Anda di halaman 1dari 13
& Dipindai dengan CamScanner perbedaan pandangan teoretis di kalangan penelitian kualitay namun satu hal yang jelas adalah mereka tidak mengacu pad, positivisme, tetapi lebih mengacu pada fenomenologis” (Moleory, 1994: 8), Sebagai klarifikasi pengantar bahasan, memang ada baryai tipe riset kualitatif, Meskipun demikian, enam poin berikut adalah citi yang umum ada dalam tiap tipenya, dan membedakanniy» dari riset kuantitatif, Karakteristik umum riset kualitatif dimakend disingkatkan di bawah ini, a, Latar Natural Kata ‘natural’ sering tergandeng dengan salah satu teknik penting pengumpul data kualitatif yaitu observasi ~ naturalistic observation. Karena pentingnya kedudukan sifat naturalistik dalam observasi ini maka ada penulis yang menamakan riset kualitatif dengan ‘naturalistic observation’ atau ‘natutalistric inquiry’ (Lincoln dan Guba, 1985). Latar natural atau alamiah, termasuk subjek dalam latar yang diteliti, menunjuk pada sifat asli atau apa adanya tempat berlangsung sesuatu fenomena atau peristiwa yang akan diteliti. = Berbeda dengan riset kualitatif, pada tradisi kuantitatif, ukuran taraf kecanggihan tiset justru pada sejauh mana peneliti dapat menatapkan ‘ubahan’ (variabel) melakukan ‘pengelolaan’ latar yaitu menyekat, membatasi, mengontrol, mengerahkan perlakuan terfentu yang jelas-tegas (terukur-teramati) pada suatu latar kemudian dilakukan pengamatan terhadap peristiwa atau fenomena pada subjek terteliti ~ misalnya pada riset eksperimental. Suatu riset kuantitatif yang tidak mampu menatapkan ‘ubahan’ melakukan pengeloladn latar secara ketat dipandang kurang ‘canggih’ dan agak ‘lemah’ secara ilmiah. Pada tradisi kualitatif, ada dasar keyakinan bahwa data asli hanya berasal dari peristiwa atau fenomena asli, alamiah, dari sumber pertama (asli, primer). Upaya hati-hati dilakukan peneliti 82 tarifteristif dan Orinsin @icet Yualitati® © Dipindai dengan CamScanner agar latar penelitian tetap apa adanya sebagaimana latar dan peristiwa itu berlangsung pada hari-hari lain sebelum adanya campur-tangan aktivitas penelitian; peneliti bersikap empatik secara netral. “Qualitative research uses the natural setting as the source of data, The researcher attempts to observe, describe and interpret settings as they are, maintaining what Patton calls an * empathic neutrality’ (dalam Hoepfl, 1997: 3). Dengan demikian, ‘tidak ada penetapan ubahan dan perlakukan ‘pengelolaan’ atau rekayasa, penyekatan, pembatasan, apalagi kontrol terhadap latar dan fenomena yang diteliti. Kehadiran aktor peneliti kualitatif di tengah-tengah aktor terteliti diupayakan sedemikian cara sehingga tampilan tindakan, perilaku dan ekspresi verbal aktor terteliti tidak dibuat-buat. b. Orientasi pada Keutuhan Sesuatu (Subjek) Terteliti Sejalan dengan prinsip ‘dapat diamati’ (obseroable) dan ‘dapat diukur’ (nieasurable) fenomena yang diteliti pada subjek dalam tradisi kuantitatif, maka dalam ancangan ini isu yang akan diteliti sudah dicanangkan adanya pembilahan secara tegas, secara parsial, isu penelitian ~ disebut ‘ubahan’ atau variabel. Pembilahan secara tegas itu dipandang akan menutup peluang “terkontaminasinya’ suatu isu penelitian yang akan dapat mengacaukan kecermatan pengamatan dan pengukuran. Ketika peneliti kuantitatif hendak mengamati dan mengukur ‘tingkat motivasi belajar’ dalam kaitannya dengan ‘prestasi akademik’ siswa, misalnya, dia akan mengabaikan informasi lain yang tidak masuk dalam konsep ‘tingkat motivasi belajar’ dan yang di luar konsep ‘prestasi akademik’. Misalnya, ada ungkapan siswa (data) bahwa ‘Saya tidak sarapan tiap pagi, mana-bisa saya berprestasi?!’ ~ lebih sebagai bagian dari konsep ‘kebiasaan hidup sehat’. Data ini akan diabaikan begitu saja sebab berada di luar lingkup isi ‘tingkat motivasi belajar’ beserta pedoman observasi yang disiapkan sebelumnya. Pedoman observasi yang terbuka akan membingungkan peneliti ketika mengolah data menjadi angka. Karakgerstik dan Crinsip Rjset Kualitatif 3 © Dipindai dengan CamScanner Kontrol situasi lapangan juga dilakukan untuk menyekat faktor- faktor lain yang mungkin bisa mengurangi kecermatan pengujian korelasi antara ‘tingkat motivasi belajar’ dan ‘prestasi akademik’. ‘Pada tradisi kualitatif, sebaliknya, Peneliti ae al senantiasa bersiap-siap dan terbuka reunghap atau menerima apapun informasi lapangan relevan yang dipandang terkait dengan isu khusus yang sudah dicanangkan untuk diteliti. Informasi lapangan dimaksud dapat berupa konteks, latar (setting), tipe orang, atau kelompok. Semangat ‘siap' dan ‘térbuka’ dimaksud, untuk menampung sifat utuh fenomena pada ‘subjek terteliti, tersurat pula dalam rencana penelitian. * In qualitative methodology the researchers looks at settings and people holistically; people, setting, or groups are not reduced to variables, but are viewed as a whole, The,qualitative researcher studies people in the context of their past and situations in which the find.themselves (Taylor dan Bogdan, 1984: 6). Misalnya, pada riset kualitatif dengan judul: “Dinamika motivasional dan prestasi akademik siswa”. Dalam hal ini, khususnya melalui interviu data pengamatan natural, data dapat berupa kata-kata siswa, misalnya “Saya tidak sarapan tiap pagi, ‘mana bisa saya berprestasi?!", atau “Guru sering tidak masuk!”, atau “Untuk apa capek-capek belajar, tokh nanti nganggur juga!”. Data lainnya, misalnya, tipe dan cara-cara pengajaran guru dan perilaku para siswa sebelumnya (proses), pengaruh teman sebaya (kelompok), ikhwal keasyikan siswa memainkan bola basket dan suasana bersemangat para siswa (perilaku teramati) di lapangan pada jam istirahat (setting), dan lain-lainnya, semuanya adalah data yang mungkin sekali penting untuk memberikan gambaran utuh ‘dinamika motivasional’ dan ‘prestasi akademik’ siswa yang diteliti. © Dipindai dengan CamScanner iri teruraikan di atas ini juga berlaku pada subjek penelitian dengan media bukan orang, seperti karya seni, artefaks, dan teks (tertulis), Dengan kata lain, riset kualitatif berorientasi pada keutuhan sesuatu (subjek) yang diteliti. c. Meyakini ‘Kausalitas’ Fenomena yang Bersifat Sirkuler Sejalan dengan sifat utuh fenomena dan subjek yang diteliti, riset kualitatif sangat yakin bahwa fenomena yang tercakup di dalam suatu konsep atau konstruk dan antara konsep atau konstruk satu dengan lain-lainnya senantiasa mempunyai kemungkinan keterkaitan timbal-balik, tidak ada yang mutiak bebas (‘independent variable’) atau yang mutlak terikat (‘dependent variable’). : Pada tradisi kuantitatif, setiap konsep atau konstruk diupayakan setegas mungkin tapal-batasnya, sediskret mungkin. Ciri-ciri yang ada dalam suatu konsep atau konstruk diupayakan sedemikian cara agar tetap berdiri sendiri untuk dapat diangkakan secara spesifik dan cermat. Contohnya, ‘tingkat motivasi belajar’ ditandai oleh ciri-ciri spesifik misalnya angka kehadiran dalam kelas sekolah, kecepatan hadir dalam hitungan