Anda di halaman 1dari 57

BERBAGAI METODE/MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF UNTUK

SEKOLAH/PT BAGIAN I: (DIRECT INSTRUCTION, INQUIRY,


DISCOVERY, PROBLEM BASED LEARNING, PROJECT BASED
LEARNING, PROBLEM SOLVING, PROBLEM POSING DAN HASIL
MODIFIKASI/PENGEMBANGANNYA (RICOSRE)

Ditulis untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengembangan Desain Pembelajaran


Biologi yang dibina oleh Ibu Dr. Susriyati Mahanal, M.Pd

Oleh
Kelompok 2
Helsa Rahmatika (180341863055)
Irani Lailatul Badria (180341863067)
Jevi Milda R. (180341863008)

PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
NOVEMBER 2018
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul ”Berbagai Metode/Model Pembelajaran Inovatif untuk
Sekolah/PT Bagian I: (Direct Instruction, Inquiry, Discovery, Problem Based
Learning, Project Based Learning, Problem Solving Problem Posing dan Hasil
Modifikasi/Pengembangannya (RICOSRE)” untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pengembangan Desain Pembelajaran Biologi.

Dalam penyusunan makalah ini tidak lupa kami sampaikan terima kasih
kepada:
1. Dr. Susriyati Mahanal, M.Pd selaku Dosen Pengampu Matakuliah
Pengembangan Desain Pembelajaran Biologi.
2. Teman-teman yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari sebagai manusia yang memiliki keterbatasan tentu hasil
makalah ini jauh dari sempurna. Dengan semangat amar makruf dan upaya
peningkatan ilmu pengetahuan kami senantiasa mengharap kritik dan saran yang
membangun untuk kesempurnaan pembuatan makalah selanjutnya, semoga
makalah ini bermanfaat bagi semua pihak. Aamiin.

Malang, November 2018

Penulis
iii

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
C. Tujuan ....................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Direct Instruction .................................................................................... 2
B. Discovery .................................................................................................. 7
C. Inquiry...................................................................................................... 13
D. Problem Based Learning ......................................................................... 20
E. Project Based Learning ........................................................................... 30
F. Problem Solving ....................................................................................... 36
G. Problem Posing ....................................................................................... 41
H. RICOSRE ................................................................................................ 44
BAB III PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................................. 50
B. Saran ........................................................................................................ 51
DAFTAR RUJUKAN .........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada proses pembelajaran di kelas hingga saat ini masih juga ditemukan
pengajar yang memposisikan peserta didik sebagai objek belajar, bukan sebagai
individu yang harus dikembangkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dapat
mematikan potensi peserta didik. Dan dalam keadaan tersebut peserta didik hanya
mendengarkan pidato guru di depan kelas, sehingga mudah sekali peserta didik
merasa bosan dengan materi yang diberikan. Akibatnya, peserta didik tidak paham
dengan apa yang baru saja disampaikan oleh guru.
Pada model pembelajaran berbasis masalah berbeda dengan model
pembelajaran yang lainnya, dalam model pembelajaran ini, peranan guru adalah
menyodorkan berbagai masalah, memberikan pertanyaan, dan memfasilitasi
investigasi dan dialog. Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
menetapkan topik masalah yang akan dibahas, walaupun sebenarnya guru telah
menetapkan topik masalah apa yang harus dibahas. Hal yang paling utama adalah
guru menyediakan kerangka pendukung yang dapat meningkatkan kemampuan
penyelidikan dan intelegensi peserta didik dalam berpikir. Proses pembelajaran
diarahkan agar peserta didik mampu menyelesaikan masalah secara sistematis dan
logis. Model pembelajaran ini dapat terjadi jika guru dapat menciptakan
lingkungan kelas yang terbuka dan jujur, karena kelas itu sendiri merupakan
tempat pertukaran ide-ide peserta didik dalam menanggapi berbagai masalah.
Jika dilihat dari sudut pandang psikologi belajar, model pembelajaran ini
berdasarkan pada psikologi kognitif yang berakar dari asumsi bahwa belajar
adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman. Melalui model
pembelajaran ini peserta didik dapat berkembang secara utuh, artinya bukan hanya
perkembangan kognitif, tetapi peserta didik juga akan berkembang dalam bidang
affektif dan psikomotorik secara otomatis melalui masalah yang dihadapi.
Model pembelajaran berbasis penemuan dan masalah mengambil psikologi
kognitif sebagai dukungan teoritisnya. Fokus pembelajaran pada model ini
menekankan pada apa yang peserta didik pikirkan selama mereka terlibat dalam

1
2

proses pembelajaran, bukan pada apa yang mereka kerjakan dalam proses
pembelajaran.
Menurut Tan (2003) Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan inovasi
dalam pembelajaran karena dalam PBM kemampuan berpikir siswa betul-betul
dioptimalisasikan melalui proses kerja kelompok atau tim yang sistematis,
sehingga siswa dapat memberdayakan, mengasah, menguji, dan mengembangkan
kemampuan berpikirnya secara berkesinambungan.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu kiranya ada sebuah bahan kajian yang
mendalam tentang apa dan bagaimana Pembelajaran Berbasis penemuan Inquiry
dan Discovery dan berbasis masalah (Problem Based Learning) ini untuk
selanjutnya diterapkan dalam sebuah proses pembelajaran, sehingga dapat
memberi masukan, khususnya kepada para guru tentang Pembelajaran Berbasis
Masalah (Problem Based Learning) ini yang menurut Tan (2003) merupakan
suatu pendekatan pembelajaran yang relevan dengan tuntunan abad ke 21 dan
umumnya kepada para ahli dan praktisi pendidikan yang memusatkan
perhatiannya pada pengembangan dan inovasi dalam sistem pembelajaran.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut.
1. Bagaimana model Pembelajaran Direct Instruction?
2. Bagaimana model Pembelajaran Discovery?
3. Bagaimana model Pembelajaran Inquiry?
4. Bagaimana model Problem Based Learning?
5. Bagaimana model Project Based Learning?
6. Bagaimana model Problem Solving?
7. Bagaimana model Problem Poising?
8. Bagaimana model RICOSRE?

C. Tujuan
Tujuan penulisan dalam makalah ini sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui model Pembelajaran Direct Instruction
2. Untuk mengetahui model Pembelajaran Discovery

2
3

3. Untuk mengetahui model Pembelajaran Inquiry


4. Untuk mengetahui model Problem Based Learning
5. Untuk mengetahui model Project Based Learning
6. Untuk mengetahui model Problem Solving
7. Untuk mengetahui model Problem Posing
8. Untuk mengetahui model RICOSRE
BAB II
PEMBAHASAN
A. Direct Instruction
1. Konsep Model Pembelajaran Direct Instruction
Model pembelajaran langsung merupakan salah satu dari macam-macam
model pembelajaran. Berdasarkan pengertian pembelajaran langsung yang
dikemukakan Hamdani (2011) bahwa Model Pembelajaran Langsung (Direct
Instruction) merupakan salah satu model pengajaran yang dirancang khusus untuk
mengembangkan belajar siswa tentang pengetahuan prosedural dan pengetahuan
deklaratif yang terstruktur dengan baik dan dapat dipelajari selangkah demi
selangkah. Pengetahuan deklaratif (dapat diungkapkan dengan kata-kata) adalah
pengetahuan tentang sesuatu, sedangkan pengetahuan prosedural adalah
pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu.
Hamdani (2011) menyatakan bahwa model pembelajaran langsung
dikembangkan secara khusus untuk meningkatkan proses pembelajaran para siswa
terutama dalam hal memahami sesuatu (pengetahuan) dan menjelaskannya secara
utuh sesuai pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang diajarkan
secara bertahap.

2. Langkah-langkah Model Pembelajaran Direct Instruction


Menurut Hamdani (2011) model pembelajaran langsung memiliki lima fase
yang sangat penting. Kelima fase dalam pengajaran langsung dapat dijelaskan
secara detail seperti berikut.
a. Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa
1) Menjelaskan tujuan
Para siswa perlu mengetahui dengan jelas mengapa mereka
berpartisipasi dalam suatu pelajaran tertentu, dan mereka perlu mengetahui
apa yang harus dapat mereka lakukan setelah selesai berperan serta dalam
pelajaran itu. Guru mengkomunikasikan tujuan tersebut kepada siswa-
siswanya melalui rangkuman rencana pembelajaran dengan cara
menuliskannya di papan tulis, atau menempelkan informasi tertulis pada
papan bulletin, yang berisi tahap-tahap dan isinya, serta alokasi waktu yang

4
5

disediakan untuk setiap tahap. Dengan demikian siswa dapat melihat


keseluruhan alur tahap pelajaran dan hubungan antar tahap pelajaran itu.
2) Menyiapkan siswa
Kegiatan ini bertujuan untuk menarik perhatian siswa, memusatkan
perhatian siswa pada pokok pembicaraan, dan mengingatkan kembali pada
hasil belajar yang telah dimilikinya, yang relevan dengan pokok
pembicaraan yang akan dipelajari. Tujuan ini dapat dicapai dengan jalan
mengulang pokok-pokok pelajaran yang lalu, atau memberikan sejumlah
pertanyaan kepada siswa tentang pokok-pokok pelajaran yang lalu.
b. Mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan
1) Menyampaikan informasi dengan jelas
Kejelasan informasi atau presentasi yang diberikan guru kepada siswa dapat
dicapai melalui perencanaan dan pengorganisasian pembelajaran yang baik.
Dalam melakukan presentasi guru, harus menganalisis keterampilan yang
kompleks menjadi keterampilan yang lebih sederhana dan dipresentasikan
dalam langkah-langkah kecil selangkah demi selangkah.
2) Melakukan demonstrasi
Pengajaran langsung berpegang teguh pada asumsi bahwa sebagian besar
yang dipelajari berasal dari pengamatan terhadap orang lain.
Mendemonstrasikan suatu keterampilan atau konsep agar berhasil, guru
perlu sepenuhnya menguasai konsep atau keterampilan yang akan
didemonstrasikan, dan berlatih melakukan demonstrasi untuk rmenguasai
komponen-komponennya.
c. Menyediakan latihan terbimbing
Salah satu tahap penting dalam pengajaran langsung adalah cara guru
mempersiapkan dan melaksanakan “pelatihan terbimbing”. Keterlibatan siswa
secara aktif dalam pelatihan dapat meningkatkan retensi, membuat belajar
berlangsung dengan lancar, dan memungkinkan siswa menerapkan konsep
keterampilan pada situasi yang baru.
d. Menganalisis pemahaman dan memberikan umpan balik
6

Pada pengajaran langsung, fase ini mirip dengan apa yang kadang-kadang
disebut resitasi atau umpan balik. Guru dapat menggunakan berbagai cara untuk
memberikan umpan balik kepada siswa.
e. Memberikan kesempatan latihan mandiri
Kebanyakan latihan mandiri yang diberikan kepada siswa sebagai fase akhir
pelajaran pada pengajaran langsung adalah pekerjaan rumah. Pekerjaan rumah
atau berlatih secara mandiri, merupakan kesempatan bagi siswa untuk
menerapkan keterampilan baru yang diperolehnya secara mandiri (Jogiyanto,
2006)

3. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Direct Instruction


Menurut Hamdani (2011), strategi pembelajaran langsung melalui berbagai
pengetahuan secara aktif merupakan cara untuk mengenalkan siswa kepada materi
pelajaran yang akan diajarkan. Guru juga dapat menggunakannya untuk menilai
tingkat pengetahuan siswa sambil melakukan kegiatan pembentukan tim. Cara ini
cocok pada segala ukuran kelas dengan materi pelajaran apapun.
Kelebihan Model Pembelajaran Direct Instruction
Adapun kelebihan model pembelajaran langsung (direct instruction),
sebagai berikut.
a. Dapat diterapkan secara efektif dalam kelas yang besar maupun kecil.
b. Dapat digunakan untuk menekankan kesulitan-kesulitan yang mungkin
dihadapi siswa sehingga hal-hal tersebut dapat diungkapkan.
c. Merupakan cara yang paling efektif untuk mengajarkan konsep dan
keterampilan-keterampilan.
d. Ceramah merupakan cara yang bermanfaat untuk menyampaikan informasi
kepada siswa yang tidak suka membaca atau yang tidak memiliki
keterampilan.
e. Demonstrasi memungkinkan siswa untuk berkonsentrasi pada hasil-hasil
dari suatu tugas. Hal ini penting terutama jika siswa tidak memiliki
kepercayaan diri atau keterampilan dalam melakukan tugas tersebut.
f. Model pembelajaran langsung bergantung pada kemampuan refleksi guru
sehingga guru dapat terus menerus mengevaluasi dan memperbaikinya.
7

Kekurangan Model Pembelajaran Direct Instruction


Selain mempunyai kelebihan-kelebihan, pada setiap model pembelajaran
akan ditemukan keterbatasan-keterbatasan. Begitu pula dengan model pengajaran
Direct Instruction. Keterbatasan-keterbatasan model pengajaran Direct Instruction
adalah sebagai berikut.
a. Karena guru merupakan pusat dalam cara penyampaian ini, maka kesuksesan
pembelajaran ini bergantung pada guru. Jika guru tidak tampak siap,
berpengetahuan, percaya diri, antusias dan terstruktur, siswa dapat menjadi
bosan, teralihkan perhatiannya, dan pembelajaran akan terhambat.
b. Demonstrasi sangat bergantung pada keterampilan pengamatan siswa. Tetapi,
banyak siswa bukanlah merupakan pengamat yang baik sehingga dapat
melewatkan hal-hal yang dimaksudkan oleh guru (Depdiknas, 2009).

