BELAJAR
dan
PEMBELAJARAN
BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
Copyright © FKIP Unsri, 2019
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved
Cetakan 1, Januari 2019
Penyusun:
Rahmi Susanti, Yenny Anwar, Evi Ratna Kartikawati, & Suratmi
Desain sampul & Tata letak: Akhmad Aminuddin Bama
Diterbitkan oleh: SIMETRI
P uji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat, taufik
serta petunjuk-Nya penulisan Buku Ajar Belajar dan Pembelajaran inidapat dise-
lesaikan. Buku Ajar Belajar dan Pembelajaran ini merupakan salah satu sumber yang
dapat dipergunakan sebagai bahan belajar di antara demikian banyak bahan ajar lain
yang dapat diperoleh atau diakses melalui berbagai sumber informasi yang tersedia. Di
antara banyaknya buku yang telah tersedia, buku ini hadir melalui positioning dengan
mengedepankan komprehensivitas dengan melihat sejumlah aspek.
Buku ini telah menghimpun segalape mikiran para ahli terhadap belajar dan
pembelajaran serta mengkaji berbagai fenomena terkini yang berkaitan dengan
berbagai masalah dan inovasi baru dalam dunia pendidikan dan pembelajaran. Selain
itu juga, buku ini menampung inspirasi yang berkembang selama kami membina
matakuliah tersebut, baik dari rekan-rekan dosen maupun mahasiswa. Harapannya buku
ini dapat digunakan mahasiswa untuk bekal dalam memahami dan melaksanakan proses
pembelajaran di lapangan. Bagi pengajar dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan
mutu pendidikan dengan lebih memahami seluk-beluk belajar dan pembelajaran.
Buku ajar ini terdiri dari 10 Bab, yang diawali dengan Bab I Hakikat Belajar dan
Pembelajaran, dilanjutkan dengan Bab II dan III tentag Teori-teori belajar. Pada Bab IV
dan V dipaparkan tentang Prinsip-prinsip Belajar dan Motivasi Belajar. Media dan
Inovasi Pembelajaran disajikan pada Bab VI dn VII, sedangkan Bab VIII tentang
Mekanisme Evaluasi Proses dan Hasil Pembelajran. Bab IX tentang Masalah-masalah
Belajar. Buku ini diakhiri dengan Bab X yaitu tentang Dasar Pengembangan Kurikulum.
Kami sebagai penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala
sumbang saran bagi penyelesaian maupun perbaikan buku ini. Dalam berbagai dimensi
tulisan ini tentu masih banyak kekurangan.
Palembang, Desember 2018
Tim Penulis
I stilah belajar tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Sejak manusia dilahir-
kan sampai masuk ke liang lahat selalu terjadi proses belajar dalam kehidupan manu-
sia. Kegiatan belajar tidak dibatasi usia, waktu dan tempat, kapanpun dan dimanapun
terjadi proses belajar. Pengertian belajar banyak dikemukakan oleh beberapa ahli.
Kesemua pengertian belajar terkait dengan terjadinya proses perubahan tingkah laku
pada individu yang belajar dan proses atau cara terjadinya perubahan tingkah laku
tersebut. Beberapa pengertian belajar antara lain (Aunurrahman, 2016; Suprijono, 2011)
a. Belajar adalah perubahan tingkah laku pada diri individu karena adanya interaksi
antara individu dengan individu dan interaksi antara individu dan lingkungannya
(Burton)
b. Belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang ditimbulkan atau diubah melalui
latihan atau pengalaman (Whittaker)
c. Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap suatu
situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam
situasi itu (Hilgard)
d. Belajar adalah proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari pengalaman
(Gagne dan Berliner).
e. Proses menghasilkan penyesuaian tingkah laku (Travers).
f. Perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Cronbach).
g. Belajar adalah mengamati, membaca, meniru, mencoba sesuatu, mendengar, dan
mengikuti arah tertentu (Harold Spears).
h. Perubahan performance sebagai hasil latihan (Geoch)
i. Belajar adalah perubahan tingkah laku yang bersifat permanen sebagai hasil dari
latihan dan pengalaman (Morgan).
siswa. Istilah pembelajaran memiliki makna yang lebih luas, yaitu kegiatan yang dimulai
dari mendesain, mengembangkan, mengimplementasikan, dan mengevauasi kegiatan
yang dapat menciptakan terjadinya proses belajar.
Pembelajaran berupaya mengubah masukan berupa siswa yang belum memiliki
pengetahuan tentang sesuatu menjadi siswa yang memiliki pengetahuan. Siswa yang
memiliki sikap dan tingkah laku yang belum mencerminkan eksistensi dirinya sebagai
pribadi baik atau positif, menjadi siswa yang memiliki sikap, dan tingkah laku yang baik.
Belajar dapat saja terjadi tanpa pembelajaran, namun hasil belajar akan tampak jelas
dari suatu aktivitas pembelajaran. Pada proses pembelajaran, hasil belajar dapat dilihat
secara langsung. Oleh sebab itu, supaya dapat dikontrol dan berkembang secara optimal
melalui proses pembelajaran di kelas, maka program pembelajaran harus dirancang
terlebih dahulu oleh guru dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang telah terbukti
keunggulannya.
diamati biasanya adalah perubahan prilaku pada aspek motorik. Perubahan prilaku
pada aspekafektif (emosional) tidak mudah dilihat dalam waktu yang singkat, akan
tetapi dalam rentang waktu yang lama.
e. Kontinyu atau berkesinambungan dengan prilaku lainnya.
f. Bermanfaat sebagai bekal hidup
g. Positif atau berakumulasi
h. Bersifat aktif atau sebagai usaha yang direncanakan dan dilakukan. Aktivitas atau
usaha yang dilakukan dalam proses belajar menunjukkan keaktifan seseorang dalam
melakukan kegiatan tertentu, baik aspek jasmani maupun mental. Hal ini yang
memungkinkan terjadinya perubahan prilaku pada invidu yang belajar.
i. Perubahan prilaku bersifat permanen atau tetap.
j. Bertujuan dan terarah
k. Mencakup keseluruhan potensi kemanusiaan
Selain hasil tersebut di atas dinyatakan juga bahwa belajar merupakan proses,
yang terjadi karena dorongan kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai. Belajar adalah
proses sistemik yang dinamis, konstruktif, dan organik. Belajar merupakan suatu peng-
alaman dan hasil dari interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya.
Tujuan pembelajaran pada ranah kognitif adalah kemampuan untuk melatih kemam-
puan intelektual siswa. Tujuan pada ranah ini membuat siswa mampu menyelesaikan
tugas-tugas yang bersifat intelektual. Bloom dkk mengemukakan enam kemampuan yang
bersifat hierarkis yang terdapat dalam ranah kognitif, yaitu: knowledge (pengetahuan dan
ingatan), comprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh), application
(menerapkan), analysis (menguraikan, menentukan hubungan), synthesis (mengorga-
nisasikan, merencanakan), dan evaluation (menilai).
Pengetahuan merupakan hierarki terendah dalam ranah kognitif, berupa kemam-
puan dalam mengidentifikasi dan menyebutkan informasi dan data faktual. Pemahaman
merupakan kemampuan dalam menjelaskan dan mengartikan suatu konsep. Kemam-
puan aplikasi sangat terkait dengan kemampuan dalam menerapkan prinsip dan aturan
yang telah dipelajari sebelumnya. Analisis adalah kemampuan dalam menguraikan suatu
konsep dan menjelaskan keterkaitan komponen-komponen yang terdapat di dalamnya.
Sintesis merupakan kemampuan untuk menggabungkan komponen-komponen menjadi
sebuah konsep atau aturan yang baru. Evaluasi merupakan kemampuan dalam ranah
kognitif yang paling tinggi. Kemampuan ini sangat terkait dengan kemampuan dalam
menilai dan membuat keputusan terhadap situasi yag dihadapi.
b. Ranah Afektif
Ranah afektif sangat terkait dengan sikap, emosi, penghargaan, dan penghayatan atau
apresiasi terhadap nilai, norma, dan sesuatu yang dipelajari. Menurut Kratwohl dkk.
terdapat lima hierarki dalam ranah afektif, yaitu: receiving (sikap menerima), responding
(memberikan respon), valuing (menilai), organization (mengorganisasi), characterization
(memberi karakter terhadap suatu nilai).
Menerima adalah kemampuan untuk memberikan perhatian terhadap suatu akti-
vitas atau peristiwa yang dihadapi. Merespon adalah kegiatan untuk memberikan reaksi
terhadap suau aktivitas dengan cara melibatkan diri atau berpartisipasi di dalamnya.
Menilai sangat terkait dengan tindakan menerima atau menolak suatu nilai atau norma
yang dihadapi melalui sebuah ekspresi sebuah sikap positif atau negatif. Mengorganisasi
berarti mengidentifikasi, memilih dan memutuskn nilai atau norma yag akan diapli-
kasikan. Memberikan karakter terhadap nilaiberarti menyakini, mempraktekkan, dan
menunjukkan prilaku yang konsisten terhadap nilai dn norma yang dipelajari.
c. Ranah Psikomotor
Ranah psikomotor terkait erat dengan kemampuan dalam melakukan kegiatan-kegiatan
yang bersifat fisik dalam berbagai mata pelajaran. Misalnya dalam mata pelajaran olah-
raga, drama dan praktikum, tujuan pembelajaran dalam ranah psikomotor sangat
menonjol. Ranah psikomotor memiliki empat hierarki kemampuan, yaitu: imitasi,
manipulasi, presisi, dan artikulasi.
yaitu tujuan belajar sebagai hasil yang menyertai tujuan belajar pembelajaran, bentuk-
nya berupa kemampuan berpikir kritis dan kreatif, sikap terbuka dan demokratis,
menerima orang lain, dan lain sebagainya.
Pembelajaran dikondisikan agar mampu mendorong kreativitas siswa, membuat
siswa aktif, mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan berlangsung dalam kondisi
menyenangkan. Oleh karena itu setiap guru harus memiliki keyakinan bahwa:
a. Belajar adalah sangat penting dan menyenangkan
b. Siswa patut dihargai sebagai pribadi yang unik
c. Siswa hendaknya menjadi pelajar yang aktif
d. Siswa perlu merasa nyaman di kelas dan dirangsang untuk selalu belajar.
e. Siswa harus mempunyai rasa memiliki dan dan kebanggaan di dalam kelas.
f. Guru merupakan fasilitator dan mediator
g. Guru harus kompeten
h. Kerjasama bernilai lebih tinggi daripada kompetisi
i. Pengalaman belajar hendaknya dekat dan berasal dari pengalaman yang nyata.
f. Guru mau dan mampu menerima berbagai masukan, resiko, tantangan, dan selalu
memberikan dukungan kepada siswanya, konsisten dalam kesepakatan-kesepakatan
dengan siswa.
g. Guru memiliki kemampuan dalam merencanakan, mengorganisasi kelas, mengelola
kelas sehingga dapat menciptakan suasana kelas yang kondusif dan menyenangkan.
Pandangan lain tentang kriteria pembelajaran yang berhasil atau sukses adalah
seperti yang dikemukakan oleh Heinich, dkk.(2005) dikutif Pribadi (2009) bahwa
pembelajaran yang sukses memiliki beberapa kriteria antara lain.
a. Peran aktif siswa. Proses belajar akan berlangsung efektif jika siswa terlibat secara
aktif dalam tugas-tugas yang bermakna, dan berinteraksi dengan materi pelajaran
secara intensif. Keterlibatan mental siswa dalam melakukan proses belajar akan
memperbesar kemungkinan terjadinya proses belajar dalam diri seseorang.
b. Latihan. Latihan yang dilakukan dalam berbagai konteks dapat memperbaiki tingkat
daya ingat atau retensi. Latihan juga dapat memperbaiki kemampuan siswa untuk
mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang baru dipelajari. Tugas-tugas
belajar berupa pemberian latihan akan dapat meningkatkan penguasaan siswa
terhadap pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari.
c. Perbedaan individual. Setiap individu memiliki karakteristik unik yang membeda-
kannya dari individu yang lain. Setiap individu memiliki potensi yang perlu dikem-
bangkan secara optimal. Dalam hal ini, tugas guru adalah mengembangkan potensi
yang dimiliki oleh individu seoptimal mungkin melalui proses pembelajaran yang
berkualitas.
d. Umpan balik. Umpan balik sangat diperlukan oleh siswa untuk mengetahui kemam-
puan dalam mempelajari materi pelajaran dengan benar. Umpan balik dapat
diberikan dalam bentuk pengetahuan tentang hasil belajar yang telah dicapai siswa
setelah melakukan aktivitas pembelajaran. Informasi dan pengetahuan tentang hasil
belajar akan memacu seseorang untuk berprestasi lebih baik lagi.
e. Konteks nyata. Siswa perlu mempelajari materi pelajaran yang berisi pengetahuan
dan keterampilan yang dapat diterapkan dalam sebuah situasi yang nyata. Siswa
yang mengetahui kegunaan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari akan
memiliki motivasi tinggi untuk mencapai tujuan pembelajaran.
f. Interaksi sosial. Interaksi sosial sangat diperlukan oleh siswa agar dapat memperoleh
dukungan sosial dalam belajar. Interaksi yang berkesinambungan dengan sesama
siswa akan memungkinkan siswa untuk melakukan konfirmasi terhadap pengetahuan
dan keterampilan yang sedang dipelajari.
T eori belajar berkembang sejak sebelum abad ke-20 dan selama serta setelah abad
ke-20, sebelum abad ke-20 teori belajar dikembangkan berdasarkan pemikiran filo-
sofis, tanpa dilandasi eksperimen, sedangkan pada abad ke-20 teori belajar dikem-
bangkan secara ilmiah.Beberapa teori belajar yang muncul pada abad ke-20 diantaranya
adalah teori belajar behavioristik, kognitif, humanistik, konstruktivis dan sosial.
sesuatu yang diberikan oleh guru (stimulus) dan sesuatu yang diterima oleh pelajar
(respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat perubahan tingkah laku
tersebut terjadi atau tidak.
Faktor lain yangpaling penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement), respons akan sema-
kin kuat. Begitu pula bila respons dikurangkan atau dihilangkan (negative reinforcement),
respons juga semakin kuat.
Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar adalah perubahan perilaku yang
dapat diamati, diukur, dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan
(stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (response) berdasarkan hukum-
hukum mekanistik. Aplikasi teori belajar behavioristik dalam pembelajaran, sifat materi
pelajaran, karakteristik siswa, media, dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan, tetapi akan melemah bila
koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Sehingga prinsip dari
hukum ini menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan.
Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
c. Hukum Hasil/Akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung
diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibat-
nya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemah-
nya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat
menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya,
suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan
dan tidak akan diulangi.
Selain tiga hukum di atas Thorndike juga menambahkan hukum lainnya dalam belajar
yaitu:
a. Hukum reaksi bervariasi (multiple response) mengatakan bahwa pada individu
diawali oleh proses trial and error yang menunjukkan berbagai macam respons
sebelum memperoleh respons yang tepat dalam memecahkan masalah yang
dihadapi.
b. Hukum sikap (Set/Attitude) menjelaskan bahwa perilaku belajar seseorang tidak
hanya ditentukan oleh hubungan stimulasi dengan respons saja, tetapi juga
ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu, baik kognitif, emosi, sosial,
maupun psikomotornya.
c. Hukum aktifitas berat sebelah (prepotency of element) mengatakan bahwa
individu dalam proses belajar memberikan respons pada stimulus tertentu saja
sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respons selektif).
d. Hukum respon by analogy mengatakan bahwa individu dapat menghubungkan
situasi yang belum perna dialami dengan situasi lama yang perna dialami
sehingga terjadi transfer unsure lama ke situasi baru.
e. Hukum perpindahan asosiasi (associative shifting) mengatakan bahwa proses
peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara
bertahap dengan cara menambahkan perlahan unsur baru dan membuang
perlahan unsur lama.
3. Teori operant conditioning (B.F.Skinner)
Kotak skinner, salah satu alat yang sangat terkenal setelah digunakannya sebagai alat
untuk menelitiperilaku hewan. Skinner membuat eksperimen memasukkan tikus yang
telah dilaparkan dalam kotak yang dilengkapi dengan peralatan yaitu tombol, alat
pemberi makanan, penampung makanan, lampu yang dapat diatur nyalanya, dan lantai
yang dapat dialiri listrik. Karena dorongan lapar, tikus bergerak kesana kemari berusaha
keluar mencari makanan, lalu tidak sengaja ia menekan tombol makanan keluar, secara
terjadwal sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukan tikus tersebut, proses ini disebut
shapping.
Berdasarkan berbagai percobaan pada tikus dan burung merpati, Skinner menga-
takan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement), penge-
tahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respons akan semakin kuat bila diberi
penguatan.Reinforcementadalah suatu konsekuensi perilaku yang memperkuat perilaku
tertentu.Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana dan dapat menun-
jukkan konsepnya tentang belajar secara komprehensif. Menurut Skinner, hubungan
antara stimulus dan respons yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, yang
kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang
digambarkan oleh para tokoh sebelumnya.
Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar perlu ter-
lebih dahulu memahami hubungan antara stimulus satu dengan lainnya, serta mema-
hami respons yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin akan
timbul sebagai akibat dari respons tersebut.
Skinner membuat perincian dengan membedakan respons menjadi dua yaitu:
a. Respondent response (reflexive response). Respon ini ditimbulkan oleh
perangsang tertentu yang mendahului respons yang ditimbulkannya dan sangat
terbatas pada manusia
b. Operante Response (instrumental Response). Respon yang timbul diikuti oleh
perangsang tertentu yang memperkuat respons yang telah dilakukan oleh
organism.
Skinner juga mengemukakan bahwa, dengan menggunakan perubahan mental
sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah.
Sebab, setiap alat yang dipergunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.Dari
semua pendukung teori behavioristik, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya.
Program-program pembelajaran seperti teaching machine, pembelajaran berprogram,
modul, dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan
stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan
program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh
Skinner.
