Di Susun Oleh:
Mahasiswa Magister Pendidikan Matematika
Angkatan 2018
Kelompok 1
Winahyu/ 1801513011
Nurhami/ 1801513002
Muawwanah/1801513016
2
DAFTAR ISI
Halaman
Daftar Isi........................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................. 3
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 4
1.3 Tujuan .............................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Landasan Filosofis Model Pembelajaran Langsung ........................ 6
2.2 Pengertian Model Pembelajaran Langsung ..................................... 8
2.3 Karakteristik Model Pembelajaran Langsung ................................. 10
2.4 Analisis Tugas dengan Model Pembelajaran Langsung .................. 11
2.5 Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Langsung ........... 12
BAB III KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan ...................................................................................... 16
3.2 Saran ................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 18
3
BAB I
PENDAHULUAN
dahulu. Mereka berangkat dari sebuah alas an bahwa materi yang disampaikan
sudah dikuasainya karena telah diajarkan sejak bertahun-tahun dan materi itu telah
dihafal di luar kepala. Alasan ini di satu sisi boleh jadi benar, tetapi yang harus
disadari bahwa kesuksesan dalam proses pembelajaran tidak hanya bergantung
pada penguasaan materi tetapi juga harus menyadari tujuan apa yang ingin dicapai
dalam pembelajaran, bagaimana cara mencapainya, serta alat ukur apa yang
digunakan untuk mengetahui ketercapaian tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, sangat penting untuk mendesain pembelajaran
sebagai kunci sukses dalam proses pembelajaran. Kemampuan untuk mendesain
pembelajaran juga dapat dijadikan sebagai salah satu tolak untuk mengetahui
tingkat profesionalitas seorang guru.
Pemilihan model pembelajaran yang digunakan oleh guru sangat
dipengaruhi oleh materi yang akan diajarkan, juga dipengaruhi oleh tujuan yang
akan dicapai dalam pengajaran tersebut dan tingkat kemampuan peserta didik. Di
samping itu pula setiap model pembelajaran selalu mempunyai tahap-tahap
(sintaks) yang dilakukan oleh siswa dengan bimbingan guru. Antara sintaks yang
satu dengan sintaks yang lain mempunyal perbedaan. Oleh karena itu guru perlu
menguasai dan dapat menerapkan berbagai model pembelajaran, agar dapat
mencapai tujuan pembelajaran yang ingin dicapai setelah proses pembelajaran
sehingga dapat tuntas seperti yang telah ditetapkan.
Salah satu model pembelajaran adalah model pembelajaran langsung. Model
pembelajaran ini menekankan pada penguasaan materi atau konsep atau
perubahan perilaku dengan mengutamakan pendekatan deduktif. Model
pembelajaran ini bersifat teacher centered (berpusat pada guru). Saat
melaksanakan model pembelajaran ini, guru harus mendemonstrasikan
pengetahuan dan keterampilan yang akan dilatihkan kepada siswa, selangkah
demi selangkah.
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagi berikut:
1. Untuk mengetahui filosofi lahirnya model pembelajaran langsung.
2. Untuk mengetahui pengertian model pembelajaran langsung.
3. Untuk mengetahui karakteristik model pembelajaran langsung.
4. Untuk mengetahui analisis tugas model pembelajaran langsung.
6. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan model pembelajaran langsung.
6
BAB II
PEMBAHASAN
i. Jika model pembelajaran langsung tidak banyak melibatkan siswa, siswa akan
kehilangan perhatian setelah 10-15 menit dan hanya akan mengingat sedikit
isi materi yang disampaikan.
j. Jika terlalu sering digunakan, model pembelajaran langsung akan membuat
siswa percaya bahwa guru akan memberitahu mereka semua yang perlu
mereka ketahui. Hal ini akan menghilangkan rasa tanggung jawab mengenai
pembelajaran mereka sendiri.
k. Karena model pembelajaran langsung melibatkan banyak komunikasi satu
arah, guru sulit untuk mendapatkan umpan balik mengenai pemahaman
siswa. Hal ini dapat membuat siswa tidak paham atau salah paham.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Model pembelajaran langsung (direct instruction) dilandasi oleh teori
behaviorisme dan teori belajar sosial. Model pembelajaran langsung adalah model
pembelajaran dimana guru terlibat aktif dalam mengusung isi pelajaran kepada
peserta didik untuk menunjang proses belajar siswa, dimana kegiatan belajar
berfokus pada aktivitas akademik yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif
dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan
dengan pola kegiatan bertahap, selangkah demi selangkah. Karakteristik model
pembelajaran langsung antara lain: adanya tujuan pembelajaran dan prosedur
penilalan hasil belajar, adanya sintaks dan alur kegiatan pembelajaran, dan adanya
sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang mendukung berlangsung dan
berhasilnya pengajaran. Sebelum melakukan pembelajaran yang
mengimplementasikan model pembelajaran langsung, guru harus selalu
melakukan analisis tugas (task analysis). Analisis tugas memerlukan kecermatan
seorang guru saat merencanakan model pembelajaran langsung. Salah satu
kelebihan model pembelajaran langsung adalah dengan model pembelajaran
langsung, guru dapat mengendalikan isi materi dan urutan informasi yang
diterima oleh siswa sehingga dapat mempertahankan fokus mengenai apa yang
harus dicapai oleh siswa. Salah satu kekurangan model pembelajaran langsung
adalah dalam model pembelajaran langsung, sulit untuk mengatasi perbedaan
dalam hal kemampuan, pengetahuan awal, tingkat pembelajaran dan pemahaman,
gaya belajar, atau ketertarikan siswa.
3.2 Saran
Pemilihan model pembelajaran yang digunakan oleh guru sangat
dipengaruhi oleh materi yang akan diajarkan, juga dipengaruhi oleh tujuan yang
akan dicapai dalam pengajaran tersebut dan tingkat kemampuan peserta didik. Di
samping itu pula setiap model pembelajaran selalu mempunyai tahap-tahap
(sintaks) yang dilakukan oleh siswa dengan bimbingan guru. Antara sintaks yang
satu dengan sintaks yang lain mempunyal perbedaan. Oleh karena itu guru perlu
17
DAFTAR PUSTAKA
MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF
Desain Pembelajaran Matematika
Dosen Pengampuh: Prof. Dr. Abd. Rahman, M.Pd.
Darma (1801402009)
Tri Bondan Kriswinarso (1801513012)
Sujarwati (1801513020)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................... 20
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................. 21
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 22
1.3 Tujuan .............................................................................................. 22
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian model pembelajaran kooperatif ..................................... 24
2.2 Teori-teori yang melandasi model pembelajaran kooperatif
(cooperative learning) ..................................................................... 26
2.3 Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif (cooperative
learning) ........................................................................................... 29
2.4 Karakteristik model pembelajaran kooperatif (cooperative
learning) .......................................................................................... 30
2.5 Tujuan model pembelajaran kooperatif (cooperative learning) ...... 31
2.6 Unsur-unsur model pembelajaran kooperatif (cooperative
learning) .......................................................................................... 33
2.7 Prinsip Dasar Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative
learning) ........................................................................................... 35
2.8 Hambatan dan Optimalisasi Pelaksanaan ........................................ 36
2.9 Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembelajaran Kooperatif
(cooperative learning) ..................................................................... 36
2.10Tipe-tipe Model Pembelajaran Kooperatif (cooperative learning) . 39
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ...................................................................................... 49
3.2 Saran ............................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 51
21
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
1. David Ausubel
Salah satu teori yang mendasari pendekatan konstruktivis yang berpendapat
bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh anak merupakan elemen pendidikan yang
penting. Hal yang sangat penting diketahui oleh guru pada awal pembelajaran
ialah apa yang telah diketahui oleh setiap siswa. Bertitik tolak dari pengetahual
awal siswa (Entry Behaviour = EB) dan strategi belajarnya, guru dapat
merencanakan kegiatan belajar mengajar. berprestasi rendah. Oleh karena itu akan
terjadi hubungan sosial di antaranya.
Ausubel berpendapat bahwa siswa memerlukan bimbingan, agar dapat
belajar dengan efektif. Ausubel mempertahankan pendapatnya yang disebut
“meaningful verbal learning”. Dengan cara ini, kepada siswa diberikan konsep-
konsep penting oleh guru dalam bentuk informasi yang mudah diasimilasi oleh
siswa oleh sebab itu siswa tidak perlu menemukannya sendiri. Fungsi penting dari
guru ialah merumuskan kembali bahwa yang bersifat teknik kedalam bahasa yang
mudah di pahami oleh siswa. Ausubel berpendapat bahwa sebagian besar
pengetahuan kita peroleh melalui bahasa dan bukan melalui manipulasi materi
atau benda.
2. Piaget
Pelopor konstruktivis yang lain yaitu Piaget yang berpendapat bahwa anak
membangun sendiri skematanya dari pengalamannya sendiri dengan
lingkungannya. Tetapi, menurut pakar tertentu, Piaget berbeda dengan para
konstruktivist masa kini karena menekankan pentingnya peran kemampuan anak
27
sebagai faktor genetik. Di samping itu, banyak diantara para konstruktivist yang
tidak dapat menerima teori Piaget tentang adanya tahap-tahap perkembangan
kognitif. Mereka berpendapat bahwa perkembangan kognitif adalah proses
pemodifikasian konsep-konsep yang telah ada yang berlangsung secara berangsur-
angsur. Sama halnya dengan Piaget, para konstruk-tivis beranggapan bahwa anak-
anak membangun konsep-konsepnya melalui pengalamannya.
Meskipun demikian, para konstruktivist menganggapnya hanya sebagai
respon terhadap lingkungannya, dan tidak banyak dipengaruhi oleh faktor genetik.
Persamaan anatara Piaget dengan konstruktivist lainnya terletak pada peran guru
sebagai fasilitator dan buka sebagai pemberi informasi. Guru perlu menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif bagi siswa-siswanya. Tetapi, yang menganut
faham konstruktivist lebih memperhatikan pengeta-huan awal-awal siswanya.
Idealnya, guru perlu mengetahui dengan pasti tingkah laku awal dalam strategi
belajar yang dimiliki oleh setiap siswanya.
3. Jerome Bruner
Discovery learning menurut Jerome Bruner adalah model pengajaran yang
dikembangkan berdasarkan pada pandangan kognitif tentang pelajaran dan
prinsip-prinsip konstruktivis. Di dalam discovery learning siswa didorong untuk
belajar sendiri. Siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip dan guru mendorong siswa untuk mendapatkan pengalaman dan
melakukan eksperimen yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip
untuk diri mereka sendiri. Discovery learning memiliki beberapa keuntungan.
Pembelajaran ini membangkitkan keingintahuan mereka untuk bekerja sampai
mereka menemukan jawabannya. Siswa juga belajar memecahkan masalah secara
mandiri dan keterampilan beroikir, karena mereka harus menganalisa dan
memanipulasi sejumlah informasi.
4. Vygotsky
Sumbangan terpenting dari teori vygotsky adalah penekanan pada hakekat
sosiokultual pembelajaran. Dia yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa
bekerja dalam zona perkembangan proximal. Tugas dalam zona perkembangan
proximal adalah yang tidak boleh dilakukan sendiri oleh anak, namun boleh
28
dilakukan sengan bantuan guru atau teman. Lebih lanjut Vygotsky yakin bahwa
pemungsian mental lebih tinggi dalam percakapan dan kerjasama antara individu
sebelum ada pada diri individu tersebut.