menit, jumlah buku pelajaran yang dibaca, hitungan menit durasi membaca dalam sehari, dan seterusnya. Adalah hal yang dihindari dalam analisis riset kuantitatif untuk menilik lebih jawh (kecuali dalam diskusi temuan setelah kesimpulan dari analisis statistik) bagaimana keterkaitan tiap-tiap dari semua ciri yang ada dalam konsep atau konstruk ‘tingkat motivasi belajar’ tersebut. Jugaakan selalu dihindari secara kuat kemungkinan adanya keterkaitan tingkat motivasi belajar dengan banyak ‘variabel’ lain yang tidak ditetapkan sebelumnya. Variabel lain-lain itu, dalam riset kuantitatif, sedapat mungkin dikontrol sebelumnya, Pada tradisi kualitatif, sebaliknya, tiap fenomena dipandang potensial berkditan secara sirkuler, baik yang tercakup dalam suatu kategori konsep atau konstruk maupun fenomena yang berada dalam lingkup kategori lain. Demikian pula, diyakini Keanakyrisi dan Orinsp Rice Kuainacip $8 © Dipindai dengan CamScanner dahwa-adalah sangat potensial terjadi keterkaitan sirkuler antara banyak konsep atau konstruk. Ketika seorang peneliti kualitati berada di lapangan (analisis data lapangan, sambil mengumpulkan data), misalnya dalam isu tersebut di atas, akan dipikirkan secara hati-hati kemungkinan saling-terkait antara presensi sekolah, kecepatan hadir, jenis buku bacaan dan durasi membaca, dan seterusnya, berdasarkan pengkhayatan siswa. Begitupun dengan makna di balik ungkapan siswa seperti misalnya “Saya tidak sarapan tiap pagi, mana bisa saya berprestasi?!”, atau “Guru tidak pernah menerangkan, hanya mendiktekan bacaan!”, atau “Untuk apa cape-cape belajar, tokh nanti nganggur juga!”. Ungkapan siswa demikian itu selalu diperhitungkan dan dimasukkan dalam kategori konsep atau Konstruk lain; misalnya .’persepsi-diri’, ‘persepsi terhadap guru’, dan ‘orientasi masa depan’. Lebih penting lagi, sejalan dengan fokus penelitian atau rumusan pertanyaan riset, bahwa kategori lain ini dicermati kemungkinan - keterkaitan timbal-baliknya dengan ‘motivasi belajar’, dan dengan ‘prestasi akademik’. Oleh karena keyakinan akan sifat saling terkait antar- fenomena itulah maka isu riset yang’ dikaji, meskipun tetap terbatas/teridentifikasi, dirumuskan secara agak terbuka; misalnya dalam kasus di atas: “Dinamika motivasional dan prestasi akademik siswa”. Dengan demikian, dalam riset ‘ualitatif, semua data relevan sebagaimana contoh di atas syah masuknya.dalam pengumpulan dan analisis data laparigan. Dengan begitu pula, riset kualitatif sangat terbuka atau berpeluang menemukan inti masalah seputar motivasi dan prestasi akademik siswa-melalui hanya satu riset. “4, Meyakini Kehandalan Prosedur Logika Indultif Metode selaku jalan memahami dunia empiris atau. untuk membangun ilniu bekerja atas dasar dua tipe logika: logika deduktif dan logika induktif. Proses berpikir dalam penarikan Kesimpitan, dengan logia dediaktifmenyarankan peneliti bertolak Sc, Nori fon erin Rin Kaif © Dipindai dengan CamScanner pada kebenaran umum (disebut premis mayor, teori) dan dipasangkan dengan kebenaran khusus (premis minor, fakta lapangan) guna menarik sesuatu kebenaran‘ baru (kongklusi, simpulan), Kebenaran baru dari analisis data yang terkumpul digunakan untuk memeriksa unsur-unsur suatu teori. Metode riset kuantitatif lebih mengandalkan logika deduktif tersebut di atas. Riset kualitatif adalah induktif, dalam mana peneliti mengembangkan konsep, insight, dan pemahaman dari pola-pola di dalam data daripada mengumpulkan data untuk ‘menilik ke