Anda di halaman 1dari 3

Kasang hari ini cerah.

Cahaya mentari tampak jingga melipir di antara celah dedaunan


setelah beberapa hari lalu hujan deras. Disana terdapat sebuah rumah kecil tepatnya di
persimpangan yang dihuni Mak Nisa dengan Fadli anaknya.
“Li, pergilah ke pasar. Semoga hari ini banyak yang menyemir sepatu.”
“Capek, mak!” sahut Fadli.
“Pergilah, biar bisa bantu emak bayar hutang Pak Rudi,” perintah Mak Nisa lagi.
“Yo lah, mak.” Fadli menjawab sambil mengambil alat semirnya.
Esoknya saat jam menunjukkan pukul dua belas kurang lima menit, terlihat Mak Nisa gelisah.
Karena uang untuk memmbayar hutang Pak Rudi belum cukup. Di Kasang Pak Rudi terkenal kejam.
Pukul dua belas siang adalah janji Mak Nisa pada Pak Rud untuk melunas hutangnya.
“Tin... Tin... Tin...” Terdengar klakson mobl berhenti di halaman depan. Ternyata itu adalah
suara mobil Pak Rudi. Mobilnya mewah, hitam mengkilat. Rasanya seperti tak pantas untuk mobil itu
masuk ke pekarangan rumah Mak Nisa. Mendengar suara klakson mobil itu, Mak Nisa yang sedang
menanak nasi untuk makan siang langsung berjalan ke depan pintu. “Sebentar,” sahut Mak Nisa.
“Mana uang kemarin?” tanya Pak Rudi.
“B-belum ada, pak...”
“HEY! Kan sudah ku bilang kemarin kalau uangnya harus ada hari ini!” bentak Pak Rudi
sambil menggebrak pintu rumah Mak Nisa. Mendengar suara itu, Fadli yang sedang beristirahat di
kamar langsung mengintip di balik tirai.
“M-maaf, pak. Besok saya usahakan uangnya sudah ada.”
“Maaf, maaf. Sudah berkali-kali kau bilang begitu. Aku gak mau tahu lagi, ya. Besok uangnya
harus sudah ada pukul dua belas siang besok,” balas Pak Rudi dengan logat Bataknya. Ia kemudian
langsung pergi begitu saja dengan mobil mewahnya. Mendengar ucapan Pak Rudi, Fadli merasa
sedih akan kondisi keluarganya. Ayahnya yang sudah lama meninggal membuat ekonomi
keluarganya sedikit goyah. Ia pun langsung berlari keluar dari pintu belakang rumah dan mengayuh
sepedanya menuju ke Ancol mencari ketenangan.
Sesampainya disana ia pun duduk di tepi sungai Batanghari. Ia termenung menatap arus
sungai yang tak sedetik pun berhenti. Melempar bebatuan dan sampah yang berada di tepi sungai
adalah caranya untuk melampiskan emosi yang ada dalam dirinya.
Tak terasa senja pun tiba. Langit hari ini tampak cantik. Gradasi warna merah muda, jingga
dan kuning, awan yang tidak begitu tebal, angin sepoy-sepoy menambah kesyahduan Ancol senja ini.
“Enak nian kalau sambil makan jagung bakar sore-sore cak ni,” ujarnya. Namun ia tidak
membawa uang untuk membeli jagung bakar di dekat tempat dirinya duduk.
Tak lama kemudian , ia melihat botol Tupperware melintas di depannya terbawa arus
bersama dengan tumpukan sampah dan potongan-potongan kayu. Tanpa ragu, Fadli langsung
mengambil botol itu yang di dalamnya terdapat sebuah kalung dengan batu mulia berwarna kuning
di tengahnya. “Wah! Kalung siapo ni?” Tak segan-segan Fadli langsung memakai kalung tersebut dan
langsung beranjak berdiri. Kemudian tak sengaja ia menyentuh bebatuan yang ada di tepi sungai.