5. Teori Motivasi
Menurut pandangan teori motivasi, struktur tujuan kooperatif menciptakan
suatu situasi dimana satu-satunya cara agar anggota kelompok dapat mencapai
tujuan pribadi mereka sendiri hanya apabila kelompok itu berhasil. Oleh karena
itu, untuk mencapai tujuan pribadi mereka, anggota kelompok harus membantu
teman kelompoknya dengan cara melakukan apa saja yang dapat membantu
kelompok itu berhasil, dan barangkali yang lebih penting adalah mendorong
teman kelompoknya untuk melakukan upaya maksimum. Dengan kata lain,
memberikan penghargaan kepada kelompok berdasarkan kepada penampilan
kelompok (atau gabungan dari penampilan individu) menciptakan struktur
penghargaan antar perorangan di dalam suatu kelompok sedemikian rupa
sehingga anggota-anggota kelompok itu akan saling memberkan penguatan sosial
(seperti pujian dan dorongan) sebagai respons terhadap upaya-upaya berorientasi
tugas teman kelompoknya.
6. Teori Kognitif
Sementara teori motivasi tentang pembelajaran kooperatif menekankan
pada seberapa jauh tujuan-tujuan kooperatif berpengaruh terhadap motivasi siswa
melakukan kerja akademik, teori-teori kognitif menekankan pengaruh bekerja
dalam suasana kebersamaan di dalam kelompok itu sendiri (apakah kelompok
mencoba suatu tujuan kelompok atau tidak). Teori-teori kognitif dapat
dikelompokkan dalam dua kategori sebagai berikut ini.
a. Teori perkembangan
Asumsi dasar teori perkembangan adalah bahwa interaksi antar siswa di
sekitar tugas-tugas yang sesuai meningkatkan penguasaan mereka terhadap
konsep-konsep yang sulit. Vygotsky mendefinisikan zone of proximal
development sebagai jarak “jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya
yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan
tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan
29
dapat saling menjadi sumber belajar sehingga sumber belajar lebih bervariasi dan
ini juga akan lebih memudahkan siswa dalam belajar. Adanya tatap muka, maka
siswa yang kurang memiliki kemampuan harus dibantu oleh siswa yang lebih
mampu mengerjakan tugas individu dalam kelompok tersebut, agar tugas
kelompoknya dapat terselesaikan.
4. Komunikasi antar Anggota Kelompok.
Dalam pembelajaran kooperatif keterampilan sosial seperti tenggang rasa,
sikap sopan terhadap teman, mengkritik ide dan bukan mengkritik teman, berani
mempertahan pikiran logis, tidak mendominasi orang lain, mandiri dan berbagai
sifat lain yang bermanfaat dalam menjalin hubungan antar pribadi sengaja
diajarkan dalam pembelajaran kooperatif ini. Unsur ini juga menghendaki agar
para siswa dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi.Sebelum
menugaskan siswa dalam kelompok, guru perlu mengajarkan cara-cara
berkomunikasi, karena tidak semua siswa mempuanyai keahlian mendengarkan
dan berbicara. Keberhasilan suatu kelompok tergantung pada kesediaan para
anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk
mengutarakan pendapat mereka. Adakalanya siswa perlu diberitahu secara jelas
mengenai cara menyanggah pendapat orang lain tanpa harus menyinggung
perasaan orang lain.
5. Evaluasi Proses Kelompok.
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk
mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar
selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif. Waktu evaluasi ini tidak perlu
diadakan setiap kali ada kerja kelompok, tetapi bisa diadakan selang beberapa
waktu setelah beberapa pembelajar terlibat dalam kegiatan pembelajaran
cooperative learning.
Unsur-unsur dalam pembelajaran kooperatif menurut Lungdren (Suparmi,
2012) sebagai berikut:
1. Para siswa harus memiliki pandangan bahwa mereka adalah senasib.
2. Para siswa harus memiliki tanggung jawab siswa lain dalam kelompoknya
dalam mempelajari materi yang dihadapi.
3. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka mempunyai tujuan yang sama.
35
4. Para siswa berbagi tugas dan tanggung jawab diantara para anggotanya.
5. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut
berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.
6. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh
keterampilan bekerja sama selama belajar.
7. Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual
materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
peserta didik terlihat, keterlibatan semua peserta didik akan dapat memberikan
suasana aktif dan pembelajaran terkesan demokratis, dan masing-masing peserta
didik punya peran dan akan memberikan pengalaman belajarnya kepada peserta
didik lain (Tambak, 20017). Beberapa keuntungan yang diperoleh baik oleh guru
maupun peserta didik di dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan metode
cooperative learning (Tambak, 20017), yaitu:
1. Melalui cooperative learning menimbulkan suasana yang baru dalam
pembelajaran. Hal ini dikarenakan sebelumnya hanya dilaksanakan model
pembelajaran secara konvensional yaitu ceramah dan tanya jawab. Metode
tersebut ternyata kurang memberi motivasi dan semangat kepada peserta
didik untuk belajar. Dengan digunakannva model cooperative learning, maka
tampak suasana kelas menjadi lebih hidup dan lebih bermakna.
2. Membantu guru dalam mengidentifikasikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi
dan mencarikan alternatif pemecahannya. Dari hasil penelitian tindakan
pelaksanaan cooperative learning dengan diskusi kelompok ternyata mampu
membuat peserta didik terlibat aktif dalam kegiatan belajar.
3. Penggunaan cooperative learning merupakan suatu metode yang efektif untuk
mengembangkan program pembelajaran terpadu. Dengan cooperative
learning peserta didik tidak hanya dapat mengembangkan kemampuan aspek
kognitif saja melainkan mampu mengembangkan aspek afektif dan
psikomotor.
4. Dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan reflektif. Hal
ini dikarenakan kegiatan pembelajaran ini lebih banyak berpusat pada peserta
didik, sehingga peserta didik diberi kesempatan untuk turut serta dalam
diskusi kelompok. Pemberian motivasi dari teman sebaya ternyata mampu
mendorong semangat peserta didik untuk mengembangkan kemampuan
berpikirnya. Terlebih lagi bila pembahasan materi yang sifatnya problematik
atau yang bersifat kontroversial, mampu merangsang peserta didik me-
ngembangkan kemampuan berpikirnya.
5. Mampu mengembangkan kesadaran pada diri peserta didik terhadap
permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di lingkungan sekitarya.
Dengan bekerja kelompok maka timbul adanya perasaan ingin membantu
38
dinilai tetapi dari segi afektif dan psikomotoriknya juga dinilai seperti
kerjasama diantara anggota kelompok, keaktifan dalam kelompok serta
sumbangan nilai yang diberikan kepada kelompok.
3. Perasaan was-was pada anggota kelompok akan hilangnya karakteristik atau
keunikan pribadi peserta didik karena harus menyesuaikan diri dengan
kelompok. Karakteristik pribadi tidak luntur hanya karena bekerjasama
dengan orang lain, justru keunikan itu semakin kuat bila disandingkan dengan
orang lain.
4. Banyak peserta didik takut bahwa pekerjaan tidak akan terbagi rata atau
secara adil, bahwa satu orang harus mengerjakan seluruh pekerjaan tersebut.
Dalam cooperative learning pembagian tugas rata, setiap anggota kelompok
harus dapat mempresentasikan apa yang telah didapatnya dalam kelompok
sehingga ada pertanggungjawaban secara individu.
ketiga diisi oleh siswa dengan rangking ketiga di setiap kelompok, meja
keempat diisi oleh siswa dengan rangking empat di setiap kelompok. Setiap
siswa dapat berpindah meja berdasarkan prestasi yang diperolehnya pada
turnamen. Siswa yang memperoleh nilai tertinggi pada setiap meja naik ke
meja yang lebih tinggi tingkatnya. Siswa yang peringkat kedua tetap di meja
semula, sedangkan siswa dengan nilai terendah turun ke meja yang lebih
rendah tingkatnya.
4) Penghargaan kelompok
Perolehan skor anggota kelompok dirata-rata menjadi skor kelompok.
Individu dan kelompok yang mencapai kriteria skor tertentu mendapat
penghargaaan.
c. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT
Beberapa keuntungan yang terdapat dalam penerapan model kooperatif tipe
TGT (Erlinda, 2017) yaitu
1) Kelompok mempunyai buah pikiran yang lebih kaya dibandingkan dengan
yang dimiliki perorangan,
2) Anggota kelompok akan termotivasi dengan kehadiran anggota kelompok
lain,
3) Anggota yang pemalu akan bebas mengemukakan pikirannya dalam
kelompok kecil,
4) Dapat menghasilkan keputusan yang lebih baik,
5) Partisipasi dalam diskusi dapat meningkatkan pemahaman diri sendiri
maupun orang lain.
Di dalam TGT juga terdapat kelemahan di antaranya: bagi guru sulitnya
mengelompokkan siswa yang mempunyai kemampuan heterogen dari segi
akademis, serta adanya siswa berkemampuan tinggi yang kurang terbiasa dan sulit
memberikan penjelasan kepada temannya.
48
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Model pembelajaran kooperatif (cooperative learning) adalah model
pembelajaran dengan menempatkan siswa ke dalam kelompok kecil untuk
menumbuhkan kerja sama siswa, motivasi siswa dalam belajar, serta
kemampuan siswa menyelesikan masalah secara berkelompok demi
tercapainya tujuan pembelajaran yang akan dicapai dengan berbagai aktivitas
belajar yang di lakukan baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
2. Teori-teori yang mendukung dan melandasi munculnya model pembelajaran
kooperatif diantaranya david ausubel, piaget, jerome bruner, vygotsky , teori
motivasi, teori kognitif.
3. Langkah-langkah dari model pembelajaran kooperatif diantaranya,
menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa, menyajikan informasi,
mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar,
membimbing kelompok belajar, evaluasi dan memberikan penghargaan
4. Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif diantaranya Positive
Interdependence Interaction Face to face, tanggung jawab pribadi dalam
kelompok, keterampilan bekerja sama dalam memecahkan masalah (proses
kelompok).
5. Tujuan Model Pembelajaran Kooperatif diantaranya hasil belajar akademik,
penerimaan pendapat yang beraneka ragam, pengembangan keterampilan
sosial.
6. Kelebihan dari cooperative learning diantaranya
a. Saling ketergantungan yang positif,
b. Adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu,
c. Siswa dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas,
d. Suasana kelas yang rileks dan menyenangkan,
e. Terjalinnya hubungan yang hangat dan bersahabat antara siswa dengan guru,
f. Memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman emosi
yang menyenangkan.
49
3.2 Saran
Pembelajaran kooperatif muncul karena adanya perkembangan dalam sistem
pembelajaran yang ada. Pembelajaran kooperatif menggantikan sistem
pembelajaran yang individual. Sehingga diharapkan hendaknya model ini
digunakan sebagai model dalam pembelajaran yang terjadi di dalam proses belajar
mengajar agar siswa lebih aktif (Student Center) dan lebih menitik beratkan
terjadi interaksi antar siswa tanpa adanya perantara. Selain itu, model kooperatif
dapat dikembangkan dengan berbagai tipe yang terdapat pada kooperatif maupun
diluar kooperatif sehingga peserta didik dapat memperoleh ilmu dengan metode
yang lebih heterogen dan lebih efektif.