dalam’ model, hipotesis, atau teori. “Qualitative. research is inductive” (Taylor dan Bogdan, 1984: 5). Setelah memaparkan ciri positivistik riset kuantitatif, Edna Mora Szymanski dan Randall M. Parker menegaskan: “By contrast, qualitative data analysis is inductive” (2001: 460). Juga, ada keterangan “Qualitative researchers predominantly use inductive data analysis” (Hoepf, 1997: 3). Logika induktif merupakan prosedur berpikir yang menyarankan penarikan kesimpulan melalui (berawal pada) fenomena bersahaja, data-data kecil, kebenaran kecil, untuk diamati secara cermat, dipadu-padankan dengan kasus-kasus kecil lainnya, dan direfleksikan arti atau maknanya selaku sebuah kebenaranumum. Contoh sederhana: Burung yang tidak makan bisa mati; kambing yang tidak makan bisa mati; kuda yang tidak makan bisa mati; orang yang tidak makan bisa mati (‘fenomena bersahaja’, kebenaran kecil, premis minor). Burung, kambing, kuda, dan orang, semuanya adalah mahluk hidup (premis mayor). Semua mahluk hidup (jika) tidak makan (maka) akan mati (kongklusi, simpulan). Jika uraian deskriptif awam di atas ini diangkat ke tataran filosofis, maka orang berhadapan dengan dua kubu pemikiran penataan ilmu. Kubu kualitatif adalah di bawah payung pandangan keutamaan penginderaan tanda-tanda kecil dan ikonisitas yang mendasari imaji dari Plato (427 - 347) paralel dengan empirisme John Lock (1632 - 1704) berwujud ke dalam cara pencaritemuan induktif dari Francis Bacon (1561 - 1626). Kubu ini menggantikan kubu kuantitatif di bawah payutig, © Dipindai dengan CamScanner pandangan ‘ide’ dengan logika deduktif Aristoteles (384 - 322) berwujud ke dalam pandangan positivistik Auguste Comte (1789 ~ 1857) dan berujung pada sifat operasionalisme dan bentuk pengukuran perilaku a’la Skinnerian (Lih., Denzin dan Lincoln, 2000: 135; Sebeok, 1995: 11 - 15). Dalam operasionalisasi prosedur berpikir induktif ini dalam riset kualitatif, peneliti tidak lagi harus mengamati banyak kejadian, melainkan dari satu-dua kejadian saja ~ sepanjang intuisi dan imajinasi peneliti cukup tajam ~ sudah dapat dilakukan refleksi, penarikan makna, untuk abstraksi kesimpulan. Misalnya, contoh pertama, seorang peneliti kualitatif mengamati seorang anak agak kecil badannya dengan suara tegas dan lantang menyuruh temannya-yang agak lebih besar memanjat pohon mangga untuk memetik buah mangga dan temannya secara suka-rela menuruti kemauan anak yang badannya lebih kecil. Peneliti kualitatif yang intuitif dan imajinatif, mungkin tidak perlu menunggu banyak persitiwa séjenis untuk berkata bahwa “Ada daya atau pengaruh dari suara tegas dan lantang anak lebih kecil yang membuat patuh anak yang lebih besar”. Pada contoh lain, kedua, tampak pula seorang anak SD berbadan kecil dengan berkicak-pinggang membentak temannya yang berbadan lebih besar untuk Jari cepat-mengambil bukunya yang tertinggal dalam kelas. Teman yang lebih besar badannya ini menuruti saja perintah itu. Peneliti atau pengamat yang intuitif dan imajinatif tahu bahwa berkicak pinggang sambil membentak adalah salah satu wujud dari tindakan asertif, unjuk power. Beberapa sumber dan jenis daya pengauh lain segera akan diburu oleh peneliti yang tertarik pada dua kasus di atas ini. Dari dua contoh kasus itu, lebih jauh lagi, bisa direfleksikan sementara bahwa “Daya pengaruh atau power lebih ditentukan oleh keasertifan daripada oleh besarnya badan orang”. Berangkat dari sinilah, seorang peneliti kualitatif itu mencoba untuk menilik lebih dalam proposisi hipotetiknya ini dengan memperluas dan meragamkan kasus atau peristiwa pengamatan. Begitulah sederhananya logika induktif bekerja dalam sebuah riset kualitatif. 