Anda di halaman 1dari 182

Kumpulan Makalah

MK. Desain Pembelajaran


Dosen Pengampuh: Prof. Dr. Abdul Rahman, M.Pd
Matematika

Di Susun Oleh:
Mahasiswa Magister Pendidikan Matematika
Angkatan 2018

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURURAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO
TAHUN 2019
DAFTAR ISI

Model Pembelajaran Langsung (Kelompok 1) ............................................... 1


Model Pembelajaran Kooperatif (Kelompok 2) ............................................... 19
Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Kelompok 3) .................................... 52
Pendekatan Problem Solving (Kelompok 4) .................................................... 78
Pendekatan Problem Posing (Kelompok 5) ..................................................... 110
Pendekatan Open Ended (Kelompok 6) ........................................................... 136
Realistic Mathematics Education (RME) (Kelompok 7) ................................. 153
1

Kelompok 1
Winahyu/ 1801513011
Nurhami/ 1801513002
Muawwanah/1801513016
2

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Isi........................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................. 3
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 4
1.3 Tujuan .............................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Landasan Filosofis Model Pembelajaran Langsung ........................ 6
2.2 Pengertian Model Pembelajaran Langsung ..................................... 8
2.3 Karakteristik Model Pembelajaran Langsung ................................. 10
2.4 Analisis Tugas dengan Model Pembelajaran Langsung .................. 11
2.5 Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Langsung ........... 12
BAB III KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan ...................................................................................... 16
3.2 Saran ................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 18
3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masyarakat berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia
itu sendiri yang ditopang oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Secara berturut-turut masyarakat berkembang dari masyarakat primitif,
masyarakat agraris, masyarakat industri, dan kemudian pada perkembangan lanjut
menjadi masyarakat informasi. Situasi abad ke-21 sering kali diidentikan dengan
masyarakat informasi tersebut.
Proses pendidikan abad ke-21 dapat kita wujudkan melalui penyelenggaraan
proses pembelajaran yang mendidik dan berkualitas sesuai paradigma pendidikan
abad ke-21. Dalam paradigma tersebut, pembelajaran perlu kita selenggarakan
untuk mengembangkan seluruh potensi siswa secara utuh melalui penggunaan
atau penerapan pendekatan, model dan metode pembelajaran yang lebih inovatif,
berpusat pada keaktifan belajar siswa, kontekstual, serta memanfaatkan aneka
sumber belajar dan teknologi pendidikan secara integratif dengan materi
pembelajaran yang diajarkan.
Pembelajaran sebagai upaya untuk membelajarkan siswa, di dalamnya
terdapat kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode untuk mencapai
hasil pengajaran yang diinginkan, serta didasarkan pada kondisi pembelajaran
yang ada. Mendesain pembelajaran bukan berarti sekadar menciptakan
pembelajaran, tetapi bagaimana menetapkan metode yang tepat untuk mencapai
tujuan yang di dalamnya melibatkan variabel pembelajaran.
Sebagai seorang guru, kita harus selalu bersiap-siap karena kita akan
diguncang dengan derasnya bermacam-macam informasi intelektual dan praktikal,
visual dan audit, teknis dan hiburan, semuanya tersedia dalam dunia maya.
Informasi yang sangat deras ini sangat menuntut guru untuk berpikir keras dan
konsisten memperbaharui pengetahuan. Semua guru profesional dituntut terampil
mengemas pembelajaran dan terampil dalam mengajar tidak hanya semata-mata
hanya menyajikan materi ajar.
Diakui atau tidak masih banyak guru yang masuk ke dalam kelas untuk
mengajar tanpa melakukan perencanaan dan persiapan pembelajaran terlebih
4

dahulu. Mereka berangkat dari sebuah alas an bahwa materi yang disampaikan
sudah dikuasainya karena telah diajarkan sejak bertahun-tahun dan materi itu telah
dihafal di luar kepala. Alasan ini di satu sisi boleh jadi benar, tetapi yang harus
disadari bahwa kesuksesan dalam proses pembelajaran tidak hanya bergantung
pada penguasaan materi tetapi juga harus menyadari tujuan apa yang ingin dicapai
dalam pembelajaran, bagaimana cara mencapainya, serta alat ukur apa yang
digunakan untuk mengetahui ketercapaian tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, sangat penting untuk mendesain pembelajaran
sebagai kunci sukses dalam proses pembelajaran. Kemampuan untuk mendesain
pembelajaran juga dapat dijadikan sebagai salah satu tolak untuk mengetahui
tingkat profesionalitas seorang guru.
Pemilihan model pembelajaran yang digunakan oleh guru sangat
dipengaruhi oleh materi yang akan diajarkan, juga dipengaruhi oleh tujuan yang
akan dicapai dalam pengajaran tersebut dan tingkat kemampuan peserta didik. Di
samping itu pula setiap model pembelajaran selalu mempunyai tahap-tahap
(sintaks) yang dilakukan oleh siswa dengan bimbingan guru. Antara sintaks yang
satu dengan sintaks yang lain mempunyal perbedaan. Oleh karena itu guru perlu
menguasai dan dapat menerapkan berbagai model pembelajaran, agar dapat
mencapai tujuan pembelajaran yang ingin dicapai setelah proses pembelajaran
sehingga dapat tuntas seperti yang telah ditetapkan.
Salah satu model pembelajaran adalah model pembelajaran langsung. Model
pembelajaran ini menekankan pada penguasaan materi atau konsep atau
perubahan perilaku dengan mengutamakan pendekatan deduktif. Model
pembelajaran ini bersifat teacher centered (berpusat pada guru). Saat
melaksanakan model pembelajaran ini, guru harus mendemonstrasikan
pengetahuan dan keterampilan yang akan dilatihkan kepada siswa, selangkah
demi selangkah.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan
masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana filosofi lahirnya model pembelajaran langsung?
2. Apa pengertian model pembelajaran langsung?
5

3. Bagaimana karakteristik model pembelajaran langsung?


4. Bagaimana analisis tugas model pembelajaran langsung?
5. Apa kelebihan dan kekurangan model pembelajaran langsung?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagi berikut:
1. Untuk mengetahui filosofi lahirnya model pembelajaran langsung.
2. Untuk mengetahui pengertian model pembelajaran langsung.
3. Untuk mengetahui karakteristik model pembelajaran langsung.
4. Untuk mengetahui analisis tugas model pembelajaran langsung.
6. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan model pembelajaran langsung.
6

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Landasan Filosofis Model Pembelajaran Langsung


Model pembelajaran ini didasari psikologi behavioral, yang banyak
mewarnai pengembangan program pelatihan. Pengembangan program pelatihan
diarahkan pada melatih individu menguasai kemampuan yang kompleks dengan
tingkat ketepatan dan koordinasi yang tinggi. Sumbangan utama dari kelompok
model penibelajaran ini adalah dalam pendefinisian dan analisis tugas. Model
pembelajaran dirancang dengan merumuskan keahlian yang akan dicapai dalam
tugas, tugas yang besar dipecah menjadi sub tugas yang lebih kecil. Untuk setiap
sub tugas dirumuskan kecakapan dan keterampilan yang harus dikuasainya, serta
kegiatan latihan pembelajarannya, yang menjamin pcnguasaan kecakapan
tersebut, menjamin transfer kecakapan lain (Lefudin, 2014: 183).
Model pembelajaran langsung (direct instruction) dilandasi oleh teori
behaviorisme dan teori belajar sosial. Aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori Behavioristik dengan model
hubungan stimulus-responnya, memposisikan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu menggunakan metode pelatihan atau
pembiasaan semata.
Sejalan dengan pandangan diatas, Santrock (2010:266) menyatakan bahwa
behaviorisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa perilaku harus
dijelaskan melalui pengalaman yang dapat diamati, bukan dengan proses mental.
Menurut kaum behavioris, perilaku adalah segala sesuatu yang kita lakukan dan
bisa dilihat secara langsung: anak membuat poster, guru tersenyum pada anak,
murid mengganggu murid lain, dan sebagainya. Proses mental didefinisikan oleh
psikolog sebagai pikiran, perasaan, dan motif yang kita alami namun tidak bisa
dilihat oleh orang lain. Meskipun kita tidak bisa melihat pikiran, perasaan, dan
motif secara langsung, semua itu adalah sesuatu yang riil. Proses mental antara
lain pemikiran anak tentang cara membuat poster, perasaan senang guru terhadap
muridnya, dan motivasi anak untuk mengintrol perilakunya. Menurut behavioris,
pemikiran, perasaan, dan motif ini bukan subjek yang tepat untuk ilmu perilaku
sebab semuanya itu tidak bisa diobservasi secara langsung.
7

Adapun kedudukan pendidik dalam kaitannya dengan teori pembelajaran


langsung adalah menyajikan stimulus tertentu yang dapat membangkitkan respon
peserta didik berupa hasil belajar yang diingingkan. Untuk mengatur proses
stimulus-respon secara sistematis, bahan pelajaran harus dipilah-pilah menjadi
butir-butir informasi lalu diurut secara tepat, dimulai dari yang sederhana sampai
kepada yang paling kompleks. Berdasarkan kedua teori tersebut, model
pembelajaran langsung menekankan belajar sebagai perubahan perilaku. Jika
behaviorisme menekankan belajar sebagai proses stimulus respons, maka teori
belajar sosial memiliki prinsip bahwa seseorang dapatbelajar melalui pengamatan
perilaku orang lain.
Menurut Trianto (2010:53-54) teori pembelajaran sosial memberikan
penjelasan tentang peran pengamatan dalam pembelajaran. Teori ini menerapkan
prinsip-prinsip pembelajaran perilaku dan penekanannya pada proses mental
internal. Teori pembelajaran sosial yang dikembangkan oleh Albert Bandura,
seperti yang dikutip oleh Kardi dan Nur (2000:11) menyatakan bahwa “sebagian
besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah
laku orang lain”. Inti dari teori pembelajaran sosial adalah pemodelan (modeling),
dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah penting pelatihan pada peserta
didik dalam melatihkan keterampilan proses.
Langkah-langkah modeling menurut Bandura terdiri dari fase atensi, fase
retensi, fase produksi, dan fase motivasi yang dalam pelatihan dilaksanakan
sebagai berikut:
1. Fase Atensi, (1) Guru sebagai model memberi contoh kegiatan tertentu
(demonstrasi) di depan siswa sesuai dengan skenario yang telah disepakati.
Peserta didik melakukan observasi terhadap keterampilan guru dalam
melakukan kegiatan tersebut meggunakan lembar observasi yang telah
disediakan; (2) Guru bersama peserta didik mendiskusikan hasil pengamatan
yang dilakukan. Tujuan diskusi ini adalah untuk mencari kekurangan dan
kesulitan peserta didik dalam mengamati langkah-langkah kegiatan yang
disampaikan oleh guru dan untuk melatih peserta didik dalam menggunakan
lembar observasi.
8

2. Fase Retensi, diisi dengan kegaiatan guru menjelaskan struktur langkah-


langkah kegiatannya (demonstrasi) yang telah diamati oleh peserta didik,
untuk menunjukkan langkah-langkah tertentu yang telah disajikan.
3. Fase Produksi, pada fase ini peserta didik ditugasi untuk menyiapkan
langkah-langkah kegiatannya (demonstrasi) sendiri sesuai dengan langkah-
langkah yang telah dicontohkan, hanya dari sudut yang berbeda. Selanjutnya,
hasil kegiatan disajikan dalam bentuk diskusi kelas yang dilakukan secara
bergiliran. Guru dan peserta diskusi akan memberikan refleksi pada saat
diskusi sesudah KBM berlangsung. Hal ini dilakukan bergantian terhadap
kelompok yang lain.
4. Fase Motivasi, berupa presentasi hasil kegiatan (simulasi) dan kegiatan
diskusi. Pada saat diskusi kelompok lain diberi kesempatan untuk
menyampaikan hasil pengamatannya. Di akhir, guru dan peserta didik akan
menyimpulkan hasil kegiatan serta overview untuk memberikan justifikasi
hasil kegiatan yang telah dilakukan.

2.2 Pengertian Model Pembelajaran Langsung


Pembelajaran langsung merupakan suatu pola pembelajaran yang ditandai
oleh penjelasan guru tentang konsep atau keterampilan baru terhadap kelas,
pengecekan pemahaman mereka melalui tanya jawab dan latihan penerapannya,
serta dorongan untuk terus memperdalam penerapannya di bawah bimbingan
guru. Pembelajaran langsung merupakan proses pembelajaran yang terstruktur,
berfokus pada ilmu, banyak diarahkan dan dikendalikan oleh guru, sehingga
waktu lebihh efisien.
Para pakar teori belajar menggolongkan pengetahuan menjadi dua macam
yaitu pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Pengetahuan prosedural
yaitu pengetahuan mengenai bagaimana orang melakukan sesuatu. Model
pembelajaran langsung dirancang secara khusus untuk menunjang proses belajar
peserta didik berkenaan dengan pengetahuan prosedural dan pengetahuan
deklaratif yang terstruktur dengan baik dan dapat dipelajari selangkah demi
selangkah.
Pembelajaran langsung tidak sama dengan metode ceramah, tetapi ceramah
dan resitasi (mengecek pemahaman dengan tanya jawab) berhubungan erat
9

dengan model pembelajaran langsung. Pembelajaran langsung memerlukan


perencanaan dan pelaksanaan yang cukup rinci terutama pada analisis tugas.
Meski tidak ada sinonim dan resitasi yang berhubungan erat dengan model
pembelajaran langsung, tetapi istilah model pengajaran langsung sering disebut
juga dengan model pengajaran aktif (active teaching moddel), training model,
mastery teaching, dan explicit instruction.
Pembelajaran langsung adalah suatu model pembelajaran yang bersifat
teacher center. Menurut Arends (Trianto, 2010:41), model pembelajaran langsung
adalah salah satu pendekatan mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang
proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan
pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan
pola kegiatan bertahap, selangkah demi selangkah. Selain itu model pembelajaran
langsung ditunjukan pula untuk membantu siswa memepelajari keterampilan
dasar dan memperoleh informasi yang dapat diajarkan selangkah demi selngkah.
Adapun pembelajaran langsung menurut Suprijono (2012: 47) adalah
pembelajaran dimana guru terlibat aktif dalam mengusung isi pelajaran kepada
peserta didik dan mengajarkannya secara langsung kepada seluruh kelas.
Sedangkan pembelajaran langsung menurut Santrock (2010: 472) adalah
pendekatan teacher-centered yang terstruktur yang dicirikan oleh arahan dan
kontrol guru, ekspektasi guru yang tinggi atas kemajuan murid, maksimalisasi
waktu yang dihabiskan murid untuk tugas-tugas akademik, dan usaha oleh guru
untuk meminimalkan pengaruh negatif terhadap murid. Fokus pembelajaran
langsung adalah aktivitas akademik; materi non-akademik (seperti mainan, game
dan teka-teki) cenderung tidak dipakai; interaksi murid-guru (seperti percakapan
atau perhatian tentang diri atau pribadi) juga tidak begitu ditekankan.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran langsung adalah
pembelajaran dimana guru terlibat aktif dalam mengusung isi pelajaran kepada
peserta didik untuk menunjang proses belajar siswa, dimana kegiatan belajar
berfokus pada aktivitas akademik yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif
dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan
dengan pola kegiatan bertahap, selangkah demi selangkah.
10

2.3 Karakteristik Model Pembelajaran Langsung


Menurut Kardi & Nur (Trianto, 2010:42-43), karakteristik model
pembelajaran langsung antara lain:
1. Adanya tujuan pembelajaran dan pengaruh model pada siswa termasuk
prosedur penilaian belajar.
Model pembelajaran langsung lebih menekankan kepada proses
penyampaian materi secara verbal dari seorang pendidik kepada peserta didik,
agar peserta didik dapat menguasai materi secara optimal. Dalam strategi
pembelajaran ini peserta didik tidak dituntut untuk menemukan materi karena
materi pelajaran seakan-akan sudah jadi. Pendidik secara langsung menyampaikan
objek materi, sedangkan peserta didik dianggap hanya datang menerima materi
secara langsung dari pendidik.
2. Sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran.
Pembelajaran langsung digunakan untuk menyampaikan pelajaran yang
ditransformasikan langsung oleh guru kepada siswa. Sintaks model pembelajaran
langsung tersebut disajikan dalam 5 tahap, seperti tabel berikut:
Fase Peran Guru
Fase I Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,
Menyampaikan tujuan dan pentingnya pelajaran, mempersiapkan
mempersiapkan siswa siswa untuk belajar
Fase 2 Guru mendemonstrasikan keterampilan
Mendemostrasikan pengetahuan dan dengan benar, atau menyajikan
keterampilan informasi tahap demi tahap
Fase 3 Guru merencanakan dan memberi
Membimbing pelatihan bimbingan pelatihan awal
Fase 4 Mengecek apakah siswa telah berhasil
Mengecek pemahaman dan melakukan tugas dengan baik, memberi
memberikan umpan balik umpan balik.
Fase 5 Guru mempersiapkan kesempatan
Memberikan kesempatan untuk melakukan pelatihan lanjutan, dengan
pelatihan lanjut dan penerapan perhatian khusus pada penerapan
kepada situasi lebih kompleks dan
kehidupan sehari-hari.

3. Sistem pengelolaan dan lingkungan belajar


Pengajaran langsung memerlukan perencanaan dan pelaksanaan yang sangat
hati-hati dari pihak guru. Agar efektif, pengajaran langsung mensyaratkan tiap
11

detail keterampilan atau isi diefinisikan secara seksama dandemonstrasi serta


jadwal pelatihan direncanakan dan dilaksanakan secara seksama.
Menurut Kardi dan Nur (Trianto, 2010:44) meskipun tujuan pembelajaran
dapat direncanakan oleh guru dan siswa, model ini tetap berpusat pada guru.
Sisitem pengelolaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru harus menjamin
terjadinya keterlibatan siswa. Ini tidak berarti bahwa pembelajaran bersifat
otoriter, dingin dan tanpa humor. Ini berarti bahwa lingkungan berorientasi pada
tugas dan memberi harapan tinggi agar siswa mencapai hasil belajar dengan baik.
Kontrol dan arahan guru diberikan saat guru memilih dan mengarahkan
tugas pembelajaran, menegaskan peran inti selama memberi instruksi, dan
meminimalisir jumlah percakapan siswa yang tidak berorientasi akademik. Guru
yang memiliki pengharapan besar pada siswa-siswanya serta concern dalam
bidang tersebut akan berupaya menghasilkan kemajuan akademik yang istimewa
serta perilaku kondusif demi terciptanya kemajuan dalam pendidikan. Mereka
berharap lebih pada siswa, baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya.
Lingkungan pengajaran langsung adalah tempat dimana pembelajaran
menjadi fokus utama dan tempat dimana siswa terlibat dalam tugas-tugas
akademik dalam waktu tertentu dan mencapai rating kesuksesan yang tinggi.
Iklim sosial dalam lingkungan ini harus diciptakan secara positif dan bebas dari
pengaruh negatif (Joyce,2009: 422-423).

2.4 Analisis Tugas dengan Model Pembelajaran Langsung


Sebelum melakukan pembelajaran yang mengimplementasikan model
pembelajaran langsung, guru harus selalu melakukan analisis tugas (task analysis).
Analisis tugas memerlukan kecermatan seorang guru saat merencanakan model
pembelajaran langsung.
Menurut Faiq (2013) analisis tugas adalah sebuah teknik yang harus
dilakukan guru, di mana guru membagi-bagi suatu keterampilan yang kompleks
menjadi komponen-komponen bagian, dengan demikian dapat diajarkan dengan
pola sesuai urutan yang paling baik dan logis selangkah demi selangkah.
Menurut Kardi dan Nur (Trianto, 2010:47) ide yang melatar belakangi
analisis tugas ialah, bahwa informasi dan keterampilan yang kompleks tidak dapat
dipelajari semuanya dalam kurung waktu tertentu. Untuk mengembangkan
12

pemahaman yang mudah dan pada akhirnya penguasaan, keterampilan dan


pengertian kompleks itu lebih dahulu harus dibagi menjadi komponen bagian,
sehingga dapat diajarkan berurutan dengan logis dan tahap demi tahap.
Menurut Santrock (2010, 468) analisis tugas dapat melalui tiga langkah
dasar:
1. Menentukan keahlian atau konsep yang diperlukan murid untuk mempelajari
tugas.
2. Mendaftar materi yang dibutuhkan untuk melakukan tugas, seperti kertas,
pensil, kalkulator, dan sebagainya.
3. Mendaftar semua komponen tugas yang harus dilakukan.
Adapun menurut Faiq (2013) analisis tugas dengan model pembelajaran
langsung dapat dilakukan dengan cara:
1. Meminta penjelasan kepada orang yang menguasai dan dapat melakukan
keterampilan kompleks itu, atau amati pada saat orang tersebut melakukan
keterampilan tersebut. Bila guru sendiri juga menguasai keterampilan itu,
maka tentu lebih mudah lagi. Guru tinggal melakukan keterampilan kompleks
itu sendiri.
2. Memecah-mecah keterampilan kompleks tersebut menjadi komponen-
komponen bagian (keterampilan-keterampilan bagian).
3. Menyusun keterampilan-keterampilan bagian tersebut dengan urutan yang
logis sehingga tampak jelas bahwa suatu keterampilan bagian akan menjadi
keterampilan prasyarat bagi keterampilan balian yang lain.
4. Menetapkan perencanaan strategi untuk mengajarkan atau
mendemonstrasikan setiap keterampilan bagian tersebut, lalu
mempersatukannya menjadi keterampilan kompleks yang utuh yang harus
dipelajari siswa tersebut.

2.5 Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Langsung


Adapun kelebihan kekurangan dari model pembelajaran langsung, yang
dipaparkan oleh Sudrajat (2012) sebagai berikut:
13

1. Kelebihan model pembelajaran langsung


a. Dengan model pembelajaran langsung, guru dapat mengendalikan isi materi
dan urutan informasi yang diterima oleh siswa sehingga dapat
mempertahankan fokus mengenai apa yang harus dicapai oleh siswa.
b. Dapat diterapkan dalam kelas yang besar maupun kecil.
c. Dapat digunakan untuk menekankan poin-poin penting atau kesulitan-
kesulitan yang mungkin dihadapi siswa sehingga hal-hal tersebut dapat
diungkapkan.
d. Dapat menjadi cara yang efektif untuk mengajarkan informasi dan
pengetahuan faktual yang sangat terstruktur.
e. Merupakan cara yang paling efektif untuk mengajarkan konsep dan
keterampilan-keterampilan yang eksplisit kepada siswa yang berprestasi
rendah.
f. Dapat menjadi cara untuk menyampaikan informasi yang banyak dalam
waktu yang relatif singkat yang dapat diakses secara setara oleh seluruh
siswa.
g. Ceramah merupakan cara yang bermanfaat untuk menyampaikan informasi
kepada siswa yang tidak suka membaca atau yang tidak memiliki
keterampilan dalam menyusun dan menafsirkan informasi.
h. Secara umum, ceramah adalah cara yang paling memungkinkan untuk
menciptakan lingkungan yang tidak mengancam dan bebas stres bagi siswa.
Para siswa yang pemalu, tidak percaya diri, dan tidak memiliki pengetahuan
yang cukup tidak merasa dipaksa dan berpartisipasi dan dipermalukan.
i. Model pembelajaran langsung dapat digunakan untuk membangun model
pembelajaran dalam bidang studi tertentu.
j. Model pembelajaran langsung yang menekankan kegiatan mendengar
(misalnya ceramah) dan mengamati (misalnya demonstrasi) dapat membantu
siswa yang cocok belajar dengan cara-cara ini.
k. Ceramah dapat bermanfaat untuk menyampaikan pengetahuan yang tidak
tersedia secara langsung bagi siswa, termasuk contoh-contoh yang relevan
dan hasil-hasil penelitian terkini.
14

l. Model pembelajaran langsung bergantung pada kemampuan refleksi guru


sehingga guru dapat terus menerus mengevaluasi dan memperbaikinya.
2. Kekurangan model pembelajaran langsung
a. Model pembelajaran langsung bersandar pada kemampuan siswa untuk
mengasimilasikan informasi melalui kegiatan mendengarkan, mengamati, dan
mencatat. Karena tidak semua siswa memiliki keterampilan dalam hal-hal
tersebut, guru masih harus mengajarkannya kepada siswa.
b. Dalam model pembelajaran langsung, sulit untuk mengatasi perbedaan dalam
hal kemampuan, pengetahuan awal, tingkat pembelajaran dan pemahaman,
gaya belajar, atau ketertarikan siswa.
c. Karena siswa hanya memiliki sedikit kesempatan untuk terlibat secara aktif,
sulit bagi siswa untuk mengembangkan keterampilan sosial dan interpersonal
mereka.
d. Karena guru memainkan peran pusat dalam model ini, kesuksesan strategi
pembelajaran ini bergantung pada image guru. Jika guru tidak tampak siap,
berpengetahuan, percaya diri, antusias, dan terstruktur, siswa dapat menjadi
bosan, teralihkan perhatiannya, dan pembelajaran mereka akan terhambat.
e. Terdapat beberapa bukti penelitian bahwa tingkat struktur dan kendali guru
yang tinggi dalam kegiatan pembelajaran, yang menjadi karakteristik model
pembelajaran langsung, dapat berdampak negatif terhadap kemampuan
penyelesaian masalah, kemandirian, dan keingintahuan siswa.
f. Model pembelajaran langsung sangat bergantung pada gaya komunikasi guru.
Komunikator yang buruk cenderung menghasilkan pembelajaran yang buruk
pula dan model pembelajaran langsung membatasi kesempatan guru untuk
menampilkan banyak perilaku komunikasi positif.
g. Jika materi yang disampaikan bersifat kompleks, rinci, atau abstrak, model
pembelajaran langsung mungkin tidak dapat memberi siswa kesempatan yang
cukup untuk memproses dan memahami informasi yang disampaikan.
h. Model pembelajaran langsung memberi siswa cara pandang guru mengenai
bagaimana materi disusun dan disintesis, yang tidak selalu dapat dipahami
atau dikuasai oleh siswa. Siswa memiliki sedikit kesempatan untuk mendebat
cara pandang ini.
15

i. Jika model pembelajaran langsung tidak banyak melibatkan siswa, siswa akan
kehilangan perhatian setelah 10-15 menit dan hanya akan mengingat sedikit
isi materi yang disampaikan.
j. Jika terlalu sering digunakan, model pembelajaran langsung akan membuat
siswa percaya bahwa guru akan memberitahu mereka semua yang perlu
mereka ketahui. Hal ini akan menghilangkan rasa tanggung jawab mengenai
pembelajaran mereka sendiri.
k. Karena model pembelajaran langsung melibatkan banyak komunikasi satu
arah, guru sulit untuk mendapatkan umpan balik mengenai pemahaman
siswa. Hal ini dapat membuat siswa tidak paham atau salah paham.
16

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Model pembelajaran langsung (direct instruction) dilandasi oleh teori
behaviorisme dan teori belajar sosial. Model pembelajaran langsung adalah model
pembelajaran dimana guru terlibat aktif dalam mengusung isi pelajaran kepada
peserta didik untuk menunjang proses belajar siswa, dimana kegiatan belajar
berfokus pada aktivitas akademik yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif
dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan
dengan pola kegiatan bertahap, selangkah demi selangkah. Karakteristik model
pembelajaran langsung antara lain: adanya tujuan pembelajaran dan prosedur
penilalan hasil belajar, adanya sintaks dan alur kegiatan pembelajaran, dan adanya
sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang mendukung berlangsung dan
berhasilnya pengajaran. Sebelum melakukan pembelajaran yang
mengimplementasikan model pembelajaran langsung, guru harus selalu
melakukan analisis tugas (task analysis). Analisis tugas memerlukan kecermatan
seorang guru saat merencanakan model pembelajaran langsung. Salah satu
kelebihan model pembelajaran langsung adalah dengan model pembelajaran
langsung, guru dapat mengendalikan isi materi dan urutan informasi yang
diterima oleh siswa sehingga dapat mempertahankan fokus mengenai apa yang
harus dicapai oleh siswa. Salah satu kekurangan model pembelajaran langsung
adalah dalam model pembelajaran langsung, sulit untuk mengatasi perbedaan
dalam hal kemampuan, pengetahuan awal, tingkat pembelajaran dan pemahaman,
gaya belajar, atau ketertarikan siswa.

3.2 Saran
Pemilihan model pembelajaran yang digunakan oleh guru sangat
dipengaruhi oleh materi yang akan diajarkan, juga dipengaruhi oleh tujuan yang
akan dicapai dalam pengajaran tersebut dan tingkat kemampuan peserta didik. Di
samping itu pula setiap model pembelajaran selalu mempunyai tahap-tahap
(sintaks) yang dilakukan oleh siswa dengan bimbingan guru. Antara sintaks yang
satu dengan sintaks yang lain mempunyal perbedaan. Oleh karena itu guru perlu
17

menguasai dan dapat menerapkan berbagai model pembelajaran, agar dapat


mencapai tujuan pembelajaran yang ingin dicapai setelah proses pembelajaran
sehingga dapat tuntas seperti yang telah ditetapkan.
18

DAFTAR PUSTAKA

Faiq, Muhammad. 2013. Perencanaan Model Pembelajaran Langsung (Direct


Instruction). http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2013/04/
perencanaan-model-pembelajaran-langsung.html (Diakses pada tanggal 20
Maret 2019)

Joyce, Bruce,dkk. 2009. Models Of Teaching. Yogjakarta:Pustaka pelajar

Lefudin. 2014. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Deepublish.

Santrock, John W. 2010. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media


group.

Suprijono, Agus. 2012. Cooperative Learning. Jogjakarta: Pustaka Belajar.

Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta:


Kencana Prenada Media group.
19

MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF
Desain Pembelajaran Matematika
Dosen Pengampuh: Prof. Dr. Abd. Rahman, M.Pd.

Darma (1801402009)
Tri Bondan Kriswinarso (1801513012)
Sujarwati (1801513020)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO
2019
20

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................... 20
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................. 21
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 22
1.3 Tujuan .............................................................................................. 22
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian model pembelajaran kooperatif ..................................... 24
2.2 Teori-teori yang melandasi model pembelajaran kooperatif
(cooperative learning) ..................................................................... 26
2.3 Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif (cooperative
learning) ........................................................................................... 29
2.4 Karakteristik model pembelajaran kooperatif (cooperative
learning) .......................................................................................... 30
2.5 Tujuan model pembelajaran kooperatif (cooperative learning) ...... 31
2.6 Unsur-unsur model pembelajaran kooperatif (cooperative
learning) .......................................................................................... 33
2.7 Prinsip Dasar Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative
learning) ........................................................................................... 35
2.8 Hambatan dan Optimalisasi Pelaksanaan ........................................ 36
2.9 Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembelajaran Kooperatif
(cooperative learning) ..................................................................... 36
2.10Tipe-tipe Model Pembelajaran Kooperatif (cooperative learning) . 39
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ...................................................................................... 49
3.2 Saran ............................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 51
21

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia adalah makhluk unik, berbeda satu sama lain, karena sifatnya yang
unik maka manusia yang satu membutuhkan manusia yang lainnya sehingga
sebagai konsekuensi logisnya manusia harus menjadi makhluk sosial, makhluk
beriteraksi dengan sesamanya, selain itu manusia memiliki potensi, latar belakang
historis, serta harapan masa depan yang berbeda-beda. Dari adanya perbedaan,
manusia dapat silih asah (saling mencerdaskan), saling membutuhkan maka harus
ada interaksi yang silih asih (saling menyayangi atau saling mencintai). Perbedaan
antarmanusia yang tidak terkelola secara baik dapat menimbulkan
ketersinggungan dan kesalahpahaman antarsesamanya. Agar manusia terhindar
dari ketersinggungan dan kesalahpahaman maka diperlukan interaksi yang silih
asuh (saling tenggang rasa). Dalam dunia pendidikan, khususnya pada jenjang
pendidikan formal banyak dijumpai perbedaan-perbedaan mulai dari perbedaan
gender, suku, agama, dan lain-lain. Dari karakter yang heterogen tersebut, timbul
suatu pertanyaan bagaimana guru dapat memotivasi seluruh siswa mereka untuk
belajar dan membantu saling belajar satu sama lain? Bagaimana guru dapat
menyusun kegiatan kelas sedemikian rupa sehingga siswa akan berdiskusi,
berdebat, dan menggeluti ide-ide, konsep-konsep, dan keterampilan sehingga
siswa benar-benar memahami ide, konsep dan keterampilan tersebut? Bagaimana
guru dapat memanfaatkan energi sosial seluruh rentang usia siswa yang begitu
besar di dalam kelas untuk kegiatan-kegiatan pembelajaran roduktif? Bagaimana
guru dapat mengorganisasikan kelas sehingga siswa saling menjaga satu sama
lain, saling mengambil tanggung jawab satu sama lain, dan belajar untuk
menghargai satu sama lain terlepas dari suku, tingkat kinerja, atau
ketidakmampuan karena cacat?
Model pembelajaran kooperatif nampaknya merupakan jawaban atas
pertanyaan tersebut. Pembelajaran kooperatif adalah kerja kelompok yang
terkelola dan terorganisasikan sedemikian sehingga peserta didik bekerja sama
dalam kelompok kecil untuk mencapai tujuan-tujuan akademik, efektif dan sosial.
Dalam model pembelajaran kooperatif terdapat lima prinsip yang harus tercermin
22

didalamnya.. lima prinsip tersebut adalah : 1) saling ketergantungan positif; 2)


tanggung jawab perseorangan; 3) tatap muka; 4) komunikasi antar anggota; dan 5)
evaluasi proses kelompok (Lie, 2002). Dalam menyelesaikan tugasnya, peserta
didik yang satu membutuhkak peserta didik yang lain, karena mereka bekerja
dalam satu team. Masing-masing peserta didik memiliki tanggung jawab untuk
memberikan kontribusi pada kelompoknya. Peserta didik yang paham terhadap
salah satu tugas harus membantu peserta didik lain yang belum memahami tugas
tersebut. Demikian pula peserta didik yang belum paham harus meminta
penjelasan kepada yang telah paham. Mereka juga harus berinteraksi satu sama
lainnya melalui tatap muka dan komunikasi. Evaluasi dilakukan baik secara
individual maupun kelompok. Prinsip-prinsip pembelajaran demikian akan
mengeliminasi kompetisi yang menimbulkan krisis kepribadian seperti frustasi,
kecemasan yang berlebihan, dan rasa rendah diri yang berujung pada motivasi
belajar yang rendah.

1.2 Rumusan Masalah


1. Pengertian model pembelajaran kooperatif
2. Teori-teori yang melandasi model pembelajaran kooperatif (cooperative
learning)
3. Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif (cooperative learning)
4. Karakteristik model pembelajaran kooperatif (cooperative learning)
5. Tujuan model pembelajaran kooperatif (cooperative learning)
6. Unsur-unsur model pembelajaran kooperatif (cooperative learning)
7. Hambatan dan Optimalisasi Pelaksanaan
8. Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembelajaran Kooperatif (cooperative
learning)
9. Tipe-tipe Model Pembelajaran Kooperatif (cooperative learning)

1.3 Tujuan Pembelajaran


1. Untuk Mengetahui Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif
2. Untuk Mengetahui Teori-teori yang Melandasi Model Pembelajaran
Kooperatif (cooperative learning)
23

3. Untuk Mengetahui Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif


(cooperative learning)
4. Untuk Mengetahui Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif
(cooperative learning)
5. Untuk Mengetahui Tujuan Model Pembelajaran Kooperatif (cooperative
learning)
6. Untuk Mengetahui Unsur-unsur Model Pembelajaran Kooperatif (cooperative
learning)
7. Untuk Mengetahui Hambatan dan Optimalisasi Pelaksanaan
8. Untuk Mengetahui Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembelajaran
Kooperatif (cooperative learning)
9. Untuk Mengetahui Tipe-tipe Model Pembelajaran Kooperatif (cooperative
learning)
24

BAB II
PEMBAHASAN

Model pembelajaran adalah pola interaksi siswa dengan guru di dalam


kelas yang menyangkut pendekatan, strategi, metode, teknik pembelajaran yang
diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas. Model
pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang
sistematik dan mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman para perancang pembelajaran dan
para pengajar dalam merencanakan dan melakukan aktivitas pembelajaran
(Ibrahim, 2000). Konsep model pembelajaran menurut Trianto (Afandi,
Chamalah, & Wardani, 2013) menyebutkan bahwa model pembelajaran adalah
suatu perencanaan atau pola yang digunakan sebagai pedoman dalam
merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran tutorial. Model
pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan,
termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan
pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas.

2.1 Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative learning)


Menurut Trianto (Syarifuddin, 2011) Cooperative learning berasal dari kata
cooperative yang artinya memaksimalkan belajar siswa untuk meningkatkan
akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok serta
saling membantu satu sama lain. Menurut Johnson, model pembelajaran
cooperative learning merupakan salah satu pembelajaran yang mendukung
pembelajaran konstektual. Dan sistem pengajaran cooperative learning dapat
didefinisikan sebagai system kerja atau belajar kelompok yang terstruktur dan
cooperative learning adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan
pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja yang teratur kelompok, yang
terdiri dua orang atau lebih (Syarifuddin, 2011). Bern dan Erickson (Rosyidah,
2016) menyatakan bahwa cooperative learning (pembelajaran kooperatif)
merupakan strategi pembelajaran yang mengorganisir pembelajaran dengan
menggunakan kelompok belajar kecil dimana siswa bekerja sama untuk mencapai
tujuan pembelajaran.
25

Menurut Wena (Syarifuddin, 2011) Pembelajaran cooperative learning


merupakan salah satu model pembelajaran kelompok yang memiliki aturan-aturan
tertentu. Prinsip dasar pembelajaran kooperatif yaitu siswa membentuk kelompok
kecil dan saling mengjari sesamanya untuk mencapai tujuan bersama,dalam
pembelajaran ini pun siswa pandai mengajari siswa yang kurang pandai tanpa
merasa dirugikan. Metode cooperative learning menurut Nurhadi (Tambak,
20017) adalah metode pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok
kecil peserta didik untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar
untuk mencapai tujuan belajar. Asep Gojwan (Tambak, 20017) mendefinisikan
cooperative learning sebagai suatu model pembelajaran yang menekankan
aktivitas kolaboratif peserta didik dalam belajar yang berbentuk kelompok kecil
untuk mencapai tujuan yang sama dengan menggunakan berbagai macam aktifitas
belajar guna meningkatkan kemampuan peserta didik dalam memahami materi
pelajaran dan memecahkan masalah secara kolektif.
Menurut Rustaman (Kurnia, Ruskan, & Ibrahim, 2014), Pembelajaran
kooperatif merupakan salah satu pembelajaran yang dikembangkan dari teori
kontruktivisme karena mengembangkan struktur kognitif untuk membangun
pengetahuan sendiri melalui berpikir rasional. Slavin (Rosyidah, 2016)
mengungkapkan bahwa sangat banyak dari model-model teoritis yang dapat
menjelaskan keunggulan pembelajaran kooperatif. Teori tersebut terbagi menjadi
dua kategori utama, motivasi dan kognitif. Teori motivasi dalam pembelajaran
kooperatif menekankan pada derajat perubahan tujuan kooperatif mengubah
insetif bagi siswa untuk melakukan tugas-tugas akademik, teori kognitif
menekankan pada pengaruh dari kerja sama itu sendiri. David dan Roger Johnson
(Tambak, 20017) mendefinisikan CL adalah “a teaching strategy in which small
teams, each with students of different levels of ability, use a variety of learning
activities to improve their understanding of a subject.” (Strategi pembelajaran
dalam bentuk kelompok-kelompok kecil dimana setiap peserta didik memiliki
tingkat kemampuan berbeda, dengan menggunakan berbagai macam aktifitas
belajar untuk meningkatkan pemahaman terhadap materi).
Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran kooperatif (cooperative learning) adalah model pembelajaran
26

dengan menempatkan siswa ke dalam kelompok kecil untuk menumbuhkan kerja


sama siswa, motivasi siswa dalam belajar, serta kemampuan siswa menyelesikan
masalah secara berkelompok demi tercapainya tujuan pembelajaran yang akan
dicapai dengan berbagai aktivitas belajar yang di lakukan baik di dalam kelas
maupun di luar kelas.

2.2 Teori-teori yang Melandasi Model Pembelajaran Kooperatif


(Cooperative learning)
Model pembelajaran kooperatif muncul dari berbagai teori-teori yang
melandasinya (Silaban, 2006), antara lain:

1. David Ausubel
Salah satu teori yang mendasari pendekatan konstruktivis yang berpendapat
bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh anak merupakan elemen pendidikan yang
penting. Hal yang sangat penting diketahui oleh guru pada awal pembelajaran
ialah apa yang telah diketahui oleh setiap siswa. Bertitik tolak dari pengetahual
awal siswa (Entry Behaviour = EB) dan strategi belajarnya, guru dapat
merencanakan kegiatan belajar mengajar. berprestasi rendah. Oleh karena itu akan
terjadi hubungan sosial di antaranya.
Ausubel berpendapat bahwa siswa memerlukan bimbingan, agar dapat
belajar dengan efektif. Ausubel mempertahankan pendapatnya yang disebut
“meaningful verbal learning”. Dengan cara ini, kepada siswa diberikan konsep-
konsep penting oleh guru dalam bentuk informasi yang mudah diasimilasi oleh
siswa oleh sebab itu siswa tidak perlu menemukannya sendiri. Fungsi penting dari
guru ialah merumuskan kembali bahwa yang bersifat teknik kedalam bahasa yang
mudah di pahami oleh siswa. Ausubel berpendapat bahwa sebagian besar
pengetahuan kita peroleh melalui bahasa dan bukan melalui manipulasi materi
atau benda.

