dinoflagellata penyebab red tide dapat memproduksi toksin saxitoxin yang berbahaya bagi manusia apabila dikonsumsi melalui kerang yang terkontaminasi.
3. Efek rac
Ilmu dan Teknologi Pangan Program Pascasarjana. Universitas Hasanuddin Makassar, 2014
Sudah banyak dari masyarakat yang mengetahui bahwa kerang memiliki kandungan protein dan nilai gizi yang tinggi. Kerang sangat baik untuk dikonsumsi baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Tingginya tingkat konsumsi kerang oleh masyarakat di Indonesia, menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2011) dapat dilihat dari kenaikan rata-rata produksi kerang darah di Indonesia pada tahun 2000 hingga 2010 sebesar 5,18% (Sari dkk, 2014) Kerang-kerangan (Bivalvia) merupakan salah satu bahan makanan sumber protein hewani. Disisi lain kerang-kerangan merupakan suatu jenis biota laut yang sering dijadikan sebagai biomonitoring tingkat polusi logam berat di suatu perairan terutama daerah pantai, karena tingkat mobilitasnya yang rendah (Adriyani dan Mahmudiono, 2009). RED TIDE "Red tide" adalah suatu keadaan laut yang sedang mengalami perubahan warna (discolouration). Tentu saja perubahan warna terjadi pada kondisi perairan tertentu. Perubahan warna air laut yang tampak coklat kemerahan disebabkan oleh ledakan fitoplankton yang tiba-tiba (blooming) dari salah satu jenis fitoplankton bersel tunggal kelompok dinoflagellata. Warna air dapat menjadi merah, coklat, kuning, biru, oranye, dan sebagainya. Terjadinya perubahan warna itu tergantung pada pigmen-pigmen yang dikandung oleh fitoplankton tersebut. Jenis fitoplankton yang berbeda akan mempunyai warna pigmen yang berbeda pula. Jenis-jenis dinoflagellata pembentuk red tide mempunyai sifat khas yaitu di dalam tubuhnya mengandung klorofil yang dapat menghasilkan toksin dalam proses fotosintesis. Toksin ini jika termakan oleh manusia lewat kerang-kerangan yang dapat mengakibatkan keracunan (paralytic shellfish poisoning). Pada kasus yang lebih berat dapat mengakibatkan kelumpuhan dan akhirnya kematian. Kadang-kadang dapat terjadi kasus kematian ikan-ikan dan hewan lainnya walaupun perairan tidak memperlihatkan perubahan warna. Hal ini disebabkan karena pada saat fitoplankton penyebab red tide mulai berkembang, pada waktu yang sama dihasilkan juga toksin. Dengan demikian penggunaan istilah red tide terutama ditekankan pada akibat fatal yang ditimbulkannya, sedangkan istilah "blooming" dipakai terbatas pada keadaan melimpahnya organisme tanpa diikuti akibatakibat fatal tersebut Dinoflagellata (Adnan, 1985). Untuk memahami proses terjadinya red tide dapat dijelaskan melalui rantai makanan di dalam air. Tanaman, baik di darat maupun di laut yang memiliki klorofil dapat mengikat energi cahaya matahari pada proses fotosintesis. Di laut tumbuhan ini dikenal sebagai algae. Secara morfologis algae dibagi dalam dua kelompok, yaitu tumbuhan makroskopis yang dikenal sebagai rumput laut dan tumbuhan mikroskopis yang dikenal sebagai fitoplankton. Fitoplankton adalah mikro-organisme yang hidup melayang di lapisan-lapisan permukaan air sampai ke dalam perairan yang masih terkena sinar matahari. Fitoplankton dibagi kedalam dua kelas, yaitu kelas diatom yang banyak dijumpai dan mendominasi perairan dan kelas dinoflagellata yang umumnya dijumpai sangat sedikit di perairan tetapi jenis-jenis tertentu pada saat-saat tertentu merupakan penyebab red tide (Adnan, 1985).
