Anda di halaman 1dari 9

Tugas Toksikologi Pangan

RACUN DARI KERANG-KERANGAN BIVALVIA



Oleh :

Fadlianto Botutihe
Ekawati Basri

Ilmu dan Teknologi Pangan
Program Pascasarjana. Universitas Hasanuddin Makassar, 2014


Sudah banyak dari masyarakat yang mengetahui bahwa kerang memiliki kandungan
protein dan nilai gizi yang tinggi. Kerang sangat baik untuk dikonsumsi baik untuk anak-anak
maupun orang dewasa. Tingginya tingkat konsumsi kerang oleh masyarakat di Indonesia,
menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2011) dapat dilihat dari kenaikan rata-rata
produksi kerang darah di Indonesia pada tahun 2000 hingga 2010 sebesar 5,18% (Sari dkk,
2014)
Kerang-kerangan (Bivalvia) merupakan salah satu bahan makanan sumber protein
hewani. Disisi lain kerang-kerangan merupakan suatu jenis biota laut yang sering dijadikan
sebagai biomonitoring tingkat polusi logam berat di suatu perairan terutama daerah pantai,
karena tingkat mobilitasnya yang rendah (Adriyani dan Mahmudiono, 2009).
RED TIDE
"Red tide" adalah suatu keadaan laut yang sedang mengalami perubahan warna
(discolouration). Tentu saja perubahan warna terjadi pada kondisi perairan tertentu.
Perubahan warna air laut yang tampak coklat kemerahan disebabkan oleh ledakan
fitoplankton yang tiba-tiba (blooming) dari salah satu jenis fitoplankton bersel tunggal
kelompok dinoflagellata. Warna air dapat menjadi merah, coklat, kuning, biru, oranye, dan
sebagainya. Terjadinya perubahan warna itu tergantung pada pigmen-pigmen yang
dikandung oleh fitoplankton tersebut. Jenis fitoplankton yang berbeda akan mempunyai
warna pigmen yang berbeda pula. Jenis-jenis dinoflagellata pembentuk red tide mempunyai
sifat khas yaitu di dalam tubuhnya mengandung klorofil yang dapat menghasilkan toksin
dalam proses fotosintesis. Toksin ini jika termakan oleh manusia lewat kerang-kerangan yang
dapat mengakibatkan keracunan (paralytic shellfish poisoning). Pada kasus yang lebih berat
dapat mengakibatkan kelumpuhan dan akhirnya kematian. Kadang-kadang dapat terjadi kasus
kematian ikan-ikan dan hewan lainnya walaupun perairan tidak memperlihatkan perubahan
warna. Hal ini disebabkan karena pada saat fitoplankton penyebab red tide mulai
berkembang, pada waktu yang sama dihasilkan juga toksin. Dengan demikian penggunaan
istilah red tide terutama ditekankan pada akibat fatal yang ditimbulkannya, sedangkan istilah
"blooming" dipakai terbatas pada keadaan melimpahnya organisme tanpa diikuti akibatakibat
fatal tersebut Dinoflagellata (Adnan, 1985).
Untuk memahami proses terjadinya red tide dapat dijelaskan melalui rantai makanan
di dalam air. Tanaman, baik di darat maupun di laut yang memiliki klorofil dapat mengikat
energi cahaya matahari pada proses fotosintesis. Di laut tumbuhan ini dikenal sebagai algae.
Secara morfologis algae dibagi dalam dua kelompok, yaitu tumbuhan makroskopis yang
dikenal sebagai rumput laut dan tumbuhan mikroskopis yang dikenal sebagai fitoplankton.
Fitoplankton adalah mikro-organisme yang hidup melayang di lapisan-lapisan permukaan air
sampai ke dalam perairan yang masih terkena sinar matahari. Fitoplankton dibagi kedalam
dua kelas, yaitu kelas diatom yang banyak dijumpai dan mendominasi perairan dan kelas
dinoflagellata yang umumnya dijumpai sangat sedikit di perairan tetapi jenis-jenis tertentu
pada saat-saat tertentu merupakan penyebab red tide (Adnan, 1985).