B. Discovery Learning
1. Konsep Model Pembelajaran Discovery
Metode Discovery Learning adalah teori belajar yang didefinisikan
sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan
pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri.
Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “ Discovery Learning can be defined as
the learning that takes place when the student is not presented with subject matter
in the final form, but rather is required to organize it him self” (Bahri, 2014).
Dasar ide Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus
berperan aktif dalam belajar di kelas.
Bruner memakai metode yang disebutnya Discovery Learning, di mana
murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir (Bahri,
2014). Metode Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan,
melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Bahri
2014). Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses
mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan
melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi. Proses
tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri adalah the
mental process of assimilatig conceps and principles in the mind (Bahri, 2014).
8

Dalam konsep belajar, sesungguhnya metode Discovery Learning


merupakan pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat
memungkinkan terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang
kategorisasi yang nampak dalam Discovery, bahwa Discovery adalah
pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem-sistem coding.
Pembentukan kategori-kategori dan sistem-sistem coding dirumuskan demikian
dalam arti relasi-relasi (similaritas & difference) yang terjadi diantara obyek-
obyek dan kejadian-kejadian (events) (Sanjaya, 2007).
Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap
siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk
menunjang proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa
pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning
Environment, yaitu lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi,
penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan
yang sudah diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses
belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif. Untuk memfasilitasi proses
belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran
sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran
bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir
(merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap
yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan
symbolic. Tahap enactive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya
untuk memahami lingkungan sekitarnya artinya, dalam memahami dunia
sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan,
sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-
objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya,
dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan
(tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu
memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh
kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya
9

anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya


(Sanjaya, 2007).

2. Langkah-langkah Proses Pembelajaran Discovery


Menurut Bahri (2014) dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning
di kelas, ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar
mengajar secara umum sebagai berikut.
a. Stimulation (Stimulasi/ Pemberian Rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang
menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi
generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu guru
dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca
buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan
masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi
belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi
bahan. Dalam hal ini Bruner memberikan stimulation dengan menggunakan
teknik bertanya yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat
menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi. Dengan
demikian seorang Guru harus menguasai teknik-teknik dalam memberi stimulus
kepada siswa agar tujuan mengaktifkan siswa untuk mengeksplorasi dapat
tercapai.
b. Problem Statement (Pernyataan/ Identifikasi Masalah)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-
agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya
dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas
pertanyaan masalah), sedangkan menurut permasalahan yang dipilih itu
selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni
pernyataan (statement) sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan.
Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis
permasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam
membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah.
10

c. Data Collection (Pengumpulan Data)


Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para
siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004). Pada tahap ini berfungsi
untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis. Dengan
demikian anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection)
berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara
dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari
tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang
berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak
disengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah
dimiliki.
d. Data Processing (Pengolahan Data)
Pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang
telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya,
lalu ditafsirkan. Semua informai hasil bacaan, wawancara, observasi, dan
sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila
perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan
tertentu. Data processing disebut juga dengan pengkodean coding/ kategorisasi
yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi
tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/
penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.
e. Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan
alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing. Verification menurut
Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika
guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep,
teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam
kehidupannya. Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang
ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian
dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.
11

f. Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)


Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah
kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian
atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi. Berdasarkan
hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi.
Setelah menarik kesimpulan siswa harus memperhatikan proses generalisasi yang
menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau
prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya
proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.

3. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Discovery


Berdasarkan fakta dan hasil pengamatan Kemendikbud (2013) dalam Bahri
(2014), penerapan Discovery dalam pembelajaran memiliki kelebihan dan
kelemahan.
Kelebihan Model Pembelajaran Discovery
Adapun kelebihan model pembelajaran Discovery, sebagai berikut.
a. Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-
keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci
dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.
b. Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi dan ampuh
karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
c. Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan
berhasil.
d. Metode ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan
kecepatannya sendiri.
e. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan
melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
f. Metode ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena
memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
g. Berpusat pada siswa dan guru, berperan sama-sama aktif mengeluarkan
gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan sebagai
peneliti di dalam situasi diskusi.
12

h. Membantu siswa menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena mengarah


pada kebenaran yang final dan tertentu atau pasti.
i. Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
j. Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses
belajar yang baru.
k. Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
l. Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
m. Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik.
n. Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.
o. Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan
manusia seutuhnya.
p. Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.
q. Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber
belajar.
r. Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu.
Kekurangan Model Pembelajaran Discovery
Selain mempunyai kelebihan-kelebihan, model pembelajaran Discovery
juga memiliki beberapa kelemahan, sebagai berikut.
a. Metode ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar.
Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau
berpikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis
atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi.
b. Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena
membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori
atau pemecahan masalah lainnya.
c. Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar berhadapan
dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama.
d. Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman,
sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara
keseluruhan kurang mendapat perhatian.
e. Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur
gagasan yang dikemukakan oleh para siswa
13

f. Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berpikir yang akan


ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.

C. Inquiry Learning
1. Definisi Model Pembelajaran Inquiry
Menurut Sund & Trow Gride dalam Trianto (2014) model pembelajaran
inquiry merupakan proses menemukan dan menyelidiki masalah, menyusun
hipotesa, merencanakan eksperimen, mengumpulkan data, dan menarik
kesimpulan hasil pemecahan masalah. Menurut W. Gelly dalam Trianto (2014)
suatu kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan
siswa untuk mencari dan meyelidiki secara sistematik, kritis, logis, dan analisis
sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya
diri, dan menurut Oemar Hamdik dalam Trianto (2014) suatu strategi yang
berpusat pada siswa dimana kelompok-kelompok siswa ke dalam suatu persoalan
atau mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di dalam suatu prosedur
dan struktur kelompok yang digariskan secara jelas.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa
yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan
meyelidiki suatu persoalan dengan suatu prosedur dan struktur kelompok yang
digariskan secara jelas.

2. Prinsip Model Pembelajaran Inquiry


Prinsip-prinsip pembelajaran inkuiri menurut Trianto (2014) sebagai
berikut.
a. Berorientasi pada Pengembangan Intelektual
Tujuan utama dari inkuiri adalah pengembangan kemampuan berpikir.
Dengan demikian, strategi pembelajaran ini selain berorientasi kepada hasil
belajar juga berorientasi pada proses pembelajaran. Karena itu, kriteria
keberhasilan dari proses pembelajaran dengan menggunakan strategi
pembelajaran inkuiri bukan ditentukan oleh sejauh mana peserta didik dapat
menguasai materi pelajaran, namun sejauh mana peserta didik dapat beraktifitas
14

mencari dan menemukan sesuatu. Makna dari “sesuatu” yang harus ditemukan
oleh peserta didik melalui proses berfikir adalah sesuatu yang dapat ditemukan,
bukan sesuatu yang tidak pasti, oleh sebab itu, setiap gagasan yang harus
dikembangkan adalah gagasan yang dapat ditemukan.
b. Interaksi
Proses pembelajaran pada dasarnya adalah proses interaksi, baik interaksi
antara siswa maupun interaksi siswa dengan guru, bahkan interaksi antara siswa
dengan lingkungan. Pembelajaran sebagai proses interaksi berarti menempatkan
guru bukan sebagai sumber belajar, tetapi sebagai pengatur lingkungan atau
pengatur interaksi itu sendiri. Guru perlu mengarahkan (directing) agar peserta
didik dapat mengembangkan kemampuan berfikirnya melalui interaksi mereka.
Kemampuan guru untuk mengatur interaksi memang bukan pekerjaan yang
mudah. Sering guru terjebak oleh kondisi yang tidak tepat mengenai proses
interaksi itu sendiri. Misalnya, interaksi berlangsung antar peserta didik yang
mempunyai kemampuan berbicara saja walaupun pada kenyataanya pemahaman
peserta didik tentang substansi permasalahan yang dibicarakan sangat kurang atau
guru justru menanggalkan peran sebagai pengatur interaksi.
c. Bertanya
Peran guru yang harus dilakukan dalam menggunakan strategi ini adalah
guru sebagai “penanya”, sebab kemampuan peserta didik untuk menjawab setiap
pertanyaan pada dasarnya sudah merupakan sebagian dari proses berfikir. Oleh
sebab itu, kemampuan guru untuk bertanya dalam setiap langkah inkuiri sangat
diperlukan. Berbagai jenis dan teknik bertanya perlu dikuasai oleh setiap guru,
apakah bertanya itu hanya sekadar untuk meminta perhatian peserta didik,
melacak, mengembangkan kemampuan, atau bertanya untuk menguji dan untuk
tujuan-tujuan yang lain.
d. Belajar untuk Berpikir
Belajar bukan hanya mengingat sejumlah fakta, akan tetapi belajar adalah
proses berpikir (learning how to think), yakni proses mengembangkan seluruh
otak, baik otak kiri maupun otak kanan. Pembelajaran berpikir adalah
pemanfaatan dan penggunaan otak secara maksimal. Belajar yang hanya
cenderung memanfaatkan otak kiri, misalnya dengan memaksa peserta didik
15

untuk berpikir logis dan rasional, membuat peserta didik dalam posisi “kering dan
hampa” oleh karena itu belajar berpikir logis dan rasional perlu didukung oleh
pergerakan otak kanan, misalnya dengan memasukan unsur-unsur yang dapat
memengaruhi emosi, yaitu unsur estetika, melalui proses belajar yang
menyenangkan dan menggairahkan.
e. Keterbukaan
Belajar adalah proses mencoba berbagai kemungkinan, segala sesuatu
mungkin saja terjadi. Oleh sebab itu, peserta didik perlu diberikan kebebasan
untuk mencoba sesuai dengan perkembangan kemampuan logika dan nalarnya.
Pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang menyediakaan berbagai
kemungkinan sebagai hipotesis yang harus dibuktikan kebenaranya. Tugas guru
adalah menyediakan ruang untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik
mengembangkan hipotesis dan secara terbuka membuktikan kebenaran hipotesis
yang diajukan.

3. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Inquiry


Langkah-langkah pembelajaran inkuiri menurut Trianto (2014) sebagai
berikut.
a. Orientasi
Langkah orientasi adalah langkah untuk membina suasana atau iklim
pembelajaran yang responsif. Pada langkah ini guru mengondisikan agar peserta
didik siap melaksanakan proses pembelajaran. Berbeda dengan tahapan
preparation dalam strategi pembelajaran ekspositori (SPE) yaitu sebagai langkah
untuk mengondisikan agar peserta didik siap menerima pelajaran, pada langkah
orientasi dalam SPE, guru merangsang dan mengajak peserta didik untuk berpikir
memecahkan masalah. Langkah orientasi merupakan langkah yang sangat
penting. Keberhasilan SPE sangat tergantung pada kemauan peserta didik untuk
beraktivitas menggunakan kemampuanya dalam memecahkan masalah. Tanpa
kemauan dan kemampuan tidak mungkin proses pembelajaran akan berjalan
dengan lancar. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam tahap orientasi sebagai
berikut.
16

1) Menjelaskan topik, tujuan, dan hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh
peserta didik
2) Menjelaskan pokok-pkok kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik
untuk mencapai tujuan. Pada tahap ini dijelaskan langkah-langkah inkuiri serta
tujuan setiap langkah, mulai dari langkah merumuskan masalah sampai dengan
merumuskan kesimpulan.
3) Menjelaskan pentingnya topik dan kegiatan belajar. Hal ini dilakukan dalam
rangka memberikan motivasi belajar peserta didik.
b. Merumuskan Masalah
Merumuskan hipotesis merupakan langkah yang membawa siswa pada
suatu persoalan yang mengandung teka-teki. Masalah hendaknya dirumuskan
sendiri oleh peserta didik. Peserta didik akan memiliki motivasi belajar yang
tinggi manakala dilibatkan dalam merumuskan masalah yang hendak dikaji.
Dengan demikian, guru sebaiknya tidak merumuskan sendiri masalah
pembelajaran, guru hanya memberikan topik yang akan dipelajari, sedangkan
bagaimana rumusan masalah yang sesuai dengan topik yang telah ditentukan
sebaiknya diserahkan kepada peserta didik. Masalah yang dikaji adalah masalah
yang mengandung teka-teki yang jawabannya pasti. Artinya, guru perlu
mendorong agar peserta didik dapat merumuskan masalah yang menurut guru
jawaban sebenarnya sudah ada, peserta didik tinggal mencari dan mendapatkan
jawaban secara pasti.
Konsep-konsep dalam masalah adalah konsep-konsep yang sudah diketahui
terlebih dahulu oleh peserta didik. Artinya, sebelum masalah itu dikaji lebih jauh
melalui proses inkuiri, guru perlu yakin terlebih dahulu bahwa peserta didik sudah
memiliki pemahaman tentang konsep-konsep yang ada dalam rumusan masalah.
Jangan harapkan peserta didik dapat melakukan tahapan inkuiri selanjutnya,
manakala ia belum paham konsep-konsep yang terkandung dalam rumusan
masalah.
c. Mengajukan Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu permasalahan yang sedang
dikaji. Sebagai jawaban sementara, hipotesis perlu diuji kebenaranya.
Kemampuan atau potensi individu untuk berpikir pada dasarnya sudah dimiliki
17

sejak individu itu lahir. Potensi berpikir dimulai dari kemampuan setiap individu
untuk menebak atau mengira-ngira (berhipotesis) dari suatu permasalahan.
Manakala individu dapat membuktikan tebakannya, ia akan sampai pada isi yang
bisa mendorong untuk berpikir lebih lanjut. Oleh sebab itu potensi untuk
mengembangkan kemampuan menebak pada setiap individu harus dibina.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan
menebak (berhipotesis) setiap peserta didik adalah dengan mengajukan berbagai
pertanyaan dengan guru hendaknya dapat mendorong peserta didik untuk dapat
merumuskan jawaban sementara atau dapat merumuskan berbagai kemungkinan
perkiraan jawaban dari suatu permasalahan yang dikaji. Perkiraan sebagai
hipotesis bukan sembarang perkiraan, melainkan harus memiliki landasan berpikir
yang kokoh, sehingga hipotesis yang dimunculkan itu bersifat rasional dan logis.
Kemampuan berpikir logis itu sendiri akan sangat dipengaruhi oleh kedalaman
wawasan yang dimiliki serta keluasan pengalaman. Dengan demikian, setiap
individu yang kurang memiliki wawasan akan sulit mengembangkan hipotesis
yang rasional dan logis.
d. Mengumpulkan Data
Mengumpulkan data adalah aktivitas menjaring informasi yang dibutuhkan
untuk menguji hipotesis yang diajukan. Dalam setiap strategi pembelajaran
inkuiri, mengumpulkan data merupakan proses mental yang sangat penting dalam
pengembangan intelektual. Proses pengumpulan data bukan hanya memerlukan
motivasi yang kuat dalam belajar, akan tetapi juga membutuhkan ketekunan dan
kemampuan menggunakan potensi berpikirnya. Oleh sebab itu, tugas dan peran
guru dalam tahapan ini adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat
mendorong peserta didik untuk berpikir mencari informasi yang dibutuhkan.
Sering terjadi kemacetan berinkuiri manakala peserta didik tidak apresiatif
terhadap pokok permasalahan. Hal itu biasanya ditunjukan oleh gejala-gejala
ketidak bergairahan dalam belajar. Manakala guru menemukan gejala-gejala
semacam ini, maka guru hendaknya secara terus menerus memberikan dorongan
kepada pesera didik untuk belajar melalui penyuguhan berbagai jenis pertanyaan
secara merata kepada seluruh peserta didik sehingga mereka terangsang untuk
berpikir.
18

e. Menguji Hipotesis
Menguji hipotesis adalah proses menentukan jawaban yang dianggap
diterima sesuai dengan data atau informasi yang diperoleh berdasarkan
pengumpulan data. Yang terpenting dalam menguji hipotesis adalah mencari
tingkat keyakinan peserta didik atas jawaban yang diberikan. Disamping itu,
menguji hipotesis juga berarti mengembangkan kemampuan berpikir rasional.
Artinya, kebenaran jawaban yang diberikan bukan hanya berdasarkan
argumentasi, melainkan harus didukung oleh data yang ditemukan dan dapat
dipertanggung jawabkan.
f. Merumuskan Kesimpulan
Merumuskan kesimpulan adalah proses mendiskripsikan temuan yang
diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Merumuskan kesimpulan
merupakan gong-nya dalam proses pembelajaran yang terjadi. Oleh karena
banyaknya data yang diperoleh, kesimpulan yang dirumuskan tidak focus
terhadap masalah yang hendak dipecahkan, karena itu, untuk mencapai
kesimpulan yang akurat sebaiknya guru mampu menunjukan kepada peserta didik
data mana yang relevan.

4. Metode Pembelajaran Inquiry


Terdapat beberapa metode pembelajaran inkuiri menurut Trianto (2014),
sebagai berikut.
a. Inkuiri Terbimbing
Dalam proses belajar mengajar dengan metode inkuiri terbimbing, siswa
dituntut untuk menemukan konsep melalui petunjuk-petunjuk seperlunya dari
seorang guru. Petunjuk-petunjuk itu pada umumnya berupa pertanyaan-
pertanyaan. Selain pertanyaan-pertanyaan, guru juga dapat memberikan
penjelasan-penjelasan seperlunya pada saat siswa akan melakukan percobaan,
misalnya penjelasan tentang cara-cara melakukan percobaan.
Metode inkuiri terbimbing biasanya digunakan bagi siswa-siswa yang
belum berpengalaman belajar dengan menggunakan metode inkuiri. Pada tahap
permulaan diberikan lebih banyak bimbingan, sedikit demi sedikit bimbingan itu
dikurangi seperti yang dikemukakan oleh Dahar (1989) bahwa dalam usaha
19

menemukan suatu konsep siswa memerlukan bimbingan bahkan memerlukan


pertolongan guru setapak demi setapak. Siswa memerlukan bantuan untuk
mengembangkan kemampuannya memahami pengetahuan baru. Walaupun siswa
harus berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi tetapi pertolongan
guru tetap diperlukan.
b. Inkuiri Bebas
Metode ini digunakan bagi siswa yang telah berpengalaman belajar dengan
pendekatan inkuiri. Karena dalam pendekatan inkuiri bebas ini menempatkan
siswa seolah-olah bekerja seperti seorang ilmuwan. Siswa diberi kebebasan
menentukan permasalahan untuk diselidiki, menemukan dan menyelesaikan
masalah secara mandiri, merancang prosedur atau langkah-langkah yang
diperlukan.
c. Inkuiri Bebas Modifikasi
Metode ini merupakan kolaborasi atau modifikasi dari dua strategi inkuiri
sebelumnya, yaitu: pendekatan inkuiri terbimbing dan pendekatan inkuiri bebas.
Meskipun begitu permasalahan yang akan dijadikan topik untuk diselidiki tetap
diberikan atau mempedomani acuan kurikulum yang telah ada. Artinya, dalam
metode ini siswa tidak dapat memilih atau menentukan masalah untuk diselidiki
secara sendiri, namun siswa yang belajar dengan metode ini menerima masalah
dari gurunya untuk dipecahkan dan tetap memperoleh bimbingan. Namun
bimbingan yang diberikan lebih sedikit dari inkuiri terbimbing dan tidak
terstruktur.

5. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Inquiry


Kelebihan Model Pembelajaran Inquiry
Inkuiri merupakan strategi pembelajaran yang banyak dianjurkan untuk
digunakan guru karena strategi ini memiliki beberapa keunggulan. Keunggulan itu
sebagai berikut.
a. Inkuiri merupakan strategi pembelajaran yang menekankan kepada
pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik secara seimbang,
sehingga pembelajaran melalui strategi ini dianggap lebih bermakna.
20

b. Inkuiri dapat memberikan ruang kepada peserta didik untuk belajar sendiri
dengan cara belajar mereka.
c. Inkuiri merupakan strategi yang dianggap sesuai dengan perkembangan
psikologi belajar modern yang menganggap belajar adalah proses perubahan
tingkah laku berkat adanya pengalaman.
d. Keuntungan lain adalah strategi pembelajaran ini dapat melayani kebutuhan
peserta didik yang memiliki kemampuan diatas rata-rata. Artinya, peserta didik
yang memiliki kemampuan belajar bagus tidak akan terhambat oleh peserta
didik yang lemah dalam belajar (Trianto, 2007).
Kelemahan Model Pembelajaran Inquiry
Selain mempunyai kelebihan, model pembelajaran inquiry juga memiliki
beberapa kelemahan, sebagai berikut.
a. Jika inkuiri digunakan sebagai strategi pembelajaran, maka guru akan sulit
mengontrol kegiatan dan keberhasilan peserta didik.
b. Perencanaan pembelajaran dengan strategi ini sulit karena terbentur dengan
kebiasaan peserta didik dalam belajar.
c. Kadang-kadang dalam mengimplikasikanya, memerlukan waktu yang panjang
sehingga sering guru sulit menyesuaikan dengan waktu yang telah ditentukan.
d. Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan peserta didik
dalam menguasai materi pelajaran, SPI akan sulit diimplementasikan oleh guru
(Trianto, 2007).