50
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, M., Chamalah, E., & Wardani, O. P. (2013). Model dan Metode
Pemeblajaran Di Sekolah. Semarang: UNISSULA Press.
Arisanti, D. (2017). Model Pembelajaran Kooperatif pada Pendidikan Agama
Islam. Jirnal Al-Hikmah , 84.
Christina, L. V., & Kristin, F. (2016). Efektivitas Model Pembelajaran Tipe Group
Investigation (GI) dan Cooperative Integrated Reading And Composition
dalam Meningkatkan Kreativitas Berpikir Kritis dan Hasil Belajar IPS
Siswa Kelas 4. Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan , 221.
Erlinda, N. (2017). Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa melalui Model
Kooperatif Tipe team Game Tournament pada Mata Pelajaran Fisika Kelas
X di SMK Dharma Bakti Lubuk Alung. Tadris: Jurnal Keguruan dan Ilmu
Tarbiyah , 2 (1), 50.
Ibrahim, M. (2000). Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press.
Kurnia, R. D., Ruskan, E. L., & Ibrahim, A. (2014). Pengembangan Model
Pembelajaran Berbasis Cooperative learning dalam Meningkatkan Motivasi
elajar Mahasiswa dan Peningkatan Mutu Lulusan Alumni Fasilkom Unsri
Berbasis E-Learnig (studi kasus: matakuliah pemrograman web). Jurnas
Sistem Informasi (JSI) , XI (1), 647.
Lie, A. (2002)Cooperative Learning Mempraktikan Cooperative Learning di
Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo
Menanti, H., & Rahman, A. A. (2015). Perbandingan Kemampuan Pemahamann
Konsep Matematika Siswa menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe Student Teams Achievement Division (STAD) dengan Team Game
Tournament (TGT) di SD Islam Khalifah Annizam. Jurnal Bina Gogik , 2
(1), 39.
Nur, M. I., Salam, M., & Hasnawati. (2016). Pengaruh Penerapan Model
Pembelajaran kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) Terhadap
Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Tongkunio.
JUrnal Penelitian Pendidikan Matematika , 4 (1), 102.
Rosyidah, U. (2016). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VIII SMP Negeri 6 Metro.
Jurnal SAP , I (2), 117.
Sari, A. W., Relmasira, S. C., & Hardini, A. T. (2019). Upaya Peningkatan
kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Melalui Model pembelajaran
Cooperative learning tipe Jigsaw. Jurnal of Education Action Research , 3
(2), 73.
Silaban, B. (2006). Implikasi Konstruktivis terhadap Pembelajaran Kooperatif.
Jurnal Darma Agung , IX (1), 15.
51
MAKALAH
MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
KELOMPOK III
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................... 53
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Batasan Masalah ............................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Masalah Matematika .................................................................... 3
2.2 Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Masalah ..................... 6
2.3 Lantasan Filosofi dan Teoritis Lahirnya Model Pembelajaran
Berbasis Masalah .......................................................................... 7
2.4 Karakteristik Model Pembelajaran Berbasis Masalah ................. 9
2.5 Komponen-komponen Model Pembelajaran Berbasis Masalah .. 11
2.6 Sintaks Model Pembelajaran Berbasis Masalah ........................... 12
2.7 Kemampuan Pemecahan Masalah ................................................. 14
2.8 Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Berbasis
Masalah ........................................................................................ 18
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................... 21
3.2 Saran .............................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 23
54
BAB I
PENDAHULUAN
Disamping itu, KBM (Kegiatan Belajar mengajar) menurut Nur (1998: 210)
merupakan suatu kegiatan yang bernilai edukatif antara guru dengan peserta didik,
hal ini karena KBM yang dilakukan, diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu
yang telah dirumuskan. Guru merencanakan kegiatan pengajarannya secara
sistematis guna kepentingan pengajaran, untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran secara aktif peserta didik dalam megembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spritual, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan dan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Perubahan perilaku dalam belajar mencakup
seluruh aspek pribadi peserta didik, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Akan tetapi, kenyataannya kita menyadari selama ini tidak mudah bagi guru
menjadikan peserta didik aktif dalam mengembangkan potensi diri peserta didik.
Salah satu penyebabnya adalah kemampuan siswa untuk dapat menyelesaikan
masalah kurang diperhatikan oleh guru. Akibatnya, siswa menghadapi masalah
dianggap sepele.
Untuk itu, Salah satu cara mengatasi masalah tersebut adalah dengan
menerapkan pembelajaran berbasis masalah atau problem base learning (PBL)
dimana PBL adalah suatu pendekatan untuk membelajarkan siswa untuk
mengembangkan keterampilan berfikir dan keterampilan memecahkan masalah.
Untuk lebih jelasnya mengenai PBL akan dipaparkan dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Tan (2004) juga menyebutkan bahwa PBL telah diakui sebagai suatu
pengembangan dari pembelajaran aktif dan pendekatan pembelajaran yang
berpusat pada siswa, yang menggunakan masalah-masalah yang tidak terstruktur
(masalah-masalah dunia nyata atau masalah-masalah simulasi yang kompleks)
sebagai titik awal dan jangkar atau sauh untuk proses pembelajaran. Sedangkan
Roh dalam (Widjajanti 2011, 2) mengatakan bahwa pembelajaran berbasis
masalah adalah strategi pembelajaran di kelas yang mengatur atau mengelola
pembelajaran matematika di sekitar kegiatan pemecahan masalah dan
memberikan kepada para siswa kesempatan untuk berfikir secara kritis,
mengajukan ide kreatif mereka sendiri, dan mengomunikasikan dengan temannya
secara matematis.
PBL menggambarkan suatu suasana pembelajaran yang menggunakan
masalah untuk memandu, mengemudikan, menggerakkan, atau mengarahkan
pembelajaran. Pembelajaran dalam PBL dimulai dengan suatu masalah yang harus
diselesaikan, dan masalah tersebut diajukan dengan cara sedemikian hingga para
siswa memerlukan tambahan pengetahuan baru sebelum mereka dapat
menyelesaikan masalah tersebut.
Tidak sekedar mencoba atau mencari jawab tunggal yang benar, para siswa
akan menafsirkan masalah tersebut, mengumpulkan informasi yang diperlukan,
mengenali penyelesaian yang mungkin, menilai beberapa pilihan, dan
menampilkan kesimpulan.
Dari beberapa pengertian PBL seperti tersebut di atas dapatlah disimpulkan
bahwa PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah
nyata atau masalah simulasi yang kompleks sebagai titik awal pembelajaran,
dengan karakteristik: (1) Pembelajaran dipandu oleh masalah yang menantang; (2)
Para siswa bekerja dalam kelompok kecil; (3) Guru mengambil peran sebagai
fasilitator dalam pembelajaran.
informasi dan menyadari betapa perlunya meneliti kembali hasil yang telah
diperolehnya.
Berdasarkan penjabaran-penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa
kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan yang harus
dimiliki oleh siswa dalam menyelesaikan masalah matematika dengan
memperhatikan proses menemukan jawaban berdasarkan langkah-langkah
pemecahan masalah, yaitu: memahami masalah, merencanakan pemecahan
masalah, menyelesaikan masalah dan memeriksa kembali hasil pemecahan
masalah.
pembelajaran dalam kelas, tetapi juga menghadapi masalah yang ada dalam
kehidupan sehari-hari (real world).
2. Memupuk solidaritas sosial dengan terbiasa berdiskusi dengan teman-teman
sekelompok kemudian berdiskusi dengan teman-teman sekelasnya;
3. Makin mengakrabkan guru dengan siswa;
4. Karena ada kemungkinan suatu masalah harus diselesaikan siswa melalui
eksperimen hal ini juga akan membiasakan siswa dalam menerapkan metode
eksperimen
Selain itu, pembelajaran berbasis masalah dapat menumbuh-kembangkan
kemampuan kreativitas siswa, baik secara individual maupun secara kelompok,
karena mimpi setiap langkah menuntut adanya keaktifan siswa. Karena itu,
keberhasilan pembelajaran ini sangat tergantung pada ketersediaan sumber belajar
bagi siswa dan alat-alat untuk menguji jawaban sangat membantu menyingkat
waktu yang dibutuhkan. Dua faktor yang tak kalah pentingnya adalah kemampuan
guru dalam mengangkat dan merumuskan masalah.
Model pembelajaran ini, guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator,
pembimbing, dan motivator. Guru mengajak siswa pada permasalahan nyata (real
word), memfasilitasi/membimbing (scaffolding) dalam proses penyelidikan,
memfasilitasi dialog antara siswa, menyediakan bahan ajar, serta memberikan
dukungan dalam upaya meningkatkan temuan dan perkembangan intelektual
siswa.
Kelemahan dari penerapan model pembelajaran berbasis masalah (Warsono
dan Hariyanto, 2012:152) antara lain:
1. Tidak banyak guru yang mampu mengantarkan siswa kepada pemecahan
masalah.
2. Seringkali memerlukan biaya mahal dan waktu yang panjang.
3. Aktivitas siswa yang dilaksanakan di luar sekolah sulit dipantau guru
Kekurangan pembelajaran berbasis masalah menurut Amri (2010) antara
lain:
1. Membutuhkan persiapan pembelajaran (alat, problem, konsep) yang
kompleks
2. Sulitnya mencari problem yang relevan
73
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Masalah matematika merupakan situasi yang terhalang karena kurangnya
algoritma dalam mencari solusi memuat situasi yang mendorong seseorang
untuk menyelesaikannya.
2. PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah
nyata atau masalah simulasi yang kompleks sebagai titik awal pembelajaran.
3. Komponen-kompenen PBL terdiri atas: (1) Permasalahan autentik, (2)
fokus interdisipliner. (3) Pengamatan autentik. (4) Produk. (5) Kolaborasi.
4. PBL memiliki 5 fase pembelajaran: (1) Orientasi siswa kepada masalah, (2)
Mengorganisasikan siswa untuk belajar, (3) Membimbing penyelidikan
individual maupun kelompok, (4) Mengembangkan dan menyajikan hasil
karya, dan (5) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
5. Pembelajaran PBL memerlukan kesiapan dan kemampuan siswa
memecahkan masalah serta kesanggupan guru menjadi pasilitator
pembelajaran yang efektif.
3.2. Saran
Pembelajaran PBL hanya akan berhasil jika proses pembelajaran
direncanakan dengan baik. Oleh karena itu, disarankan agar guru dan siswa
menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan selama proses pembelajaran dalam
kelas maupun diluar kelas, materi ajar maupun peralatan yang dibutuhkan.