"RED TIDE" DI INDONESIA : PERLUKAH DIWASPADAI ?
Belajar dari pengalaman buruk di daerah subtropis, yaitu musibah keracunan makanan
laut sebagai akibat dari 'red tide', maka di tempattempat yang sering mengalami kejadian 'red
tide' dilakukan pemantauan dan usaha-usaha perlindungan terhadap masyarakat. Pemantauan
dilakukan terhadap fitoplankton, keadaan lingkungan serta kadar racun dari biota setempat
(biasanya kerang). Apabila didapati kadar yang membahayakan manusia maka daerah
perikanan tersebut ditutup terhadap penangkapan. Di Kanada ditetapkan kadar PSP pada
kerang tidak melebihi 20 mikrogram/gr kerang. Bagaimana dengan keadaan di Indonesia ?
(Panggabean, 1877).
Data tentang keracunan makanan laut memang ada. Kecuali adanya ledakan
Trichodesmium erythraeum di Lampung dan kepulauan Seribu. ledakan dari jenis
fitoplankton yang lain belum diketahui dengan pasti. Ledakan Trichodesimium tersebut
mengakibatkan kematian masal udang di tambak-tambak. adanya keracunan setelah makan
ikan dan fatal terhadap 4 orang pasien dilaporkan pertama kali dari Lewotobi, Flores, pada
tahun 1983 (Panggabean, 1877).
Adapun penelitian 'red tide' di Indonesia masih dalam tahap pemula yaitu bekerja
sama dengan Kanada. Diperlukan langkah yang panjang untuk merumuskan kejadian 'red
tide' di Indonesia serta penanggulanggannya. Mengingat sedikitnya laporan, apakah dapat
dikatakan bahwa kejadian 'red tide' masih langka di Indonesia ? Atau mungkinkah perairan
kita termasuk golongan yang tidak rawan terhadap 'red tide' ? Bagaimanapun 'red tide' di
Indonesia tetap menarik untuk diteliti dan diwaspadai (Panggabean, 1877).

DINOFLAGELLATA DAN "PARALYTICSHELLFISH POISONING" (PSP)
Fitoplankton penyebab red tide umumnya dari kelas dinoflagellata kelompok
Pyrrophyta. Terdapat kira-kira 20 jenis dinoflagellata yang mengeluarkan toksin.
Berdasarkan caranya membunuh mahluk lain, maka dinoflagellata dibagi dalam dua
golongan (Adnan, 1985). :
1. Anoxic (harmful) species, yaitu jenisjenis yang dapat menyebabkan perairan
kekurangan oksigen (oxygen depletion). Pada saat itu faktor-faktor pendukung
terjadinya red tide telah berubah, misalnya berubahnya kondisi hidrologi akan
mempengaruhi populasi organisme red tide, sehingga organisme tersebut akan
mati secara serentak. Kejadian ini pernah terjadi di New Jersey tahun 1977, yang
menyebabkan perairan seluas 14.000 km
2
kekurangan oksigen sehingga
menyebabkan matinya hewan laut dalam jumlah besar terutama jenis-jenis yang
hidup di dasar perairan (tiram dan kerang). Hal yang sama pernah terjadi pula di
Jepang pada tahun 1972, 1977, 1978, dan 1979, yaitu kematian sejumlah besar
ikan "yelllow tail" di Harima Nada, yang disebabkan oleh Chatonella antiqua.
2. Toxic species, yaitu jenis-jenis yang dapat memproduksi toksin yang dapat
menyebabkan PSP. Pada saat terjadi red tide, organisme tersebut mengeluarkan
toksin. Lewat rantai makanan, toksin itu termakan oleh zooplankton dan kerang
kerangan. Zooplankton akan termakan oleh ikan sehingga menyebabkan ikan
mati. Demikian pula halnya dengan kerang-kerangan yang termakan oleh hewan
lain atau oleh manusia, maka hewan dan manusia itupun akan mati.