Menurut Skinner untuk memperkuat perilaku atau menegaskan perilaku diperlu-
kan suatu penguatan (reinforcement). Ada juga jenis penguatan, yaitu: penguatan positif
dan penguatan negatif.
a. Penguatan positif (positive reninforcement) didasari prinsip bahwa frekuensi dari
suatu respon akan meningkat karena diikuti oleh suatu stimulus yang mengan-
Dua hal yang sangat penting dalam proses belajar Hull adalah adanya incentive
motivation(motivasi intensif) dan drive stimulus reduction (pengurangan stimulus pendo-
rong). Penggunaan secara praktis untuk kegiatan dalam kelas sebagai berikut.
a. Teori belajar didasarkan pada drive-reduction atau drive stimulus reduction
b. Tujuan pembelajaran harus dirumuskan secara spesifik dan jelas
c. Ruangan kelas harus diatur sedemikian rupa untuk memudahkan proses belajar
d. Pelajaran harus dimulai dari yang mudah menuju ke yang lebih sulit
e. Kecemasan harus ditimbulkan untuk mendorong kemauan belajar
Urutan mata pelajaran diatur sedemikian rupa untuk menjadi perangsang yang
mendorong belajar dan tidak menghambat matapelajaran yang terdahulu.
5. Teori belajar J.B Watson
J.B. Watson mengemukakan dua prinsip dasar dalam pembelajaran yaitu:
a. Prinsip kekerapan; menyatakan bahwa semakin kerap individu bertindak balas
terhadap suatu rangsang, akan lebih besar kemungkinan individu memberikan
tindak balas yang sama terhadap rangsangan itu.
b. Prinsip kebaruan menyatakan bahwa apabila individu membuat tindak balas
yang baru terhadap rangsang, apabila kelak muncul lagi rangsangan, besar
kemungkinan individu tersebut akan bertindak balas dengan cara yang serupa
dengan rangsangan itu.
Watson mengadakan eksperimen perasaan takut pada anak dengan menggunakan
tikus dan kelinci.Dari hasil percobaan dapat ditarik kesimpulan bahwa perasaan takut
pada anak dapat diubah atau dilatih.Teori Watson ini disebut pula teori classical
conditioning yang dipelopori oleh Pavlov yaitu gerakan-gerakan reflex dapat dipelajari
dan berubah karena mendapat latihan. Kemudian, gerak reflex tersebut dibedakan
menjadi dua yaitu refleks wajar (unconditioned reflex) dan refleks bersyarat atau refleks
yang dipelajari (conditioned reflex).
Menurut teori ini, belajar adalah proses perubahan yang terjadi karena adanya
syarat-syarat (conditions) yang kemudian menimbulkan reaksi (respons). Penganut teori
ini mengatakan bahwa semua tingkah laku manusia adalah hasil conditioning yakni hasil
dari latihan-latihanatau kebiasaan bereaksi terhadap perangsang-perangsang tertentu
yang dialaminya didalam kehidupannya.
6. Teori belajar Robert Gagne
Gagne terkenal dengan penemuannya berupa condition of learning, ia mengembangkan
konsep terpakai dari teori instruksional untuk mendesain pelatihan berbasis komputer
dan belajar berbasis multimedia, teori Gagne banyak dipakai untuk mendesain software
instruksional.
Gagne disebut sebagai Modern Neobehavioris yang mendorong guru untuk
merencanakan pembelajaran agar suasana dan gaya belajar dapat dimodifikasi. Kete-
rampilan paling rendah menjadi dasar bagi pembentukan kemampuan yang lebih tinggi
dalam hierarki keterampilan intelektual. Guru harus mengetahui kemampuan dasar yang
harus dipersiapkan, belajar dimulai dari yang paling sederhana kemudian dilanjutkan ke
yang lebih kompleks (belajar SR, rangkaian SR, asosiasi verbal, diskriminasi, dan belajar
konsep) sampai ke tipe belajar yang lebih tinggi yaitu belajar aturan dan pemecahan
masalah, praktiknya, gaya belajar tersebut tetap mengacu pada asosiasi stimulus respons.
7. Teori belajart Albert Bandura
Albert Bandura adalah seorang psikolog yang terkenal dengan teori belajar sosial atau
kognitif sosial serta efikasi diri. Eksperimennya yang sangat terkenal adalah eksperimen
Bobo Doll yang menunjukkan anak meniru secara persis perilaku agresif orang dewasa
disekitarnya. Teori belajar sosial membantu memahami terjadinya perilaku agresi dan
penyimpangan psikologi dan bagaimana memodifikasi perilaku. Teori Bandura menjadi
dasar dari perilaku pemodelan yang digunakan dalam berbagai pemdidikan secara
missal.
Faktor-faktor yang berproses dalam belajar observasi adalah sebagai berikut:
a. Perhatian: mencakup peristiwa peniruan dan karakteristik pengamatan
b. Penyimpanan atau proses mengingat: mencakup kode pengodean simbolik
c. Reproduksi motorik: mencakup kemampuan fisik, kemampuan meniru, dan
keakuratan umpan balik
d. Motivasi: mencakup dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri.
Prinsip-prinsip faktor model atau teladan yang harus diperhatikan sebagai berikut:
a. Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorgani-
sasikan sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melaku-
kannya
b. Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimi-
likinya
c. Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model tersebut disukai dan
perilakunya memberi nilai yang bermanfaat.
8. Teori belajar Edwin Guthrie
Guthrie mengemukakan cara atau metode untuk mengubah kebiasaan yang kurang baik
berdasarkan teori conditioning ini disebut teori contiguity theory. Menurutnya tingkah
laku manusia secara keseluruhan dapat dipandang sebagai deretan tingkah laku yang
terdiri dari unit-unit tingkah laku yang merupakan respons dari stimulus sebelum-nya,
kemudian unit tersebut menjadi stimulus pula yang akhirnya menimbulkan respons bagi
unit tingkah laku yang berikutnya. Demikian seterusnya sehingga menjadi deretan-
deretan unit tingkah laku yang berurutan.
Guthrie mengemukakan tiga metode untuk mengubah kebiasaan buruk yaitu:
a. Metode ambang; metode mengubah tindak balas dengan menurunkan atau
meningkatkan rangsangan secara berangsur
b. Metode meletihkan; menghilangkan tindak balas yang tidak diinginkan dengan
menggalakkan individu mengulangi tindak balas itu sampai akhirnya ia letih.
c. Metode ambang rangsangan tak serasi; dengan memberikan rangsangan yang
menimbulkan tindak balas yang tidak diinginkan
Beberapa metode dalam mengubah tingkah laku atau kebiasaan pada hewan maupun
manusia dirumuskan sebagai berikut:
a. Metode reaksi berlawanan (incompatible response method) suatu reaksi
kepada perangsangnya telah menjadi suatu kebiasaan, cara untuk mengubahnya
adalah dengan jalan menghubungkan perangsang (stimulus) dengan reaksi
(respons) yang berlawanan dengan reaksi buruk yang akan dihilangkannya.
Contoh anak kecil takut kelinci di beri makanan yang dia disukai terus menerus
sampai tidak takut kelinci lagi
b. Metode membosankan (exchaustion method) pada metode ini, hubungan
antara asosiasi, perangsang, dan reaksi pada tingkah laku yang buruk dibiarkan
saja sampai lama mengalami keburukan itu sehingga menjadi bosan. Contoh seo-
rang anak usia tiga tahun senang bermain dengan korek api, lalu anak tersebut
diberi satu pak korek api untuk dimainkan terus menerus sampai akhirnya anak
tersebut menjadi bosan
c. Metode mengubah lingkungan (change of environtment) metode yang dila-
kukan dengan jalan memisahkan hubungan antara perangsang dan reaksi yang
buruk akan dihilangkan. Metode ini menghilangkan kebiasaan buruk yang dise-
babkan oleh perangsang dengan mengubah perangsangnya. Contoh memindah-
kan tingkah laku buruk seorang anak disekolahnya dengan memindahkannya ke
sekolah lain.
a. Teori ini cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan
dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru
dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen
atau pujian.
b. Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka pada situasi dan kondisi belajar
c. Guru tidak banyak memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan belajar mandiri.
Jika mengalami kesulitan murid baru bertanya kepada guru yang bersangkutan
d. Dengan pengulangan dan pelatihan yang berkesinambungan, dapat mengoptimal-
kan bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk sebelumnya
e. Dapat menggantikan stimulus yang satu dengan stimulus yang lainnya dan seterus-
nya sampai respons yang diinginkan muncul
f. Bahan pelajaran disusun secara hierarkis dari yang sederhana sampai yang kompleks
bertujuan mampu menghasilkan suatu prilaku yang konsisten terhadap bidang ter-
tentu
g. Teori ini cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktik dan
pembiasaan yang mengandung unsure kecepatan, spontanitas, dan daya tahan.
Kelemahan teori behavioristik
Kelemahan teori behavioristik adalah sebagai berikut.
a. Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning), bersifat
mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang diamati dan diukur.
b. Siswa hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa
yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan
hukuman sebagai salah satu cara untuk mendisiplinkan siswa (teori skinner) baik
hukuman verbal maupun fisik seperti kata-kata kasar, ejekan, jeweran yang justru
berakibat buruk pada siswa.
c. Sebuah konsekuensi bagi guru untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang
sudah siap
d. Tidak setiap mata pelajaran bisa menggunakan metode ini
e. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru
dianggap metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa
f. Siswa sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan menghafalkan apa yang
didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif
g. Siswa dipandang pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh pengu-
atan yang diberikan guru
h. Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning) bersifat
mekanistik dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur
i. Cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif, tidak
produktif, dan mendudukkan siswa sebagai individu yang pasif.
Kritik terhadap behavioristik adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru,
bersifat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur.
Kritik ini sangat tidak berdasar karena penggunaan teori behavioristik mempunyai
persyaratan tertentu sesuai dengan ciri yang dimunculkannya. Tidak setiap mata pela-
jaran bisa memakai metode ini sehingga kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan
kondisi belajar sangat penting untuk menerapkan kondisi behavioristik
Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampuan yang membu-
tuhkan praktik dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur, seperti kecepatan,
spontanitas, kelenturan, refleks, daya tahan, dan sebagainnya. Contoh, percakapan
bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan
sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih
membutuhkan dominasi peran dewasa; suka mengulangi dan harus dibiasakan; suka
meniru; senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung, seperti diberi permen
atau pujian.
Penerapan teori behavioristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga
mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi
siswa. Misalnya, guru sebagai sentral, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu
arah, guru melatih, dan menentukan apa yang harus dipelajari siswa, siswa dipandang
pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan
guru. Siswa hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa
yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman
yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik jutru dianggap metode yang paling
efektif untuk menertibkan siswa.
tidak hanya melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Lebih dari itu, belajar
melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks. Menurut teori kognitif, ilmu penge-
tahuan dibangun didalam diri seseorang melalu proses interaksi yang berkesinambung
dengan lingkungan. Proses ini tidak hanya berjalan terpatah-patah, terpisah-pisah, tetapi
melalui proses mengalir, bersambung,dan menyeluruh.
Penganut psikologi kognitif meyakini bahwa belajar dihasilkan dari proses mengor-
ganisasi kembali persepsi dan membentuk keterhubungan antara pengalaman yang baru
dialami seseorang dan apa yang sudah tersimpan di dalam benaknya. Selain itu, dalam
psikologi kognitif, manusia melakukan pengamatan secara keseluruhan lebih dahulu,
menganalisisnya, lalu mensintesiskannya kembali. Teori kognitif menekankan belajar
sebagai proses internal dan belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses perpikir
yang sangat kompleks. Konsep terpenting dalam teori kognitif selain perkembangan
kognitif adalah adaptasi intelektual oleh Jean Pieaget, Discovery Learning oleh Jerome
Bruner,dan Reception Learning oleh Ausubel.
Pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur
kognitif siswa
Fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui
pengalaman nyata yang dimiliki anak
f. Teori Hanbury
Hanbury mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu
sebagai berikut.
Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara megintegrasikan ide yang
mereka miliki.
Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti
Strategi siswa lebih bernilai
Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman
dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengor-
ganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian orang itu berkembang.
b. Proses akomodasi. Proses akomodasi dalam menghadapi rangsangan atau peng-
alaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan
skemata yang telah dimiliki. Pengalaman yang baru itu bisa saja sama sekali tidak
cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian, orang akan
mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang
cocok dengan rangsangan yang baru atu memodifikasi skema yang telah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu.
Tahap pengalaman konkret. Pada tahap paling dini dalam proses belajar,
seseorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu kejadian. Dia
belum memiliki kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut. Diapun belum
mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu.
Pengalaman aktif dan reflektif. Pada tahap kedua, siswa mulai mampu meng-
adakan observasi terhadap suatu kejadian dan memulai berusaha memikirkan
dan memahaminya
Konseptualisasi. Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar membuat abstraksi atau
teori tentang suatu hal yang pernah diamatinya. Siswa diharapkan mampu
membuat aturan-aturan umum (generalisasi) dari berbagai contoh kejadian yang
meskipun tampak berbeda, mempunyai aturan yang sama.
Eksperimentasi aktif. Pada tahap akhir, siswa mampu mengaplikasikan suatu
aturan umum ke situasi yang baru. misalnya, dalam matematika, asal usul sebuah
rumus. Akan tetapi, ia juga mampu memaknai rumus tersebut untuk memecah-
kan masalah yang belum pernah ia temui sebelumnya.
b. Teori belajar Honey dan Mumford
Berdasarkan teori Kolb ini, Honey dan Mumford (Uno, 2008:16) membuat penggo-
longan siswa menjadi empat macam, yaitu tipe siswa aktivis, reflektor, teoritis dan
pragmatis.
Tipe siswa aktivis bercirikan mereka yang suka melibatkan diri pada pengalaman-
pengalaman baru.
Tipe siswa reflektor adalah sebaliknya. Mereka cenderung sangat berhati-hati
mengambil langkah. Dalam proses pengambilan keputusan, siswa tipe ini
cenderung konservatif, yaitu mereka lebih suka menimbang-nimbang secara
cermat, baik buruk suatu keputusan.
Tipe siswa teoritis biasanya sangat kritis, senang menganalisis, dan tidak
menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya sangat subjektif. Bagi mereka,
berfikir secara rasional adalah sesuatu yang sangat penting. Mereka juga biasanya
sangat skeptik dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif.
Tipe siswa pragmatis biasanya menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis
dari segala hal. Menurut mereka, teori memang penting, namun apabila teori
tidak dipraktikkan, tidak akan berhasil. Siswa tipe ini suka berlarut-larut dalam
membahas aspek teoritis filosofis dari sesuatu.
c. Teori belajar Habermas
Ahli psikologi lainnya adalah Habermas yang dalam pandangannya bahwa belajar
sangat dipengaruhi oleh interaksi baik dengan lingkungan maupun dengan sesama
(Uno, 2008). Dengan asumsi ini, Habermas mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga
bagian, yaitu sebagai berikut.
Belajar teknis (Technical Learning). Dalam belajar teknis, siswa belajar bagaimana
berinteraksi dengan alam sekelilingnya. Mereka berusaha menguasai dan
mengelola alam dengan cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang
dibutuhkan untuk itu.
Belajar praktis (Practical Learning). Dalam belajar praktis, siswa juga belajar
berinteraksi. Akan tetapi, pada tahap ini lebih dipentingkan adalah interaksi
antara dirinya dan orang-orang di sekelilingnya. Pada tahap ini, pemahaman
siswa terhadap alam tidak berhenti sebagai pemahaman yang kering dan terlepas
kaitannya dengan manusia. Akan tetapi, pemahaman terhadap alam justru
relevan dan jika hanya berkaitan dengan kepentingan manusia.
Belajar emansipatoris (Emancipatoris Learning). Dalam tahap ini siswa berusaha
mencapai pemahaman, kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan
kultural dari suatu lingkungan. Bagi Habermas, pemahaman dan kesadaran
terhadap transformasi kultural ini dianggap tahap belajar yang paling tinggi.
d. Teori belajar Bloom dan Krathwohl
Bloom dan Krathwohl (Uno, 2008: 13) menunjukkan apa yang dikuasai oleh siswa yang
mencakup tiga kawasan berikut ini.
Kognitif, terdiri dari enam tingkatan, yaitu:
Pengetahuan (mengingat dan menghafal)
Pemahaman (menginterpretasikan)
Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan masalah)
Analisis (menjabarkan suatu konsep)
Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu proses utuh)
Evaluasi (membandigkan nilai, ide, metode, dan sebagainya)
Psikomotor, terdiri dari lima tingkatan:
Peniruan (menirukan gerak)
Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerakan)
Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)
Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)
Afektif, terdiri dari lima tingkatan:
karena respons individu tersebut atas ekspektasi ekspektasi orang lain. Perilaku dan sikap
seseorang tumbuh karena dorongan atau peneguhan dari orang-orang di sekitarnya.
Teori kognitif sosial (social cognitive theory) ini menekankan bahwa di samping
faktor sosial, faktor kognitif dan mental individu memainkan peran penting dalam
pembelajaran. Faktor kognitif adalah ekspektasi atau harapan individu untuk meraih
keberhasilan. Dengan demikian, Bandura mengembangkan model yang dapat disebut
deterministik resiprokal, yang terdiri dari tiga faktor utama, yaitu: (1) perilaku, (2) person/
kognitif, dan (3) lingkungan. Faktor ini bisa saling berinteraksi dalam proses pembela-
jaran. Faktor lingkungan memengaruhi perilaku; perilaku memengaruhi lingkungan,
begitu pula faktor person/kognitif memengaruhi perilaku. Yang dimaksud faktor person
oleh Bandura antara lain terutama pembawaan, kepribadian, dan temperamen; semen-
tara faktor kognitif mencakup ekspektasi, keyakinan, strategi pemikiran dan kecerdasan.
Faktor person (kognitif) memainkan peranan amat penting. Faktor person
(kognitif) yang ditekankan oleh Bandura adalah self-efficacy atau efikasi diri. Bandura
mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk
menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini
diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki
komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika
menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Menurutnya,
individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi
tantangan. Individu tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh
dengan kemampuan dirinya. Individu ini menurut Bandura, akan cepat menghadapi
masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami. Menurutnya, proses
mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai model merupakan
tindakan belajar. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi
timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan.
Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial jenis ini.
Contohnya, seseorang yang hidupnya dan dibesarkan di dalam lingkungan judi, maka
dia cenderung untuk memilih bermain judi, atau sebaliknya menganggap bahwa judi itu
adalah tidak baik.
c. Pembelajaran Belaka Belum Tentu Menghasilkan Perubahan Perilaku
Tidak semua tindakan atau perilaku yang diamati oleh individu secara otomatis mendo-
rong perubahan perilaku dalam dirinya.Ada banyak faktor yang harus diperhatikan
dalam perubahan perilaku individu setelah melakukan pengamatan. Menurut Bandura,
dasar kognitif dalam proses belajar dapat diringkas dalam empat tahap, yaitu: perhatian,
mengingat, reproduksi gerak, dan motivasi.