2. Piaget
Pelopor konstruktivis yang lain yaitu Piaget yang berpendapat bahwa anak
membangun sendiri skematanya dari pengalamannya sendiri dengan
lingkungannya. Tetapi, menurut pakar tertentu, Piaget berbeda dengan para
konstruktivist masa kini karena menekankan pentingnya peran kemampuan anak
27

sebagai faktor genetik. Di samping itu, banyak diantara para konstruktivist yang
tidak dapat menerima teori Piaget tentang adanya tahap-tahap perkembangan
kognitif. Mereka berpendapat bahwa perkembangan kognitif adalah proses
pemodifikasian konsep-konsep yang telah ada yang berlangsung secara berangsur-
angsur. Sama halnya dengan Piaget, para konstruk-tivis beranggapan bahwa anak-
anak membangun konsep-konsepnya melalui pengalamannya.
Meskipun demikian, para konstruktivist menganggapnya hanya sebagai
respon terhadap lingkungannya, dan tidak banyak dipengaruhi oleh faktor genetik.
Persamaan anatara Piaget dengan konstruktivist lainnya terletak pada peran guru
sebagai fasilitator dan buka sebagai pemberi informasi. Guru perlu menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif bagi siswa-siswanya. Tetapi, yang menganut
faham konstruktivist lebih memperhatikan pengeta-huan awal-awal siswanya.
Idealnya, guru perlu mengetahui dengan pasti tingkah laku awal dalam strategi
belajar yang dimiliki oleh setiap siswanya.

3. Jerome Bruner
Discovery learning menurut Jerome Bruner adalah model pengajaran yang
dikembangkan berdasarkan pada pandangan kognitif tentang pelajaran dan
prinsip-prinsip konstruktivis. Di dalam discovery learning siswa didorong untuk
belajar sendiri. Siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip dan guru mendorong siswa untuk mendapatkan pengalaman dan
melakukan eksperimen yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip
untuk diri mereka sendiri. Discovery learning memiliki beberapa keuntungan.
Pembelajaran ini membangkitkan keingintahuan mereka untuk bekerja sampai
mereka menemukan jawabannya. Siswa juga belajar memecahkan masalah secara
mandiri dan keterampilan beroikir, karena mereka harus menganalisa dan
memanipulasi sejumlah informasi.

4. Vygotsky
Sumbangan terpenting dari teori vygotsky adalah penekanan pada hakekat
sosiokultual pembelajaran. Dia yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa
bekerja dalam zona perkembangan proximal. Tugas dalam zona perkembangan
proximal adalah yang tidak boleh dilakukan sendiri oleh anak, namun boleh
28

dilakukan sengan bantuan guru atau teman. Lebih lanjut Vygotsky yakin bahwa
pemungsian mental lebih tinggi dalam percakapan dan kerjasama antara individu
sebelum ada pada diri individu tersebut.

5. Teori Motivasi
Menurut pandangan teori motivasi, struktur tujuan kooperatif menciptakan
suatu situasi dimana satu-satunya cara agar anggota kelompok dapat mencapai
tujuan pribadi mereka sendiri hanya apabila kelompok itu berhasil. Oleh karena
itu, untuk mencapai tujuan pribadi mereka, anggota kelompok harus membantu
teman kelompoknya dengan cara melakukan apa saja yang dapat membantu
kelompok itu berhasil, dan barangkali yang lebih penting adalah mendorong
teman kelompoknya untuk melakukan upaya maksimum. Dengan kata lain,
memberikan penghargaan kepada kelompok berdasarkan kepada penampilan
kelompok (atau gabungan dari penampilan individu) menciptakan struktur
penghargaan antar perorangan di dalam suatu kelompok sedemikian rupa
sehingga anggota-anggota kelompok itu akan saling memberkan penguatan sosial
(seperti pujian dan dorongan) sebagai respons terhadap upaya-upaya berorientasi
tugas teman kelompoknya.

6. Teori Kognitif
Sementara teori motivasi tentang pembelajaran kooperatif menekankan
pada seberapa jauh tujuan-tujuan kooperatif berpengaruh terhadap motivasi siswa
melakukan kerja akademik, teori-teori kognitif menekankan pengaruh bekerja
dalam suasana kebersamaan di dalam kelompok itu sendiri (apakah kelompok
mencoba suatu tujuan kelompok atau tidak). Teori-teori kognitif dapat
dikelompokkan dalam dua kategori sebagai berikut ini.
a. Teori perkembangan
Asumsi dasar teori perkembangan adalah bahwa interaksi antar siswa di
sekitar tugas-tugas yang sesuai meningkatkan penguasaan mereka terhadap
konsep-konsep yang sulit. Vygotsky mendefinisikan zone of proximal
development sebagai jarak “jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya
yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan
tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan
29

pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama


dengan teman sejawat yang lebih mampu.
b. Teori elaborasi kognitif.
Pandangan teori elaborasi kognitif amat berbeda dengan teori
perkembangan. Penelitian dalam psikologi kognitif telah menemukan bahwa
apabila informasi harus tinggal dalam memori, siswa harus terlibat dalam
beberapa macam kegiatan restruktur atau elaborasi kognitif atas suatu materi.
Sebagai missal, membuat ikhtisar atau outline dari suatu kuliah merupakan
kegiatan belajar yang lebih baik daripada sekedar membuat catatan, karena
ikhtisat atau outline menghendaki siswa mengorganisasi materi dan memilih
materi yang penting. Salah satu cara elaborasi yang paling efektif adalah
menjelaskan materi itu kepada orang lain.

2.3 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative


learning)
Menurut Widyantini (Nur, Salam, & Hasnawati, 2016) terdapat 6 langkah
utama di dalam pelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif. Langkah-
langkah tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative
learning)
Langkah Indikator Tindakan Guru
langkah 1 Menyampaikan tujuan Guru menyampaikan tujuan pembelajaran
dan memotivasi siswa dan mengkomunikasikan kompetensi dasar
yang akan dicapai serta memotivasi siswa
langkah 2 Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada siswa
Mengorganisasikan
langkah 3 siswa ke dalam Guru menginformasikan pengelompokkan
kelompok-kelompok siswa
belajar
langkah 4 Membimbing Guru memotivasi serta memfasilitasi kerja
kelompok belajar siswa dalam kelompok-kelompok belajar
langkah 5 Evaluasi Guru mengavaluasi hasil belajar tentang
materi pembelajaran yang telah
dilaksanakan
langkah 6 Memberikan Guru memberi penghargaan hasil elajar
penghargaan individual dan kelompok.
30

2.4 Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative learning)


Pada hakekatnya cooperative learning sama dengan kerja kelompok, oleh
sebab itu banyak guru yang mengatakan tidak ada sesuatu yang aneh dalam
cooperative learning, karena mereka menganggap telah terbiasa
menggunakannya. Walaupun cooperative learning terjadi dalam bentuk
kelompok. Isjoni (Afandi, Chamalah, & Wardani, 2013) menyatakan ada lima
unsur dasar yang dapat membedakan cooperative learning dengan kerja
kelompok, yaitu:
1. Positive Interdependence yaitu hubungan timbal balik yang didasari adanya
kepentingan yang sama atau perasaan diantara anggota kelompok dimana
keberhasilan seseorang merupakan keberhasilan yang lain pula atau
sebaliknya.
2. Interaction Face to face, yaitu interaksi yang langsung terjadi antar siswa
tanpa adanya perantara. Tidak adanya penonjolan kekuatan individu, yang
ada hanya pola interaksi dan perubahan yang bersifat verbal diantara siswa
yang ditingkatkan oleh adanya saling hubungan timbal balik yang bersifat
positif sehingga dapat mempengaruhi hasil pendidikan dan pengajaran.
3. Adanya tanggung jawab pribadi mengenai materi pelajaran dalam anggota
kelompok. Adanya tanggung jawab pribadi mengenai materi pelajaran dalam
anggota kelompok sehingga siswa termotivasi untuk membantu temannya,
karena kemampuan kelompok, dan memelihara hubungan kerja yang efektif.
4. Menampilkan keterampilan bekerja sama dalam memecahkan masalah
(proses kelompok).
Karakterisktik lain yang membedakan model pembelajaran kooperatif
dengan model pembelajaran yang lain, yaitu:
1. Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis;
2. Anggota-anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang
berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi;
3. Jika memungkinkan, masing-masing anggota kelompok kooperatif berbeda
suku, budaya, dan jenis kelamin;
4. Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu
(Kurnia, Ruskan, & Ibrahim, 2014).
31

Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif


sebagaimana dikemukakan Slavin (Afandi, Chamalah, & Wardani, 2013), yaitu:
1. Tujuan Kelompok; Cooperative learning menggunakan tujuan-tujuan
kelompok untuk memperoleh penghargaan kelompok. Penghargaan
kelompok diperoleh jika kelompok mencapai skor di atas kriteria yang
ditentukan. Keberhasilan kelompok didasarkan pada penampilan individu
sebagai anggota kelompok dalam menciptakan hubungan antar personal yang
saling mendukung, saling membantu, dan saling peduli.
2. Pertanggungjawaban Individu; Keberhasilan kelompok tergantung dari
pembelajaran induvidu dari semua anggota kelompok. Pertanggungjawaban
tersebut menitikberatkan pada aktivitas pada aktivitas anggota kelompok
yang saling membantu dalam belajar. Adanya pertanggungjawaban secara
individu juga menjadikan setiap anggota siap untuk menghadapi tes dan
tugas-tugas lainnya secara mandiri tanpa bantuan teman sekelompoknya.
3. Kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan; Cooperative learning
menggunakan metode skoring yang mencangkup nilai perkembangan
berdasarkan peningkatkan prestasi yang diperoleh siswa dari yang terdahulu.
Dengan menggunakan metode skoring ini setiap siswa baik yang berprestasi
rendah, sedang atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk
berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya.

2.5 Tujuan Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative learning)


Isjoni (Afandi, Chamalah, & Wardani, 2013) menyatakan ada tiga tujuan
pembelajaran kooperatif, yaitu:
1. Hasil Belajar Akademik. Dalam pembelajaran kooperatif meskipun
mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi peserta didik
atau tugas-tugas akademik penting lainnya. Pembelajaran kooperatif juga
bermanfaat bagi peserta didik yang berprestasi rendah, sedang dan tinggi
karena mereka dapat bekerja sama dalam menangani persoalan dengan saran
tutur sebaya.
2. Penerimaan Pendapat yang Beraneka Ragam. Tujuan lain model
pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang
berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan dan
32

ketidakmampuannya untuk bekerja sama dalam menangani persoalan


akademik. Dan melalui struktur penghargaan peserta didik saling menghargai
satu sama lain.
3. Pengembangan Keterampilan Sosial. Tujuan penting ketiga pembelajaran
kooperatif adalah mengajarkan kepada peserta didik keterampilan bekerja
sama dan kolaborasi. Keterampilanketerampilan sosial penting dimiliki oleh
peserta didik, sebab saat ini banyak anak muda yang masih kurang dalam
keterampilan sosial.
Prof. Ramayulis (Arisanti, 2017) menambahkan tujuan dari pembelajaran
kooperatif adalah penghargaan terhadap orang lain. Dengan pembelajaran
kooperatif para peserta didik dapat menghargai pendapat orang lain dan saling
membetulkan kesalahan secara bersama, mencari jawaban yang paling tepat dan
benar dengan mencari sumber-sumber pembelajaran mana saja seperti buku paket,
buku-buku yang ada di perpustakaan dan buku-buku pelajaran di internet dan
sumber lainnya untuk dijadikan pembantu dalam mencari jawaban yang baik dan
benar serta untuk memperoleh pemahaman terhadap materi pelajaran yang
disediakan dalam silabus. Menurut Surapranata (2010: 32) pada awalnya
pengembangannya, pembelajaran kooperatif dimaksudkan untuk mengembangkan
nilai demokrasi, aktivitas peserta didik, perilaku kooperatif dan menghargai
pluralism. Akan tetapi sebenarnya aspek akademis juga masuk di dalamnya
walaupun tidak tersirat.
Arends (Afandi, Chamalah, & Wardani, 2013) menyatakan setidaknya
terdapat tiga tujuan yang dapat dicapai dari pembelajaran kooperatif, yaitu:
1. Peningkatan kinerja prestasi akademik; Membantu peserta didik memahami
konsep-konsep yang sulit. Dengan strategi kooperatif diharapkan terjadi
interaksi antarpeserta didik untuk saling memberi pengetahuannya dalam
memecahkan suatu masalah yang disajikan guru sehingga semua peserta
didik akan lebih mudah memahami berbagai konsep.
2. Penerimaan terhadap keragaman (suku, sosial, budaya, kemampuan).
Membuat suasana penerimaan terhadap sesama peserta didik yang berbeda
latar belakang misalnya suku, sosial, budaya, dan kemampuan. Hal ini
memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik terlepas dari
33

latar belakang serta menciptakan kondisi untuk bekerjasama dan saling


ketergantungan positif satu sama lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
3. Ketrampilan bekerjasama atau kolaborasi dalam penyelesaian masalah.
Mengajarkan ketrampilan bekerjasama atau kolaborasi dalam memecahkan
permasalahan. Ketrampilan ini sangat penting bagi peserta didik sebagai
bekal untuk hidup bermasyarakat. Selain itu, peserta didik belajar untuk
saling menghargai satu sama lain.

2.6 Unsur-unsur Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative learning)


Menurut Roger dan David Johnson ada lima unsur dasar dalam
pembelajaran kooperatif, yaitu sebagai berikut:
1. Saling Ketergantungan Positif.
Saling ketergantungan positif menuntut adanya interaksi promotif yang
memungkinkan sesama siswa saling memberikan motivasi untuk meraih hasil
belajar yang optimal. Tiap siswa tergantung pada anggota lainnya karena tiap
siswa mendapat materi yang berbeda atau tugas yang berbeda, oleh karena itu
siswa satu dengan lainnya saling membutuhkan karena jika ada siswa yang tidak
dapat mengerjakan tugas tersebut maka tugas kelompoknya tidak dapat
diselesaikan.
2. Tanggung Jawab Perseorangan.
Pembelajaran kooperatif juga ditujukan untuk mengetahui penguasaan siswa
terhadap materi pelajaran secara individual. Hasil penilaian individual tersebut
selanjutnya disampaikan guru kepada kelompok agar semua kelompok dapat
mengetahui siapa anggota kelompok yang memerlukan bantuan dan siapa anggota
kelompok yang dapat memberikan bantuan. Karena tiap siswa mendapat tugas
yang berbeda secara otomatis siswa tersebut harus mempunyai tanggung jawab
untuk mengerjakan tugas tersebut karena tugas setiap anggota kelompok
mempunyai tugas yang berbeda sesuai dengan kemampuannya yang dimiliki
setiap individu.
3. Interaksi Tatap Muka.
Interaksi tatap muka menuntut para siswa dalam kelompok dapat saling
bertatap muka sehingga mereka dapat melalukan dialog, tidak hanya dengan guru,
tetapi juga dengan sesama siswa. Interaksi semacam ini memungkinkan siswa
34

dapat saling menjadi sumber belajar sehingga sumber belajar lebih bervariasi dan
ini juga akan lebih memudahkan siswa dalam belajar. Adanya tatap muka, maka
siswa yang kurang memiliki kemampuan harus dibantu oleh siswa yang lebih
mampu mengerjakan tugas individu dalam kelompok tersebut, agar tugas
kelompoknya dapat terselesaikan.
4. Komunikasi antar Anggota Kelompok.
Dalam pembelajaran kooperatif keterampilan sosial seperti tenggang rasa,
sikap sopan terhadap teman, mengkritik ide dan bukan mengkritik teman, berani
mempertahan pikiran logis, tidak mendominasi orang lain, mandiri dan berbagai
sifat lain yang bermanfaat dalam menjalin hubungan antar pribadi sengaja
diajarkan dalam pembelajaran kooperatif ini. Unsur ini juga menghendaki agar
para siswa dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi.Sebelum
menugaskan siswa dalam kelompok, guru perlu mengajarkan cara-cara
berkomunikasi, karena tidak semua siswa mempuanyai keahlian mendengarkan
dan berbicara. Keberhasilan suatu kelompok tergantung pada kesediaan para
anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk
mengutarakan pendapat mereka. Adakalanya siswa perlu diberitahu secara jelas
mengenai cara menyanggah pendapat orang lain tanpa harus menyinggung
perasaan orang lain.
5. Evaluasi Proses Kelompok.
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk
mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar
selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif. Waktu evaluasi ini tidak perlu
diadakan setiap kali ada kerja kelompok, tetapi bisa diadakan selang beberapa
waktu setelah beberapa pembelajar terlibat dalam kegiatan pembelajaran
cooperative learning.
Unsur-unsur dalam pembelajaran kooperatif menurut Lungdren (Suparmi,
2012) sebagai berikut:
1. Para siswa harus memiliki pandangan bahwa mereka adalah senasib.
2. Para siswa harus memiliki tanggung jawab siswa lain dalam kelompoknya
dalam mempelajari materi yang dihadapi.
3. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka mempunyai tujuan yang sama.
35

4. Para siswa berbagi tugas dan tanggung jawab diantara para anggotanya.
5. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut
berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.
6. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh
keterampilan bekerja sama selama belajar.
7. Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual
materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

2.7 Prinsip Dasar Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative learning)


Berdasarkan berbagai pengamatan terhadap pembelajaran, mengkaji dan
menyimpulkan temuan-temuan, ditemukan beberapa prinsip dasar atau dalil yang
dapat dirumuskan berkenaan dengan model pembelajaran kooperatif (Syaodih,
2007), yaitu:
1. Belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif dapat
meningkatkan keterampilan sosial siswa.
2. Penguasaan materi pelajaran lebih meningkat dengan menggunakan
pembelajaran kooperatif.
3. Pembelajaran yang menggunakan kegiatan kelompok yang bervariasi dapat
meningkatkan motivasi belajar siswa.
4. Kegiatan berkelompok lebih efektif jika pengelompokkan dilakukan dengan
kegiatan yang kreatif.
5. Penguasaan siswa dalam materi pelajaran meningkat melalui penggunaan
kegiatan pembelajaran yang mengaktifkan siswa. Siswa lebih cepat
menyesuaikan diri dengan kegiatan pembelajaran bila didahului dengan
langkah orientasi.
6. Wawasan pengetahuan siswa lebih luas melalui penggunaan kegiatan
eksplorasi.
7. Penguasaan pengetahuan siswa lebih kuat melalui kegiatan pendalaman dan
penguatan.
8. Penyimpulan diakhir pelajaran memperkuat pengusaan siswa dalam materi
yang dipelajari.
36

2.8 Hambatan dan Optimalisasi Pelaksanaan


Ada beberapa hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan model
pembelajaran kooperatif (Syaodih, 2007), yaitu: Pertama, karena belum biasa
guru tidak langsung dapat melaksanakan model pembelajaran kooperatif secara
efektif, mereka membutuhkan penyesuaian atau latihan dalam pertemuan pertama,
tetapi pada pertemuan berikutnya dapat lebih efektif. Kedua, karena belum biasa
para siswa juga membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan kegiatan
yang baru. Guru dituntut untuk lebih meningkatkan disiplin belajar terutama
kebiasaan siswa berbicara dan bekerja lebih efisien. Ketiga, kegiatan-kegiatan
kelompok yang mengaktifkan siswa membutuhkan waktu belajar yang relatif
lebih lama. Masalah ini dapat diatasi dengan meningkatkan efisiensi penggunaan
waktu, penentuan target sasaran dan waktu untuk setiap kegiatan, pengawasan dan
perintah untuk segera mengakhiri sesuatu kegiatan dan berpindah ke kegiatan
lainnya. Keempat, adalah kelengkapan media dan sumber. Masalah ini merupakan
masalah umum yang dihadapi oleh sekolah, dapat diatasi dengan meningkatkan
kerjasama dengan unsur pimpinan dan komite sekolah, dan peningkatan upaya
guru mengembangkan sendiri media dan sumber belajar.

2.9 Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembelajaran Kooperatif


(Cooperative learning)
Metode pembelajaran cooperative learning adalah salah satu metode
pembelajaran yang menempatkan peserta didik sebagai subjek pembelajaran
(student oriented). Dengan suasana kelas yang demokratis, yang saling
membelajarkan memberi kesempatan peluang lebih besar dalam memberdayakan
potensi peserta didik secara maksimal. Metode pembelajaran cooperative learning
akan dapat memberikan nunasa baru di dalam pelaksanaan pembelajaran. Karena
pembelajaran cooperative learning dan beberapa hasil penelitian baik pakar
pendidikan dalam maupun luar negeri telah memberikan dampak luas terhadap
keberhasilan dalam proses pembelajaran. Dampak tersebut tidak saja kepada guru
akan tetapi juga pada peserta didik, dan interaksi edukatif muncul dan terlihat
peran dan fungsi dari guru maupun peserta didik.
Peran guru dalam pembelajaran cooperative learning sebagai fasilitator,
moderator, organisator dan mediator terlihat jelas. Kondisi ini peran dan fungsi
37

peserta didik terlihat, keterlibatan semua peserta didik akan dapat memberikan
suasana aktif dan pembelajaran terkesan demokratis, dan masing-masing peserta
didik punya peran dan akan memberikan pengalaman belajarnya kepada peserta
didik lain (Tambak, 20017). Beberapa keuntungan yang diperoleh baik oleh guru
maupun peserta didik di dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan metode
cooperative learning (Tambak, 20017), yaitu:
1. Melalui cooperative learning menimbulkan suasana yang baru dalam
pembelajaran. Hal ini dikarenakan sebelumnya hanya dilaksanakan model
pembelajaran secara konvensional yaitu ceramah dan tanya jawab. Metode
tersebut ternyata kurang memberi motivasi dan semangat kepada peserta
didik untuk belajar. Dengan digunakannva model cooperative learning, maka
tampak suasana kelas menjadi lebih hidup dan lebih bermakna.
2. Membantu guru dalam mengidentifikasikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi
dan mencarikan alternatif pemecahannya. Dari hasil penelitian tindakan
pelaksanaan cooperative learning dengan diskusi kelompok ternyata mampu
membuat peserta didik terlibat aktif dalam kegiatan belajar.
3. Penggunaan cooperative learning merupakan suatu metode yang efektif untuk
mengembangkan program pembelajaran terpadu. Dengan cooperative
learning peserta didik tidak hanya dapat mengembangkan kemampuan aspek
kognitif saja melainkan mampu mengembangkan aspek afektif dan
psikomotor.
4. Dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan reflektif. Hal
ini dikarenakan kegiatan pembelajaran ini lebih banyak berpusat pada peserta
didik, sehingga peserta didik diberi kesempatan untuk turut serta dalam
diskusi kelompok. Pemberian motivasi dari teman sebaya ternyata mampu
mendorong semangat peserta didik untuk mengembangkan kemampuan
berpikirnya. Terlebih lagi bila pembahasan materi yang sifatnya problematik
atau yang bersifat kontroversial, mampu merangsang peserta didik me-
ngembangkan kemampuan berpikirnya.
5. Mampu mengembangkan kesadaran pada diri peserta didik terhadap
permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di lingkungan sekitarya.
Dengan bekerja kelompok maka timbul adanya perasaan ingin membantu
38

peserta didik lain yang mengalami kesulitan sehingga mampu me-


ngembangkan sosial skill peserta didik. Disamping itu pula dapat melatih
peserta didik dalam me-ngembangkan perasaan empati maupun simpati pada
diri peserta didik.
6. Metode cooperative learning mampu melatih peserta didik dalam
berkomunikasi seperti berani mengemukakan pendapat, berani di kritik,
maupun menghargai pendapat orang lain. Komunikasi interaksi yang terjadi
antara guru dengan peserta didik maupun peserta didik dengan peserta didik
menimbulkan dialog yang akrab dan kreatif.
Adapun kelebihan cooperative learning menurut Jarolimek & Parker (dalam
Isjoni, 2009:24) adalah :
1. Saling ketergantungan yang positif,
2. Adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu,
3. Siswa dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas,
4. Suasana kelas yang rileks dan menyenangkan,
5. Terjalinnya hubungan yang hangat dan bersahabat antara siswa dengan guru,
6. Memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman emosi
yang menyenangkan.
Di samping kelebihan, metode cooperative learning juga memiliki
kelemahan. Kelemahan metode cooperative learning (Tambak, 20017), yaitu:
1. Kemungkinan akan terjadi ketidakstabilan peserta didik di kelas. Akibatnya
guru khawatir bahwa akan terjadi keriuhan di kelas karena peserta didik
kurang teratur bekerja dalam kelompok. Kondisi seperti ini dapat diatasi
dengan guru mengkondisikan kelas atau pembelajaran dilakuakan di luar
kelas seperti di laboratorium, aula atau di tempat yang terbuka.
2. Banyak peserta didik tidak senang apabila disuruh bekerja sama dengan yang
lain. Peserta didik yang tekun merasa harus bekerja melebihi peserta didik
yang lain dalam grup mereka, sedangkan peserta didik yang kurang mampu
merasa minder ditempatkan dalam satu grup dengan peserta didik yang lebih
pandai. Peserta didik yang tekun merasa temannya yang kurang mampu
hanya menumpang pada hasil jerih payahnya. Hal ini tidak perlu
dikhawatirkan sebab dalam cooperative learning bukan kognitifnya saja yang
39

dinilai tetapi dari segi afektif dan psikomotoriknya juga dinilai seperti
kerjasama diantara anggota kelompok, keaktifan dalam kelompok serta
sumbangan nilai yang diberikan kepada kelompok.
3. Perasaan was-was pada anggota kelompok akan hilangnya karakteristik atau
keunikan pribadi peserta didik karena harus menyesuaikan diri dengan
kelompok. Karakteristik pribadi tidak luntur hanya karena bekerjasama
dengan orang lain, justru keunikan itu semakin kuat bila disandingkan dengan
orang lain.
4. Banyak peserta didik takut bahwa pekerjaan tidak akan terbagi rata atau
secara adil, bahwa satu orang harus mengerjakan seluruh pekerjaan tersebut.
Dalam cooperative learning pembagian tugas rata, setiap anggota kelompok
harus dapat mempresentasikan apa yang telah didapatnya dalam kelompok
sehingga ada pertanggungjawaban secara individu.

2.10 Tipe-tipe Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative learning)


1. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
a. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Menurut Slavin (Sari, Relmasira, & Hardini, 2019) pembelajaran
Cooperative learning Tipe Jigsaw menggalakkan siswa berinteraksi secara aktif
dan positif dalam kelompok dan membolehkan pertukaran ide sendiri dalam
suasana yang tidak terancam, sesuai dengan falsafah konstruktivisme. Dalam
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw para siswa bekerja dalam tim yang heterogen,
para siswa tersebut diberikan tugas untuk membaca beberapa bab atau unit dan
diberikan “lembar ahli” yang dibagi atas topik-topik yang berbeda, yang harus
menjadi fokus perhatian masing-masing anggota tim saat mereka membaca.
Setelah semua siswa selesai membaca, siswa-siswa yang dari tim yang bereda
yang memiliki fokus topik yang sama bertemu dalam “kelompok ahli” untuk
mendiskusikan topic mereka. Setelah itu para ahli kembali ke timnya secara
bergantian mengajari teman satu timnya mengenai topik mereka (Afandi,
Chamalah, & Wardani, 2013).
b. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Menurut Zaini (2008:56) langkah-langkah dalam pembelajaran kooperatif
tipe jigsaw adalah :
40

1) Membagi peserta didik menjadi beberapa kelompok;


2) Tiap kelompok mendapatkan materi yang berbeda-beda pada satu pokok
bahasan yang sama;
3) Setiap kelompok mendapat tugas membaca dan memahami materi yang telah
diberikan;
4) Setiap kelompok mengirimkan anggotanya ke kelompok lain untuk
menyampaikan apa yang telah mereka pelajari di kelompok;
5) Kembalikan suasana kelas seperti semula kemudian tanyakan sekiranya ada
persoalanpersoalan yang tidak terpecahkan dalam kelompok;
6) Beri peserta didik beberapa pertanyaan untuk mengecek pemahaman mereka
terhadap materi.

2. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Cooperative Integrated Reading


And Composition (CIRC)
a. Pengertian Model Pembelajaran Cooperative Integrated Reading And
Composition (CIRC)
Cooperative Integrated Reading And Composition (CIRC) atau kooperatif
terpadu membaca dan menulis yaitu suatu model pembelajaran menyeluruh
dengan cara membaca dan menulis yang melibatkan kerja sama murid dalam
suatu kelompok dimana kesuksesan kelompok tergantung pada kesuksesan
masing-masing individu dalam kelompok tersebut (Afandi, Chamalah, &
Wardani, 2013). Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran CIRC
menekankan pada kemampuan membaca kelompok untuk menemukan ide suatu
wacana/materi dari topik pembelajaran yang sedang dibahas. Seluruh siswa dalam
kelompok belajar harus terlibat dalam kegiatan belajar kelompok, terutama siswa
harus terlibat membaca dalam kelompok yang bertujuan untuk menemukan ide
dari suatu materi pembelajaran yang sedang dibahas, sehingga siswa mampu
memahami topik tersebut dan mampu berpikir kritis (Christina & Kristin, 2016).
Cooperative Integrated Reading And Composition (CIRC) merupakan program
komprehensif untuk mengajarkan membaca dan menulis pada sekolah dasar pada
tingkat yang lebih dan juga pada sekolah menengah.
b. Langkah-langkah Model Pembelajaran Cooperative Integrated Reading And
Composition (CIRC)
41

Langkah-langkah dalam proses pembelajaran yang menggunakan


Cooperative Integrated Reading And Composition (CIRC) (Afandi, Chamalah, &
Wardani, 2013) adalah :
1) Guru membentuk kelompok yang anggotanya empat atau lima orang secara
heterogen (berbede jenis kelamin, latar belakang, status sosial, kemampuan
akademik dan lainlain).
2) Guru memberikan wacana sesuai dengan topik atau materi yang akan
diajarkan.
3) Siswa bekerja sama saling membacakan dan menemukan ide pokok dan
memberikan tanggapan terhadap wacana dan ditulis pada selembar kertas.
4) Perhatian siswa tehadap pelajaran guru, aktifitas siswa terhadap situasi
kelompok, membantu teman yang kesulitan, kemampuan siswa bertanya
materi yang belum jelas, kemampuan siswa mengemukakan pendapat, siswa
mampu memberi sanggahan dan tanggapan, keberanian siswa
mempresentasikan hasil diskusinya, membuat kesimpulan sendiri,
kemampuan siswa dalam mengerjakan soal.
c. Kelebihan dan Kekurangan Model pembelajaran Cooperative Integrated
Reading And Composition (CIRC)
Kelebihan pembelajaran kooperatif tipe CIRC (Christina & Kristin, 2016)
adalah (1) CIRC sangat tepat untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam
menyelesaikan soal pemecahan masalah, (2) dominasi guru dalam pembelajaran
berkurang, (3) siswa termotivasi pada hasil secara teliti, karena bekerja dalam
kelompok, (4) para siswa dapat memahami makna soal dan saling mengecek
pekerjaannya, (5)membantu siswa yang lemah, (6) meningkatkan hasil belajar
khususnya dalam menyelesaikan soal yang berbentuk pemecahan masalah.
Kelemahan model CIRC menurut Slavin (Christina & Kristin, 2016) yaitu model
pembelajaran ini hanya dapat digunakan mata pelajaran yang menggunakan
bahasa sehingga mata pelajaran seperti matematika dan pelajaran lain yang
menggunakan prinsip menghitung tidak bisa menggunakan model pembelajaran
ini karena model ini lebih menekan pada membaca, menulis, dan seni bahasa.

3. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT


a. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
42

Model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT),


yaitu model pembelajaran yang dikembangkan untuk melibatkan banyak siswa
dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengukur
pemahaman mereka terhadap materi pelajaran tersebut (Nur, Salam, & Hasnawati,
2016). Numbered Head Together (NHT) atau penomoran berfikir bersama adalah
merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi
pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional
(Afandi, Chamalah, & Wardani, 2013). Menurut Lie (Afandi, Chamalah, &
Wardani, 2013) Numbered Head Together (NHT) memberikan kesempatan
kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban
yang paling tepat. NHT ini juga mendorong siswa untuk meningkatkan semangat
kerjasama mereka. NHT ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan
untuk semua tingkatan usia anak didik.
b. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Menurut Suyatno (Afandi, Chamalah, & Wardani, 2013) tipe NHT
(Numbered Head Together) adalah salah satu tipe dari pembelajaran kooperatif
dengan langkah sebagai berikut:
1) Mengarahkan.
2) Membuat kelompok heterogen dan tiap siswa memiliki nomer tertentu.
3) Memberikan persoalan materi bahan ajar (untuk tiap kelompok sama tapi
untuk tiap siswa tidak sama sesuai dengan nomor siswa, tiap siswa dengan
nomor sama mendapat tugas yang sama.
4) Mempresentasikan hasil kerja kelompok dengan nomor siswa yang sama
sesuai tugas masing-masing sehingga terjadi diskusi kelas.
5) Mengadakan kuis individual dan membuat skor perkembangan tiap siswa.
6) Mengumumkan hasil kuis dan memberikan reward.
Menurut Trianto (Afandi, Chamalah, & Wardani, 2013) sebagai pengganti
pertanyaan langsung kepada seluruh kelas, guru menggunakan 4 langkah struktur
Number Heads Together yaitu :
1) Langkah -1 : Penomoran; Guru membagi siswa ke dalam kelompok
beranggotakan 3 sampai 5 orang secara heterogen dan kepada setiap anggota
kelompok diberi nomor 1 sampai.
43

2) Langkah -2 : Pengajuan pertanyaan; Guru mengajukan pertanyaan kepada


siswa. Pertanyaan dapat bervariasi dan spesifik dalam bentuk kalimat tanya.
3) Langkah -3 : Berpikir Bersama; Siswa menyatakan pendapat terhadap
jawaban pertanyaan itu dan meyakinkan tiap anggota dalam timnya
mengetahui jawaban tersebut.
4) Langkah -4 : Pemberian Jawaban; Guru menyebut nomor tertentu kemudian
siswa yang nomornya dipanggil.
c. Kelebihan dan kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Menurut a’la (2010: 100) pembelajaran kooperatif tipe NHT mempunyai
kelebihan dan kelemahan sebagai berikut:
1) Kelebihan
a) Setiap siswa dalam belajar menjadi siap semua.
b) Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh.
c) Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai.
2) Kelemahan
a) Kemungkinan nomor yang sudah dipanggil, dipanggil lagi oleh guru.
b) Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru.

4. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD


a. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Menurut Slavin (Afandi, Chamalah, & Wardani, 2013) pembelajaran
Student Team Achievement Divisions ( STAD ) merupakan salah satu dari tipe
pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, sehingga tipe ini dapat digunakan
oleh guru-guru yang baru mulai menggunakan pembelajaran kooperatif. Dalam
pembelajaran kooperatif tipe STAD siswa perlu ditempatkan dalam kelompok
belajar beranggotakan empat orang yang merupakan campuran menurut tingkat
kinerja, jenis kelamin, dan suku. Guru menyajikan pelajaran kemudian siswa
bekerja di kelompok mereka untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok
telah menguasai materi tersebut. Menurut Isjoni (Menanti & Rahman, 2015)
model pembelajaran Student Teams Achievement Division (STAD) merupakan
salah satu model pembelajaran koperatif yang berorientasi kepada siswa, dimana
dalam pembelajaran ini siswa belajar dan bekerjasama secara kelompok dengan
saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk
44

mengemukakan gagasannya dengan menyampaikan pendapat mereka secara


kelompok.). Sehingga siswa saling beinteraksi dan membantu temannya guna
mendapatkan nilai kelompok yang bagus, dan siswa lebih bersemangat dalam
mengikuti pelajaran.
b. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Menurut Rusman (Menanti & Rahman, 2015) langkah-langkah model
pembelajaran kooperatif tipe STAD, yaitu:
1) Penyampaian tujuan dan motivasi : Guru menyampaikan tujuan yang ingin
dicapai pada pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar.
2) Pembagian kelompok: Siswa dibagi dibagi kebeberapa kelompok, setiap
kelompok berjumlah 4-5 orang siswa memprioritaskan heterogenitas.
3) Presentasi dari guru: Guru menyampaikan materi pelajaran dengan terlebih
dahulu menjelaskan tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pertemuan
tersebut, serta pentingnya pokok bahasan tersebut dipelajari.
4) Kegiatan belajar dalam tim atau kerja tim: Siswa belajar dalam kelompok
yang telah dibentuk, guru menyiapkan lembaran kerja sebagai pedoman bagi
kerja kelompok, sehingga semua anggota menguasai dan masing-masing
member konstribusi. Selama tim bekerja, guru melakukan pengamatan,
memberikan bimbingan, dorongan dan bantuan bila diperlukan. Kerja tim ini
merupakan ciri terpenting di STAD.
5) Kuis (evaluasi) : Guru mengevaluasi hasil belajar melalui pemberian kuis
tentang materi yang dipelajari dan juga melakukan penilaian terhadap
persentasi hasil kerja masing-masing kelompok. Siswa diberikan kursi secara
individual dan tidak dibenarkan bekerjasama. Ini dilakukan untuk menjamin
siswa secara individu betanggung jawab kepada diri sendiri dalam memahami
bahan ajar tersebut. Guru menentapkan skor batas penguasaan untuk setiap
soal.
6) Penghargaan prestasi Tim setelah pelakasanaan kuis, guru memeriksa hasil
kerja siswa dan diberi nilai dengan rentang 0-100.
c. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Menurut Rusman (Menanti & Rahman, 2015)Pembelajaran kooperatif tipe
STAD mempunyai beberapa keunggulan diantaranya sebagai berikut:
45

1) Siswa bekerja sama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi


norma-norma kelompok.
2) Siswa aktif membantu dan memotivasi semangat untuk berhasil bersama.
3) Aktif berperan sebagai tutor sebaya untuk lebih meningkatkan keberhasilan
kelompok.
Isjoni (Afandi, Chamalah, & Wardani, 2013) juga mengemukakan
keunggulan dari model pembelajaran kooperatif tipe STAD, yaitu:
1) Menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling
memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna
mencapai prestasi yang maksimal dalam kegiatan kelompok.
2) Setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan sumbangan
skor maksimal bagi kelompoknya berdasarkan skor tes yang diperolehnya
berdasarkan skor perkembangan individu.
Selain keunggulan tersebut pembelajaran kooperatif tipe STAD juga
memiliki kekurangan yaitu menurut Trianto (Afandi, Chamalah, & Wardani,
2013) adalah harus adanya pengaturan tempat duduk yang baik dalam kelompok,
hal ini dilakukan untuk menunjang keberhasilan pembalajaran kooperatif apabila
tidak ada pengaturan tempat duduk dapat menimbulkan kekacauan yang
menyebabkan gagalnya pembalajaran pada kelas.

5. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT


a. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT
Menurut Kurniasih ( (Solihah, 2016) “Teams Games Tournament (TGT)
adalah salah satu tipe atau metode pembelajaran kooperatif yang mudah di
terapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status,
melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan.
Sedangkan menurut Kusumandari (Solihah, 2016), bahwa: “Teams Games
Tournament (TGT) merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang
menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok belajar yang beranggotakan 5-6
orang siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin dan suku/ras yang
berbeda”. Menurut Slavin (Solihah, 2016), “Teams Games Tournament (TGT)
pada awalnya dikembangkan oleh David DeVries dan Keith Edwards, ini
merupakan metode pembelajaran pertama dari Johns Hopkins”. Model
46

pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) adalah metode berkelompok yang


mudah di terapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan
status.
b. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT
Menurut Sutirman (Solihah, 2016), langkah-langkah model pembelajaran
TGT ialah:
1) Persentasi materi
Pada awal pembelajaran guru hendaknya memberikan motivasi, apersepsi dan
menyampaikan tujuan pembelajaran. Kemudian guru menyampaikan materi
pelajaran yang sesuai dengan indikator kompetensi yang harus dikuasai oleh
siswa. Penyampaian materi dapat secara langsung melalui ceramah oleh guru,
dapat pula dengan paket media pembelajaran audiovisual yang berisi materi
yang sesuai.
2) Pembentukan kelompok
Setelah materi disampaikan oleh guru di depan kelas, selanjutnya dibentuk
kelompok-kelompok siswa. Kelompok terdiri dari 4-5 orang yang bersifat
heterogen dalam hal prestasi belajar, jenis kelamin, suku, maupun lainnya.
Setiap kelompok diberi lembar kerja atau materi dan tugas lainnya untuk
didiskusikan dan dikerjakan oleh kelompok. Kesuksesan setiap anggota
kelompok akan menjadi faktor keberhasilan kelompok.
3) Game turnamen
Setelah siswa belajar dan berdiskusi dalam kelompok, selanjutnya dilakukan
permainan lomba (turnamen) yang bersifat akademik untuk mengukur
penguasaan materi oleh siswa. Permainan yang dilakukan adalah semacam
lomba cerdas cermat, dengan peserta perwakilan dari setiap kelompok. Soal
dapat diberikan dalam bentuk pertanyaan lisan atau dalam bentuk kartu soal
yang dipilih secara acak. Teknis pelaksanaan permainan turnamen ini adalah
dimulai dengan guru merangking siswa dalam setiap kelompok. Selanjutnya
menyiapkan meja turnamen sebanyak jumlah anggota dalam kelompok. Jika
tiap kelompok beranggotakan 4 orang, maka disiapkan empat meja. Meja
pertama diisi oleh siswa dengan rangking pertama di setiap kelompok, meja
kedua diisi oleh siswa dengan rangking kedua di setiap kelompok, meja
47

ketiga diisi oleh siswa dengan rangking ketiga di setiap kelompok, meja
keempat diisi oleh siswa dengan rangking empat di setiap kelompok. Setiap
siswa dapat berpindah meja berdasarkan prestasi yang diperolehnya pada
turnamen. Siswa yang memperoleh nilai tertinggi pada setiap meja naik ke
meja yang lebih tinggi tingkatnya. Siswa yang peringkat kedua tetap di meja
semula, sedangkan siswa dengan nilai terendah turun ke meja yang lebih
rendah tingkatnya.
4) Penghargaan kelompok
Perolehan skor anggota kelompok dirata-rata menjadi skor kelompok.
Individu dan kelompok yang mencapai kriteria skor tertentu mendapat
penghargaaan.
c. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT
Beberapa keuntungan yang terdapat dalam penerapan model kooperatif tipe
TGT (Erlinda, 2017) yaitu
1) Kelompok mempunyai buah pikiran yang lebih kaya dibandingkan dengan
yang dimiliki perorangan,
2) Anggota kelompok akan termotivasi dengan kehadiran anggota kelompok
lain,
3) Anggota yang pemalu akan bebas mengemukakan pikirannya dalam
kelompok kecil,
4) Dapat menghasilkan keputusan yang lebih baik,
5) Partisipasi dalam diskusi dapat meningkatkan pemahaman diri sendiri
maupun orang lain.
Di dalam TGT juga terdapat kelemahan di antaranya: bagi guru sulitnya
mengelompokkan siswa yang mempunyai kemampuan heterogen dari segi
akademis, serta adanya siswa berkemampuan tinggi yang kurang terbiasa dan sulit
memberikan penjelasan kepada temannya.
48

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Model pembelajaran kooperatif (cooperative learning) adalah model
pembelajaran dengan menempatkan siswa ke dalam kelompok kecil untuk
menumbuhkan kerja sama siswa, motivasi siswa dalam belajar, serta
kemampuan siswa menyelesikan masalah secara berkelompok demi
tercapainya tujuan pembelajaran yang akan dicapai dengan berbagai aktivitas
belajar yang di lakukan baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
2. Teori-teori yang mendukung dan melandasi munculnya model pembelajaran
kooperatif diantaranya david ausubel, piaget, jerome bruner, vygotsky , teori
motivasi, teori kognitif.
3. Langkah-langkah dari model pembelajaran kooperatif diantaranya,
menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa, menyajikan informasi,
mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar,
membimbing kelompok belajar, evaluasi dan memberikan penghargaan
4. Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif diantaranya Positive
Interdependence Interaction Face to face, tanggung jawab pribadi dalam
kelompok, keterampilan bekerja sama dalam memecahkan masalah (proses
kelompok).
5. Tujuan Model Pembelajaran Kooperatif diantaranya hasil belajar akademik,
penerimaan pendapat yang beraneka ragam, pengembangan keterampilan
sosial.
6. Kelebihan dari cooperative learning diantaranya
a. Saling ketergantungan yang positif,
b. Adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu,
c. Siswa dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas,
d. Suasana kelas yang rileks dan menyenangkan,
e. Terjalinnya hubungan yang hangat dan bersahabat antara siswa dengan guru,
f. Memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman emosi
yang menyenangkan.
49

7. Kelemahan cooperative learning diantaranya:


a. Kemungkinan akan terjadi ketidakstabilan peserta didik di kelas.
b. Banyak peserta didik tidak senang apabila disuruh bekerja sama dengan yang
lain.
c. Perasaan was-was pada anggota kelompok akan hilangnya karakteristik atau
keunikan pribadi peserta didik karena harus menyesuaikan diri dengan
kelompok.
d. Banyak peserta didik takut bahwa pekerjaan tidak akan terbagi rata atau
secara adil, bahwa satu orang harus mengerjakan seluruh pekerjaan tersebut.

3.2 Saran
Pembelajaran kooperatif muncul karena adanya perkembangan dalam sistem
pembelajaran yang ada. Pembelajaran kooperatif menggantikan sistem
pembelajaran yang individual. Sehingga diharapkan hendaknya model ini
digunakan sebagai model dalam pembelajaran yang terjadi di dalam proses belajar
mengajar agar siswa lebih aktif (Student Center) dan lebih menitik beratkan
terjadi interaksi antar siswa tanpa adanya perantara. Selain itu, model kooperatif
dapat dikembangkan dengan berbagai tipe yang terdapat pada kooperatif maupun
diluar kooperatif sehingga peserta didik dapat memperoleh ilmu dengan metode
yang lebih heterogen dan lebih efektif.
50

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, M., Chamalah, E., & Wardani, O. P. (2013). Model dan Metode
Pemeblajaran Di Sekolah. Semarang: UNISSULA Press.
Arisanti, D. (2017). Model Pembelajaran Kooperatif pada Pendidikan Agama
Islam. Jirnal Al-Hikmah , 84.
Christina, L. V., & Kristin, F. (2016). Efektivitas Model Pembelajaran Tipe Group
Investigation (GI) dan Cooperative Integrated Reading And Composition
dalam Meningkatkan Kreativitas Berpikir Kritis dan Hasil Belajar IPS
Siswa Kelas 4. Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan , 221.
Erlinda, N. (2017). Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa melalui Model
Kooperatif Tipe team Game Tournament pada Mata Pelajaran Fisika Kelas
X di SMK Dharma Bakti Lubuk Alung. Tadris: Jurnal Keguruan dan Ilmu
Tarbiyah , 2 (1), 50.
Ibrahim, M. (2000). Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press.
Kurnia, R. D., Ruskan, E. L., & Ibrahim, A. (2014). Pengembangan Model
Pembelajaran Berbasis Cooperative learning dalam Meningkatkan Motivasi
elajar Mahasiswa dan Peningkatan Mutu Lulusan Alumni Fasilkom Unsri
Berbasis E-Learnig (studi kasus: matakuliah pemrograman web). Jurnas
Sistem Informasi (JSI) , XI (1), 647.
Lie, A. (2002)Cooperative Learning Mempraktikan Cooperative Learning di
Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo
Menanti, H., & Rahman, A. A. (2015). Perbandingan Kemampuan Pemahamann
Konsep Matematika Siswa menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe Student Teams Achievement Division (STAD) dengan Team Game
Tournament (TGT) di SD Islam Khalifah Annizam. Jurnal Bina Gogik , 2
(1), 39.
Nur, M. I., Salam, M., & Hasnawati. (2016). Pengaruh Penerapan Model
Pembelajaran kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) Terhadap
Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Tongkunio.
JUrnal Penelitian Pendidikan Matematika , 4 (1), 102.
Rosyidah, U. (2016). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VIII SMP Negeri 6 Metro.
Jurnal SAP , I (2), 117.
Sari, A. W., Relmasira, S. C., & Hardini, A. T. (2019). Upaya Peningkatan
kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Melalui Model pembelajaran
Cooperative learning tipe Jigsaw. Jurnal of Education Action Research , 3
(2), 73.
Silaban, B. (2006). Implikasi Konstruktivis terhadap Pembelajaran Kooperatif.
Jurnal Darma Agung , IX (1), 15.
51

Solihah, A. (2016). Pengaruh model Pembelajaran Teams Games Tournament


(TGT) terhadap Hasil Belajar Matematika. Jurnal SAP , 1 (1), 48.
Suparmi. (2012). Pembelajaran Kooperatif dalam Pendidikan Mutikultural. Jurnal
Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi , 1 (1), 114.
Surapranata, S. (2010). Model-model Pembelajaran. Jakarta: Kementrian
Pendidikan Nasional.
Syaodih, E. (2007). Pengembangan Modep Pembelajaran Kooperatif untuk
Meningkatkan Keterampilan Sosial. Jurnal Pendidikan dan Budaya Educare
, 5 (1), 18.
Syarifuddin, A. (2011). Model Pembelajaran Cooperative learning Tipe Jigsaw
dalam Pembelajaran. Ta'bid , XVI (02), 212.
Tambak, S. (20017). Metode Cooperative learning dalam Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam. Jurnal Al-hikamh , 14 (1), 8.
52

MAKALAH
MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH

KELOMPOK III

MUH. SAID - 1801513010


ABDUL AZIS - 1801513006
SENIWATI - 1801513020

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO
JUNI 2019
53

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................... 53
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Batasan Masalah ............................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Masalah Matematika .................................................................... 3
2.2 Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Masalah ..................... 6
2.3 Lantasan Filosofi dan Teoritis Lahirnya Model Pembelajaran
Berbasis Masalah .......................................................................... 7
2.4 Karakteristik Model Pembelajaran Berbasis Masalah ................. 9
2.5 Komponen-komponen Model Pembelajaran Berbasis Masalah .. 11
2.6 Sintaks Model Pembelajaran Berbasis Masalah ........................... 12
2.7 Kemampuan Pemecahan Masalah ................................................. 14
2.8 Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Berbasis
Masalah ........................................................................................ 18
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................... 21
3.2 Saran .............................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 23
54

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudaayan manusia yang
dinamis serta perkembangan yang baik. Menurut Trianto (2009: 5) bahwa
pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak hanya mempersiapkan para
siswanya untuk suatu profesi atau jabatan tetapi untuk menyelesaikan masalah-
masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Kimble dan Garmezi
dalam (Trianto, 2009: 9) belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif
permanen, terjadi sebagai hasil dari pengalaman.
Masalah utama dalam pembelajaran pada pendidikan formal (sekolah)
dewasa ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik. Hal ini tampak dari
nilai rata-rata hasil belajar peserta didik yang senantiasa masih sangat
memprihatinkan. Dalam arti yang lebih substansi, bahkan proses pembelajaran
hingga dewasa ini masih memberikan dominan guru dan tidak memberikan akses
bagi anak didik untuk berkembang secara mandiri melalui penemuan dalam
proses berpikir (Trianto, 2009:5).
Pembangunan pendidikan merupakan salah satu dari pembangunan
nasioanl, yang berguna meningkatkan kualitas dari pendidikan. Kualitas dan
kuantitas pendidikan saat ini sangatlah kurang, hal ini sangat terlihat jelas oleh
masyarakat. Kenyataan di lapangan untuk saat ini banyak siswa yang kurang
memahami masalah dalam kehidupan nyata dan kurang memahami isu-isu yang
berkembang saat ini. Kebanyakan siswa hanya mengetahui tentang
permasalahannya saja tanpa mengetahui isu-isu yang berkembang saat ini bahkan
siswa kurang bisa memecahkan masalahnya secara logis (Fuji, 2009: 1)
Kenyataan dilapangan siswa hanya menghapal konsep dan kurang mampuh
menggunakan konsep jika menemui masalah dalam kehidupan nyata yang
berhubungan dengan konsep yang dimiliki, lebih jauh lagi bahkan siswa kurang
mampuh menentukan masalah dan merumuskannya bahkan tidak sedikit siswa
yang kurang mampuh mengkomunikasikan penegtahuan dan pengalamannya
dalam memperoleh pengajaran di sekolah, akibat kurang adanya latihan dan
dorongan untuk berbicara dan menyampaikan pendapat (Trianto, 2007:65).
55

Disamping itu, KBM (Kegiatan Belajar mengajar) menurut Nur (1998: 210)
merupakan suatu kegiatan yang bernilai edukatif antara guru dengan peserta didik,
hal ini karena KBM yang dilakukan, diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu
yang telah dirumuskan. Guru merencanakan kegiatan pengajarannya secara
sistematis guna kepentingan pengajaran, untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran secara aktif peserta didik dalam megembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spritual, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan dan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Perubahan perilaku dalam belajar mencakup
seluruh aspek pribadi peserta didik, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Akan tetapi, kenyataannya kita menyadari selama ini tidak mudah bagi guru
menjadikan peserta didik aktif dalam mengembangkan potensi diri peserta didik.
Salah satu penyebabnya adalah kemampuan siswa untuk dapat menyelesaikan
masalah kurang diperhatikan oleh guru. Akibatnya, siswa menghadapi masalah
dianggap sepele.
Untuk itu, Salah satu cara mengatasi masalah tersebut adalah dengan
menerapkan pembelajaran berbasis masalah atau problem base learning (PBL)
dimana PBL adalah suatu pendekatan untuk membelajarkan siswa untuk
mengembangkan keterampilan berfikir dan keterampilan memecahkan masalah.
Untuk lebih jelasnya mengenai PBL akan dipaparkan dalam makalah ini.

1.2. Batasan Masalah


Dalam makalah ini akan dimulai dengan menjelaskan masalah khususnya
masalah matematika, pembelejaran berbasis masalah meliputi pengertian,
landasan filosofis dan teoritis, karateristik, komponen-komponen, sintaks dan
kelebihan dan kekurangan PBL. Disamping itu juga dilengkapi penjelaskan
kemampuan yang harus dimiliki untuk dapat memecahakan masalah.
56

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Masalah Matematika


Masalah matematika merupakan situasi yang terhalang karena kurangnya
algoritma dalam mencari solusi yang dicari. Suatu masalah biasanya memuat
situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya tetapi tidak tahu
secara langsung apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikannya. Jika suatu
masalah diberikan kepada seorang siswa tersebut dapat mengetahui cara
penyelesaiannya dengan benar, maka soal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
masalah. Jadi, sesuatu dianggap masalah bergantung kepada orang yang
menghadapi masalah tersebut walaupun suatu soal tetap dapat memiliki
karakteristik tertentu sebagai masalah (Lidinillah, 2007:2).
Pengertian ‘masalah’ dapat berbeda antara satu pakar dengan pakar yang
lainnya dan juga antara satu guru dengan guru lainnya. Sebagian ahli pendidikan
matematika menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan yang harus
dijawab atau direspon. Namun, mereka juga menyatakan bahwa tidak semua
pertanyaan otomatis akan menjadi masalah menurut Diyah (Samsinad, 2016:10).
Definisi tersebut juga sejalan dengan pendapat Reys, Suydams, Lindquist dan
Smith (Afgani, 2011:29) bahwa masalah (problem) adalah suatu keadaan di mana
seseorang menginginkan sesuatu, akan tetapi tidak mengetahui dengan segera apa
yang harus dikerjakan untuk mendapatkannya. Suatu problem yang mudah
sehingga anak dengan segera dapat menemukan jawabannya maka masalah
tersebut bukan real problem.
Masalah dalam soal matematika dapat dibedakan menjadi masalah rutin dan
masalah tidak rutin. Masalah rutin adalah masalah yang memuat aplikasi prosedur
matematika dengan cara yang sama seperti yang telah dipelajari sebelumnya,
sedangkan masalah tidak rutin adalah masalah yang memuat banyak konsep dan
prosedur yang diajarkan dan banyak memuat penggunaan dari prosedur
matematika untuk menyelesaiakan masalah yang diberikan tidak jelas menurut
Reys, dkk (Afgani, 2011:30). Selain itu, Baroody (Afgani, 2011:31) juga
membedakan tiga jenis masalah selain masalah yang rutin dan tidak rutin, yakni
exercise, problems, dan enigmas.
57

Exercise adalah equates a problem with an assignment. Maksudnya, guru


biasanya memberikan suatu prosedur atau rumus/formula, kemudian memberikan
latihan, tugas “problem” perhitungan. Dengan demikian, anak telah siap dengan
strategi untuk memperoleh penyelesaiaanya karena cara menentukan jawaban dari
masalah yang diberikan telah diketahuinya.
Problem dapat didefinisikan sebagai suatu situasi puzzling, di mana
seseorang tertarik untuk mengetahui penyelesaiaanya, akan tetapi strategi
penyelesaiannya tidak serta merta tersedia. Lebih jelasnya suatu problems memuat
(1) keiinginan untuk mengetahui; (2) tidak adanya cara yang jelas untuk
mendapatkan penyelesaiaanya; dan (3) memerlukan suatu usaha dalam
menyelesaikannya.
Enigmas adalah suatu tugas yang diterima oleh seseorang sebagai suatu
masalah yang tidak terselesaikan (unsolvable) karena orang yang mendapat
masalah tersebut tidak tertarik untuk mendapatkan jawabannya.
Suatu pertanyaan hanya disebut sebagai masalah bagi siswa jika dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Siswa memiliki pengetahuan prasyarat untuk mengerjakan soal tersebut.
2. Siswa belum tahu algoritma/cara pemecahan soal tersebut.
3. Siswa mau dan berkehendak untuk menyelesaikan soal tersebut.
4. Siswa diperkirakan mampu menyelesaikan soal tersebut.
Moursund (Lidinillah, 2007:2) menyatakan bahwa seseorang dianggap
memiliki atau mengalami masalah bila menghadapi empat kondisi berikut, yaitu :
1. Memahami dengan jelas kondisi atau situasi yang sedang terjadi.
2. Memahami dengan jelas tujuan yang diharapkan. Memiliki berbagai tujuan
untuk menyelesaikan masalah dan dapat mengarahkan menjadi satu tujuan
penyelesaian.
3. Memahami sekumpulan sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk
mengatasi situasi yang terjadi sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Hal ini
meliputi waktu, pengetahuan, keterampilan, teknologi atau barang tertentu.
4. Memiliki kemampuan untuk menggunakan berbagai sumber daya untuk
mencapa tujuan.
58

Masalah dalam pembelajaran matematika dapat disajikan dalam bentuk soal


tidak rutin yang berupa soal cerita, penggambaran fenomena atau kejadian,
ilustrasi gambar atau teka-teki. Masalah tersebut kemudian disebut masalah
matematika karena mengandung konsep matematika. Terdapat beberapa jenis
masalah matematika, walaupun sebenarnya tumpang tindih, tapi perlu dipahami
oleh guru matematika ketika akan menyajikan soal matematika. Menurut Hudoyo
(Lidinillah, 2007:2), jenis-jenis masalah matematika adalah sebagai berikut:
1. Masalah transalasi, merupakan masalah kehidupan sehari-hari yang untuk
menyelesaikannya perlu translasidari bentuk verbal ke bentuk matematika.
2. Masalah aplikasi, memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menyelesaikan masalah dengan menggunakan berbagai macam-macam
keterampilan dan prosedur matematika.
3. Masalah proses, biasanya untuk menyusun langkah-langkah merumuskan
pola dan strategi khusus dalam menyelesaikan masalah. Masalah seperti ini
dapat melatih keterampilan siswa dalam menyelesaikan masalah sehingga
menjadi terbiasa menggunakan strategi tertentu.
4. Masalah teka-teki, seringkali digunakan untuk rekreasi dan kesenangan
sebagai alat yang bermanfaat untuk tujuan afektif dalam pembelajaran
matematika.
Belajar matematika pada dasarnya seseorang tidak terlepas dari masalah
karena berhasil atau tidaknya seseorang dalam matematika ditandai adanya
kemampuan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Menurut Bell
(Fadillah, 2009:6) menyatakan bahwa pertanyaan merupakan masalah bagi
seseorang bila ia menyadari keberadaaan situasi itu, mengakui bahwa situasi itu
memerlukan tindakan dan tidak dengan segera dapat menemukan pemecahan atau
penyelesaian situasi tersebut. Menurut Dindyal (Fadillah, 2009:6) suatu situasi
disebut masalah jika terdapat beberapa kendala pada kemampuan pemecah
masalah. Adanya kendala tersebut menyebabkan seorang pemecah masalah tidak
dapat mememecahkan suatu masalah secara langsung.
Russeffendi (Fadillah, 2009:6) mengemukakan bahwa sesuatu persoalan
merupakan masalah bagi seseorang, pertama bila persoalan itu tidak dikenalnya
atau dengan kata lain orang tersebut belum memiliki prosedur atau algoritma
59

tertentu untuk menyelesaikannya. Kedua, siswa harus mampu menyelesaikannya,


baik kesiapan mental maupun kesiapan pengetahuan untuk dapat menyelesaikan
masalah tersebut. Ketiga, sesuatu itu merupakan pemecahan masalah baginya, bila
ia ada niat menyelesaikannya. Seringkali dalam menghadapi masalah, siswa tidak
dapat dengan segera memperoleh pemecahannya. Tugas guru adalah membantu
siswa untuk memahami makna kata-kata atau istilah dalam masalah tersebut,
memotivasi mereka untuk senantiasa berusaha menyelesaikannya dan
menggunakan pengalaman yang ada dalam memecahkan masalah, sehingga siswa
tidak mudah putus asa ketika menghadapi suatu masalah.
Berdasarkan penjabaran-penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu
pertanyaan merupakan suatu masalah bagi siswa jika ia tidak dapat dengan segera
menjawab pertanyaan tersebut atau dengan kata lain siswa tidak dapat menjawab
pertanyaan tersebut dengan menggunakan prosedur rutin yang telah diketahuinya.
Sebuah pertanyaan dapat merupakan masalah bagi seseorang akan tetapi belum
tentu menjadi masalah untuk orang lain, demikian pula sebuah pertanyaan tidak
selamanya menjadi masalah bagi seseorang, artinya sebuah pertanyaan mungkin
saja menjadi masalah pada waktu tertentu, tetapi bukan masalah pada waktu yang
lain. Ini menunjukkan bahwa masalah bersifat subyektif bergantung pada waktu
dan kemampuan seseorang.

2.2. Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Masalah


Pembelajaran berbasis masalah, adalah pembelajaran yang menjadikan
masalah sebagai dasar atau basis bagi siswa untuk belajar. Duch, et.al. (2000)
menyatakan bahwa prinsip dasar yang mendukung konsep dari PBL sudah ada
lebih dulu dari pendidikan formal itu sendiri, yaitu bahwa pembelajaran dimulai
(diprakarsai) dengan mengajukan masalah, pertanyaan, atau teka-teki, yang
menjadikan siswa yang belajar ingin menyelesaikannya.
Dalam pendekatan berbasis masalah, masalah yang nyata dan kompleks
memotivasi siswa untuk mengidentifikasi dan meneliti konsep dan prinsip yang
mereka perlu ketahui untuk berkembang melalui masalah tersebut. Siswa bekerja
dalam tim kecil, dan memperoleh, mengomunikasikan, serta memadukan
informasi dalam proses yang menyerupai atau mirip dengan menemukan
(inquiry).
60

Tan (2004) juga menyebutkan bahwa PBL telah diakui sebagai suatu
pengembangan dari pembelajaran aktif dan pendekatan pembelajaran yang
berpusat pada siswa, yang menggunakan masalah-masalah yang tidak terstruktur
(masalah-masalah dunia nyata atau masalah-masalah simulasi yang kompleks)
sebagai titik awal dan jangkar atau sauh untuk proses pembelajaran. Sedangkan
Roh dalam (Widjajanti 2011, 2) mengatakan bahwa pembelajaran berbasis
masalah adalah strategi pembelajaran di kelas yang mengatur atau mengelola
pembelajaran matematika di sekitar kegiatan pemecahan masalah dan
memberikan kepada para siswa kesempatan untuk berfikir secara kritis,
mengajukan ide kreatif mereka sendiri, dan mengomunikasikan dengan temannya
secara matematis.
PBL menggambarkan suatu suasana pembelajaran yang menggunakan
masalah untuk memandu, mengemudikan, menggerakkan, atau mengarahkan
pembelajaran. Pembelajaran dalam PBL dimulai dengan suatu masalah yang harus
diselesaikan, dan masalah tersebut diajukan dengan cara sedemikian hingga para
siswa memerlukan tambahan pengetahuan baru sebelum mereka dapat
menyelesaikan masalah tersebut.
Tidak sekedar mencoba atau mencari jawab tunggal yang benar, para siswa
akan menafsirkan masalah tersebut, mengumpulkan informasi yang diperlukan,
mengenali penyelesaian yang mungkin, menilai beberapa pilihan, dan
menampilkan kesimpulan.
Dari beberapa pengertian PBL seperti tersebut di atas dapatlah disimpulkan
bahwa PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah
nyata atau masalah simulasi yang kompleks sebagai titik awal pembelajaran,
dengan karakteristik: (1) Pembelajaran dipandu oleh masalah yang menantang; (2)
Para siswa bekerja dalam kelompok kecil; (3) Guru mengambil peran sebagai
fasilitator dalam pembelajaran.

2.3. Lantasan Filosofi dan Teoritis Lahirnya Model Pembelajaran Berbasis


Masalah
Ibrahim dan Nur (2000) menyatakan bahwa landasan teoritis dari
pembelajaran berbasis masalah adalah teori John Dewey dengan kelas
demokrasinya, Piaget dan Vygotsky dengan konstruktivismenya, dan Jerome
61

Bruner dengan pembelajaran penemuannya, dengan akar intelektualnya ada pada


metode Socrates yang dicetuskan pada zaman Yunani awal, yang menekankan
pentingnya penalaran induktif dan dialog pada proses belajar-mengajar.
Ilmu mendidik Dewey menganjurkan kepada guru untuk mendorong siswa
terlibat dalam proyek atau tugas berorentasi masalah dan membantu mereka
menyelidiki masalah-masalah intelektual dan sosial (Ibrahim dan Nur, 2000).
Dasar filosofis Dewey inilah yang digunakan dalam PBL. Jika Dewey telah
memberikan dasar filosofis untuk PBL, maka teori konstruktivisme dari Piaget
dan Vygotsky telah menjadi dasar teoritis untuk PBL. Piaget beranggapan bahwa
pengetahuan tidaklah statis tetapi secara terus menerus tumbuh dan berubah pada
saat siswa menghadapi pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan
memodifikasi pengetahuan awal mereka.
Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan adalah hasil konstruksi
manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka
dengan obyek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan mereka (Suparno, 1996).
Menurut Piaget seseorang akan tertantang menghadapi gejala dan pengalaman
yang baru dibandingkan skema pengetahuan yang sudah dipunyai. Dalam
menghadapi hal-hal baru ini dapat terjadi skema seseorang berkembang lebih
umum atau lebih rinci, atau dapat pula mengalami perubahan total karena skema
yang lama tidak cocok lagi untuk menjawab dan menginterpretasikan pengalaman
baru. Proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema ini diatur otomatis oleh
keseimbangan dalam pikiran manusia. Dengan cara seperti inilah pengetahuan
seseorang berkembang. Oleh karena itu, memberi tantangan kepada siswa berupa
masalah yang harus dipecahkannya akan menjadikan pengetahuan mereka
berkembang.
Sebagaimana Piaget, Vygotsky juga percaya bahwa perkembangan
intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru dan
menantang, dan ketika mereka berusaha memecahkan masalah yang dimunculkan
oleh pengalaman tersebut. Namun berbeda dengan Piaget, Vygotsky memberi
tempat yang lebih penting pada aspek sosial pembelajaran (Ibrahim dan Nur,
2000). Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial dengan orang lain akan memacu
terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Masih
62

terkait dengan konstruktivisme, Roh dalam (widjajanti, 2011) menyebutkan


bahwa keefektifan dari PBL tergantung pada karakteristik siswa dan kebiasaan
kelas (classroom culture), dan juga tugas-tugas (masalah) yang diberikan. Para
pendukung PBL yakin bahwa ketika para siswa mengembangkan metode atau
cara untuk mengkonstruksi prosedur mereka sendiri, mereka sedang memadukan
pengetahuan konseptual mereka dengan ketrampilan prosedural mereka.

2.4. Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah


Ciri-ciri karakteristik pembelajaran berbasis masalah menurut Ibrahim dan
Nur (2000:16) adalah sebagai berikut:
1. Pembelajaran berpusat kepada siswa. Meskipun siswa dipandu oleh tutor,
mereka harus bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri,
mengidentifikasi apa yang mereka perlu ketahui untuk mengelola masalah
dan di mana mencari informasi.
2. Belajar terjadi dalam kelompok kecil siswa. Pada akhir setiap unit kulikuler,
secara acak dikondisikan dalam kelompok baru.
3. Guru adalah fasilitator (atau pemandu). Peran fasilitator adalah tidak
memberikan pembelajaran atau informasi faktual, tetapi hanya mengarahkan
para siswa agar berupaya mencari langsung ke sumber. Fasilitator harus
meminta para siswa agar bertanya pada diri sendiri untuk memahami dan
mengelolah masalah.
4. Masalah membentuk fokus pengaturan dan stimulus pada pembelajaran.
Suatu masalah dapat disajikan dalam format yang berbeda (kasus tertulis,
rekaman, video, simulasi komputer) dan itu merupakan tabungan bagi para
siswa dalam menghadapi praktik, memberikan relevansi dan motivasi untuk
belajar. jadi, masalah yang dapat memfasilitasi kemudian mengingat dan
aplikasi untuk masalah masa depan.
5. Masalah adalah wahana pengembangan keterampilan dalam memecahkan
masalah. Masalah terbaik adalah menarik, kontenporer, dan autentik.
6. Masalah adalah terstruktur kacau dan ranah khas. Dalam kehidupan nyata,
kita jarang menghadapi masalah yang rapi dan terstruktur dengan baik.
Siswa perlu mengembangkan kemampuan untuk menangani ambiguitas,
situasi tidak jelas dan memahaminya.
63

7. Informasi baru diperoleh mealalui belajar mandiri. Para siswa diharapkan


belajar dan mengumpulkan keahlian berdasarkan penyelidikan dan
penelitian mereka sendiri seperti para professional melakukannya. Selama
ini pembelajaran mandiri, siswa belajar bersama-sama, membahas,
membandingkan, meninjau, dan berdebat apa yang mereka pelajari.
Pembelajaran berbasis masalah dapat berkembang jika terbangun suatu
situasi kelas yang efektif. Menurut North Central Regional Education Library
(Warsono dan Hariyanto, 2012:148) menyatakan bahwa minimal ada tiga
karakteristik yang harus dipenuhi agar terbangun situasi kelas yang efektif dalam
PBL, yaitu sebagai berikut.
1. Atmosfer kelas harus dapat memfasilitasi suatu eksplorasi makna. Para
pebelajar harus merasa aman dan merasa diterima. Mereka memerlukan
pemahaman baik tentang risiko maupun penghargaan yang akan
diperolehnya dari pencarian pengetahuan dan pemahaman. Situasi kelas
harus mampu menyediakan kesempatan bagi mereka untuk terlibat, saling
berinteraksi, dan sosialisasi.
2. Pebelajar harus sering diberi kesempatan untuk mengkonfrontasikan
informasi baru dengan pengalamannya selama proses pencarian makna.
Namun kesempatan semacam itu janganlah timbul dari dominasi guru
selama pembelajaran, tetapi harus timbul dari banyaknya kesempatan siswa
untuk menghadapi tantangan-tantangan baru berdasarkan pengalaman masa
lalunya.
3. Makna baru tersebut harus diperoleh melalui proses penemuan secara
personal.
Berkaitan dengan filosofi seperti di atas berkembanglah apa yang disebut
problem-based learning. Problem-based learning merupakan suatu tipe
pengelolaan kelas yang diperlukan untuk mendukung pendekatan konstruktivisme
dalam pengajaran dan belajar.
Savoie dan Hughes (Warsono dan Hariyanto, 2012:149) mengungkap
perlunya suatu proses yang dapat digunakan untuk mendesain pengalaman
pembelajaran berbasis masalah bagi siswa. Kegiatan-kegiatan tersebut di bawah
ini diperlukan untuk menunjang proses tersebut, yaitu sebagai berikut.
64

1. Identifikasikan suatu masalah yang cocok bagi para siswa


2. Kaitkan masalah tersebut dengan konteks dunia siswa sehingga mereka
dapat menghadirkan suatu kesempatan otentik.
3. Organisasikan pokok bahasan di sekitar masalah, jangan berlandaskan
bidang studi.
4. Berilah para siswa tanggung jawab untuk dapat mendefinisikan sendiri
pengalaman belajar mereka serta membuat perencanaan dalam
menyelesaikan masalah.
5. Dorong timbulnya kolaborasi dengan membentuk kelompok pembelajaran.
6. Berikan dukungan kepada semua siswa untuk mendemonstrasikan hasil-
hasil pembelajaran mereka misalnya dalam bentuk suatu karya atau kinerja
tertentu.
Sumber lain mengungkapkan bahwa kewajiban guru dalam penerapan
Pembelajaran berbasis masalah (Warsono dan Hariyanto, 2012:150), antara lain:
1. Mendefinisikan, merancang dan mempresentasikan masalah di hadapan
seluruh siswa;
2. Membantu siswa memahami masalah serta menentukan bersama siswa
bagaimana seharusnya masalah semacam itu diamati dan dicermati;
3. Membantu siswa memaknai masalah, cara-cara mereka dalam memecahkan
masalah dan membantu menentukan argument apa yang melandasi
pemecahan masalah tersebut;
4. Bersama para siswa menyepakati bentuk-bentuk pengorganisasisan laporan;
5. Mengakomodasikan kegiatan presentasi oleh siswa;
6. Melakukan penilaian proses (penilaian otentik) maupun penilaian terhadap
produk laporan.

2.5. Komponen-Komponen Pembelajaran berbasis Masalah


Komponen-komponen model pembelajaran berbasis masalah dikemukakan
oleh Arends, diantaranya adalah :
1. Permasalahan autentik. Model problem based learning mengorganisasikan
masalah nyata yang penting secara sosial dan bermanfaat bagi peserta didik.
Permasalahan yang dihadapi peserta didik dalam dunia nyata tidak dapat
dijawab dengan jawaban yang sederhana.
65

2. Fokus interdisipliner. Dimaksudkan agar peserta didik belajar berpikir


struktural dan belajar menggunakan berbagai perspektif keilmuan.
3. Pengamatan autentik. Hal ini dinaksudkan untuk menemukan solusi yang
nyata. Peserta didik diwajibkan untuk menganalisis dan menetapkan
masalahnya, mengembangkan hipotesis dan membuat prediksi,
mengumpulkan dan menganalisis informasi, melaksanakan eksperimen,
membuat inferensi, dan menarik kesimpulan.
4. Produk. Peserta didik dituntut untuk membuat produk hasil pengamatan.
Produk bisa berupa kertas yang dideskripsikan dan didemonstrasikan
kepada orang lain..
5. Kolaborasi. Dapat mendorong penyelidikan dan dialog bersama untuk
mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan sosial.

2.6. Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah


Sintaks dalam pembelajaran berbasis masalah (Warsono dan Hariyanto,
2012:150) meliputi:
1. Orientasi siswa kepada masalah.
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menguraikan kebetuhan logistic
(bahan dan alat) yang diperlukan bagi pemecahan masalah, memotivasi siswa
untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang telah dipilih siswa
bersama guru, maupun yang dipilih sendiri oleh siswa.
2. Mendefinisikan masalah dan mengorganisasikan siswa untuk belajar.
guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas
siswa dalam belajar memecahkan masalah, menetukan tema, jadwal, tugas dan
lain-lain.
3. Memandu investigasi mandiri maupun investigasi kelompok.
Guru memotivasi siswa untuk membuat hipotesis, mengumpulkan
informasi, data yang relevan dengan tugas pemecahan masalah, melakukan
eksperimen untuk mendapatkan informasi dan pemecahan masalah.
4. Mengembangkan dan mempresentasikan karya.
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang
relevan, misalnya membuat laporan, membantu berbagi tugas dengan teman-
66

teman di kelompoknya dan lain-lain, kemudian siswa mempresentasikan karya


sebagai bukti pemecahan masalah.
5. Refleksi dan penilaian.
Guru memandu siswa untuk melakukan refleksi, memahami kekuatan dan
keleman laporan mereka, mencatat dalam ingatan butir-butir atau konsep penting
terkait pemecahan masalah, menganalisis dan menilai proses-proses dan hasil
akhir dari investigasi masalah. Selanjutnya mempersiapkan penyelidikan lebih
lanjut terkait hasil pemecahan masalah.
Sintaks model pembelajaran berbasis masalah dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.1 Sintaks model pembelajaran berbasis masalah
Langkah-langkah Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
Langkah-1 Guru menjelaskan tujuan Siswa menyimak
Orientasi siswa kepada pembelajaran, dan tujuan pembelajaran
masalah menjelaskan logistik yang disampaikan oleh
yang dibutuhkan, serta guru dan
memotivasi siswa untuk mempersiapkan
terlibat dalam pemecahan logistik yang
masalah yang dipilihnya. diperlukan.
Langkah-2 Guru membantu siswa Siswa mendefinisikan
Mengorganisasikan siswa mendefinisikan dan dan mengorganisasikan
untuk belajar mengorganisasikan tugas belajar yang
kegiatan pembelajaran diangkat.
yang berhubungan
dengan masalah tersebut.
Langkah-3 Guru mendorong siswa Siswa mengungkapkan
Membimbing untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,
penyelidikan individual informasi yang sesuai, melaksanakan
maupun kelompok melaksanakan eksperimen dan
observasi/eksperimen berusaha menemukan
untuk mendapatkan jawaban atas masalah
penjelasan dan yang diangkat.
pemecahan masalah.
Langkah-4 Guru membantu siswa Siswa merencanakan
Mengembangkan dan dalam merencanakan dan dan menyiapkan hasil
menyajikan hasil karya menyiapkan karya yang karya, video dan
sesuai seperti laporan, menjelaskan atau
poster, puisi dan model menyajikan hasil kerja
yang membantu mereka tersebut.
untuk berbagai tugas
dengan temannya.
Langkah-5 Guru membantu siswa Siswa melakukan
Menganalisis dan untuk melakukan refleksi refleksi kegiatan
mengevaluasi proses atau evaluasi terhadap penyelidikan dan
67

pemecahan masalah penyelidikan mereka dan proses yang dilakukan.


proses-proses yang
mereka gunakan.
Sumber: Sangkiri, 2015:19

2.7. Kemampuan Pemecahan Masalah


Kemampuan berasal dari kata mampu yang berarti kuasa (bisa, sanggup)
melakukan sesuatu, dengan imbuhan ke-an kata mampu menjadi kemampuan
yaitu berarti kesanggupan atau kecakapan. Jadi, kemampuan adalah sebagai
keterampilan (skill) yang dimiliki seseorang untuk dapat menyelesaikan suatu
masalah yang dihadapi. Hal ini berarti bila seseorang terampil dengan benar
menyelesaikan suatu soal matematika maka orang tersebut memiliki kemampuan
dalam menyelesaikan soal. Salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh
seseorang adalah kemampuan pemecahan masalah. Pemecahan masalah adalah
suatu kemampuan berpikir yang menuntut suatu tahapan berpikir. Pemecahan
masalah adalah proses menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya
ke dalam situasi baru yang belum dikenal. Pemecahan masalah merupakan bagian
dari kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses
pembelajarann maupun penyelesaiannya, siswa dimungkinkan memperoleh
pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki
untuk diterapkan pada pemecahan masalah (Sarina, 2016:8). Hal ini sesuai dengan
pendapat Abdurrahman (Sarina, 2016:8) bahwa: “pemecahan masalah adalah
aplikasi dan konsep keterampilan. Dalam pemecahan masalah biasanya
melibatkan beberapa kombinasi konsep dan keterampilan dalam situasi baru atau
situasi yang berbeda. Sebagai contoh, pada saat siswa diminta untuk mengukur
luas selembar papan, beberapa konsep dan keterampilan ikut terlibat. Beberapa
konsep yang terlibat adalah bujur sangkar, garis sejajar dan sisi, dan beberapa
keterampilan yang terlibat adalah keterampilan mengukur, menjumlahkan dan
mengalikan”. Berikut ini beberapa definisi yang diberikan oleh para ahli untuk
menghindari ketidaklengkapan persepsi tersebut.
Kemampuan pemecahan masalah menurut Suyitno (Samsinad, 2016:11)
adalah kecakapan untuk menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh
sebelumnya ke dalam situasi baru yang belum dikenal. Menurut Woolfolk
(Nurrokhmah, 2014:23), kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan
68

seorang siswa dalam menggunakan proses berpikirnya untuk memecahkan


masalah melalui pengumulan fakta, analisis informasi, menyusun berbagai
alternatif pemecahan, dan memilih pemecahan masalah yang paling efektif.
Sejalan dengan hal tersebut, Mayer (Nurrokhmah, 2014:23) berpendapat bahwa
kemampuan pemecahan masalah adalah suatu kemampuan menemukan hubungan
antara pengalaman (skema) yang dimilikinya dengan masalah yang sekarang
dihadapinya, kemudian bertindak untuk menyelesaikannya. Berdasarkan pendapat
tersebut, disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan
kemampuan seseorang untuk mengumpulkan fakta, analisis informasi, menyusun
berbagai alternative pemecahan, dan memilih pemecahan masalah yang paling
efektif dalam rangka memecahkan masalah yang dihadapinya.
Menurut Dodson dan Hollander (Sarina, 2016:9), kemampuan pemecahan
masalah yang harus ditumbuhkan adalah:
1. Kemampuan mengerti konsep dan istilah matematika;
2. Kemampuan mencatat kesamaan, perbedaan, dan analogi;
3. Kemampuan untuk mengidentifikasi elemen terpenting dan memilih
prosedur yang benar;
4. Kemampuan untuk mengetahui hal yang tidak berkaitan
5. Kemampuan untuk menaksirkan dan menganalisis;
6. Kemampuan untuk memvisualisasi dan mengimplementasi kuantitas atau
ruang;
7. Kemampuan untuk memperumum (generalisasi) berdasarkan beberapa
contoh;
8. Kemampuan untuk mengganti metode yang telah diketahui;
9. Mempunyai kepercayaan diri yang cukup dan merasa senang terhadap
materinya.
Selanjutnya, Dodson dan Hollander (Sarina, 2016:9) juga mengemukakan
bahwa dalam mengembangkan kemampuan pemecahan masalah siswa, guru
memberikan hal-hal berikut:
1. Ajari siswa dengan berbagai strategi yang dapat digunakan untuk berbagai
masalah;
2. Berikan waktu yang cukup untuk siswa mecoba masalah yang ada;
69

3. Ajarkan siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara lain;


4. Setelah masalah terselesaikan, ajaklah siswa untuk melihat kembali, melihat
kemungkinan lain, mengatakan dengan bahasa mereka sendiri, kemudian
ajaklah untuk mencari penyelesaian dengan yang lebih baik;
5. Jika kita berhadapan dengan masalah yang sulit, tidak berarti kita harus
menghindar. Tetapi gunakan cukup waktu untuk mengulang dan
mengerjakan masalah yang lebih banyak. Mulailah dengan mengerjakan
masalah serupa, dan kemudian masalah-masalah yang menantang;
6. Fleksibelitas di dalam pemecahan masalah merupakan perilaku belajar yang
baik.
Olkin dan Schoenfeld (Sumartini, 2016:14) menyatakan bahwa bentuk soal
pemecahan masalah yang baik hendaknya memiliki karakteristik sebagai berikut:
(1) dapat diakses tanpa banyak menggunakan mesin, ini berarti masalah yang
terlibat bukan karena perhitungan yang sulit; (2) dapat diselesaikan dengan
beberapa cara, atau bentuk soal yang open ended; (3) melukiskan ide matematika
yang penting (matematika yang bagus); (4) tidak memuat solusi dengan trik; (5)
dapat diperluas dan digeneralisasikan (untuk memperkaya eksplorasi).
Sumarmo (Sumartini, 2016:14) menyatakan bahwa pemecahan masalah
matematik mempunyai dua makna yaitu: (1) pemecahan masalah sebagai suatu
pendekatan pembelajaran, yang digunakan untuk menemukan kembali
(reinvention) dan memahami materi, konsep, dan prinsip matematika.
Pembelajaran diawali dengan penyajian masalah atau situasi yang kontekstual
kemudian melalui induksi siswa menemukan konsep/prinsip matematika; (2)
sebagai tujuan atau kemampuan yang harus dicapai, yang dirinci menjadi lima
indikator, yaitu:
1. Mengidentifikasi kecukupan data untuk pemecahan masalah;
2. Membuat model matematik dari suatu situasi atau masalah sehari-hari dan
menyelesaikannya;
3. Memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika
dan atau di luar matematika;
4. Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, serta
memeriksa kebenaran hasil atau jawaban;
70

5. Menerapkan matematika secara bermakna.


Secara garis besar langkah-langkah penerapan pemecahan masalah mengacu
kepada model empat tahap pemecahan masalah menurut George Polya (Samsinad,
2016:11) sebagai berikut.
1. Memahami masalah
Tahap ini, kegiatan pemecahan masalah diarahkan untuk membantu siswa
menetapkan apa yang diketahui pada permasalahan dan apa yang ditanyakan.
Beberapa pertanyaan perlu dimunculkan kepada siswa untuk membantunya dalam
memahami masalah ini serta membuat rencana untuk menyelesaikan masalah.
2. Membuat rencana penyelesaian soal
Penerapan pemecahan masalah tidak akan berhasil tanpa perencanaan yang
baik. Dalam perencanaan pemecahan masalah, siswa diarahkan untuk dapat
mengidentifikasi strategi-strategi pemecahan masalah yang sesuai untuk
menyelesaikan masalah. Dalam mengidentifikasi strategi-strategi pemecahan
masalah ini, hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah apakah strategi
tersebut berkaitan dengan permsalahan yang akan dipecahkan.
3. Melaksanakan penyelesaian soal
Apabila siswa telah memahami permasalahan dengan baik dan sudah
menentukan strategi pemecahannya, langkah selanjutnya adalah melaksanakan
penyelesaian soal sesuai dengan yang telah direncanakan. Kemampuan siswa
memahami substansi materi dan keterampilan siswa melakukan perhitungan
matematika akan sangat membantu siswa untuk melaksanakan tahap ini.
4. Memeriksa ulang jawaban yang diperoleh
Langkah memeriksa ulang jawaban yang diperoleh merupakan langkah
terakhir dari penerapan pemecahan masalah matematika. Langkah ini penting
dilakukan untuk mengecek apakah hasil yang diperoleh sudah sesuai dengan
ketentuan dan tidak terjadi kontradiksi dengan yang ditanya.
Mengajar siswa untuk menyelesaikan masalah memungkinkan siswa untuk
menjadi lebih analitis di dalam mengambil keputusan dalam kehidupan. Dengan
kata lain bila seorang siswa dilatih untuk menyelesaikan masalah siswa itu
mampu mengambil keputusan sebab siswa itu menjadi mempunyai keterampilan
tentang bagaimana mengumpulkan informasi yang relevan, menganalisis
71

informasi dan menyadari betapa perlunya meneliti kembali hasil yang telah
diperolehnya.
Berdasarkan penjabaran-penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa
kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan yang harus
dimiliki oleh siswa dalam menyelesaikan masalah matematika dengan
memperhatikan proses menemukan jawaban berdasarkan langkah-langkah
pemecahan masalah, yaitu: memahami masalah, merencanakan pemecahan
masalah, menyelesaikan masalah dan memeriksa kembali hasil pemecahan
masalah.