D. Model Pembelajaran Problem Based Learning


1. Pengertian Model Pembelajaran Problem Based Learning
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) atau Problem Based Learning
(PBL) didasarkan pada hasil penelitian Barrow and Tamblyn (1980) dan pertama
kali diimplementasikan pada sekolah kedokteran di McMaster University Kanda
pada tahun 60-an (Barret, 2006). Problem Based Learning (PBL) sebagai sebuah
pendekatan pembelajaran diterapkan dengan alasan bahwa Problem Based
Learning (PBL) sangat efektif untuk sekolah kedokteran dimana mahasiswa
dihadapkan pada permasalahan kemudian dituntut untuk memecahkannya. PBM
lebih tepat dilaksanakan dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran
21

tradisional. Hal ini dapat dimengerti bahwa para dokter yang nanti bertugas pada
kenyataannya selalu dihadapkan pada masalah pasiennya sehingga harus mampu
menyelesaikannya. Walaupun pertama dikembangkan dalam pembelajaran di
sekolah kedokteran tetapi pada perkembangan selanjutnya diterapkan dalan
pembelajaran secara umum.
Model Problem Based Learning (PBL) dikembangkan berdasarkan
konsep yang dicetuskan oleh Jerome Bruner. Konsep tersebut adalah belajar
penemuan atau discovery learning. Konsep tersebut memberikan dukungan
teoritis terhadap pengembangan model PBL yang berorientasi pada kecakapan
memproses informasi. Menurut Kemendikbud (2014: 27) PBL merupakan suatu
model pembelajaran yang menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar”
bekerja bersama kelompok untuk mencari solusi dari permasalahan nyata siswa.
Model Problem Based learning adalah model pembelajaran yang menuntut
siswa mengembangkan keterampilan berpikir, pemecahan masalah dan
keterampilan intelektual, menumbuhkan kemampuan kerja sama, dan
mengembangkan sikap sosial (Hamruni, 2011). Dalam model Problem Based
learning dirancang masalah yang menuntut siswa mendapatkan pengetahuan
yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki
strategi belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim
(Ahmadi, 2011). Menurut Kurniasih (2014) PBL merupakan sebuah model
pembelajaran yang menyajikan berbagai permasalahan nyata dalam kehidupan
sehari-hari siswa (bersifat kontekstual) sehingga merangsang siswa untuk belajar.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa Model
Problem Based Learning adalah sebuah model pebelajaran yang dirancang
menyajikan berbagai permasalahan nyata dalam kehidupan sehari-hari siswa
(bersifat kontekstual) sehingga merangsang siswa untuk belajar.
Landasan teori Problem Based Learning adalah kolaborativisme, suatu
pandangan yang berpendapat bahwa mahasiswa akan menyusun pengetahuan
degan cara membangun penalaran dari semua pengetahuan yang sudah dimlikinya
dan dari semua yang diperoleh sebagai hasil kegiatan berinteraksi dengan sesame
individu. Hal tersebut juga menyiratkan bahwa proses pembelajaran berpindah
dari transfer informasi fasilitator mahasiswa ke prose konstruksi pengetahuan
22

yang sifatnya social dan individual. Menurut paham kosntruktivisme, manusia


hanya dapat memahami melalui segala sesuatu yang dikonstruksinya sendiri
(Lidinillah, tanpa tahun).
Problem Based Learning memiliki gagasan bahwa pembelajaran dapat
dicapai jika kegiatan pendidikan dipusatkan pada tugas atau permasalahan yang
otentik, relevan, dan dipresentasikan dalam suatu konteks. Cara tersebut bertujuan
agar mahasiswa memilki pengalaman sebagaiamana anantinya mereka hadapi di
kehidupan profesionalnya. Pengalaman tersebut sangat penting karena
pembelajaran yang efektif dimulai dari pengalaman konkrit. Pertanyaan,
pengalaman, formulasi, serta penyususan konsep tentang pemasalahan yang
mereka ciptakan sendiri merupkan dasar untuk pembelajaran.

2. Karakteristik Model PBL


Setiap model pembelajaran, memiliki karakteristik untuk membedakan
model yang satu dengan model yang lain. PBL merupakan penggunaan berbagai
macam kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan konfrontasi terhadap
tantangan dunia nyata, kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu yang baru
dan kompleks yang ada. Berdasarkan teori yang dikembangkan Barrow, Min Liu
(2005) menjelaskan karakteristik dari PBM, yaitu:
1) Learning is student-centered
Proses pembelajaran dalam PBL lebih menitikberatkan kepada siswa sebagai
orang belajar. Oleh karena itu, PBL didukung juga oleh teori konstruktivisme
dimana siswa didorong untuk dapat mengembangkan pengetahuannya sendiri.
2) Authentic problems form the organizing focus for learning
Masalah yang disajikan kepada siswa adalah masalah yang otentik sehingga
siswa mampu dengan mudah memahami masalah tersebut serta dapat
menerapkannya dalam kehidupan profesionalnya nanti.
3) New information is acquired through self-directed learning
Dalam proses pemecahan masalah mungkin saja siswa belum mengetahui dan
memahami semua pengetahuan prasyaratnya, sehingga siswa berusaha untuk
mencari sendiri melalui sumbernya, baik dari buku atau informasi lainnya.
4) Learning occurs in small groups
23

Agar terjadi interaksi ilmiah dan tukar pemikiran dalam usaha membangun
pengetahuan secara kolaborative, maka PBM dilaksakan dalam kelompok
kecil. Kelompok yang dibuat menuntut pembagian tugas yang jelas dan
penetapan tujuan yang jelas.
5) Teachers act as facilitators
Pada pelaksanaan PBM, guru hanya berperan sebagai fasilitator. Namun,
walaupun begitu guru harus selalu memantau perkembangan aktivitas siswa
dan mendorong siswa agar mencapai target yang hendak dicapai.
Sedangkan karakteristik model PBL yang diungkapkan Gijbelc (dalam
Yamin, 2013); Rusman (2014) karakteristik model PBL yaitu.
1) Permasalahan menjadi starting point dalam belajar.
2) Permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada di dunia nyata
yang tidak terstruktur.
3) Permasalahan membutuhkan perspektif ganda (Multiple Perspective).
4) Permasalahan menantang pengetahuan yang dimiliki oleh siswa, sikap,
dan kompetensi yang kemudian membutuhkan identifikasi kebutuhan
belajar dan bidang baru dalam belajar.
5) Belajar pengarahan diri menjadi hal yang utama.
6) Pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, penggunaannya, dan
evaluasi sumber informasi merupakan proses yang esensial dalam PBL.
7) Belajar adalah kolaboratif, komunikasi, dan kooperatif.
8) Pengembangan keterampilan inquiry dan pemecahan masalah sama
pentingnya dengan penguasaan isi pengetahuan untuk mencari solusi dari
sebuah permasalahan.
9) Sintesis dan integrasi dari sebuah proses belajar.
10) PBL melibatkan evaluasi dan review pengalaman siswa dan proses
belajar.

3. Tujuan Model Pembelajaran PBL


Proses pembelajaran di dalam kelas tentunya memiliki tujuan yang akan
dicapai sehingga dalam proses pembelajaran siswa memperoleh sesuatu dari apa
yang mereka pelajari. Yamin (2013) menyatakan bahwa tujuan model PBL
24

adalah untuk membantu siswa mengembangkan pengetahuan fleksibel yang dapat


diterapkan dalam situasi yang berlawanan dengan inter knowledge.
Tujuan PBL adalah kemampuan untuk berpikir kritis, analitis, sistematis,
dan logis untuk menemukan alternative pemecahan masalah melalui eksplorasi
data secara empiris dalam rangka menumbuhkan sikap ilmiah (Sanjaya, 2013).
Sedangkan Ibrahim dan Nur (dalam Rusman, 2014) mengemukakan tujuan model
PBL secara lebih rinci yaitu: (a) membantu siswa mengembangkan kemampuan
berpikir dan memecahkan masalah; (b) belajar berbagai peran orang dewasa
melalui keterlibatan mereka dalam pengalaman nyata, dan (c) menjadi para siswa
yang otonom atau mandiri.

4. Kelebihan dan Kelemahan Model PBL


Setiap model pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan, sebagaimana
model PBL juga memiliki kelemahan dan kelebihan yang perlu dicermati untuk
keberhasilan penggunaannya.
a. Kelebihan Model PBL
Menurut Susanto (2014) kelebihan PBL antara lain:
1) Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup baik untuk memahami
isi pembelajaran.
2) Pemecahan masalah dapat menantang kemampun siswa serta
memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru.
3) Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.
4) Pemecahan masalah dapat membantu siswa bagaimana mentransfer
pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
5) Pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk mengembangkan
pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang
mereka lakukan.
6) Pemecahan masalah dianggap lebih menyenangkan dan diskusi siswa.
7) Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk
berfikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk
menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
25

8) Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk


mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.
Sedangkan Menurut Ladinillah kelebihan model PBL, yaitu.
1. Siswa didorong untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah dalam
situasi nyata
2. Siswa memiliki kemampuan membangun pengetahuannya sendiri melalui
aktivitas belajar
3. Pembelajaran berfokus pada masalah sehingga materi yang tidak ada
hubunganna tidak perlu saat itu dipelajari oleh siswa. Hal ini mengurangi
beban siswa dengan menghafal atau menyimpan informasi
4. Terjadi aktivitas ilmiah pada siswa melalui kerja kelompok
5. Siswa terbiasa menggunakan sumber pengetahuan baik dari perpustakaan,
internet, wawancara dan observasi
6. Siswa memiliki kemampuan menilai kemajuan belajarnya sendiri
7. Siswa memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi ilmiah dalam
kegiatan diskusi atau presentasi hasil pekerjaan mereka
8. Kesulitan belajar siswa secara individual dapat diatasi melalui kerja
kelompok dalam bentuk peer teaching.
b. Kelemahan Model PBL
Kelemahan dari penerapan model ini antara lain Susanto (2014); Sanjaya (2013):
1) Bila siswa tidak memiliki minat atau tidak memiliki kepercayaan bahwa
masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa
enggan untuk mencoba.
2) Keberhasilan pendekatan pembelajaran melalui pemecahan masalah
membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.
3) Tanpa pemahaman mereka untuk berusaha memecahkan masalah yang
sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar dari apa yang mereka
pelajari.
Sedangkan menurut Ladinilah kelemahan model PBL diantaranya.
1. PBM tidak dapat diterapkan untuk setiap materi pelajaran, ada bagian guru
berperan aktif dalam menyajikan materi. PBM lebih cocok untuk
26

pembelajaran yang menuntut kemampuan tertentu yang kaitannya dengan


pemecahan masalah
2. Dalam suatu kelas yang memiki tingkat keragaman siswa yang tinggi akan
terjadi kesulitan dalam pembagian tugas
3. PBM kurang cocok untuk diterapkan di sekolah dasar karena masalah
kemampuan bekerja dalam kelompok. PBM sangat cocok untuk mahasiswa
perguruan tinggi atau paling tidak sekolah menengah
4. PBM biasanya membutuhkan waktu yang tidak sedikit sehingga
dikhawatirkan tidak dapat menjangkau seluruh konten yang diharapkan
walapun PBM berfokus pada masalah bukan konten materi
5. Membutuhkan kemampuan guru yang mampu mendorong kerja siswa dalam
kelompok secara efektif, artinya guru harus memilki kemampuan memotivasi
siswa dengan baik
6. Adakalanya sumber yang dibutuhkan tidak tersedia dengan lengkap

5. Peran Guru dalam Model PBL


Seorang guru dalam model PBL harus mengetahui apa peranannya,
mengingat model PBL menuntut siswa untuk mengevaluasi secara kritis dan
berpikir berdayaguna. Peran guru dalam model PBL berbeda dengan peran guru di
dalam kelas.
Peran guru dalam model PBL menurut Rusman (2014) antara lain:
1. Menyiapkan perangkat berpikir siswa
Menyiapkan perangkat berpikir siswa bertujuan agar siswa benar siap untuk
mengikuti pembelajaran dengan model PBL. Seperti, membantu siswa
mengubah cara berpikirnya, menyiapkan siswa untuk pembaruan dan
kesulitan yang akan menghadang, membantu siswa merasa memiliki masalah,
dan mengkomunikasikan tujuan, hasil, dan harapan (Rusman, 2014).
2. Menekankan belajar kooperatif
Dalam prosesnya, model PBL berbentuk inquiry yang bersifat kolaboratif
dan belajar. Seperti yang diungkapkan Bray, dkk. (dalam Rusman, 2014)
inkuiri kolaboratif sebagai proses dimana orang melakukan refleksi dan
kegiatan secara berulang, mereka bekerja dalam tim untuk menjawab
27

pertanyaan penting. Sehingga siswa dapat memahami bahwa bekerja dalam


tim itu penting untuk mengembangkan proses kognitif (Rusman, 2014).
3. Memfasilitasi pembelajaran kelompok kecil dalam model PBL
Belajar dalam bentuk kelompok lebih mudah dilakukan, karena dengan
jumlah anggota kelompok yang sedikit akan lebih mudah mengontrolnya.
Sehingga guru dapat menggunakan berbagai teknik belajar kooperatif untuk
menggabungkan kelompok tersebut untuk menyatukan ide (Rusman, 2014).
4. Melaksanakan PBL
Dalam pelaksanaannya guru harus dapat mengatur lingkungan belajar yang
mendorong dan melibatkan siswa dalam masalah. Selain itu, guru juga
berperan sebagai fasilitator dalam proses inkuiri kolaboratif dan belajar siswa
(Rusman, 2014).
Peranan guru dalam proses pembelajaran model PBL menurut Kemendikbud
(2014) antara lain:
1) Asking about thinking (bertanya tentang pemikiran).
2) Memonitor pembelajaran.
3) Probbing (menantang siswa untuk berpikir).
4) Mengatur dinamika kelompok.
5) Menjaga keberlangsungan proses.