Perhatian (attention): Individu cenderung memerhatikan tingkah laku model
untuk dapat mempelajarinya. Perhatiannya tertuju kepada nilai, harga diri, sikap,
dan lain-lain yang ia kira dimiliki oleh model. Contohnya, seorang pemain musik
yang tidak percaya diri mungkin akan meniru tingkah laku pemain musik yang
terkenal sehingga tidak menunjukkan gayanya sendiri.
Mengingat (retention): Individu yang sedang belajar harus merekam peristiwa
yang ingin ia tiru dalam sistem ingatannya. Ini memberikan kesempatan
kepadanya untuk meniru atau mengulang tindakan itu kelak bila diperlukan atau
diingini.
Reproduksi gerak (reproduction): Setelah mengetahui atau mempelajari suatu
tingkah laku, individu juga cenderung menunjukkan kemampuannya atau
menghasilkan kembali apa yang ia ingat dalam bentuk tingkah laku. Misalnya,
kemampuannya dalam berbahasa asing atau bermain bola. Jadi setelah ia
memperhatikan model dan menyimpan informasi, sekarang saatnya untuk benar-
benar mempraktikkan contoh perilaku yang diamatinya. Praktik lebih lanjut dari
perilaku yang dipelajari mengarah pada kemajuan perbaikan dan keterampilan.
Motivasi (motivation): Motivasi juga penting dalam pemodelan Bandura karena ia
adalah penggerak individu untuk terus melakukan sesuatu. Jadi, ia harus
termotivasi untuk meniru perilaku yang telah dimodelkan.
M enurut Suprijono (2009), prinsip belajar terdiri dari tiga hal. Pertama, prinsip bela-
jar adalah perubahan prilaku sebagai hasil belajar yang memiliki ciri-ciri sebagai
berikut.
Sebagai hasil tindakan rasional instrumental, yaitu perubahan yang disadari
Kontinu atau berkesinambungan dengan perilaku lainnya
Fungsional atau bermanfaat sebagai bekal hidup
Positif atau berakumulasi
Aktif sebagai usaha yang direncanakan dan dikendalikan
Permanen atau tetap
Bertujuan dan terarah
Mencakup keseluruhan potensi kemanusiaan
Kedua, belajar merupakan proses. Belajar terjadi karena dorongan kebutuhan dan
tujuan yang ingin dicapai. Belajar adalah proses sistemik yang dinamis, konstruktif, dan
organik. Ketiga, belajar merupakan bentuk pengalaman. Pengalaman pada dasarnya
adalah hasil interaksi antara peserta didik dan lingkungannya
Belajar adalah bagian dari perkembangan. Belajar dan berkembang adalah dua
hal yang berbeda tetapi erat hubungannya. Pada perkembangan dituntut untuk
belajar, dan melalui belajar terjadi perkembangan individu secara pesat.
Belajar berlangsung seumur hidup, sesuai dengan prinsip pembelajaran sepan-
jang hayat (lifelong learning)
Keberhasilan belajar dipengaruhi oleh faktor bawaan, lingkungan, kematangan,
serta usaha dari individu secara aktif.
Belajar mencakup semua aspek kehidupan, oleh karena itu belajar harus
mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Belajar berlangsung di sepanjang tempat dan waktu. Belajar dapat terjadi di
rumah, di sekolah, di tempat rekreasi, di kebun, di dunia industri, di tempat
berkerja, di alam sekitar dan sebagainya.
Belajar dapat berlangsung baik dengan guru atau tapa guru, serta berlangsung
dalam situasi formal, informal, dan non formal.
Belajar yang terencana dan disengaja menuntut motivasi yang tinggi.
Kegiatan belajar bervariasi, mulai dari yang sederhana sampai dengan yang
kompleks.
Dalam belajar dapat terjadi hambatan-hambatan.
Dalam hal tertentu belajar memerlukan adanya bantuan dan bimbingan dari
orang lain. Orang lain dapat guru, orang tua, dan teman sebaya.
Selain itu ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai kerangka dasar untuk
penerapan prinsip belajar dalam proses pembelajaran, yaitu (Aunurrahman, 2014):
Hal apapun yang dipelajari siswa, maka harus mempelajarinya sendiri. Tidak ada
seorangpun yang dapat melakukan kegiatan belajar untuknya.
Setiap siswa belajar menurut kecepatannya sendiri dan untuk setiap kelompok
umur, serta terdapat variasi dalam kecepatan belajar.
Seorang siswa akan belajar lebih giat, jika setiap langkah segera diberikan
penguatan (reinforcement)
Penguasaan secara penuh dari setiap langkah pembelajaran, memung-kinkan
siswa belajar secara lebih berarti.
Siswa akan lebih termotivasi untuk belajar dan mengingat lebih baik, jika
diberikan tanggungjawab untuk mempelajarinya sendiri.
Secara rinci prinsip-prinsip belajar dijelaskan sebagai berikut (Ainurrahman, 2016;
Dimyati dan Mujiono, 2009).
c. Keterlibatan Langsung/Berpengalaman
Edgar Dale dalam penggolongan pengalaman belajar yang dituangkan dalam kerucut
pengalamannya mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah belajar melalui
pengalaman langsung.
Keterlibatan siswa dalam belajar jangan diartikan keterlibatan fisik semata, namun
lebih dari itu terutama adalah keterlibatan emosional, kognitif, penghayatan dan
internalisasi dalam pembentukan sikap dan nilai, dan latihan keterampilan. Siswa terlibat
langsung dalam melaksanakan suatu percobaan, peragaan atau mendemonstrasikan
sesuatu. Dengan keterlibatan langsung berarti siswa aktif mengalami dan melakukan
proses belajarnya sendiri
d. Pengulangan
Prinsip belajar yang menekankan perlunya pengulangan barangkali yang paling tua
adalah teori yang dikemukakan oleh Psikologi Daya. Menurut teori ini belajar adalah
melatih daya yang ada pada manusia yang terdiri dari daya mengamati, menanggapi,
mengingat, menghapal, merasakan, berpikir dan sebagainya. Melalui latihan maka daya-
daya tersebut semakin berkembang. Sebaliknya semakin kurang latihan, maka daya-
daya tersebut semakin lambat. Prinsip pengulangan masih relevan sebagai dasar pembe-
lajaran. Dalam belajar masih tetap diperlukan latihan/pengulangan. Sebab pengulangan
itu melatih daya ingat jiwa dan pikiran.
Di samping teori psikolgi daya, prinsip pengulangan juga didasari oleh teori
psikologi Asosiasi atau connectionisme yang mengemukakan bahwa belajar adalah
pembentukan hubungan stimulus dan respon. Kegiatan pengulangan akan memperkuat
hubungan stimulus dan respon. Pandangan psikologi conditioning juga memberikan
pandangan yang kokoh bagi pentingnya proses latihan. Stimulus harus dikondisikan atau
dibiasakan. Belajar merupakan salah satu upaya untuk mengkondisikan atau membia-
sakan suatu prilaku. Misalnya setiap kali sebelum memulai pelajaran, guru mengharus-
kan siswa untuk berdoa, sehingga lama kelamaan, walaupun tanpa disuruh, siswa akan
memulai pelajaran akan berdoa terlebih dahulu.
e. Tantangan
Teori medan (field theory) dari Kurt Lewin mengemukakan bahwa siswa dalam situasi
belajar berada dalam suatu medan atau lapangan psikologis. Dalam situasi belajar, siswa
menghadapi suatu tujuan atau cita-cita yang ingin dicapainya, akan tetapi iadihadapkan
pada hambatan, hambatannya adalah mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif
untuk mengatasi hambatan itu yaitu dengan mempelajari bahan belajar tersebut.
Tantangan yang dihadapi harus membuat siswa bergairah untuk mengatasinya.Bahan
belajar yang baru, yang banyak mengandung masalah yang perlu dipecahkan membuat
siswa tertantang untuk mempelajarinya.
Lebih lanjut dikatakan bahwa siswa lebih banyak belajar jika pelajarannya
memuaskan, menantang serta ramah, dan mereka memiliki peran dalam pengambilan
keputusan. Bilamana seorang siswa merasa tertantang dalam suatu pelajaran, maka ia
akan mengabaikan aktivitas lainnya yang dapat mengganngu kegiatan belajarnya. Agar
motif siswa tumbuh dengan kuat untuk mengatasi hambatan yang dihadapi maka bahan
belajar harus menantang dan mempersiapkan bahan-bahan beajar yang menarik.
f. Balikan dan Penguatan
Prinsip pembelajaran yang berkaitan dengan balikan dan penguatan, ditekankan oleh
teori operant conditioning, yaitu law of effect. Bahwa siswaakansemangat belajar apabila
mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik. Hasil yang baik merupakan balikan yang
menyenangkan dan berpengaruh baik bagi hasil usaha belajar selanjutnya. Namun
dorongan belajar tidak saja oleh penguatan yang menyenangkan atau penguatan positif,
penguatan negatif pun dapat berpengaruh pada hasil belajar selanjutnya.
Apabila siswa memperoleh nilai yang baik dalam ulangan tentu dia akan belajar
bersungguh-sungguh untuk memperoleh nilai yang lebih baik untuk selanjutnya. Karena
nilai yang baik itu merupakan penguatan yang positif sebaliknya, bila siswa memperoleh
nilai yang kurang baik tentu dia merasa takut tidak naik kelas, dia terdorong pula untuk
lebih giat. Inilah yang disebut penguatan negatif yang berarti bahwa siswa mencoba
menghindar dari peristiwa yang tidak menyenangkan.
Format sajian berupa tanya jawab, eksperimen, diskusi, metode penemuan
sebagainya merupakan cara pembelajaran yang memungkinkan terjadinya balikan dan
penguatan. Balikan yang diperoleh siswa setelah belajar dengan menggunakan metode
yang menarik akan membuat siswa terdorong untuk belajar lebih bersemangat.
g. Perbedaan individual
Siswa merupakan individual yang unik, artinya tidak ada dua orang siswa yang sama
persis, tiap siswa memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya. Perbedaan belajar ini
berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa. Sistem pendidikan klasikal yang dilaku-
kan di sekolah kita kurang memperhatikan masalah perbedaan individual, umumnya
pelaksanaan pembelajaran di kelas dengan melihat siswa sebagai individu dengan
kemampuan rata-rata, kebiasaan yang kurang lebih sama, demikian pula dengan
pengetahuannya.
Pembelajaran klasikal yang mengabaikan perbedaan individual dapat diperbaiki
dengan beberapa cara, misalnya:
Penggunaan metode atau strategi belajar-mengajar yang bervariasi sehingga
perbedaan individual dapat terlayani.
Penggunaan media pembelajaran.
buat laporan, prilaku sejenis lainnya. Bagi siswa implikasi prinsip keterlibatan langsung
adalah sebagai berikut.
Siswa harus terdorong aktif untuk mengalami sendiri dalam melakukan aktivitas
pembelajaran,
Siswa dituntut untuk aktif mengerjakan tugas-tugas.
d. Pengulangan
Mengajar pada hakikatnya adalah membentuk suatu kebiasaan, sehingga melalui peng-
ulangan siswa akan terbiasa melakukan sesuatu dengan baik sesuai dengan prilaku yang
diharapkan. Penguasaan secara penuh dari setiap langkah memungkinkan belajar secara
keseluruhan lebih berarti. Implikasi adanya prinsip pengulangan bagi siswa adalah
kesadaran siswa untuk bersedia mengerjakan latihan yang berulang untuk satu macam
permasalahan. Bentuk prilaku pembelajaran yang merupakan implikasi prinsip peng-
ulangan, diantaranya menghafal unsur-unsur kimia setiap valensi, mengerjakan soal-soal
latihan, perilaku sejenis lainnya.
Implikasi prinsip pengulangan pada siswa adalah siswa dituntut untuk memiliki
kesadaran yang mendalam agar bersedia melakukan pengulangan latihan-latihan baik
yang ditugaskan guru maupun atas inisiatif dan dorongan diri sendiri.
e. Tantangan
Prinsip belajar tantangan ini bersesuaian dengan pernyataan bahwa apabila siswa dibe-
rikan tanggung jawab untuk mempelajari sendiri, maka ia lebih termotivasi untuk
belajar, ia akan belajar dan mengingat secara lebih baik. Implikasi prinsip tantangan bagi
siswa adalah tuntutan dimilikinya kesadaran pada diri siswa akan adanya kebutuhan
untuk selalu memperoleh, memproses, dan mengolah pesan. Bentuk prilaku siswa yang
merupakan implikasi dari prinsip tantangan diantaranya adalah melakukan eksperimen,
melaksanakan tugas terbimbing maupun mandiri atau mencari tahu pemecahan suatu
masalah.
Dalam kaitannya dengan prinsip tantangan ini diharapkan guru secara cermat
dapat memilih dan menentukan pendekatan dan metode pembelajaran yang dapat
memberikan tantangan bagi siswa untuk belajar.
f. Balikan dan penguatan
Siswa selalu membutuhkan suatu kepastian dari kegiatan yang dilakukan, apakah benar
atau salah. Dengan demikian siswa akan selalu memiliki pengetahuan tentang hasil, yang
sekaligus merupakan penguat bagi dirinya sendiri. Untuk memperoleh balikan pengu-
atan bentuk perilaku siswa diantaranya adalah dengan segera mencocokkan jawaban
dengan kunci jawaban, menerima kenyataan terhadap skor/nilai yang dicapai, atau
menerima teguran dari guru/orang tua karena hasil belajar yang jelek.
g. Perbedaan individual
Setiap siswa memiliki karakteristik sendiri-sendiri yang berbeda satu dengan yang lain.
Implikasi adanya prinsip perbedaan individual bagi siswa diantaranya adalah menen-
tukan tempat duduk di kelas, menyusun jadwal belajar, atau memilih bahwa implikasi
adanya prinsip perbedaan individu bagi siswa dapat berupa perilaku fisik maupun psikis.
Secara spesifik berkenaan dengan implikasi atau penerapan prinsip perbedaan
individual dalam proses pembelajaran, terdapat beberapa hal yang perlu mendapatkan
perhatian sebagai berikut: 1) siswa dibantu untuk memahami kekuatan dan kelemahan
dirinya selanjutnya mendapat perlakuan dan layanan yang mereka butuhkan; 2) siswa
harus terus didorong untuk mampu memahami potensi dirinya dan untuk selanjutnya
mampu merencanakan dan melaksanakan kegiatan; dan 3) siswa membutuhkan variasi
layanan, tugas, bahan dan metode yang selaras dengan minat, tujuan dan latar belakang
mereka.
g. Perbedaan individu
Setiap guru tentunya harus menyadari bahwa menghadapi banyak siswa di dalam suatu
kelas berarti menghadapi berbagai macam keunikan atau karakteristik. Konsekuensinya
adalah guru harus mampu menghadapi dan melayani setiap siswa dengan karakteristik
mereka masing-masing. Implikasi prinsip perbedaan individual bagi guru berwujud
prilaku-prilaku yang diantaranya adalah.
Menentukan penggunaan berbagai metode yang diharapkan dapat melayani
kebutuhan siswa sesuai dengan karakteristiknya
Merancang pemanfaatan berbagai media dalam menyaksikan pesan pembe-
lajaran
Mengenali karakteristik setiap siswa sehingga dapat menentukan perilaku pembe-
lajaran yang tepat bagi siswa yang bersangkutan
Memberikan remediasi ataupun pertanyaan kepada siswa yang membutuhkan.
Perilaku manusia terpangaruh oleh tiga komponen penting seperti afektif, kognitif,
dan konatif.
Komponen afektif, komponen afektif adalah aspek emosional. Komponen ini
terdiri dari motif sosial, sikap dan emosi.
Komponen kognitif, komponen kognitif adalah aspek intelektual yang terkait
dengan pengetahuan.
Komponen konatif, komponen konatif adalah terkait dengan kemauan dan
kebiasaan bertindak.
Perilaku motivasi sekunder juga terpengaruh oleh adanya sikap. Sikap adalah
suatu motif yang dipelajari. Ciri-ciri sikap (a) merupakan kecenderungan berpikir,
merasa, kemudian bertindak, (b) memiliki daya dorong bertindak, (c) relatif bersifat
tetap, (d) berkecenderungan melakukan penilaian, dan (e) dapat timbul dari peng-
alaman, dapat dipelajari atau berubah.
Perilaku juga terpengaruh oleh emosi. Emosi menunjukkan adanya sejenis kegon-
cangan seseorang. Emosi memiliki fungsi sebagai (a) pembangkit energi, (b) pemberi
informasi pada orang lain, (c) pembawa pesan dalam berhubungan dengan orang lain,
(d) sumber informasi tentang diri seseorang.
Perilaku juga terpengaruh oleh adanya pengetahuan yang dipercaya. Pengetahuan
tersebut dapat mendorong terjadinya perilaku. Perilaku juga terpengaruh oleh kebiasaan
dan kemauan. Kebiasaan merupakan perilaku menetap, berlangsung otomatis.
Kemauan seseorang timbul karena adanya (a) keinginan yang kuat untuk mencapai
tujuan, (b) pengetahuan tentang cara memperoleh tujuan, (c) energi dan kecerdasan,
(d) pengeluaran energi yang tepat untuk mencapai tujuan.
luar seperti adanya hadiah dan menghindari hukuman. Motivasi ekstrinsik “dapat
berubah” menjadi motivasi instrinsik., yaitu pada saat siswa menyadari pentingnya
belajar, dan ia belajar sungguh-sungguh tanpa disuruh orang lain (Monks, Knoers,
Siti Rahayu, 1989)
siswa setelah mereka lulus ujian atau merupakan transfer hasil belajar di sekolah.