2.8. Kelebihan dan Kekurangan Pembeajaran Berbasis Masalah


Menurut Ibrahim dan Nur (2000:16), pembelajaran berbasis masalah
memiliki beberapa keunggulan, di antaranya:
1. Siswa lebih memahami konsep yang diajarkan, sebab mereka sendiri yang
menemukan konsep tersebut.
2. Melibatkan secara aktif memecahkan masalah dan menuntut keterampilan
berfikir siswa yang lebih tinggi.
3. Pengetahuan tertanam berdasarkan schemata yang dimiliki siswa sehingga
pembelajaran lebih bermakna.
4. Siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran, sebab masalah-masalah yang
diselesaikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata, hal ini dapat
meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa terhadap bahan yang
dipelajari.
5. Menjadikan siswa lebih mandiri dan dewasa, mampu member aspirasi dan
menerima pendapat orang lain, menanamkan sikap sosial yang positif di
antara siswa.
6. Pengondisian siswa dalam belajar kelompok yang saling berinteraksi terhadap
pembelajaran dan temannya, sehingga pencapaian ketuntasan belajar siswa
dapat diharapkan.
Secara umum dapat dikemukakan bahwa kekuatan dari penerapan model
pembelajaran berbasis masalah (Warsono dan Hariyanto, 2012:152) antara lain:
1. Siswa akan terbiasa menghadapi masalah (problem posing) dan merasa
tertantang untuk menyelesaikan masalah, tidak hanya terkait dengan
72

pembelajaran dalam kelas, tetapi juga menghadapi masalah yang ada dalam
kehidupan sehari-hari (real world).
2. Memupuk solidaritas sosial dengan terbiasa berdiskusi dengan teman-teman
sekelompok kemudian berdiskusi dengan teman-teman sekelasnya;
3. Makin mengakrabkan guru dengan siswa;
4. Karena ada kemungkinan suatu masalah harus diselesaikan siswa melalui
eksperimen hal ini juga akan membiasakan siswa dalam menerapkan metode
eksperimen
Selain itu, pembelajaran berbasis masalah dapat menumbuh-kembangkan
kemampuan kreativitas siswa, baik secara individual maupun secara kelompok,
karena mimpi setiap langkah menuntut adanya keaktifan siswa. Karena itu,
keberhasilan pembelajaran ini sangat tergantung pada ketersediaan sumber belajar
bagi siswa dan alat-alat untuk menguji jawaban sangat membantu menyingkat
waktu yang dibutuhkan. Dua faktor yang tak kalah pentingnya adalah kemampuan
guru dalam mengangkat dan merumuskan masalah.
Model pembelajaran ini, guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator,
pembimbing, dan motivator. Guru mengajak siswa pada permasalahan nyata (real
word), memfasilitasi/membimbing (scaffolding) dalam proses penyelidikan,
memfasilitasi dialog antara siswa, menyediakan bahan ajar, serta memberikan
dukungan dalam upaya meningkatkan temuan dan perkembangan intelektual
siswa.
Kelemahan dari penerapan model pembelajaran berbasis masalah (Warsono
dan Hariyanto, 2012:152) antara lain:
1. Tidak banyak guru yang mampu mengantarkan siswa kepada pemecahan
masalah.
2. Seringkali memerlukan biaya mahal dan waktu yang panjang.
3. Aktivitas siswa yang dilaksanakan di luar sekolah sulit dipantau guru
Kekurangan pembelajaran berbasis masalah menurut Amri (2010) antara
lain:
1. Membutuhkan persiapan pembelajaran (alat, problem, konsep) yang
kompleks
2. Sulitnya mencari problem yang relevan
73

3. Sering terjadi mis konsepsi


4. Memerlukan waktu yang cukup panjang
Guru adalah pendidik yang membelajarkan siswa, maka guru harus
melakukan pengorganisasian dalam belajar, menyajikan bahan belajar dengan
pendekatan pembelajaran tertentu dan melakukan evaluasi hasil belajar, guru
professional selalu berusaha mendorong siswa agar berhasil dalam belajar.
Kekurangan-kekurangan dalam model pembelajaran berbasis masalah ini
bukan berarti model pembelajaran yang kurang efektif untuk diterapkan dalam
proses pembelajaran, akan tetapi kekurangan-kekurangan dalam penerapan model
pembelajaran berbasis masalah yang dikemukakan di atas, menuntut guru sebagai
pendidik harus kreatif dalam meminimalisir serta berusaha mencari solusi untuk
mengatasi kekurangan-kekurangan tersebut.
74

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Masalah matematika merupakan situasi yang terhalang karena kurangnya
algoritma dalam mencari solusi memuat situasi yang mendorong seseorang
untuk menyelesaikannya.
2. PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah
nyata atau masalah simulasi yang kompleks sebagai titik awal pembelajaran.
3. Komponen-kompenen PBL terdiri atas: (1) Permasalahan autentik, (2)
fokus interdisipliner. (3) Pengamatan autentik. (4) Produk. (5) Kolaborasi.
4. PBL memiliki 5 fase pembelajaran: (1) Orientasi siswa kepada masalah, (2)
Mengorganisasikan siswa untuk belajar, (3) Membimbing penyelidikan
individual maupun kelompok, (4) Mengembangkan dan menyajikan hasil
karya, dan (5) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
5. Pembelajaran PBL memerlukan kesiapan dan kemampuan siswa
memecahkan masalah serta kesanggupan guru menjadi pasilitator
pembelajaran yang efektif.

3.2. Saran
Pembelajaran PBL hanya akan berhasil jika proses pembelajaran
direncanakan dengan baik. Oleh karena itu, disarankan agar guru dan siswa
menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan selama proses pembelajaran dalam
kelas maupun diluar kelas, materi ajar maupun peralatan yang dibutuhkan.
75

DAFTAR PUSTAKA

Afgani, J. 2011. Analisis Kurikulum Matematika. Universitas Terbuka. Jakarta.


Duch, Barbara J., Allen, Deborah E., and White, Harold B. (2000). Problem-
Based Learning: Preparing Students to Succeed in the 21st
Century.(Online). Tersedia
https://www.colorado.edu/ftep/sites/default/files/attached-
files/ftep_memo_to_faculty_60.pdf. Diakses pada 12 Juni 2019.
Fadillah, S. 2009. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Dalam
Pembelajaran Matematika. Prosiding Seminar Nasional Penelitian,
Pendidikan dan Penerapan MIPA. Yogyakarta.
Ibrahim, M. & Nur, M. (2000). Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya:
UNESAUniversity Press.
Lidinillah, D. 2007. Penggunaan Instrumen Monitoring Diri Metakognisi untuk
Meningkatkan Kemampuan Mahasiswa Menerapkan Strategi Pemecahan
Masalah Matematika. Jurnal Pendidikan Dasar. Vol 5 (7): 2.
Nur, M.W.S. 1998. T EOR I P E M B E L AJ AR AN K O G NI T I F , Surabaya: IKIP
Surabaya.
Nurrokhmah, F. 2014. Pengembangan Perangkat Pembelajaran dengan
Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik untuk Meningkatkan
Kemampuan Pemecahan Masalah pada Materi Pythagoras Kelas VIII SMP.
Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta. Universitas Negeri Yogyakarta.
Samsinad. 2016. Pengaruh Penggunaan Strategi Means Ends Analysis terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Siswa Kelas XI SMA
Negeri 1 Walenrang. Skripsi tidak diterbitkan. Palopo. Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Cokroaminoto Palopo.
Sangkiri, A. 2015. Pengaruh Model Pembelajaran Berbasisi Masalah terhadap
Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Walenrang. Skripsi
tidak diterbitkan. Palopo: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Cokroaminoto Palopo.
Sari, dini komala. 2013. Pembelajaran berbasis masalah. (online).
https://dinikomalasari.wordpress.com/2013/12/27/pembelajaran-berbasis-
masalah-problem-based-learningpbl/. Diakses pada 12 Juni 2019.
Sarina. 2016. Deskripsi Kemampuan Pemecahan Masalah Berdasarkan Motivasi
Belajar Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Palopo. Skripsi tidak diterbitkan.
Palopo. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cokroaminoto
Palopo.

Sumartini, TS. 2016. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis


Siswa melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Pendidikan
Matematika STKIP Garut. Vol 8 (3): 11.
76

Suparno, Paul. (1996). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta:


Penerbit Kanisius.
Tan, O.S. (2004). Cognition, Metacognition, and Problem-Based Learning, in
Enhancing Thinking through Problem-based Learning Approaches.
Singapore: Thomson Learning.
Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif. Surabaya:
Kencana
Warsono. Hariyanto. 2012. Pembelajaran Aktif Teori dan Asesmen. Rosda.
Surabaya.
Widjajanti, D.B. 2011. Problem-based Learning dan contoh implementasinya.
Yogyakarta Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Negeri Yogyakarta. (online). Teredia
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/PPM-PBL-
%2010%20Maret%202011-Djamilah.pdf. Diakses pada 11 Juni 2019
77

DESAIN PEMBELAJARAN MATEMATIKA


“PENDEKATAN PROBLEM SOLVING”

KELOMPOK 4
1. TRY NUR HANDAYANI (1801513008)
2. YENTI (1801513005)
3. RANI RAIS (1801513019)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO
2019
78

DAFTAR ISI

Halaman
Daftar Isi .................................................................................................... 78
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................... 79
1.2 Rumusan Masalah ................................................................... 80
1.3 Tujuan ...................................................................................... 81
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Filosofi Lahirnya Pendekatan Problem Solving ...................... 82
2.2 Pengertian Pendekatan Problem Solving ................................... 83
2.3 Karakteristik, Ciri-ciri, Tujuan, dan Manfaat Pendekatan
Problem Solving ...................................................................... 91
2.4 Langkah-langkah Pembelajaran Pendekatan Problem Solving 93
2.5 Penerapan Pendekatan Problem Solving dalam Pembelajaran
Matematika .............................................................................. 104
2.6 Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Pendekatan
Problem Solving ...................................................................... 105
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .............................................................................. 106
3.2 Saran ........................................................................................ 106
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 107
79

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembelajaran problem solving banyak diilhami oleh filsafat yang
dikembangkan oleh konstruktivisme Piaget. Pandangan filsafat pengetahuan
tentang hakekat konstruktivisme mempelajari tentang proses belajar, bahwa
belajar bukanlah sekedar menghafal tetapi melalui proses mengkonstruksi
pengalaman. Pandangan Piaget tentang bagaimana sebenarnya struktur kognitif
anak dalam pengetahuan itu sangat berpengaruh terhadap pendekatan
pembelajaran yang akan dikembangkan yakni masalah pemecahan. Dilihat dari
aspek filosofis tentang fungsi sekolah sebagai arena atau wadah untuk
mempersiapkan anak didik agar dapat hidup di masyarakat, maka pendekatan
pembelajaran problem solving merupakan pendekatan yang memungkinkan
proses sangat result untuk dikembangkan. Hal ini disebabkan pada kenyataannya
setiap manusia akan selalu dihadapkan pada masalah. Mulai dari masalah yang
sederhana sampai yang masalah kompleks, mulai dari masalah pribadi sampai
kepada masalah keluarga, masalah sosial kemasyrakatan, masalah negara sampai
kepada masalah dunia.
Problem solving diharapkan dapat memberikan latihan kemampuan setiap
individu untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Dilihat dari aspek
psikologis belajar berdasarkan pada aliran belajar kognitif. Menurut aliran ini
belajar adalah proses pada hakekatnya proses mental dan proses berpikir dengan
memanfaatkan segala potensi yang dimiliki setiap orang secara optimal. Belajar
lebih dari sekadar menghafal proses menumpuk ilmu pengetahuan, tetapi
bagaimana pengetahuan yang diperolehnya bermakna untuk seseorang melalui
keterampilan berpikir.
Menurut teori konstruktivisme, pengetahuan itu akan bermakna apabila
proses dicari ditemukan sendiri oleh peserta didik bukan hasil pemberian orang
lain. Setiap individu berusaha harus mampu mengembangkan proses
pengetahuannya melalui skema sendiri yang ada dalam struktur kognitifnya.
Skema ini harus terus menerus diperbaharui, harus diubah melalui proses
asimilasi dan proses akomodasi menurut Piaget (Santrock, 2004:46). Pandangan
80

ini banyak didasarkan pada teori piaget. Piaget mengemukakan bahwa seseorang
dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan
proses membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan bersifat statis tetapi
tidak terus berevolusi. Pengetahuan tumbuh berkembang pada saat proses
pembelajaran menghadapi pengalaman baru. Pengalaman baru ini memaksa
mereka untuk membangun proses memodifikasi pengetahuan awal mereka. Setiap
interaksi dengan suatu pengetahuan maka perlu mengandalkan pengalaman.
Tanpa interaksi dengan objek, seorang anak tidak dapat mengkontruksi
pengetahuannya. Seperti halnya Piaget, Vygotsky juga percaya bahwa
perkembangan pada saat terjadi intelektual individu berhadapan dengan proses
pengalaman baru yang menantang, ketika mereka berusaha untuk memecahkan
masalah yang dimunculkan. Untuk memperoleh pemahaman pengetahuan baru,
maka perlu mengkaitkan dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki. Melalui
tantangan proses bantuan dari seseorang atau teman sejawat yang lebih mampu,
mengantarkan seseorang ke zona pengembangan terdekat mereka dimana
pembelajaran baru terjadi.
Dalam pembelajaran, pendekatan pembelajaran penting untuk menunjang
keberhasilan peserta didik. Pendekatan pembelajaran adalah cara yang ditempuh
dalam pelaksanaan pembelajaran agar konsep yang disajikan bisa beradatptasi.
Pendekatan pembalajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang
kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang
terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi,
menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan
teoritis tertentu. Pendekatan pembelajaran matematika sangat banyak, tapi
makalah ini difokuskan untuk membahas pendekatan problem solving.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah filosofi lahirnya pendekatan problem solving?
2. Apa pengertian pendekatan problem solving?
3. Bagaimanakah karakteristik, ciri-ciri, tujuan, dan manfaat pendekatan
problem solving?
4. Bagaimanakah langkah-langkah pembelajaran pendekatan problem solving?
81

5. Bagaimanakah aplikasi pendekatan problem solving dalam pembelajaran


matematika?
6. Bagaimanakah kelebihan dan kekurangan pembelajaran pendekatan problem
solving?
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa dapat menjelaskan filosofi lahirnya pendekatan problem solving.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian pendekatan problem solving.
3. Mahasiswa dapat menjelaskan karakteristik, ciri-ciri, tujuan, dan manfaat
pendekatan problem solving.
4. Mahasiswa dapat menjelaskan langkah-langkah pembelajaran pendekatan
problem solving.
5. Mahasiswa dapat mengaplikasikan pendekatan problem solving dalam
pembelajaran matematika.
6. Mahasiswa dapat menjelaskan kelebihan dan kekurangan pembelajaran
pendekatan problem solving.
82

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Filosofi Lahirnya Pendekatan Problem Solving


Munculnya teori belajar Problem Solving didasari oleh teori
konstruktivisme yang berprinsip bahwa siswa harus membangun pengetahuannya
sendiri, agar pembelajaran yang dialaminya bermakna (Marsella, 2012). Seorang
matematikawan bernama George Polya tertarik terhadap teori ini dan Polya
banyak membahasakan mengenai Problem solving, maka dari itu Polya disebut
sebagai Bapak Problem solving. George Polya lahir pada tahun 1887 dan
meninggal pada tahun 1985. Ia mengatakan bahwa apabila anda tidak dapat
menyelesaikan problem, maka ada problem termudah yang tidak dapat anda
selesaikan atau temukan (If you can’t solve a problem, then there is an easier
problem you can’t solve or find it).
George Polya adalah seorang matematikawan generalis. Polya layak disebut
matematikawan paling berpengaruh pada abad 20. Riset mendasar yang dilakukan
pada bidang analisis kompleks, fisika matematikal, teori probabilitas, geometri
dan kombinatorik banyak memberi sumbangsih bagi perkembangan matematika.
Sebagai seorang guru yang piawai, minat mengajar dan antusiasme tinggi tidak
pernah hilang sampai akhir hayatnya.
Semasa di Zurich-pun, karya-karya di bidang matematika sangat beragam
dan produktif. Tahun 1918, mengarang makalah tentang deret, teori bilangan,
sistem voting dan kombinatorik. Tahun berikutnya, menambah dengan topik-topik
seperti astronomi dan probabilitas. Meskipun pikiran sepenuhnya ditumpahkan
untuk topik-topik di atas, namun Polya mampu membuat hasil mengesankan pada
fungsi-fungsi integral.
Tahun 1933, Polya kembali mendapatkan Rockefeller Fellowship dan kali
ini dia pergi ke Princeton. Saat di Amerika, Polya diundang oleh Blichfeldt untuk
mengunjungi Stanford yang menarik minatnya. Kembali ke Zurich pada tahun
1940, namun situasi di Eropa – menjelang PD II, memaksa Polya kembali ke
Amerika. Bekerja di universitas Brown dan Smith College selama 2 tahun,
sebelum menerima undangan dari Stanford yang diterimanya dengan senang hati.
83

Sebelum meninggalkan Eropa, Polya sempat mengarang buku “How to


solve it” yang ditulis dalam bahasa Jerman. Setelah mencoba menawarkan ke
berbagai penerbit akhirnya dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris sebelum
diterbitkan oleh Princeton. Buku ini ternyata menjadi buku best seller yang terjual
lebih dari 1 juta copy dan kelak dialihbahasakan ke dalam 17 bahasa. Buku ini
berisikan metode-metode sistematis guna menemukan solusi atas problem-
problem yang dihadapi dan memungkinkan seseorang menemukan pemecahannya
sendiri karena memang sudah ada dan dapat dicari.
Ringkasan dari buku How to solve it, disebutkan ada beberapa tahapan
untuk menyelesaikan problem, yaitu (Marsella, 2012):
1. Memahami problem
Problem apa yang dihadapi? Bagaimana kondisi dan datanya? Bagaimana
memilah kondisi-kondisi tersebut?
2. Menyusun rencana
Menemukan hubungan antara data dengan hal-hal yang belum diketahui.
Apakah pernah ada problem yang mirip?
3. Melaksanakan rencana
Menjalankan rencana guna menemukan solusi, periksa setiap langkah dengan
seksama untuk membuktikan bahwa cara itu benar.
4. Menengok ke belakang
Melakukan penilaian terhadap solusi yang didapat.
Keempat tahapan ini lebih dikenal dengan See (memahami problem), Plan
(menyusun rencana), Do (melaksanakan rencana) dan Check (menguji jawaban),
sudah menjadi jargon sehari-hari dalam penyelesaian problem sehingga Polya
layak disebut dengan “Bapak problem solving”.

2.2 Pengertian Pendekatan Problem Solving


Istilah pendekatan dapat dipahami sebagai suatu jalan, cara atau
kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam pencapaian tujuan
pengajaran dilihat dari sudut bagaimana proses pengajaran atau materi pengajaran
itu, umum atau khusus dikelola (Susanto, 2013:194). Pendekatan pembelajaran
dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses
pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang
84

sifatnya masih sangat umum, didalamnya mewadahi, menginspirasi, menguatkan,


dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu (Susanto,
2013:195).
Menurut Depdikbud (1990: 180) pendekatan dapat diartikan, “sebagai
proses, perbuatan, atau cara untuk mendekati sesuatu”. Menurut pendapat
Wahjoedi (1999:121) pendekatan pembelajaran adalah cara mengelola kegiatan
belajar dan perilaku siswa agar ia dapat aktif melakukan tugas belajar sehingga
dapat memperoleh hasil belajar secara optimal.
Pendekatan pembelajaran merupakan cara kerja mempunyai sistem untuk
memudahkan pelaksanaan proses pembelajaran dan membelajarkan siswa guna
membantu dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendekatan
pembelajaran menurut Suyono & Hariyanto (2011:18) merupakan suatu himpunan
asumsi yang saling berhubungan dan terkait dengan sifat pembelajaran. Suatu
pendekatan bersifat aksiomatik dan menggambarkan sifat-sifat dan ciri khas suatu
pokok bahasan yang diajarkan.
Pendekatan pembelajaran merupakan perpaduan dari serangkaian urutan
kegiatan dan cara pengorganisasian materi pembelajaran untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Pendekatan pembelajaran diwujudkan dalam tindakan guru
dalam melaksanakan rencana mengajar meliputi tujuan, bahan, metode, alat serta
evaluasi agar mempengaruhi peserta didik mencapai tujuan pembelajaran.
Pendekatan pembelajaran merupalan jalan yang akan ditempuh oleh guru dan
siswa dalam mencapai tujuan instruksional untuk suatu satuan instruksional
tertentu. Pendekatan pembelajaran merupakan aktivitas guru dalam memilih
kegiatan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran tentu tidak kaku harus
menggunakan pendekatan tertentu, tetapi sifatnya lugas dan terencana. Artinya,
memilih pendekatan disesuaikan dengan kebutuhan materi ajar yang dituangkan
dalam perencanaan pembelajaran.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tentang pengertian pendekatan
pembelajaran yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa pendekatan
pembelajaran adalah suatu jalan, proses, perbuatan atau cara yang ditempuh oleh
guru atau siswa terhadap proses pembelajaran yang merujuk pada pandangan
tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya
85

mewadahi, menginspirasi, menguatkan dan melatari metode pembelajaran dengan


cakupan teoritis tertentu sehingga dapat memperoleh hasil belajar secara optimal.
Pendekatan pembelajaran yang menjadi titik fokus ini adalah pendekatan problem
solving.
Bidang studi matematika merupakan bidang studi yang berguna dan
membantu menyelesaikan berbagai masalah (problem) dalam kehidupan sehari-
hari yang berhubungan dengan hitung menghitung atau yang berkaitan dengan
urusan angka-angka berbagai macam masalah, yang memerlukan suatu
keterampilan dan kemampuan untuk memecahkannya (Susanto, 2013:195).
Masalah matematika merupakan situasi yang terhalang karena kurangnya
algoritma dalam mencari solusi yang dicari. Suatu masalah biasanya memuat
situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya tetapi tidak tahu
secara langsung apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikannya. Jika suatu
masalah diberikan kepada seorang siswa tersebut dapat mengetahui cara
penyelesaiannya dengan benar, maka soal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
masalah. Jadi, sesuatu dianggap masalah bergantung kepada orang yang
menghadapi masalah tersebut walaupun suatu soal tetap dapat memiliki
karakteristik tertentu sebagai masalah (Lidinillah, 2007:2).
Pengertian ‘masalah’ dapat berbeda antara satu pakar dengan pakar yang
lainnya dan juga antara satu guru dengan guru lainnya. Sebagian ahli pendidikan
matematika menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan yang harus
dijawab atau direspon. Namun, mereka juga menyatakan bahwa tidak semua
pertanyaan otomatis akan menjadi masalah menurut Diyah (Samsinad, 2016:10).
Definisi tersebut juga sejalan dengan pendapat Reys, Suydams, Lindquist dan
Smith (Afgani, 2011:29) bahwa masalah (problem) adalah suatu keadaan di mana
seseorang menginginkan sesuatu, akan tetapi tidak mengetahui dengan segera apa
yang harus dikerjakan untuk mendapatkannya. Suatu problem yang mudah
sehingga anak dengan segera dapat menemukan jawabannya maka masalah
tersebut bukan real problem.
Masalah dalam soal matematika dapat dibedakan menjadi masalah rutin dan
masalah tidak rutin. Masalah rutin adalah masalah yang memuat aplikasi prosedur
matematika dengan cara yang sama seperti yang telah dipelajari sebelumnya,
86

sedangkan masalah tidak rutin adalah masalah yang memuat banyak konsep dan
prosedur yang diajarkan dan banyak memuat penggunaan dari prosedur
matematika untuk menyelesaiakan masalah yang diberikan tidak jelas menurut
Reys, dkk (Afgani, 2011:30). Selain itu, Baroody (Afgani, 2011:31) juga
membedakan tiga jenis masalah selain masalah yang rutin dan tidak rutin, yakni
exercise, problems, dan enigmas.
Exercise adalah equates a problem with an assignment. Maksudnya, guru
biasanya memberikan suatu prosedur atau rumus/formula, kemudian memberikan
latihan, tugas “problem” perhitungan. Dengan demikian, anak telah siap dengan
strategi untuk memperoleh penyelesaiaanya karena cara menentukan jawaban dari
masalah yang diberikan telah diketahuinya.
Problem dapat didefinisikan sebagai suatu situasi puzzling, di mana
seseorang tertarik untuk mengetahui penyelesaiaanya, akan tetapi strategi
penyelesaiannya tidak serta merta tersedia. Lebih jelasnya suatu problems memuat
(1) keiinginan untuk mengetahui; (2) tidak adanya cara yang jelas untuk
mendapatkan penyelesaiaanya; dan (3) memerlukan suatu usaha dalam
menyelesaikannya.
Enigmas adalah suatu tugas yang diterima oleh seseorang sebagai suatu
masalah yang tidak terselesaikan (unsolvable) karena orang yang mendapat
masalah tersebut tidak tertarik untuk mendapatkan jawabannya.
Suatu pertanyaan hanya disebut sebagai masalah bagi siswa jika dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Siswa memiliki pengetahuan prasyarat untuk mengerjakan soal tersebut.
2. Siswa belum tahu algoritma/cara pemecahan soal tersebut.
3. Siswa mau dan berkehendak untuk menyelesaikan soal tersebut.
4. Siswa diperkirakan mampu menyelesaikan soal tersebut.
Belajar matematika pada dasarnya seseorang tidak terlepas dari masalah
karena berhasil atau tidaknya seseorang dalam matematika ditandai adanya
kemampuan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Menurut Bell
(Fadillah, 2009:6) menyatakan bahwa pertanyaan merupakan masalah bagi
seseorang bila ia menyadari keberadaaan situasi itu, mengakui bahwa situasi itu
memerlukan tindakan dan tidak dengan segera dapat menemukan pemecahan atau
87

penyelesaian situasi tersebut. Menurut Dindyal (Fadillah, 2009:6) suatu situasi


disebut masalah jika terdapat beberapa kendala pada kemampuan pemecah
masalah. Adanya kendala tersebut menyebabkan seorang pemecah masalah tidak
dapat mememecahkan suatu masalah secara langsung.
Russeffendi (Fadillah, 2009:6) mengemukakan bahwa sesuatu persoalan
merupakan masalah bagi seseorang, pertama bila persoalan itu tidak dikenalnya
atau dengan kata lain orang tersebut belum memiliki prosedur atau algoritma
tertentu untuk menyelesaikannya. Kedua, siswa harus mampu menyelesaikannya,
baik kesiapan mental maupun kesiapan pengetahuan untuk dapat menyelesaikan
masalah tersebut. Ketiga, sesuatu itu merupakan pemecahan masalah baginya, bila
ia ada niat menyelesaikannya. Seringkali dalam menghadapi masalah, siswa tidak
dapat dengan segera memperoleh pemecahannya. Tugas guru adalah membantu
siswa untuk memahami makna kata-kata atau istilah dalam masalah tersebut,
memotivasi mereka untuk senantiasa berusaha menyelesaikannya dan
menggunakan pengalaman yang ada dalam memecahkan masalah, sehingga siswa
tidak mudah putus asa ketika menghadapi suatu masalah.
Berdasarkan penjabaran-penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu
pertanyaan merupakan suatu masalah bagi siswa jika ia tidak dapat dengan segera
menjawab pertanyaan tersebut atau dengan kata lain siswa tidak dapat menjawab
pertanyaan tersebut dengan menggunakan prosedur rutin yang telah diketahuinya.
Sebuah pertanyaan dapat merupakan masalah bagi seseorang akan tetapi belum
tentu menjadi masalah untuk orang lain, demikian pula sebuah pertanyaan tidak
selamanya menjadi masalah bagi seseorang, artinya sebuah pertanyaan mungkin
saja menjadi masalah pada waktu tertentu, tetapi bukan masalah pada waktu yang
lain. Ini menunjukkan bahwa masalah bersifat subyektif bergantung pada waktu
dan kemampuan seseorang.
Pendekatan pemecahan masalah (problem solving) merupakan suatu
pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siswa memperoleh pengalaman
menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk
diterapkan pada pemecahan masalah yang tidak rutin. Pendekatan problem
solving memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan penyelesaian dari
masalah tersebut, maka mereka akan memperoleh kepuasan tertentu. Sehingga
88

siswa akan lebih termotivasi mempelajari prinsip-prinsip atau konsep yang


diberikan. Dalam menyelesaiakan masalah siswa perlu dilatih utnuk mendapatkan
langkah-langkah penyelesaian secara teratur,sistimatis dan penarikan kesimpulan
secarah sah berdasarkan kaidah yang telah ditetapkan. Pendekatan Problem
solving dalam pembelajaran menekankan pada pemahaman terhadap
permasalahan, kemudian mencari penyelesaian dan menyelesaikan permasalahan
serta melakukan evaluasi kembali penyelesaian yang di lakukan.
Pendekatan problem solving adalah suatu cara menyajikan pelajaran dengan
mendorong peserta didik untuk mencari atau memecahkan suatu
masalah/persoalan dalam rangka pencapaian tujuan pengajaran menurut Setiawan
(Sari, 2015). Menurut Abdurrahman (2003:257), pendekatan problem solving
(pemecahan masalah) menekankan pada pengajaran untuk berpikir tentang cara
memecahkan masalah dan pemrosesan informasi matematika.
Laster (Nainggolan, 2009:10) menyatakan bahwa problem solving adalah
situasi dimana seseorang individu atau kelompok diharuskan melakukan suatu
tugas dan tidak ada suatu algoritma yang bisa dengan mudah diakses untuk
menentukan penyelesaiannya. Sedangkan Buchanan (Nainggolan, 2009:10)
mendefinisikan problem solving adalah problem matematika sebagai soal non
rutin yang membutuhkan lebih dari prosedur atau algoritma yang mudah diperoleh
dalam proses penyelesaiannya. Lanjut lagi menurut NCTM ( National Council Of
Teacher Of Mathematics) mengemukakan bahwa problem solving merupakan
proses dimana siswa yang berpengalaman menyadari manfaat matematika dalam
kehidupan sehari-hari dan problem solving merupakan sebuah metode pendidikan
dan aplikasi untuk memberikan konteks yang konsisten dalam penerapan
pembelajaran dan penerapan matematika sehingga situasi masalah perlu diketahui
dan memperkuat motivasi untuk pengembangan konsep-konsep (Nainggolan,
2009:10).
Menurut Bell (Palobo, 2016:236) problem solving is general problem
solving should be defined as the resolution of a situation which is regarded as a
problem by the person who resolves it. Pemecahan masalah secara umum harus
didefinisikan sebagai resolusi (solusi/putusan) dari suatu situasi yang dianggap
sebagai masalah oleh orang yang menyelesaikannya. Sedangkan Haylock &
89

Thangata (Palobo, 2016:236) menyatakan bahwa problem solving adalah situasi


dimana siswa menggunakan pengetahuan dan penalaran matematikanya untuk
menyelesaikan kesenjangan antara yang diketahui dan tujuan yang ingin dicapai.
Jacobsen, Eggen, & Kauchak (Shanti & Abadi, 2015:125) mendefinisikan
pendekatan problem solving sebagai salah suatu pendekatan yang menuntut guru
untuk membantu siswa dalam belajar memecahkan masalah melalui pengalaman
pembelajaran hands-on. Pengalaman pembelajaran hands-on artinya siswa
berinteraksi langsung dengan masalah yang diberikan guru. Berinteraksi dimulai
dari ketika masalah dihadapkan kepada siswa sampai pada ketika solusi terbaik
telah dimiliki siswa. Interaksi siswa dengan masalah ini pun diharapkan mampu
membantu siswa dalam menemukan konsep matematika tertentu yang terkandung
dalam pemecahan masalah. Konsep tersebut bisa berupa konjektur, teorema,
rumus-rumus matematika, dan lain sebagainya. Pemecahan masalah dengan
tujuan untuk memperkenalkan atau menemukan konsep matematika tertentu, hal
inilah sekiranya yang menjadi fokus utama pendekatan problem solving. Lester &
Schroeder (Shanti & Abadi, 2015:126) juga mengungkapkan bahwa pendekatan
problem solving merupakan “real-life and simulated problem situations provide
context and reason for learning mathematics”. Artinya, pendekatan problem
solving merupakan pendekatan yang menggunakan masalah kehidupan sehari-hari
dan situasi masalah yang disimulasi sebagai kontek dan alasan untuk belajar
matematika.
Problem solving dalam pembelajaran memiliki arti khusus yaitu suatu
keahlian untuk memecahkan problem baik non rutin problem maupun probem
yang mecoba untuk mempromosikan tingkat berpikir yang lebih tinggi yang
terkait dengan materi pelajaran. Polya seorang ahli pendidikan terkenal
mengartikan pemecahan masalah sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari
suatu kesulitan guru atau siswa mencapai suatu tujuan yang tidak begitu mudah
segera dapat dicapai (Ma’rufi, 2015:59). Lanjut lagi Polya (Nainggolan, 2009:11),
mendefinisikan problem solving sebagai suatu kegiatan untuk:
a. Mencari tahu saat kita tidak tahu tentang suatu hal.
b. Mencari jalan keluar dari suatu kesulitan.
c. Mencari jalan untuk menghindari suatu hambatan.
90

d. Mencari tujuan yang kita inginkan, dimana pada awalnya tampak tujuan
tersebut mustahil untuk terwujud.
Problem Solving dalam matematika mempunyai arti yang lebih spesifik
yaitu:
a. Problem solving as a goal (sebagai tujuan) artinya bila pemecahan masalah
ditetapkan sebagai tujuan dalam suatu pembelajaran maka fokus dari
pembelajaran bukan pada soal tetapi lebih pada bagaimana cara
menyelesaikan masalah,
b. Problem solving as a process (sebagai proses) artinya pemecahan masalah
adalah suatu proses untuk mengaplikasikan berbagai pengetahuan yang
dimiliki pada situasi yang baru dan tidak biasa, dan
c. Problem solving as a basic skill (sebagai keterampilan dasar) artinya bahwa
pemecahan masalah merupakan salah satu keterampilan dasar dalam
matematika, selain keterampilan berhitung, aritmatika, keterampilan logika,
dan sebagainya.
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan problem solving
membimbing siswa untuk menyelesaikan permasalahan matematika yang
membentuk langkah-langkah yang jelas untuk mendapatkan hasilnya, sehingga
siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri, lebih aktif dalam kegiatan
pembelajaran, menumbuhkembangkan keterampilan yang tinggi dan
meningkatkan kepercayaan dirinya. Mengajar dengan menggunakan pendekatan
problem solving adalah cara mengajar dengan membimbing siswa untuk
menyelesaikan soal yang diberikan dengan tidak didahului dengan adanya contoh
yang relevan dan mengarahkan untuk mendapatkan hasilnya. Dalam arti bahwa
belajar dengan pendekatan problem solving materi yang disampaikan masih
merupakan masalah diserahkan kepada siswa untuk menyelesaiaknnya.
Guru dan siswa harus selalu berinteraksi bila terdapat kesulitan dalam
menyelesaikan masalah matematika. Guru juga harus mengetahui kemampuan
siswanya, bila memberikan soal harus mengetahui bobotnya. Bila bobot soal tidak
melebihi kemampuan siswa, maka siswa akan terbiasa dengan soal–soal
kemampuan matematika siswa dalam menyelesaikan permasalahan matematika
sedikit demi sedikti akan semakin meningkat. Masalah kemampuan siswa dalam
91

menyelesaikan permasalahan matematika selain kemampuan siswa dalam


memahami soal tersebut juga peran serta guru selalu aktif dalam membimbing
anak didiknya. Dalam menyelesaikan masalah siswa perlu dilatih untuk
mendapatkan langkah-langkah penyelesaian secara teratur, sistematis dan
penarikan kesimpulan secara sah berdasarkan kaidah yang telah ditetapkan.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan
problem solving merupakan suatu proses atau suatu cara menyajikan pelajaran
dengan mendorong peserta didik untuk mencari atau memecahkan suatu
masalah/persoalan melalui pengalaman pembelajaran hands-on yang
mengantarkan siswa untuk berinteraksi langsung dengan masalah yang diberikan
guru dan siswa mampu menemukan langkah-langkah pemecahan dan solusinya,
serta mengevaluasi solusi dari permasalahan tersebut.