RACUN KERANG
Dinoflagellata adalah organisme bersel satu yang ditandai oleh adanya dua buah
cambuk yang berfungsi untuk memobilisasi organisme tersebut. Dinoflagellata termasuk
dalam kelas Pinophyceae yang merupakan mikroalga perairan dan merupakan organisme
yang mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Pada kondisi lingkungan yang
tidak mendukung Dinoflagellata akan membentuk kista dan berada di dasar perairan. Bila
kondisi perairannya mendukung terutama saat nutrien perairan melimpah dapat menyebabkan
terjadinya blooming terutama di daerah estuari dan bila saat tersebut kerang memakannya,
maka akan sangat berbahaya bila kerang tersebut dikonsumsi oleh manusia karena
konsentrasi Dinoflagellata beracun dalam tubuhnya tinggi (Sudarmiati dan Zaman, 2007).
Penyakit Paralytic Shellfish Poisons (PSP)
Beberapa kejadian fatal yang disebabkan oleh fitoplankton beracun tercatat di
perairan Lewotobi dan Lewouran (Nusa Tenggara Timur), Pulau Sebatik (Kalimantan
Timur), perairan Makassar dan Teluk Ambon. Di beberapa negara maju, ledakan
fitoplankton juga mendapat prioritas penanganan mengingat dampak kerugiannya
yang tinggi. Beberapa penyakit akut yang disebabkan oleh racun dari kelompok
fitoplankton berbahaya adalah Paralytic Shellfish Poisoning(PSP), Amnesic Shellfish
Poisoning (ASP), dan Diarrhetic Shellfish Poisoning (DSP). Racunracun tersebut
sangat berbahaya karena di antaranya menyerang sistem saraf manusia, pernapasan,
dan pencernaan. Semua penyakit di atas berkaitan dengan konsumsi kerang oleh
manusia. Dan faktanya, semua jenis fitoplankton yang beracun di atas dijumpai di
beberapa perairan pesisir Indonesia (Sudarmiati dan Zaman, 2007)
PSP disebabkan oleh racun yang bersifat akut dan berakibat fatal yang
disebabkan oleh konsumsi kerang dan Dinoflagellata merupakan sumber utama yang
memproduksi racun Saxitoxin. Sebutan tersebut berasal dari diisolasinya racun
Dinoflagellata yang terdapat dalam kerang alaska Saxidomus giganteus. Pada kerang
ditemukan racun tersebut pada bagian siphonnya (alat penghisap) (Sudarmiati dan
Zaman, 2007).
Efek Racun Saxitoxin Pada Sel Saraf
Aksi farmakologi dari racun saxitoxin menunjukkan bahwa saxitoxin tidak
mengalami perubahan struktur molekul dalam melakukan aksinya pada membran
saraf dengan efek yang sangat cepat dan dapat menyebabkan kematian. Gejala
keracunan nampak sekitar 30 menit setelah mengkonsumsi kerang yang
terkontaminasi dengan rasa terbakar pada bagian bibir, hidung, dan wajah kemudian
menjalar ke leher, lengan, ujung jari. Pada beberapa kasus terasa melayang di udara.
Pada tingkat akhir akan terjadi paralisis (kelumpuhan otot) dan dapat terjadi kematian
setelah 12 jam karena paralisis pernapasan. Kondisi akan membaik jika korban
mampu bertahan pada 12 jam pertama Aksi racun saxitoxin adalah dengan
memblokade secara selektif pada pemasukan natrium melalui membran yang dapat
tereksitasi (excitable membran) sehingga menghambat secara efektif sifat
kondusif saraf (Sudarmiati dan Zaman, 2007).