"RED TIDE" DI INDONESIA : PERLUKAH DIWASPADAI ? Belajar dari pengalaman buruk di daerah subtropis, yaitu musibah keracunan makanan laut sebagai akibat dari 'red tide', maka di tempattempat yang sering mengalami kejadian 'red tide' dilakukan pemantauan dan usaha-usaha perlindungan terhadap masyarakat. Pemantauan dilakukan terhadap fitoplankton, keadaan lingkungan serta kadar racun dari biota setempat (biasanya kerang). Apabila didapati kadar yang membahayakan manusia maka daerah perikanan tersebut ditutup terhadap penangkapan. Di Kanada ditetapkan kadar PSP pada kerang tidak melebihi 20 mikrogram/gr kerang. Bagaimana dengan keadaan di Indonesia ? (Panggabean, 1877). Data tentang keracunan makanan laut memang ada. Kecuali adanya ledakan Trichodesmium erythraeum di Lampung dan kepulauan Seribu. ledakan dari jenis fitoplankton yang lain belum diketahui dengan pasti. Ledakan Trichodesimium tersebut mengakibatkan kematian masal udang di tambak-tambak. adanya keracunan setelah makan ikan dan fatal terhadap 4 orang pasien dilaporkan pertama kali dari Lewotobi, Flores, pada tahun 1983 (Panggabean, 1877). Adapun penelitian 'red tide' di Indonesia masih dalam tahap pemula yaitu bekerja sama dengan Kanada. Diperlukan langkah yang panjang untuk merumuskan kejadian 'red tide' di Indonesia serta penanggulanggannya. Mengingat sedikitnya laporan, apakah dapat dikatakan bahwa kejadian 'red tide' masih langka di Indonesia ? Atau mungkinkah perairan kita termasuk golongan yang tidak rawan terhadap 'red tide' ? Bagaimanapun 'red tide' di Indonesia tetap menarik untuk diteliti dan diwaspadai (Panggabean, 1877).
DINOFLAGELLATA DAN "PARALYTICSHELLFISH POISONING" (PSP) Fitoplankton penyebab red tide umumnya dari kelas dinoflagellata kelompok Pyrrophyta. Terdapat kira-kira 20 jenis dinoflagellata yang mengeluarkan toksin. Berdasarkan caranya membunuh mahluk lain, maka dinoflagellata dibagi dalam dua golongan (Adnan, 1985). : 1. Anoxic (harmful) species, yaitu jenisjenis yang dapat menyebabkan perairan kekurangan oksigen (oxygen depletion). Pada saat itu faktor-faktor pendukung terjadinya red tide telah berubah, misalnya berubahnya kondisi hidrologi akan mempengaruhi populasi organisme red tide, sehingga organisme tersebut akan mati secara serentak. Kejadian ini pernah terjadi di New Jersey tahun 1977, yang menyebabkan perairan seluas 14.000 km 2 kekurangan oksigen sehingga menyebabkan matinya hewan laut dalam jumlah besar terutama jenis-jenis yang hidup di dasar perairan (tiram dan kerang). Hal yang sama pernah terjadi pula di Jepang pada tahun 1972, 1977, 1978, dan 1979, yaitu kematian sejumlah besar ikan "yelllow tail" di Harima Nada, yang disebabkan oleh Chatonella antiqua. 2. Toxic species, yaitu jenis-jenis yang dapat memproduksi toksin yang dapat menyebabkan PSP. Pada saat terjadi red tide, organisme tersebut mengeluarkan toksin. Lewat rantai makanan, toksin itu termakan oleh zooplankton dan kerang kerangan. Zooplankton akan termakan oleh ikan sehingga menyebabkan ikan mati. Demikian pula halnya dengan kerang-kerangan yang termakan oleh hewan lain atau oleh manusia, maka hewan dan manusia itupun akan mati.