Munculnya dampak pengiring bila lulusan sekolah meenghadapi masalah.
f. Dampak pengiring terletak dalam kepentingan siswa sendiri. Dari segi tugas perkem-
bangan jiwa maka dampak pengiring merupakan unjuk kerja tugas perkembangan
untuk mencapai aktualisasi diri secara penuh. Dampak pengiring merupakan sarana
untuk sarana melakukan emansipasi kemandirian bagi siswa.
g. Setelah siswa lulus sekolah, sekurang-kurangnya selsesai wajib belajar 9 tahun, maka
diharapkan mengembangkan diri lebih lanjut. Lulusan sekolah dapat membuat
program belajar sepanjang hayat, lewat jalur sekolah atau luar sekolah.
h. Dengan memrogram belajar sendiri secara berkesinambunngan maka ia memper-
oleh hasil belajar atas tanggung jawab diri sendiri. Ditinjau dari segi siswa, emansi-
pasi kemandirian berupa rangkaian program belajar sepanjang hayat. Program
belajar di luar rekayasa pendagogis guru adalah suatu rangkain dampak peng-giring
berupa program dan hasil belajar sepanjang hayat. Dalam hal ini sang siswa telah
mampu memperkuat motivasi belajarnya sendiri karena kebutuhan aktualisasi diri.
c. Kondisi Siswa. Kondisi siswa yang meliputi jasmani dan rohani mempengaruhi
motivasi belajar. Seorang siswa yang sedang sakit, lapar, atau marah-marah akan
mengganggu perhatian belajar. Sebaliknya, seorang siswa yang sehat, kenyang, dan
gembira akan mudah menguatkan perhatian. Dengan kata lain, kondisi jasmani dan
rohani siswa berpengaruh pada motivasi belajar.
d. Kondisi Lingkungan Siswa. Lingkungan siswa dapat berupa keadaan alam, lingku-
ngan tempat tinggal, pergaulan sebaya, dan kehidupan kemasyarakatan. Sebagai
anggota masyarakat maka siswa dapat terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Bencana
alam, tempat tinggal yang kumuh, ancaman rekan yang nakal, perkelahian antar
siswa, akan mengganggu kesungguhan belajar. Oleh sebab itu, kondisilingkungan
yang sehat, kerukunan hidup, ketertiban pergaulan perlu dipertinggi mutunya.
Dengan lingkungan yang aman, tenteram, tertib, dan indah, maka semangat dan
motivasi belajar mudah diperkuat.
Media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian
yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan,
keterampilan, atau sikap hal ini diungkapkan oleh Gerlach dan Ely yang dikutip Arsyad
(2006). Sementara Anitah (2008) mendefinisikan media pembelajaran adalah setiap
orang, bahan, alat, atau peristiwa yang dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan
peserta didik menerima pengetahuan, keterampilan dan sikap. Lebih lanjut Arsyad
(1997) mengemukakan ciri-ciri umum yang terkandung dalam batasan media, sebagai
berikut; (1) media pendidikan memiliki pengertian fisik (hardware) yang dapat dilihat,
diraba dan didengar dengan panca indera, (2) media pendidikan memiliki pengertian
non fisik (software) yaitu kandungan pesan yang terdapat dalam perangkat hardware
merupakan isi yang ingin disampaikan kepada siswa, (3), penekanan media pendidikan
terdapat pada visual dan video, (4) media pendidikan dapat diartikan sebagai alat bantu
proses belajar, (5) media pendidikan digunakan dalam rangka komunikasi dan interaksi
antara pendidik dan peserta didik, (6) media pendidikan dapat digunakan secara masal.
Media pendidikan hakikatnya adalah perantara yang dipergunakan dalam proses
pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Media pendidikan merupakan media
komunikasi pendidikan karena pendidikan juga merupakan proses komunikasi. Media
pendidikan yang dipergunakan dalam rangka komunikasi dan interaksi pendidik dan
peserta didik dalam proses pembelajaran dapat dikatakan sebagai media pembelajaran.
Media yang menyajikan pesan-pesan terkait dengan tujuan pembelajaran disebut
dengan media pembelajaran (Smaldino, 2005). Leshin, dkk. dikutip Arsyad (2007)
mengklasifikasi media ke dalam lima kelompok, yaitu (1) media berbasis manusia (guru,
instruktor, tutor, main-peran, kegiatan kelompok, field-trip), (2) media berbasis cetak
(buku, buku penuntun, buku latihan, alat bantu kerja, lembaran lepas), (3) media
berbasis visual (buku, alat bantu kerja, bagan, grafik, peta, tranparansi, slide), (4) media
berbasis audio-visual (video, film, program slide-tape, televisi), (5) media berbasis
komputer (pengajaran dengan bantuan komputer, interaktif video, hypertext).
menggugah emosi dan sikap siswa, misalnya informasi menyangkut masalah sosial
atau ras.
c. Fungsi Kognitif media visual terlihat dari temuan-temuan penelitian yang meng-
ungkapkan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaian tujuan
untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam
gambar.
d. Fungsi Kompensatoris media pembelajaran terlihat dari hasil penelitian bahwa
media visual yang memberikan konteks untuk memahami teks membantu siswa yang
lemah dalam membaca untuk mengorganisasikan informasi dalam teks dan meng-
ingatkan kembali.
Kemp & Dayton (1985) media pembelajaran dapat memenuhi tiga fungsi utama
apabila media itu digunakan untuk perorang, kelompok, atau kelompok pendengar yang
besar jumlahnya, yaitu:
a. Memotivasi minat atau tindakan, untuk memenuhi fungsi motivasi media pembe-
lajaran dapat direalisasikan dengan teknik drama atau hiburan. Hasil yang diharap-
kan adalah melahirkan minat dan merangsang para siswa atau pendengar untuk
bertindak. Pencapaian tujuan akan mempengaruhi sikap, nilai, dan emosi.
b. Menyajikan informasi, untuk tujuan informasi media pembelajaran dapat digunakan
dalam rangka penyajian informasi dihadapan sekelompok siswa. Isi dan bentuk
penyajian bersifat amat umum, berfungsi sebagai pengantar, ringkasan laporan, atau
pengetahuan latar belakang.
c. Memberikan instruksi, media berfungsi untuk tujuan instruksi dimana informasi yang
terdapat dalam media itu harus melibatkan siswa baik dalam benak atau mental
maupun dalam bentuk aktivitas yang nyata sehingga pembelajaran dapat terjadi.
Materi harus dirancang secara lebih sistematis dan psikologis dilihat dari segi prinsip-
prinsip belajar agar dapat menyiapkan instruksi yang efektif.
Pendapat Kemp dan Dayton (dalam Arsyad, 2002: 20-21) tentang fungsi media
pengajaran menekankan bahwa media pengajaran dapat memberikan motivasi dan
merangsang siswa untuk belajar, memberikan informasi, memberikan instruksi untuk
menarik siswa agar bertindak dalam suatu aktivitas. Berdasarkan beberapa paparan
fungsi media di atas, dapat disimpulkan bahwa media dapat meningkatkan motivasi,
rangsangan dan mempermudah siswa dalam memahami materi yang disampaikan.
Dale (1969) mengemukakan bahwa bahan-bahan audio-visual dapat memberikan
banyak manfaat asalkan guru berperan aktif dalam proses pembelajaran. Guru harus
selalu hadir untuk menyajikan materi pembelajaran dengan bantuan media apa saja
agar manfaat berikut ini dapat terealisasi:
a. Meningkatkan rasa saling pengertian dan simpati dalam kelas;
Objek atau benda yang terlalu kecil yang tidak tampak oleh indera dapat
disajikan dengan bantuan mikroskop, film, slide, atau gambar.
Kejadian langkah yang terjadi di masa lalu atau terjadi sekali dalam puluhan
tahun dapat ditampilkan melalui rekaman video, film, foto, slide dsamping secara
verbal.
Objek atau yang amat rumit seperti peredaran darah dapat ditampilkan secara
konkret melalui film, gambar, slide, atau simulasi komputer.
Kejadian atau percobaan yang dapat membahanyakan dapat di simulasikan
dengan media seperti komputer, film, dan video.
Peristiwa alam seperti terjadinya letusan gunung merapi atau proses yang dalam
pernyataan memakan waktu lama seperti proses kepompong menjadi kupu-kupu
dapat disajikan dengan teknik-teknik rekaman seperti time/lapse untuk film,
video, slide, atau simulasi komputer.
d. Media pembelajaran dapat memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa
tentang peristiwa-peristiwa di lingkungan mereka, serta memungkinkan terjadi
interaksi langsung dengan guru, masyarakat, dan lingkungannya misalnya melalui
karyawisata, kunjungan ke museum atau kebun binatang.
Media yang diproyeksikan seperti film, slide, dan sebagainya. Jenis media yang
demikian memerlukan alat proyeksi khusus untuk memproyeksikan film. Tanpa
dukungan alat proyeksi semacam ini, maka media semacam ini tidak akan
berfungsi.
Media yang tidak diproyeksikan seperti gambar, foto, lukisan, radio dan lain
sebagainya.
Media Pembelajaran menurut taksonomi Leshin, dkk. (dalam Arsyad, 2002) adalah
sebagai berikut.
a. Media berbasis manusia, media berbasis manusia merupakan media yang digunakan
untuk mengirim dan mengkomunikasikan peran atau informasi
b. Media berbasis cetakan, media pembelajaran berbasis cetakan yang paling umum
dikenal adalah buku teks, buku penuntun, buku kerja atau latihan, jurnal, majalah,
dan lembar lepas.
c. Media berbasis visual, Media berbasis visual (image) dalam hal ini memegang
peranan yang sangat penting dalam proses belajar. Media visual dapat memper-
lancar pemahaman dan memperkuat ingatan. Visual dapat pula menumbuhkan
minat siswa dan dapat memberikan hubungan antara isi materi pelajaran dengan
dunia nyata.
d. Media berbasis audiovisual, media visual yang menggabungkan penggunaan suara
memerlukan pekerjaan tambahan untuk memproduksinya. Salah satu pekerjaan
penting yang diperlukan dalam media audio-visual adalah penulisan naskah dan
storyboadr yang memerlukan persiapan yang banyak, rancangan dan penelitian.
e. Media berbasis komputer, komputer memilih fungsi yang berbeda-beda dalam
bidang pendidikan dan latihan komputer berperan sebagai manajer dalam proses
pembelajaran yang dikenal dengan nama Computer Managed Instruction (CMI).
Modus ini dikenal sebagai Computer Assisted Instruction (CAI). CAI mendukung
pembelajaran dan pelatihan, akan tetapi ia bukanlah penyampai utama materi
pelajaran.
f. Mengadakan Tes atau Uji Coba dan Revisi. Tes adalah kegiatan untuk menguji
atau mengetahui tingkat efektifitas dan kesesuaian media yang dirancang dengan
tujuan yang diharapkan dari program tersebut. Suatu program media yang oleh
pembuatnya dianggap telah baik, tetapi bila program itu tidak menarik, atau sukar
dipahami atau tidak merangsang proses belajar bagi siswa yang ditujunya, maka
program semacam ini tentu saja tidak dikatakan baik.
K ata “inovation” (Bahasa Inggris) sering diterjemahkan se agai semua hal yang baru
atau pembaharuan (Wojowasito, 1972). Tetapi ada yang menjadikan kata
innovation menjadi kata Indonesia inovasi. Maka inovasi (innovation) ialah suatu ide,
barang, kejadian, metode, yang dirasakan atau diamati sebagai suatu hal yang baru bagi
seseorang atau sekelompok orang (masyarakat), baik itu berupa hasil invensi maupun
diskoveri. Inovasi diadakan untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk memecahkan
suatu masalah tertentu. Ada beberapa definisi inovasi yang dibuat para ahli sebagai
berikut.
a. La piere. An innovation is an idea for accomplidhing some recognize social end in a
new way or for means of accomplishing some new sosial end(Donald P. Ely, 1982)
b. Altman/Duncan. An innovation is any idea, practice, or material artifact perceived to be
new by the relevant unit of adoption. The innovation is change object. A change is the
alteration in the structure of a system that requires or could be required by relearning on
the part of thr actor (s) in response to a given situation. The requirement is an inventive
process producing an innovation. However, all innovations, since not everything an
individual or formal or informal grup adopt is perceived as new.
c. Zaltman, Duncan, Holbek. The term innovation is usually employed in three different
contexts. In one context is synonymeus with invention; that is reefers to a creative process
whereby two or more existing concepts or entities are combined in some novel way to
produce a configuration not previously known by the person involved. A person or
organization performing this type of activity is usually said to be innovative. Most of the
leterature on creativity treats the term innovation in this fashion.
d. Huberman. Innovation is the creative selection, organization and utilization of human
and material resources in new and unique ways which will result in the attainment of a
higher level of achievement for the difined goals and objectives.
e. B.Miles. Innovation is a species of the genus “change” generally speaking it seems useful
to define An innovation as a deliberate, novel, specific change, which is thought to be
more efficacious in accomplishing the goal of system. From the point of view of this book
(innovation in education), it seem helpfull to consider innovations as being willed and
planned for rather than as occurring haphazardly.
f. M. Rogers. An innovation is an idea, practice, or object that is perceived as new by an
individual or other unit of adoption. It matters little, so far as human behavior is
concerned, whether or not an idea is “ objectively” new as measured by the lapse of time
since its first use or discovery. The perceived newness of the ide for the undividual
determines his or her reaction to it. If the idea seems new to the individual, it is an
innovation .
Dari beberapa definisi inovasi yang dibuat para ahli tersebut, dapat diketahui
bahwa tidak terjadi perbedaan yang mendasar tentang pengertian inovasi antara satu
dengan yang lain. Semua definisi tersebut menyatakan bahwa inovasi adalah suatu ide,
hal-hal yang praktis, metode, cara, barang-barang buatan manusia, yang diamati atau
dirasakan sebagai suatu yang baru bagi seseorang atau kelompok orang (masyarakat),
hal yang baru itu dapat berupa hasil invensi atau diskoveri, yang digunakan untuk
mencapai tujuan tertentu atau untuk memecahkan masalah.
Hamidjojo seperti dikutip Abdulhak (2002) menyatakan bahwa inovasi pendidikan
itu suatu perubahan yang baru dan secara kualitatif berbeda dari hal sebelumnya dan
sengaja diusahakan untuk meningkatkan kemampuan guna mencapai tujuan tertentu,
termasuk dalam bidang pendidikan.
Perubahan itu diawali dengan adanya suatu ide, gagasan ataupun praktik untuk
memperbaiki suatu keadaan untuk memecahkan persoalan yang ada, kemudian melalui
berbagai usaha dan penelitian, dihasilkan suatu produk atau hasil baru yang berbeda
dengan keadaan sebelumnya. Misalnya dalam bidang pendidikan, bermula dari
sejumlah masalah yang timbul, lalu dilontarkan suatu ide baru dan dikembangkan
melalui berbagai usaha dan proses penelitian yang lebih lanjut, maka hadirlah karya
yang inovatif, yang diharapkan bisa memecahkan persoalan sekaligus menjadi upaya ke
arah perbaikan dan kemajuan di bidang pendidikan itu sendiri.
menjadikan produk inovasi dapat diadopsi oleh seseorang atau kelompok masyarakat.
Ada empat ciri utama inovasi pendidikan, yaitu:
Memiliki kekhasan. Suatu inovasi itu akan memiliki ciri yang khas dalam arti ide,
program, tatanan, sistem, termasuk hasil yang diharapkannya.
Memiliki ciri atau unsur kebaruan. Suatu inovasi itu harus memiliki karakteristik
sebagai buah karya dan buah pikir yang memiliki kadar orisinalitas dan kebaruan
Program inovasi dilaksanakan melalui program yang terencana. Suatu inovasi
akan dilakukan melalui suatu proses yang tak tergesa-gesa, namun kegiatannya
dipersiapkan secara matang dengan program yang jelas dan direncanakan
terlebih dahulu.
Inovasi yang digulirkan memiliki tujuan. Program inovasi yang dilakukan itu
memiliki apa yang ingin dicapai, termasuk arah dan strategi yang bagaimana
untuk mencapai tujuan tersebut dari sistem inovasi yang dilakukan.
Dalam kaitannya dengan proses inovasi itu, Rogers (1983) mengemukakan empat
ciri penting yang mempengaruhi inovasi pendidikan, yaitu sebagai berikut.
a. Esensi inovasi itu sendiri
Proses inovasi ini tidak datang serentak dan tiba-tiba. Dalam kaitannya dengan esensi
inovasi, paling tidak ada tiga hal yang berkaitan erat, yaitu teknologi, informasi dan
pertimbangan ketidakpastian, dan reinovasi. Dalam kadar tertentu, makna inovasi sering
identik dengan teknologi yang digunakan. Adanya teknologi, termasuk pemanfaatan
teknologi informasi dalam inovasi antara lain untuk menjawab persoalan dalam hal
mengurangi ketidakpastian masa depan.
b. Saluran komunikasi
Komunikasi merupakan suatu proses dimana partisipan berbagi informasi untuk
mencapai pengertian satu sama lain. Lasswell (1948) menyebutkan bahwa komponen
dasar komunikasi yaitu "who say what, in what channels, to whom and in with what
effects". Jadi komunikasi berkaitan dengan "siapa mengatakan apa, dengan saluran
komunikasi apa, kepada siapa dan dengan dampak apa". Dalam kaitannya dengan
inovasi, maka saluran apa yang paling lazim digunakan untuk inovasi yang dilakukan.
Tahun 1979, Lawrence Kincaid mengembangkan model komunikasi konvergen.
Ciri utama komunikasi ini yaitu adanya informasi, ketidakmenentuan, adanya saling
pemahaman, adanya saling persetujuan, kegiatan bersama dan hubungan jaringan.
Melalui proses komunikasi konvergen ini akan sangat mempengaruhi proses inovasi
yang dilakukan. Dalam telaah lain, saluran komunikasi itu diklasifikasikan pada dua hal,
yaitu komunikasi homofil dan komunikasi heterofil.
Pada tahap ini sasaran mulai ingin mengetahui lebih banyak perihal yang baru tersebut.
Ia menginginkan keterangan-keterangan yang lebih terinci lagi. Sasaran mulai bertanya-
tanya. Hanya keberhasilan dan penjelasan petani golongan early adopterlah yang dapat
menghilangkan kebimbangan petani yang telah menaruh minat.
c. Tahap Penilaian (Evaluation stage)
Pada tahap ini sasaran mulai berpikir-pikir dan menilai keterangan-keterangan perihal
yang baru itu. Juga ia menghubungkan hal baru itu dengan keadaan sendiri (kesang-
gupan, resiko, modal, dan lain-lain). Pertimbangan atau penilaian terhadap inovasi
dapat dilakukan dari tiga segi, yaitu teknis, ekonomis dan sosiologis. Misalkan inovasi
yang diperkenalkan adalah jenis padi baru, segi-segi teknis yang dinilai adalah tingkat
produktivitasnya, pemeliharaannya mudah atau tidak, umurnya lebih pendek daripada
lokal atau tidak, mudah terserang hama dan penyakit atau tidak dsb. Penilaian
berikutnya dilakukan terhadap segi ekonominya; penilaian segi ini dilakukan terhadap
semua biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produksi untuk satuan luas tertentu
pada suatu periode kegiatan berproduksi dan nilai yang diperoleh dari hasil penjualan
hasil produksinya.