6. Langkah Model PBL


Model PBL memiliki beberapa langkah pada implementasinya dalam proses
pembelajaran. Menurut Kemendikbud, (2014) mengemukakan bahwa langkah-
langkah PBL adalah sebagai berikut.
1) Orientasi siswa pada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang
diperlukan, dan memotivasi siswa terlibat aktif dalam pemecahan masalah.
2) Mengorganisasi siswa untuk belajar.
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar
yang berhubungan dengan masalah tersebut.
3) Membimbing pengalaman individual/kelompok.
28

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,


melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan
masalah.
4) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang
sesuai seperti laporan, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan
temannya
5) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap
materi yang telah dipelajari, meminta kelompok presentasi hasil kerja.

Pelaksanaan PBM memiliki ciri tersendiri berkaitan dengan langkah


pembelajarannya. Barret (2006) menjelaskan langkah-langkah pelaksanaan PBM
sebagai berikut:
1. Siswa diberi permasalahan oleh guru (atau permasalahan diungkap dari
pengalaman siswa)
2. Siswa melakukan diskusi dalam kelompok kecil dan melakukan hal berikut.
 Mengklarifikasi kasus permasalahan yang diberikan
 Mendefinisikan masalah
 Melakukan tukar pikiran berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki
 Menetapkan hal-hal yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah
 Menetapkan hal-hal yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah
3. Siswa melakukan kajian secara independen berkaitan dengan masalah yang
harus diselesaikan. Mereka dapat melakukannya dengan cara mencari
sumber di perpustakaan, database, internet, sumber personal atau melakukan
observasi
4. Siswa kembali kepada kelompok PBM semula untuk melakukan tukar
informasi, pembelajaran teman sejawat, dan bekerjasaman dalam
menyelesaikan masalah.
5. Siswa menyajikan solusi yang mereka temukan
6. Siswa dibantu oleh guru melakukan evaluasi berkaitan dengan seluruh
kegiatan pembelajaran. Hal ini meliputi sejauhmana pengetahuan yang sudah
29

diperoleh oleh siswa serta bagaiman peran masing-masing siswa dalam


kelompok.
Sementara itu Miao et.al. (2000) membut model Protokol PBM yang disajikan
dalam ilustrasi berikut.

Bagan 1. Tahap Model PBL (Miao, 2000)


Pada dasarnya, langkah-langkah menurut Barret (2006) dan Miao et.al.
(2000) ini memiliki kesamaan. Peran guru sebagai fasilitator sangat penting
karena berpengaruh kepada proses belajar siswa. Walaupun siswa lebih banyak
belajar sendiri tetapi guru juga memiliki peranan yang sangat penting. Peran guru
sebagai tutor adalah memantau aktivitas siswa, memfasilitasi proses belajar dan
menstimulasi siswa dengan pertanyaan. Guru harus mengetahui dengan baik
tahapan kerja siswa baika aktivitas fisik ataupun tahapan berpikir siswa.
Barret (2006) menyebutkan beberapa hal yang harus dikuasai atau dilakukan oleh
tutor agar kegiatan PBM dalap berjalan dengan baik, yaitu :
 Harus berpenampilan meyakinkan dan antusias
 Tidak memberikan penjelasan saat siswa bekerja
 Diam saat siswa bekerja
 Menyarankan siswa untuk berbicara dengan siswa lain bukan dengan
dirinya
 Meyakinkan siswa untuk menyepakati terlebih dahulu tentang pemahaman
terhadap permasalahan secara kelompok sebelum siswa bekerja individual
 Memberikan saran pada siswa tentang sumber informasi yang dapat
diakses berkaitan dengan permasalahan
30

 Selalu mengingat hasil pembelajaran yang ingin dicapai


 Mengkondisikan lingkungan atau suasana belajar yang baik untuk kegiatan
kelompok
 Menjadi diri sendiri atau tampil sesuai dengan gaya sendiri sehingga tidak
menampilkan sikap di luar kebiasaan dirinya.

7. Penilaian pada Problem Based Learning


Penilaian dalam PBM tentunya tidak hanya kepada hasilnya saja tetapi terhadap
proses pembelajaran yang dilakukan oleh siswa. National Research Council
(NRC) (dalam Waters and McCracken) memberikan tiga prinsip berkaitan
penilaian dalam PBM, yaitu yang berkaitan dengan konten, proses pembelajaran,
dan kesamaan. Lebih jelasnaya sebagai berikut.
Konten: penilaian harus merefleksikan apa yang sangat penting untuk dipelajari
dan dikuasai oleh siswa
Proses pembelajaran: penilaian harus sesuai dan diarahkan pada proses
pembelajaran
Kesamaan: penilaian harus menggambarkan kesamaan kesempatan siswa untuk
belajar
Oleh karena itu, menurut Waters and McCracken penilaian yang dilakukan harus
dapat :
 Menyajikan situasi secara otentik
 Menyajikan data secara berulang-ulang
 Memberikan peluang pada siswa untuk dapat mengevaluasi dan merefleksi
pemahaman dan kemampuannya sendiri
 Menyajikan laporan perkembangan kegiatan siswa.

E. Model Pembelajaran Project Based Learning


1. Pengertian Model Pembelajaran Project Based Learning
Menurut Boss dan Kraus dalam Abidin (2013) mendefinisikan Model
Project Based Learning sebagai sebuah model pembelajaran yang menekankan
aktivitas siswa dalam memecahkan berbagai permasalahan yang bersifat open-
endeed dan mengaplikasikan pengetahuan mereka dalam mengerjakan sebuah
31

proyek untuk menghasilkan sebuah produk otentik tertentu. Buck Institute


Education (1999) dalam Trianto (2014) menegaskan project based learning
adalah model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam kegiatan pemecahan
masalah dengan memberi peluang bagi siswa untuk mengkontruksi belajar mereka
sendiri sehingga dihasilkan produk karya siswa yang dapat dinilai.
Pendekatan belajar berbasis proyek ini memberikan alternatif lingkungan
belajar otentik di mana pembelajaran dapat membantu memudahkan siswa
meningkatkan keterampilan bekerja dan pemecahan masalah secara
kolaboratif, sebagai potensial berhasil memperbaiki praktis pembelajaran
pada pendidikan teknologi. Pendekatan belajar berbasis proyek (Project-Based-
Learning) memiliki potensi yang besar untuk membuat pengalaman belajar
yang menarik dan bermakna bagi pembelajar dewasa untuk memasuki lapangan
kerja (Ngalimun,2016).
Menurut Simkins, et al. dalam Abidin (2013) yang menyatakan bahwa”
Model Project Based Learning sebuah model pembelajaran yang digunakan
sebagai sarana bagi siswa untuk beroleh seperangkat pengetahuan dan
keterampilan belajar yang baru melalui serangkaian aktivitas merancang,
merencanakan, dan memproduksi produk tertentu”.

2. Karakteristik Pembelajaran Project Based Learning


Buck Institute for Education (1999) dalam Trianto (2014) menyebutkan bahwa
project based learning memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) Siswa sebagai pembuat keputusan dan membuat kerangka kerja.
2) Terdapat masalah yang pemecahannya ditentukan sebelumnya.
3) Siswa sebagai perancang proses untuk mencapai hasil.
4) Siswa bertanggungjawab untuk mendapatkan dan mengelola informasi yang
dikumpulkan.
5) Melakukan evaluasi secara continue.
6) Siswa secara teratur melihat kembali apa yang mereka kerjakan.
7) Hasil akhir berupa produk dan dievaluasi kualitasnya.
8) Kelas memilki atmosfir yang memberi toleransi kesalahan dan perubahan.
32

Thomas (2000) dalam Vena (2014) menyebutkan lima prinsip project based
learning yang menjadi pembeda dengan model pembelajaran lainnya sebagai
berikut:
1) Terpusat (Centrality)
Pembelajaran berbasis proyek adalah model pembelajaran terpusat pada siswa
sehingga guru harus terampil dalam menjadi fasilitator. Menegaskan bahwa
kerja proyek merupakan esensi dari kurikulum. Model ini merupakan pusat
dari strategi pembelajar, di mana siswa belajar konsep utama dari suatu
pengetahuan melalui kerja proyek. Oleh karena itu, kerja proyek bukan
merupakan praktik tambahan dan aplikasi praktis dari konsep yang sedang
dipelajari, melainkan menjadi sentral kegiatan pembelajaran di kelas.
2) Dikendalikan Pertanyaan (Driving Question)
Pembelajaran berbasis proyek memfokuskan pertanyaan atau permasalahan
yang memicu siswa untuk menyelesaikan permasalahan dengan konsep,
prinsip, serta ilmu pengetahuan yang sesuai.
3) Investigasi Kostruktif (Constructive Investigations)
Proyek harus disesuaikan dengan kemampuan siswa dan proyek yang
dilakukan harus memberikan kemampuan dan pengetahuan baru. Proses yang
mengarah kepada pencapaian tujuan, yang mengandung kegiatan inkuiri,
pembangunan konsep dan resolusi. Penentuan jenis proyek haruslah dapat
mendorong siswa untuk mengonstruksi pengatahuan sendiri untuk
memecahkan persoalan yang dihadapinya.
4) Otonom (Autonomy)
Aktifitas siswa sangat penting, karena bertindak sebagai pemberi keputusan
dan berperan sebagai pencari solusi. Pembelajaran berbasis peroyek dapat
diartikan sebagai kemandirian siswa dalam melaksanakan proses
pemelajaran, yaitu bebas menentukan pilihan sendiri, bekerja dengan minimal
supervise, dan bertanggung jawab.
5) Realitis/Nyata (Realism)
Kegiatan siswa difokuskan pada pekerjaan yang serupa dengan situasi nyata.
Proyek merupakan sesuatu yang nyata, bukan seperti disekolah.
Pembelajaran berbasis proyek mengandung tantangan nyata yang berfokus
33

pada permasalahan yang autentik (bukan simulasi), bukan dibuat-buat,


dan solusi nya dapat diimplementasikan di lapangan. Untuk itu, guru harus
mampu merancang proses pembelajaran yang nyata, dan hal ini bisa
dilakukan dengan mengajak siswa belajar pada dunia kerja yang
sesungguhnya.

3. Kelebihan dan kekurangan Model Project Based Learning


a. Kelebihan Model Project Based Learning
Beberapa keuntungan dari pembelajaran berbasis proyek antara lain sebagai
berikut (Annata dalam Trianto, 2014):
2. Meningkatkan motivasi
Pembelajaran berbasis proyek dapat meningkatkan motivasi belajar
siswa terbukti dari beberapa laporan penelitian tentang pembelajaran
berbasis proyek yang menyatakan bahwa siswa sangat tekun, berusaha
keras untuk menyelesaikan proyek, siswa merasa lebih bergairah dalam
pembelajaran dan keterlambatan dalam kehadiran sangat berkurang.
3. Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
Lingkungan belajar pembelajaran berbasis proyek dapat meningkatkan
kemampuan memecahkan masalah, membuat siswa lebih aktif dan
berhasil memecahkan problem-problem yang bersifat kompleks.
4. Meningkatkan keterampilan mengelola sumber
Karena pembelajaran berbasis proyek mempersyaratkan siswa harus
mampu secara cepat memperoleh informasi melalui sumber-sumber
informasi, maka keterampilan siswa untuk mencari dan mendapatkan
informasi akan meningkat.
5. Meningkatkan kolaborasi
Pentingnya kerja kelompok dalam proyek memerlukan siswa
mengembangkan dan mempraktikan keterampilan komunikasi.
Kelompok kerja kooperatif, evaluasi siswa, pertukaran informasi
online adalah aspek kolaboratif dari sebuah proyek.

ii. Kelemahan Model Project Based Learning


34

Sedangkan kekurangan dari pembelajaran berbasis proyek yang disampaikan oleh


Sani (2014: 177) adalah:
a. Membutuhkan banyak waktu untuk menyelesaikan proyek
b. Membutuhkan biaya yang cukup
c. Membutuhkan guru yang terampil dan mau belajar
d. Membutuhkan fasilitas, peralatan, dan bahan yang memadai
e. Tidak sesuai untuk siswa yang mudah menyerah
f. Kesulitan melibatkan semua siswa dalam kerja kelompok.
g. Sulit mengawasi kegiatan kelompok jika objek dan tempat belajar
h. berbeda/terpisah.