75
DAFTAR PUSTAKA
KELOMPOK 4
1. TRY NUR HANDAYANI (1801513008)
2. YENTI (1801513005)
3. RANI RAIS (1801513019)
DAFTAR ISI
Halaman
Daftar Isi .................................................................................................... 78
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................... 79
1.2 Rumusan Masalah ................................................................... 80
1.3 Tujuan ...................................................................................... 81
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Filosofi Lahirnya Pendekatan Problem Solving ...................... 82
2.2 Pengertian Pendekatan Problem Solving ................................... 83
2.3 Karakteristik, Ciri-ciri, Tujuan, dan Manfaat Pendekatan
Problem Solving ...................................................................... 91
2.4 Langkah-langkah Pembelajaran Pendekatan Problem Solving 93
2.5 Penerapan Pendekatan Problem Solving dalam Pembelajaran
Matematika .............................................................................. 104
2.6 Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Pendekatan
Problem Solving ...................................................................... 105
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .............................................................................. 106
3.2 Saran ........................................................................................ 106
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 107
79
BAB I
PENDAHULUAN
ini banyak didasarkan pada teori piaget. Piaget mengemukakan bahwa seseorang
dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan
proses membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan bersifat statis tetapi
tidak terus berevolusi. Pengetahuan tumbuh berkembang pada saat proses
pembelajaran menghadapi pengalaman baru. Pengalaman baru ini memaksa
mereka untuk membangun proses memodifikasi pengetahuan awal mereka. Setiap
interaksi dengan suatu pengetahuan maka perlu mengandalkan pengalaman.
Tanpa interaksi dengan objek, seorang anak tidak dapat mengkontruksi
pengetahuannya. Seperti halnya Piaget, Vygotsky juga percaya bahwa
perkembangan pada saat terjadi intelektual individu berhadapan dengan proses
pengalaman baru yang menantang, ketika mereka berusaha untuk memecahkan
masalah yang dimunculkan. Untuk memperoleh pemahaman pengetahuan baru,
maka perlu mengkaitkan dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki. Melalui
tantangan proses bantuan dari seseorang atau teman sejawat yang lebih mampu,
mengantarkan seseorang ke zona pengembangan terdekat mereka dimana
pembelajaran baru terjadi.
Dalam pembelajaran, pendekatan pembelajaran penting untuk menunjang
keberhasilan peserta didik. Pendekatan pembelajaran adalah cara yang ditempuh
dalam pelaksanaan pembelajaran agar konsep yang disajikan bisa beradatptasi.
Pendekatan pembalajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang
kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang
terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi,
menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan
teoritis tertentu. Pendekatan pembelajaran matematika sangat banyak, tapi
makalah ini difokuskan untuk membahas pendekatan problem solving.
BAB II
PEMBAHASAN
sedangkan masalah tidak rutin adalah masalah yang memuat banyak konsep dan
prosedur yang diajarkan dan banyak memuat penggunaan dari prosedur
matematika untuk menyelesaiakan masalah yang diberikan tidak jelas menurut
Reys, dkk (Afgani, 2011:30). Selain itu, Baroody (Afgani, 2011:31) juga
membedakan tiga jenis masalah selain masalah yang rutin dan tidak rutin, yakni
exercise, problems, dan enigmas.
Exercise adalah equates a problem with an assignment. Maksudnya, guru
biasanya memberikan suatu prosedur atau rumus/formula, kemudian memberikan
latihan, tugas “problem” perhitungan. Dengan demikian, anak telah siap dengan
strategi untuk memperoleh penyelesaiaanya karena cara menentukan jawaban dari
masalah yang diberikan telah diketahuinya.
Problem dapat didefinisikan sebagai suatu situasi puzzling, di mana
seseorang tertarik untuk mengetahui penyelesaiaanya, akan tetapi strategi
penyelesaiannya tidak serta merta tersedia. Lebih jelasnya suatu problems memuat
(1) keiinginan untuk mengetahui; (2) tidak adanya cara yang jelas untuk
mendapatkan penyelesaiaanya; dan (3) memerlukan suatu usaha dalam
menyelesaikannya.
Enigmas adalah suatu tugas yang diterima oleh seseorang sebagai suatu
masalah yang tidak terselesaikan (unsolvable) karena orang yang mendapat
masalah tersebut tidak tertarik untuk mendapatkan jawabannya.
Suatu pertanyaan hanya disebut sebagai masalah bagi siswa jika dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Siswa memiliki pengetahuan prasyarat untuk mengerjakan soal tersebut.
2. Siswa belum tahu algoritma/cara pemecahan soal tersebut.
3. Siswa mau dan berkehendak untuk menyelesaikan soal tersebut.
4. Siswa diperkirakan mampu menyelesaikan soal tersebut.
Belajar matematika pada dasarnya seseorang tidak terlepas dari masalah
karena berhasil atau tidaknya seseorang dalam matematika ditandai adanya
kemampuan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Menurut Bell
(Fadillah, 2009:6) menyatakan bahwa pertanyaan merupakan masalah bagi
seseorang bila ia menyadari keberadaaan situasi itu, mengakui bahwa situasi itu
memerlukan tindakan dan tidak dengan segera dapat menemukan pemecahan atau
87
d. Mencari tujuan yang kita inginkan, dimana pada awalnya tampak tujuan
tersebut mustahil untuk terwujud.
Problem Solving dalam matematika mempunyai arti yang lebih spesifik
yaitu:
a. Problem solving as a goal (sebagai tujuan) artinya bila pemecahan masalah
ditetapkan sebagai tujuan dalam suatu pembelajaran maka fokus dari
pembelajaran bukan pada soal tetapi lebih pada bagaimana cara
menyelesaikan masalah,
b. Problem solving as a process (sebagai proses) artinya pemecahan masalah
adalah suatu proses untuk mengaplikasikan berbagai pengetahuan yang
dimiliki pada situasi yang baru dan tidak biasa, dan
c. Problem solving as a basic skill (sebagai keterampilan dasar) artinya bahwa
pemecahan masalah merupakan salah satu keterampilan dasar dalam
matematika, selain keterampilan berhitung, aritmatika, keterampilan logika,
dan sebagainya.
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan problem solving
membimbing siswa untuk menyelesaikan permasalahan matematika yang
membentuk langkah-langkah yang jelas untuk mendapatkan hasilnya, sehingga
siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri, lebih aktif dalam kegiatan
pembelajaran, menumbuhkembangkan keterampilan yang tinggi dan
meningkatkan kepercayaan dirinya. Mengajar dengan menggunakan pendekatan
problem solving adalah cara mengajar dengan membimbing siswa untuk
menyelesaikan soal yang diberikan dengan tidak didahului dengan adanya contoh
yang relevan dan mengarahkan untuk mendapatkan hasilnya. Dalam arti bahwa
belajar dengan pendekatan problem solving materi yang disampaikan masih
merupakan masalah diserahkan kepada siswa untuk menyelesaiaknnya.
Guru dan siswa harus selalu berinteraksi bila terdapat kesulitan dalam
menyelesaikan masalah matematika. Guru juga harus mengetahui kemampuan
siswanya, bila memberikan soal harus mengetahui bobotnya. Bila bobot soal tidak
melebihi kemampuan siswa, maka siswa akan terbiasa dengan soal–soal
kemampuan matematika siswa dalam menyelesaikan permasalahan matematika
sedikit demi sedikti akan semakin meningkat. Masalah kemampuan siswa dalam
91
yang sama. Jika setelah menggunakan strategi lain ternyata masih tetap
menemui kegagalan, cobalah untuk mengubah sudut pandang dengan
memperbaiki asumsi atau memeriksa logika berfikir yang digunakan
sebelumnya. Contoh penggunaan strategi tersebut dapat dilakukan pada soal
berikut.
Ada berapa segitiga pada gambar berikut ini ?
4. Pemeriksaan kembali proses dan hasil (looking back). Pada bagian akhir
Polya menekankan pada bagaimana cara memeriksa kebenaran jawaban yang
telah diperoleh. Prosedur yang harus diperhatikan adalah:
a. Dapatkah diperiksa sanggahannya?
b. Dapatkah jawabannya dicari dengan cara lain?
c. Dapatkah anda melihat kembali secara sekilas?
d. Dapatkah cara atau jawaban tersebut digunakan untuk soal-soal lain?
Menurut Krulik dan Rudnick (Ma’rufi, 2015:67) bahwa ada lima fase dalam
proses pemecahan masalah yang disebut heuristic, yaitu:
1. Membaca dan memikirkan (Read and Think)
Aktivitas dilakukan seseorang (siswa) pada tahap ini yaitu menganalisis
masalah; menguji dan mengevaluasi fakta-fakta; menentukan pertanyaan; setting
secara fisik divisualisasikan, dideskripsikan dan dipahami; masalah di
terjemahkan kedalam bahasa siswa; dan menghubungkan antar bagian-bagian dari
masalah.
2. Mengeksplorasikan dan merencanakan (Explore and Plan)
Pada fase ini, data dianalisis dan menentukan syarat cukup informasi,
mengeliminasi hal-hal yang tidak perlu, mengorganisasikan data dalam suatu
tabel, gambar, model dan sebagainya. Dari sini, suatu rencana untuk menemukan
solusi dikembangkan.
3. Memilih suatu strategi (Select a strategy)
Strategi merupakan bagian dari proses pemecahan masalah yang memberi
arah atau petunjuk kepada siswa untuk menemukan jawabannya. Ada beberapa
startegi pada umumnya digunakan dalam memecahkan masalah yaitu:
a. Mengenal pola-pola (pattern recognition)
b. Bekerja mundul/balik (working backwards)
c. Menerka dan menguji (guess and test)
d. Melakukan percobaan eksperimen atau simulasi (experimention or
simulation)
e. Mereduksi/memperluas (rediction/expansion)
f. Mengoorganisasikan daftar/melengkapi daftar (organized listing/exhaustive)
g. Mendeduksi secara logis (logical deduction)
101
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Munculnya teori belajar Problem Solving didasari oleh teori
konstruktivisme yang berprinsip bahwa siswa harus membangun pengetahuannya
sendiri, agar pembelajaran yang dialaminya bermakna. Seorang matematikawan
bernama George Polya tertarik terhadap teori ini dan Polya banyak
membahasakan mengenai Problem solving. Polya mengarang buku “How to solve
it” yang ditulis dalam bahasa Jerman dengan ringkasan beberapa tahapan untuk
menyelesaikan problem, yaitu (1) memahami problem, (2) menyusun rencana, (3)
melaksanakan rencana, dan (4) menengok ke belakang.
Pendekatan problem solving merupakan suatu proses atau suatu cara
menyajikan pelajaran dengan mendorong peserta didik untuk mencari atau
memecahkan suatu masalah/persoalan melalui pengalaman pembelajaran hands-
on yang mengantarkan siswa untuk berinteraksi langsung dengan masalah yang
diberikan guru dan siswa mampu menemukan langkah-langkah pemecahan dan
solusinya, serta mengevaluasi solusi dari permasalahan tersebut. Langkah-langkah
pembelajaran dengan pendekatan problem solving menurut para pakar yaitu (1)
menurut Polya yaitu memahami masalah (understanding the problem), membuat
rencana penyelesaian (devising a plan), melaksanakan rencana penyelesaian
(carrying out the plan), dan menafsirkan kembali hasilnya (looking back), (2)
menurut John Dewey yaitu pengenalan (recognition), pendefinisian (definition),
perumusan (formulation), mencobakan (test), dan evaluasi (evaluation), dan (3)
menurut Krulik and Rudnick yaitu membaca dan memikirkan (read and think),
mengeksplorasi dan merencanakan (explore and plan), memilih satu strategi
(select a strategy), menemukan suatu jawaban (find and answer), dan meninjau
kembali dan mendiskusikan (reflect and extend).
3.2 Saran
Pembelajaran dengan pendekatan problem solving sangat baik digunakan
oleh guru untuk diterapkannya ke peserta didik. Karena pendekatan problem
solving dapat melatih peserta didik untuk memahami masalah hingga menentukan
penyelesaiannya baik individu atau kelompok.