RACUN KERANG Dinoflagellata adalah organisme bersel satu yang ditandai oleh adanya dua buah cambuk yang berfungsi untuk memobilisasi organisme tersebut. Dinoflagellata termasuk dalam kelas Pinophyceae yang merupakan mikroalga perairan dan merupakan organisme yang mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Pada kondisi lingkungan yang tidak mendukung Dinoflagellata akan membentuk kista dan berada di dasar perairan. Bila kondisi perairannya mendukung terutama saat nutrien perairan melimpah dapat menyebabkan terjadinya blooming terutama di daerah estuari dan bila saat tersebut kerang memakannya, maka akan sangat berbahaya bila kerang tersebut dikonsumsi oleh manusia karena konsentrasi Dinoflagellata beracun dalam tubuhnya tinggi (Sudarmiati dan Zaman, 2007). Penyakit Paralytic Shellfish Poisons (PSP) Beberapa kejadian fatal yang disebabkan oleh fitoplankton beracun tercatat di perairan Lewotobi dan Lewouran (Nusa Tenggara Timur), Pulau Sebatik (Kalimantan Timur), perairan Makassar dan Teluk Ambon. Di beberapa negara maju, ledakan fitoplankton juga mendapat prioritas penanganan mengingat dampak kerugiannya yang tinggi. Beberapa penyakit akut yang disebabkan oleh racun dari kelompok fitoplankton berbahaya adalah Paralytic Shellfish Poisoning(PSP), Amnesic Shellfish Poisoning (ASP), dan Diarrhetic Shellfish Poisoning (DSP). Racunracun tersebut sangat berbahaya karena di antaranya menyerang sistem saraf manusia, pernapasan, dan pencernaan. Semua penyakit di atas berkaitan dengan konsumsi kerang oleh manusia. Dan faktanya, semua jenis fitoplankton yang beracun di atas dijumpai di beberapa perairan pesisir Indonesia (Sudarmiati dan Zaman, 2007) PSP disebabkan oleh racun yang bersifat akut dan berakibat fatal yang disebabkan oleh konsumsi kerang dan Dinoflagellata merupakan sumber utama yang memproduksi racun Saxitoxin. Sebutan tersebut berasal dari diisolasinya racun Dinoflagellata yang terdapat dalam kerang alaska Saxidomus giganteus. Pada kerang ditemukan racun tersebut pada bagian siphonnya (alat penghisap) (Sudarmiati dan Zaman, 2007). Efek Racun Saxitoxin Pada Sel Saraf Aksi farmakologi dari racun saxitoxin menunjukkan bahwa saxitoxin tidak mengalami perubahan struktur molekul dalam melakukan aksinya pada membran saraf dengan efek yang sangat cepat dan dapat menyebabkan kematian. Gejala keracunan nampak sekitar 30 menit setelah mengkonsumsi kerang yang terkontaminasi dengan rasa terbakar pada bagian bibir, hidung, dan wajah kemudian menjalar ke leher, lengan, ujung jari. Pada beberapa kasus terasa melayang di udara. Pada tingkat akhir akan terjadi paralisis (kelumpuhan otot) dan dapat terjadi kematian setelah 12 jam karena paralisis pernapasan. Kondisi akan membaik jika korban mampu bertahan pada 12 jam pertama Aksi racun saxitoxin adalah dengan memblokade secara selektif pada pemasukan natrium melalui membran yang dapat tereksitasi (excitable membran) sehingga menghambat secara efektif sifat kondusif saraf (Sudarmiati dan Zaman, 2007).