2.3 Karakteristik, Ciri-ciri, Tujuan dan Manfaat Pendekatan Problem


Solving
Prinsip dasar atau karekteristik pembelajaran menggunakan pendekatan
problem solving menurut Branca (Sugiyono, Mardanu, Murdiyani, 2014: 122)
adalah sebagai berikut:
1. Adanya interaksi antarsiswa dan interaksi antar guru dan siswa.
2. Adanya dialog matematis dan konsensus antar siswa.
3. Guru menyediakan informasi yang cukup mengenai masalah, dan siswa
mengklarifikasi, menginterpretasi, dan mencoba mengkonstruksi
penyelesaiannya.
4. Guru menerima jawaban yang tidak bukan untuk mengevaluasi.
5. Guru membimbing, melatih, dan menanyakan dengan pertanyaan-pertanyaan
berwawasan dan berbagi dalam proses pemecahan masalah.
6. Guru mengetahui kapan campur tangan dan kapan mundur membiarkan siswa
menggunakan caranya sendiri.
7. Dapat menggiatkan siswa untuk melakukan generalisasi aturan dan konsep,
sebuah proses sentral dalam matematika.
92

Ciri-ciri pendekatan problem solving menurut Tjadimojo (Zahara,


2012:205) yaitu:
1. Problem solving merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam
implementasi problem solving ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan
siswa. Problem solving tidak mengharapkan siswa hanya sekedar
mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, akan tetapi
melalui Problem Solving siswa aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan
mengolah data, dan akhirnya menyimpulkan.
2. Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. Problem
solving menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran.
Artinya, tanpa masalah maka tidak mungkin ada proses pembelajaran.
3. Pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir
secara ilmiah. Berpikir dengan menggunakan metode ilmiah adalah proses
berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir ini dilakukan secara secara
sistematis dan empiris. Sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan melalui
tahapan-tahapan tertentu; sedangkan empiris artinya proses penyelesaian
masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas.
Tujuan pembelajaran dengan pendekatan problem solving menurut Ibrahim
dan Nur (2000:242) yaitu:
1. Membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir dan memecahkan
masalah.
2. Belajar berbagi peran melalui keterlibatan dalam pengalaman nyata.
3. Menjadi para siswa yang otonom.
Menurut Hudojo (Zahara, 2012:205) tujuan dari pembelajaran dengan
pendekatan problem solving yaitu:
1. Siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan kemudian
menganalisisnya dan akhirnya meneliti kembali hasilnya.
2. Kepuasaan intelektual akan timbul dari dalam sebagai hadiah intrinsik bagi
siswa.
3. Potensi intelektual siswa meningkat.
4. Siswa belajar bagaimana melakukan penemuan dengan melalui proses
melakukan penemuan.
93

Manfaat dari pembelajaran dengan pendekatan problem solving adalah


sebagai berikut:
1. Mengembangkan sikap keterampilan siswa dalam memecahkan masalah,
serta dalam mengambil keputusan secara objektif dan mandiri.
2. Mengembangkan kemampuan berpikir siswa, anggapan yang menyatakan
bahwa kemampuan berpikir akan lahir bila pengetahuan makin bertambah.
3. Melalui problem solving kemampuan berpikir tadi diproses dalam situasi atau
keadaan yang benar- benar dihayati, diminati siswa serta dalam berbagai
macam ragam alternatif.
4. Membina pengembangan sikap perasaan ingin tahu lebih jauh dan cara
berpikir objektif – mandiri, krisis – analisis baik secara individual maupun
kelompok.

2.4 Langkah-Langkah Pembelajaran Pendekatan Problem Solving


Pemecahan masalah matematika memerlukan langkah-langkah dan prosedur
yang benar. Menurut Polya dalam bukunya How to Solve It, a New Aspect of
Mathematical Method (2nd Ed) terdapat empat langkah yang harus dilakukan
dalam menyelesaikan suatu masalah (Sugiyono, Mardanu, Murdiyani, 2014: 122),
yaitu sebagai berikut:
1. Memahami masalah (Understand the problem)
Pada langkah ini siswa memahami permasalahan yang terjadi terlebih
dahulu, sehingga siswa dapat menentukan strategi yang akan digunakan untuk
menyelesaikannya.
2. Merencanakan pemecahan masalah (devise a plan)
Pada langkah ini siswa merencanakan strategi yang akan digunakan dalam
menyelesaikan masalah. Adapun strategi-strategi yang dapat dilakukan antara
lain:
a. Strategi Act it out
Strategi ini dapat membantu siswa dalam proses visualisasi masalah yang
tercakup dalam soal yang dihadapi. Dalam pelaksanaannya, strategi ini
dilakukan dengan menggunakan gerakan-gerakan fisik atau dengan
menggerakkan benda-benda kongkrit. Gerakan fisik ini dapat membantu atau
mempermudah siswa dalam menemukan hubungan antara komponen-
94

komponen yang tercakup dalam suatu masalah. Pada saat guru


memperkenalkan strategi ini, sebaiknya ditekankan bahwa penggunaan obyek
kongkrit yang dicontohkan sebenarnya dapat diganti dengan suatu model
yang lebih sederhana misalnya gambar. Untuk memperkenalkan strategi ini,
banyak masalah dalam kehidupan sehari-hari yang dapat digunakan sebagai
tema atau konteks masalahnya. Di bawah ini disajikan satu contoh masalah
yang dapat diselesaikan dengan menggunakan strategi act it out.
Seorang pedagang membeli seekor kambing dengan harga Rp 250.000.
Kambingtersebut dia jual kembali seharga Rp 275.000. Setelah itu dia
membeli kambingyang lebih besar dengan harga Rp 300.000, dan
menjualnya kembali seharga Rp 350.000. Apakah pedagang tersebut untung
atau rugi? Tentukan keuntungan atau kerugiannya.
b. Membuat gambar atau diagram
Strategi ini dapat membantu siswa untuk mengungkapkan informasi yang
terkandung dalam masalah sehingga hubungan antar komponan dalam
masalah tersebut dapat terlihat dengan lebih jelas. Pada saat guru mencoba
mengajarkan strategi ini, penekanan perlu dilakukan bahwa gambar atau
diagram yang dibuat tidak perlu sempurna, terlalu bagus atau terlalu detail.
Hal yang perlu digambar atau dibuat diagramnya adalah bagian-bagian
terpenting yang diperkirakan mampu memperjelas permasalahan yang
dihadapi. Berikut adalah satu contoh masalah yang dapat diselesaikan dengan
bantuan gambar atau diagram.
Jika kamu membeli perangko di kantor pos, biasanya perangko-perangko itu
saling menempel satu dengan lainnya. Jika kamu membeli tiga perangko
yang saling menempel, ada berapa kemungkinan bentuk susunan perangko
yang kamu dapatkan.
c. Menemukan pola
Kegiatan matematika yang berkaitan dengan proses menemukan suatu pola
dari sejumlah data yang diberikan, bagi anak usia sekolah dasar, dapat mulai
dilakukan melalui sekumpulan gambar atau bilangan. Kegiatan yang mungkin
dilakukan antara lain dengan mengobservasi sifat-sifat yang dimiliki bersama
oleh kumpulan gambar atau bilangan yang tersedia. Sebagai suatu strategi
95

untuk pemecahan masalah, pencarian pola yang pada awalnya hanya


dilakukan secara pasif melalui klu yang diberikan guru, pada suatu saat
keterampilan itu akan terbentuk dengan sendirinya sehingga pada saat
menghadapi permasalahan tertentu, salah satu pertanyaan yang mungkin
muncul pada benak seseorang antara lain adalah: “Adakah pola atau
keteraturan tertentu yang mengaitkan tiap data yang diberikan?”. Tanpa
melalui latihan, sangat sulit bagi seseorang untuk menyadari bahwa dalam
permasalahan yang dihadapinya terdapat pola yang bisa diungkap. Contoh
masalah berikut ini dapat diselesaikan dengan menggunakan strategi
pencarian pola.
Sebuah pulau kecil berpenduduk 1000 orang. Tiap 30 tahun, penduduk pulau
tersebut jumlahnya menjadi duakali lipat. Berapa penduduk pulau itu dalam
30 tahun mendatang ? Dalam 60 tahun mendatang ? Dalam 300 tahun
mendatang ?. Kapan penduduk pulau tersebut berjumlah lebih dari 1 juta
orang ? Lebih dari 1 milyar orang ?
d. Membuat tabel
Mengorganisasi data ke dalam sebuah tabel dapat membantu kita dalam
mengungkapkan suatu pola tertentu serta dalam mengidentifikasi informasi
yang tidak lengkap. Penggunaan tabel merupakan langkah yang sangat efisien
untuk melakukan klasifikasi serta menyusun sejumlah besar data sehingga
apabila muncul pertanyaan baru berkenaan dengan data tersebut, maka kita
akan dengan mudah menggunakan data tersebut, sehingga jawaban
pertanyaan tadi dapat diselesaikan dengan baik. Soal berikut merupakan
contoh masalah yang dapat diselesaikan dengan bantuan tabel.
Misalkan seorang direktur perusahaan menjanjikan bonus Rp. 10.000 untuk
minggu pertama bekerja, Rp. 20.000 pada minggu kedua, dan Rp. 40.000
pada minggu ketiga, dan seterusnya. Berapa besar bonus yang dijanjikannya
pada minggu kesepuluh ?
e. Memperhatikan semua kemungkinan secara sistematik
Strategi ini biasanya digunakan bersamaan dengan strategi mencari pola dan
menggambar tabel. Dalam menggunakan strategi ini, kita mungkin tidak
perlu memperhatikan keseluruhan kemungkinan yang bisa terjadi. Yang kita
96

perhatikan adalah semua kemungkinan yang diperoleh dengan cara yang


sistematik. Yang dimaksud sistematik disini misalnya dengan
mengorganisasikan data berdasarkan kategori tertentu. Namun demikian,
untuk masalah-masalah tertentu, mungkin kita harus memperhatikan semua
kemungkinan yang bisa terjadi. Contoh berikut ini memuat masalah yang
dapat diselesaikan dengan strategi tersebut.
Tanya temanmu untuk merahasiakan sebuah bilangan antara 1 dan 10.
Carilah bilangan itu dengan cara mengajukan pertanyaan yang jawabannya
ya atau tidak paling banyak lima kali. Berapa pertanyaan yang diperlukan
untuk mencari bilangan antara 1 dan 20? Antara 1 dan 100?
f. Tebak dan periksa (Guess dan Check)
Strategi menebak yang dimaksudkan disini adalah menebak yang didasarkan
pada alasan tertentu serta kehati-hatian. Selain itu, untuk dapat melakukan
tebakan dengan baik seseorang perlu memiliki pengalaman cukup yang
berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi. Contoh soal di bawah ini
memuat masalah yang dapat diselesaikan dengan menggunakan strategi tebak
dan periksa.
Balok di bawah ini isinya adalah 2880 cm kubik. Carilah balok lainnya yang
memiliki isi sama.

g. Strategi kerja mundur.


Suatu masalah kadang-kadang disajikan dalam suatu cara sehingga yang
diketahui itu sebenarnya merupakan hasil dari proses tertentu, sedangkan
komponen yang ditanyakan merupakan komponen yang seharusnya muncul
lebih awal. Penyelesaian masalah seperti ini biasanya dapat dilakukan dengan
menggunakan strategi mundur. Contoh masalahnya adalah sebagai berikut.
Jika jumlah dua bilangan bulat adalah 12, sedangkan hasil kalinya 45,
tentukan kedua bilangan tersebut.
97

h. Menentukan yang diketahui, yang ditanyakan, dan informasi yang diperlukan.


Strategi ini merupakan cara penyelesaian yang sangat terkenal sehingga
seringkali muncul dalam buku-buku matematika termasuk dalam buku paket
matematika untuk sekolah dasar di Indonesia.
i. Menggunakan kalimat terbuka
Strategi ini juga termasuk sering diberikan dalam buku-buku matematika
sekolah dasar. Walaupun strategi ini termasuk sering digunakan, akan tetapi
pada langkah awal anak seringkali mendapat kesulitan untuk menentukan
kalimat terbuka yang sesuai. Untuk sampai pada kalimat yang dicari,
seringkali harus melalui penggunaan strategi lain, dengan maksud agar
hubungan antar unsur yang terkandung di dalam masalah dapat dilihat secara
jelas. Setelah itu baru dibuat kalimat terbukanya. Berikut adalah contoh
masalah yang dapat diselesaikan dengan menggunakan strategi kalimat
terbuka.
Dua pertiga dari suatu bilangan adalah 24 dan setengah dari bilangan
tersebut adalah 18. Berapakah bilangan tersebut?
j. Menyelesaikan masalah yang mirip atau masalah yang lebih mudah.
Sebuah soal adakalanya sangat sulit untuk diselesaikan karena di dalamnya
terkandung permasalahan yang cukup kompleks misalnya menyangkut
bilangan yang sangat besar, bilangan sangat kecil, atau berkaitan dengan pola
yang cukup kompleks. Untuk menyelesaikan masalah seperti ini, dapat
dilakukan dengan menggunakan analogimelalui penyelesaian masalah yang
mirip atau masalah yang lebih mudah.
Berapa tebal kertas buku tulis yang kamu miliki ? Untuk mencari
jawabannya hanya diperkenankan menggunakan mistar yang kamu miliki.
k. Mengubah sudut pandang
Strategi ini seringkali digunakan setelah kita gagal untuk menyelesaikan
masalah dengan menggunakan strategi lainnya. Waktu kita mencoba
menyelesaikan masalah, sebenarnya kita mulai dengan suatu sudut pandang
tertentu atau mencoba menggunakan asumsi-asumsi tertentu. Setelah kita
mencoba menggunakan suatu strategi dan ternyata gagal, kecenderungannya
adalah kembali memperhatikan soal dengan menggunakan sudut pandang
98

yang sama. Jika setelah menggunakan strategi lain ternyata masih tetap
menemui kegagalan, cobalah untuk mengubah sudut pandang dengan
memperbaiki asumsi atau memeriksa logika berfikir yang digunakan
sebelumnya. Contoh penggunaan strategi tersebut dapat dilakukan pada soal
berikut.
Ada berapa segitiga pada gambar berikut ini ?

3. Menyelesaikan masalah (excute the plan)


Pada langkah ini siswa menyelesaikan masalah sesuai dengan strategi
pemecahan masalah yang sudah dipilih. Selain itu siswa harus memastikan setiap
langkah pengerjaan yang dilakukannya telah benar dan sesuai dengan rencana
sebelumnya.
4. Memeriksa kembali (looking back)
Pada langkah ini siswa memeriksa kembali hasil yang telah diperoleh,
apakah sesuai dengan data pada soal. Memikirkan atau menelaah kembali
langkah-langkah yang telah dilakukan dalam pemecahan masalah merupakan
kegiatan yang sangat penting untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam
pemecahan masalah. Hal-hal yang dapat dikembangkan dalam langkah terakhir
dari strategi Polya dalam pemecahan masalah tersebut adalah: mencari
kemungkinan adanya generalisasi, melakukan pengecekan terhadap hasil yang
diperoleh, mencari cara lain untuk menyelesaikan masalah yang sama, mencari
kemungkinan adanya penyelesaian lain, dan menelaah kembali proses
penyelesaian masalah yang telah dibuat.
Polya mengajukan sejumlah langkah-langkah berkaitan dengan problem
solving yaitu (Ma’rufi, 2015:59):
1. Pemahaman masalah (understanding the problem). Hal ini meliputi:
a. Apakah yang tidak diketahui? Data apakah yang diberikan? Bagaimanakah
kondisi soal?
99

b. Mungkinkah kondisi dinyatakan dalam bentuk persamaan atau ada hubungan


lainnya?
c. Apakah kondisi yang diberikan cukup untuk mencari apa yang ditanyakan?
d. Apakah kondisi tersebut tidak cukup? Apakah kondisi itu berlebihan atau itu
saling bertentangan? Dan
e. Buatlah gambar atau tuliskan notasi yang sesuai/.
2. Perencanaan penyelesaian (devising a plan). Langkah ini menyangkut
beberapa aspek penting yaitu:
a. Pernakah anda menemukan soal seperti ini sebelumnya? Pernakah ada soal
yang serupa dalam bentuk lain?
b. Teori mana yang dapat digunakan dalam masalah ini?
c. Perhatikan apa yang ditanyakan atau coba pikirkan soal yang pernah dikenal
dengan pertanyaan yang sama atau serupa. Andaikan ada soal yang mirip
dengan soal yang perna diselesaikan, dapatkah pengalaman tersebut
digunakan dalam masalah yang sekarang?
d. Dapatkah hasil dan metode yang lalu digunakan disini?
e. Apakah harus dicari unsur lain agar dapat memanfaatkan soal semula,
mengulang soal tadi atau menyatakan dalam bentuk lain?
f. Andaikan soal baru belum dapat diselesaikan, coba pikir soal serupa dan
selesaikan. Bagaimana bentuk soal tersebut?
g. Bagaiman bentuk soal yang lebih khusus?
h. Misalkan sebagian kondisi dibuang sejauhmana yang dinyatakan dalam soal
dapat dicari?
i. Manfaat apa yang dapat diperoleh dengan kondisi sekarang?
j. Apakah semua data dan kondisi sudah digunakan? Sudahkah diperhitungkan
ide-ide penting yang ada dalam soal tersebut?
3. Pelaksanaan penyelesaian (carrying out the plan). Langkah ini menekankan
pada pelaksanaan perencanaan penyelesaian. Prosedur yang ditempuh adalah:
a. Memeriksa setiap langkah apakah sudah benar atau belum?
b. Bagaimana membuktikan bahwa langkah yang dipilih sudah benar?
100

4. Pemeriksaan kembali proses dan hasil (looking back). Pada bagian akhir
Polya menekankan pada bagaimana cara memeriksa kebenaran jawaban yang
telah diperoleh. Prosedur yang harus diperhatikan adalah:
a. Dapatkah diperiksa sanggahannya?
b. Dapatkah jawabannya dicari dengan cara lain?
c. Dapatkah anda melihat kembali secara sekilas?
d. Dapatkah cara atau jawaban tersebut digunakan untuk soal-soal lain?
Menurut Krulik dan Rudnick (Ma’rufi, 2015:67) bahwa ada lima fase dalam
proses pemecahan masalah yang disebut heuristic, yaitu:
1. Membaca dan memikirkan (Read and Think)
Aktivitas dilakukan seseorang (siswa) pada tahap ini yaitu menganalisis
masalah; menguji dan mengevaluasi fakta-fakta; menentukan pertanyaan; setting
secara fisik divisualisasikan, dideskripsikan dan dipahami; masalah di
terjemahkan kedalam bahasa siswa; dan menghubungkan antar bagian-bagian dari
masalah.
2. Mengeksplorasikan dan merencanakan (Explore and Plan)
Pada fase ini, data dianalisis dan menentukan syarat cukup informasi,
mengeliminasi hal-hal yang tidak perlu, mengorganisasikan data dalam suatu
tabel, gambar, model dan sebagainya. Dari sini, suatu rencana untuk menemukan
solusi dikembangkan.
3. Memilih suatu strategi (Select a strategy)
Strategi merupakan bagian dari proses pemecahan masalah yang memberi
arah atau petunjuk kepada siswa untuk menemukan jawabannya. Ada beberapa
startegi pada umumnya digunakan dalam memecahkan masalah yaitu:
a. Mengenal pola-pola (pattern recognition)
b. Bekerja mundul/balik (working backwards)
c. Menerka dan menguji (guess and test)
d. Melakukan percobaan eksperimen atau simulasi (experimention or
simulation)
e. Mereduksi/memperluas (rediction/expansion)
f. Mengoorganisasikan daftar/melengkapi daftar (organized listing/exhaustive)
g. Mendeduksi secara logis (logical deduction)
101

h. Memisahkan dan mengatasi (devide and conquer)


Dari beberapa strategi tersebut siswa dapat memilih salah satu atau lebih
strategi untuk dgunakan dalam proses pemecahan masalah.
4. Menentukan suatu jawaban (Find an answer)
Pada fase ini, semua keterampilan-keterampilan matematika digunakan
secara tepat untuk menemukan suatu jawaban. Lakukan estimasi secara tepat.
Gunakan bantuan teknologi seperti kalkulator bila diperlukan.
5. Meninjau kembali dan mendiskusikan (Reflect and Extend)
Aktivitas yang dilakukan pada fase ini antara lain:
a. Mengecek kebenaran jawaban:
1) Apakah perhitungannya benar?
2) Apakah pertanyaannya benar?
3) Apakah pertanyaan terjawab?
4) Bagaimanakah jawaban bila dibandingkan hasil estimasi (terkaan)?
b. Menemukan alternatif-alternatif solusi (pemecahan)
c. Membahas kedalam generalisasi atau kedalam konsep matematika yang lain.
d. Mendiskusikan solusi-solusi (pemecahan masalah)
e. Menciptakan variasi-variasi yang menarik pada masalah asli (semula).
Sedangkan menurut John Dewey (Ma’rufi, 2015:69) ada lima fase dalam
memecahkan masalah yaitu:
1. Pengenalan (Recognition): merasakan suatu kesulitan.
 Menyadari hal yang belum diketahui.
 Frustasi pada ketidakjelasan dari situasi.
2. Pendefinisian (Definition): mengklarifikasi karakteristik-karakteristik dari
situasi.
 Mengkhususkan apa yang diketahui dan yang tidak diketahui.
 Menentukan tujuan-tujuan.
 Mengidentifikasi kondisi-kondisi yang standar dan ekstrim.
3. Perumusan (Formulation): menyatakan dengan jelas hipotesis-hipotesis dan
kondisi-kondisi.
 Memperhatikan pola-pola
 Mengidentifikasi langkah-langkah dalam membuat suatu rencana.
102

 Memilih atau menemukan suatu algoritma.


4. Mencobakan (Test): melaksanakan rencana.
 Menggunakan algoritma yang ada
 Mengumpulkan data tambahan
 Melakukan analisis kebutuhan
 Merumuskan kembali masalah
 Mencoba untuk situasi-situasi yang mirip (analogi)
 Mendapatkan hasil (jawaban)
5. Evaluasi (Evaluation): apakah definisi dari masalah cocok dengan situasinya?
 Apakah hipotesis-hipotesisnya sesuai?
 Apakah data tepat digunakan?
 Apakah analisis sesuai dengan tipe data yang ada?
 Apakah hasilnya masuk akal (rasional)?
 Apakah hasilnya dapat diaplikasikan di tempat (soal) lain?
 Apakah rencana (algoritma) dapat diaplikasikan ditempat (soal) lain?
Bila diperhatikan fase-fase pemecahan masalah yang dikemukakan John
Dewey ternyata fase pertama dan fase kedua aktivitasnya sesuai dengan aktivitas
pada fase pertama menurut Polya. Sehingga fase pertama dan fase kedua dalam
proses pemecahan masalah menurut John Dewey merupakan fase pertama yang
dikemukakan Polya. Selanjutnya bila dibandingkan ketiga pendapat ahli itu maka
dapat dirangkum seperti tercantum pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Perbandingan fase-fase dalam pemecahan masalah menurut beberapa


pendapat ahli
Fase-fase dalam pemecahan masalah
Krulik dan Rudnick Polya John Dewey
Pengenalan
Membaca dan Memahami Masalah
(Recognition)
memikirkan (Read and (Understanding the
Pendefinisian
Think) problem)
(Definision)
Mengeksplorasi dan
Merencanakan (Explore Membuat rencana
Perumusan
and Plan) penyelesaian (Devising a
(Formulation)
Memilih satu strategis Plan)
(Select a strategy)
Menemukan suatu Melaksanakan rencana
Mencobakan (Test)
jawaban (Find and penyelesaian (Carrying
103

Answer) Out the Plan)


Meninjau kembali dan
Menafsirkan kembali
mendiskusikan (Reflect Evaluasi (Evaluation)
hasilnya (Looking Back)
and extend)
Sumber: Ma’rufi (2015:72)

Tabel 1 menjelaskan bahwa fase-fase pemecahan masalah menurut Krulik


dan Rudnick dengan fase-fase Polya memiliki perbandingan yaitu fase kedua dan
fase ketiga dari fase-fase Krulik dan Rudnick merupakan fase kedua Polya.
Menurut Polya (Ma’rufi, 2015:74) aktivitas setiap fase dalam pemecahan masalah
diuraikan secara rinci sebagai berikut:
1. Memahami masalah (Understanding the problem)
 Mengidentifikasi hal-hal (data) yang diketahui dan hal-hal yang
dipertanyakan dalam soal (masalah)
 Mengecek, apakah masalahnya mungkin memenuhi kondisi? Apakah
dipertanyakan? Ataukah berlebihan? Ataukah kontradiksi?
 Menggambarkan suatu figure (bentuk)
 Mengenal notasi yang cocok (sesuai)
 Memisahkan bagian-bagian dari kondisi
 Mendefinisikan kuantitas-kuantitas dan konsep-konsep yang diperlukan
2. Membuat rencana penyelesaian (Devising a Plan)
 Mengidentifikasi hubungan-hubungan antara hal-hal yang diketahui
dengan hal-hal yang dipertanyakan
 Apakah sesuatu (hal) kelihatan telah dikenal (familiar)?
 Apakah ada hubungannya dengan masalah (analog)?
 Apakah urutan langkah-langkah yang tepat?
 Bagaimana cara memperoleh dari satu langkah ke langkah berikutnya?
3. Melaksanakan rencana penyelesaian (Carrying Out the Plan)
 Mengecek setiap langkah
 Apakah hasil pada setiap langkah masuk akal?
 Apakah prosedur yang digunakan pada setiap langkah tepat?
 Apakah kamu membuat suatu kesalahan?
 Cek rencana seluruhnya.
4. Menafsirkan kembali hasilnya (Looking Back)
104

 Periksa hasil akhir


 Periksa proses secara keseluruhan
 Bila proses diulangi apakah menghasilkan hasil yang sama?
 Apakah hasilnya dapat diaplikasikan dalam suatu kondisi yang ekstrim?
 Apakah hasilnya nampak terbaca?
 Dapatkah hasilnya diperoleh dengan cara yang lain?

2.5 Penerapan Pendekatan Problem Solving dalam Pembelajaran


Matematika
Bagas dan Soni berencana untuk makan di warung Pak Bimo dan pergi
latihan softball bersama. Latihan softball dimulai pukul 10.00. Bagas memerlukan
waktu ¾ jam untuk menjemput Soni dan pergi ke warung Pak Bimo dekat lokasi
latihan softball. Untuk makan dan berjalan ke lokasi latihan diperlukan waktu 1 ¼
jam. Mereka ingin tiba di lokasi latihan 15 menit sebelum di mulai. Pukul berapa
Bagas seharusnya meninggalkan rumahnya?
Penyelesaian:
1. Memahami masalah (Understanding the problem)
Dik:
a. Softball dimulai pukul 10.00
b. Menjemput Soni ¾ jam
c. Makan dan berjalan ke lokasi latihan 1 ¼ jam
d. Ingin tiba di lokasi latihan 15 menit sebelum di mulai.
Dit: Pukul berapa Bagas seharusnya meninggalkan rumahnya?
2. Membuat rencana penyelesaian (Devising a plan)
Bekerja mundur adalah salah satu langkah pemecahan masalah yang efektif
dan efisien untuk mengatasi masalah ini yaitu mulai dari pukul 10.00
kemudian dikurangi 15 menit, dikurangi lagi 1 ¼ jam, dan selanjutnya
dikurangi lagi ¾ jam.
3. Melaksanakan rencana penyelesaian (Carrying Out the Plan)
Dengan memperhatikan rencana pemecahan masalah yang telah dibuat maka
dapat dihitung sebagai berikut:
a. Dimulai pukul 10.00. Tiba di lokasi 10.00 – 15 menit = 09.45
b. Makan dan berjalan 09.45 – 01.15 = 08.30
105

c. Menjemput Soni dan ke warung 08.30 – 45 menit = 07.45


Jadi, Bagas meninggalkan rumah pukul 07.45
4. Menafsirkan kembali hasilnya (Looking Back)
Dengan memeriksa dan mendapatkan hasilnya, kemudian dicek kebenarannya
dengan memulai berangkat dari pukul 07.45 kemudian menambahkan ¾ jam
= 07.45 + 00.45 = 08.30. Selanjutnya 08.30 dijumlahkan dengan 1 ¼ jam =
08.30 + 01.15 = 09.45. Hal ini berarti bahwa benar tiba 15 menit sebelum
pukul 10.00

2.6 Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Pendekatan Problem Solving


Kelebihan pembelajaran pendekatan problem solving menurut Hariyanti
(Yusuf & Sutiarso, 2017:284) yaitu:
1. Mendidik siswa untuk berpikir sistematis,
2. Melatih siswa untuk mendesainsuatu penemuan,
3. Berpikir dan bertindak kreatif,
4. Memecahkan masalah yang dihadapi secara relalistis,
5. Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan,
6. Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan,
7. Merangsang perkembangan kemajuan berpikir siswa untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi dengan tepat,
8. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan,
khususnya dunia kerja,
9. Mampu mencari jalan keluar terhadap situasi yang dihadapi,
10. Belajar menganalisis suatu masalah dari berbagai aspek, dan
11. Mendidik siswa percaya diri sendiri.
Kelemahan pembelajaran pendekatan problem solving menurut Hariyanti
(Yusuf & Sutiarso, 2017:284) yaitu:
1. Memerlukan waktu yang cukup banyak,
2. Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah berbeda-beda ada yang
sempurna dalam memecahkan masalah tetapi ada juga yang kurang dalam
memecahkan masalah.
106

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Munculnya teori belajar Problem Solving didasari oleh teori
konstruktivisme yang berprinsip bahwa siswa harus membangun pengetahuannya
sendiri, agar pembelajaran yang dialaminya bermakna. Seorang matematikawan
bernama George Polya tertarik terhadap teori ini dan Polya banyak
membahasakan mengenai Problem solving. Polya mengarang buku “How to solve
it” yang ditulis dalam bahasa Jerman dengan ringkasan beberapa tahapan untuk
menyelesaikan problem, yaitu (1) memahami problem, (2) menyusun rencana, (3)
melaksanakan rencana, dan (4) menengok ke belakang.
Pendekatan problem solving merupakan suatu proses atau suatu cara
menyajikan pelajaran dengan mendorong peserta didik untuk mencari atau
memecahkan suatu masalah/persoalan melalui pengalaman pembelajaran hands-
on yang mengantarkan siswa untuk berinteraksi langsung dengan masalah yang
diberikan guru dan siswa mampu menemukan langkah-langkah pemecahan dan
solusinya, serta mengevaluasi solusi dari permasalahan tersebut. Langkah-langkah
pembelajaran dengan pendekatan problem solving menurut para pakar yaitu (1)
menurut Polya yaitu memahami masalah (understanding the problem), membuat
rencana penyelesaian (devising a plan), melaksanakan rencana penyelesaian
(carrying out the plan), dan menafsirkan kembali hasilnya (looking back), (2)
menurut John Dewey yaitu pengenalan (recognition), pendefinisian (definition),
perumusan (formulation), mencobakan (test), dan evaluasi (evaluation), dan (3)
menurut Krulik and Rudnick yaitu membaca dan memikirkan (read and think),
mengeksplorasi dan merencanakan (explore and plan), memilih satu strategi
(select a strategy), menemukan suatu jawaban (find and answer), dan meninjau
kembali dan mendiskusikan (reflect and extend).
3.2 Saran
Pembelajaran dengan pendekatan problem solving sangat baik digunakan
oleh guru untuk diterapkannya ke peserta didik. Karena pendekatan problem
solving dapat melatih peserta didik untuk memahami masalah hingga menentukan
penyelesaiannya baik individu atau kelompok.
107

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. 2003. Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar. Rineka


Cipta. Jakarta.
Afgani, J. 2011. Analisis Kurikulum Matematika. Universitas Terbuka. Jakarta.
Depdikbud. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Fadillah, S. 2009. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Dalam


Pembelajaran Matematika. Prosiding Seminar Nasional Penelitian,
Pendidikan dan Penerapan MIPA. Yogyakarta.

Ibrahim. Nur. 2000. Pembelajaran Berbasis Berdasarkan Masalah. Unesa-


University Press. Surabaya.
Lidinillah, D. 2007. Penggunaan Instrumen Monitoring Diri Metakognisi untuk
Meningkatkan Kemampuan Mahasiswa Menerapkan Strategi Pemecahan
Masalah Matematika. Jurnal Pendidikan Dasar. Vol 5 (7): 2.
Ma’rufi. 2015. Pengajuan dan Pemecahan Masalah Matematika. Pustaka
Ramadhan. Bandung.
Marsella, D. 2012. Problem Solving. (Online).
http://marselladia.blogspot.com/2012/06/problem-solving.html. Diakses
pada tanggal 9 Mei 2019.
Nainggolan, H. 2009. Pendekatan Problem Solving untuk Pengajaran Operasi
Riset di SLTA. (Thesis). Sekola Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Medan.
Palobo, M. 2016. Keefektifan Problem Posing dan Problem Solving dalam
Pembelajaran Kalkulus II. Jurnal Riset Pendidikan Matematika. Vol 3(2).
234-244.
Santrock, J.W. 2004. Psikologi Pendidikan (Edisi Kedua). Kencana. Jakarta.

Samsinad. 2016. Pengaruh Penggunaan Strategi Means Ends Analysis terhadap


Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Siswa Kelas XI SMA
Negeri 1 Walenrang. Skripsi tidak diterbitkan. Palopo. Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Cokroaminoto Palopo.
Sari, D. 2015. Peningkatan Pemahaman Konsep Matematik Dan Kemandirian
Belajar Siswa Melalui Pendekatan Problem Solving Di Smp Negeri 1
Sipirok. Masters thesis, UNIMED.
Shanti, W & Abadi, A. 2015. Keefektifan Pendekatan Problem Solving dan
Problem Posing dengan Setting Kooperatif dalam Pembelajaran
Matematika. Jurnal Riset Pendidikan Matematika. Vol 2(1). 121-134.
Sugiyono. Mardanu. Murdiyani. 2014. Pengembangan Perangkat Pembelajaran
Matematika pada Topik Geometri Menggunakan Paradigma Baru dalam
108

Pembelajaran Matematika. Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains. Vol


2(2). 117-125.
Susanto, A. 2013. Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar Edisi
Pertama. Kencana. Jakarta

Suyono. Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran. PT Remaja Rosda Karya.


Surabaya
Wahjoedi. 1999. Jurnal Iptek Olahraga. Jurnal. Pusat Pengkajian dan
Pengembangan IPTEK (PPPITOR). Jakarta.
Yusuf, O.L. Sutiarso, S. 2017. Problem Solving dalam Pembelajaran Matematika.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika 2017.
UIN Raden Intan Lampung. 281:287.
Zaharah, I. 2012. Meningkatkan Kemampuan Penjumlahan Bilangan 1-20 Melalui
Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Video Compact
Disck (VCD) pada Anak Tunarunggu. Jurnal E-JUPEKhu (Jurnal Ilmiah
Pendidikan Khusus). Vol 1(2). 202-212.
109

Pendekatan Problem
Posing
Tugas Kelompok : Desain Pembelajaran Matematika
Dosen Pengampuh: Prof. Dr. Abdul Rahman, M.Pd

Kelompok 5:
Abi Talib (1801512009)
Asrar Mufida M (1801512013)
Maswin (1801512017)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO
2019
110

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................... 110
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 111
1.2 Tujuan Penulisan ............................................................................. 114
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Filosofi Lahirnya Pendekatan Problem Posing ............................... 115
2.2 Pengertian Poblem Posing ............................................................... 116
2.3 Ciri-Ciri Pembelajaran Problem Posing .......................................... 117
2.4 Tipe Pembelajaran Problem Posing ................................................ 118
2.5 Jenis-Jenis Pembelajaran Problem Posing ...................................... 119
2.6 Prinsip-Prinsip Pengembangan Pembelajaran Problem Posing ...... 120
2.7 Langkah – Langkah Problem Posing .............................................. 120
2.8 Problem Posing dan Relevansinya dengan Matematika ................. 125
2.9 Pendekatan Problem Posing Dalam Matematika ............................ 126
2.10 Kelebihan dan Kelemahan Problem Posing .................................... 131
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 133
3.2 Saran ................................................................................................ 133
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 134
111

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mendorong upaya-
upaya pembaharuan dalam berbagai aspek, salah satunya adalah aspek
pendidikan, terutama dalam proses belajar mengajar. Para pendidik dituntut untuk
mampu menciptakan dan menggunakan model pembelajaran yang efektif,
sehinggga dapat diaplikasikan di sekolah dan tidak menutup kemungkinan bahwa
berbagai model pembelajaran tersebut merupakan salah satu faktor penunjang
yang penting dalam proses peningkatan kualitas belajar mengajar.
Sikap kritis dan rasa ingin tahu merupakan sifat alamiah yang dimiliki
manusia. Sifat ini sangat bermanfaat sebagai motivator bagi seseorang untuk terus
menambah pengetahuan yang dimilikinya. Pada anak usia balita sifat ini terlihat
sangat jelas, mereka selalu ingin meraih benda-benda di sekitarnya. Benda-benda
itu diamati dengan cara dipandangi, diputar-putar, dimasukkan ke mulut, atau
dilemparkan kemudian berusaha diraih kembali. Anak yang sudah dapat berbicara
akan terus mengajukan pertanyaan kepada orang dewasa. Akan tetapi seringkali
orang dewasa tidak mengacuhkan pertanyaan anak, bahkan menganggap anak
lancang sehingga membuat anak takut bertanya. Hal ini juga terjadi di sekolah.
Menurut Arikunto (1990:81), anak yang memiliki rasa ingin tahu yang besar
biasanya dipandang “merepotkan” guru, karena selalu mengajukan pertanyaan
yang menyebabkan:
1. Waktu untuk melakukan sesuatu atau untuk melanjutkan pelajaran tersita.
2. Guru merasa takut tidak mampu menjawab pertanyaan itu sehingga dapat
menurunkan martabat guru tersebut.
Akibatnya dalam mengikuti pembelajaran, anak enggan atau malas
bertanya, meskipun belum mengerti materi yang diberikan. Rasa ingin tahu siswa
semakin menurun dan berdampak pada rendahnya motivasi belajar.
Matematika merupakan salah satu bidang ilmu dasar yang memiliki peranan
penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Matematika
merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern,
112

mempunyai peranan penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir
manusia.
Sampai saat ini matematika sekolah masih menjadi momok bagi siswa.
Matematika dianggap sebagai pelajaran yang kurang menarik, sukar dan
membosankan sehingga pelajaran matematika menjadi kurang disenangi.
Kesulitan belajar matematika bukan semata-mata karena materi pelajaran
matematika, tetapi juga disebabkan kemampuan guru dalam mengelola
pembelajaran matematika yang kurang efektif.
Pola pembelajaran matematika yang berkembang di Indonesia saat ini,
adalah pembelajaran konvensional yang belum menuntut keaktifan siswa dalam
proses kegiatan pembelajarannya. Sehingga banyak siswa yang menganggap
bahwa matematika adalah pelajaran yang menakutkan dan sulit untuk dikuasai
siswa. Padahal pembelajaran matematika sangat menuntut keaktifan dan
keterampilan siswa untuk mengolah data yang diberikan guru. Keterampilan yang
dimaksud dalam pembelajaran matematika bukan hanya kemampuan berhitung
saja, tetapi keterampilan yang mengembangkan kemampuan berpikir. Selama ini
proses pembelajaran matematika di setiap tingkat pendidikan hanya terbatas pada
peningkatan kemampuan kognitif saja.
Namun semua hal tersebut didalam penerapannya banyak sekali mengalami
kendala, mulai dari sarana dan prasarana yang terdapat di sekolah tersebut,
sumber daya manusia yang kurang menunjang, dan masih banyak lagi
permasalahan-permasahan yang timbul. Meskipun demikian, guru diharapkan
mampu menerapkan metode yang tepat dan sesuai dengan pengajaran matematika,
guru diharapkan menanamkan prinsip atau rumus yang ada. Dalam hal ini
sebelum siswa menyelesaikan sebuah soal, siswa harus memahami soal tersebut
secara menyeluruh. Ia harus tahu apa yang diketahui, apa yang dicari, rumus atau
teorema yang harus digunakan dan cara penyelesaiannya. Untuk itu dalam
mengerjakan soal-soal matematika diperlukan siasat atau strategi dalam
penyelesaiannya.
Untuk terciptanya pembelajaran yang menuntut keaktifan siswa sebagai
pusat pembelajaran, perlu adanya perubahan yang dapat mewujudkan apa yang
diharapkan dalam proses pembelajaran, seperti siswa dapat mengemukakan
113

pendapat, merumuskan masalah, membuat masalah dan menyelesaikan masalah.


Salah satu perubahan yang dapat menuntut keaktifan siswa dalam pembelajaran
matematika adalah dengan penerapan pendekatan Problem Posing.
Pendekatan problem posing dalam pembelajaran dapat melatih siswa untuk
mengajukan pertanyaan atau soal-soal yang berkaitan dengan materi yang
dipelajari. Pada pembelajaran yang menerapkan problem solving, siswa hanya
diminta menyelesaikan soal yang disediakan. Kondisi ini, siswa merasa takut
salah atau menganggap idenya tidak cukup bagus. Sebaliknya, dalam
pembelajaran yang menerapkan problem posing, perasaan tersebut dapat
direduksi. Siswa dituntun untuk mengajukan masalah atau pertanyaan sesuai
minat mereka dan memikirkan cara penyelesaiannya. Perhatian dan komunikasi
matematika siswa melalui pendekatan problem posing akan lebih baik, karena
pertanyaan atau soal yang berkualitas hanya mungkin dapat diajukan dan
diselesaikan oleh siswa yang mempunyai perhatian sungguh-sungguh terhadap
pelajaran matematika (Hamzah, 2002).
Menurut Upu (2003:10) problem posing dapat dilakukan secara individu
atau klasikal (classical), berpasangan (in pairs), atau secara berkelompok
(groups). Masalah atau soal yang diajukan oleh siswa secara individu tidak
memuat intervensi dari siswa lain. Soal diajukan tanpa terlebih dahulu ditanggapi
oleh siswa lain. Hal ini dapat mengakibatkan soal kurang berkembang atau
kandungan informasinya kurang lengkap. Soal yang diajukan secara berpasangan
dapat lebih berbobot dibanding soal yang diajukan secara individu, dengan syarat
terjadi kolaborasi di antara kedua siswa yang berpasangan tersebut. Jika soal
dirumuskan oleh suatu kelompok kecil (tim), maka kualitasnya akan lebih tinggi
baik dari aspek tingkat keterselesaian maupun kandungan informasinya.
Kerjasama di antara siswa dapat memacu kreativitas serta saling melengkapi
kekurangan mereka. Sehingga, dipilih pembahasan pembelajaran kooperatif
sebagai latar pendekatan problem posing.
Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan manfaat dari pendekatan
problem posing tersebut, antara lain hasil penelitian Silver dan Cai (1996: 521)
menyatakan bahwa siswa yang dapat merumuskan soal matematis memiliki
kemampuan pemecahan masalah yang lebih tinggi daripada siswa yang tidak
114

dapat membuat soal. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Hashimoto (dalam
Silver dan Cai, 1996: 522) menyebutkan bahwa pembelajaran dengan problem
posing menimbulkan dampak positif terhadap kemampuan siswa dalam problem
solving.