58 Rarokgerisi dn rinsp Rit Kuaheatif © Dipindai dengan CamScanner e. Berangkat dari Fakta-Kecil, Emic View Terlebih Dahula Konsep emtic, aslinya berasal dari konsep bahasa ‘phonemic’, akar katanya ‘phoneme’, Phoneme sendiri berarti sesuatu praktik suara-ucap sangat kecil dalam suatu bahasa yang membedakan satu kata dari lainnya; misalnya, dari bahasa arab dalam praktik pengucapan antara vokal ‘Q’ dan ‘K’ membuat perbedaan besar, sebagaimana dalam ‘qalb’ (hatinurani) dengan ‘kalb’ (anjing). Juga antara praktik pengucapan vokal ‘Z’ dan’S’ membuat perbedaan besar dalam makna, sebagaimana dalam zalim (sifat jahat, aniaya) dengan salim (sifat selamat). Lawannya, phonetic dalam bahasa bersangkutan dengan struktur lebih besar, lebih atas, yaitu tata- aturan bunyi (bukan praktik). Dengan kata lain, phonemic dalam bahasa adalah orientasi perhatian pada praktik suara-ucap sangat kecil. Studi phonology oleh Nicolaj Trubetzkoy ~ bertolak pada “the atomic structute of language” yaitu disebut ‘phonemics’ (dibedakan dari phonetics) ~ diartikan sebagai “studies the sounds of a language as functional elements in a system of form and content” (dalam Sebeok, 1995: 299). Dalam riset-kualitatif, dari segi keasliannya, kata asli ‘phonemic’ disingkat ‘emic’ sesungguhnya berarti pusat perhatian pada tindakan yang kecil-kecil, unsur terkecil penyusun struktur. Sebaliknya, dikatakan: “Phonetics is the study of the material sounds and their articulation in speech (parole) irrespective of their systemic Properties” (dalam Sebeok, 1995: 299). Dari kata asli ‘phonetic’, dalam kualitatif disingkat ‘etic’ ~ yang dalam studi bahasa berarti Pusat perhatian pada material bunyi dan artikulasinya ~ menjadi kajian yang bertolak pada tata-aturan, kaidah, atau struktur (ditetapkan ‘dari atas’, bukan penekanan pada praktik). Ahli riset kualitatif berorientasi bahasa yang ‘mereduksi’ term ‘phonetics’ menjadi ‘etic’ dan ‘phonemics’ menjadi ‘emic’ selaku dua pendekatan studi fenomena yang berlainan adalah Kennenth L, Pike. “Anetic (from ‘phonetic’) approach in nonstructural and studies phenomena in the surface structure, Emic is derived and ultimately from ‘systemic’. An emic approach to semiotic phenomena considers Karakgeristik,dan Crinsip Riset Kualitatsf $9 © Dipindai dengan CamScanner elements of sign systems with respect to their function within the code” (Sebeok, 1995: 300). Dalam riset kualitatif, ‘emic’ sebagai pendekatan penarikan simpulan adalah paralel dengan konsep induktif, mempertimbangkan unsur kecil dari sistem makna; kata ‘etic’ adalah paralel dengan konsep deduktif, pendekatan melalui pengkajian fenomena dari struktur permukaan. Dapat pula diartikan bahwa kata ‘emic’ adalah sejalan dengan pengertian bertolak pada ‘sudut pandang aktor terteliti’ (actor's point of view), sementara ‘etic’ sejalan dengan pengertian bertolak pada konstruksi peneliti, sifatnya normatif. Dengan demikian, riset kualitatif yang dikatakan lebih bertolak pada ‘emic view’ berarti bahwa ia lebih fokus memperhatikan peristiwa atau fenomena praktik kecil untuk direfleksikan dan diangkat maknanya ke tingkat lebih abstrak. Refleksi atau makna abstrak itu mungkin berupa suatu term, konsep atau konstruk atau bahkan proposisi yang bisa sama bisa pula lain dari konsepsi