Tak disangka, batu yang ia sentuh itu sekejab berubah menjadi butiran emas asli. “Waduh, kalau aku
balek pake kalung ini, agek sepeda aku berubah pulak jadi emas. Terus kekmano aku nak balek?”
gumamnya. Fadli pun melepas kalungnya dan memasukannya ke dalam kantong kemudian bergegas
pulang.
Sementara di rumah, Mak Nisa khawatir terhadap Fadli karena ia tidak berada di rumah
sejak siang. Sambil memasak ikan asin dan sambal terasi untuk makan malam, tiba-tiba Mak Nisa
mendengar suara Fadli dari luar rumah.
“Mak, ooo mak!” teriak Fadli.
“Astaga.. darimano kau?” tanya Mak Nisa.
“Tadi aku habis duduk-duduk di Ancol, terus aku menemukan kalung ini, Mak!” jawab Fadli
sambil terengah-engah.
“Kalung siapa itu, Li?” Mak Nisa kembali bertanya.
“Dak tahu, mak. Tadi saat Fadli pake kalung ini, semua yang Fadli sentuh berubah jadi emas,
Mak” jawab Fadli sumringah.
“HAH?!” Mak Nisa terkejut. “Serius, Li?”
“Iyo, mak. Sumpah” jawab Fadli sambil mengacungkan dua jari.
“Coba sini emak pakai.” Mak Nisa langsung berlari ke dapurnya yang tak jauh itu dan
menyentuh bawang merah di dapur rumahnya. Sekejap bawang itu langsung menjadi butiran emas
seukuran bawang yang ia pegang. Sontak Mak Nisa berseru kegirangan, “Wah! Ternyata beneran, Li.
Emasnya pasti bisa digunakan untuk bayar hutang Pak Rudi. Jadi kamu tidak perlu menyemir sepatu
lagi di pasar.” “Sekarang kamu mandi kemudian tolong bantu emak ambil batu-batu yang ada di
halaman. Emak mau siapkan makan malam dahulu.” perintah Mak Nisa. “Siap, Mak!”
Sungguh tak disangka. Entah kebaikan apa yang pernah dilakukan oleh Mak Nisa di masa lalu
sehingga ia menerima rejeki nomplok hari ini. Ini adalah titik balik kehidupan Mak Nisa dan Fadli.
Akhirnya Mak Nisa bisa tidur nyenyak malam ini.
Esok paginya, Mak Nisa menyuruh Fadli belanja ke pasar. Hari ini ia ingin menyambut
kedatangan Pak Rudi untuk menagih hutang Mak Nisa.
“Li, tolong bantu emak pergi belanja ke pasar sebentar.” perintah Mak Nisa.
“Mau beli apa, mak?”
“Tolong belikan emak ayam satu kilo, cabai seperempat, dengan santan satu kilo.”
“Wah, tumben sekali, mak. Memangnya ada acara apa?” tanya Fadli.
“Hari ini kita akan kedatangan tamu. Pergilah sekarang! Nanti emak masaknya kesiangan.”
ujar Mak Nisa.
“Oke, Mak!”
Tepat pukul dua belas siang. Mobil Pak Rudi telah memasuki halaman rumah Mak Nisa.
“Tin...tin...” terdengar suara klakson mocil Pak Rudi. Belum sempat Pak Rudi berjalan ke teras, Mak
Nisa langsung mempersilahkan Pak Rudi masuk. Betapa kagetnya Pak Rudi melihat meja ruang tamu
dipenuhi oleh makanan yang sangat mengguggah selera.
“Wah! Tumben kali kau. Ada acara apa ini?” tanya Pak Rudi dengan logat Bataknya.
“Tidak ada acara, pak. Bukannya tamu itu harus disambut?” sambung Mak Nisa sambil
tersenyum. “Silakan dicicip, pak. Inilah yang kami punya.” Mak Nisa merendah.
“Wah, enak kali masakan mu.” Tidak pernah sekalipun ucapan pujian terlontar dari mulut
Pak Rudi. Namun kali ini ia memuji masakan Mak Nisa. Menandakan masakan Mak Nisa sangat lezat.