Selisih antara nilai penjualan dari nilai pengorbanan yang diperlukan dihitung
dalam nilai uang, merupakan keuntungan yang dapat diperoleh dari usaha tani ters-
ebut. Keuntungan inilah yang akan diperbandingkan dengan keuntungan yang diper-
oleh jika seseorang menanam padi jenis unggul lokal. Pertimbangan dari segi sosial ini
antara lain manfaat penerapan inovasi tersebut bagi masyarakat di sekitar usaha taninya,
apakah penerapan inovasi ini dapat memberikan lapangan kerja baru bagi keluarganya
atau masyarakat di sekitarnya. Jika penilaian telah dilakukan dan kesimpulan yang dapat
ditarik adalah bahwa penerapan inovasi tersebut menguntungkan, maka seseorang akan
melangkah ke tahap berikutnya.
d. Tahap Percobaan (Trial stage)
Pada tahap ini sasaran sudah mulai mencoba-coba dalam luas dan jumlah yang sedikit
saja. Sering juga terjadi bahwa usaha mencoba ini tidak dilakukan sendiri, tetapi sasaran
mengikuti (dalam pikiran dan percakapan-percakapan), sepak terjang tetangga atau
instansi mencoba hal baru itu (dalam pertanaman percobaan atau demosntrasi). Kalau
ia sudah yakin tentang apa yang dianjurkan, maka ia kan mengetrapkannya secara lebih
luas. Bila gagal dalam percobaan ini, maka petani yang biasa akan berhenti dan tidak
akan percaya lagi. Tapi petani maju yang ulet akan mengulangi percobaannya lagi,
sampai ia mendapat keyakinannya.
e. Tahap Penerimaan (Adoption)
Pada tahap ini sasaran sudah yakin akan kebenaran atau keunggulan hal baru itu, maka
ia mengetrapkan anjuran secara luas dan kontinu. Ia juga akan mengajurkannya kepada
tetangga atau teman-temannya. Dalam prakteknya pentahapan tadi tidak perlu secara
berurutan dilaluinya. Dapat saja sesuatu tahap dilampaui, karena tahap tersebut dilalui-
nya secara mental. Tidak semua orang mempunyai waktu, kesempatan, ketekunan,
kesanggupan dan keuletan yang sama untuk menjalani, kadang-kadang mengulangi
proses adopsi sampai sakhir dan mendapat sukses.
Kegunaan praktis bagi para penyuluh pertanian perihal proses adopsi adalah
untuk mengetahui sampai tahap mana sasaran yang dihadapinya itu. Jadi harus tahu
ciri-ciri dari tiap tahap, dan pengetahuan ini digunakan untuk dapat memberikan bahan-
bahan penyuluhan yang tepat dan sesuai kepada orang-orang tertentu pada masing-
masing tahap dan pada waktu-waktu tertentu pula. Juga untuk dapat memilih metoda
penyuluhan yang tepat pada kesempatan (tahap) tertentu.
Bagi para penyuluh pertanian tiap tahap dari proses adopsi itu akan memberikan
indikasi golongan usaha penyuluhan yang harus digunakan, umpamanya:
Pada tahap kesadaran yang dilakukan adalah usaha untuk menimbulkan perha-
tian atau kesadaran. Cara-caranya lebih banyak di lapangan komunikasi massal,
seperti siaran melalui radio (siaran pedesaan), surat kabar, majalah, film, televisi,
poster, dan lain-lain.
Pada tahap minat maka usaha yang dilakukan adalah upaya-upaya hubungan
secara perorangan, baik lisan maupun tertulis. Orang-orang yang sudah sadar
dan memperlihatkan sedikit minat terhadap perubahan, supaya lebih banyak
diberi penjelasan agar minatnya dapat tumbuh dan berkembang.
Pada tahap penilaian maka usaha para penyuluh adalah memberikan bahan-
bahan pertimbangan kepada sasaran. Dapat berbentuk kunjungan rumah yang
lebih sering, pameran, darmawisata, demonstrasi, latihan, surat selebaran dll.
Pada tahap percobaan penyuluh akan memberikan data teknis yang dapat meya-
kinkan sasaran. Juga sasaran akan dapat kesempatan untuk mencoba atau mela-
kukan demonstrasi di tanahnya sendiri, di bawah bimbingan penyuluh. Darma-
wisata kepada orang-orang yang telah berhasil akan menambah keyakinan tadi.
Pada tahap penerimaan atau pengetrapan maka penyuluh akan terus mendam-
pingi atau membimbing sasaran, yang sudah melaksanakan anjuran secara lebih
luas dan kontinu itu. Biasanya pada tahap ini sasaran sudah diakui sebagai petani
maju. Mungkin selanjutnya juga dijadikan petani teladan, terus kontak tani pada
akhirnya.
interaksi yang terjadi dalam kegiatan belajar. Interaksi ini mengubah kemampuan dan
bakat alamiah guru dan siswa menjadi cahaya yang bermanfaat bagi kemajuan mereka
dalam belajar secara efektif dan efisien. Selain itu, adanya proses pengubahan belajar
yang meriah dengan segala nuansanya, penyertaan segala berkaitan, interaksi dan
perbedaan yang memaksimalkan momen belajar. Fokus pada hubungan dinamis dalam
lingkungan kelas, seluruhnya adalah hal-hal yang melandasi pembelajaran kuantum.
Secara umum, quantum teaching (pembelajaran kuantum) mempunyai karak-
teristik sebagai berikut:
a. Berpangkal pada psikologi kognitif.
b. Bersifat humanistik, manusia selaku pembelajar menjadi pusat perhatian. Potensi diri,
kemampuan pikiran, daya motivasi dan sebagainya dari pembelajar dapat berkem-
bang secara optimal dengan meniadakan hukuman dan hadiah karena semua usaha
yang dilakukan pembelajar dihargai. Kesalahan sebagai manusiawi.
c. Bersifat konstruktivistis, artinya memadukan, menyinergikan, danmengelaborasikan
faktor potensi diri manusia selaku pembelajar dengan lingkungan (fisik dan mental)
sebagai konteks pembelajaran. Oleh karena itu, baik lingkungan maupun kemam-
puan pikiran atau potensi diri manusia harus diperlakukan sama dan memperoleh
stimulan yang seimbang agar pembelajaran berhasil baik.
d. Memusatkan perhatian pada interaksi yang bermutu dan bermakna. Dalam proses
pembelajaran dipandang sebagai penciptaan intekasi bermutu dan bermakna yang
dapat mengubah energi kemampuan pikiran yang dapatmengubah energi kemam-
puan pikiran dan bakat alamiah pembelajar menjadi cahaya yang bermanfaat bagi
keberhasilan pembelajar.
e. Menekankan pada pemercepatan pembelajaran dengan taraf keberhasilan tinggi.
Dalam prosesnya menyingkirkan hambatan dan halangan sehingga menimbulkan
hal-hal yang seperti: suasana yang menyenngkan, lingkungan yang nyaman, pena-
taan tempat duduk yang rileks, dan lain-lain.
f. Menekankan kealamiahan dan kewajaran proses pembelajaran. Dengan keala-
miahan dan kewajaran menimbulkan suasana nyaman, segar sehat, rileks, santai,
dan menyenangkan serta tidak membosankan.
g. Menekankan kebermaknaan dan dan kebermutuan proses pembelajaran. Dengan
kebermaknaan dan kebermutuan akan menghadirkan pengalaman yang dapat
dimengerti dan berarti bagi pembelajar, terutama pengalaman perlu diakomodasi
secara memadai.
h. Memiliki model yang memadukan konteks dan isi pembelajaran. Konteks pem-
belajaran meliputi suasana yang memberdayakan, landasan yang kukuh, lingkungan
yang mendukung, dan rancangan yang dinamis. Sedangkan isi pembelajaran
b. Alami: Ciptakan atau datangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti semua
pelajar.
c. Namai: Sediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi, sebuah “masukan”.
d. Demonstrasikan: Sediakan kesempatan bagi pelajar untuk “menunjukkan bahwa
mereka tahu”.
e. Ulangi: Tunjukkan pelajar cara-cara mengulang materi dan menegaskan, “Aku tahu
bahwa aku memang tahu ini”.
f. Rayakan: Pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi, dan pemerolehan keteram-
pilan dan ilmu pengetahuan. beberapa bentuk perayaan menyenangkan yang biasa
digunakan yaitu: tepukkan tangan, berikan jempol, dan sebagainya.
lajaran yang bersifat holistik (menyeluruh), terdiri dari berbagai komponen yang saling
terkait, apabila dilaksanakan masing-masing memberikan dampak sesuai dengan pera-
nannya (Sukmadinata, 2004).
Berdasarkan pengertian pembelajaran kontekstual, terdapat lima karakteristik
penting dalam menggunakan proses pebelajaran kontekstual yaitu:
a. Dalam CTL pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah
ada.
b. Pembelajaran kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah
pengetahuan baru, yang diperoleh dengan cara deduktif.
c. Pemahaman pengetahuan
d. Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut.
e. Melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan.
Elaine B. Jhonson (2002), mengklaim bahwa dalam pembelajaran kontekstual
minimal ada tiga prinsip utama yang sering digunakan, yaitu: saling ketergantungan
(interdepence), diferensiasi (differentiation), dan pengorganisasian (self organization).
Selain itu, terdapat asas-asas dalam pembelajaran kontekstual sebagai komponen-
komponen pembelajaran yangmelandasi pembelajran kontekstual meliputi: (1) Kons-
truktivisme, (2) Inkuiri, (3) Bertanya, (4) Masyarakat Belajar, (5) Pemodelan, (6) Refleksi,
dan (7) Penilaian nyata.
perencanaan dan mencari materi dengan usaha dan inisiatif sendiri. E-learning dapat
menggantikan guru dalam arti sebenarnya. E-learning akan menjadi suplemen dan
komplemen wakil guru yang mewakali sebagai sumber belajar yang penting di dunia.
c. Tujuan E-Learning
Pada era dimana teknologi dan informasi cepat berkembang, e-learning dibutuhkan
masyarakat pendidikan. Namun, e-learning bukan hanya sekedar teknologi yang harus
tersedia di sekolah-sekolah atau kampus-kampus. Dalam membangun e-learning,
instansi pendidikan tidak boleh hanya sekedar bertujuan untuk menyusul ketertinggalan
teknologi. Seperti yang dijelaskan oleh Cisco (2001) bahwa filosofis sebenarnya tujuan
pembangunan e-learning adalah sebagai berikut.
E-learning merupakan penyampaian informasi, komunikasi, pendidikan, pela-
tihan secara on-line.
E-learning menyediakan seperangkat alat yang dapat memperkaya nilai belajar
secara konvensional (model belajar konvensional, kajianterhadap buku teks, CD-
ROM, dan pelatihan berbasis komputer) sehingga dapat menjawab tantangan
perkembangan globalisasi.
E-learning tidak berarti menggantikan model belajar konvensional di dalam kelas,
tetapi memperkuat model belajar tersebut melalui pengayaan content dan
pengembangan teknologi pendidikan
Kapasitas siswa amat bervariasi tergantung pada bentuk isi dan cara penyam-
paiannya. Makin baik keselarasan antar conten dan alat penyampai dengan gaya
belajar, maka akan lebih baik kapasitas siswa yang pada gilirannya akan memberi
hasil yang lebih baik.
B agian ini akan dikemukakan mengenai evaluasi sebagai suatuproses dan hasil pem-
belajaran meliputi suatu proses perencanaan, memperoleh, dan menyediakan
informasi yang sangat diperlukan untuk membuat alternatif-alternatif keputusan, maka
setiap kegiatan evaluasi atau penilaian merupakan suatu proses yang sengaja direnca-
nakan untuk memperoleh informasi atau data, sehingga data tersebut kemudian dibuat
keputusan. Salah satu cara untuk memperbaiki proses pembelajaran yang paling efektif
ialah dengan jalan mengevaluasi hasil belajar yang diperoleh dari proses pembelajaran
itu sendiri. Dengan kata lain, hasil tes itu kita olah sedemikian rupa sehingga dari hasil
pengolahan itu dapat diketahui komponen-komponen manakah dari proses pembela-
jaran itu yang masih lemah.
Tindak lanjut termaksud merupakan fungsi evaluasi berupa, yaitu: (1) penempatan
pada tempat yang tepat, (2) pemberian umpan balik, (3) diagnosis kesulitan belajar, dan
(4) penentuan kelulusan. Untuk masing-masing tindak lanjut yang dikehendaki ini
diadakan tes, yang diberi nama tes penempatan, tes formatif, tes diagnosis, dan tes
sumatif.Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa sesungguhnya evaluasi adalah
proses mengukur dan menilai terhadap suatu objek dengan menampilkan hubungan
sebab akibat diantara faktor yang mempengaruhi objek tersebut.
Tujuan evaluasi adalah untuk melihat dan mengetahui proses yang terjadi dalam
proses pembelajaran. Proses pembelajaran memiliki tiga hal penting yaitu: input, trans-
formasi, dan output. Input adalah peserta didik yang telah dinilai kemampuannya dan
siap menjalani proses pembelajaran, transformasi adalah segala unsur yang terkait
dengan proses pembelajaran yaitu: guru, media dan bahan belajar, metode pengajaran,
sarana penunjang dan sistem administrasi. Output adalah capaian yang dihasilkan dari
proses pembelajaran. Bagaimana dan sampai dimana penguasaan dan kemampuan
yang telah dicapai peserta didik tentang materi dan keterampilan-keterampilan
mengenai mata pelajaran yang telah diberikannya.
Perlu ditekankan di sini bahwa evaluasi pencapaian belajar peserta didik tidak
hanya menyangkut aspek kognitifnya, tetapi juga mengenai aplikasi atau performance,
aspek afektif yang menyangkut sikap serta internalisasi nilai-nilai yang perlu ditanamkan
dan dibina melalui mata pelajaran yang telah diberikannya. Tentu saja melaksanakan hal
ini secara konsekuen bukanlah suatu hal mudah. Masih banyak kepincangan yang terjadi
di dalam dunia kependidikan kita, baik di lembaga pendidikan dasar, pendidikan
menengah, maupun pendidikan tinggi.
Fungsi evaluasi bukan semata-mata sebagai mekanisme untuk menyeleksi peserta
didik dalam kenaikan tingkat atau kelulusan pada mata pelajaran tertentu saja, tetapi
juga sebagai sarana untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan peserta didik
secara maksimal, baik menyangkut aspek kognitif, afektif, dan aspek psikomotor.
b. Mengukur sampel yang reprensentatif dari hasil belajar dan bahan pelajaran yang
telah diajarkan.
c. Mencakup bermacam-macam bentuk soal yang benar-benar cocok untuk mengukur
hasil belajar yang diinginkan sesuai dengan tujuan.
d. Didesain sesuai dengan kegunaannya untuk memperoleh hasil yang diinginkan.
e. Dibuat seandal (reliable) mungkin sehingga mudah diinterpretasikan dengan baik.
f. Digunakan untuk memperbaiki cara belajar peserta didik dan cara mengajar guru.
Dengan demikian, sesuai dengan prinsip ini penyusunan dan penyelenggara tes
hasil belajar yang dilakukan guru, di samping untuk mengukur sampai dimana keber-
hasilan peserta didik dalam belajar (evaluasi sumatif), sebaiknya dipergunakan pula
untuk mencari informasi yang berguna untuk memperbaiki cara belajar peserta didik
dan cara mengajar guru itu sendiri (evaluasi formatif).
Betapapun baiknya prosedur evaluasi diikuti dan betapapun sempurnanya teknik
evaluasi diterapkan, apabila tidak dipadukan dengan prinsip penunjangnya maka hasil
evaluasinya pun akan kurang dari yang diharapkan. Prinsip-prinsip termaksud menurut
Arikunto (2005) adalah sebagai berikut.
a. Keterpaduan. Evaluasi merupakan komponen yang integral dalam program peng-
ajaran disamping tujuan instruksional dan materi serta metode pengajaran, sehingga
evaluasi direncanakan pada waktu menyusun silabus pelajarn maka dapat disesuai-
kan secara harmonis dengan materi pembelajaran dan metodenya.
b. Keterlibatan peserta didik. Diharapkan peserta didik merasakan evaluasi sebagai
kebutuhan terhadap kegiatan belajarnya, bukan sesuatu yang ingin dihindari. Penya-
jian evaluasi oleh guru merupakan upaya guru untuk memenuhi kebutuhan peserta
didik akan informasi mengenai kemajuannya dalam program pembelajaran.
c. Koherensi. Prinsip koherensi dimaksudkan evaluasi harus berkaitan dengan materi
yang sudah disajikan dan sesuai dengan ranah kemampuan yang akan diukur.
d. Pedagogis. Evaluasi juga perlu diterapkan sebagai upaya perbaikan sikap dan
tingkah laku ditinjau dari segi pedagogis, sehingga dapat dipakai sebagai alat
motivasi siswa untuk meningkatkan belajarnya.
e. Akuntabilitas. Sejauh mana keberhasilan program perkuliahan perlu disampaikan
kepada fihak-fihak yang berkepentingan dengan pendidikan sebagai laporan
pertanggungjawaban (accountability).
pembelajaran berlangsung, yakni untuk mendapatkan data dan informasi yang sesuai
dengan tujuan evaluasi tidak mengganggu proses pembelajaranpeserta didik yang
bersangkutan.
Salah satu cara untuk memperbaiki proses pembelajaran yang paling efektif ialah
dengan jalan mengevaluasi proses belajar yang diperoleh dari proses pembelajaran itu
sendiri. Dengan kata lain, hasil tes itu kita olah sedemikian rupa sehingga dari hasil
pengolahan itu dapat diketahui komponen manakah dari proses pembelajaran itu yang
masih lemah.
Evaluasi proses belajar salah satu tugas penting yang acapkali dan bahkan pada
umumnya dilupakan oleh staf pengajar dalam melakukan evaluasi terhadap alat peng-
ukur yang telah digunakan untuk mengukur proses keberhasilan belajar dari mahasiswa.