baku suatu ilmu. Ini berbeda dengan kuantitatif yang lebih mengutamakan titik tumpu pada konsepsi baku, aturan dari atas, yang ‘besar’, yaitu sesuatu yang akan diteliti untuk diamati fakta-fakta kecil pendukung yang masuk dalam lingkup pengertian konsep baku dimaksud. Namun demikian, dalam analisis dan abstraksi penelitian lebih jauh, peneliti kualitatif mungkin memadukan analisisnya dengan pandangan etik (etic view), terutama dalam penyunan tema-tema temuan. Suatu contoh pemaduan etik-emik dalam analisis dilakukan oleh Soetomo (2005: 38). Sudah tentu, peneliti kualitatif bukan menggunakan apa adanya tema-tema atau ian yang tersedia pada banyak literatur bidang yang kajiannya. Peneliti kualitatif menempatkan etic view sebagai pemberi inspirasi atau pembanding atas tema-tema yang lahir atas penghayatan keilmuannya sendiri. Peneliti kualitatif tetaplah mengandalkan interpretasi atas data dari praktik sehari-hari sebagai sumber penataan konsep, konstruk dan proposisi ilmu. 0 Xenapeitt Lan Crisp Rint Kralatf © Dipindai dengan CamScanner Dalam mengantarkan pendirian kehandalan interpretasi atas praktik sehari-hari sebagai sumber ilmu, Clifford Geertz menulis: Operasionalism as a methodological norm never made much sense so fir as the social science are concerned, and except for « view rather too well-swept corners ~ Skinnerian behaviorism, intelligence testing, and so on ~ it is largely dead now. But it had, for all that, an important point to make, which, however we may feel-about trying to difine charisma or alienation in term of operations, retains in certain force: if you want to understand what a science is, you should look in the first instance not its finding, and certainly not at what its apologists say about if; you should look at what the practitioners of it do (Geertz, 1973: 5). f. Lebih Berpatokan pada Pandangan Pelaku, Actor's Point of View . Sudah dituturkan bagaimana riset kuantitatif mengandalkan . prosedur logika deduktif. Sejalan dengan prosedur itu, riset kuantitatif juga selalu menarik masalah dari teori umum yang kebenarannya sudah diyakini banyak pihak. Term, konsep atau konstruk, dan proposisi (berupa hipotesis) selalu diturunkan dari teori tertentu; penyusunan masalah riset adalah terikat sebagai bagian suatu teori, berlandasan pada pandangan teoretisi tertentu, itulah yang diutamakan. Adapun pengamatan lapangan untuk menyusun proposal adalah nomor dua kedudukannya, hanyalah bagian dari upaya pengenalan guna mengetahui bahwa suatu masalah ada di lapangan dan pantas diteliti. Prosedur demikian ini adalah wujud lain dari pengembangan pemikiran deduktif. Pada tataran sudut tinjauan yang menjadi patokan riset, prosedur pemikiran seperti itu disebut pula sebagai “lebih berpatokan pada theorist’s point of view" atau “hypothetico- deductive”. Keyakinan kualitatif pada dasarnya adalah fenomenologis. Hal sentral bagi perspektif fenomenologis dan juga riset kualitatif adalah mengalami realitas sebagaimana orang-orang lain ~ Kerakgeristi€ dan Crinsip Riset Kyalitatif 61 © Dipindai dengan CamScanner mengalaminya, Para periset kualitatif menghayati (empathize) dan mengenali (identify) orang-orang yang mereka kaji dalam upaya memahami bagaimana mereka memandang sesuatu. “Qualitative researchers try to understand people from their own frame of reference” (Taylor'dan Bogdan, 1984: 6). Perspektif kualitatif atau fenomenologis meyakini bahwa perilaku manusia, apa yang orang katakan dan lakukan, merupakan