Setelah Pak Rudi selesai makan, Mak Nisa langsung beranjak ke kamarnya mengambil emas-
emas yang Fadli kumpulkan tadi malam.
“Saya tidak punya uang tunai untuk membayar hutang bapak. Tapi saya punya sedikit emas
ini. Apakah ini cukup?”
“Uhukk..uhukk” Betapa terkejutnya Pak Rudi melihat butiran emas Mak Nisa sampai ia
tersedak. Menurut Pak Rudi hal ini mustahil terjadi.
“Tentu saja itu cukup. Darimana kau mendapatkan emas itu?” tanya Pak Rudi heran.
“Ini warisan keluarga kami, Pak.” Tanpa ragu, Pak Rudi mengambil kantong kain yang berisi
emas tersebut dan langsung pamit meninggalkan rumah Mak Nisa. Mak Nisa tersenyum semringah
mengingat hutang yang selama ini menghantuinya sudah terbayar. Seakan-akan batu berat yang
selama ini menempel di pundaknya hilang seketika. Begitu juga Fadli. Sudah lama ia tidak melihat
senyum lebar di wajah ibunya. Hal itu membuat dirinya gembira.
Malam pun tiba. Terlihat Mak Nisa dan Fadli berbincang-bincang sambil menikmati makan
malam. “Li, apakah kamu dengar yang diucapkan Pak Rudi tadi siang?” tanya Mak Nisa.
“Yang mana, mak?”
“ Tadi siang Pak Rudi bilang kalau masakan emak enak. Apa emak buka rumah makan saja,
ya?” “Modalnya bisa kita kumpulkan dari kalung itu.” Sambung Mak Nisa.
“Hmm, ide bagus itu, mak.” ujar Fadli dengan makanan yang masi berada di mulutnya.
Mak Nisa pun membuka rumah makan pertamanya. Sedikit demi sedikit orang mulai
mengenali rumah makan Mak Nisa. Seiring berjalannha waktu. Bisnis rumah makan Mak Nisa
berkembanh pesat. Cabangnya ada dimana-mana, keadaan ekonomi keluarganya mulai stabil. Begitu
juga dengan Fadli. Fadli mulai percaya diri untuk bergaul dengan teman-teman sekolahnya.
Suatu malam, Fadli dan Mak Nisa sedang berbjnvang mengenai keadaan ekonomi mereka
yang berbeda seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya.
“Li, bagaimana jika kau kembalikan saja kalung emas itu. Toh kita sudah tidak perlu lagi.
Ekonomi kita kan sudah stabil sekarang. Lagipula, kita kan tidak tahu kalung itu punya siapa.” ujar
Mak Nisa.
“Loh. Kenapa, mak? Kan kita bisa pakai kalung itu supaya kita makin kaya?” tanya Fadli
“Bukan begitu, Li. Perasaan emak tidak enak. Kali inj biar emak berusaha sendiri membiayai
kamu.” jawab Mak Nisa.
“Ya sudah kalau begitu. Besok pagi Fadli kembalikan ke sungai.”
Esok paginya, Fadli langsung bergegas ke Ancol untuk mengembalikan kalung tersebut
beserta botol Tupperware yang ia temukan dulu. Tak lupa Fadli menyelipkan kertas bertuliskan
“Terima kasih” kedalam botol Tupperware itu. Kemudian ia bergegas pulang ke rumahnya yang tidak
kecil lagi.
Tak lama Fadli sampai di rumah, tiba-tiba hujan badai di daerah Kota Jambi. Akibatnya
beberapa daerah terendam banjir terutama di daerah rumah Pak Rudi. Hujan pun reda. Pak Rudi
terlihat sedang membersihkan pekarangan rumahnya yang dipenuhi oleh dedaunan dan ranting-
ranting pohon. Saat ia membersihkan ranting-ranting itu, ia melihay botol Tupperware yang berisi
kalung melintas di pekarangan rumahnya. “Loh? Inikan punya ku?”

Anda mungkin juga menyukai