Alat pengukur termaksud adalah teknik tes dan non-tes, yang sebagaimana telah kita
maklumi, batang tubuhnya terdiri dari kumpulan butir-butir soal atau pertanyaan.
Bentuk-bentuk non-tes antara lain angket, wawancara, daftar cek-list, skala bertingkat,
dokumentasi dan observasi.
Observasi suatu cara menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis
mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau kelompok secara
langsung. Melalui observasi, deskripsi objektif dari individu-individu dalam hubungan
yang aktual satu sama lain dan hubungan mereka dengan lingkungannya dapat diper-
oleh. Dengan mencatat tingkah laku dan ekspresi mereka yang timbul secara wajar,
tanpa dibuat-buat, teknik observasi menjamin proses pengukuran (evaluasi). Data yang
dikumpulkan melalui observasi mudah diterima dan dapat diolah dengan teknik statistik
konvensional.
Umpan balik pada proses pembelajaran tidak akan membantu belajar jika peserta
didik tidak mengerti bahan yang harus dikuasainya dahulu sebelum mempelajari hal
yang diujikan itu. Tes memberikan umpan balik tidak saja kepada peserta didik tetapi
juga kepada pengajar. Tes memberikan informasi mengenai sebaik mana peserta didik
telah belajar dan sebaik mana pengajar telah mengajar.
akibatnya; (2) agar peserta didik tetap merasa terlindungi meskipun umpan balik
yang diberikan bersifat negative; (3) menjaga kerahasiaan pribadi (privacy) peserta
didik yang menerima umpan balik.
c. Fungsi komunikasional. Pemberian umpan balik merupakan upaya komunikasi
antara pesert didik dengan guru. Penyampaian hasil evaluasi kepada peserta didik
dapat membicarakan bersama upaya peningkatan atau perbaikannya. Dengan
demikian, melalui umpan balik mahasiswa mengetahui letak kelemahannya, serta
bersama-sama pengajar bereaksi terhadap hasil tersebut.
Untuk dapat merumuskan tujuan penyusunan tes dengan baik, seorang guru perlu
memikirkan apa tipe tes dan fungsi yang akan disusunnya sehingga selanjutnya ia dapat
menentukan bagaimana karakteristik soal-soal yang akan dibuatnya. Perlu diketahui
bahwa tes hasil belajar itu mempunyai beberapa fungsi, bergantung pada tipe dan
kegunaannya. Berikut ini uraian singkat mengenai pengertian tes penempatan, tes
formatif, tes diagnostik, tes sumatif, menurut Anastasi (2007).
a. Tes Penempatan. Tes jenis ini disajikan pada awal tahun pelajaran untuk mengukur
kesiapan peserta didik dan mengetahui tingkat pengetahuan maupun minat serta
motivasi sehubungan pemilihan jurusan/peminatan.
b. Tes Formatif. Tes jenis ini disajikan pada tengah program pengajaran untuk
memantau (memonitor) kemajuan belajar peserta didik demi memberikan umpan
balik, baik kepada peserta didik maupun guru.
c. Tes Diagnostik. Tes jenis ini berfungsi untuk mendiagnosis kesulitan belajar maha-
siswa untuk mengupayakan perbaikannya. Tes ini dilakukan setelah dilakukan tes
formatif.
d. Tes Sumatif. Tes jenis ini biasanya diberikan pada akhir program pengajaran yang
cakupan materinya meliputi seluruh pokok bahasan. Tes ini dimaksudkan untuk
memberikan nilai yang menjadi dasar penentuan kelulusan dari suatu program
pembelajaran.
kriterium. Teknik untuk mengetahui kesejajaran adalah teknik korelasi product moment
yang dikemukakan oleh Pearson.
Pada sebuah tes hasil belajar buatan guru lebih difokuskan untuk validitas butir
soal atau validitas item. Pengertian umum untuk validitas item adalah sebuah item
dikatakan valid apabila mempunyai dukungan yang besar terhadap skor total. Skor pada
item menyebabkan skor total menjadi tinggi atau rendah. Dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa sebuah item memiliki validitas yang tinggi jika skor pada item
mempunyai kesejajaran dengan skor total. Kesejajaran ini dapat diartikan dengan
korelasi antara skor item dengan skor total sehingga untuk mengetahui validitas item
digunakan rumus korelasi product moment.
Validitas soal yang dihitung dengan mengkorelasikan antara skor butir dengan
skor total, maka dari hasil korelasi ini dikenal indeks koefisien korelasi, untuk
mengadakan interpretasi mengenai besarnya koefisien korelasi menurut Arikunto
(2008), sebagai berikut.
Skor Kriteria
0,80 – 1,00 Sangat tinggi
0,60 – 0,79 Tinggi
0,40 – 0,59 Cukup
0,20 – 0,39 Rendah
< 0, 20 Rendah sekali
Penafsiran harga koefisien korelasi ada dua cara yaitu:
a. Dengan melihat harga r (dari hasil hitungan) dan interpretasikan pada klasifikasi di
atas.
b. Dengan konsultasikan ke tabel harga kritik r product moment sehingga dapat
diketahui signifikansi dari hasil hitungannya.
external)dan pada tes itu sendiri (consistency internal). Ada beberapa metode atau cara
untuk mencari reliabilitas tes yang dapat digunakan, yaitu:
a. Metode bentuk paralel (equivalen). Tes paralel atau tes equivalen adalah dua buah
tes yang mempunyai kesamaan tujuan, tingkat kesukaran dan susunan, tetapi butir-
butir soalnya berbeda dicobakan pada kelompok yang sama.
b. Metode tes ulang (test-retest method). Metode ini tester hanya membuat satu seri
tes tetapi dicobakan dua kali, kemudian hasil dari kedua kali tes tersebut dihitung
korelasinya.
c. Metode belah dua (spit-half method). Metode ini tester hanya menggunakan
sebuah tes dan dicobakan satu kali, hasilnya dibelah dua. Pembelahannya ada dua
cara, cara pertama dengan awal dan akhir pembelahan kedua dengan genap dan
ganjil. Kemudian dikorelasikan antara pembelahan tes itu, hasilnya baru diketahui
reliabilitas separo tes. Untuk mengetahui reliabilitas seluruh tes harus digunakan
rumus Spearman- Brown.
T ugas utama seorang guru adalah membelajarkan siswa. Ini berarti bahwa bila guru
bertindak mengajar, maka diharapkan siswa belajar. Dalam kegiatan belajar-
mengajar di sekolah ditemukan hal-hal berikut: guru telah mengajar dengan baik, ada
siswa belajar giat, ada siswa pura-pura belajar, ada siswa belajar setengah mati, dan
bahkan ada pula siswa yang tidak belajar. Guru bingung menghadapi keadaan siswa dan
guru tersebut berkonsultasi dengan konselor sekolah. Kedua petugas pendidikan
tersebut menemukan adanya masalah-masalah yang dialami siswa. Ada masalah yang
dapat dipecahkan oleh konselor sekolah. Ada pula masalah yang harus dikonsultasikan
dengan ahli psikologi. Guru menyadari bahwa dalam tugas pembelajaran ternyata ada
masalah-masalah belajar yang dialami oleh siswa. Bahkan guru memahami bahwa
kondisi lingkungan siswa juga dapat menjadi sumber timbulnya masalah-masalah
belajar.
Guru professional berusaha mendorong siswa agar belajar secara berhasil. Ia
menemukan bahwa ada bermacam-macam hal yang menyebabkan siswa belajar. Ada
siswa yang tidak belajar karena dimarahi oleh orang tua. Ada siswa yang enggan belajar
karena pindah tempat tinggal. Ada siswa yang sukar memusatkan waktu guru mengajar
topik tertentu. Ada pula siswa yang giat belajar karena ia bercita-cita menjadi seorang
ahli. Bermacam-macam keadaan siswa tersebut menggambarkan bahwa pengetahuan
tentang masalah-masalah belajar merupakan hal yang sangat penting bagi guru dan
calon guru.
mampu, maka dapat diduga bahwa proses belajar memakan waktu yang lama.
Sebaliknya, jika bahan belajar mudah, dan siswa berkemampuan tinggi, maka proses
belajar memakan waktu singkat. Aktivitas belajar dialami oleh siswa sebagai suatu
proses, yaitu proses belajar sesuatu. Aktivitas belajar tersebut juga dapat diketahui oleh
guru dari perlakuan siswa terhadap bahan belajar. Proses belajar sesuatu dialami oleh
siswa dan aktivitas belajar sesuatu dapat dialami oleh guru.
Pada kegiatan belajar dan mengajar di sekolah ditemukan dua subjek, yaitu siswa
dan guru. Dalam kegiatan belajar, siswalah yang memegang peranan penting. Dalam
proses belajar ditemukan tiga tahap penting, yaitu: (1) Sebelum belajar. Hal yang
berpengaruh pada belajar, menurut Biggs & Telfer dan Winkel, adalah ciri khas pribadi,
minat, kecakapan, pengalaman, dan keinginan belajar. Hal-hal sebelum terjadi belajar
tersebut merupakan keadaan awal; keadaan awal tersebut diharapkan mendorong
terjadinya belajar. (2) Proses belajar, yaitu suatu kegiatan yang dialami dan dihayati oleh
siswa sendiri. Kegiatan atau proses belajar ini terpengaruh oleh sikap, motivasi,
konsentrasi, mengolah, menyimpan, menggali, dan unjuk prestasi. (3) Sesudah belajar,
merupakan tahan untuk prestasi hasil belajar. Secara wajar diharapkan agar hasil belajar
menjadi lebih baik, bila dibandingkan keadaan sebelum belajar. Proses belajar,
merupakan kegiatan mental mengolah bahan belajar atau pengalaman yang lain. Proses
belajar ini tertuju pada bahan belajar dan sumber belajar yang dprogramkan guru.
Proses belajar yang berhubungan dengan bahan belajar tersebut, dapat diamati oleh
guru, dan umumnya dikenal sebagai aktivitas belajar siswa.
Guru adalah pendidik yang membelajarkan siswa. Dalam usaha pembelajaran
siswa, maka guu melakukan pengorganisasian belajar, penyajian bahan belajar dengan
pendekatan pembelajaran tertentu, dan melakukan evaluasi hasil belajar. Dipandang
dari segi siswa, maka guru dengan usaha pembelajaran tersebut merupakan factor
ekstern dari belajar.
Proses belajar merupakan hal yang paling kompleks. Siswalah yang menentukan
terjadi atau tidak terjadi belajar. Untuk bertindak belajar siswa menghadapai masalah-
masalah secara intern. Jika siswa tidak bias mengatasi masalahnya, maka ia tidak belajar
dengan baik. Faktor intern yang dialami dan dihayati oleh siswa yang berpengaruh pada
proses belajar sebagai berikut.
a. Sikap terhadap Belajar
Sikap merupakan kemampuan memberikan penilaian tentang sesuatu, yang membawa
diri sesuai dengan penilaian. Adanya penilaian tentang sesuatu, mengakibtakan terjadi-
nya sikap menerima, menolak, atau mengabaikan. Siswa memperolah kesempatan
belajar. Meskipun demikan, siswa dapat menerima, menolak, atau mengabaikan kesem-
patan belajar tersebut. Sebagai ilustrasi, seorang siswa yang tidak lulus ujian matematika
menolak ikut ulangan di kelas lain. Siswa tersebut bersikap menolak ulangan karena
ujian ulang di kelas lain. Sikap menerima, menolak, dan mengabaikan suatu kesempatan
belajar merupakan urusan pribadi siswa. Akibat pnerimaan, penolakan, atau pengabaian
kesempatan belajar tersebut akan berpengaruh pada perkembangan kepribadian. Oleh
karena itu, ada baiknya siswa mempertimbangkan masak-masak akibat sikap terhadap
belajar.
b. Motivasi Belajar
Motivasi belajar merupakan kekuatan mental yang mendorong terjadinya proses belajar.
Motivasi belajar pada diri siswa dapat menjadi lemah. Lemahnya motivasi, atau tiadanya
motivasi belajar akan melemahkan kegiatan belajar. Selanjutnya, mutu hasil belajar akan
menjadi rendah. Oleh karena itu, motivasi belajar pada diri siswa perlu diperkuat terus
menerus. Agar siswa memiliki motivasi belajar yang kuat, pada tempatnya diciptakan
suasana belajar yang menggembirakan.
c. Konsentasi Belajar
Konsentrasi belajar merupakan kemampuan memusatkan perhatian pada pelajaran.
Pemusatan perhatian tersebut tertuju pada isi bahan belajar maupun proses memper-
olehnya. Untuk memperkuat perhatian pada pelajaran, guru perlu menggunakan ber-
macam-macam strategi belajar-mengajar, dan memperhitungkan waktu belajar serta
selingan istirahat. Dalam pengajaran klasikal, menurut Rooijakker, kekuatan perhatian
selama tiga puluh menit telah menurun. Ia menyarankan agar guru memberikan istirahat
selingan selama beberapa menit. Dengan selingan istirahat tersebut, prestasi belajar
siswa akan meningkat kembali.
d. Mengolah Bahan Belajar
Mengolah bahan belajar merupakan kemampuan siswa untuk menerima isi dan cara
pemerolehan ajaran sehingga menjadi bermakna bagi siswa. Isi bahan belajar berupa
pengetahuan, nilai kesusilaan, nilai agama, nilai kesenian, serta keterampilan mental dan
jasmani. Cara pemerolehan ajaran berupa cara-cara belajar sesuatu, seperti bagaimana
menggunakan kamus, daftar logaritma, atau rumus matematika. Kemampuan menerima
isi dan cara pemerolehan tersebut dapat dikembangkan dengan belajar berbagai mata
pelajaran. Kemampuan siswa mengolah bahan tersebut menjadi semakin baik, bila siswa
aktif dalam belajar.
e. Menyimpan Perolehan Hasil Belajar
Menyimpan pemerolehan hasil belajar merupakan kemampuan penyimpanan isi pesan
dan cara perolehan pesan. Kemampuan menyimpan tersebut dapat berlangsung dalam
waktu pendek dan waktu yang lama. Kemampuan menyimpan dalam waktu pendek
berarti hasil belajar cepat dilupakan. Kemampuan menyimpan dalam waktu lama berarti
hasil belajar tetap dimiliki siswa. Pemilikan itu dalam waktu bertahun-tahun, bahkan
sepanjang hayat. Biggs dan Telfer menjelaskan proses belajar di ranah kognitif tentang
hal pengolahan, penyimpanan, dan penggunaan kembali pesan. Proses belajar terdiri
dari proses pemasukan, proses mengolah kembali dan hasil, dan proses penggunaan
kembali.
Proses penerimaan merupakan kegiatan siswa melakukan pemusatan perhatian,
menyeleksi, dan memberi kode terhadap hal yang dipelajari. Proses pengaktifan
merupakan kegiatan siswa untuk menguatkan pesan baru, membangkitkan pesan dan
pengalaman lama. Proses pengolahan merupakan proses belajar yang menggunakan
kesadaran penuh dalam memikirkan tugas, berlatih, dan menarik kesimpulan. Proses
penyimpanan merupakan saat memperkuat hasil belajar. Siswa menggunakan berbagai
teknik belajar agar tersimpan dalam ingatan, penghayatan, dan keterampilan jangka
panjang. Proses pemanggilan di mana pesan atau kesan lama diaktifkan kembali.
Proses belajar terdiri dari proses penerimaan, pengolahan, penyimpanan, dan
pengaktifan yang berupa penguatan serta pembangkitan kembali untuk dipergunakan.
Dalam kehidupan sebenarnya tidak berarti bahwa semua proses tersebut berjalan
lancar. Ada siswa yang mengalami kesukaran dalam proses penerimaan, akibatnya
proses-proses penguatan, pengolahan, penyimpanan, dan penggunaan akan terganggu.
Ada siswa yang mengalami kesukaran dalam proses penyimpanan. Akibatnya proses
penggunaan hasil belajar akan terganggu. Adanya gangguan dalam kelima proses
tersebut, baik sendiri-sendiri atau gabungan, akan menghasilkan hasil belajar yang
kurang baik.
f. Menggali Hasil Belajar yang Tersimpan
Menggali hasil belajar yang tersimpan merupakan proses mengaktifkan pesan yang telah
diterima. Untuk memperkuat pesan baru dapat dilakukan dengan cara mempelajari
kembali, atau mengaitkannya dengan bahan lama. Dalam hal pesan lama, maka siswa
harus membangkitkan pesan dan pengalaman lama untuk suatu unjuk hasil belajar.
Proses menggali pesan lama tersebut dapat berwujud mealui: transfer belajaratau unjuk
prestasi belajar.
Ada kalanya siswa juga mengalami gangguan dalam menggali pesan dan kesan
lama. Gangguan tersebut bukan hanya bersumber pada pemanggilan atau pembang-
kitan sendiri. Gangguan tersebut dapat bersumber dari kesukaran penerimaan, peng-
olahan, dan penyimpanan. Jika siswa tidak berlatih sungguh-sungguh, maka siswa tidak
berketerampilan (intelektual, sosial, moral, dan jasmani) dengan baik. Dengan kata lain
penggalian hasil yang tersimpan ada hubungannya dengan baik atau buruknya peneri-
maan, pengolahan, dan penyimpanan pesan.
g. Kemampuan Berprestasi atau Unjuk Hasil Belajar
Kemampuan berprestasi atau unjuk hasil belajar merupakan suatu puncak proses
belajar. Pada tahap ini siswa membuktikan keberhasila belajar. Siswa menunjukkan
masalah pembelajaran diri yang musykil. Pada tempatnya guru mendorong keberanian
terus menerus, memberikan bermacam-macam penguat, dan memberikan pengakuan
dan kepercayaan bila siswa telah berhasil. Sebagai ilustrasi, siswa yang gagal ujian
bahasa Inggris, bila didorong terus, akhirnya akan berhasil lulus. Bahkan bila keperca-
yaan dirinya timbul, ia dapat lulus pada saat ujian akhir dengan nilai baik pada mata
pelajaran bahasa Inggris.
i. Integelensi dan Keberhasilan Belajar
Intelegensi adalah suatu kecakapan global atau rangkuman kecakapan untuk dapat ber-
tindak secara terarah, berpikir secara baik, dan bergaul dengan lingkungan secara
terarah, berpikir secara baik, dan bergaul dengan lingkungan secara efisien. Kecakapan
tersebut menjadi aktual bila siswa memecahkan masalah dalam belajar atau kehidupan
sehari-hari.