produk dari bagaimana orang mendefinisikan dunia sekitarnya. “The task of phenomenologists and, for us, the qualitative methologists, is to capture this process of interpretation...., the phenomenologists attempts to sce things from other people's point of view” (Taylor dan Bogdan, 1984: 8-9). Roger Jones menegaskan adanya perbedaan pandangan dunia antara peneliti dan subjek terteliti, dan bahwa pandangan subjek terteliti-lah yang dijadikan patokan dalam interpretasi riset kualitatif. : Qualitative research begins by accepting that there is a range of different ways of making sense of the world and is concerned: with discovering the meanings seen by those who are being researched and with understanding their view of the world rather than that of the’ researchers (Jones, 1995, 2007). Maksud Jones: Riset kualitatif bertolak dari keyakinan bahwa ada serentang cara berlainan dalam pemberian arti dunia sekitar atau lingkungan dan (riset-kualitatif itu) lebih berurusan dengan mencaritemukan makna yang dipahami oleh mereka yang sedang diteliti dan (lebih berurusan) dengan memahami pandangan mereka mengenai dunia sekitar atau lingkungan mereka daripada makna dan pemahaman peneliti semata mengenai hal itu. Dengan demikian, pelaksanaan riset kualitatif, lain dari riset kuantitatif, lebih berpatokan pada eksistensi empiris, lapangan atau fenomena empirik dalam pandangan subjek terteliti. Banyak riset kualitatif yang bahkan tidak peduli apakah suatu isu riset yang dipandang penting sudah ada teori untuk menjelaskannya ataukah belum ada. Adapun kegiatan melacak teori, akan 82 Xpratjensit an @rinsp Rist Kralttif © Dipindai dengan CamScanner dijelaskan lagi di bagian akhir bab ini, adalah upaya penguasaan, isu dan alat argumentasi bagi pembenaran pemilihan isu penelitian; atau seringkali intuk memudahkan menampung data, refleksi, makna, dalam kategori yang mudah disepakati komunitas ilmuwan. Aplikasi dari pernyataan berpatokan pada pandangan pelaku, actor’s point of view, ditunjukkan berikut ini. Pengamatan awal dalam kancah atau lapangan adalah pertama dan utama dalam perencanaan riset kualitatif. Pandangan aktor terteliti, sumber pertama,.berwujud kata dan tindakan, atau barang- barang produksi, dan kelengkapannya, adalah patokan penting penyusunan masalah. Pandangan, penghayatan dan pemahaman sementara aktor peneliti mengenai yang, diamatinya di lapangan adalah hal penting lain bagi pemilihan fokus isu dan perumusan masalah penelitian. Pendirian bahwa ‘sudut- pandang aktorlah yang utama’ secara konsisten dipegang oleh peneliti kualitatif sampai pada analisis dan penyimpulan penelitian. Pendirian ini, dan hal-hal lain yang diringkaskan di atas, akan diuraikan secara lebih kongkret lagi dalam banyak tempat pada bahasan lebih lanjut. Sebagai penutup bagian ini, juga sebagai informasi pengayaan, bagus diperhatikan kutipan yang menyuratkan perbedaan riset kuantitatif dengan kualitatif di Secara khusus, ada kesamaan ‘lima madel kualitatif’ ~ Etnografi, Riset/Teori Grounded, Hermeneutik, Fenomenologi Empiris, dan Heuristik ~ yang membedakannya dengan riset kuantitatif. Kesamaan dimaksud, yang agaknya berlaku bagi hampir semua tipe kualitatif, adalah sebagai berikut (Moustakas, 1994.: 21): 1). Mengakui nilai-manfaat rancangan dan metodologi kualitatif, mengkaji pengalaman manusia yang tidak dapat diancang melalui ancangan kyantitatif, | Krista rnp ist aay © Dipindai dengan CamScanner

Anda mungkin juga menyukai