CARA-CARA PENANGGULANGANNYA AKIBAT-AKIBAT RED TIDE
Negara-negara yang pernah mengalami kejadian ini ialah Canada, Amerika Utara,
Amerika Selatan, Eropa, Australia dan Asia. Di beberapa negara tersebut telah dilakukan
penelitian yang bertujuan untuk melindungi sumber-sumber perikanan dan bahaya red tide
demi keselamatan manusia (Panggabean, 1994).
Langkah-langkah yang diambil untuk menanggulangi red tide adalah sebagai berikut
(Panggabean, 1994) :
1. Surveillance, yaitu melakukan pengamatan toksisitas langsung pada kerangkerangan
di lokasi yang pernah atau dicurigai mengalami red tide. Negara-negara yang pernah
mengalami ledakan PSP disarankan untuk membentuk "Shellfish Surveillance
Programs". Canada merupakan negara yang telah melaksanakan program dengan
sukses sejak tahun 1943, yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain. Setiap
minggu contoh-contoh tiram dan kerang di Teluk Fundy dan sungai St. Lawrence
diteliti toksisitasnya melalui percobaan "bio-assay". Jika toksin tersebut telah
menujukkan kadar yang membahayakan maka kultur kerang-kerangan dari tempat
tersebut tidak boleh dipanen. Jika kemudian dinyatakan aman, maka tempattempat
tersebut dibuka kembali.
2. Depuration, yaitu membebaskan kerang dari toksin agar dapat diperdagangkan
secepatnya. Akhir-akhir ini untuk mengurangi jangka waktu pembebasan kerang dari
toksin telah sukses dilakukan program "Exposing Shellfish to Ozone", yaitu dilakukan
dengan penyediaan oksigen yang cukup dengan ditambahkan harum-haruman yang
seger yang akan menetralkan toksin secara cepat. Cara sederhana juga bisa dilakukan
dengan cara merendam kerang yang terkena racun ke dalam air yang bebas racun.
Tetapi cara ini memakan waktu yang lama sehingga terlambat dipasarkan.
Blooming yang sering terjadi di beberapa perairan Indonesia seperti di Teluk Jakarta
dan Laut Arafura yaitu blooming Noctiluca, Trichodesmium, dan blooming dari beberapa
jenis diatom