4. Tahap Model Project Based Learning


Model project based learning dalam pelaksanaan dilakukan dengan membuat
suatu proyek yang harus ditangani dengan sistematis sehingga membantu peserta
didik untuk merasakan bahwa mereka dapat mencapai tujuan yang hendak dicapai
(Jhonson (2009) dalam Al-Tabany, 2017). Langkah-langkah pembelajaran dalam
project based learning dikembangkan The George Lucas Educational
Foundation (2005) dalam Al-Tabany (2017) terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:

Tahap Langkah
Penentuan Pertanyaan Mendasar (Start Mengambil topik yang sesuai dengan
with essensial question) realitas dunia nyata dan dimulai dengan
suatu investigasi mendalam. Pertanyaan
essenial diajukan untuk memancing
pengetauan, tanggapan, kritik dan ide
peserta didik mengenai tema proyek
yang akan diangkat.
Mendesain perencanaan proyek (Design Perencanaan berisi tentang aturan
a plan for the project) main, pemilihan aktivitas yang dapat
mendukung dalam menjawab
pertanyaan essensial, dengan
mengintegrasikan berbagai subjek yang
35

Tahap Langkah
mungkin, serta mengetahui sesuatu
yang dibutuhkan untuk membantu
penyelesaian produk.
Menyusun jadwal (Creat a schedule) Guru dan siswa secara kaloboratif
menyusun jadwal aktivitas dalam
menyelesaikan proyek. Jadwal ini di-
susun untuk mengetahui berapa lama
waktu yang dibutuhkan dalam
pengerjaan proyek.
Memonitor siswa dan kemajuan proyek Guru bertanggung jawab untuk
(Monitor the student and the progress melakukan monitor terhadap aktivitas
of the project) peserta didik selama menyelesaikan
proyek. Monitoring dilakukan dengan
cara memfasilitasi siswa pada setiap
proses.
Menguji hasil (Asses the outcome) Penilaian dilakukan untuk membantu
pendidik dalam mengukur ketercapaian
standar, berperan dalam mengevaluasi
kemajuan masing-masing siswa, mem-
beri umpan balik tentang tingkat
pemahaman yang sudah dicapai siswa,
membantu guru dalam menyusun
strategi pembelajaran selanjutnya.
Mengevaluasi pengalaman (Evaluate Evaluasi dilakukan guna memberikan
the experience) kesempatan kepada siswa untuk
melakukan relfeksi terhadap kegiatan
yang telah dilakukan, baik secara
individu maupun kelompok. Pada
langkah ini siswa diharapkan dapat
menceritakan pengalamannya selama
menyelesaikan proyek, mendiskusikan
36

Tahap Langkah
apa yang sukses, mendiskusikan yang
gagal, dan berbagai ide untuk mengarah
pada inkuiri baru.
Sumber: Al-Tabany (2017)

5. Karaketeristik Model Project Based Learning


Karakteristik Project Based Learning Trianto (2014) menyebutkan bahwa Projet
Based Learning memiliki karakteristik, yaitu:
a) Peserta didik sebagai pembuat keputusan, dan membuat kerangka kerja.
b) Terdapat masalah yang pemecahannya tidak ditentukan sebelumnya.
c) Peserta didik sebagai perancang proses untuk mencapai hasil.
d) Peserta didik bertanggungjawab untuk mendapatkan dan mengelola
informasi yang dikumpulkan.
e) Melakukan evaluasi secara kontinu.
f) Maha peserta didik secara teratur melihat kembali apa yang mereka
kerjakan.
g) Hasil akhir berupa produk dan dievaluasi kualitasnya.
h) Kelas memiliki atmosfer yang memberi toleransi keaslahan dan perubahan.

F. Model Pembelajaran Problem Solving


1. Pengertian Model Problem Solving
Model pembelajaran problem solving merupakan suatu cara penyajian
pembelajaran dengan mendorong siswa untuk mencari suatu cara penyajian
pembelajaran dengan mendorong siswa untuk mencari dan memecahkan suatu
masalah dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran. Pembelajaran problem
solving didasarkan pada pengetahuan, pemahaman dan keterampilan siswa yang
telah dimiliki sebelumnya dengan menggunakan langkah yang sesuai untuk
menemukan suatu jawaban dari pokok permasalahan yang dihadapinya (Hamdani,
2011). Menurut Nasution (2008: 170) memecahkan masalah dapat dipandang
sebagai proses dimana pelajar menemukan kombinasi aturan-aturan yang telah
dipelajarinya lebih dahulu yang digunakannya untuk memecahkan masalah yang
37

baru. Lebih lanjut Nasution (2008) menyatakan bahwa memecahkan masalah


tidak sekedar menerapkan aturan yang diketahui, akan tetapi juga menghasilkan
pelajaran baru. Dalam memecahkan masalah pelajar harus berpikir, mencoba
berhipotesis dan bila memecahkan masalah itu ia dapat
mempelajari sesuatu yang baru.
Pada dasarnya tujuan akhir pembelajaran adalah menghasilkan siswa yang
memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam memecahkan masalah yang
dihadapi kelak dimasyarakat, untuk menghasilkan siswa yang memiliki
kompetensi yang handal dalam pemecahan masalah, maka diperlukan serangkaian
strategi pembelajaran pemecahan masalah (problem solving). Menurut Wena
(2009) mengemukakan bahwa pemecahan masalah dipandang sebagai suatu
proses untuk menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan
dalam upaya mengatasi situasi baru, jadi dengan menerapkan pembelajaran
problem solving atau pemecahan masalah siswa diharapkan setelah mengetahui
teori yang dipelajari dapat digunakan untuk memecahkan masalah, dengan
memecahkan masalah siswa akan lebih diasah kemampuannya untuk menerapkan
teori yang dipelajari dalam pelajaran. Sebelum memberikan pengertian tentang
problem solving atau pemecahan masalah, terlebih dahulu membahas tentang
masalah atau problem. Menurut Polya (dalam Hudojo, 2003) terdapat dua macam
masalah :
1. Masalah untuk menemukan, dapat teoritis atau praktis, abstrak atau konkret,
termasuk teka teki. Kita harus mencari variable masalah tersebut, kemudian
mencoba untuk mendapatkan, menghasilkan atau mengkontruksi semua jenis
obyek yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Bagian utama dari masalah adalah sebagai berikut.
(a) Apakah yang dicari?
(b) Bagaimana data yang diketahui?
(c) Bagaimana syaratnya?
2. Masalah untuk membuktikan adalah untuk menunjukkan bahwa suatu
peryataan itu benar atau salah atau tidak kedua duanya. Kita harus
menjawabpertanyaan : “ Apakah peryataan itu benar atau salah?” bagian
38

utama dari masalah jenis ini adalah hipotesis dan konklusi dari suatu teorema
yang harus dibuktikan kebenarannya.

3. Kelebihan dan Kekurangan Model Problem Solving


Setiap metode pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan. Adapun
kelebihan dan kekurangan metode problem solving adalah sebagai berikut:
a. Kelebihan Medel Problem Solving
Menurut Djamarah dan Zain (2006: 92) kelebihan model problem solving adalah
sebagai berikut :
1. Penerapan metode ini dapat membuat pendidikan di sekolah menjadi lebih
relevan dengan kehidupan, khususnya dengan dunia kerja yang akan dihadapi
oleh siswa di masa mendatang.
2. Proses belajar mengajar melalui pemecahan masalah dapat membiasakan
para siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil, apabila
menghadapi permasalahan dalam keluarga, masyarakat, maupun pekerjaan.
Tentunya hal ini merupakan sesuatu yang sangat bermanfaat bagi siswa dan
merupakan suatu kemampuan yang sangat bermakna bagi siswa.
3. Metode ini dapat merangsang pengembangan kemampuan berpikir siswa
secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya siswa banyak
melakukan kegiatan yang menuntut siswa mampu menyelesaikan suatu
permasalahan dengan menyoroti permasalahannya dari berbagai segi dalam
rangka mencari pemecahan.
b. Kekurangan Model Problem Solving
Adapun Kekurangan metode problem solving Menurut Djamarah dan
Zain (2006) adalah sebagai berikut:
1. Sulitnya menentukan suatu masalah yang tingkat kesulitannya sesuai dengan
tingkat berpikir siswa, tingkat sekolah dan kelasnya serta pengetahuan dan
pengalaman yang telah dimiliki siswa. Hal ini membutuhkan kemampuan dan
keterampilan guru. Namun, sebenarnya metode pemecahan masalah dapat
dilakukan di seluruh jenjang pendidikan dengan menyesuaikan tingkat
kesulitan permasalahan dengan taraf kemampuan berpikir anak.
39

2. Dengan menggunakan metode ini, proses belajar mengajar akan memerlukan


waktu yang cukup banyak dan lebih lama karena siswa diharapkan mampu
menemukan pemecahan suatu masalah dengan langkah yang tepat. Hal ini
kemudian berakibat pada penambahan waktu dengan mengambil dan terpaksa
mengorbankan waktu pelajaran lain.
3. Metode ini mengharuskan siswa untuk lebih aktif. Mengubah kebiasaan siswa
belajar dengan mendengarkan dan menerima informasi dari guru menjadi
belajar dengan banyak berpikir memecahkan permasalahan sendiri atau
kelompok, yang kadang memerlukan berbagai sumber belajar, merupakan
kesulitan tersendiri bagi siswa.

4. Tujuan Model Pembelajaran Problem Solving


Menurut Usman (2006) berhasil tidaknya suatu pengajaran bergantung
kepada suatu tujuan yang hendak diacapai. Tujuan dan manfaat model
pembelajaran problem solving adalah sebagai berikut:
a. Mengembangkan kemampuan peserta didik didalam memecahkan
masalah-masalah serta mengambil keputusan secara objektif dan rasional.
b. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, logis, dan analitis.
c. Mengembangkan sikap toleransi terhadap pendapat orang lain serta sikap
hati-hati dalam mengemukakan pendapat.
Tidak jauh berbeda dari Hudojo (2005) tujuan dari model pembelajaran
problem solving yaitu:
a. Siswa mampu memahami proses masalah tersebut dan menjadi terampil
dalam memilih dan mengidentifikasikan kondisi dan konsep yang relevan,
mencari generalisasi, merumuskan rencana penyelesaian dan
mengorganisasikan keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya.
b. Melalui pemecahan masalah siswa dapat berlatuh dan mengintegrasikan
konsep, teorema, dan keterampilan yang telah dipelajari.
c. Potensi intelektual siswa meningkat.