CARA-CARA PENANGGULANGANNYA AKIBAT-AKIBAT RED TIDE Negara-negara yang pernah mengalami kejadian ini ialah Canada, Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, Australia dan Asia. Di beberapa negara tersebut telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk melindungi sumber-sumber perikanan dan bahaya red tide demi keselamatan manusia (Panggabean, 1994). Langkah-langkah yang diambil untuk menanggulangi red tide adalah sebagai berikut (Panggabean, 1994) : 1. Surveillance, yaitu melakukan pengamatan toksisitas langsung pada kerangkerangan di lokasi yang pernah atau dicurigai mengalami red tide. Negara-negara yang pernah mengalami ledakan PSP disarankan untuk membentuk "Shellfish Surveillance Programs". Canada merupakan negara yang telah melaksanakan program dengan sukses sejak tahun 1943, yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain. Setiap minggu contoh-contoh tiram dan kerang di Teluk Fundy dan sungai St. Lawrence diteliti toksisitasnya melalui percobaan "bio-assay". Jika toksin tersebut telah menujukkan kadar yang membahayakan maka kultur kerang-kerangan dari tempat tersebut tidak boleh dipanen. Jika kemudian dinyatakan aman, maka tempattempat tersebut dibuka kembali. 2. Depuration, yaitu membebaskan kerang dari toksin agar dapat diperdagangkan secepatnya. Akhir-akhir ini untuk mengurangi jangka waktu pembebasan kerang dari toksin telah sukses dilakukan program "Exposing Shellfish to Ozone", yaitu dilakukan dengan penyediaan oksigen yang cukup dengan ditambahkan harum-haruman yang seger yang akan menetralkan toksin secara cepat. Cara sederhana juga bisa dilakukan dengan cara merendam kerang yang terkena racun ke dalam air yang bebas racun. Tetapi cara ini memakan waktu yang lama sehingga terlambat dipasarkan. Blooming yang sering terjadi di beberapa perairan Indonesia seperti di Teluk Jakarta dan Laut Arafura yaitu blooming Noctiluca, Trichodesmium, dan blooming dari beberapa jenis diatom
PENYAKIT DARI LOGAM BERAT
Logam berat yang terlarut di perairan ada yang bersifat mikronutrien / essensial bagi hewan dan tumbuhan tetapi, ada juga yang tidak dibutuhkan sebagai mikronutrien atau non- essensial. Logam berat yang berfungsi sebagai mikronutrien tetapi dalam jumlah yang banyak akan bersifat toksik bagi hewan dan tumbuhan adalah Zn, Cu, Fe, Mn, dan logam berat yang belum diketahui manfaatnya dan dianggap bersifat toksik adalah Hg, Pb, Cd, Cr. Logam berat terakumulasi ke dalam tubuh biota laut dapat melalui permukaan tubuh, terserap insang dan rantai makanan. Secara biologis logam berat akan mengalami penimbunan dalam tubuh biota laut seperti ikan, udang dan kerang. Setiap biota memiliki cara makan yang berbeda. Kerang memperoleh makanan dengan menyaring air, sehingga dengan mudah logam berat masuk ke dalam tubuh kerang. Logam berat juga mudah terakumulasi ke dalam tubuh ikan. Logam berat akan menumpuk pada organ tubuh ikan. Selanjutnya ikan mengalami gangguan pada organorgan pernapasan hingga mengalami kematian. Logam berat Pb dan Cd terakumulasi ke dalam tubuh udang (Crustaceae) lewat permukaan tubuh dengan cara difusi dari lingkungan perairan. Hewan-hewan jenis Crustaceae banyak menyimpan logam berat pada daging kemudian kulit. Dalam rantai makanan di perairan yang tercemar logam berat akan terakumulasi ke dalam tubuh fitoplanton. Fitoplanton yang mengandung logam berat dimakan oleh ikan-ikan kecil, kemudian ikan-ikan besar memakan ikan-ikan kecil, dan ikan-ikan besar maupun kecil dimakan oleh manusia. Terjadilah biomagnifikasi (transfer logam berat) melalui rantai makanan (Erari,S.S dkk, 2010). Efek Logam Berat Timbal merupakan salah