107
DAFTAR PUSTAKA
Pendekatan Problem
Posing
Tugas Kelompok : Desain Pembelajaran Matematika
Dosen Pengampuh: Prof. Dr. Abdul Rahman, M.Pd
Kelompok 5:
Abi Talib (1801512009)
Asrar Mufida M (1801512013)
Maswin (1801512017)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................... 110
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 111
1.2 Tujuan Penulisan ............................................................................. 114
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Filosofi Lahirnya Pendekatan Problem Posing ............................... 115
2.2 Pengertian Poblem Posing ............................................................... 116
2.3 Ciri-Ciri Pembelajaran Problem Posing .......................................... 117
2.4 Tipe Pembelajaran Problem Posing ................................................ 118
2.5 Jenis-Jenis Pembelajaran Problem Posing ...................................... 119
2.6 Prinsip-Prinsip Pengembangan Pembelajaran Problem Posing ...... 120
2.7 Langkah – Langkah Problem Posing .............................................. 120
2.8 Problem Posing dan Relevansinya dengan Matematika ................. 125
2.9 Pendekatan Problem Posing Dalam Matematika ............................ 126
2.10 Kelebihan dan Kelemahan Problem Posing .................................... 131
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 133
3.2 Saran ................................................................................................ 133
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 134
111
BAB I
PENDAHULUAN
mempunyai peranan penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir
manusia.
Sampai saat ini matematika sekolah masih menjadi momok bagi siswa.
Matematika dianggap sebagai pelajaran yang kurang menarik, sukar dan
membosankan sehingga pelajaran matematika menjadi kurang disenangi.
Kesulitan belajar matematika bukan semata-mata karena materi pelajaran
matematika, tetapi juga disebabkan kemampuan guru dalam mengelola
pembelajaran matematika yang kurang efektif.
Pola pembelajaran matematika yang berkembang di Indonesia saat ini,
adalah pembelajaran konvensional yang belum menuntut keaktifan siswa dalam
proses kegiatan pembelajarannya. Sehingga banyak siswa yang menganggap
bahwa matematika adalah pelajaran yang menakutkan dan sulit untuk dikuasai
siswa. Padahal pembelajaran matematika sangat menuntut keaktifan dan
keterampilan siswa untuk mengolah data yang diberikan guru. Keterampilan yang
dimaksud dalam pembelajaran matematika bukan hanya kemampuan berhitung
saja, tetapi keterampilan yang mengembangkan kemampuan berpikir. Selama ini
proses pembelajaran matematika di setiap tingkat pendidikan hanya terbatas pada
peningkatan kemampuan kognitif saja.
Namun semua hal tersebut didalam penerapannya banyak sekali mengalami
kendala, mulai dari sarana dan prasarana yang terdapat di sekolah tersebut,
sumber daya manusia yang kurang menunjang, dan masih banyak lagi
permasalahan-permasahan yang timbul. Meskipun demikian, guru diharapkan
mampu menerapkan metode yang tepat dan sesuai dengan pengajaran matematika,
guru diharapkan menanamkan prinsip atau rumus yang ada. Dalam hal ini
sebelum siswa menyelesaikan sebuah soal, siswa harus memahami soal tersebut
secara menyeluruh. Ia harus tahu apa yang diketahui, apa yang dicari, rumus atau
teorema yang harus digunakan dan cara penyelesaiannya. Untuk itu dalam
mengerjakan soal-soal matematika diperlukan siasat atau strategi dalam
penyelesaiannya.
Untuk terciptanya pembelajaran yang menuntut keaktifan siswa sebagai
pusat pembelajaran, perlu adanya perubahan yang dapat mewujudkan apa yang
diharapkan dalam proses pembelajaran, seperti siswa dapat mengemukakan
113
dapat membuat soal. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Hashimoto (dalam
Silver dan Cai, 1996: 522) menyebutkan bahwa pembelajaran dengan problem
posing menimbulkan dampak positif terhadap kemampuan siswa dalam problem
solving.
BAB II
PEMBAHASAN
c. Perumusan atau pembentukan soal dari kondisi yang tersedia, baik dilakukan
sebelum, ketika, atau sesudah penyelesaian soal.
Menurut Terry Dash dalam Syarifulfahmi, penyusunan soal-soal baru dapat
digali dari soal yang sudah ada. Artinya, soal yang sudah ada dapat menjadi bibit
untuk soal baru dengan mengubah, menambah, atau mengganti satu atau lebih
karakteristik soal yang terdahulu. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
1. Change the numbers, salah satu cara membuat soal dari soal yang sudah ada
adalah dengan mengubah bilangan.
2. Change the operations, cara lain membuat soal dari soal yang sudah tersedia
adalah dengan mengubah operasi hitungnya.
Kemampuan siswa dalam membentuk soal dapat dikembangkan dengan
cara guru memberikan beberapa contoh seperti berikut:
1. Membentuk soal dari soal yang sudah ada atau memperluas soal yang sudah
ada.
2. Menyusun soal dari suatu situasi, atau berdasarkan gambar di majalah atau
surat kabar, atau membuat soal mengenai benda-benda konkret yang dapat
dimanipulasi (dikutak-kutik).
3. Memberikan soal terbuka.
4. Menyusun sejumlah soal yang mirip tetapi dengan taraf kesilitan yang
bervariasi.
Kegiatan yang berkaitan dengan pembentukan soal, secara teknis yang dapat
dilakukan adalah:
1. Siswa menyusun soal secara individu. Dalam penyusunan soal ini, hendaknya
siswa tidak asal menyusun soal, akan tetapi juga mempersiapkan jawaban dari
soal yang sedang disusunnya. Dengan kata lain, setelah siswa tersebut dapat
membuat soal, maka dia juga dapat menyelesaikan soal tersebut.
2. Siswa menyusun soal. Soal yang telah tersusun tersebut kemudian diberikan
kepada teman sekelasnya. Distribusi soal-soal yang telah tersusun tersebut
dapat menggunakan cara penggeseran atau dengan cara bertukar dengan teman
semeja. Artinya, distribusi soal tersebut secara individu.
3. Agar lebih bervariasi dan lebih menumbuhkan sikap aktif, interaktif, dan
kretaif, maka dapat dibentuk kelompok-kelompok kecil untuk menyusun soal
124
diselesaikan, atau jika pertanyaan tersebut memiliki tujuan yang tidak sesuai
dengan informasi yang ada. Selanjutnya pertanyaan matematika yang dapat
diselesaikan juga dibedakan atas dua hal, yaitu pertanyaan yang memuat
informasi baru dan pertanyaan yang tidak memuat informasi baru.
Pertanyaan non matematika adalah pertanyaan yang tidak memuat masalah
matematika dan tidak mempunyai kaitan dengan informasi yang diberikan.
Sedangkan pernyataan adalah kalimat yang bersifat ungkapan atau berita yang
tidak memuat pertanyaan, tetapi sekedar ungkapan yang bernilai benar atau salah.
Pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan ditinjau pula sintaksis dan
semantiknya. Sintaksis berhubungan dengan tata bahasa, sedangkan semantik
berhubungan dengan makna kata/kalimat. Berkaitan dengan sintaksis dan
semantik, Siswono (1999:186) mengklasifikasikan soal siswa sebagai berikut:
1. Susunan kalimat dalam soal yang dibuat siswa sesuai dengan tata bahasa
Indonesia dan maknanya jelas. Contoh:
Situasi: Harga 3 kilogram gula pasir adalah Rp. 6.300,-
Soal : Tentukan harga 6 kilogram gula pasir!
2. Susunan kalimat dalam soal yang dibuat siswa “sedikit tidak sesuai” dengan
tata bahasa Indonesia, tetapi maknanya jelas. Contoh:
Situasi: Harga 3 kilogram gula pasir adalah Rp. 6.300,-
Soal: Berapa harga jika saya membeli 5 kilogram gula pasir?
3. Susunan kalimat dalam soal yang dibuat siswa tidak sesuai dengan tata
bahasa Indonesia dan maknanya tidak jelas (tidak dapat ditangkap
maksudnya). Contoh:
Situasi: Seorang peternak menyediakan rumput cukup untuk 15 ekor ternaknya
selama 6 hari
Soal: Berapa banyak ikat rumput bila mempunyai 20 ekor sapi untuk dimakan
selama 5 hari?
Pertanyaan non-matematika adalah pertanyaan yang tidak mengandung
masalah matematika. Pernyataan adalah respon siswa yang hanya berupa
konjektur (Upu, 2003:28), tidak mengandung kalimat pertanyaan maupun
perintah yang mengarah kepada matematika atau non-matematika.
Klasifikasi soal yang dibuat siswa dapat digambarkan pada gambar 2.1 berikut.
128
Aturan penskoran:
1. Bila jawaban tidak sesuai kriteria/salah, skornya 0.
*)
2. Struktur bahasa soal menggunakan kriteria:
a. Bila susunan kalimat dalam soal yang dibuat siswa sesuai dengan
tata bahasa Indonesia dan maknanya jelas, skornya 1.
b. Bila susunan kalimat dalam soal yang dibuat siswa tidak sesuai dengan
1
tata bahasa Indonesia, tetapi maknanya masih dapat ditangkap, skornya 2.
c. Bila susunan kalimat dalam soal yang dibuat siswa tidak sesuai dengan
tata bahasa Indonesia dan maknanya tidak jelas (tidak dapat ditangkap
maksudnya), skornya lihat butir 5.
**)
3. Kriteria tingkat kesulitan soal. Soal dikatakan:
a. Mudah, bila untuk menyelesaikannya hanya langsung menggunakan
1
data yang ada tanpa mengolah dulu / langsung diterapkan, skornya 3.
8. Siswa mencari dan menemukan sendiri informasi atau data untuk diolah
menjadi konsep, prinsip, teori, atau kesimpulan.
9. Minat siswa dalam pembelajaran lebih besar dan siswa lebih mudah
memahami soal karena dibuat sendiri.
10. Semua siswa terpacu untuk terlibat secara aktif dalam membuat soal.
11. Dengan membuat soal dapat menimbulkan dampak terhadap kemampuan
siswa dalam menyelesaikan masalah.
12. Dapat membantu siswa untuk melihat permasalahan yang ada dan yang baru
diterima sehingga diharapkan mendapatkan pemahaman yang mendalam dan
lebih baik, merangsang siswa untuk memunculkan ide yang kreatif dari yang
diperolehnya dan memperluan bahasan/ pengetahuan, siswa dapat memahami
soal sebagai latihan untuk memecahkan masalah.
Strategi pembelajaran Problem Posing juga mempunyai beberapa
kelemahan antara lain sebagai berikut:
1. Pembelajaran problem posing membutuhkan waktu yang lama. Persiapan guru
lebih karena menyiapkan informasi apa yang dapat disampaikan.
2. Waktu yang digunakan lebih banyak untuk membuat soal dan
penyelesaiannya sehingga materi yang disampaikan lebih sedikit.
3. Membutuhkan buku penunjang yang berkualitas untuk dijadikan referensi
pembelajaran terutama dalam pembuatan soal.
4. Pada pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan problem
posing suasana kelas cenderung agak gaduh karena siswa diberi kebebasan
oleh guru pengajar.