5. Tahapan Model Problem Solving


Adapun langkah model pembelajaran Problem Solving (Trianto, 2010):
40

1. Orientasi siswa pada masalah Guru menjelaskan tujuan pembelajaran.


Menjelaskan logistik yang dibutuhkan. Memotivasi siswa terlibat dalam
aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
2. Mengorganisasi siswa untuk belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas
belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik,
tugas, jadwal, dll).
3. Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,
melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan
masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah.
4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang
sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan
temannya.
5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap
penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
Sedangkan menurut David Johnson dalam Sanjaya (2013) mengemukakan ada
5 langkah penerapan problem solving, yaitu.
1. Mendifinisikan masalah, yaitu merumuskan maslah dari peristiwa terentu
yang mengandung materi yang menarik untuk dibahas, sehingga siswa
menjadi jelas masalah apa yang akan diuji. Dalam kegiatan ini guru bisa
meminta pendapat dan penjelasan siswa tentang materi yang menarik
untuk dibahas dan dipecahkan.
2. Mendiagnosis masalah, yatu menentukan sebab terjadinya masalah serta
menganalisis bebrbagai faktor, baik faktor yang bisa menghambat maupun
faktor yang dapat mendukung dalam penyelesaian masalah.
3. Merumuskan alternatif strategi, yaitu menguji setiap tindakan yang
telah dirumuskan. Pada tahap ini setiap siswa didorong untuk berpikir
mengemukakan pendapat dan argumentasi.
41

4. Menentukan dan menetapkan strategi pilihan yaitu pengambilan


keputusan tentang strategi mana yang dapat dilakukan.
Melakukan evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil. Evaluasi
proses adalah evaluasi terhadap seluruh kegiatan pelaksanaan, sedangkan
evaluasi hasil adalah evaluasi terhadap akibat dari penerapan strategi yang
diterapkan.
G. Model Pembelajaran Problem Posing
1. Pengertian Problem Posing
Problem posing merupakan istilah dalam bahasa inggris yang artinya
“merumuskan masalah” atau “membuat masalah”. Problem posing yaitu
pemecahan masalah dengan melalui elaborasi yaitu merumuskan kembali
masalah menjadi bagian-bagian yang lebih sederhana sehingga mudah
dipahami (Suyatno, 2009). Problem posing mewajibkan siswa untuk
mengajukan soal sendiri melalui belajar soal dengan mandiri. Problem
posing mengarah pada sikap kritis dan kreatif karena melalui pengajuan
soal adalah pangkal dari semua kreasi. Selain itu, dengan pengajuan soal
siswa diberi kesempatan aktif secara mental, fisik, dan sosial serta
memberikan kesempatan pada siswa untuk menyelidiki dan membuat
jawaban. Silver dan Cai memberikan istilah pengajuan masalah (Problem
posing) diaplikasikan pada tiga bentuk aktivitas kognitif yaitu:
a. Pengajuan pre-soal solusi (pre-solution posing) yaitu seorang siswa
membuat soal berdasarkan informasi yang diberikan. Artinya siswa
membuat pengajuan soal berdasarkan informasi tugas yang telah
diberikan
b. Pengajuan di dalam solusi (within-solution posing), yaitu siswa
membuat ulang soal seperti yang telah diselesaikan
c. Pengajuan setelah solusi (post-solution posing) yaitu seorang siswa
memodifikasi kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk membuat
soal yang baru.
Informasi dalam problem posing dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu:
a. Problem posing bebas
42

Pada situasi problem posing bebas, siswa tidak diberikan informasi


yang harus dipatuhi, tetapi siswa diberi kesempatan yang seluas-
luasnya untuk membentuk masalah sesuai dengan apa yang
dikehendaki. Siswa dapat menggunakan fenomena dalam kehidupan
sehari-hari sebagai acuan dalam pembentukan masalah.
b. Problem posing semiterstruktur
Pada situasi problem posing semiterstruktur, siswa diberi situasi atau
informasi yang terbuka. Kemudian siswa diminta untuk mencari atau
menyelidiki situasi atau informasi tersebut dengan cara menggunakan
pengetahuan yang dimilikinya. Selain itu, siswa harus mengaitkan
informasi itu dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang
diketahuinya untuk membuat masalah.
c. Problem posing terstruktur
Pada situasi problem posing terstruktur, informasi atau situasinya
berupa masalah atau penyelesaian dari suatu masalah.
Brown dan Walter menyatakan bahwa pengajuan masalah terdiri dari
dua aspek yaitu, accepting dan challenging. Accepting berkaitan dengan
kemampuan siswa memahami situasi yang diberikan oleh guru atau situasi
yang sulit ditentukan. Sementara Challenging berkaitan dengan sejauh
mana siswa merasa tertantang dari situasi yang diberikan sehingga
melahirkan kemampuan untuk mengajukan masalah.
Menurut Stoyanova, kemampuan pengajuan masalah siswa dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu reformulasi, rekonstruksi, dan
imitasi.
a. Reformulasi masalah
Pembuatan masalah dilakukan oleh siswa dengan menyusun kembali
elemen dalam struktur masalah asli, strategi pengajuan masalah ini
didefinisikan reformulasi. Dengan kata lain, masalah yang diajukan
siswa adalah sama atau identik dengan masalah yang diberikan, hanya
penampilan atau susunan kalimatnya saja yang berbeda.
43

b. Rekonstruksi
Permasalahan yang dihasilkan dengan memodifikasi masalah awal dan
pada saat memodifikasinya yaitu dengan mengubah sifat masalah.
Dengan demikian masalah yang diajukan berhubungan tetapi isinya
berbeda. Ada modifikasi dengan mengubah sifat masalah. Dengan
demikian, pengajuan masalah berhubungan dan dengan maksud yang
sama tetapi isinya berbeda.
c. Imitasi
Masalah yang diajukan ada penambahan struktur masalah untuk tujuan
pemeahan masalah selajutnya. Masalah diperluas dengan mengubah
tujuan baru atau mengikatnya dengan materi lain atau dengan
mengaitkannya dengan kehidupan nyata. Imitasi ukup sulit dilakukan
oleh siswa.
2. Langkah Model Pembelajaran Problem Posing
a. Guru memberikan apersepsi untuk mengingatkan kembali materi
sebelumnya yang relevan
b. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran sesuai dengan kompetensi
dasar dan pendekatan yang akan digunakan dalam pembelajaran.
c. Guru menyajikan materi pembelajaran.
d. Guru memberikan cotoh membuat masalah dengan menyediakan
situasi atau informasi
e. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menanyakan hal-
hal yang dirasa belum jelas
f. Guru membagikan Lembar Tugas Pengajuan Masalah (LPTM) pada
tiap siswa dan meminta siswa untuk membuat maslah beraitan dengan
informasi yang diberikan
g. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan maslah
yang dibuatnya sendiri
h. Mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan dari materi yang
sudah dipelajari.
44

3. Kelebihan dan Kelemahan Problem posing


a. Kelebihan
1) Membantu siswa dalam mengembangkan keyakinan dan kesukaan
terhadap materi pelajaran, sebab teori atau konsep dapat
diujicobakan untuk memahami masalah yang sedang dikerjakan dan
dapat meningkatkan kemampuannya dalam menyelesaikan masalah.
2) Merupakan tugas yang mengarah pada sikap kritis dan kreatif
3) Mempunyai pengaruh positif terhadap kemampuan memecahkan
masalah
4) Mendorong siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajarnya
5) Berguna untuk mengetahui kesalahan dan miskonsepsi siswa
6) Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa, sebab
pengajuan masalah memberikan penguatan-penguatan dan
memperkaya konsep-konsep dasar
7) Mempersiapkan pola pikir atau kriteria berpikir sistematis,
berkorelasi positif dengan kemampuan memecahkan masalah.
b. Kelemahan
1) Seringkali siswa melakukan penipuan, siswa hanya meniru atau
menyalin hasil pekerjaan temannya, tanpa mengalami peristiwa
belajar.
2) Membutuhkan waktu yang lebih lama bagi siswa untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan
3) Menyita waktu yang lebih banyak bagi pengajar, khususnya untuk
koreksi tugas siswa.
4) Memerlukan keahlian khusus dan kemampuan guru dalam
mengarahkan siswa untuk membuat masalah, sebab masalah yang
dibuat siswa dapat beragam dan guru harus menilai apakah masalah
yang diajukan tersebut benar atau salah, apakah sesuai dengan
informasi yang ada ataukah dapat dipahami oleh siswa lain.
H. Model Pembelajaran RICOSRE
Ricosre merupakan pengembangan dari model pembelajaran Problem Solving
yang dikembangan oleh beberapa tokoh seperti John Dewey (1933), George Polya
45

(1988) dan Stephen Krulik and Jesse Rudnick (1996), dan Program of Actions
and Methods (PAM). Teori belajar yang mendasari model pembelajaran Ricosre
misalnya Teori perkembangan kognitif dari Jean Piaget, Teori Perkembangan
mental Vigotsky, pembelajaran demokratis oleh John Dewey, dan Discovery
Learning dari Jerome Buruner. Ricosre dikembangkan oleh Mahanal dan
Zubaidah (2017). Sintaks pembelajaran Ricosre yaitu Reading, Identifying
Problem, Constructing solution, Solving Problem, Reviewing and Extending
Problem Solution.
Tabel Proses Desain Sintaks Model Pembelajaran RICOSRE
Tahap Model Pembelajaran Berbasis Pemecahan Masalah
John Dewey, 1933 George Polya Stephen Krulik Sintaks Prototype
(Carson, 2007) *) (1988) **) and Jesse Rudnick Model
(1988) ***) Pembelajaran
RICOSRE
2
Mengidentifikasi ) Memahami Membaca Read ***)
masalah utama masalah 2)
Menganalisis Menyusun Menjelajahi Identifying the
3
masalah utama rencana ) problem *) **)
Mengumpulkan Melaksanakan Memilih strategi Construction the
3
data yang rencana tersebut ) Solution **) ***)
4
diperlukan )
Mencari alternatif Memeriksa solusi Menyelesaikan Solving the
solusi untuk yang diperoleh masalah 4) Problem
memecahkan
masalah 4)
Mempertimbangkan Memverifikasi Reviewing the
manfaat kerugian jawaban dan problem Solving
dari beberapa mencari alternatif and Extending the
alternatif solusi lain dalam bentuk Problem
pemecahan Solution***)
masalah masalah
5
)
Sumber: Mahanal dan Zubaidah (2017)

Tabel prototype Sintaks Pembelajaran RICOSRE dalam PAM

PAM Prototype Sintaks Model Kegiatan Pembelajaran


Pembelajaran RICOSRE
Analysis of the Problem Read Membaca
Identifying the Problem Mengidentifikasi masalah
The Execution of Routine Menetapkan masalah
Operations Construction the Solution Merancang investigasi
atau memilih strategi
46

Solving the Problem Melakukan penyelidikan


atau pengumpulan data
Checking the Answer and Reviewing the Problem Mengecek ketepatan
Interpretation of the Solving and Extending solusi dan menyelesaikan
Result the Problem Solution masalah lai yang mirip
pada situasi lain
Sumber: Mahanal dan Zubaidah (2017)
1. Sintaks Model Pembelajaran RICOSRE
a. Reading
Tahap ini dimodifikasi dari sintak kegiatan Problem solving Kurlick dan
Rudnick (1996). Melalui kegiatan membaca, siswa dapat menguraikan embali
teks yang dibaca dalam bentuk susunan kata-kata yang lain atau kata kunci,
dengan maksud dapat menjelaskan permasalahan dan informasi yang berkaitan
dengan teks tersebut.
Membaca merupakan suatu aktivitas yang dapat digunakan untuk
memperoleh informasi (Ozbay, 2006). Membaca melibatkan aktivitas
intelektual secara aktif sehingga dapat membuat pembaca dapat memahami dan
memproses informasi yang didapatkan sehingga mendapatkan sebuah
pengetahuan (Sharma & Singh, 2005; Kurniawati, 2016). Membaca dapat
bermanfaat untuk membantu siswa untuk memperoleh dan memberdayaan
kemampuan berpikir kritisnya (Zubaidah, 2014; Ogeyik & Akykay, 2009).
Selain itu juga membentuk pemikiran siswa untuk memetakan informasi yang
mereka dapatkan dengan membuat keterkaitan dengan permasalahan yang
dihadapinya (Schoenfeld, 2013).
b. Identifying Problem
Tahap identifikasi masalah diadopsi dari Polya (1988) dan Dewey (1933).
Tahap ini dibagi menjadi dua yaitu tahap mengidentifikasi masalah dan tahap
eksplorasi.
1) Mengidentifikasi masalah
Tahap mengidentifikasi masalah adalah tahap untuk mengetahui
permasalahan yang dihadapi oleh siswa. Pada tahap ini, siswa menyadari
masalah apa yang akan diselesaikan. Menurut Polya (1980) memahami
masalah adalah tahap untuk mengidentifikasi informasi dan data yang
tersedia, asumsi, dan hasil yang diharapkan. Sesuai dengan kriteria Polya
47