1.2 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan kami dalam pembuatan makalah ini adalah:
1. Memenuhi tugas mata kuliah Desain Pembelajaran Matematika;
2. Memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai pengertian, dan
komponen-komponen pendekatan problem posing dalam pembelajaran
matematika;
3. Menambah wawasan baik pembaca maupun penulis tentang
pendekatan problem posing dalam pembelajaran matematika;
4. Sebagai sarana pelatihan dalam melakukan penelitian dalam penyusunan
makalah agar dapat bermanfaat bagi pendidikan selanjutnya.
115

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Filosofi Lahirnya Pendekatan Problem Posing


Problem posing merupakan istilah yang pertama kali dikembangkan oleh
ahli pendidikan Brasil, Paulo Freire dalam bukunya pedagogy of the oppressed
(1970). Problem posing merujuk pada strategi pembelajaran yang menekankan
pemikiran kritis demi tujuan pembebasan. Sebagai strategi pembelajaran, problem
posing melibatkan tiga keterampilan dasar yaitu: menyimak (listening), berdialog
(dialogue), dan tindakan (action).
Banyak model yang sudah dikembangkan sejak Freire pertama kali
memperkenalkan istilah itu. Salah satunya adalah buku Freire for the classroom:
A Sourcebook for Liberatory Teaching yang diedit oleh Ira Shor. Ketika guru
menerapkan problem posing di ruang kelas, mereka harus berusaha mendekati
siswanya sebagai partner dialog agar dapat menciptakan atmosfer harapan, cinta,
kerendahan hati dan kepercayaan.
Menurut Brown dan Walter (Mulia, 2009: 12), pada tahun 1989 untuk
pertama kalinya istilah Problem Posing diakui secara resmi oleh National Council
of Teacher of Mathematics (NCTM) sebagai bagian dari National program for re-
direction of mathematics education (reformasi pendidikan matematika).
Selanjutnya istilah ini dipopulerkan dalam berbagai media seperti buku teks,
jurnal serta menjadi saran yang konstruktif dan mutakhir dalam pembelajaran
matematika. (Irpan, 2010: 10) Problem Posing mulai dikembangkan pada tahun
1997 oleh Lynn D. English dan awal mulanya diterapkan dalam mata pelajaran
matematika. Kemudian Problem Posing dikembangkan pada mata pelajaran yang
lain, dan mulai masuk ke Indonesia pada tahun 2000.
Problem Posing merupakan langkah awal dari problem solving, maka
pembelajaran problem posing juga merupakan pengembangan dari pembelajaran
problem solving. Silver dkk (Sutiarso: 2000) menyatakan bahwa dalam problem
posing diperlukan kemampuan siswa dalam memahami soal, merencanakan
langkah-langkah penyelesaian soal, dan menyelesaikan soal tersebut. Ketiga
kemampuan tersebut merupakan juga merupakan sebagian dari langkah-langkah
pembelajaran problem solving.
116

2.2 Pengertian Problem Posing


Problem posing adalah istilah dalam bahasa inggris yaitu dari
kata “Problem” artinya masalah, soal, atau persoalan dan kata “to pose” yang
artinya mengajukan. Problem posing bisa diartikan sebagai pengajuan soal atau
pengajuan masalah. Problem posing adalah salah satu model pembelajaran yang
sudah lama dikembangkan.
Secara harfiah, problem posing bermakna mengajukan soal atau masalah.
Silver (1996:294) mengemukakan batasan problem posing sebagai berikut: “The
term problem posing has been used to refer both to the generation of new
problems and to the reformulation of given problems. Suryanto (dalam Siswono,
1999: 26-27) membagi definisi problem posing menjadi tiga, yaitu:
1. Problem posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang
soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan
dapat dikuasai. Hal ini terjadi dalam pemecahan soal-soal yang rumit, dengan
pengertian bahwa problem posing merupakan salah satu langkah dalam
menyusun rencana pemecahan masalah.
2. Problem posing adalah perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-
syarat pada soal yang telah dipecahkan dalam rangka pencarian alternatif
pemecahan atau alternatif soal yang relevan.
3. Problem posing adalah perumusan soal atau pembentukan soal dari
suatu situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika atau setelah
pemecahan soal atau masalah.
Suryanto (dalam Thobroni dan Mustofa 2012: 343) mengartikan bahwa
kata problem sebagai masalah atau soal sehingga pengajuan masalah dipandang
sebagai suatu tindakan merumuskan masalah atau soal dari situasi yang diberikan.
Selanjutnya, Amri (2013:13) menyatakan bahwa pada prinsipnya, model
pembelajaran problem posing mewajibkan siswa untuk mengajukan soal sendiri
melalui belajar soal dengan mandiri. Sejalan dengan pendapat tersebut, Thobroni
dan Mustofa (2012:351) menyatakan bahwa model pembelajaran problem
posing adalah suatu model pembelajaran yang mewajibkan para siswa untuk
mengajukan soal sendiri melalui belajar soal (berlatih soal) secara mandiri.
117

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa


model problem posing adalah model pembelajaran yang mewajibkan siswa belajar
melalui pengajuan soal dan pengerjaan soal secara mandiri tanpa bantuan guru.
Menurut Brown dan Walter (1993:15) informasi atau situasi problem
posing dapat berupa gambar, benda manipulatif, permainan, teorema atau konsep,
alat peraga, soal, atau penyelesaian dari suatu soal. Suryanto (1998:3) menyatakan
bahwa soal dapat dibentuk melalui soal-soal yang ada dalam buku.

2.3 Ciri - Ciri Pembelajaran Problem Posing


Problem posing adalah model pembelajaran yang melibatkan peserta didik
dalam proses pembelajaran secara langsung untuk memberi kesempatan kepada
siswa dalam menganalisis permasalahan yang ada dengan serangkaian kegiatan-
kegiatan yang lebih bermakna.
Proses pembelajaran didominasi dengan kegiatan-kegiatan siswa secara
langsung dengan situasi yang telah diciptakan oleh guru. Dalam kegiatan tersebut,
maka siswa dapat membuka wawasan yang dimilikinya dan memberikan
kesempatan yang luas untuk saling berkomunikasi.
Thobroni dan Mustofa (2012: 350) menyatakan bahwa
pembelajaran problem posing memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru.
2. Pendidik menjadi rekan peserta didik yang melibatkan diri dan menstimulasi
daya pemikiran kritis murid-muridnya serta mereka saling memanusiakan.
3. Pendidik dan peserta didik dapat mengembangkan kemampuannya untuk
mengerti secara kritis dirinya dan dunia tempat ia berada.
4. Pembelajaran problem posing senantiasa membuka rahasia realita yang
menantang kemudian menuntut suatu tanggapan terhadap tantangan tersebut.
Dengan demikian, problem posing memiliki kekuatan-kekuatan dalam
proses pembelajaran di kelas, diantaranya yaitu :
1. Memberi penguatan terhadap konsep yang diterima atau memperkaya konsep-
konsep dasar.
2. Problem posing diharapkan mampu melatih siswa meningkatkan kemampuan
dalam belajar.
118

3. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya


adalah pemecahan masalah.
Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, maka model problem
posing ini bersifat fleksibel, mengesankan, menganggap murid adalah subjek
belajar, membuat anak untuk mengembangkan potensinya sebagai orang yang
memiliki potensi rasa ingin tahu dan berusahan keras dalam memahami
lingkungannya.

2.4 Tipe Pembelajaran Problem Posing


Silver dan Cai (Irpan, 2010: 10) mengklasifikasikan tiga aktivitas koginitif
dalam pembuatan soal sebagai berikut:
a. Pre-solution posing, yaitu pembuatan soal berdasarkan situasi atau informasi
yang diberikan.
Contoh: Buatlah soal berdasarkan informasi berikut ini.
Pak Tono mempunyai sebuah kayu padat. Balok kayu tersebut akan
dipotong sehingga menghasilkan 3 jenis kayu berbentuk kotak-kotak berukuran
kecil dan berbeda, yakni dengan panjang rusuk 1 cm, 2 cm, dan 4 cm.
Soal-soal yang mungkin disusun siswa adalah sebagai berikut:
1) Apakah Pak Tono mempunyai cukup kayu untuk membuat kotak-kotak
kecil?
2) Berapa volume kayu tersebut?
b. Within-solution posing, yaitu pembuatan atau formulasi soal yang sedang
diselesaikan. Pembuatan soal demikian dimaksudkan sebagai penyederhanaan
dari soal yang sedang diselesaikan. Dengan demikian, pembuatan soal
demikian akan mendukung penyelesaian soal semula.
Contoh: Diketahui soal sebagai berikut:
Sebuah akuarium berbentuk balok memiliki ukuran panjang, lebar dan
tinggi berturut-turut adalah 60 cm, 36 cm, 45 cm. Jika akuarium tersebut diisi air
sebanyak 3/4 bagiannya. Berapakah volume akuarium tersebut yang tidak teris
air?
Soal-soal yang mungkin disusun siswa yang dapat mendukung penyelesaian
soal tersebut adalah sebagai beirkut:
1) Berapa volume akuarium sebelum terisi air?
119

2) Berapa volume akuarium ketika terisi air sebanyak 3/4 bagiannya?


3) Berapakah volume akuarium tersebut yang tidak teris air?
c. Post-Solution Posing. Strategi ini juga disebut sebagai strategi “find a more
challenging problem”. Siswa memodifikasi atau merevisi tujuan atau kondisi
soal yang telah diselesaikan untuk menghasilkan soal-soal baru yang lebih
menantang. Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk membuat soal
dengan strategi itu adalah sebagai berikut:
Contoh:
Luas permukaan balok dengan panjang 5 m dan lebar 3 m dan tinggi 4 m adalah
94 m2.
Berdasarkan contoh soal tersebut, maka beberapa teknik yang dapat digunakan
adalah:
1) Mengubah informasi atau data pada soal semula.
Soal yang dapat disusun adalah sebagai berikut: ”Bagaimana jika lebarnya bukan
2 m tetapi 3 m? Bagaimana luas permukaannya?”
2) Menambah informasi atau data pada soal semula.
Soal yang dapat disusun adalah sebagai berikut: “Apa yang terjadi jika mengubah
panjang dan lebarnya masing-masing menjadi dua kali? Apakah luas
permukaannya juga akan menjadi dua kali luas permukaan semula?”
3) Mengubah nilai data yang diberikan, tetapi tetap mempertahankan kondisi
atau situasi soal semula.
Soal yang dapat disusun adalah sebagai berikut: “Bagaimana jika kita mengubah
panjangnya menjadi dua kali dan mengurangi lebarnya menjadi setengahnya?
Apakah luas permukaannya akan tetap?”
4) Mengubah situasi atau kondisi soal semula, tetapi tetap mempertahankan
data atau informasi yang ada pada soal semula.
Soal yang dapat disusun adalah sebagai berikut: “Tentukan panjang dan lebar
suatu persegi panjang yang luasnya sama dengan dua kali luas persegi panjang
semula.”
2.5 Jenis – Jenis Pembelajaran Problem Posing
Dalam pelaksanaannya, dikenal beberapa jenis pembelajaran Problem
Posing, antara lain:
120

1. Situasi problem posing bebas


Pada situasi ini, peserta didik tidak diberikan suatu informasi yang harus ia
patuhi, tetapi peserta didik diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk
membentuk soal sesuai dengan apa yang ia kehendaki. Peserta didik dapat
menggunakan fenomena dalam kehidupan sehari-hari sebagai acuan dalam
pembentukan soal.
2. Situasi problem posing semi terstruktur
Pada situasi ini, peserta didik diberi situasi atau informasi yang terbuka.
Kemudian peserta didik diminta untuk mengajukan soal dengan mengaitkan
informasi itu dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Informasi dapat berupa
gambar atau pernyataan yang dihubungkan dengan konsep tertentu.
3. Situasi problem posing terstruktur
Pada situasi problem posing yang terstruktur, peserta didik diberi soal dan
penyelesaian soal tersebut, kemudian berdasarkan hal tersebut peserta didik
diminta untuk mengajukan soal baru. Sehingga, informasi atau situasinya berupa
soal atau penyelesaian dari suatu soal.
2.6 Prinsip-Prinsip Pengembangan Pembelajaran Problem Posing
Seorang guru dalam rangka mengembangkan model pembelajaran problem
posing (pengajuan soal) dalam pembelajaran dapat menerapkan prinsip-prinsip
dasar berikut. Diantara prinsip – prinsip yang dimaksud adalah :
1. Pengajuan soal harus berhubungan dengan apa yang dimunculkan dari
aktivitas siswa di dalam kelas.
2. Pengajuan soal harus berhubungan dengan proses pemecahan masalah siswa.
3. Pengajuan soal dapat dihasilkan dari permasalahan yang ada dalam buku teks,
dengan memodifikasikan dan membentuk ulang karakteristik bahasa dan tugas
2.7 Langkah-Langkah Problem Posing
Penerapan suatu model pembelajaran harus memiliki langkah-langkah yang
jelas, hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja guru dan aktivitas yang
dilakukan siswa. Saminanto (Maulina, 2013: 20-21) menyatakan bahwa langkah-
langkah model pembelajaran problem posing adalah:
1. Guru menjelaskan materi pelajaran menggunakan alat peraga,
2. Guru memberikan latihan soal,
121

3. Siswa diminta mengajukan soal,


4. Secara acak, guru meminta siswa untuk menyajikan soal temuannya di depan
kelas, dan
5. Guru memberi tugas rumah secara individu.
Langkah-langkah penerapan model problem posing yang dikemukakan oleh
Saminanto, sejalan dengan pendapat Thobroni dan Mustofa (2012:351) yang
menyatakan bahwa:
1. Guru menjelaskan materi pelajaran kepada siswa menggunakan alat peraga
untuk memfasilitasi siswa dalam mengajukan pertanyaan,
2. Siswa diminta untuk mengajukan pertanyaan secara berkelompok,
3. Siswa saling menukarkan soal yang telah diajukan,
4. Kemudian menjawab soal-soal tersebut dengan berkelompok.
Langkah – langkah pembelajaran problem posing secara berkelompok
adalah :
1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi peserta didik untuk
belajar.
2. Guru menyampaikan materi pelajaran dengan media atau bahan bacaan yang
telah disediakan. Selanjutnya, guru memberi contoh cara membuat soal dari
informasi/materi yang diberikan.
3. Guru membagi pesserta didik menjadi beberapa kelompok secara heterogen.
4. Selama kegiatan berkelompok berlangsung, guru membimbing kelompok-
kelompok yang mengalami kesulitan dalam membuat soal maupun kesulitan
dalam penyelesaian soal tersebut.
5. Selain dikerjakan sendiri, soal latihan yang dibuat dapat ditukarkan dengan
teman dalam kelompoknya maupun di luar kelompoknya, sehingga peserta
didik menukarkan lembar soal pada kelompok lainnya dengan panduan guru.
6. Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang dipelajari dengan cara
masing-masing kelompok mempresentasikan hasil pekerjaannya di depan
kelas.
7. Guru memberikan penghargaan kepada peserta didik atau kelompok yang
telah menyelesaikan hasil pekerjaannya dengan baik.
122

Selain dengan cara berkelompok, problem posing dapat dilaksanakan secara


individu. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Guru menyajikan informasi atau situasi kepada siswa dengan menggunakan
gambar, benda manipulatif, permainan, teorema atau konsep, alat peraga, soal,
atau selesaian dari suatu soal.
2. Siswa mencatat hal-hal yang telah diketahui dari situasi atau informasi yang
telah diberikan.
3. Siswa membuat pertanyaan atau soal dengan menggali konsep dari hal-hal
yang telah diketahui.
4. Siswa menganalisis pertanyaan atau soal yang telah dibuat dan memprediksi
solusi dari soal tersebut.
5. Siswa mendiskusikan hasil pekerjaannya dengan siswa yang lain.
Langkah-langkah pembelajaran menggunakan pendekatan problem posing
menurut Budiasih dan Kartini dalam Syarifulfahmi adalah sebagai berikut:
1. Membuka kegiatan pembelajaran.
2. Menyampaikan tujuan pembelajaran.
3. Menjelaskan materi pelajaran
4. Memberikan contoh soal.
5. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang hal-hal yang
belum jelas.
6. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membentuk soal dan
menyelesaikannya.
7. Mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan.
8. Membuat rangkuman berdasarkan kesimpulan yang dibuat siswa.
9. Menutup kegiatan pembelajaran.
Menurut Srini M. Iskandar dalam Syarifulfahmi, batasan mengenai
pembentukan soal adalah sebagai berikut:
a. Perumusan ulang soal yang sudah ada dengan perubahan agar menjadi lebih
sederhana dan mudah dipahami dalam rangka memecahkan soal yang rumit.
b. Perumusan atau pembentukan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada
soal yang telah diselesaikan dalam rangka mencari alternatif pemecahan yang
lain.
123

c. Perumusan atau pembentukan soal dari kondisi yang tersedia, baik dilakukan
sebelum, ketika, atau sesudah penyelesaian soal.
Menurut Terry Dash dalam Syarifulfahmi, penyusunan soal-soal baru dapat
digali dari soal yang sudah ada. Artinya, soal yang sudah ada dapat menjadi bibit
untuk soal baru dengan mengubah, menambah, atau mengganti satu atau lebih
karakteristik soal yang terdahulu. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
1. Change the numbers, salah satu cara membuat soal dari soal yang sudah ada
adalah dengan mengubah bilangan.
2. Change the operations, cara lain membuat soal dari soal yang sudah tersedia
adalah dengan mengubah operasi hitungnya.
Kemampuan siswa dalam membentuk soal dapat dikembangkan dengan
cara guru memberikan beberapa contoh seperti berikut:
1. Membentuk soal dari soal yang sudah ada atau memperluas soal yang sudah
ada.
2. Menyusun soal dari suatu situasi, atau berdasarkan gambar di majalah atau
surat kabar, atau membuat soal mengenai benda-benda konkret yang dapat
dimanipulasi (dikutak-kutik).
3. Memberikan soal terbuka.
4. Menyusun sejumlah soal yang mirip tetapi dengan taraf kesilitan yang
bervariasi.
Kegiatan yang berkaitan dengan pembentukan soal, secara teknis yang dapat
dilakukan adalah:
1. Siswa menyusun soal secara individu. Dalam penyusunan soal ini, hendaknya
siswa tidak asal menyusun soal, akan tetapi juga mempersiapkan jawaban dari
soal yang sedang disusunnya. Dengan kata lain, setelah siswa tersebut dapat
membuat soal, maka dia juga dapat menyelesaikan soal tersebut.
2. Siswa menyusun soal. Soal yang telah tersusun tersebut kemudian diberikan
kepada teman sekelasnya. Distribusi soal-soal yang telah tersusun tersebut
dapat menggunakan cara penggeseran atau dengan cara bertukar dengan teman
semeja. Artinya, distribusi soal tersebut secara individu.
3. Agar lebih bervariasi dan lebih menumbuhkan sikap aktif, interaktif, dan
kretaif, maka dapat dibentuk kelompok-kelompok kecil untuk menyusun soal
124

dan soal tersebut didistribusikan kepada kelompok lain untuk diselesaikan.


Soal dari kelompok tersebut, diharapkan tingkat kesulitannya lebih tinggi dari
soal yang disusun secara individu.
Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan, bahwa langkah-
langkah problem posing adalah siswa mengajukan dan menjawab soal dengan
berkelompok berdasarkan penjelasan guru ataupun pengalaman siswa itu sendiri.
Maka, langkah-langkah yang digunakan adalah :
1. Menjelaskan materi pelajaran dengan media yang telah disediakan,
2. Membagi siswa menjadi kelompok secara heterogen,
3. Secara berkelompok, siswa mengajukan pertanyaan pada lembar soal,
4. Menukarkan lembar soal pada kelompok lainnya,
5. Menjawab soal pada lembar jawab, dan
6. Mempresentasikan lembar soal dan lembar jawab di depan kelas.
Peran guru dalam pembelajaran sangat menentukan keberhasilan belajar
siswa. Rohman dan Amri (2013: 180) menyatakan bahwa sebagai perencana, guru
dituntut untuk memahami secara benar kurikulum yang berlaku, karakteristik
siswa, fasilitas dan sumber daya yang ada, sehingga semuanya dapat dijadikan
komponen-komponen dalam menyusun rencana pembelajaran. Rusman (2012: 75)
menyatakan bahwa jika dipandang dari segi siswa, maka tugas guru adalah harus
memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa lalu, sekarang dan masa
yang akan datang, pilihan nilai hidup dan praktik-praktik komunikasi. Thobroni
dan Mustofa (2012: 348) menyatakan bahwa yang harus dilakukan guru adalah:
1. Memotivasi siswa untuk mengajukan soal, dan
2. Guru melatih siswa merumuskan dan mengajukan masalah atau pertanyaan
berdasarkan situasi yang diberikan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan peran guru adalah tindakan yang dilakukan guru untuk
memberikan suasana belajar sesuai dengan tema pembelajaran dan mengantarkan
siswa untuk memahami pada konsep dengan cara menyiapkan situasi sesuai
dengan materi pelajaran yang sedang dibahas. Adapun peran guru dalam model
pembelajaran problem posing adalah sebagai fasilitator yaitu menyiapkan media
pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran yang sedang dibahas.
125

2.8 Problem Posing dan Relevansinya dengan Matematika


Problem posing atau pembentukan soal adalah salah satu cara yang efektif
untuk mengembangkan keterampilan siswa guna meningkatkan kemampuan siswa
dalam menerapkan konsep matematika. Tim Penelitian Tindakan Matematika
(PTM) (2002 : 2) mengatakan bahwa :
1. Adanya korelasi positif antara kemampuan membentuk soal dan kemampuan
membentuk masalah.
2. Latihan membentuk soal merupakan cara efektif untuk meningkatkan
kreatifitas siswa dalam memecahkan suatu masalah.
Menurut Brown dan Walter (1990 : 11), “…problem posing can give one a
chance to develop independent thinking processes”. Yang artinya problem posing
memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat berpikir secara bebas dan
mandiri dalam menyelesaikan masalah. Masalah disini tentunya masalah dalam
matematika.
Adapun masalah dalam matematika diklasifikasikan dalam dua jenis antara
lain:
1. Soal mencari (problem to find) yaitu mencari, menentukan, atau mendapatkan
nilai atau objek tertentu yang tidak diketahui dalam soal dan memenuhi
kondisi atau syarat yang sesuai dengan soal. Objek yang ditanyakan atau
dicari (unknown), syarat-syarat yang memenuhi soal (condition) dan data atau
informasi yang diberikan merupakan bagian penting atau pokok dari sebuah
soal mencari dan harus dipenuhi serta dikenali dengan baik pada saat
memecahkan masalah.
2. Soal membuktikan (problem to prove), yaitu prosedur untuk menentukan
apakah suatu pernyataan benar atau tidak benar. Soal membuktikan terdiri
atas bagian hipotesis dan kesimpulan. Pembuktian dilakukan dengan membuat
atau memproses pernyataan yang logis dari hipotesis menuju kesimpulan
(Depdiknas, 2005: 219).
Silver dkk dalam Surtini (2004: 48) mengemukakan bahwa sebenarnya
sudah sejak lama para tokoh pendidikan matematika menunjukkan pembentukan
soal merupakan bagian penting dalam pengalaman matematis siswa dan
menyarankan agar dalam pembelajaran matematika ditekankan kegiatan
126

pembentukan soal. Begitupun yang ditekankan English bahwa pembentukan soal


merupakan inti kegiatan matematis dan merupakan komponen penting dalam
kurikulum matematika.
Hasil penelitian Silver dan Cai dalam Surtini (2004: 49) menunjukkan
bahwa kemampuan pembentukan soal berkorelasi positif dengan kemampuan
memecahkan masalah. Dengan demikian kemampuan pembentukan soal sesuai
dengan tujuan pembelajaran matematika di sekolah sebagai usaha meningkatkan
hasil pembelajaran matematika dan dapat meningkatkan kemampuan siswa. Dari
sini kita peroleh bahwa pembentukan soal penting dalam pelajaran matematika
guna meningkatkan prestasi belajar matematika siswa dengan membuat siswa
aktif dan kreatif.

2.9 Pendekatan Problem Posing Dalam Matematika


Dalam proses pembelajaran, umumnya, problem posing yang digunakan
adalah perumusan soal yang sederhana atau perumusan ulang soal yang ada
dengan beberapa perubahan agar menjadi lebih sederhana dan dapat dipahami
dalam rangka menyelesaikan soal cerita operasi hitung campuran. Berdasarkan
soal cerita yang diberikan, siswa menyusun informasi dan kemudian membuat
soal berdasarkan informasi yang telah disusun. Selanjutnya, soal-soal tersebut
diselesaikan dalam rangka mencari penyelesaian sebenarnya dari pertanyaan soal
cerita yang diberikan.
Respon siswa yang diharapkan dari pembelajaran problem posing adalah
respon berupa soal buatan siswa. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan
siswa membuat yang lain, misalnya siswa hanya membuat pernyataan. Silver dan
Cai (1996:526) mengklasifikasikan respon tersebut menurut jenisnya menjadi tiga
kelompok, yaitu pertanyaan matematika, pertanyaan non matematika dan
pernyataan.
Pertanyaan matematika adalah pertanyaan yang memuat masalah
matematika dan mempunyai kaitan dengan informasi yang diberikan. Pertanyaan
matematika ini, selanjutnya diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu
pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan dan pertanyaan matematika yang
tidak dapat diselesaikan. Pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan adalah
pertanyaan yang memuat informasi yang cukup dari situasi yang ada untuk
127

diselesaikan, atau jika pertanyaan tersebut memiliki tujuan yang tidak sesuai
dengan informasi yang ada. Selanjutnya pertanyaan matematika yang dapat
diselesaikan juga dibedakan atas dua hal, yaitu pertanyaan yang memuat
informasi baru dan pertanyaan yang tidak memuat informasi baru.
Pertanyaan non matematika adalah pertanyaan yang tidak memuat masalah
matematika dan tidak mempunyai kaitan dengan informasi yang diberikan.
Sedangkan pernyataan adalah kalimat yang bersifat ungkapan atau berita yang
tidak memuat pertanyaan, tetapi sekedar ungkapan yang bernilai benar atau salah.
Pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan ditinjau pula sintaksis dan
semantiknya. Sintaksis berhubungan dengan tata bahasa, sedangkan semantik
berhubungan dengan makna kata/kalimat. Berkaitan dengan sintaksis dan
semantik, Siswono (1999:186) mengklasifikasikan soal siswa sebagai berikut:
1. Susunan kalimat dalam soal yang dibuat siswa sesuai dengan tata bahasa
Indonesia dan maknanya jelas. Contoh:
Situasi: Harga 3 kilogram gula pasir adalah Rp. 6.300,-
Soal : Tentukan harga 6 kilogram gula pasir!
2. Susunan kalimat dalam soal yang dibuat siswa “sedikit tidak sesuai” dengan
tata bahasa Indonesia, tetapi maknanya jelas. Contoh:
Situasi: Harga 3 kilogram gula pasir adalah Rp. 6.300,-
Soal: Berapa harga jika saya membeli 5 kilogram gula pasir?
3. Susunan kalimat dalam soal yang dibuat siswa tidak sesuai dengan tata
bahasa Indonesia dan maknanya tidak jelas (tidak dapat ditangkap
maksudnya). Contoh:
Situasi: Seorang peternak menyediakan rumput cukup untuk 15 ekor ternaknya
selama 6 hari
Soal: Berapa banyak ikat rumput bila mempunyai 20 ekor sapi untuk dimakan
selama 5 hari?
Pertanyaan non-matematika adalah pertanyaan yang tidak mengandung
masalah matematika. Pernyataan adalah respon siswa yang hanya berupa
konjektur (Upu, 2003:28), tidak mengandung kalimat pertanyaan maupun
perintah yang mengarah kepada matematika atau non-matematika.
Klasifikasi soal yang dibuat siswa dapat digambarkan pada gambar 2.1 berikut.
128

Gambar 2.1 Klasifikasi Soal yang dibuat siswa


(Sumber: Silver (1996:526)

Untuk menganalisis jawaban siswa, Siswono (1999:14) mengajukan 5


kriteria, yaitu:
1. Dapat tidaknya soal dipecahkan.
2. Kaitan soal dengan materi yang diajarkan.
3. Penyelesaian soal yang dibuat siswa.
4. Struktur bahasa kalimat soal.
5. Tingkat kesulitan soal.
Berdasarkan kriteria tersebut, Siswono (1999:186-187) membuat pedoman
penskoran pengajuan soal (problem posing) sebagaimana disajikan pada Tabel 2.1
berikut:
Tabel 2.1 Pedoman Penskoran Pengajuan Soal
Tahap Kriteria Jawaban Skor
1 Soal:
a. Struktur bahasa soal *) 1
/1
2
b. Dapat diselesaikan dengan informasi yang ada
1
c. Soal matematika berkaitan materi pelajaran
1
d. Tingkat kesulitan soal **) 1 2
/3 / 1
3
2 Pembuatan model (rencana penyelesaian) 1
3 Penyelesaian model (pelaksanaan perencanaan) 1
4 Mengembalikan ke masalah/soal yang dicari 1
Skor Maksimum 7
129

Aturan penskoran:
1. Bila jawaban tidak sesuai kriteria/salah, skornya 0.
*)
2. Struktur bahasa soal menggunakan kriteria:
a. Bila susunan kalimat dalam soal yang dibuat siswa sesuai dengan
tata bahasa Indonesia dan maknanya jelas, skornya 1.
b. Bila susunan kalimat dalam soal yang dibuat siswa tidak sesuai dengan
1
tata bahasa Indonesia, tetapi maknanya masih dapat ditangkap, skornya 2.

c. Bila susunan kalimat dalam soal yang dibuat siswa tidak sesuai dengan
tata bahasa Indonesia dan maknanya tidak jelas (tidak dapat ditangkap
maksudnya), skornya lihat butir 5.
**)
3. Kriteria tingkat kesulitan soal. Soal dikatakan:
a. Mudah, bila untuk menyelesaikannya hanya langsung menggunakan
1
data yang ada tanpa mengolah dulu / langsung diterapkan, skornya 3.

b. Sedang, bila untuk menyelesaikannya tidak hanya langsung


menggunakan data yang ada, tetapi diolah terlebih dahulu atau ditambah
data lain dan untuk menyelesaikannya menggunakan satu prosedur
2
penyelesaian saja, skornya 3.

c. Sulit, bila untuk menyelesaikannya tidak hanya menggunakan data


yang ada, tetapi diolah lebih dahulu atau ditambah data/syarat lain
dan untuk menyelesaikannya memerlukan beberapa prosedur
penyelesaian, skornya 1.
4. Bila siswa tidak melalui tahap 2, tetapi langsung pada tahap 3 dan benar,
tahap 2 diberi skor 1.
5. Untuk soal yang tidak jelas, hanya pernyataan saja, atau tidak sesuai dengan
situasi yang ada, aturan penskorannya:
a. Bila ada penyelesaian, skornya 1
1
b. Bila tidak ada penyelesaian, skornya 2
6. Bila tugas tidak dikerjakan/diselesaikan, skornya 0.
Respon yang dihasilkan siswa mungkin lebih dari satu pertanyaan
matematika. Antara pertanyaan yang satu dengan pertanyaan lainnya dapat dilihat
hubungan yang terjadi. Menurut Silver dan Cai (1996:302) ada dua jenis
hubungan antara respon-respon tersebut, yaitu hubungan simetrik dan berantai.
130

Respon yang mempunyai hubungan simetrik disebut respon simetrik yaitu


serangkaian respon yang objek-objeknya mempunyai hubungan. Sedangkan
respon yang mempunyai hubungan berantai disebut respon berantai. Pada respon
berantai, untuk menyelesiakan respon berikutnya diperlukan penyelesaian respon
sebelumnya. Sehubungan itu, Kilpatrik (Siver dan Cai, 1996:354) menyatakan
bahwa salah satu dasar kosep koginitif yang terlibat dalam pengajuan soal adalah
assosiasi, yaitu kecendrungan siswa menggunakan respon pertama sebagai pijakan
untuk mengajukan soal kedua, ketiga, dan seterusnya.
Menurut Brown dan Walter (1990:15) informasi atau situasi Problem
Posing dapat berupa gambar, benda manipulatif, permainan, teorema atau konsep,
alat peraga, soal, atau penyelesaian dari suatu soal. Problem Posing merupakan
pendekatan dalam pembelajaran dengan meminta siswa untuk mengajukan soal
atau masalah. Masalah yang diajukan dapat berdasarkan pada soal yang luas
ataupun soal yang sudah dikerjakan. Pembelajaran dengan pendekatan Problem
Posing biasanya diawali dengan penyampaian teori atau konsep. Setelah itu,
pemberian contoh soal dan pembahasannya. Selanjutnya, pemberian contoh
bagaimana membuat masalah baru dari masalah yang ada dan menjawabnya.
Kemudian siswa diminta belajar dengan Problem Posing. Mereka diberi
kesempatan belajar individu atau berkelompok. Setelah pemberian contoh cara
membuat masalah dari situasi yang tersedia, siswa tidak perlu lagi diberikan
contoh. Penjelasan kembali contoh, bagaimana cara mengajukan soal dan
menjawabnya bisa dilakukan, jika sangat diperlukan.
Pembelajaran dengan pendekatan Problem Posing dapat juga dimulai dari
membaca daftar pertanyaan pada halaman soal latihan yang terdapat dalam buku
ajar, Setelah itu baru membaca materinya. Cara ini berkebalikan dengan cara
belajar selama ini. Tugas membaca yang diperintahkan pada siswa biasanya
bermula dari materi, lalu menjawab soal pada halaman latihan. Kelebihan
membaca soal terlebih dahulu baru membaca materi, terletak pada fokus belajar
siswa. Dengan demikian, sikap kritis, rasa ingin tahu dan kreatifitas siswa akan
tereksplorasi.
Dalam pembelajaran matematika, pengajuan soal menempati posisi yang
strategis. Pengajuan soal dikatakan sebagai inti terpenting dalam disiplin
131

matematika dan dalam sifat pemikiran penalaran matematika. Pendekatan


pengajuan soal dapat membantu siswa dalam mengembangkan keyakinan dan
kesukaan terhadap matematika, sebab ide-ide matematika siswa dicobakan untuk
memahami masalah yang sedang dikerjakan dan dapat meningkatkan
performannya dalam pemecahan masalah. Pengajuan soal juga sebagai sarana
komunikasi matematika siswa. Menurut Cankoy dan Darbaz sebagaimana dikutip
oleh Ai Sriwenda R dkk, menyatakan bahwa Problem Posing memberikan
kelebihan pada siswa dalam hal memperoleh pengetahuan dengan cara
menganalisa suatu masalah. Hal ini dapat dilihat dari tiga hal yaitu pengulangan
masalah, visualisasi masalah, dan penalaran kualitatif siswa.
Problem Posing matematika menurut Brown dan Walter (Mulia, 2009: 15)
terdiri dari dua aspek penting, yaitu:
1. Tahap Accepting (Menerima)
Pada tahap ini distimulasi kemampuan siswa dalam memahami situasi yang
diberikan oleh guru atau situasi yang sudah ditentukan.
2. Tahap Challenging (Menantang)
Pada tahap ini terukur sejauh mana siswa merasa tertantang dari situasi yang
diberikan sehingga melahirkan kemampuan untuk mengajukan masalah atau soal
matematis.

2.10 Kelebihan dan Kelemahan Problem Posing


Strategi pembelajaran Problem Posing mempunyai beberapa kelebihan
antara lain sebagai berikut:
1. Siswa dapat berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pembelajaran. Kegiatan
pembelajaran tidak terpusat pada guru, tetapi dituntut keaktifan siswa.
2. Mendidik siswa berpikir sistematis.
3. Mendidik siswa agar tidak mudah putus asa dalam menghadapi kesulitan.
4. Siswa mampu mencari berbagai jalan dari kesulitan yang dihadapi.
5. Mendatangkan kepuasan tersendiri bagi siswa jika soal yang dibuat tidak
mampu diselesaikan oleh kelompok lain.
6. Siswa akan terampil menyelesaikan soal tentang materi yang diajarkan.
7. Siswa berkesempatan menunjukkan kemampuannya pada kelompok lain.
132

8. Siswa mencari dan menemukan sendiri informasi atau data untuk diolah
menjadi konsep, prinsip, teori, atau kesimpulan.
9. Minat siswa dalam pembelajaran lebih besar dan siswa lebih mudah
memahami soal karena dibuat sendiri.
10. Semua siswa terpacu untuk terlibat secara aktif dalam membuat soal.
11. Dengan membuat soal dapat menimbulkan dampak terhadap kemampuan
siswa dalam menyelesaikan masalah.
12. Dapat membantu siswa untuk melihat permasalahan yang ada dan yang baru
diterima sehingga diharapkan mendapatkan pemahaman yang mendalam dan
lebih baik, merangsang siswa untuk memunculkan ide yang kreatif dari yang
diperolehnya dan memperluan bahasan/ pengetahuan, siswa dapat memahami
soal sebagai latihan untuk memecahkan masalah.
Strategi pembelajaran Problem Posing juga mempunyai beberapa
kelemahan antara lain sebagai berikut:
1. Pembelajaran problem posing membutuhkan waktu yang lama. Persiapan guru
lebih karena menyiapkan informasi apa yang dapat disampaikan.
2. Waktu yang digunakan lebih banyak untuk membuat soal dan
penyelesaiannya sehingga materi yang disampaikan lebih sedikit.
3. Membutuhkan buku penunjang yang berkualitas untuk dijadikan referensi
pembelajaran terutama dalam pembuatan soal.
4. Pada pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan problem
posing suasana kelas cenderung agak gaduh karena siswa diberi kebebasan
oleh guru pengajar.
133

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pembelajaran Problem Posing adalah suatu pembelajaran yang mewajibkan
para peserta didik untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar soal (berlatih
soal) secara mandiri. Maksud dari berlatih soal secara mandiri adalah siswa
dituntut belajar untuk membuat soal sendiri dan menjawab soal yang dibuatnya,
ini berbeda dengan pembelajaran matematika yang biasa dilakukan di sekolah,
yang biasanya guru yang membuat soal dan siswa hanya mengerjakan soal yaang
diberikan guru tersebut.
Problem posing dalam matematika mempunyai beberapa arti, diantaranya
perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa
perubahan agar lebih sederhana dan dapat dikuasai. Hal ini terjadi dalam
pemecahan soal-soal yang rumit. Pengertian ini menunjukkan bahwa pengajuan
soal merupakan salah satu langkah dalam rencana pemecahan masalah/soal.
Langkah-langkah dalam pembelajaran pendekatan problem posing yaitu
membuka kegiatan pembelajaran, menyampaikan tujuan pembelajaran.
menjelaskan materi pelajaran, memberikan contoh soal, memberikan kesempatan
kepada siswa untuk bertanya tentang hal-hal yang belum jelas, memberikan
kesempatan kepada siswa untuk membentuk soal dan menyelesaikannya,
mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan, membuat rangkuman
berdasarkan kesimpulan yang dibuat siswa, dan menutup kegiatan pembelajaran.