PENYAKIT DARI LOGAM BERAT

Logam berat yang terlarut di perairan ada yang bersifat mikronutrien / essensial bagi
hewan dan tumbuhan tetapi, ada juga yang tidak dibutuhkan sebagai mikronutrien atau non-
essensial. Logam berat yang berfungsi sebagai mikronutrien tetapi dalam jumlah yang
banyak akan bersifat toksik bagi hewan dan tumbuhan adalah Zn, Cu, Fe, Mn, dan logam
berat yang belum diketahui manfaatnya dan dianggap bersifat toksik adalah Hg, Pb, Cd, Cr.
Logam berat terakumulasi ke dalam tubuh biota laut dapat melalui permukaan tubuh,
terserap insang dan rantai makanan. Secara biologis logam berat akan mengalami
penimbunan dalam tubuh biota laut seperti ikan, udang dan kerang. Setiap biota memiliki
cara makan yang berbeda. Kerang memperoleh makanan dengan menyaring air, sehingga
dengan mudah logam berat masuk ke dalam tubuh kerang. Logam berat juga mudah
terakumulasi ke dalam tubuh ikan. Logam berat akan menumpuk pada organ tubuh ikan.
Selanjutnya ikan mengalami gangguan pada organorgan pernapasan hingga mengalami
kematian. Logam berat Pb dan Cd terakumulasi ke dalam tubuh udang (Crustaceae) lewat
permukaan tubuh dengan cara difusi dari lingkungan perairan. Hewan-hewan jenis
Crustaceae banyak menyimpan logam berat pada daging kemudian kulit. Dalam rantai
makanan di perairan yang tercemar logam berat akan terakumulasi ke dalam tubuh
fitoplanton. Fitoplanton yang mengandung logam berat dimakan oleh ikan-ikan kecil,
kemudian ikan-ikan besar memakan ikan-ikan kecil, dan ikan-ikan besar maupun kecil
dimakan oleh manusia. Terjadilah biomagnifikasi (transfer logam berat) melalui rantai
makanan (Erari,S.S dkk, 2010).
Efek Logam Berat
Timbal merupakan salah satu jenis logam berat yang terjadi secara alami yang
tersedia dalam bentuk biji logam, dan juga dalam percikan gunung berapi, dan bisa
juga di peroleh di alam. Keracunan timbal bisa menyerang manusia dari berbagai usia.
Akan tetapi, anak usia muda, wanita hamil dan pekerja di industry tertentu lebih
besar resikonya di bandingkan kelompok yang lain. Timbal merupakan zat yang
sangat beracun jika terserap ke dalam tubuh. Pengaruh timbal pada kesehatan anak
sangat banyak sekali termasuk diantaranya mengurangi perkembangan IQ,
hyperactive, susah dalam belajar, masalah dalam bersikap seperti kurang peduli dan
aggressive, rusak alat pendengaran dan lemah pertumbuhan. Kandungan timbal dalam
darah lebih dari 50 ug/dL bisa menyebabkan rusaknya ginjal dan anemia. Konsentrasi
timbal 100 micrograms per deciliter dalam darah anak bisa menyebabkan penyakit
serius, coma, sawan atau kematian (Suherni, 2010).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum menetapkan sebuah nilai tunjuk
untuk timbal di dalam darah, tapi Fewtrell et al (2004) memperkirakan untuk WHO
pada tahun 2004 bahwa 20% dari semua anakanak memiliki kandungan timbal
dalam darah diatas 10 ug/dL dan kebanyakan dari mereka tinggal di negara
berkembang (Clark et al 2009).
Logam berat yang ada di perairan suatu saat akan mengendap ke dasar
perairan dan mengalami proses sedimentasi bersama lumpur. Proses sedimentasi
terjadi karena logam - logam tersebut tidak dapat terurai. Distribusi logam didalam air
dan sedimen akan mempengaruhi biota disekitar lingkungan tersebut. Misalnya
udang, kerang, dan ikan. Logam berat akan terakumulasi kedalam tubuh biota laut, di
perairan Lanut Bolaang Mongondow Selatan yang lokasinya terdapat aktifitas
penambangan rakyat tanpa ijin/ PETI teridentifikasi kandungan Hg dalam fitoplanton
adalah 0, 62 ppm, sedangkan dalam tubuh ikan tude (Caranx sp) terakumulasi
kandungan Hg sebesar 0, 41 ppm. Manusia / masyarakat pesisir yang berprofesi
sebagai nelayan mudah terkena efek logam berat karena mereka selalu
mengkonsumsi pangan laut (Suherni, 2010).
TEKNIK PENGOLAHAN KERANG
Adanya masalah pencemaran logam berat pada kerang seperti yang telah disebutkan
di atas, maka perlu diadakannya suatu upaya untuk dapat menurunkan kadar logam berat Pb
dan Cd sehingga penyebab negatif terhadap masyarakat yang mengkonsumsinya dapat
berkurang. Salah satu upaya pengurangannya dengan cara perendaman menggunakan larutan
yang dapat mengikat logam berat. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mereduksi
kandungan logam berat yang ada dalam tubuh kerang, antara lain upaya mereduksi logam
berat pada daging kerang hijau dengan menggunakan larutan kitosan. dan perendaman daging
kerang dalam larutan asam cuka untuk mereduksi kadar logam berat kadmium. Mengenai
pengaruh penambahan EDTA dalam penentuan kandungan Pb dan Cu pada kerang hijau.
Penelitian Sari, K.A dkk (2014) tentang Pengaruh Lama Perebusan Dan Konsentrasi
Larutan Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia) Terhadap Kadar Timbal (Pb) Dan Kadmium (Cd)
Pada Kerang Darah (Anadara granosa) Jeruk nipis dapat digunakan sebagai pereduksi logam
berat karena mengandung senyawa asam organik yaitu asam sitrat. Asam sitrat yang ada
dalam jeruk nipis dapat berfungsi sebagai senyawa yang mengikat logam berat dalam daging
kerang. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang membandingkan penggunaan larutan jeruk
nipis dan aquades sebagai pereduksi kadar logam kadmium pada kerang darah dan hasilnya
terjadi penurunan terhadap kadar logam kadmium. Pada penelitian yang dilakukan penelitian
lebih lanjut terhadap penurunan kadar logam timbal (Pb) dan kadmium (Cd) dalam tubuh
kerang darah dengan menggunakan perbandingan konsentrasi larutan jeruk nipis 1:1 dan
variasi lama waktu perebusan yang digunakan yaitu 0, 15, 30 dan 45 menit.
Hasil penelitian Sari, K.A dkk (2014) Penelitian kadar timbal dan kadmium
mengalami penurunan yang sangat nyata pada penggunaan konsentrasi larutan jeruk nipis
1:1, namun hasil penurunan tersebut berpengaruh terhadap nilai organoleptik (rasa dan
tekstur) serta nilai ekonomis. Lama perebusan paling efektif kerang darah dengan larutan
jeruk nipis dilihat dari persentase penurunan logam berat dan nilai organoleptik adalah
selama 30 menit. Persentase penurunan kadar Pb dalam daging kerang darah pada waktu 30
menit sebesar 60,67% sedangkan kadar Cd sebesar 44,39%. Semakin lama waktu perebusan
maka semakin rendah kadar timbal dan kadmium pada daging kerang darah. Nilai kadar air
dalam daging kerang juga menurun karena adanya proses perebusan, sama halnya dengan
kadar abu, nilai pH dan nilai organoleptik.Terjadi penurunan yang signifikan dan adanya
interaksi yang kuat pada lama waktu perebusan serta penggunaan larutan eruk nipis sebagai
pereduksi kadar timbal dan kadmium pada daging kerang darah
DAFTAR BACAAN
Adnan, Quraisyin. 1985. Red Tide. Jurnal. Oseana, Volume x, nomor 2 : 48 - 55, 1985. ISSN
0216-1877. Sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Adriyani, R dan Trias Mahmudiono, T. 2009. Kadar Logam Berat Cadmium, Protein dan
Organoleptik pada Daging Bivalvia dan Perendaman Larutan Asam Cuka. Jurnal. J.
Penelit. Med. Eksakta, Vol. 8, No. 2, Agust 2009: 152-161.