(1988) siswa dapat memahami masalah menggunakan kata-katanya sendiri


dan masalah yang harus siswa temukan atau tunjukan dalam
mengidentifikasi fenomena.
2) Eksplorasi
Tahap ini siswa akan menyadari masalah yang ada dan mencari hal apa
yang diperlukan untuk menyelesaikan maslah tersebut. menurut Rudnick
dan Krulick (1980) eksplorasi adalah ketika siswa mencari sesuatu teori
atau hal lain yang berkaitan dengan masalah yang ada. Hal ini mencakup
informasi yang tertera secara tersirat maupun tersurat pada masalah yang
ada serta menghubungkan masalah yang ada dengan pengetahuan
sebelumnya.
c. Constructing Solution
Tahap Construction Solution, siswa mencoba membangun atau mengonstruk
solusi dari permasalahan yang telah ditemukan. Dalam mengkonstruk atau
membangun solusi yang ada, solusi yang diberikan memiliki solusi-solusi
alternatif sehingga solusi yang diberikan lebih dari satu. Menurut Krulick dan
Rudnick (1980) dalam tahap ini memilih strategi yang dilakukan dengan
membuat hipotesis dalam menyelesaikan permasalahan, menyederhanakan
masalah, membuat spekulasi dan dugaan, membentuk hipotesis sementara dan
mengamsusikan solusi berdasaran pengetahuan yang diperoleh siswa dari tahap
sebelumnya.
d. Solving Problem
Tahap ini merupakan implementasi strategi-strategi untuk menyelesaikan
masalah yang akan dipilih pada tahap sebelumnya. Menurut Polya (1988) tahap
ini dilakukan melalui tahap execute the plan melalui kegiatan enguji beberapa
strategi untuk menyelesaikan masalah yang paling efektif dengan demikian
siswa akan menemukan stategi yang paling sesuai. Krulick dan Rudnick (1980)
menyebutkan bahwa setelah siswa memahami masalah, memilih strategi dan
memperkirakan hasil yang akan didapatkannya siswa harus membuktikan
strategi tersebut.
e. Reviewing and Extending Problem Solution
48

Tahap ini berlangsung melalui kegiatan komunikasi hasil investigasi


dalam menyelesaikan masalah yang siswa hadapi. Pada tahap ini siswa akan
melakukan komunikasi untuk memperoleh umpan balik dan mempeluas
infomasi dari keterkaitan hasil investigasinya dalam menyelesaikan masalah
(Bayazith, 2013).
Setelah siswa mengecek ketepatan solusi yang digunakan, siswa perlu
menganalisis keefisiensi strategi yang dipilihnya, alternatif strategi lain dalam
menyelesaikan masalah yang sejenis yang lebih efektif, serta generalisasi
masalah yang telah diselesaikan untuk dapat menyelesaikan masalah lain yang
mirip di kemudian hari dengan lebih baik lagi. Menurut Polya (1988) siswa
juga dapat mengetahui hal apa yang dapat digunakan dari metode dalam
strategi sebelumnya untuk menyelesaikan masalah yang lain.
2. Kelebihan Pembelajaran RICOSRE
Sintaks pembelajaran RICOSRE dirancang dengan beberapa kelebihan,
salah satunya ialah mengaktifkan keterampilan berpikir kreatif siswa melalui
keterampilan pemecahan masalah. Proses pemecahan masalah melalui kegiatan
menemukan masalah, menghasilkan gagasan, mengubah ide menjadi solusi,
dan membangun rencana tindakan dengan menggunakan pemikiran yang
divergen (menghasilkan banyak alternatif) dan pemikiran konvergen
(penyaringan, pemilihan, dan evaluasi) (Kashani-Vahid, et al., 2017). Berpikir
divergen penting untuk diasah karena dapat menunjukkan kreativitas dalam
menghasilkan ide yang banyak dan beragam atau berpikir lancar (Sharp, 2004).
Menurut Leen, et al. (2014) dalam memecahkan permasalahan yang nyata,
siswa perlu mempertimbangkan dengan berpikir kreatif dan kritis untuk
memilih strategi, mengembangkan solusi, atau mempertimbangkan
konsekuensi untuk tiap solusi.
Model pembelajaran RICOSRE memfasilitasi pelibatan siswa secara aktif
dalam pembelajaran. Tahapan pembelajaran RICOSRE dirancang untuk
melibatkan siswa agar aktif dalam mengidentifikasi masalah, memecahkan
suatu masalah dan menemukan solusi untuk menyelesaikan masalah. Melalui
cara ini, siswa akan mampu untuk memperluas wawasan dan pengetahuan baru
49

dan merangsang keterampilan berpikir diantaranya keterampilan berpikir


kreatif (Grifftih & Hamza, 2006).
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan paparan makalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Model Pembelajaran Langsung (Direct Instruction) merupakan salah satu
model pengajaran yang dirancang khusus untuk mengembangkan belajar
siswa tentang pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang
terstruktur dengan baik dan dapat dipelajari selangkah demi selangkah.
2. Model Discovery Learning adalah teori belajar yang didefinisikan
sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan
pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri.
3. Model pembelajaran inquiry merupakan proses menemukan dan menyelidiki
masalah, menyusun hipotesa, merencanakan eksperimen, mengumpulkan
data, dan menarik kesimpulan hasil pemecahan masalah.
4. Model Problem Based learning adalah model pembelajaran yang menuntut
siswa mengembangkan keterampilan berpikir, pemecahan masalah dan
keterampilan intelektual, menumbuhkan kemampuan kerja sama, dan
mengembangkan sikap sosial.
5. Model Project Based Learning sebuah model pembelajaran yang digunakan
sebagai sarana bagi siswa untuk beroleh seperangkat pengetahuan dan
keterampilan belajar yang baru melalui serangkaian aktivitas merancang,
merencanakan, dan memproduksi produk tertentu.
6. Model pembelajaran problem solving merupakan suatu cara penyajian
pembelajaran dengan mendorong siswa untuk mencari suatu cara penyajian
pembelajaran dengan mendorong siswa untuk mencari dan memecahkan
suatu masalah dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran.
7. Model pembelajaran Problem posing adalah model pembelajaran berbasis
pengajuan masalah yaitu dengan menyajikan informasi dan siswa diminta
untuk membuat dan menyelesaikan masalah secara mandiri yang diarahkan
oleh guru.
8. Model Pembelajaran RICOSRE adalah model pembelajaran yang
dikembangkan dari model pembelajaran Problem Solving yang bertujuan

50
51

untuk meningkatkan keterampilan berpikir kreatif siswa melalui pelibatan


siswa secara aktif dalam pembelajaran.

B. Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan dari makalah ini, sebaiknya dalam
proses pembelajaran di sekolah guru lebih kreatif dan inovatif dalam
menggunakan model pembelajaran sehingga proses pembelajaran tidak monoton
hanya ceramah saja tetapi proses belajar lebih aktif sehingga siswa menjadi aktif
dan juga kreatif.
DAFTAR RUJUKAN

Abidin, Y. 2014. Desain Sistem Pembelajaran dalam konteks Kurikulum 2013.


Bandung: PT Refika Aditama.
Ahmadi, Amri, Elisah. 2011. Strategi Pembelajaran Sekolah Terpadu. Jakarta:
Prestasi Pustaka.
Al-Tabany, Trianto Ibnu Badar. 2017. Dalam Buku Mendesain Model
Pembelajaran Inovatif, Progresif, Dan Kontekstual Konsep, Landasan, Dan
Implementasinya Pada Kurikulum 2013 (Kurikulum Tematik
Integratif/KTI). Bandung: Prenadamedian Group.
Bahri, S., dan Aswan Z. 2014. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Barret, T. 2006. Understanding Problem Based Learning. (Online).
https://www.researchgate.net/publication/242683636_Understanding_proble
m-based_learning
Cildir, Sema and Nazan Sezen. 2011. Skill Levels of Prospective Physics
Teachers on Problem Posing. Hacettepe Universitesi Egitim Fakultesi
Dergisi (H.U. Journal of Education).
Dahar. 1989. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Refika Aditama.
Depdiknas. 2009. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Pusat
Kurikulum, Balitbang Depdiknas
Djamarah, S. B & Zain. A. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka
Cipta.
Grifftih, G.K. & Hamza, G. M. 2006. Fostering Problem Solving & Creative
Thinking in the Classroom: Cultivating a Creative Mind! National Forum of
Applied Educational Research Journal-Electronic, 19 (3):1—30.

Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia.


Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya Di
Depan Kelas. Surabaya: Usana Offset Printing.
Hudojo, H. 2005. Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran Matematika.
Surabaya: UM PRESS.
Jogiyanto. 2006. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

52
53

Kemendikbud. 2013. Materi Pelatihan Guru Implementasikan Kurikulum 2013.


Kemendikbud RI: Jakarta.
Krulick, S. & Rudnick, J.A. 1996. The New Source Book Teaching Reasioning
and Problem Solving in Junior and Senior High School. Massachussetts:
Allyn & Bacon.
Kurniasih, I & Berlin S. 2014. Rencana Proses Pembelajaran (RPP). Kata Pena:
Yogyakarta.
Lidinillah, D. A. M. Tanpa Tahun. Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem
Based Learning). http://file.upi.edu/Direktori/KD-
TASIKMALAYA/DINDIN_ABDUL_MUIZ_LIDINILLAH_(KD-
TASIKMALAYA)-
197901132005011003/132313548%20%20dindin%20abdul%20muiz%20li
dinillah/Problem%20Based%20Learning.pdf.
Liu, Min. 2005. Motivating Students Through Problem-based Learning.
University of Texas: Austin.
Miao, Y. et.al. (2000). PBL-protocols: Guiding and Controlling Problem Based
Learning Processes in Virtual Learning Environment. Mahwah, NJ:
Erlbaum. http://www.umich.edu/~icls/proceedings/pdf/Miao.pdf
Nasution, S. 2008. Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar & Mengajar.
Jakarta: Bumi Aksara.
Ngalimun. 2016. Strategi dan Model Pembelajaran Edisi Revisi. Yogyakarta:
Aswaja Pressido.
Rusman. 2014. Model-Model Pembelajaran. Depok: Raja Grafindo Persada.
s
Sani, RA. 2014. Pembelajaran Saintifik: Untuk Implementasi Kurikulum 2013.
Jakarta: Bumi Aksara.
Sanjaya, Wina. 2013. Strategi Pembelajaran Berorientasi Sandar Poses
Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sanjaya. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Panitia Sertifikasi
Guru Rayon 13 FKIP UNS Surakarta.
Sriwenda, A., Mulyani, B., Yamtinah, S. 2013. Penerapan Pembelajaran Problem
Posing untuk Meningkatkan Kreativitas dan Prestasi Belajar Siswa Pada
54

Materi Laju Reaksi Kelas XI IPA 5 SMA Negeri Boyolali Tahun Pelajaran
2012/2013. Jurnal Pendidikan Kimia. 2(02).
Stoyanova, E. Problem Posing Strategies used by years 8 and 9 students.
Susanto, Ahmad. 2014. Pengembangan Pembelajaran IPS. Prenadamedia Group:
Jakarta.
Suyatno. 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Sidoarjo: Masmedia Pustaka.
Syah. 2004. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT.
Remaja
Tan, Oon-Seng. 2003. Problem Based Learning Innovation: Using Problems to
Power Learning in the 21st Century. Thomson
Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara.
Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, Jakarta:
Kencana.
Trianto. 2014. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif. Jakarta:
Kencana.
Trianto. 2014. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.
Jakarta: Prestasi Pustaka.
Vena, Made. 2014. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi
Aksara.
Waters, R and McCracken, M. Tanpa Tahun. Assessment and Evaluation In
Problem Based Learning. Georgia Intitute of Technoloy : Georgia. (online).
https://wikifuse.pbworks.com/f/Waters+McCracken.pdf
Wena, Made. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Kotemporer. Jakarta: PT.
Bumi Aksara.
Yamin, M. 2013. Strategi & Metode dalam Model Pembelajaran. Jakarta: GP
Press Group.

Anda mungkin juga menyukai