3.2 Saran
Problem posing suatu pendekatan dalam pembelajaran yang terbilang masih
baru berada di Indonesia, yaitu sekitar tahun 2000 baru masuk ke Indonesia. Oleh
karena itu diharapkan implementasi dari model pembelajaran ini, karena dengan
pendekatan problem posing siswa dilatih untuk memperkuat dan memperkaya
konsep-konsep dasar matematika. Selain itu pembelajaran problem posing
merupakan keterampilan mental, siswa menghadapi suatu kondisi dimana
diberikan suatu permasalahan dan siswa memecahkan masalah tersebut.
134

DAFTAR PUSTAKA

Afifah,Dian septi, Pendekatan Problem Posing dengan Latar Pembelajaran


Kooperatif, Jurnal Gamatika, vol. 2, no. 2, mei tahun 2012
Ai Sriwenda R, Bakti Mulyani, Sri Yamtinah, Penerapan Pembelajaran Model
Posinguntuk Meningkatkan Kreatifitas dan Prestasi Belajar Siswa pada
Materi Laju reaksi kelas XI IPA 5dan SMAN 1 Boyolali Tahun Ajaran
2012/2013, Jurnal Pendidikan Kimia, Vol. 2, No. 2, Tahun 2013, hal 2
Astra, Umiatin, Jannah, Pengaruh Problem Posing Tipe Pre-Solution Posing
terhadap Hasil Belajar Fisika dan Karakter Siswa SMA, Jurnal Pendidikan
Fisika Indonesia, vol. 8, tahun 2012, hlm. 137.
Brown dan Walter.1993.Problem Posing : Reflections and Aplications.New
Jersey:Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Haji,Saleh. Pendekatan Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika di
Sekolah Dasar. Tersedia:
http://repository.unib.ac.id/329/1/Judul%207%20Saleh%20Haji.pdf
https://artikelpendidikan indonesia.blogspot.com/2012/01/problem-posing-dalam-
pembelajaran-matematika/html
https://ashidiqpermana.wordpress.com/2011/05/17/problem-posing-dalam-
pembelajaran-matematika/html
https://karyatulisilmiah.com/2012/01/problem-posing-dalam-pembelajaran-
matematika/html
Miftahul Huda, Model-model Pembelajaran dan Pengajaran, Pustaka Belajar,
Yogyakarta, 2013. Hal. 276
Silver, E., A, Mamona-Down., J, Leung S dan Kenney, P. A. (1996). “Posing
Mathematical Problem”. Journal for Research in Mathematics Education.
Vol. 27 No. 3, Mei 1996. 293-309.
Silver, E., dan Cai, J. (1996). “An Analysis of Arithmetic Problem Posing
by Middle School Students”. Journal for Research in Mathematics
Education. Vol. 27 No. 5, November 1996. 521-539.
Siswono, T. Y. E. (1999). Analisis Hasil Tugas Pengajuan Soal oleh Siswa
Madrasah Tsanawiyah Negeri Rungkut Surabaya. Makalah Komprehensif.
PPs Unesa Surabaya.
Siswono, T. Y. E. (1999). Metode Pemberian Tugas Pengajuan Soal (Problem
Posing) dalam Pembelajaran Matematika Pokok Bahasan Perbandingan
di MTs Negeri Rungkut Surabaya. Tesis. PPs Unesa Surabaya.
Suyatno, Menjelajah Pemikiran Inovatif, Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo,
2009, hal. 61-62
135

Teguh, Model pembelajaran pengajuan masalah (problem posing). Tersedia


https://www.cahkutawaringin.id/19juli2018/model-pembelajaran-pengajuan-
masalah-problem-posing/

Upu, Hamzah. (2003). Problem Posing dan Problem Solving dalam Pembelajaran
Matematika. Bandung: Pustaka Ramadhan.
136

TUGAS MAKALAH
(DESAIN PEMBELAJARAN)

MODEL DESAIN PEMBELAJARAN


PENDEKATAN OPEN ENDED

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 6
1. MUHAMMAD RAMADHAN 1801513004
2. SARDIA 1801513014
3. IRSAN 1801513018

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA


UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO
TAHUN 2019
137

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................... 137
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 138
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 139
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................... 139
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Model Pembelajaran dengan Pendekatan Open ended 141
2.2 Penemu Model Pembelajaran dengan Pendekatan Open ended.... 142
2.3 Tujuan Model Pembelajaran dengan Pendekatan Open ended ..... 143
2.4 Prinsip-prinsip Model Pembelajaran dengan Pendekatan Open
ended ............................................................................................. 146
2.5 Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran dengan
Pendekatan Open Ended................................................................ 147
2.6 Langkah-langkah Model Pembelajaran dengan Pendekatan Open
ended ............................................................................................. 148
2.7 Penilaian Model Pembelajaran dengan Pendekatan Open ended.. Error! Bookmark not
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................... 15151
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 152
138

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendekatan open-ended merupakan salah satu upaya inovasi pendidikan
matematika yang pertama kali dilakukan oleh para ahli pendidikan
matematika Jepang. Pendekatan ini lahir sekitar dua puluh tahun yang lalu
dari hasil penelitian yang dilakukan Shigeru Shimada, Toshio Sawada,
Yoshiko Yashimoto, dan Kenichi Shibuya (Nohda, 2000). Munculnya
pendekatan ini sebagai reaksi atas pendidikan matematika sekolah saat itu
yang aktifitas kelasnya disebut dengan “issei jugyow” (frontal teaching); guru
menjelaskan konsep baru di depan kelas kepada para siswa, kemudian
memberikan contoh untuk penyelesaian beberapa soal.
Seperti diketahui bahwa masalah rutin yang biasa diberikan pada siswa
sebagai latihan atau tugas selalu berorientasi pada tujuan akhir, yakni jawaban
yang benar. Akibatnya proses atau prosedur yang telah dilakukan oleh siswa
dalam menyelesaikan soal tersebut kurang atau bahkan tidak mendapat perhatian
guru. Padahal perlu disadari bahwa proses penyelesaian masalah merupakan
tujuan utama dalam pembelajaran pemecahan masalah matematika. Gambaran
tersebut sebagaimana dikemukakan Anthony bahwa pemberian tugas matematika
rutin yang diberikan pada latihan atau tugas-tugas matematika selalu terfokus
pada prosedur dan keakuratan, jarang sekali tugas matematika terintegrasi dengan
konsep lain dan juga jarang memuat soal yang memerlukan kemampuan berfikir
tingkat tinggi. Akibatnya ketika siswa dihadapkan pada tugas yang sulit dan
membutuhkan kemampuan berfikir tingkat tinggi atau jawabannya tidak langsung
diperoleh, maka siswa cenderung malas mengerjakannya, akhirnya dia
menegosiasikan tugas tersebut dengan gurunya.
Jika kita melihat, selama ini pembelajaran yang dilakukan berpusat pada
guru dan penyelesaian pembelajaran yang hanya terdiri dari satu jawaban. Hal
ini menyebabkan kemampuan pemecahan masalah pada siswa rendah karena
mereka hanya terpaku pada langkah-langkah yang digunakan oleh guru. Siswa
hanya meniru dengan apa-apa yang disampaikan oleh guru. Hal ini
139

menyebabkan siswa memiliki pemikiran yang hanya terpaku pada satu


langkah jawaban dan ketika disajikan suatu permasalahan yang lain maka
siswa akan bingung.
Salah satu langkah yang bisa dilakukan oleh guru untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran siswa adalah memilih
pendekatan serta model pembelajaran yang tepat dan berorientasi pada
kompetensi siswa khususnya kemampuan pemecahan masalah. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Rafiq Zulkarnaen (dalam Uhti. 2011),
pembelajaran dengan pendekatan open ended dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah.
Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang mengedapankan
adanya kelompok-kelompok dalam pelaksanaan pembelajaran. Hal ini
menyebabkan siswa akan berinteraksi dengan teman lain dalam proses
pembelajaran. Sehingga diharapkan siswa akan lebih aktif dalam proses
pembelajaran. Dalam upaya menumbuh kembangkan kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa maka diperlukan adanya pembelajaran kooperatif
dengan suatu pendekatan, salah satunya adalah dengan pendekatan open
ended.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka diperlukan adanya studi tentang
pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dikaji mengenai
pembelajaran kooperatif dengan pendekatan open ended yang dapat dijadikan
sebagai alternatif pembelajaran, dimana dalam pembelajaran tersebut dapat
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun perumusan masalah yang dibahas pada makalah ini adalah sebagai
berikut.
1. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan open ended?
2. Apa sajakah prinsip- prinsip dari pendekatan open ended?
3. Jelaskan langkah-langkah pendekatan open ended?
140

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut.
1. Mampu mengetahui tentang pendekatan open ended.
2. Mampu mengetahui prinsip- prinsip dari open ended.
3. Mampu mengetahui apa sajakah langkah-langkah pendekatan open ended.
141

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Model Pembelajaran dengan Pendekatan Open Ended


Pendekatan open ended prinsipnya sama dengan pembelajaran berbasis
masalah yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang dalam prosesnya dimulai
dengan memberi suatu masalah kepada siswa. Bedanya problem yang disajikan
memiliki jawaban benar lebih dari satu. Model open ended adalah pembelajaran
yang menyajikan suatu permasalahan yang memiliki metode atau penyelesaian
yang benar lebih dari satu. Menurut Suherman (dalam Biliya. 2015: 83) problem
yang diformulasikan memiliki multi jawaban yang benar disebut problem tak
lengkap atau disebut juga open ended problem atau soal terbuka.
Menurut Shimada (dalam Biliya. 2015: 83) menyatakan bahwa model open
ended adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai dari mengenal atau
menghadapkan siswa pada masalah terbuka. Pembelajaran dilanjutkan dengan
menggunakan banyak jawaban yang benar dari masalah yang diberikan untuk
memberikan pengalaman kepada siswa dalam menemukan sesuatu yang baru di
dalam proses pembelajaran.
Syaban (dalam Pratinuari, dkk. 2013: 107) mengemukakan bahwa
pendekatan open ended merupakan pendekatan pembelajaran yang menyajikan
suatu permasalahan yang memiliki metode penyelesaian atau penyelesaian yang
benar lebih dari satu.
Contoh penerapan problem open ended dalam kegiatan pembelajaran adalah
ketika siswa diminta mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang
berbeda dalam menjawab permasalahan yang diberikan dan bukan berorientasi
pada jawaban akhir. Dihadapkan dengan problem open ended siswa tidak hanya
mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada cara bagaimana sampai pada
suatu jawaban. Pembelajaran dengan pendekatan open ended biasanya dimulai
dengan memberikan problem terbuka kepada siswa. Kegiatan pembelajaran
membawa siswa dalam menjawab pertanyaan dengan banyak cara dan mungkin
juga dengan banyak jawaban sehingga mengundang potensi intelektual dan
pengalaman siswa dalam menemukan sesuatu yang baru.
142

2.2 Penemu Model Pembelajaran dengan Pendekatan Open ended


Pendekatan Open ended merupakan salah satu upaya inovasi pendidikan
matematika yang pertama kali dilakukan oleh para ahli pendidikan matematika
Jepang. Pendekatan ini lahir sekitar dua puluh tahun yang lalu dari hasil penelitian
yang dilakukan Shigeru Shimada (2000). Munculnya pendekatan ini sebagai
reaksi atas pendidikan matematika sekolah saat itu yang aktifitas kelasnya disebut
dengan “issei jugyow” (frontal teaching), guru menjelaskan konsep baru di depan
kelas kepada para siswa, kemudian memberikan contoh untuk penyelesaian
beberapa soal.
Pendekatan berdasarkan masalah dalam pembelajaran matematika
sebenarnya bukan hal yang baru, tetapi Polya sudah mengembangkan sejak tahun
40-an. Namun pendekatan ini mendapat perhatian luas lagi mulai tahun 80-an
sampai sekarang. Dengan dikembangkannya pendekatan pemecahan masalah
berbentuk terbuka (open ended) di Jepang. Pendekatan ini didasarkan atas
penelitian Shimada, adalah “an instructional strategy that creates interest and
simulates creative mathematical activity in the classroom trhough student’s
collaborative work. Lesson using open ended problem solving emphasize the
proses of problem solving activities rather than focusing on the result”.
Pendekatan ini berkembang pesat sampai di Amerika dan Eropa yang
selanjutnya dikenal dengan istilah open ended problem solving. Di Eropa terutama
di Negara-negara seperti Belanda, pendekatan pembelajaran ini mendapat
perhatian luas seiring dengan terjadinya tuntutan pergeseran paradigma dalam
pendidikan matematika di sana. Di klaim bahwa pembelajaran matematika
merupakan “human activities”, baik mental atau fisik berdasarkan “real life”
dengan mengambil landasan Konstrutivisme Radikal Modern (berdasarkan biologi
Kognitivisme dan Neurophisiologi) oleh Maturana dan varela bahwa fenomena-
fenomena alam itu tidak dapat di reduksi secara penuh menjadi klausa-klausa
deterministic, dengan struktur dan pola yang unik, tunggal dan dapat di prediksi
secara mudah. Sebaliknya real life, adalah kompleks dengan struktur dan pola
yang sering tak jelas, tak selalu teramalkan dengan mudah, multidimensi, dan
memungkinkan adanya banyak penafsiran dan sinkuler. Pengetahuan manusia
tentang alam hanyalah hipotesa-hipotesa konstruksi hasil pengamatan terbatas,
143

yang tentu saja dapat salah (fallible). Mengambil pandangan ini dalam
pembelajaran matematika, berarti memberi kesempatan pada siswa untuk belajar
melalui aktivitas-aktivitas real life dengan menyajikan fenomena alam “seterbuka
mungkin” pada siswa. Bentuk penyajian fenomena real dengan “terbuka” ini dapat
dilakukan melalui pembelajaran yang berorientasi pada masalah/soal/tugas
terbuka.
Secara konseptual masalah terbuka dalam pembelajaran matematika adalah
masalah atau soal-soal matematika yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga
memilki beberapa atau bahkan banyak solusi yang benar, dan terdapat banyak
cara untuk mencapai solusi itu. Pendekatan ini memberikan kesempatan pada
siswa untuk “experience in finding something new in the process”.

2.3 Tujuan Model Pembelajaran dengan Pendekatan Open ended


Tujuan pembelajaran menurut Nohda adalah untuk membantu
mengembangkan kegiatan kreatif dan pola pikir matematis siswa melalui problem
solving yang simultan. Dengan kata lain, kegiatan kreatif dan pola pikir matematis
siswa harus dikembangkan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan
setiap siswa. Hal yang dapat digaris bawahi adalah perlunya memberi kesempatan
siswa untuk berpikir dengan bebas sesuai dengan minat dan kemampuannya.
Aktivitas kelas yang penuh dengan ide-ide matematika ini pada gilirannya akan
memacu kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa.
Wijaya (dalam Alamiyah & Afriansyah. 2017: 209) menjelaskan bahwa
pendekatan open ended merupakan pendekatan yang bertujuan untuk
mengembangkan aktivitas kreatif dan kemampuan berpikir matematis secara
simultan. Dari sisi lain, siswa juga tidak hanya diharapkan dapat menemukan
penyelesaian, tetapi diminta untuk mengemukakan langkah-langkah untuk
mencapai penyelesaian itu. open ended juga memberikan kesempatan kepada
siswa untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman menemukan, mengenali,
dan memecahkan masalah dengan beberapa cara.
Dari prespektif diatas, pendekatan open ended menjanjikan suatu
kesempatan kepada siswa untuk menginvestigasi berbagai strategi dan cara yang
diyakininya sesuai dengan kemampuan mengelaborasi permasalahan. Tujuannya
adalah agar kemampuan berfikir siswa dapat berkembang secara maksimal dan
144

pada saat yang sama kegiatan-kegiatan kreatif dari setiap siswa terkomunikasi
melalui proses belajar mengajar.
Dengan demikian model pembelajaran open ended merupakan pembelajaran
terbuka. Novikasari (2009: 7-8) menyatakan bahwa kegiatan matematika dan
kegiatan siswa disebut terbuka jika memenuhi aspek-aspek:
1. Kegiatan siswa harus terbuka
Yang dimaksud kegiatan siswa harus terbuka adalah kegiatan pembelajaran
harus mengakomodasi kesempatan siswa untuk melakukan segala sesuatu secara
bebas sesuai kehendak mereka. Misalnya guru memberikan permasalahan seperti
berikut kepada siswa.
Dengan menggunakan berbagai cara, hitunglah jumlah sepuluh bilangan
ganjil pertama mulai dari satu!
Peserta didik memberikan jawaban permasalahan di atas dengan
mengembangkan kreativitasnya sehingga diperoleh pemikiran berikut:
(i) (1+19)+(3+17)+(5+15)+(7+13)+(9+11)= 20x5 = 100
(ii) (1+9)+(3+7)+(5+5)+(7+3)+(9+1)+(10x5) = 100
(iii) 1+3 = 4, 4+5 = 9, 9+7 = 16, 16+9 = 25, ...
Dari jawaban (iii) peserta didik ada yang menemukan pola bahwa,
1+3= 2x2, 4+5 = 3x3, 9+7 = 4x4, ..., 81+19 = 10x10
Artinya, 1+3+5+7+9+11+13+15+17+19 = 10x10 = 100 (jumlah sepuluh
bilangan ganjil yang pertama adalah 100).
Dari contoh di atas jelas bahwa guru telah mengemas pembelajaran dan
sekaligus memanfaatkan kesempatan untuk mengembangkan materi pembelajaran
lebih lanjut yang sedikit banyak telah dikenal oleh siswa karena permasalahannya
dikonstruksi oleh siswa sendiri. Kesalahan dalam proses pengerjaan oleh siswa,
guru dapat memberi petunjuk bagaimana mereka membuat koreksi untuk
mengakomodasi pertanyaan yang sesungguhnya melalui pengecekan nilai atau
penambahan kondisi tertentu.
2. Kegiatan matematika adalah ragam berpikir.
Kegiatan matematik adalah kegiatan yang di dalamnya terjadi proses
pengabstraksian dari pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari ke dalam
dunia matematika atau sebaliknya. Pada dasarnya kegiatan matematika akan
145

menggunakan proses manipulasi dan manifestasi dalam dunia matematika. Jika


proses penyelesaian suatu problem menggunakan prosedur, proses diverifikasi dan
generalisasi, maka kegiatan matematika dalam pemecahan masalah seperti ini
dikatakan terbuka.
3. Kegiatan siswa dan kegiatan matematika merupakan satu kesatuan.
Dalam pembelajaran matematika, guru diharapkan dapat mengangkat
pemahaman siswa bagaimana memecahkan permasalahan dan perluasan serta
pendalaman dalam berpikir matematika sesuai dengan kemampuan individu.
Meskipun pada umumnya guru akan mempersiapkan dan melaksanakan
pembelajaran sesuai dengan pengalaman dan pertimbangan masing-masing. Guru
bisa membelajarkan peserta didik melalui kegiatan-kegiatan matematika tingkat
tinggi yang sistematis dan melalui kegiatan-kegiatan matematika yang mendasar
untuk melayani siswa yang kemampuannya rendah.
Pada dasarnya model pembelajaran open ended bertujuan untuk mengangkat
kegiatan kreatif siswa dan berpikir matematika secara simultan. Oleh karena itu
hal yang paling perlu diperhatikan adalah kebebasan siswa untuk berfikir dalam
membuat progress pemecahan sesuai dengan kemampuan, sikap, dan minatnya
sehingga pada akhirnya akan membentuk intelegensi matematika siswa.
Beberapa hal yang dapat dijadikan acuan dalam mengkreasi problem pada
pendekatan open ended:
1 Sajikan permasalahan melalui situasi fisik yang nyata sehingga konsep-konsep
matematika dapat diamati.
2. Soal-soal pembuktian dapat diubah sedemikian rupa sehingga siswa dapat
menemukan hubunga dan sifat-sifat dari variabel dalam persoalan itu.
3. Sajikan bentuk-bentuk atau bangun-bangun (geometri) sehingga siswa dapat
membentuk konjektur.
4. Sajikan urutan bilangan atau tabel sehingga siswa dapat menemukan aturan
matematika.
5. Berikan beberapa masalah konkrit dalam beberapa katagori sehingga siswa
dapat mengkolaborasi sifat-sifat dari contoh itu untuk menemukan sifat-sifat
umum.
146

6. Berikan beberapa latihan serupa sehingga siswa dapat menggeneralisasi dari


pekerjaannya.
Dengan demikian, pendekatan open ended menjanjikan suatu kesempatan
kepada siswa untuk menginvestigasi berbagai strategi dan cara yang diyakininya
sesuai dengan kemampuan mengelaborasi permasalahan. Tujuannya tiada lain
adalah agar kemampuan berpikir matematika siswa dapat berkembang secara
maksimal dan pada saat yang sama kegiatan-kegiatan kreatif dari setiap siswa
terkomunikasikan melalui proses belajar mengajar.

2.4 Prinsip-Prinsip Model Pembelajaran dengan Pendekatan Open ended


Menurut Nohda (2000: 1 – 39), menyatakan bahwa pembelajaran dengan
pendekatan open ended didasarkan pada tiga prinsip:
1 Berkaitan dengan prinsip ekonomi kegiatan siswa. Ini menunjukkan bahwa
kita harus menghargai nilai kegiatan-kegiatan siswa.
2 Berkaitan dengan hakikat terpadu dan evolusioner dari pengetahuan dari
pengetahuan matematika, sifatnya teoritis dan sistematis.
3 Berkaitan dengan keputusan yang diambil guru di dalam kelas. Di dalam kelas
seringkali guru menemukan jawaban di luar dugaan. Ini berarti guru harus
berperan aktif dalam menampilkan ide siswa tersebut secara utuh, dan
memberi kesempatan kepada siswa lainnya untuk mematuhi ide-ide yang tak
terduga itu.
Jenis Masalah yang digunakan dalam pembelajaran melalui pendekatan
open-ended ini adalah masalah yang bukan rutin yang bersifat terbuka. Sedangkan
dasar keterbukaanya (openness) dapat diklasifikasikan kedalam tiga tipe, yakni:
Process is open, end product are open dan ways to develop are open. Prosesnya
terbuka maksudnya adalah tipe soal yang diberikan mempunyai banyak cara
penyelesaian yang benar. Hasil akhir yang terbuka, maksudnya tipe soal yang
diberikan mempunyai jawaban benar yang banyak (multiple), sedangkan cara
pengembang lanjutannya terbuka, yaitu ketika siswa telah selesai menyelesaikan
masalahnya, mereka dapat mengembangkan masalah baru dengan mengubah
kondisi dari masalah yang pertama (asli).
147

2.5 Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran dengan Pendekatan


Open Ended
Model pembelajaran pendekatan open ended ini menurut Suherman, dkk
(2003:132) memiliki beberapa keunggulan antara lain:
1 Siswa berpartisipasi lebih aktif dalam pembelajaran dan sering
mengekspresikan idenya.
2 Siswa memiliki kesempatan lebih banyak dalam memanfaatkan pengetahuan
dan keterampilan matematika secara komprehensif.
3 Siswa dengan kemapuan matematika rendah dapat merespon permasalahan
dengan cara mereka sendiri.
4 Siswa secara intrinsik termotivasi untuk memberikan bukti atau penjelasan.
5 Siswa memiliki pengalaman banyak untuk menemukan sesuatu dalam
menjawab permasalahan.
Disamping keunggulan, menurut Suherman, dkk (2003;133) terdapat pula
kelemahan dari model pebelajaran Open ended, diantaranya:
1 Membuat dan menyiapkan masalah matematika yang bermakna bagi siswa
bukanlah pekerjaan mudah.
2 Mengemukakan masalah yang langsung dapat dipahami siswa sangat sulit
sehingga banyak siswa yang mengalami kesulitan bagaimana merespon
permasalahan yang diberikan.
3 Siswa dengan kemampuan tinggi bisa merasa ragu atau mencemaskan
jawaban mereka.
4 Mungkin ada sebagaian siswa yang merasa bahwa kegiatan belajar mereka
mereka tidak menyenangkan karena kesulitan yang mereka hadapi.
Meskipun pendekatan open ended mempunyai beberapa kelemahan, namun
kelemahan tersebut masih dapat diatasi. Cara mengatasi kelemahan tersebut
misalnya, dalam membuat dan menyiapkan masalah yang bermakna bagi siswa,
guru terlebih dahulu mendaftar semua respon yang diinginkan, setelah itu baru
membuat masalah yang bermakna. Untuk mengatasi kecemasan yang dialami
siswa yang pandai yaitu sebelum dilaksanakan pembelajaran dengan pendekatan
open ended siswa terlebih dahulu diberi informasi terlebih dahulu diberi informasi
bahwa jawaban yang diajukan dalam permasalahan yang diajukan dapat
148

bermacam-macam tergantung dari sudut mana siswa memandangnya dan dari


bermacam-macam jawaban tersebut mungkin semuanya benar.

2.6 Langkah-langkah Model Pembelajaran dengan Pendekatan Open


Ended
1. Kegiatan Awal
a. Guru melakukan tanya jawab untuk mengecek pengetahuan prasyarat dan
keterampilan yang dimiliki siswa.
b. Guru menginformasikan kepada siswa materi yang akan mereka pelajari dan
kegunaan materi tersebut.
2. Kegiatan Inti
a. Memberi Masalah
Guru memberi masalah open ended yang berkaitan dengan materi yang akan
dipelajari.
b. Mengeksplorasi Masalah
Waktu mengeksplorasi masalah dibagi dua sesi. Sesi pertama digunakan
untuk bekerja secara individual untuk menyelesaikan masalah. Pada sesi
kedua siswa bekerja secara kelompok untuk mendiskusikan hasil pekerjaan
individunya.
c. Merekam Respon Siswa
Guru meminta beberapa orang siswa sebagai wakil dari beberapa kelompok
untuk mengemukakan hasil diskusi. Siswa diharapkan merespon masalah
dengan berbagai cara atau penyelesaian dan guru merekamnya.
d. Pembahasan Respon Siswa (diskusi kelas)
Guru mencatat respon siswa, pendekatan atau solusi masalah mereka dan
menulis sebanyak mungkin kemungkinan respon siswa dan mendaftarnya.
Kemudian guru mengelompokan siswa sesuai dengan sudut pandang tertentu.
Dalam proses diskusi kelas guru mendorong siswa agar memberikan jawaban
dan kesimpulan konsep yang diajarkan.
e. Meringkas apa yang dipelajari
Hasil diskusi kelas disimpulkan, kemudian guru memberikan soal-soal lain
yang berkaitan dengan materi yang sedang dipelajari dan siswa diminta
mengerjakannya baik secara individu maupun kelompok.
149

3. Kegiatan Akhir
a. Guru memberikan soal-soal untuk dikerjakan dirumah.
b. Guru memberikan informasi tentang materi yang akan dipelajari pada
pertemuan berikutnya.

2.7 Penilaian Model Pembelajaran dengan Pendekatan Open Ended


Ada 3 hal yang dilihat dari penilaian pembelajaran matematika melalui
pendekatan ini, yakni fluency, flexibility, dan originality. Fluency terkait dengan
berapa banyak solusi yang dapat dihasilkan oleh siswa. Satu respon siswa atau
kelompok yang benar dihargai 1 poin, sehingga nilai yang diperoleh siswa adalah
total dari seluruh solusi yang dihasilkan oleh siswa. Flexibilty terkait dengan
berapa banyak ide-ide matematis berbeda yang ditemukan/dimunculkan oleh
siswa. Solusi yang benar yang dihasilkan siswa terbagi dalam beberapa kategori.
Jika dua buah solusi atau pendekatan mempunyai ide matematika yang sama,
maka dianggap sebagai satu kategori. Banyaknya ketagori yang muncul disebut
respon positif. Jumlah dari kategori ini mengindikasikan flexibitly. Originality
terkait dengan derajat keaslian ide siswa. Jika siswa atau kelompok memunculkan
ide yang unik, tingkat keorsinilannya dihargai tinggi. Guru harus memberikan
skor yang tinggi untuk kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi.
Sebagai ringkasnya, kiata dapat menggunakan teknik penilaian yang
dikemukakan oleh Hancock (dalam Afgani. 2010), yakni sebagai berikut:
1. Jawaban diberi nilai 4, jika:
a. Jawaban lengkap dan benar untuk pertanyaan yang diberikan;
b. Ilustrasi ketrampilan pemecahan masalah, penalaran dan komunikasinya
sempurna;
c. Pekerjaan ditunjukkan dan dijelaskan dengan clearly;
d. Memuat sedikit kesalahan
2. Jawaban diberi nilai 3, jika:
a. Jawaban benar untuk masalah yang diberikan;
b. Ilustrasi ketrampilan pemecahan masalah, penalaran dan komunikasi baik;
c. Pekerjaan ditunjukkan dan dijelaskan;
d. Memuat beberapa kesalahan dalam penalaran.
150

3. Jawaban diberi nilai 2, jika:


a. Beberapa jawaban tidak lengkap Ilustrasi ketrampilan pemecahan masalah,
penalaran dan komunikasinya cukup;
b. Kekurangan dalam berfikir tingkat tinggi telihat jelas;
c. Muncul beberapa keterbatasan dalam pemahana konsep matematika;
d. Banyak kesalahan dalam penalaran.
4. Jawaban diberi nilai 1, jika :
a. Muncul masalah dalam meniru ide matematika tetapi tidak dapat
dikembangkan;
b. Ketrampilan pemecahan masalah, penalaran dan komunikasi kurang;
c. Banyak salah perhitungan;
d. Terdapat sedikit pemahan yang diilustrasikan;
e. Siswa kurang mencoba beberapa hal
5. Jawaban diberi nilai 0, jika :
a. Keseluruhan jawaban tidak ada atau tidak Nampak;
b. Tidak muncul ketrampilan pemecahan masalah, penalaran dan
komunikasi;
c. Sama sekali pemahaman matematikanya tidak muncul;
d. Terlihat jelas bluffing (mencoba-coba atau menebak);
e. Tidak menjawab semua kemungkinan yang deiberikan
151

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Problem yang diformulasikan memiliki multijawaban yang benar disebut
problem tak lengkap disebut juga problem open ended. Dengan problem open
ended tujuan utamanya bukan untuk mendapatkan jawaban tetapi lebih
menekankan pada carabagaimana sampai pada suatu jawaban. Dengan demikian
bukanlah hanya ada satupendekatan atau metode dalam mendapatkan jawaban
namun beberapa atau banyak. Open ended menjanjikan suatu kesempatan kepada
siswa untuk meninvestigasi berbagai strategi dan cara yang diyakininya sesuai
dengan mengelaborasi permasalahan.
Tujuannya tiada lain adalah agar kemampuan berpikir matematika siswa
dapat berkembang secara maksimal pada saat kegiatan kreatif dari setiap siswa
terkomunikasikan melalui proses belajar mengajar. Inilah yang menjadi pokok
pikiran pembelajaran dengan open-ended, yaitu pembelajaran yang membangun
kegiatan interaktif antara matematika dan siswa sehingga mengundang siswa
untuk menjawab permasalahan untuk menjawab permasalahan melalui berbagai
strategi. Dalam pendekatan open ended guru memberikan permasalahan kepada
siswa yang solusinya atau jawabannya tidak ditentukan hanya satu jalan/cara.
Guru harus memanfaatkan keberagaman cara atau proses untuk
menyelesaikan masalah itu, untuk memberi pengalaman siswa dalam menemukan
sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan, keterampilan, dan cara berpikir
matematik yang telah diperoleh sebelumnya. Seperti yang telah dijelaskan di
atas dari pendekatan open ended ini terdapat beberapa keunggulan dan kelemahan.
Salah satu keunggulanya yaitu siswa berpartisipasi lebih aktif dalam pembelajaran
dan sering mengekspresikan idenya. Dan salah satu kelemahannya yaitu siswa
dengan kemampuan tinggi bisa merasa ragu terhadap jawaban mereka.
152

DAFTAR PUSTAKA

Afgani, J. 2010. Pendekatan open ended dalam pembelajaran matematika. File


UPI. 3-5.

Alamiyah, U. S & Afriansyah. E. A. 2017. Perbandingan Kemampuan


Komunikasi Matematis Siswa Antara yang Mendapatkan Model
Pembelajaran Problem Based Learning dengan Pendekatan Realistic
Mathematics Education dan Open-Ended. Jurnal Mosharafa. Vol. 6(2).
207-216.

Biliya, B. A. 2015. Penerapan Model Open Ended Untuk Meningkatkan


Keterampilan Proses Dan Hasil Belajar Siswa Kelas V SDN 1 Repaking -
Wonosegoro – Boyolali. Scholaria. Vol. 5(1). 78 -91.

Novikasari, I. 2009. Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa melalui


Pembelajaran Matematika Open-ended di Sekolah Dasar. Jurnal
Pemikiran Alternatif Kependidikan. Vol. (14(2). 346-464.

Pratinuari, K. dkk. 2013. Keefektifan Pendekatan Open-Ended dengan


Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif. Unnes
Journal of Mathematic Education. Vol. 2 (1).

Uhti. 2011. Pembelajaran Kooperatif dengan Pendekatan Open Ended untuk


Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa
Sekolah Menengah. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan
Matematika. Prosiding. ISBN: 978 – 979 – 16353 – 6 – 3.
153
Realistic Mathematics Education
(RME)

Di Susun Oleh:
Etty Ristiana Anggraeni
(1801513001)
Ahmad Yogi
(1801513007)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURURAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO
154

DAFTAR ISI

Halaman
Daftar Isi .......................................................................................................... 154
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 155
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 156
1.3 Tujuan ........................................................................................... 156
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Filosofi Lahirnya Pendekatan Realistic Mathematics Education
(RME)............................................................................................ 157
2.2 Komponen Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) 162
2.3 Analisis Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) .... 173
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................... 177
3.2 Saran ............................................................................................. 178
Daftar Pustaka ................................................................................................. 179
155

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Matematika memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan.
Banyak permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang diselesaikan
menggunakan ilmu matematika seperti menghitung, mengukur, dan lain
sebagainya. Selain itu, matematika mendasari perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern, memajukan daya pikir serta analisa manusia. Peran
matematika dewasa ini semakin penting, karena banyaknya informasi yang
disampaikan orang dalam bahasa matematika seperti, tabel, grafik,
diagram, persamaan dan sejenisnya. Matematika digunakan di seluruh dunia
sebagai alat penting di berbagai bidang, termasuk ilmu pengetahuan alam, tehnik,
kedokteran atau medis, ilmu pengetahuan sosial seperti ekonomi, akuntansi dan
psikologi. Untuk dapat memahami matematika sangat diperlukan pemahaman
konsep yang mendalam.
Salah satu karakteristik matematika adalah mempunyai objek yang bersifat
abstrak. Sifat abstrak matematika menyebabkan banyak siswa mengalami
kesulitan dalam mempelajari matematika. Sehingga prestasi matematika siswa di
Indonesia masih rendah. Salah satu penyebab rendahnya prestasi matematika
siswa yaitu siswa mengalami masalah secara komprehensif atau secara parsial
dalam matematika. Pemahaman konsep matematika siswa masih sangat lemah,
siswa merasa kesulitan mengaplikasikan ilmu matematika dalam kehidupan nyata.
Selain itu guru dalam pembelajarannya di kelas tidak mengaitkan dengan skema
yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk
menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika.
Menurut Van de Henvel-Panhuizen (dalam Rahmawati, 2013: 226), bila
anak belajar matematika terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari maka anak
akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika. Pembelajaran
matematika di kelas seharusnya ditekankan pada keterkaitan antara konsep-
konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari. Selain itu,
perlu menerapkan kembali konsep matematika yang telah dimiliki anak pada
kehidupan sehari-hari atau pada bidang lain.
156

Dalam pelaksanaan pembelajaran matematika, guru jarang sekali memberi


kesempatan siswa untuk mengkomunikasikan ide-idenya. Sehingga siswa merasa
sulit dalam memberikan penjelasan yang benar, jelas dan logis atas jawabannya.
Untuk mengurangi kejadian seperti itu menurut Pugale (dalam Rahmawati, 2013:
226), dalam pembelajaran matematika siswa perlu dibiasakan untuk memberikan
argumen atas setiap jawabannya serta memberikan tanggapan atas jawaban yang
diberikan orang lain, sehingga apa yang dipelajari menjadi lebih bermakna bagi
siswa.
Salah satu metode pembelajaran matematika yang berorientasi pada
matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan
menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah pendekatan
pendidikan matematika realistik. Dengan menerapkan pendekatan pendidikan
matematika realistik, diharapkan siswa akan mudah memahami konsep
matematika sehingga meningkatkan prestasi matematika siswa.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana filosofi lahirnya pendekatan Realistic Mathematics Education
(RME)?
2. Apa saja yang termasuk komponen pendekatan Realistic Mathematics
Education (RME)?
3. Bagaimana analisis tugas pendekatan Realistic Mathematics Education
(RME).

1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui filosofi lahirnya pendekatan Realistic Mathematics
Education (RME).
2. Untuk mengetahui komponen pendekatan Realistic Mathematics Education
(RME).
3. Untuk mengetahui analisis tugas pendekatan Realistic Mathematics
Education (RME).
157

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Filosofi Lahirnya Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)


Pada tahun 1971, Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan di
Institut Freudenthal di Utrecht University Belanda yang merupakan suatu
pendekatan pembelajaran matematika. Gagasan tersebut dikembangkan oleh
Profesor Hans Freudenthal. Menurut Frudenthal (dalam Gravemeijer 1994: 82)
berkeyakinan bahwa mathematics as human activity and mathematics must be
connected to reality sehingga dalam proses pembelajaran siswa tidak boleh di
pandang sebagai penerima pasif (passive receivers of ready-made mathematics).
Pendidikan harus mengantarkan, mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai
situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara
mereka sendiri (reinvention) melalui aktivitas matematisasi (mathematizing)
dengan bimbingan dari guru sehingga harus dimulai dengan penjelajahan berbagai
situasi dan konteks (contextual problem). Gagasan ini menunjukkan bahwa RME
tidak menempatkan matematika sebagai produk jadi, melainkan suatu proses yang
sering disebut dengan guided reinvention.
Teori pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) diadaptasi oleh
Indonesia dan diubah namanya menjadi pendekatan Pendidikan Matematika
Realistik Indonesia (PMRI) sekitar akhir tahun 1990-an. Sekitar tahun 1998, dunia
pendidikan matematika Indonesia mulai mengenal suatu inovasi khusus dalam
pembelajaran matematika yang dinamakan dengan Realistic Mathematics
Education (RME) yang berasal dari negeri Belanda (Sembiring, Hoogland, &
Dolk, 2010: 144). Menurut Van den Heuvel (dalam Wijaya, 2012: 20) bahwa
penggunaan kata ”realistik” sebenarnya berasal dari bahasa Belanda ”zich
realiseren” yang berarti untuk dibayangkan. Jadi, Realistic Mathematics
Education (RME) tidak hanya menunjukkan adanya keterkaitan dengan dunia
nyata tetapi lebih mengacu pada fokus pendidikan matematika realistik yaitu
penekanan pada penggunaan situasi yang dapat dibayangkan oleh siswa.
Hadi (2005: 19) menjelaskan bahwa dalam matematika realistik dunia nyata
digunakan sebagai titik awal untuk pengembangan ide dan konsep matematika.
Penjelasan lebih lanjut bahwa pembelajaran matematika realistik ini berangkat
158

dari kehidupan anak, yang dapat dengan mudah dipahami oleh anak, nyata, dan
terjangkau oleh imajinasinya, dan dapat dibayangkan sehingga mudah baginya
untuk mencari kemungkinan penyelesaiannya dengan menggunakan kemampuan
matematis yang telah dimiliki. Tarigan (2006: 3) menambahkan bahwa
pembelajaran matematika realistik menekankan akan pentingnya konteks nyata
yang dikenal siswa dan proses konstruksi pengetahuan matematika oleh siswa
sendiri.
Selaras dengan pendapat-pendapat ahli di atas, Aisyah (2007: 71)
mengemukakan bahwa pendekatan matematika realistik merupakan suatu
pendekatan belajar matematika yang dikembangkan untuk mendekatkan
matematika kepada siswa. Oleh sebab itu, masalah-masalah nyata dari kehidupan
sehari-hari yang dimunculkan sebagai titik awal pembelajaran matematika.
Penggunaan masalah realistik ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa
matematika sebenarnya dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa.
Rahayu (2010: 15) mengemukakan bahwa pendidikan matematika realistik
merupakan suatu pendekatan pembelajaran matematika yang lebih menekankan
realitas dan lingkungan sebagai titik awal dari pembelajaran. Selain itu, Realistic
Mathematics Education (RME) menekankan pada keterampilan proses
matematika, berdiskusi dan berkolaborasi, beragumentasi dengan teman sekelas
sehingga mereka dapat menemukan sendiri dan akhirnya menggunakan
matematika untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun
kelompok. Namun, perlu diketahui bahwa dalam Realistic Mathematics Education
(RME) tidak hanya berhenti pada penggunaan masalah realistik. Masalah realistik
hanyalah pengantar siswa untuk menuju proses matematisasi. Matematisasi adalah
suatu proses untuk mematematikakan suatu fenomena.
Dalam penerapan Realistic Mathematics Education (RME) terdapat dua
jenis matematisasi yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal.
Matematisasi horizontal berkaitan dengan proses generalisasi (generalizing) yang
diawali dengan pengidentifikasian konsep matematika berdasarkan keteraturan
(regularities) dan hubungan (relation) yang ditemukan melalui visualisasi dan
skematisasi masalah. Jadi, pada matematisasi horizontal ini siswa mencoba
menyelesaikan soal-soal dari dunia nyata, dengan menggunakan bahasa dan
159

simbol mereka sendiri, dan masih bergantung pada model. Berbeda dengan
matematisasi vertikal yang merupakan bentuk proses formalisasi (formalizing)
dimana model matematika yang diperoleh pada matematisasi horizontal menjadi
landasan dalam pengembangan konsep matematika yang lebih formal melalui
proses matematisasi vertikal. Dengan kata lain, kedua jenis matematisasi ini tidak
dapat dipisahkan secara berurutan, tetapi keduanya terjadi secara bergantian dan
bertahap (Wijaya, 2012: 41 – 43). Jadi, dalam Realistic Mathematics Education
(RME) masalah realistik digunakan sebagai stimulator utama dalam upaya
rekonstruksi pengetahuan peserta didik. Selain itu, penerapan Realistic
Mathematics Education (RME) diiringi oleh penggunaan model agar
pembelajaran yang dilakukan benar-benar dapat dibayangkan oleh siswa
(imaginable), sehingga mengacu pada penyelesaian masalah dengan berbagai
alternatif melalui proses matematisasi yang dilakukan oleh siswa sendiri.
Aspek ontologi atau eksistensi dari pendekatan pembelajaran Realistic
Mathematics Education (RME) adalah gagasan bahwa matematika merupakan
aktivitas manusia. Aktivitas manusia ini tercermin dari aktivitas berpikir
matematis dalam menemukan dan menyelesaikan masalah realistik (Contextual
problem) kemudian mencoba mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri secara
aktif dengan dalam proses penemuan kembali (reinvention) melalui aktivitas
matematisasi (mathematizing) dengan bimbingan guru sebagai fasilitator.
Aspek epistimologi pendekatan pembelajaran Realistic Mathematics
Education (RME) dalam menemukan konsep matematika tercermin dari tiga
prinsip pokok dan lima karakteristik pendekatan pembelajaran ini meliputi
penggunaan konteks (contextual problem), penggunaan model untuk matematika
progresif (progressive mathematizing), melaui hasil konstruksi siswa dalam proses
penemuan kembali (reinvention), interaktivitas (interaktivity), dan keterkaitan
(intertwinement).
Aspek aksiologi pendekatan pembelajaran Realistic Mathematics Education
(RME) banyak dipengaruhi oleh aspek ontologi dan aspek epistimologinya, yang
dapat diidentifikasi dari prinsip dan karakteristik pendekatan pembelajaran
tersebut meliputi menciptakan kebermaknaan dalam belajar matematika dan
meningkatkan aspek kognitif siswa melaui penggunaan masalah kontekstual
160

(contextual problem). Aktivitas penemuan kembali (reinvention) melalui proses


matematisasi (mathematizing) dengan penggunaan model dapat membantu
mengembangkan aspek afektif siswa antara lain: mengembangkan kreativitas
siswa, meningkatkan rasa percaya diri serta rasa tanggung jawab siswa.
Penggunaan interaktivitas dapat meningkatkan kecerdasan interpersonal siswa.
Menurut Treffers (dalam Wijaya, 2009: 4-5), pedekatan matematika realistik
memiliki lima karakteristik, yaitu:
1. Phenomenological exploration
Pendidikan matematika realistik menekankan pentingnya eksplorasi
fenomena kehidupan sehari-hari. Pengetahuan informal yang siswa peroleh dari
kehidupan sehari-hari digunakan sebagai permasalahan kontekstual untuk
dikembangkan menjadi konsep formal matematika.
2. Using models and symbols for progressive mathematization (Penggunaan
model dan simbol untuk matematika progresif)
Pengembangan pengetahuan informal siswa menjadi konsep formal
matematika merupakan suatu proses yang bertahap yang didukung didukung
dengan penggunaan model dan simbol. Simbol dan model tersebut akan lebih
bermakna bagi siswa dan juga dapat dimanfaatkan untuk generalisasi dan
abstraksi konsep matematika.
3. Using students’ own construction (Penggunaan hasil kerja siswa)
Pendidikan matematika realistik merupakan pembelajaran yang terpusat
pada siswa (student-centered) sehingga siswa didorong untuk lebih aktif dan
kreatif dalam mengembangkan ide dan strategi. Untuk selanjutnya, ide dan
strategi yang ditemukan dan dikembangkan oleh siswa digunakan sebagai dasar
pembelajaran.
4. Interactivity
Proses belajar siswa tidak hanya merupakan proses individu tetapi juga
proses sosial secara simultan. Oleh karena itu, salah satu prinsip pendidikan
matematika realistik adalah mengembangkan interaksi antar siswa untuk
mendukung proses sosial dalam pembelajaran.
161

5. Intertwinement (Keterkaitan)
Prinsip terakhir dari pendidikan matematika realistik adalah
menghubungkan beberapa topik dalam satu pembelajaran. Hal ini menunjukkan
bagaimana manfaat dan peran suatu topik atau konsep terhadap topik yang lain.
Menurut Bakker (dalam Wijaya, 2009: 5-6), selain lima karakteristik
tersebut, pendidikan matematika realistik juga memiliki tiga prinsip untuk desain
dan pengembangan pendidikan matematika Ketiga prinsip tersebut adalah:
1. Guided reinvention (penemuan terbimbing)
Terkait dengan karakteristik kedua dari pendidikan matematika realistik,
maka dalam suatu pembelajaran siswa harus diarahkan untuk menemukan strategi
penyelesaian masalah. Selain itu, siswa juga dibimbing untuk memiliki
pengalaman tentang suatu konsep matematika sebagaimana proses konsep
tersebut ditemukan
2. Didactical phenomenology (Fenomenologi didaktik)
Penggunaan permasalahan kontekstual sebagai sumber dan titik awal
pembelajaran perlu mempertimbangkan unsur didaktik dan disesuaikan dengan
tingkat kemampuan peserta didik.
3. Emergent model (pengembangan model)
Prinsip dasar kedua dari pendidikan matematika realistik – “pengembangan
model” – dikembangkan dari karakteristik kedua dari pendidikan matematika
realistik, yaitu using models and symbols for progressive mathematization.
Gravemeijer (dalam Wijaya, 2009: 6) menyebutkan empat tingkatan dari
pengembangan model, yaitu:
a. Tingkatan situasi. Pada tingkatan ini, strategi yang digunakan masih dalam
situasi kontekstual.
b. Tingkatan referensi. Pada tingkatan referensi, strategi baru dikembangkan
dengan memodelkan situasi kontekstual atau sering disebut sebagai “model-
of”
c. Tingkatan general. “Model-of” yang digunakan pada tingkatan referensi
dikembangkan menjadi “model-for” untuk menyelesaikan masalah dan juga
argument secara terpisah dari situasi kontekstual.
162

d. Tingkatan formal. Penyelesaian masalah pada tingkatan formal sudah tidak


menggunakan model, tetapi sudah mulai menggunakan symbol-simbol dari
matematika pada tingkatan formal.