Intelegensi dianggap sebagai suatu norma umum dalam keberhasilan. Intelegensi
normal bila nilai IQ menunjukkan angka 85-115. Masalah dalam belajar yang ditemui
adalah siswa yang memiliki kecakapan di bawah normal.Ditemukan adanya siswa yang
memperoleh angka hasil belajar yang rendah, hal ini disebabkan oleh faktor-faktor
seperti: (i) kurangnya fasilitas belajar di sekolah dan rumah di berbagai pelosok. (ii) siswa
mungkin dihadapkan oleh berbagai pilihan dan mereka merasa ragu dan takut gagal,
(iii) kurangnya dorongan mental dari orang tua karena orang tua tidak memahami apa
yang dipelajari oleh anaknya di sekolah, dan (iv) keadaan gizi yang rendah, sehingga
siswa tidak mampu belajar yang lebih baik serta (v) gabungan dari faktor-faktor tersebut,
mempengaruhi berbagai hambatan belajar.
j. Kebiasaan Belajar
Dalam kegiatan sehari-hari ditemukan adanya kebiasaan belajar yang kurang baik.
Kebiasaan belajar tersebut antara lain berupa (i) belajar pada akhir semester, (ii) belajar
tidak teratur, (iii) menyia-nyiakan kesempatan belajar, (iv) bersekolah hanya untuk
bergengsi, (v) datang terlambat bergaya pemimpin, (vi) bergaya jantan seperti merokok,
sok menggurui teman lain, dan (vii) bergaya minta “belas kasihan” tanpa belajar.
Kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut dapat ditemukan di sekolah yang ada di kota
besar, kota kecil, dan di pelosok tanah air. Untuk sebagian, kebiasaan belajar tersebut
disebabkan oleh ketidakmengertian siswa pada arti belajar bagi diri sendiri. Hal ini dapat
diperbaiki dengan pembinaan disiplin membelajarkan diri. Suatu pepatah “berakit-rakit
ke hulu, berenang ke tepian” dan berbagai petunjuk tokoh teladan, dapat menyadarkan
siswa tentang pentingnya belajar. Pemberian penguat dalam keberhasilan belajar dapat
megurangi kebiasaan kurang baik dan membangkitkan harga diri siswa.
k. Cita-Cita Siswa
Dalam rangka tugas pembangunan, pada umumnya setiap anak memiliki suatu cita-cita
dalam hidup. Cita-cita merupakan motivasi intrinsik. Tetapi adakalanya “gambaran yang
jelas” tentang tokoh teladan bagi siswa belum ada. Akibatnya, siswa hanya berprilaku
ikut-ikutan. Sebagai ilustrasi, siswa ikut-ikutan berkelahi, merokok sebagai tanda jantan,
atau berbuat “jagoan” dengan melawan aturan. Dengan prilaku tersebut, siswa berang-
gapan bahwa ia telah “menempuh” perjalanan mencapai cita-cita untuk terkenal di
lingkungan sekolah.
Cita-cita sebagai motivasi intrinsik perlu dididikkan. Didikan memiliki cita-cita
harus dimulai sejak sekolah dasar. Di sekolah menengah didikan pemilikan dan pen-
capaian cita-cita semakin terarah. Cita-cita merupakan wujud eksplorasi dan emansipasi
diri siswa. Didikan pemilikan dan pencapaian cita-cita sebaiknya berpangkal dari
kemampuan berprestasi, dimulai dari hal yang sederhana ke yang semakin sulit. Sebagai
ilustrasi, bertugas menjadi pengatur lalu lintas di depan sekolah, pengumpul sumbangan
bencana alam, penggerak pelestari dan keserasian lingkungan hidup, penyuluh gemar
membaca, dan pemecah kesulitan belajar bersama. Dengan mengaitkan pemilikan cita-
cita dengan kemampuan berprestasi, maka siswa diharapkan berani bereksplorasi sesuai
dengan kemampuan dirinya sendiri.
kebutuhan hidup sebagai manusia. Dengan penghasilan yang diterimanya tiap bulan ia
dituntut berkemampuan hidup layak sebagai seorang pribadi guru. Tuntutan hidup layak
tersebut sesuai dengan wilayah tempat tinggal dan tugasnya. Tinggal di sub-kebudayaan
Indonesia yang berbeda dengan daerah asal merupakan persoalan penyesuaian diri
sendiri. Ada perilaku, norma, nilai, sub-kebudayaan local yang masih harus dipelajari
oleh guru yang bersangkutan. Di satu pihak, guru mempelajari perilaku budaya wilayah
tempat tinggal bertugas. Di lain pihak, pada tempatnya warga masyarakat setempat
perlu memahami dan menerima guru sebagai pribadi yang sedang tumbuh. Guru adalah
seorang yang belum sempurna. Ketidaksempurnaan tersebut perlu dipahami, dan
emansipasi guru menjadi pribadi utuh juga perlu dibantu oleh warga msyarakat
tempatnya bertugas.
Guru juga menumbuhkan diri secara profesional. Ia bekerja dan bertugas mem-
pelajari profesi guru sepanjang hayat. Hal-hal yang dipelajari oleh setiap guru adalah (i)
memiliki integritas moral kepribadian, (ii) memiliki integritas intelektual berorientasi
kebenaran, (iii) memiliki intergitas religious dalam konteks pergaulan dalam masyarakat
majemuk, (iv) mempertinggi mutu keahlian bidang studi sesuai dengan kemampuan
ilmu pengetahuan, teknolohi, dan seni, (v) memahami, menghayati, dan mengamalkan
etika profesi guru, (vi) bergabung dengan asosiasi profesi, serta (vii) mengakui dan
menghormati martabat siswa sebagai klien guru. Dalam mempelajari profesi keguruan
tersebut, guru akan menghadapi masalah intern yang harus dipecahkan sendiri, Sudah
barang tentu rekan sejawat guru yang senior merupakan tempat mengadu, pembimbing,
dan pembina pertumbuhan jabatan profesi guru.
Mengatasi masalah-masalah keutuhan secara pribadi, dan pertumbuhan profesi
sebagai guru merupakan pekerjaan sepanjang hayat. Kemampuan mengatasi kedua
masalah tersebut merupakan kebrhasilan guru menbelajarkan sang siswa. Adapun tugas
pengelolaan pembelajaran siswa tersebut meliputi hal-hal berikut: (i) pembangunan
hubungan baik dengan siswa, (ii) menggairahkan minat, perhatian, dan memperkuat
motivasi belajar, (iii) mengorganisasi belajar, (iv) melaksanakan pendekatan pembela-
jaran secara tepat, (v) mengevaluasi hasil belajar secara jujur dan objektif, serta (iv)
melaporkan hasil belajar siswa kepada orang tua siswa yang berguna bagi orientasi masa
depan siswa.
b. Prasarana dan Sarana Pembelajaran
Prasarana pembelajaran meliputi gedung sekolah, ruang belajar, lapangan olahraga,
ruang ibadah, ruang kesenian, dan peralatan olahraga. Sarana pembelajaran meliputi
buku pelajaran, buku bacaan, alat, dan fasilitas laboratorium sekolah, dan berbagai
media pembelajaran yang lain. Lengkapnya prasaran dan sarana pembelajaran
merupakan kondisi pembelajaran yang baik. Hal itu tidak berarti bahwa lengkapnya
prasarana dan sarana menentukan jaminan terselenggaranya proses belajar yang baik.
merupakan puncak “tingkat perkembangan mental” secara utuh, yang lazim disebut
lulusan sekolah menengah, lulusan SMA, atau tingkat kemandirian, tingkat bertanggung
jawab, atau tingkat kedewasaan tertentu. Hasil belajar merupakan hasil pembelajaran.
Hal ini terkait dengan bahan pelajaran. Dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat
terselesaikannya bahan pelajaran. Hal ini juga terkait dengan tujuan penggal-penggal
pengajaran. Pada tujuan-tujuan intruksional khusus mata pelajaran di kelas, peran guru
secara professional bersifat otonom. Pada tujuan intruksional tahap akhir, yang terkait
dengan kenaikan kelas, muncul urusan kebijakan sekolah. Kebijakan penilaian sekolah
tersebut merupakan kebijakan guru sebagai pengelola proses belajar. Pada tujuan
instruksional umum tingkat sekolah berlaku evaluasi tahap akhir, yang dikenal dengan
EBTA atau hasil EBTANAS. Dalam hal ini berlakulah kebijakan penilaian tingkat
nasional. Hasil belajar individual diukur menurut ukuran-ukuran tingkat nasional.
Dengan kata lain, peran guru menilai hasil belajar berorientasi pada ukuran-ukuran
pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat sekolah, wilayah, dan tingkat nasional.
Hasil belajar dinilai dengan ukuran-ukuran guru, tingkat sekolah, dan tingkat
nasional. Dengan ukuran-ukuran tersebut, seorang siswa yang keluar dapat digolongkan
lulus atau tidak lulus. Kelulusannya dengan memperoleh nilai rendah, sedang, atau
tinggi, yang tidak lulus berarti mengulang atau tinggal kelas, bahkan mungkin dicabut
hak belajarnya. Dari segi proses belajar, keputusan tentang hasil belajar berpengaruh
pada tindak siswa dan tindak guru. Jika digolongkan lulus, maka dapat dikatakan proses
belajar siswa dan tindak mengajar guru “berhenti” sementara. Jika digolongkan tidak
lulus, terjadilah proses belajar ulang bagi siswa, dan mengajar ulang bagi guru.
Keputusan tentang hasil belajar merupakan umpan balik bagi siswa dan bagi guru.
Keputusan hasil belajar merupakan puncak harapan siswa. Secara kejiwaan, siswa
terpengaruh atau tercekam tentang hasil belajarnya. Oleh karena itu, sekolah dan guru
diminta berlaku arif dan bijak dalam menyampaikan keputusan hasil belajar siswa.
d. Lingkungan Sosial Siswa di Sekolah
Siswa-siswa di sekolah membentuk suatu lingkungan pergaulan, yang dikenal sebagai
lingkungan sosial siswa. Dalam lingkungan sosial tersebut ditemukan adanya kedu-
dukan dan peranan tertentu. Sebagai ilustrasi, seorang siswa dapat menjabat sebagai
pengurus kelas, sebagai ketua kelas, sebagai ketua OSIS di sekolahnya, sebagai
perngurus OSIS di sekolah-sekolahnya. Kedudukan sebagai ketua kelas, ketua OSIS,
atau ketua OSIS tingkat provinsi mendapat penghargaan dari sesama siswa. Dalam
kehidupan kesiswaan terjadilah hubungan antarsiswa. Pada tingkat kota atau wilayah,
terjadilah jaringan hubungan sosial siswa sekota atau sewilayah. Pada tingkat nasional
terjadi jaringan hubungan sosial siswa tingkat nasional. Tiap siswa dalam lingkungan
sosial memiliki kedudukan, peranan, dan tanggung jawab sosial tertentu. Dalam kehi-
dupan tersebut terjadi pergaulan, seperti hubungan sosial tertentu. Dalam kehidupan
tersebut terjadi pergaulan, seperti hubungan akrab, kerja sama, kerja berkooperasi,
berkompetisi, berkonkurensi, bersaing, konflik, atau persaingan.
Tiap siswa berada dalam lingkungan sosial siswa di sekolah. Ia memiliki kedudukan
dan peranan yang diakui oleh sesama. Jika seorang siswa terterima, maka ia dengan
mudah menyesuaikan diri dan segera dapat belajar. Sebaliknya, jika ia tertolak, maka ia
akan merasa tertekan. Pengaruh lingkungan sosial tersebut berupa hal-hal berikut: (i)
pengaruh kejiwaan yang bersifat menerima atau menolak siswa, yang akan berakibat
memperkuat atau memperlemah konsentrasi belajar, (ii) lingkungan sosial mewujud
dalam suasana akrab, gembira, rukun, dan damai; sebaliknya, mewujud dalam suasana
perselisihan, bersaing, salah-menyalahkan, dan cerai-berai. Suasana kejiwaan tersebut
berpengaruh pada semangat dan proses belajar. Suasana kejiwaan dalam lingkungan
sosial siswa dapat menghambat proses belajar, dan (iii) lingkungan sosial siswa di
sekolah atau juga di kelas dapat berpengaruh pada belajar kelas. Dan setiap guru akan
disikapi secara tertentu oleh lingkungan sosial siswa. Sikap positif atau negative terhadap
guru akan berpengaruh pada kewibawaan guru. Akibatnya, bila guru mengakkan
kewibawaan maka ia akan dapat mengelola proses belajar dengan baik. Sebaliknya, bila
guru tak berwibawa, maka ia akan mengalami kesulitan dalam mengelola proses belajar.
e. Kurikulum Sekolah
Program pembelajaran di sekolah mendasarkan diri pada suatu kurikulum. Kurikulum
yang diberlakukan sekolah adalah kurikulum nasional yang disahkan oleh pemerintah,
atau suatu kurikulum yang disahkan oleh suatu yayasan pendidikan. Kurikulum sekolah
tersebut berisi tujuan pendidikan, isi pendidikan, kegiatan belajar-mengajar, dan eva-
luasi. Berdasarkan kurikulum tersebut guru menyusun desain intruksional untuk mem-
belajarkan siswa. Hal itu berarti bahwa program pembelajaran di sekolah sesuai dengan
system pendidikan nasional.
Kurikulum disusun berdasarkan tuntutan kemajuan masyarakat. Kemajuan masya-
rakat didasarkan suatu rencana pembangunan lima tahunan yang diberlakukan oleh
pemerintah. Dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat, timbul tuntutan kebu-
tuhan baru, dan akibatnya kurkulum sekolah perlu dikontruksi. Adanya rekonstruksi
tersebut menimbulkan kurikulum baru. Demikian seri perubahan kurikulum yang terkait
dengan pembangunan masyarakat.
Perubahan kurikulum sekolah menimbulkan masalah. Masalah-masalah itu adalah:
(i) tujuan yang akan dicapai mungkin berubah. Bila tujuan berubah, berarti pokok
bahasan, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi akan berubah. Sekurang-kurangnya,
kegiatan belajar-mengajar perlu diubah, (ii) isi pendidikan berubah; akibatnya buku-
buku pelajaran, buku bacaan, dan sumber yang lain akan berubah. Hal ini akan
menimbulkan perubahan anggaran pendidikan di semua tingkat, (iii) kegiatan belajar-
mengajar berubah; akibatnya guru harus mempelajari strategi, metode, teknik, dan
pendeketana mengajar yang abru. Bila pendekatan belajar berubah, maka kebiaaan
belajar siswa juga akan mengalami perubahan, dan (iv) evaluasi berubah; akibatnya
guru akan mempelajari metode dan teknik evaluasi belajar yang baru. Bila evaluasi
berubah, maka siswa akan mempelajari cara-cara belajar yang sesuai dengan ukuran
lulusan yang baru.
Perubahan kurikulum sekolah tidak hanya menimbulkan masalah bagi guru dan
siswa, tetapi juga petugas pendidikan dan orang tua siswa. Bagi guru, ia perlu meng-
adakan perubahan pembelajaran. Dalam hal ini guru harus menghindarkan diri dari
kebiasaan pembelajaran yang “lama”. Bagi siswa, ia perlu mempelajari cara-cara belajar,
buku pelajaran, dan sumber belajar yang baru. Dalam hal ini siswa harus meng-
hindarkan diri dari cara-cara belajar “lama”. Bagi petugas pendidikan, ia juga perlu
mempelajari tata kerja pada kurikulum “baru”, dan menghindari kebiasaan kerja pada
“kurikulum lama”. Bagi orang tua siswa, ia perlu mempelajari maksud, tata kerja, peran
guru, dan peran siswa dalam belajar pada kurikulum “baru”. Orang tua perlu mema-
hami adanya metode dan teknik belajar “baru” bagi anak-anaknya. Dengan memahami
dan mempelajari teknik belajar yang “baru”, maka ia dapat membantu proses belajar
anaknya dengan baik.
tindakan seseorang, maka tindakan tersebut dapat diamati sebagai perilaku belajar.
Sebaliknya tindak belajar tersebut terutama dialami oleh siswa sendiri. Siswa mengalami
tindak belajarnya sendiri sebagai suatu proses belajar yang berjalan dari waktu ke waktu.
Siswa dapat menghentikan sendiri, atau mulai belajar lagi. Dengan kata lain, perilaku
belajar merupakan “gejala belajar” yang dialami dan dihayati oleh siswa. Sebagai
ilustrasi, seorang siswa yang belajar menerjemahkan kalimat Bahasa inggris ke Bahasa
Indonesia. Siswa tersebut minta penjelasan dari guru, teman, dan kakanya di rumah.
Siswa tersebut membuka kamus. Bila ditanya oleh teman sekelas, ia menyatakan ia
mengalami kesukaran. Kesukaran tersebut sebagai akibat dari kelalaian kurang
memperhatikan pelajaran. Hal ini terjadi dan siswa tidak mengulangi kesembronoan
tersebut. Peristiwa tersebut melukiskan gejala belajar dari dua sisi. Dari sisi siswa, siswa
mengalami kesukaran, sebagai akibat kelalaian tidak memperhatikan pelajaran. Dari sisi
pengamat, tampak kesibukan siswa mencari penjelasan dengan penggunaan kamus.
Guru selaku pembelajar bertindak membelajarkan, dengan mengajar. Guru selaku
pengamat, melakukan pengamatan terhadap perilaku siswa. Dalam pengamatan ter-
sebut guru juga mewawancarai siswa atau teman belajarnya. Jadi ada perbedaan peran
guru, yaitu peran membelajarkan dan peran mengamat untuk menemukan masalah-
masalah belajar. Bila masalah siwa ditemukan, maka sebagai pendidik, guru berusaha
membantu memecahkan masalah bealajar.
Peran pengamatan perilaku belajar dilakukan sebagai berikut:
Menyusun rencana pengamatan, seperti tindak belajar berkelompok atau belajar
sendiri, atau yang lain.
Memilih siapa yang akan diamati, meliputi beberapa orang siswa.
Menentukan berapa lama berlangsungnya pengamatan, seperti dua, tiga atau empat
bulan.
Menentukan hal-hal apa yang akan diamati, seperti cara siswa membaca, cara
menggunakan media belajar, prosedur, dan cara proses belajar sesuatu.
Mencatat hal-hal yang diamati.