133
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pembelajaran Problem Posing adalah suatu pembelajaran yang mewajibkan
para peserta didik untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar soal (berlatih
soal) secara mandiri. Maksud dari berlatih soal secara mandiri adalah siswa
dituntut belajar untuk membuat soal sendiri dan menjawab soal yang dibuatnya,
ini berbeda dengan pembelajaran matematika yang biasa dilakukan di sekolah,
yang biasanya guru yang membuat soal dan siswa hanya mengerjakan soal yaang
diberikan guru tersebut.
Problem posing dalam matematika mempunyai beberapa arti, diantaranya
perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa
perubahan agar lebih sederhana dan dapat dikuasai. Hal ini terjadi dalam
pemecahan soal-soal yang rumit. Pengertian ini menunjukkan bahwa pengajuan
soal merupakan salah satu langkah dalam rencana pemecahan masalah/soal.
Langkah-langkah dalam pembelajaran pendekatan problem posing yaitu
membuka kegiatan pembelajaran, menyampaikan tujuan pembelajaran.
menjelaskan materi pelajaran, memberikan contoh soal, memberikan kesempatan
kepada siswa untuk bertanya tentang hal-hal yang belum jelas, memberikan
kesempatan kepada siswa untuk membentuk soal dan menyelesaikannya,
mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan, membuat rangkuman
berdasarkan kesimpulan yang dibuat siswa, dan menutup kegiatan pembelajaran.
3.2 Saran
Problem posing suatu pendekatan dalam pembelajaran yang terbilang masih
baru berada di Indonesia, yaitu sekitar tahun 2000 baru masuk ke Indonesia. Oleh
karena itu diharapkan implementasi dari model pembelajaran ini, karena dengan
pendekatan problem posing siswa dilatih untuk memperkuat dan memperkaya
konsep-konsep dasar matematika. Selain itu pembelajaran problem posing
merupakan keterampilan mental, siswa menghadapi suatu kondisi dimana
diberikan suatu permasalahan dan siswa memecahkan masalah tersebut.
134
DAFTAR PUSTAKA
Upu, Hamzah. (2003). Problem Posing dan Problem Solving dalam Pembelajaran
Matematika. Bandung: Pustaka Ramadhan.
136
TUGAS MAKALAH
(DESAIN PEMBELAJARAN)
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 6
1. MUHAMMAD RAMADHAN 1801513004
2. SARDIA 1801513014
3. IRSAN 1801513018
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................... 137
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 138
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 139
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................... 139
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Model Pembelajaran dengan Pendekatan Open ended 141
2.2 Penemu Model Pembelajaran dengan Pendekatan Open ended.... 142
2.3 Tujuan Model Pembelajaran dengan Pendekatan Open ended ..... 143
2.4 Prinsip-prinsip Model Pembelajaran dengan Pendekatan Open
ended ............................................................................................. 146
2.5 Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran dengan
Pendekatan Open Ended................................................................ 147
2.6 Langkah-langkah Model Pembelajaran dengan Pendekatan Open
ended ............................................................................................. 148
2.7 Penilaian Model Pembelajaran dengan Pendekatan Open ended.. Error! Bookmark not
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................... 15151
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 152
138
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
yang tentu saja dapat salah (fallible). Mengambil pandangan ini dalam
pembelajaran matematika, berarti memberi kesempatan pada siswa untuk belajar
melalui aktivitas-aktivitas real life dengan menyajikan fenomena alam “seterbuka
mungkin” pada siswa. Bentuk penyajian fenomena real dengan “terbuka” ini dapat
dilakukan melalui pembelajaran yang berorientasi pada masalah/soal/tugas
terbuka.
Secara konseptual masalah terbuka dalam pembelajaran matematika adalah
masalah atau soal-soal matematika yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga
memilki beberapa atau bahkan banyak solusi yang benar, dan terdapat banyak
cara untuk mencapai solusi itu. Pendekatan ini memberikan kesempatan pada
siswa untuk “experience in finding something new in the process”.
pada saat yang sama kegiatan-kegiatan kreatif dari setiap siswa terkomunikasi
melalui proses belajar mengajar.
Dengan demikian model pembelajaran open ended merupakan pembelajaran
terbuka. Novikasari (2009: 7-8) menyatakan bahwa kegiatan matematika dan
kegiatan siswa disebut terbuka jika memenuhi aspek-aspek:
1. Kegiatan siswa harus terbuka
Yang dimaksud kegiatan siswa harus terbuka adalah kegiatan pembelajaran
harus mengakomodasi kesempatan siswa untuk melakukan segala sesuatu secara
bebas sesuai kehendak mereka. Misalnya guru memberikan permasalahan seperti
berikut kepada siswa.
Dengan menggunakan berbagai cara, hitunglah jumlah sepuluh bilangan
ganjil pertama mulai dari satu!
Peserta didik memberikan jawaban permasalahan di atas dengan
mengembangkan kreativitasnya sehingga diperoleh pemikiran berikut:
(i) (1+19)+(3+17)+(5+15)+(7+13)+(9+11)= 20x5 = 100
(ii) (1+9)+(3+7)+(5+5)+(7+3)+(9+1)+(10x5) = 100
(iii) 1+3 = 4, 4+5 = 9, 9+7 = 16, 16+9 = 25, ...
Dari jawaban (iii) peserta didik ada yang menemukan pola bahwa,
1+3= 2x2, 4+5 = 3x3, 9+7 = 4x4, ..., 81+19 = 10x10
Artinya, 1+3+5+7+9+11+13+15+17+19 = 10x10 = 100 (jumlah sepuluh
bilangan ganjil yang pertama adalah 100).
Dari contoh di atas jelas bahwa guru telah mengemas pembelajaran dan
sekaligus memanfaatkan kesempatan untuk mengembangkan materi pembelajaran
lebih lanjut yang sedikit banyak telah dikenal oleh siswa karena permasalahannya
dikonstruksi oleh siswa sendiri. Kesalahan dalam proses pengerjaan oleh siswa,
guru dapat memberi petunjuk bagaimana mereka membuat koreksi untuk
mengakomodasi pertanyaan yang sesungguhnya melalui pengecekan nilai atau
penambahan kondisi tertentu.
2. Kegiatan matematika adalah ragam berpikir.
Kegiatan matematik adalah kegiatan yang di dalamnya terjadi proses
pengabstraksian dari pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari ke dalam
dunia matematika atau sebaliknya. Pada dasarnya kegiatan matematika akan
145
3. Kegiatan Akhir
a. Guru memberikan soal-soal untuk dikerjakan dirumah.
b. Guru memberikan informasi tentang materi yang akan dipelajari pada
pertemuan berikutnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Problem yang diformulasikan memiliki multijawaban yang benar disebut
problem tak lengkap disebut juga problem open ended. Dengan problem open
ended tujuan utamanya bukan untuk mendapatkan jawaban tetapi lebih
menekankan pada carabagaimana sampai pada suatu jawaban. Dengan demikian
bukanlah hanya ada satupendekatan atau metode dalam mendapatkan jawaban
namun beberapa atau banyak. Open ended menjanjikan suatu kesempatan kepada
siswa untuk meninvestigasi berbagai strategi dan cara yang diyakininya sesuai
dengan mengelaborasi permasalahan.
Tujuannya tiada lain adalah agar kemampuan berpikir matematika siswa
dapat berkembang secara maksimal pada saat kegiatan kreatif dari setiap siswa
terkomunikasikan melalui proses belajar mengajar. Inilah yang menjadi pokok
pikiran pembelajaran dengan open-ended, yaitu pembelajaran yang membangun
kegiatan interaktif antara matematika dan siswa sehingga mengundang siswa
untuk menjawab permasalahan untuk menjawab permasalahan melalui berbagai
strategi. Dalam pendekatan open ended guru memberikan permasalahan kepada
siswa yang solusinya atau jawabannya tidak ditentukan hanya satu jalan/cara.
Guru harus memanfaatkan keberagaman cara atau proses untuk
menyelesaikan masalah itu, untuk memberi pengalaman siswa dalam menemukan
sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan, keterampilan, dan cara berpikir
matematik yang telah diperoleh sebelumnya. Seperti yang telah dijelaskan di
atas dari pendekatan open ended ini terdapat beberapa keunggulan dan kelemahan.
Salah satu keunggulanya yaitu siswa berpartisipasi lebih aktif dalam pembelajaran
dan sering mengekspresikan idenya. Dan salah satu kelemahannya yaitu siswa
dengan kemampuan tinggi bisa merasa ragu terhadap jawaban mereka.
152
DAFTAR PUSTAKA
Di Susun Oleh:
Etty Ristiana Anggraeni
(1801513001)
Ahmad Yogi
(1801513007)
DAFTAR ISI
Halaman
Daftar Isi .......................................................................................................... 154
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 155
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 156
1.3 Tujuan ........................................................................................... 156
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Filosofi Lahirnya Pendekatan Realistic Mathematics Education
(RME)............................................................................................ 157
2.2 Komponen Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) 162
2.3 Analisis Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) .... 173
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................... 177
3.2 Saran ............................................................................................. 178
Daftar Pustaka ................................................................................................. 179
155
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui filosofi lahirnya pendekatan Realistic Mathematics
Education (RME).
2. Untuk mengetahui komponen pendekatan Realistic Mathematics Education
(RME).
3. Untuk mengetahui analisis tugas pendekatan Realistic Mathematics
Education (RME).
157
BAB II
PEMBAHASAN
dari kehidupan anak, yang dapat dengan mudah dipahami oleh anak, nyata, dan
terjangkau oleh imajinasinya, dan dapat dibayangkan sehingga mudah baginya
untuk mencari kemungkinan penyelesaiannya dengan menggunakan kemampuan
matematis yang telah dimiliki. Tarigan (2006: 3) menambahkan bahwa
pembelajaran matematika realistik menekankan akan pentingnya konteks nyata
yang dikenal siswa dan proses konstruksi pengetahuan matematika oleh siswa
sendiri.
Selaras dengan pendapat-pendapat ahli di atas, Aisyah (2007: 71)
mengemukakan bahwa pendekatan matematika realistik merupakan suatu
pendekatan belajar matematika yang dikembangkan untuk mendekatkan
matematika kepada siswa. Oleh sebab itu, masalah-masalah nyata dari kehidupan
sehari-hari yang dimunculkan sebagai titik awal pembelajaran matematika.
Penggunaan masalah realistik ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa
matematika sebenarnya dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa.
Rahayu (2010: 15) mengemukakan bahwa pendidikan matematika realistik
merupakan suatu pendekatan pembelajaran matematika yang lebih menekankan
realitas dan lingkungan sebagai titik awal dari pembelajaran. Selain itu, Realistic
Mathematics Education (RME) menekankan pada keterampilan proses
matematika, berdiskusi dan berkolaborasi, beragumentasi dengan teman sekelas
sehingga mereka dapat menemukan sendiri dan akhirnya menggunakan
matematika untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun
kelompok. Namun, perlu diketahui bahwa dalam Realistic Mathematics Education
(RME) tidak hanya berhenti pada penggunaan masalah realistik. Masalah realistik
hanyalah pengantar siswa untuk menuju proses matematisasi. Matematisasi adalah
suatu proses untuk mematematikakan suatu fenomena.
Dalam penerapan Realistic Mathematics Education (RME) terdapat dua
jenis matematisasi yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal.