2.2 Komponen Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)


Menurut Joyce, Weil dan Calhoun (2009: 104-106) komponen-komponen
sebuah pendekatan pembelajaran terdiri dari komponen sintaks, komponen prinsip
reaksi atau peran guru, komponen sistem sosial, komponen daya dukung berupa
sarana prasarana pelaksanaan pendekatan, serta dampak instruksional yaitu berupa
hasil belajar siswa setelah pembelajaran sesuai tujuan yang hendak dicapai dan
dampak pengiring sebagai akibat dari terciptanya suasana belajar dalam model
tertentu yang mana ini tidak diajarkan oleh guru selama pembelajaran.
Komponen-komponen dari Pendekatan Realistic Mathematics Education
(RME) adalah sebagai berikut.
1. Sintaks
Pembelajaran matematika realistik dapat dilaksanakan melalui 4 (empat)
fase, yaitu: memahami masalah kontekstual, menyelesaikan masalah kontekstual,
membandingkan dan mendiskusikan jawaban, dan menyimpulkan (Arends, dalam
Yuwono, 2007: 4).
a. Memahami masalah kontekstual
1) Tindakan guru
Guru memberikan masalah kontekstual dan meminta siswa memahami
masalah tersebut. Masalah mengacu pada konteks siswa. Masalah yang disajikan
tidak harus konkret, tetapi dapat juga sesuatu yang dipahami atau dapat
dibayangkan siswa. Level konteks ditingkatkan dari informal menuju formal.
Guru menjelaskan situasi dan kondisi masalah dengan cara memberikan petunjuk
seperlunya terhadap bagian tertentu yang belum dipahami siswa. Penjelasan
diberikan terbatas sampai siswa mengerti maksud masalah. Apabila siswa
kesulitan dalam memahami masalah kontekstual, guru perlu memberi pertanyaan
pancingan agar siswa terarah pada pemahaman masalah kontekstual tersebut.
163

2) Tindakan siswa
Siswa memahami masalah kontektual yang diberikan guru. Siswa secara
aktif berusaha mengkonstruksi pemahaman dan pengetahuannya sendiri dengan
cara mengkaitkan penjelasan guru dengan pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki. Siswa yang belum memahami dapat bertanya kepada guru.
b. Menyelesaikan masalah kontekstual
1) Tindakan guru
Guru dapat memberikan petunjuk (hint) berupa pertanyaan seperti: apa yang
sudah kamu ketahui dari masalah tersebut?, bagaimana kamu tahu itu?, bagaimana
mendapatkannya?, mengapa kamu berpikir demikian?, dan lain-lain. Selebihnya,
guru mendorong dan memberi kesempatan siswa secara mandiri menghasilkan
penyelesaian dari masalah yang disajikan. Siswa diberi kesempatan mengalami
proses sama sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan sehingga dapat
“menemukan kembali” sifat, definisi, teorema, atau prosedur. Selama siswa
menyelesaikan masalah kontekstual, guru membangun interaksi dinamis antara
siswa dengan siswa dan siswa dengan guru. Pada fase ini, guru menerapkan
pendekatan individual sehingga dapat memberikan perlakuan kepada siswa sesuai
dengan kebutuhan dan karakteristiknya.
2) Tindakan siswa
Siswa menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Hal
ini tidak berarti siswa harus menyelesaikan masalah secara sendiri-sendiri. Siswa
perlu membangun kerjasama interaktif antar siswa maupun siswa dengan guru
agar proses pemecahan masalah dapat diselesaikan dengan lebih baik. Melalui
interaksi tersebut diharapkan terjadi proses saling bantu. Dalam menyelesaikan
masalah kontekstual, dapat digunakan model berupa benda manipulatif, skema,
atau diagram untuk menjembatani kesenjangan antara konkret dan abstrak atau
dari abstraksi yang satu ke abstraksi lanjutannya.
c. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
1) Tindakan guru
Guru memberikan kesempatan siswa membandingkan dan mendiskusikan
jawaban masalah secara berkelompok, agar siswa dapat belajar mengemukakan
pendapat dan menanggapi atau menerima pendapat orang lain. Guru juga harus
164

berusaha agar semua siswa berpartisipasi memberikan kontribusi selama diskusi.


Sumbangan atau gagasan siswa perlu diperhatikan dan dihargai agar terjadi
petukaran ide dalam proses pembelajaran.
2) Tindakan siswa
Siswa memaparkan termuan atau hasil pemecahan masalah yang
diperolehnya kepada teman lain. Langkah ini merupakan tempat siswa
berkomunikasi dan memberikan sumbangan gagasan kepada siswa lain. Siswa
memproduksi dan mengkonstruksi gagasan mereka, sehingga proses pembelajaran
menjadi konstruktif dan produktif. Melalui membandingkan hasil temuan masing-
masing dengan temuan siswa lain, siswa dapat menyampaikan pendapat (proses
pemikiran) untuk menemukan pemecahan yang lebih baik sekaligus media untuk
meningkatkan level belajar. Perbedaan penyelesaian atau prosedur siswa dalam
memcahkan masalah dapat digunakan sebagai langkah pematimatikaan, baik
horisontal maupun vertikal. Pada tahap ini, siswa juga berusaha menata dan
menstrukturisasikan pengetahuan dan ketrampilan.
d. Menyimpulkan
1) Tindakan guru
Guru mengarahkan siswa menarik kesimpulan suatu konsep matematika
berdasarkan hasil membandingkan dan mendiskusikan jawaban. Guru meminta
siswa membuat kesimpulan tentang apa yang telah dikerjakan. Guru memberi
kesempatan siswa mendapatkan kesimpulan sendiri, yaitu melalui masalah yang
disajikan siswa sampai pada tahap menemukan sifat, definisi, teorema, atau
prosedur secara mandiri melalui mengalami sendiri proses yang sama
sebagaimana sifat, definisi, teorema, atau prosedur itu ditemukan. Jika siswa
gagal, guru perlu mengarahkan ke arah kesimpulan yang seharusnya.
2) Tindakan siswa
Siswa menyimpulkan pemecahan atas masalah yang disajikan berdasarkan
hasil membandingkan dan mendiskusikan jawaban dengan siswa lain. Siswa
memformulasikan kesimpulan sebagai proses antara pengetahuan informal dan
matematika formal. Pada tahap ini siswa juga merumuskan model yang dibuat
sendiri dalam memecahkan masalah. Model pada awalnya adalah suatu model dari
situasi yang dikenal (akrab dengan siswa) yang kemudian melalui proses
165

generalisasi dan formaliasasi model tersebut menjadi suatu model sesuai dengan
penalaran matematika.
Langkah-langkah pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)
menurut Hobri (2009: 170-172) adalah sebagai berikut:
Langkah 1: Memahami masalah kontekstual
Guru memberikan masalah kontekstual dan siswa memahami
permasalahan tersebut.
Langkah 2: Menjelaskan masalah kontekstual
Guru menjelaskan situasi dan kondisi soal dengan memberikan
petunjuk/saran seperlunya (terbatas) terhadap bagian-bagian tertentu
yang belum dipahami siswa. Penjelasan ini hanya sampai siswa
mengerti maksud soal.
Langkah 3: Menyelesaikan masalah kontekstual Siswa secara individu
menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri.
Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara
mereka dengan memberikan pertanyaan/petunjuk/saran.
Langkah 4: Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Guru menyediakan waktu dan kesempatan pada siswa untuk
membandingkan dan mendiskusikan jawaban dari soal secara
berkelompok. Untuk selanjutnya dibandingkan dan didiskusikan
pada diskusi kelas.
Langkah 5: Menyimpulkan dari diskusi,
Guru mengarahkan siswa menarik kesimpulan suatu prosedur atau
konsep, dengan guru bertindak sebagai pembimbing.
Sedangkan menurut Shoimin (2014: 144) fase-fase pendekatan Realistic
Mathematics Education (RME) terdiri dari 4 fase yaitu:
Fase pertama adalah pemberian masalah yang ada pada kehidupan sehari
hari-hari atau kontekstual kepada siswa dan siswa diminta untuk memahami
permasalah yang sudah diberikan oleh guru. Guru menanyakan kepada siswa apa
saja yang belum dipahami dalam masalah yang diberikan, setalah itu guru
mebimbing siswa dengan memberikan pejelasan, petunjuk maupun saran yang
166

seperlunya saja pada bagian-bagian tertentu yang belum dipahami siswa agar
siswa dapat memahami masalah berdasarkan kemampuanya sendiri.
Fase Kedua adalah siswa mengolah permasalahan yang sudah diberikan
guru untuk dipecahkan melalui strategi atau cara dari masing-masing siswa itu
sendiri. Selanjutnya peran guru hanya mengamati, membimbing, dan memotivasi
siswa dalam menyelesaikan masalah yang diberikan karena siswa dituntut
memecahkan masalah yang berikan dengan kemampuanya sendiri dan dengan
cara atau strategi siswa itu sendiri.
Fase Ketiga adalah siswa membandingkan dan mendiskusikan jawaban dari
permasalahan yang sudah mereka pecahkan dengan berpasangan teman sebangku
maupun dengan kelompok kecil, selanjutnya hasil dari diskusi kelompok maupun
dengan teman sebangku dibandingkan dalam diskusi kelas, setiap kelompok
maupun teman sebangku diberikan kesempatan untuk mengemukakan cara
penyelesaian dan alasan jawaban dari masalah yang sudah terselesaikan oleh
masing-masing siswa tersebut, dalam diskusi kelas ini guru berperan sebagai
pemimpin dalam kegiatan diskusi kelas.
Fase keempat adalah menarik kesimpulan berdasarkan hasil diskusi
kelompok maupun kelas yang telah dilakukan, dalam menyimpulkan siswa
dibimbing langsung oleh guru dan menyimpulkan tentang berbagai konsep,
definisi, teorema, prinsip atau prosedur matematika yang sudah dipelajari selama
proses pembelajaran
2. Prinsip Reaksi Guru
Dalam pendekatan pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME)
mempunyai beberapa peran dalam pembelajaran yaitu sebagai pembimbing,
dalam pemberian masalah guru juga harus dapat menjelaskan seperlunya pada
beberapa bagian permasalahan yang belum dimengerti siswa agar siswa dapat
memahami permasalahan yang diberikan oleh guru dengan kemampuannya
sendiri. Guru juga mengamati yang dikerjakan siswa saat proses pemecahan
masalah dengan cara masing-masing siswa tersebut agar dalam memcahkan
masalah siswa tidak melenceng jauh dari yang diharapkan, selain itu guru juga
memotivasi siswa dalam menyelesaikan masalah agar membuat siswa tidak
mudah menyerah dalam menemukan cara ataupun strategi sendiri untuk
167

memecahkan masalah yang sudah diberikan. Dalam kegiatan diskusi peran guru
juga pembimbing agar dalam diskusi siswa dapat mendiskusikan hasil kerjanya
kedalam kelompok tanpa adanya kesulitan karena guru membimbing siswa dalam
mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh siswa itu sendiri. Selain itu juga peran
guru juga mengarahkan agar siswa dapat menyimpulkan sendiri apa saja yang
telah didapatkan pada proses pembelajaran.
Beberapa perilaku guru (prinsip-prinsip reaksi) yang diharapkan dalam
pembelajaran matematika realiastik adalah sebagai berikut (Yuwono, 2007: 7):
a. Guru menjaga suasana kelas agar kondusif untuk kegiatan pembelajaran
Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap
memiliki motivasi mengikuti pembelajaran. Guru perlu mengenal siswa secara
mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar di lingkungan
sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi
pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi anak. Kegiatan di sini dapat
berupa: mengawali proses pembelajaran dari pengalaman yang telah dipunyai
siswa, mengaitkan masalah yang akan dibahas dengan lingkungan siswa dan
memberikan motivasi memanfaatkan permasalahan yang muncul pada kehidupan
sehari-hari.
b. Guru memberikan kesempatan siswa menggunakan strategi sendiri dalam
memecahkan masalah.
Guru mengarahkan siswa sehingga siswa dapat mengkonstruksi
pengetahuan melalui aktivitas mandiri. Guru juga perlu mendorong siswa
mengemukakan gagasan. Guru perlu mengurangi dan atau menghindarkan diri
dari kebiasaan transfer pengetahuan satu arah. Guru harus mau dan mampu
menggeser tanggungjawab belajar ke siswa sehingga siswa dapat menjalani proses
belajar lebih bertanggungjawab. Guru perlu pula mengorganisasi siswa tetap
dalam aktivitas atau tugas belajar (on-task), dan menfasilitasi agar terjadi
kerjasama secara kooperatif dan memungkinkan terjadinya konstruksi
pengetahuan.
168

c. Guru memantulkan pertanyaan siswa kepada siswa lain dan memberikan


kesempatan siswa menggunakan intuisinya
Respon guru terhadap pertanyaan dan tanggapan siswa harus mampu
mendorong siswa untuk aktif terlibat pembelajaran, mengajukan pertanyaan dan
pendapat alternatif jika pendapat mereka sebelumnya kurang tepat. Pemantulan
pertanyaan dan tanggapan jawaban siswa memungkinkan terjadinya
dialog/interaksi antar siswa. Pemberian kesempatan siswa menggunakan intuisi
dapat menjadi media konstuksi secara mandiri atau kolaboratif siswa. Proses ini
penting sebagai media konfirmasi dan negosiasi antar siswa dalam membangun
pemahaman.
d. Guru mengungkapkan kembali pertanyaan pada siswa dengan bahasa lebih
sederhana
Pengungkapan kembali pertanyaan siswa dapat mendorong partisipasi dan
kolaborasi siswa. Bahasa dan kalimat sederhana dapat memudahkan siswa
menangkap makna dan arah pembelajaran. Reaksi guru terhadap pertanyaan siswa
bersifat konstruktif, sehingga dapat menumbuhkan minat dan semangat tinggi
mengikuti pembelajaran sekaligus membangun interaksi sosial dalam belajar.
Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memancing
siswa terlibat aktif baik fisik, mental, sosial, dan/atau emosional.
e. Guru berusaha memberikan pancingan bila siswa mengalami kebuntuan
penelusuran untuk mendapatkan pemahaman
Kegiatan ini dapat difungsikan sebagai scaffoding sekaligus membangun
interaktivitas. Guru memberikan bantuan terbatas pada siswa berupa penjelasan
secukupnya tanpa memberikan jawaban atas masalah yang dipelajari, atau
bantuan berupa pertanyaan terfokus yang berkaitan dengan realitas siswa agar
siswa dapat menyadari hubungan konsep terkait yang dikaji dan penerapannya
dalam menyelesaikan masalah. Guru juga harus memberi kesempatan siswa
melakukan praktek atau menemukan sesuatu melalui pengamatan, penelitian atau
pengalaman melakukan sendiri, dan sebagainya.
3. Sistem Sosial
Sistem sosial dalam pendekatan pembelajaran ini adalah sikap menghargai
antar siswa. Sikap menghargai oleh siswa sangatlah diperlukan pada saat kegiatan
169

diskusi agar tidak sikap individual dan merasa paling benar dalam kegiatan
berdiskusi. Karena di dalam diskusi siswa dituntut untuk menerima pendapat-
pendapat berbeda dari berbagai pendapat temanya untuk bersama - sama mencari
jalan tengah dalam menyelesaikan masalah dan menyimpulkan.
Dalam pembelajaran matematika realistik, dikembangkan suasana
pembelajaran yang terbuka dan demokratis. Interaksi antar siswa dalam
melakukan aktivitas belajar pada setiap fase mendapat penekanan penting. Guru
berfungsi sebagai pendamping dan menfasilitasi agar interaksi antar siswa dalam
semua aktivitas pembelajaran dapat berlangsung baik. Siswa dapat berdiskusi
dengan sesama siswa dan mengajukan pertanyaan kepada guru. Pada tahap awal
posisi guru lebih banyak di depan kelas, tempat guru memberikan pengantar, dan
mengingatkan pengetahuan prasyarat yang harus diingat siswa. Bila diperlukan
guru dapat mengecek secara acak tugas rumah siswa. Pada tahap selanjutnya
posisi guru berada di sekitar siswa atau berkeliling kelas, berjalan dari siswa atau
kelompok yang satu ke siswa atau kelompok lain. Pada akhir pembelajaran, guru
kembali di depan kelas, tempat dia meminpin diskusi kelas, untuk menghasilkan
konsep atau teorema (Sumaryanta, 2013: 4)
4. Daya dukung
Dalam pembelajaran daya pendukung pendekatan Realistic Mathematics
Education (RME) guru dan siswa harus mampu mengaitkan masalah dalam
kehidupan nyata atau sehari-hari untuk digunakan dalam proses pembelajaran
melalui pendekatan ini. Banyak permasalah dalam dunia nyata ataupun masalah
sehari-hari yang bisa dikaitkan dalam proses pembelajaran dan juga dalam
pembelajaran dengan memecahkan permasalahan yang ada di kehidupan nyata
maupun sehari-hari dapat menggunakan bantuan benda-benda yang nyata sebagai
alat yang digunakan untuk membantu dalam proses pembelajaran berupa buku,
lks, maupun alat peraga untuk mendukung kelancaran proses pembelajaran.
Pembelajaran matematika realistik memerlukan sejumlah bahan dan media
yang sesuai (Sumaryanta, 2013: 5). Untuk setiap pokok bahasan, diperlukan buku
pegangan guru, bahan ajar realistik bagi siswa (baik berupa buku siswa, hand out,
dan sebagainya), lembar kegiatan siswa (LKS), perangkat evaluasi, dan media
pembelajaran yang relevan. Berbagai komponen pendukung tersebut
170

dikembangkan sesuai karakteristik dan prinsip-prinsip pembelajaran matematika


realistik sehingga mendukung kelancaran pembelajaran. Perangkat pembelajaran
siswa, baik buku siswa maupun LKS, penting bagi siswa agar mereka dapat
mengikuti pembelajaran matematika dengan lebih mudah dan termotivasi.
Perangkat penilaian dan media pembelajaran juga perlu disesuaikan dengan
kebutuhan pembelajaran, yang sesuai karena berbagai prinsip dan karakteristik
pembelajaran matematika realistik.
5. Dampak Insruksional dan dampak pengiring
a. Dampak Instruksional
Dampak intruksional merupakan hasil belajar siswa setelah melalui proses
pembelajaran yang berupa kemampuan-kemampuan yang harus dikuasai. Dampak
instruksional menurut Sumaryanta (2013: 6) meliputi:
1) Penguasaan kompetensi
Pembelajaran matematika realistik diharapkan dapat meningkatkan
penguasaan kompetensi siswa. Selain kompetensi yang berkaitan dengan materi,
juga kompetensi memproduksi, merefleksikan dan berinteraksi. Hal ini sesuai
dengan tiga pilar pendidikan matematika yaitu refleksi, konstruksi dan narasi.
Melalui materi, kompetensi yang dibangun siswa adalah berpikir formal,
sedangkan melalui proses belajarnya kompetensi yang dicapai adalah
memproduksi, merefleksi dan berinteraksi. Melalui pemecahan masalah, siswa
diberi kesempatan memproduksi sendiri pemahaman dan perkakas matematisnya.
2) Kemampuan membangun pemahaman dan pengetahuan
Pembelajaran matematika realistik diharapkan meningkatkan kemampuan
membangun pemahaman dan pengetahuan mandiri siswa. Model ini menekankan
proses dan tanggung jawab belajar pada siswa. Pemahaman dan pengetahuan
siswa tidak lagi pewarisan guru. Siswa secara kreatif dan proaktif membangun
pemahaman dan pengetahuannya sendiri. Konsep matematika yang dipelajari
ditemukan siswa melalui proses memecahkan masalah kontekstual yang disajikan
guru. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban secara interaktif antar siswa
menjadi media mengkontruksi pemahaman dan pengetahuan secara kolaboratif.
171

3) Kemampuan pemecahan masalah


Pembelajaran matematika realistik diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah siswa. Pada pembelajaran matematika realistik,
siswa diberi masalah kontekstual, kemudian diberi kesempatan memecahkan
masalah mandiri tanpa banyak bergantung guru. Siswa harus berupaya, baik
sendiri maupun bersama siswa lain, memecahkan masalah yang diajukan guru.
Proses memecahkan masalah, membandingkan dan mendiskusikan hasil dengan
siswa lain, dan diakhiri dengan menyimpulkan, merupakan rentetan langkah yang
sangat baik untuk mengasah kemampuan pemecahan masalah.
4) Kemampuan berpikir kritis dan kreatif
Pembelajaran matematika realistik diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa. Pada pembelajaran matematika
realistik, pemahaman dan pengetahuan harus dikonstruksi mandiri sehingga siswa
dilatih secara kritis dan kreatif memanfaatkan kemampuan pikirnya. Hal ini tentu
tidak dapat terjadi pada pembelajaran yang berpusat pada guru. Ketika guru
merupakan pusat kegiatan belajar, maka siswa hanya akan menjadi penerima pasif
setiap ilmu yang diajarkan pada mereka. Siswa tidak terlatih memanfaatkan
potensi pikirnya untuk menggali dan menguasai ilmu pengetahuan.
b. Dampak Pengiring
Dampak pengiring merupakan kemampuan yang didapatkan siswa sebagai
akibat dari terciptanya suasana belajar dalam pendekatan tertentu yang ini tidak
diajarkan oleh guru selama pembelajarn. Yang termasuk dampak pengiring
menurut Sumaryanta (2013: 7) adalah sebagai berikut:
1) Minat terhadap matematika
Pembelajaran matematika realistik diharapkan meningkatkan minat siswa
terhadap matematika. Mengkaitkan materi dengan masalah nyata diharapkan
menjadikan matematika menarik. Matematika yang dipisahkan dari kehidupan
nyata siswa merupakan salah satu penyebab matematika kurang diminati. Selain
itu, pembelajaran matematika realistik menekankan keterlibatan aktif siswa. Siswa
diposisikan sebagai subjek, bukan penerima pasif, sehingga menjadi lebih
bertanggungjawab. Tanggungjawab belajar ini dapat menjadikan siswa lebih
172

dihargai dan diposisikan sebagai pemilik kegiatan belajar. Hal ini akan membantu
siswa dapat lebih menikmati belajar matematika.
2) Keaktifan belajar siswa
Pembelajaran matematika realistik diharapkan meningkatkan keaktifan
siswa dalam belajar. Dominasi guru bukan lagi menjadi inti pembelajaran,
melainkan aktivitas aktif siswa lah ruh utama pembelajaran. Sejak awal
pembelajaran, yaitu ketika guru menyajikan masalah konstekstual, siswa telah
didorong untuk aktif. Menginjak pemecahan masalah, dilanjutkan
membandingkan dan mendiskusikan jawaban, serta diakhiri menyimpulkan, siswa
yang harus aktif. Pergeseran pembelajaran ke arah mengaktifkan siswa ini tentu
akan berdampak pada semakin meningkatnya keaktifan belajar siswa.
3) Kemandirian belajar
Pembelajaran matematika realistik diharapkan meningkatkan kemandirian
belajar siswa. Proses aktif siswa dalam belajar akan berdampak pada
meningkatnya ketidaktergantungan pada orang lain (guru). Siswa terlatih
mengandalkan dirinya dalam menggali dan mengkonstruksi pengetahuan. Selain
itu, pengalaman sukses siswa dalam memecahkan masalah selama pembelajaran
akan mendorong terbangunnya kepercayaan diri. Pengalaman sukses akan
membantu siswa mengambil prakarsa dalam memecahkan suatu masalah. Siswa
terlatih tidak bergantung pada orang lain untuk memecahkan masalah yang
dihadapinya.
4) Pengembangan aspek sosial
Pembelajaran matematika realistik diharapkan meningkatkan
pengembangan aspek sosial siswa. Interaktifitas merupakan salah satu kunci
dalam pembelajaran matematika realistik. Siswa didorong saling berinteraksi satu
sama lain selama pembelajaran. Kerjasama tersebut merupakan ajang bagi
pengembangan aspek sosial siswa. Siswa terlatih saling membantu, saling
mengisi, saling mengoreksi, serta saling memberi dan menerima. Interaksi antar
siswa maupun siswa dengan guru juga akan mendorong terbangunnya rasa saling
menghormati dan menghargai satu sama lain.
173

5) Pemahaman kaitan matematika dengan dunia nyata


Pembelajaran matematika realistik diharapkan dapat meningkatkan
pemahaman kaitan matematika dengan dunia nyata. Keterkaitan materi
matematika yang dipelajari dengan dunia nyata merupakan kerangka utama
pembelajaran matematika realistik. Matematika yang dipelajari adalah matematika
yang tidak diasingkan dengan dunia anak yang sesungguhnya. Masalah
matematika yang disajikan merupakan masalah kontekstual, yang dekat, dan atau
pernah dialami siswa sehingga membawa pemahaman siswa bahwa matematika
memiliki kaitan erat dengan dunia nyata.

2.3 Analisis Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)


Secara operasional, Yuwono (2007: 5-6) menjelaskan implementasi
pembelajaran matematika realistik dalam pembelajaran di kelas dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Tahap awal
a. Secara garis besar, guru menyampaikan tujuan dan topik yang akan dipelajari
oleh siswa.
b. Guru menyampaikan aktivitas yang akan dilalui siswa, misalnya membaca
pengantar dilanjutkan mengerjakan masalah kontekstual, negosiasi,
konfirmasi, dan penarikan kesimpulan.
c. Bila diperlukan guru dapat mengingatkan siswa tentang materi prasyarat yang
perlu diingat oleh siswa kembali. Bila diperlukan, guru dapat mengecek
secara acak tugas.
2. Tahap inti
a. Siswa melakukan kegiatan yang telah ditetapkan oleh guru, misalnya
membaca pengantar, mengerjakan masalah kontekstual.
b. Siswa dapat bekerja secara individual, pasangan atau dalam kelompok kecil
untuk menjawab masalah dalam buku siswa.
c. Guru berkeliling kelas untuk memberikan pertanyaan pancingan kepada siswa
yang membutuhkan. Pertanyaan pancingan itu dapat berupa pertanyaan yang
menggiring siswa pada jawaban masalah, pertanyaan yang merangsang
berpikir siswa, memberi petunjuk terbatas agar siswa melihat masalah yang
sebenarnya.
174

d. Bila siswa telah menemukan suatu rumus, siswa dapat melanjutkan latihan
keterampilan prosedural, berupa mengerjakan soal latihan.
3. Tahap akhir
a. Guru menunjuk seorang anggota kelompok yang akan menyajikan hasil
dislusi kelompok secara kelas (pleno).
b. Siswa menyajikan hasil kerjanya dari kerja individual atau kerja kelompok
dalam diskusi kelas.
c. Guru berusaha membimbing siswa untuk memperoleh konsep (algoritma)
pada diskusi kelas dan mengarahkan siswa untuk menyimpulkan hasil diskusi
kelas.
d. Siswa mengerjakan latihan keterampilan prosedural berupa soal latihan.
e. Guru memberikan tugas rumah sebagai bahan latihan untuk menginternalisasi
konsep (algoritma) yang telah didapat.
Menurut Suwarsono (dalam Hobri, 2009: 173-174) kelebihan-kelebihan
Realistic Mathematics Education (RME) atau Pembelajaran Matematika Realistik
(PMR) adalah sebagai berikut:
1. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa
tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari dan
tentang kegunaan matematika pada umumnya kepada manusia.
2. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa
matematika adalah suatu bidang kajian yang dapat dikonstruksi dan
dikembangkan sendiri oleh siswa dan oleh setiap orang “biasa” yang lain,
tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
3. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa
cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan tidak harus
sama antara orang satu dengan orang yang lain.
4. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa
dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan suatu yang
utama dan untuk mempelajari matematika orang harus menjalani sendiri
proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep dan materi-
materi matematika yang lain dengan bantuan pihak lain yang sudah tahu
175

(guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran


yang bermakna tidak akan terjadi.
5. RME memadukan kelebihan-kelebihan dari berbagai pendekatan
pembelajaran lain yang juga dianggap “unggul”.
6. RME bersifat lengkap (menyeluruh), mendetail dan operasional. Proses
pembelajaran topik-topik matematika dikerjakan secara menyeluruh,
mendetail dan operasional sejak dari pengembangan kurikulum,
pengembangan didaktiknya di kelas, yang tidak hanya secara makro tapi juga
secara mikro beserta proses evaluasinya.
Selain kelebihan-kelebihan seperti yang diungkapkan di atas, terdapat juga
kelemahan-kelemahan Realistic Mathematics Education (RME) yang
diungkapkan oleh Suwarsono (dalam Hobri, 2009: 175-176) adalah sebagai
berikut:
1. Pemahaman tentang RME dan pengimplementasian RME membutuhkan
paradigma, yaitu perubahan pandangan yang sangat mendasar mengenai
berbagai hal, misalnya seperti siswa, guru, peranan sosial, peranan kontek,
peranan alat peraga, pengertian belajar dan lain-lain. Perubahan paradigma ini
mudah diucapkan tetapi tidak mudah untuk dipraktekkan karena paradigma
lama sudah begitu kuat dan lama mengakar.
2. Pencarian soal-soal yang kontekstual, yang memenuhi syarat-syarat yang
dituntut oleh RME tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang
perlu dipelajari siswa, terlebih karena soal tersebut masing-masing harus bisa
diselesaikan dengan berbagai cara.
3. Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan cara untuk menyelesaikan tiap
soal juga merupakan tantangan tersendiri.
4. Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa dengan memulai soal-soal
kontekstual, proses matematisasi horizontal dan proses matematisasi vertikal
juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana karena proses dan mekanisme
berpikir siswa harus diikuti dengan cermat agar guru bisa membantu siswa
dalam menemukan kembali terhadap konsep-konsep matematika tertentu.
5. Pemilihan alat peraga harus cermat agar alat peraga yang dipilih bisa
membantu proses berpikir siswa sesuai dengan tuntutan RME.
176

6. Penilaian (assesment) dalam RME lebih rumit daripada dalam pembelajaran


konvensional.
7. Kepadatan materi pembelajaran dalam kurikulum perlu dikurangi secara
substansial, agar proses pembelajaran siswa bisa berlangsung sesuai dengan
prinsip-prinsip RME.
Selain itu kelemahan yang masih terjadi pada penerapan pendekatan RME
antara lain:
1. Diskusi kelompok masih dikuasai oleh siswa kelompok pandai, sedangkan
untuk kelompok siswa kurang berkecenderungan pasif.
2. Tingkat pengetahuan guru yang rendah mengakibatkan terjadinya
miskonsepsi terhadap materi.
3. Peranan guru sebagai fasilitator akan membuat guru harus selalu memperluas
wawasannya. Jika guru tidak menfasilitasi kebutuhan siswa seperti lembar
kerja dan sebagainya, maka siswa belajar kurang terarah.
4. Jumlah siswa yang besar sekitar 32 orang mengakibatkan permulaan diskusi
menjadi gaduh untuk beberapa menit.
177

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Filosofi lahirnya pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) dapat
dibedakan menjadi 3 aspek, yaitu aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Aspek ontologi, matematika merupakan aktivitas manusia yang tercermin dari
aktivitas berpikir matematis dalam menemukan dan menyelesaikan masalah
realistik (Contextual problem) kemudian mencoba mengkonstruksi pengetahuan
mereka sendiri secara aktif dengan dalam proses penemuan kembali (reinvention)
melalui aktivitas matematisasi (mathematizing) dengan bimbingan guru sebagai
fasilitator. Aspek epistimologi, dalam menemukan konsep matematika tercermin
dari tiga prinsip pokok dan lima karakteristik pendekatan pembelajaran ini
meliputi penggunaan konteks (contextual problem), penggunaan model untuk
matematika progresif (progressive mathematizing), melaui hasil konstruksi siswa
dalam proses penemuan kembali (reinvention), interaktivitas (interaktivity), dan
keterkaitan (intertwinement). Aspek aksiologi pendekatan pembelajaran Realistic
Mathematics Education (RME) banyak dipengaruhi oleh aspek ontologi dan aspek
epistimologinya, yang dapat diidentifikasi dari prinsip dan karakteristik
pendekatan pembelajaran tersebut meliputi menciptakan kebermaknaan dalam
belajar matematika dan meningkatkan aspek kognitif siswa melaui penggunaan
masalah kontekstual (contextual problem), aktivitas penemuan kembali
(reinvention) melalui proses matematisasi (mathematizing) dengan penggunaan
model dapat membantu mengembangkan aspek afektif siswa antara lain:
mengembangkan kreativitas siswa, meningkatkan rasa percaya diri serta rasa
tanggung jawab siswa. Penggunaan interaktivitas dapat meningkatkan kecerdasan
interpersonal siswa.
Komponen-komponen pendekatan pembelajaran Realistic Mathematics
Education (RME) terdiri dari komponen sintaks, komponen prinsip reaksi atau
peran guru, komponen sistem sosial, komponen daya dukung berupa sarana
prasarana pelaksanaan pendekatan, serta dampak instruksional dan dampak
pengiring.
178

Penerapan pendekatan pembelajaran Realistic Mathematics Education


(RME) dapat mengembangkan sikap positif anak, meningkatkan pemahaman
konsep, meningkatkan aktivitas dalam pembelajaran matematika. Melalui
pendekatan pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) soal yang
abstrak dapat menjadi soal yang biasa bagi siswa. Namun terdapat kelebihan dan
kekurangan dalam penerapan pendekatan pembelajaran Realistic Mathematics
Education (RME), maka dari itu penerapannya dapat dikolaborasikan dengan
model pembelajaran yang ada.

3.2 Saran
Penerapan RME di sekolah sangatlah tepat sesuai dengan karakteristik siswa
diantaranya adalah penemuan terbimbing dapat dilakukan melaui diskusi, siswa
dapat menemukan pengetahuan atau secara mandiri dengan menggali ide-ide
kreatifnya, siswa yang pandai dapat dijadikan tutor sebaya dan alat peraga sesuai
dengan keadaan nyata yang ada di sekitar siswa.
179

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, N. 2007. Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Jakarta:


Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Gravemeijer, K. P. E. 1994. Developing Realistic Mathematics Education.


Utrecht: Freudenthal Institute.

Hadi, S. 2005. Pendidikan Matematika Realistik. Banjarmasin: Tulip.

Hobri. 2009. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Jember: Center for Society


Studies.

Joyce, B., Weil, M., & Calhoun, E. (2009). Models of Teaching: Model-Model
Pengajaran.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nopiyani, D., Turmudi, T., & Prabawanto, S. 2016. Penerapan pembelajaran


matematika realistik berbantuan geogebra untuk meningkatkan kemampuan
komunikasi matematis siswa SMP. Mosharafa: Jurnal Pendidikan
Matematika, 5(2), 45-52.

Rahayu, T. 2010. Pendekatan RME Terhadap Peningkatan Prestai Belajar


Matematika Siswa Kelas 2 SD N Penaruban I Purbalingga. Yogyakarta:
UNY.

Rahmawati, F. 2013. Pengaruh Pendekatan Pendidikan Realistik Matematika


dalam Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah
Dasar. Prosiding SEMIRATA 2013, 1(1). 225-238.

Sembiring, R. K., Hoogland, K., & Dolk, M. 2010. Introduction to: A decade of
PMRI in Indonesia, in R.K. Bandung-Utrecht: APS Internasional.

Shoimin, Aris. 2014. 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013.


Ar-Ruzz Media. Jogjakarta.
Sumaryanta. 2013. Modul Pembelajaran Matematika Realistik dan Strategi
Implementasinya di Kelas. Yogyakarta: PPPPTK Matematika.

Tandililing, E. 2010. Implementasi Realistic Mathematics Education (RME) di


Sekolah. Jurnal Guru Membangun, 25(3).

Tarigan, D. 2006. Pembelajaran Matematika Realistik. Jakarta: Depdiknas.

Wijaya, A. 2009. Permainan (Tradisional) untuk Mengembangkan Interaksi


Sosial, Norma Sosial dan Norma Sosiomatematik pada Pembelajaran
Matematika dengan Pendekatan Matematika Realistik. Dipresentasikan
pada Seminar Nasional Aljabar, Pengajaran, dan Terapannya (Vol. 31).
180

-------------. 2012. Pendidikan Matematika Realistik Suatu Alternatif Pendekatan


Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Yuwono, I. 2007. Model-model pembelajaran inovatif. Surabaya: UM Press.


Malang

Anda mungkin juga menyukai