satu jenis logam berat yang terjadi secara alami yang tersedia dalam bentuk biji logam, dan juga dalam percikan gunung berapi, dan bisa juga di peroleh di alam. Keracunan timbal bisa menyerang manusia dari berbagai usia. Akan tetapi, anak usia muda, wanita hamil dan pekerja di industry tertentu lebih besar resikonya di bandingkan kelompok yang lain. Timbal merupakan zat yang sangat beracun jika terserap ke dalam tubuh. Pengaruh timbal pada kesehatan anak sangat banyak sekali termasuk diantaranya mengurangi perkembangan IQ, hyperactive, susah dalam belajar, masalah dalam bersikap seperti kurang peduli dan aggressive, rusak alat pendengaran dan lemah pertumbuhan. Kandungan timbal dalam darah lebih dari 50 ug/dL bisa menyebabkan rusaknya ginjal dan anemia. Konsentrasi timbal 100 micrograms per deciliter dalam darah anak bisa menyebabkan penyakit serius, coma, sawan atau kematian (Suherni, 2010). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum menetapkan sebuah nilai tunjuk untuk timbal di dalam darah, tapi Fewtrell et al (2004) memperkirakan untuk WHO pada tahun 2004 bahwa 20% dari semua anakanak memiliki kandungan timbal dalam darah diatas 10 ug/dL dan kebanyakan dari mereka tinggal di negara berkembang (Clark et al 2009). Logam berat yang ada di perairan suatu saat akan mengendap ke dasar perairan dan mengalami proses sedimentasi bersama lumpur. Proses sedimentasi terjadi karena logam - logam tersebut tidak dapat terurai. Distribusi logam didalam air dan sedimen akan mempengaruhi biota disekitar lingkungan tersebut. Misalnya udang, kerang, dan ikan. Logam berat akan terakumulasi kedalam tubuh biota laut, di perairan Lanut Bolaang Mongondow Selatan yang lokasinya terdapat aktifitas penambangan rakyat tanpa ijin/ PETI teridentifikasi kandungan Hg dalam fitoplanton adalah 0, 62 ppm, sedangkan dalam tubuh ikan tude (Caranx sp) terakumulasi kandungan Hg sebesar 0, 41 ppm. Manusia / masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan mudah terkena efek logam berat karena mereka selalu mengkonsumsi pangan laut (Suherni, 2010). TEKNIK PENGOLAHAN KERANG Adanya masalah pencemaran logam berat pada kerang seperti yang telah disebutkan di atas, maka perlu diadakannya suatu upaya untuk dapat menurunkan kadar logam berat Pb dan Cd sehingga penyebab negatif terhadap masyarakat yang mengkonsumsinya dapat berkurang. Salah satu upaya pengurangannya dengan cara perendaman menggunakan larutan yang dapat mengikat logam berat. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mereduksi kandungan logam berat yang ada dalam tubuh kerang, antara lain upaya mereduksi logam berat pada daging kerang hijau dengan menggunakan larutan kitosan. dan perendaman daging kerang dalam larutan asam cuka untuk mereduksi kadar logam berat kadmium. Mengenai pengaruh penambahan EDTA dalam penentuan kandungan Pb dan Cu pada kerang hijau. Penelitian Sari, K.A dkk (2014) tentang Pengaruh Lama Perebusan Dan Konsentrasi Larutan Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia) Terhadap Kadar Timbal (Pb) Dan Kadmium (Cd) Pada Kerang Darah (Anadara granosa) Jeruk nipis dapat digunakan sebagai pereduksi logam berat karena mengandung senyawa asam organik yaitu asam sitrat. Asam sitrat yang ada dalam jeruk nipis dapat berfungsi sebagai senyawa yang mengikat logam berat dalam daging kerang. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang membandingkan penggunaan larutan jeruk nipis dan aquades sebagai pereduksi kadar logam kadmium pada kerang darah dan hasilnya terjadi penurunan terhadap kadar logam kadmium. Pada penelitian yang dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap penurunan kadar logam timbal (Pb) dan kadmium (Cd) dalam tubuh kerang darah dengan menggunakan perbandingan konsentrasi larutan jeruk nipis 1:1 dan variasi lama waktu perebusan yang digunakan yaitu 0, 15, 30 dan 45 menit. Hasil penelitian Sari, K.A dkk (2014) Penelitian kadar timbal dan kadmium mengalami penurunan yang sangat nyata pada penggunaan konsentrasi larutan jeruk nipis 1:1, namun hasil penurunan tersebut berpengaruh terhadap nilai organoleptik (rasa dan tekstur) serta nilai ekonomis. Lama perebusan paling efektif kerang darah dengan larutan jeruk nipis dilihat dari persentase penurunan logam berat dan nilai organoleptik adalah selama 30 menit. Persentase penurunan kadar Pb dalam daging kerang darah pada waktu 30 menit sebesar 60,67% sedangkan kadar Cd sebesar 44,39%. Semakin lama waktu perebusan maka semakin rendah kadar timbal dan kadmium pada daging kerang darah. Nilai kadar air dalam daging kerang juga menurun karena adanya proses perebusan, sama halnya dengan kadar abu, nilai pH dan nilai organoleptik.Terjadi penurunan yang signifikan dan adanya interaksi yang kuat pada lama waktu perebusan serta penggunaan larutan eruk nipis sebagai pereduksi kadar timbal dan kadmium pada daging kerang darah DAFTAR BACAAN Adnan, Quraisyin. 1985. Red Tide. Jurnal. Oseana, Volume x, nomor 2 : 48 - 55, 1985. ISSN 0216-1877. Sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Adriyani, R dan Trias Mahmudiono, T. 2009. Kadar Logam Berat Cadmium, Protein dan Organoleptik pada Daging Bivalvia dan Perendaman Larutan Asam Cuka. Jurnal. J. Penelit. Med. Eksakta, Vol. 8, No. 2, Agust 2009: 152-161.
Clark, C. Scott., Rampal, Krishna G., Thuppil, Venkatesh., Roda, Sandy M., Succop, Paul., Menrath, William., Chen, Chin K., Adebamowo, Eugenious O., Agbede, Oluwole A., Sridhar, Mynepalli K.C., Adebamowo, Clement A., Zakaria, Yehia., El-safty, Amal., Shinde, Rana M., and Yu, Jiefei. 2009. Lead Levels in new enamel household paints from asia, africa and south america, 7/7/09, article in Press environmental research, Www.uc.edu/international/cosmic/files/news/lead_in_africa_asia_and_south_america aug20091.7.50.pdf
Erari, S.S., Mangimbulude, Jubhar., dan Karina Lewerissa. 2010. Pelestarian Hutan Mangrove Solusi Pencegahan Pencemaran Logam Berat di Perairan Indonesia. Universitas Kristen Satya Wacana Fewtrell, l., Pruss-Ustun, A., Candrigan, P., Ayuso-Mateos, J.L. 2004. Estimating The Global Burden Of Disease Of Mild Mental Retardation and Cardiovascular Diseases From Environmental Lead Exposure. Environmental Research 94(2), 120-133, http://dx.doi.org/10.1016/s0013-9351(03)00132-4
Sari, K.A., Riyadi, P.H., Anggo, A.D. 2014. Pengaruh Lama Perebusan dan Konsentrasi Larutan Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia) Terhadap Kadar Timbal (pb) dan Kadmium (cd) pada Kerang Darah (Anadara granosa). Http://www.ejournal- s1.undip.ac.id/index.php/jpbhp. Sudarmiati, Sari dan Zaman, Badrus. 2007. Mekanisme Keracunan Saraf Akibat Konsumsi Kerang-kerangan yang Terkontaminasi Dinoflagellata Beracun (Studi Literatur). Jurnal Volume 1, nomor 1, tahun 2007.
Suherni. 2010. Keracunan Timbal di Indonesia. Intern di Lead Group, Untuk Melengkapi Tugas Belajarnya Sebagai Masters Of Environmental Science, Graduate School Of The Environment, Macquarie University, Sydney, Australia. Editor; Anne Roberts And Elizabeth Obrien, The Lead Group Incorporated, Sydney, Australia.
Panggabean, M.G Lily. 1877. Red Tide di Indonesia : Perlukah Diwaspadai ?. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan. Volume 3, Nomer 2, Tahun 2014, Halaman 1-10. Oseana, Volume XIX, Nomor 1 : 33 38. ISSN 0216 1877.