Matematisasi horizontal berkaitan dengan proses generalisasi (generalizing) yang
diawali dengan pengidentifikasian konsep matematika berdasarkan keteraturan
(regularities) dan hubungan (relation) yang ditemukan melalui visualisasi dan
skematisasi masalah. Jadi, pada matematisasi horizontal ini siswa mencoba
menyelesaikan soal-soal dari dunia nyata, dengan menggunakan bahasa dan
159
simbol mereka sendiri, dan masih bergantung pada model. Berbeda dengan
matematisasi vertikal yang merupakan bentuk proses formalisasi (formalizing)
dimana model matematika yang diperoleh pada matematisasi horizontal menjadi
landasan dalam pengembangan konsep matematika yang lebih formal melalui
proses matematisasi vertikal. Dengan kata lain, kedua jenis matematisasi ini tidak
dapat dipisahkan secara berurutan, tetapi keduanya terjadi secara bergantian dan
bertahap (Wijaya, 2012: 41 – 43). Jadi, dalam Realistic Mathematics Education
(RME) masalah realistik digunakan sebagai stimulator utama dalam upaya
rekonstruksi pengetahuan peserta didik. Selain itu, penerapan Realistic
Mathematics Education (RME) diiringi oleh penggunaan model agar
pembelajaran yang dilakukan benar-benar dapat dibayangkan oleh siswa
(imaginable), sehingga mengacu pada penyelesaian masalah dengan berbagai
alternatif melalui proses matematisasi yang dilakukan oleh siswa sendiri.
Aspek ontologi atau eksistensi dari pendekatan pembelajaran Realistic
Mathematics Education (RME) adalah gagasan bahwa matematika merupakan
aktivitas manusia. Aktivitas manusia ini tercermin dari aktivitas berpikir
matematis dalam menemukan dan menyelesaikan masalah realistik (Contextual
problem) kemudian mencoba mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri secara
aktif dengan dalam proses penemuan kembali (reinvention) melalui aktivitas
matematisasi (mathematizing) dengan bimbingan guru sebagai fasilitator.
Aspek epistimologi pendekatan pembelajaran Realistic Mathematics
Education (RME) dalam menemukan konsep matematika tercermin dari tiga
prinsip pokok dan lima karakteristik pendekatan pembelajaran ini meliputi
penggunaan konteks (contextual problem), penggunaan model untuk matematika
progresif (progressive mathematizing), melaui hasil konstruksi siswa dalam proses
penemuan kembali (reinvention), interaktivitas (interaktivity), dan keterkaitan
(intertwinement).
Aspek aksiologi pendekatan pembelajaran Realistic Mathematics Education
(RME) banyak dipengaruhi oleh aspek ontologi dan aspek epistimologinya, yang
dapat diidentifikasi dari prinsip dan karakteristik pendekatan pembelajaran
tersebut meliputi menciptakan kebermaknaan dalam belajar matematika dan
meningkatkan aspek kognitif siswa melaui penggunaan masalah kontekstual
160
5. Intertwinement (Keterkaitan)
Prinsip terakhir dari pendidikan matematika realistik adalah
menghubungkan beberapa topik dalam satu pembelajaran. Hal ini menunjukkan
bagaimana manfaat dan peran suatu topik atau konsep terhadap topik yang lain.
Menurut Bakker (dalam Wijaya, 2009: 5-6), selain lima karakteristik
tersebut, pendidikan matematika realistik juga memiliki tiga prinsip untuk desain
dan pengembangan pendidikan matematika Ketiga prinsip tersebut adalah:
1. Guided reinvention (penemuan terbimbing)
Terkait dengan karakteristik kedua dari pendidikan matematika realistik,
maka dalam suatu pembelajaran siswa harus diarahkan untuk menemukan strategi
penyelesaian masalah. Selain itu, siswa juga dibimbing untuk memiliki
pengalaman tentang suatu konsep matematika sebagaimana proses konsep
tersebut ditemukan
2. Didactical phenomenology (Fenomenologi didaktik)
Penggunaan permasalahan kontekstual sebagai sumber dan titik awal
pembelajaran perlu mempertimbangkan unsur didaktik dan disesuaikan dengan
tingkat kemampuan peserta didik.
3. Emergent model (pengembangan model)
Prinsip dasar kedua dari pendidikan matematika realistik – “pengembangan
model” – dikembangkan dari karakteristik kedua dari pendidikan matematika
realistik, yaitu using models and symbols for progressive mathematization.
Gravemeijer (dalam Wijaya, 2009: 6) menyebutkan empat tingkatan dari
pengembangan model, yaitu:
a. Tingkatan situasi. Pada tingkatan ini, strategi yang digunakan masih dalam
situasi kontekstual.
b. Tingkatan referensi. Pada tingkatan referensi, strategi baru dikembangkan
dengan memodelkan situasi kontekstual atau sering disebut sebagai “model-
of”
c. Tingkatan general. “Model-of” yang digunakan pada tingkatan referensi
dikembangkan menjadi “model-for” untuk menyelesaikan masalah dan juga
argument secara terpisah dari situasi kontekstual.
162
2) Tindakan siswa
Siswa memahami masalah kontektual yang diberikan guru. Siswa secara
aktif berusaha mengkonstruksi pemahaman dan pengetahuannya sendiri dengan
cara mengkaitkan penjelasan guru dengan pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki. Siswa yang belum memahami dapat bertanya kepada guru.
b. Menyelesaikan masalah kontekstual
1) Tindakan guru
Guru dapat memberikan petunjuk (hint) berupa pertanyaan seperti: apa yang
sudah kamu ketahui dari masalah tersebut?, bagaimana kamu tahu itu?, bagaimana
mendapatkannya?, mengapa kamu berpikir demikian?, dan lain-lain. Selebihnya,
guru mendorong dan memberi kesempatan siswa secara mandiri menghasilkan
penyelesaian dari masalah yang disajikan. Siswa diberi kesempatan mengalami
proses sama sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan sehingga dapat
“menemukan kembali” sifat, definisi, teorema, atau prosedur. Selama siswa
menyelesaikan masalah kontekstual, guru membangun interaksi dinamis antara
siswa dengan siswa dan siswa dengan guru. Pada fase ini, guru menerapkan
pendekatan individual sehingga dapat memberikan perlakuan kepada siswa sesuai
dengan kebutuhan dan karakteristiknya.
2) Tindakan siswa
Siswa menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Hal
ini tidak berarti siswa harus menyelesaikan masalah secara sendiri-sendiri. Siswa
perlu membangun kerjasama interaktif antar siswa maupun siswa dengan guru
agar proses pemecahan masalah dapat diselesaikan dengan lebih baik. Melalui
interaksi tersebut diharapkan terjadi proses saling bantu. Dalam menyelesaikan
masalah kontekstual, dapat digunakan model berupa benda manipulatif, skema,
atau diagram untuk menjembatani kesenjangan antara konkret dan abstrak atau
dari abstraksi yang satu ke abstraksi lanjutannya.
c. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
1) Tindakan guru
Guru memberikan kesempatan siswa membandingkan dan mendiskusikan
jawaban masalah secara berkelompok, agar siswa dapat belajar mengemukakan
pendapat dan menanggapi atau menerima pendapat orang lain. Guru juga harus
164
generalisasi dan formaliasasi model tersebut menjadi suatu model sesuai dengan
penalaran matematika.
Langkah-langkah pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)
menurut Hobri (2009: 170-172) adalah sebagai berikut:
Langkah 1: Memahami masalah kontekstual
Guru memberikan masalah kontekstual dan siswa memahami
permasalahan tersebut.
Langkah 2: Menjelaskan masalah kontekstual
Guru menjelaskan situasi dan kondisi soal dengan memberikan
petunjuk/saran seperlunya (terbatas) terhadap bagian-bagian tertentu
yang belum dipahami siswa. Penjelasan ini hanya sampai siswa
mengerti maksud soal.
Langkah 3: Menyelesaikan masalah kontekstual Siswa secara individu
menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri.
Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara
mereka dengan memberikan pertanyaan/petunjuk/saran.
Langkah 4: Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Guru menyediakan waktu dan kesempatan pada siswa untuk
membandingkan dan mendiskusikan jawaban dari soal secara
berkelompok. Untuk selanjutnya dibandingkan dan didiskusikan
pada diskusi kelas.
Langkah 5: Menyimpulkan dari diskusi,
Guru mengarahkan siswa menarik kesimpulan suatu prosedur atau
konsep, dengan guru bertindak sebagai pembimbing.
Sedangkan menurut Shoimin (2014: 144) fase-fase pendekatan Realistic
Mathematics Education (RME) terdiri dari 4 fase yaitu:
Fase pertama adalah pemberian masalah yang ada pada kehidupan sehari
hari-hari atau kontekstual kepada siswa dan siswa diminta untuk memahami
permasalah yang sudah diberikan oleh guru. Guru menanyakan kepada siswa apa
saja yang belum dipahami dalam masalah yang diberikan, setalah itu guru
mebimbing siswa dengan memberikan pejelasan, petunjuk maupun saran yang
166
seperlunya saja pada bagian-bagian tertentu yang belum dipahami siswa agar
siswa dapat memahami masalah berdasarkan kemampuanya sendiri.
Fase Kedua adalah siswa mengolah permasalahan yang sudah diberikan
guru untuk dipecahkan melalui strategi atau cara dari masing-masing siswa itu
sendiri. Selanjutnya peran guru hanya mengamati, membimbing, dan memotivasi
siswa dalam menyelesaikan masalah yang diberikan karena siswa dituntut
memecahkan masalah yang berikan dengan kemampuanya sendiri dan dengan
cara atau strategi siswa itu sendiri.
Fase Ketiga adalah siswa membandingkan dan mendiskusikan jawaban dari
permasalahan yang sudah mereka pecahkan dengan berpasangan teman sebangku
maupun dengan kelompok kecil, selanjutnya hasil dari diskusi kelompok maupun
dengan teman sebangku dibandingkan dalam diskusi kelas, setiap kelompok
maupun teman sebangku diberikan kesempatan untuk mengemukakan cara
penyelesaian dan alasan jawaban dari masalah yang sudah terselesaikan oleh
masing-masing siswa tersebut, dalam diskusi kelas ini guru berperan sebagai
pemimpin dalam kegiatan diskusi kelas.
Fase keempat adalah menarik kesimpulan berdasarkan hasil diskusi
kelompok maupun kelas yang telah dilakukan, dalam menyimpulkan siswa
dibimbing langsung oleh guru dan menyimpulkan tentang berbagai konsep,
definisi, teorema, prinsip atau prosedur matematika yang sudah dipelajari selama
proses pembelajaran
2. Prinsip Reaksi Guru
Dalam pendekatan pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME)
mempunyai beberapa peran dalam pembelajaran yaitu sebagai pembimbing,
dalam pemberian masalah guru juga harus dapat menjelaskan seperlunya pada
beberapa bagian permasalahan yang belum dimengerti siswa agar siswa dapat
memahami permasalahan yang diberikan oleh guru dengan kemampuannya
sendiri. Guru juga mengamati yang dikerjakan siswa saat proses pemecahan
masalah dengan cara masing-masing siswa tersebut agar dalam memcahkan
masalah siswa tidak melenceng jauh dari yang diharapkan, selain itu guru juga
memotivasi siswa dalam menyelesaikan masalah agar membuat siswa tidak
mudah menyerah dalam menemukan cara ataupun strategi sendiri untuk
167
memecahkan masalah yang sudah diberikan. Dalam kegiatan diskusi peran guru
juga pembimbing agar dalam diskusi siswa dapat mendiskusikan hasil kerjanya
kedalam kelompok tanpa adanya kesulitan karena guru membimbing siswa dalam
mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh siswa itu sendiri. Selain itu juga peran
guru juga mengarahkan agar siswa dapat menyimpulkan sendiri apa saja yang
telah didapatkan pada proses pembelajaran.