Clark, C. Scott., Rampal, Krishna G., Thuppil, Venkatesh., Roda, Sandy M., Succop, Paul.,
Menrath, William., Chen, Chin K., Adebamowo, Eugenious O., Agbede, Oluwole A.,
Sridhar, Mynepalli K.C., Adebamowo, Clement A., Zakaria, Yehia., El-safty, Amal.,
Shinde, Rana M., and Yu, Jiefei. 2009. Lead Levels in new enamel household paints
from asia, africa and south america, 7/7/09, article in Press environmental research,
Www.uc.edu/international/cosmic/files/news/lead_in_africa_asia_and_south_america
aug20091.7.50.pdf

Erari, S.S., Mangimbulude, Jubhar., dan Karina Lewerissa. 2010. Pelestarian Hutan
Mangrove Solusi Pencegahan Pencemaran Logam Berat di Perairan Indonesia.
Universitas Kristen Satya Wacana
Fewtrell, l., Pruss-Ustun, A., Candrigan, P., Ayuso-Mateos, J.L. 2004. Estimating The
Global Burden Of Disease Of Mild Mental Retardation and Cardiovascular Diseases
From Environmental Lead Exposure. Environmental Research 94(2), 120-133,
http://dx.doi.org/10.1016/s0013-9351(03)00132-4

Sari, K.A., Riyadi, P.H., Anggo, A.D. 2014. Pengaruh Lama Perebusan dan Konsentrasi
Larutan Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia) Terhadap Kadar Timbal (pb) dan
Kadmium (cd) pada Kerang Darah (Anadara granosa). Http://www.ejournal-
s1.undip.ac.id/index.php/jpbhp.
Sudarmiati, Sari dan Zaman, Badrus. 2007. Mekanisme Keracunan Saraf Akibat Konsumsi
Kerang-kerangan yang Terkontaminasi Dinoflagellata Beracun (Studi Literatur).
Jurnal Volume 1, nomor 1, tahun 2007.

Suherni. 2010. Keracunan Timbal di Indonesia. Intern di Lead Group, Untuk Melengkapi
Tugas Belajarnya Sebagai Masters Of Environmental Science, Graduate School Of
The Environment, Macquarie University, Sydney, Australia. Editor; Anne Roberts
And Elizabeth Obrien, The Lead Group Incorporated, Sydney, Australia.

Panggabean, M.G Lily. 1877. Red Tide di Indonesia : Perlukah Diwaspadai ?. Jurnal
Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan. Volume 3, Nomer 2, Tahun 2014,
Halaman 1-10. Oseana, Volume XIX, Nomor 1 : 33 38. ISSN 0216 1877.

Anda mungkin juga menyukai