Menafsirkan hasil pengamatan. Untuk memperoleh informasi tentang pengamatan
perilaku belajar tersebut, bila perlu guru melakukan wawancara pada siswa tertentu,
untuk mempermudah pengamatan, pada tempatnya guru menggunakan lemar
pengamatan perilaku belajar. (Semiawan, et.al, 1987; Biggs & Telfer, 1987)
b. Analisis Hasil Belajar
Setiap kegiatan belajar akan berakhir dengan hasil belajar. Hasil belajar tiap siswa di
kelas terkumpul dalam himpunan hasil belajar kelas. Bahan mentah hasil belajar
terwujud dalam lembar-lembar jawaban soal ulangan atau ujian, dan yang berwujud
karya atau benda. Semua hasil belajar tersebut merupakan bahan yang berharga bagi
guru dan siswa. Bagi guru, hasil belajar siswa di kelasnya berguna untuk melakukan
perbaikan tindak mengajar dan evaluasi, Bagi siswa hasil belajar tersebut berguna untuk
memperbaiki cara-cara belajar lebih lanjut. Oleh karena itu, pada tempatnya guru
mengadakan analisis tentang hasil belajar siswa di kelasnya.
Analisis hasil belajar siswa merupakan pekerjaan khusus. Hal ini pada tempatnya
dikuasai dan dikerjakan oleh guru. Dalam melakukan analisis hasil belajar pada
tempatmya guru melakukan langkah-langkah berikut: (i) merencanakan analisis sejak
awal semester, sejalan dengan desain intruksional, (ii) merencanakan jenis-jenis
pekerjaan siswa yang dipandang sebagai hasil belajar. Sebagai ilustrasi, hasil ujian atau
pokok bahasan mana yang dijadikan kajian, (iii) merencanakan jenis-jenis ujian dan alat
evaluasi; kemudian menganalisis kepantasan jenis ujian dan alat evaluasi tersebut, (iv)
mengumpulkan hasil belajar siswa, baik yang berupa ujian tulis, ujian lisan, dan karya
tulis maupun benda, (v) melakukan analisis secara statistik tentang angka-angka per-
olehan ujian dan mengkategori karya-karya yang tidak bias diangkakan, (vi) memper-
timbangkan hasil pengamatan pada kegiatan belajar siswa; perilaku belajar siswa
tersebut dikategorikan secara ordinal, (vii) mempertimbangkan tingkat kesukaran bahan
ajar bagi kelas, yang dibandingkan dengan program kurikulum yang berlaku. (viii) mem-
perhatikan kondisi-kondisi ekstern yang berpengaruh atau diduga ada pengaruhnya
dalam belajar, (ix) guru juga melancarkan suatu angket evaluasi pembelajaran pada
siswa menjelang akhir semester, pada angket tersebut dapat ditanyakan tanggapan siswa
tentang jalannya proses belajar-mengajar dan kesukaran bahan belajar. Dengan analisis
tersebut, guru mengambil kesimpulan tentang hasil belajar kelas dan individu.
c. Tes Hasil Belajar
Pada proses belajar dilaksanakan tes hasil belajar. Adapun jenis tes yang digunakan
umumnya digolongkan sebagai tes lisan dan tes tertulis. Tes tertulis terdiri dari tes esai
dan tes objektif. Tes lisan memiliki kelebihan. Kelebihannya adalah (i) penguji dapat
menyesuaikan bahasa dengan tingkat daya tangkap siswa, (ii) penguji dapat mengejar
tingkat penguasaan siswa tentang pokok bahasan tertentu, dan (iii) siswa dapat
melengkapi jawaban lebih leluasa. Kelemahannya adalah (i) penguji dapat terjerumus
pada kesan subjektif atas perilaku siswa, dan (ii) memerlukan waktu yang lama.
Tenggang waktu masih dapat diatasi.
Tes tertulis memeliki kelebihan. Kelebihanny adalah (i) penguji dapat menguji
banyak siswa dalam waktu terbatas, (ii) objektivitas pengerjaan tes terjamin dan mudah
diawasi, (iii) penguji dapat menyusun soal-soal yang merata pada tiap pokok bahasan,
(iv) penguji dengan mudah dapat menentukan standar penilaian, dan (v) dalam
pengerjaan, siswa dapat memilih menjawab urutan soal sesuai kemampuannya.
Kelemahannya adalah (i) penguji tidak sempat memperoleh penjelasan tentang jawaban
siswa, (ii) rumusan pertanyaan yang tak jelas menyulitkan siswa, dan (iii) dalam
pemeriksaan dapar terjadi subjektivitas penguji.
Tes esai memeliki kelebihan. Kelebihannya adalah (i) penguji dapat menilai dan
meneliti kemampuan siswa bernalar, dan (ii) bila cara memberi angka ada kriteria jelas
maka dapat menghasilkan data objektif. Kelemahannya adalah (i) jumlah soal sangat
terbatas dan kemungkinan siswa berekspekulasi dalam belajar, serta (ii) objektivitas
pengerjaan dan pembinaan sukar dilakukan.
Tes objektif memiliki kelebihan. Kelebihannya adalah (i) penguji dapat membuat
soal yang banyak dan meliputi semua pokok bahasan, (ii) pemeriksaan dapat dilakukan
secara objektif dan cepat, (iii) siswa tak dapat berspekulasi dalam belajar, serta (iv) siswa
yang tak pandai menjelaskan dengan Bahasa yang baik tidak terhambat. Kelemahannya
adalah (i) kemampuan siswa bernalar tidak tertangkap, (ii) penyusunan tes memakan
waktu yang lama, (iii) memakan dana yang besar, (iv) siswa yang pandai menerka jawa-
ban dapar keuntungan, dan (v) pengarsipan soal sukar dan memungkinkan kebocoran.
Tes hasil belajar adalah alat untuk membelajarkan siswa. Meskipun demikian
keseringan penggunaan tes tertentu akan menimbulkan kebiasaan tertentu. Artinya jenis
tes tertentu akan membentuk jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan priskomotrik tertentu.
Sebagai ilustrasi, uji kemampuan afektif seperti penilaian sikap pada PMP tidak dapat
diuji dengan menggunakan tes objektif atau dengan memilih isian benar atau salah.
Pada tempatnya guru mempertimbangkan dengan saksama kebaikan dan kelemahan
jenis tes hasil belajar yang digunakan.
Tes hasil belajar dapat digunakan untuk (i) menilai kemajuan siswa, dan (ii)
mencari masalah-masalah dalam belajar. Untuk menilai kemajuan dalam belajar, pada
umumnya penyusun tes adalah oleh guru sendiri. Untuk mencari masalah-masalah
dalam belajar, sebaiknya penyusun tes adalam tim guru bersama-sama konselor sekolah.
Oleh karena itu, pada tempatnya guru professional memiliki kemampuan melakukan
penelitian secara sederhana.
K ata “kurikulum” berasal dari satu kata bahasa latin yang berarti “jalur pacu” dan se-
cara tradisional, kurikulum sekolah disajikan seperti itu (ibarat jalan) bagi keba-
nyakaan. Istilah kurikulum berasal dari kata curir (pelari) dan curere (tempat berpacu),
dan pada awalnya digunakan dalam dunia olahraga. Pada saat itu kurikulum diartikan
sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai dari start sampai finish
untuk memperoleh medali/penghargaan.
Kemudian, pengertian tersebut diterapkan dalam dunia pendididikan menjadi
sejumlah mata pelajaran (subject) yang harus ditempuh oleh seorang siswa dari awal
sampai akhir program pelajaran untuk memperoleh penghargaan dalam bentuk ijazah.
Menurut Zais dalam Dimyati dan Mudjiono (2009) mengemukakan berbagai pengertian
kurikulum, yakni: (i) kurikulum sebagai program pembelajaran, (ii) kurikulum sebagai isi
pembelajaran, (iii) kurikulum sebagai pengalaman belajar yang direncanakan, (iv)
kurikulum sebagai pengalaman di bawah tanggung jawab sekolah dan (v) kurikulum
sebagai suatu rencana (tertulis) untuk dilaksanakan.
Kurikulum ialah suatu program pendidikan yang berisikan berbagai bahan ajar
dan pengalaman belajar yang diprogramkan, direncanakan dan dirancangkan secara
sistemik atas dasar norma-norma yang berlaku yang dijadikan pedoman dalam proses
pembelajaran bagi tenaga kependidikan dan perserta didik untuk mencapai tujuan
pendidikan (Dakir, 2010). Kurikulum merupakan wahana belajar-mengajar yang dinamis
sehingga perlu dinilai dan dikembangkan secara terus-menerus dan berkelanjutan sesuai
dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat.
Berdasarkan pengertian diatas, dalam kurikulum terkandung dua hal pokok, yaitu:
(1) adanya mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa, dan (2) tujuan utamanya
yaitu untuk memperoleh ijazah. Dengan demikian implikasinya terhadap praktik
pengajaran, yaitu setiap siswa harus menguasai setiap mata pelajaran yang diberikan
dan menempatkan guru dalam posisi yang sangat penting dan menentukan. Keberha-
silan siswa ditentukan oleh seberapa jauh mata pelajaran tersebut dikuasainya dan
biasanya disimbolkan dengan skor yang diperoleh setelah mengikuti suatu tes atau ujian.
Alberty (1965) memandang kurikulum sebagai semua kegiatan yang diberikan
kepada siswa di bawah tanggung jawab sekolah. Sehingga kurikulum tidak dibatasi pada
kegiatan di dalam kelas, tetapi mencakup juga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
siswa diluar kelas.
Pendapat senada dan menguatkan pengertian tersebut dikemukakan oleh Saylor,
dkk., (1974) yang menganggap kurikulum sebagai segala upaya sekolah untuk mempe-
ngaruhi siswa supaya belajar, baik dalam ruangan kelas, di halaman sekolah, maupun
diluar sekolah.
Berdasarkan hasil kajian, diperoleh beberapa dimensi pengertian kurikulum,
Ibrahim (2005) mengelompokkan kurikulum menjadi tiga dimensi, yaitu kurikulum
sebagai substansi, kurikulum sebagai sistem, kurikulum sebagai bidang studi.
Dimensi pertama memandang kurikulum sebagai rencana kegiatan belajar
mengajar siswa di sekolah atau sebagai perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu
kurikulum dapat merujuk pada suatu dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan,
bahan ajar, kegiatan belajar mengajar, jadwal, dan evaluasi.
Dimensi kedua memandang kurikulum sebagai bagian dari sistem persekolahan,
sistem pendidikan dan bahkan sistem masyarakat. Suatu sistem kurikulum mencakup
struktur personalia dan prosedur kerja bagaimana cara menyusun kurikulum, melak-
sanakan, mengevaluasi, dan menyempurnakannya.
Dimensi ketiga memandang kurikulum sebagai bidang studi, yaitu bidang studi
kurikulum. Hal ini merupakan kajian para ahli kurikulum dan ahli pendidikan dan
pengajaran.
Sukmadinata (2005) mengemukakan pengertian kurikulum ditinjau dari tiga
dimensi, yaitu sebagai ilmu, sebagai sistem dan sebagai rencana. Kurikulum sebagai ilmu
dikaji konsep, asumsi, teori-teori dan prinsip-prinsip dasar tentang kurikulum. Kurikulum
sebagai sistem dijelaskan kedudukan kurikulum dalam hubungannya dengan sistem-
sistem lain, komponen-komponen kurikulum, kurikulum dalam berbagai jalur, jenjang,
jenis pendidikan, manajemen kurikulum, dsb. Kurikulum sebagai rencana diungkap
sebagai rencana dan rancangan atau desain kurikulum. Rencana bersifat menyeluruh
untuk semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan pula, dengan rancangan atau desain,
terdapat desain berdasarkan konsep, tujuan, isi, proses, masalah, kebutuhan siswa.
Hasan (1988) mengemukakan bahwa pada saat sekarang istilah kurikulum
memiliki empat dimensi pengertian, di mana satu dimensi dengan dimensi lainnya saling
berhubungan. Keempat dimensi kurikulum tersebut, yaitu: (1) kurikulum sebagai suatu
ide/gagasan; (2) kurikulum sebagai suatu rencana tertulis yang sebenarnya merupakan
perwujudan dari kurikulum sebagai suatu ide; (3) kurikulum sebaga suatu kegiatan yang
sering pula disebut dengan istilah kurikulum sebagai suatu realita atau implementasi
kurikulum. Secara teoritis dimensi kurikulum ini adalah pelaksanaan dari kurikulum
sebagai suatu rencana tertulis; (4) kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan
konsekuensi dari kurikulum sebagai suatu kegiatan.
a. Pengertian Kurikulum Dihubungkan dengan Dimensi Ide. Pengertian kurikulum
sebagai dimensi yang berkaitan dengan ide pada dasarnya mengandung makna
bahwa kurikulum itu adalah sekumpulan ide yang akan dijadikan pedoman dalam
pengembangan kurikulum selanjutnya.
b. Pengertian Kurikulum Dikaitkan dengan Dimensi Rencana. Makna dari dimensi
kurikulum ini adalah sebagai seperangkat rencana dan cara mengadministrasikan
tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan untuk pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran guna mencapai tujuan pendidikan tertentu.
c. Pengertian Kurikulum Dikaitkan dengan Dimensi Aktivitas. Pengertian kurikulum
sebagai dimensi aktivitas memandang kurikulum merupakan segala aktivitas dari
guru dan siswa dalam proses pembelajaran disekolah.
d. Pengertian Kurikulum Dikaitkan dengan Dimensi Hasil. Definisi kurikulum sebagai
dimensi hasil memandang kurikulum itu sangat memperhatikan hasil yang akan
dicapai oleh siswa agar sesuai dengan apa yang telah direncanakan dan yang
menjadi tujuan dari kurilkulum tersebut
c. Sistem Nilai. Kehidupan masyarakat terdapat sistem nilai, baik nilai moral,
keagamaan, sosial, budaya maupun nilai politis. Sistem nilai yang akan dipelihara
dan diteruskan harus terintegrasikan dalam kurikulum. Masyarakat memiliki
kelompok-kelompok etnis, kelompok vokasional, kelompok intelek, kelompok sosial,
spiritual dan sebagainya yang tiap kelompok sering memiliki nilai yang berbeda.
Dalam masyarakat juga terdapat aspek-aspek sosial, ekonomi, politik, fisik, estetika,
etika, religius, dan sebagainya. Aspek-aspek tersebut sering juga mengandung nilai-
nilai yang berbeda. Ada bebrapa hal yang perlu diperhatikan guru dalam meng-
ajarkan nilai: (1) guru hendaknya mengetahui dan memperhatikan semua nilai yang
ada dalam masyarakat, (2) guru hendaknya berpegang pada prinsip demokratis, etis,
dan moral, (3) guru berusaha menjadikan dirinya sebagai teladan yang patut ditiru,
(4) guru menghargai niali-nilai kelompok lain, (5) memahami dan menerima
keragaman kebudayaan sendiri.
Kalau ada alat yang harus dibuat, hendaknya memperhatikan: bagaimana pem-
buatannya, siapa yang membuat, pembiayaanya, waktu pembuatan?
Bagaimana pengorganisasian alat dalam bahan pembelajaran, apakah dalam
bentuk modul, paket belajar, dan lain-lain.
Bagaimana pengintegrasianya dalam keseluruhan kegiatan belajar?
Hasil yang terbaikakan diperoleh dengan menggunakan multi media.
e. PrinsipBerkenaan dengan Pemilihan Kegiatan Penilaian
Penilaian merupakan bagain intergral dari pengajaran. Dalam penyusunan alat penilaian
(tes) hendaknya diikuti langkah-langkah sebagai berikut:Rumuskan tujuan-tujuan
pendidikan yang umum, dalam ranah-ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Uraikan
ke dalam bentuk tingkah-tingkah laku murid yang dapat diamati. Hubungkan dengan
bahan pelajaran. Tuliskan butir-butir tes.
Dalam merencanakan suatu penilaian hendaknya, diperhatikan beberapa hal: a)
Bagaimana kelas, usia, dan tingkat kemampuan kelompok yang akan dites? b) Berapa
lama waktu dibutuhkan untuk pelaksanaan test? c) Apakah test tersebut berbentuk
uraian atau objektif? d) Berapa banyak butir test perlu disusun? e) Apakah tes tersebut
diadministrasikan oleh guru atau murid?
Dalam pengolahan suatu hasil penilaian hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai
berikut: a) Norma apa yang digunakan didalam pengolahan hasil tes? b) Apakah
digunakan formula quessing? c) Bagaimana pengubahan skor ke dalam skor masak? d)
Skor standar apa yang digunakan? e) Untuk apakah hasil-hasil tes digunakan?
Ainiyah, Q. (2017). Social Learning Theory dan Perilaku Agresif Anak dalam Keluarga. Jurnal
Ilmu Syari’ah dan Hukum. 2(1): 91-104.
Anastasi, Anne. (2007). Psychological Testing. New York : Mc.Millan Pub.Co. Inc.
Arikunto, Suharsimi. (2005). Penilaian Program Pendidikan.Jakarta: Bina Aksara
-------------. (2008). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (edisi revisi). Jakarta: Bina Aksara
Arsyad, M.A. (2008). Media Pembelajaran. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Aunurrhman (2016) Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta
Dahar, R.W. (2011). Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga
Dakir. (2010). Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta
Dimyati & Mudjiono. (2012). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.
Gronlund, Norman E. (2002). Contructing Achievement Test. New Jersey: Prentice Hall Inc
Ibrahim. (1988). Inovasi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud Dirjendikti Proyek Pengembangan LPTK.
Munadi, Y (2013). Media Pembelajaran. Jakarta: GP Press Group
Pribadi, B.A. (2009). Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
Rusli, Ratna Sayekti. (2004). Tes dan Pengukuran dalam Pendidikan. Jakarta: Depdiknas
Subino. (2008). Konstruksi dan Analisis Tes: Suatu Pengantar kepada Teori Tes dan Pengukuran.
Jakarta: Depdiknas
Sudijono, Anas. (2009). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press
Sudjana, Nana. (2009). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Sukmadinata, N.S. (2010). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Suyono dan Hariyanto (2016). Belajar dn Pembelajaran.Bandung: PT: Remaja Rosdakarya
Supriyono, A. (2011). Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Thobroni, M. dan Mustofa, A. (2011). Belajar dan Pembelajaran: Pengembangan Wacana dan
Praktik Pembelajaran dalam Pembangunan Nasional. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media