Beberapa perilaku guru (prinsip-prinsip reaksi) yang diharapkan dalam
pembelajaran matematika realiastik adalah sebagai berikut (Yuwono, 2007: 7):
a. Guru menjaga suasana kelas agar kondusif untuk kegiatan pembelajaran
Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap
memiliki motivasi mengikuti pembelajaran. Guru perlu mengenal siswa secara
mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar di lingkungan
sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi
pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi anak. Kegiatan di sini dapat
berupa: mengawali proses pembelajaran dari pengalaman yang telah dipunyai
siswa, mengaitkan masalah yang akan dibahas dengan lingkungan siswa dan
memberikan motivasi memanfaatkan permasalahan yang muncul pada kehidupan
sehari-hari.
b. Guru memberikan kesempatan siswa menggunakan strategi sendiri dalam
memecahkan masalah.
Guru mengarahkan siswa sehingga siswa dapat mengkonstruksi
pengetahuan melalui aktivitas mandiri. Guru juga perlu mendorong siswa
mengemukakan gagasan. Guru perlu mengurangi dan atau menghindarkan diri
dari kebiasaan transfer pengetahuan satu arah. Guru harus mau dan mampu
menggeser tanggungjawab belajar ke siswa sehingga siswa dapat menjalani proses
belajar lebih bertanggungjawab. Guru perlu pula mengorganisasi siswa tetap
dalam aktivitas atau tugas belajar (on-task), dan menfasilitasi agar terjadi
kerjasama secara kooperatif dan memungkinkan terjadinya konstruksi
pengetahuan.
168
diskusi agar tidak sikap individual dan merasa paling benar dalam kegiatan
berdiskusi. Karena di dalam diskusi siswa dituntut untuk menerima pendapat-
pendapat berbeda dari berbagai pendapat temanya untuk bersama - sama mencari
jalan tengah dalam menyelesaikan masalah dan menyimpulkan.
Dalam pembelajaran matematika realistik, dikembangkan suasana
pembelajaran yang terbuka dan demokratis. Interaksi antar siswa dalam
melakukan aktivitas belajar pada setiap fase mendapat penekanan penting. Guru
berfungsi sebagai pendamping dan menfasilitasi agar interaksi antar siswa dalam
semua aktivitas pembelajaran dapat berlangsung baik. Siswa dapat berdiskusi
dengan sesama siswa dan mengajukan pertanyaan kepada guru. Pada tahap awal
posisi guru lebih banyak di depan kelas, tempat guru memberikan pengantar, dan
mengingatkan pengetahuan prasyarat yang harus diingat siswa. Bila diperlukan
guru dapat mengecek secara acak tugas rumah siswa. Pada tahap selanjutnya
posisi guru berada di sekitar siswa atau berkeliling kelas, berjalan dari siswa atau
kelompok yang satu ke siswa atau kelompok lain. Pada akhir pembelajaran, guru
kembali di depan kelas, tempat dia meminpin diskusi kelas, untuk menghasilkan
konsep atau teorema (Sumaryanta, 2013: 4)
4. Daya dukung
Dalam pembelajaran daya pendukung pendekatan Realistic Mathematics
Education (RME) guru dan siswa harus mampu mengaitkan masalah dalam
kehidupan nyata atau sehari-hari untuk digunakan dalam proses pembelajaran
melalui pendekatan ini. Banyak permasalah dalam dunia nyata ataupun masalah
sehari-hari yang bisa dikaitkan dalam proses pembelajaran dan juga dalam
pembelajaran dengan memecahkan permasalahan yang ada di kehidupan nyata
maupun sehari-hari dapat menggunakan bantuan benda-benda yang nyata sebagai
alat yang digunakan untuk membantu dalam proses pembelajaran berupa buku,
lks, maupun alat peraga untuk mendukung kelancaran proses pembelajaran.
Pembelajaran matematika realistik memerlukan sejumlah bahan dan media
yang sesuai (Sumaryanta, 2013: 5). Untuk setiap pokok bahasan, diperlukan buku
pegangan guru, bahan ajar realistik bagi siswa (baik berupa buku siswa, hand out,
dan sebagainya), lembar kegiatan siswa (LKS), perangkat evaluasi, dan media
pembelajaran yang relevan. Berbagai komponen pendukung tersebut
170
dihargai dan diposisikan sebagai pemilik kegiatan belajar. Hal ini akan membantu
siswa dapat lebih menikmati belajar matematika.
2) Keaktifan belajar siswa
Pembelajaran matematika realistik diharapkan meningkatkan keaktifan
siswa dalam belajar. Dominasi guru bukan lagi menjadi inti pembelajaran,
melainkan aktivitas aktif siswa lah ruh utama pembelajaran. Sejak awal
pembelajaran, yaitu ketika guru menyajikan masalah konstekstual, siswa telah
didorong untuk aktif. Menginjak pemecahan masalah, dilanjutkan
membandingkan dan mendiskusikan jawaban, serta diakhiri menyimpulkan, siswa
yang harus aktif. Pergeseran pembelajaran ke arah mengaktifkan siswa ini tentu
akan berdampak pada semakin meningkatnya keaktifan belajar siswa.
3) Kemandirian belajar
Pembelajaran matematika realistik diharapkan meningkatkan kemandirian
belajar siswa. Proses aktif siswa dalam belajar akan berdampak pada
meningkatnya ketidaktergantungan pada orang lain (guru). Siswa terlatih
mengandalkan dirinya dalam menggali dan mengkonstruksi pengetahuan. Selain
itu, pengalaman sukses siswa dalam memecahkan masalah selama pembelajaran
akan mendorong terbangunnya kepercayaan diri. Pengalaman sukses akan
membantu siswa mengambil prakarsa dalam memecahkan suatu masalah. Siswa
terlatih tidak bergantung pada orang lain untuk memecahkan masalah yang
dihadapinya.
4) Pengembangan aspek sosial
Pembelajaran matematika realistik diharapkan meningkatkan
pengembangan aspek sosial siswa. Interaktifitas merupakan salah satu kunci
dalam pembelajaran matematika realistik. Siswa didorong saling berinteraksi satu
sama lain selama pembelajaran. Kerjasama tersebut merupakan ajang bagi
pengembangan aspek sosial siswa. Siswa terlatih saling membantu, saling
mengisi, saling mengoreksi, serta saling memberi dan menerima. Interaksi antar
siswa maupun siswa dengan guru juga akan mendorong terbangunnya rasa saling
menghormati dan menghargai satu sama lain.
173
d. Bila siswa telah menemukan suatu rumus, siswa dapat melanjutkan latihan
keterampilan prosedural, berupa mengerjakan soal latihan.
3. Tahap akhir
a. Guru menunjuk seorang anggota kelompok yang akan menyajikan hasil
dislusi kelompok secara kelas (pleno).
b. Siswa menyajikan hasil kerjanya dari kerja individual atau kerja kelompok
dalam diskusi kelas.
c. Guru berusaha membimbing siswa untuk memperoleh konsep (algoritma)
pada diskusi kelas dan mengarahkan siswa untuk menyimpulkan hasil diskusi
kelas.
d. Siswa mengerjakan latihan keterampilan prosedural berupa soal latihan.
e. Guru memberikan tugas rumah sebagai bahan latihan untuk menginternalisasi
konsep (algoritma) yang telah didapat.
Menurut Suwarsono (dalam Hobri, 2009: 173-174) kelebihan-kelebihan
Realistic Mathematics Education (RME) atau Pembelajaran Matematika Realistik
(PMR) adalah sebagai berikut:
1. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa
tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari dan
tentang kegunaan matematika pada umumnya kepada manusia.
2. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa
matematika adalah suatu bidang kajian yang dapat dikonstruksi dan
dikembangkan sendiri oleh siswa dan oleh setiap orang “biasa” yang lain,
tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
3. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa
cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan tidak harus
sama antara orang satu dengan orang yang lain.
4. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa
dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan suatu yang
utama dan untuk mempelajari matematika orang harus menjalani sendiri
proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep dan materi-
materi matematika yang lain dengan bantuan pihak lain yang sudah tahu
175
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Filosofi lahirnya pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) dapat
dibedakan menjadi 3 aspek, yaitu aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Aspek ontologi, matematika merupakan aktivitas manusia yang tercermin dari
aktivitas berpikir matematis dalam menemukan dan menyelesaikan masalah
realistik (Contextual problem) kemudian mencoba mengkonstruksi pengetahuan
mereka sendiri secara aktif dengan dalam proses penemuan kembali (reinvention)
melalui aktivitas matematisasi (mathematizing) dengan bimbingan guru sebagai
fasilitator. Aspek epistimologi, dalam menemukan konsep matematika tercermin
dari tiga prinsip pokok dan lima karakteristik pendekatan pembelajaran ini
meliputi penggunaan konteks (contextual problem), penggunaan model untuk
matematika progresif (progressive mathematizing), melaui hasil konstruksi siswa
dalam proses penemuan kembali (reinvention), interaktivitas (interaktivity), dan
keterkaitan (intertwinement). Aspek aksiologi pendekatan pembelajaran Realistic
Mathematics Education (RME) banyak dipengaruhi oleh aspek ontologi dan aspek
epistimologinya, yang dapat diidentifikasi dari prinsip dan karakteristik
pendekatan pembelajaran tersebut meliputi menciptakan kebermaknaan dalam
belajar matematika dan meningkatkan aspek kognitif siswa melaui penggunaan
masalah kontekstual (contextual problem), aktivitas penemuan kembali
(reinvention) melalui proses matematisasi (mathematizing) dengan penggunaan
model dapat membantu mengembangkan aspek afektif siswa antara lain:
mengembangkan kreativitas siswa, meningkatkan rasa percaya diri serta rasa
tanggung jawab siswa. Penggunaan interaktivitas dapat meningkatkan kecerdasan
interpersonal siswa.
Komponen-komponen pendekatan pembelajaran Realistic Mathematics
Education (RME) terdiri dari komponen sintaks, komponen prinsip reaksi atau
peran guru, komponen sistem sosial, komponen daya dukung berupa sarana
prasarana pelaksanaan pendekatan, serta dampak instruksional dan dampak
pengiring.
178
3.2 Saran
Penerapan RME di sekolah sangatlah tepat sesuai dengan karakteristik siswa
diantaranya adalah penemuan terbimbing dapat dilakukan melaui diskusi, siswa
dapat menemukan pengetahuan atau secara mandiri dengan menggali ide-ide
kreatifnya, siswa yang pandai dapat dijadikan tutor sebaya dan alat peraga sesuai
dengan keadaan nyata yang ada di sekitar siswa.
179
DAFTAR PUSTAKA
Joyce, B., Weil, M., & Calhoun, E. (2009). Models of Teaching: Model-Model
Pengajaran.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sembiring, R. K., Hoogland, K., & Dolk, M. 2010. Introduction to: A decade of
PMRI in Indonesia, in R.K. Bandung-Utrecht: APS Internasional.