Disusun oleh:
KARMILA S.
213030212270
Suatu ketika, ada 6 orang sahabat sedang berbincang-bincang di sebuah kafe. Mereka
adalah sekelompok pemuda yang berasal dari kalangan orang kaya.
Brandon : Pesennya banyak deh! Nantiaku yang bayar. Pokoknya kalian harus makan
sampe kenyang.
Anna: Ya jelas mau lah! Hari ini kan giliran kamu dan keluar duit.
Tidak lama kemudian Elsa datang mendekati meja dimana mereka duduk. Ia baru
pamitdari toilet untuk menerima telepon.
Anna: Elsa kenapa? Kok sedih? Pamali loh sabtu-sabtu mu rung gitu!
Ivan: Iya ken apa sih, Sa? Apakah kamu bisa hilang?Brandon dan Tommy tertawa
menimpali lelucon Ivan tesebut.
Elsa: Mamaku menelepon. Dia bilang papaku bangkrut. Semua rumah, mobil
dantabungan di bank ludes. (Terisak pelan) kami harus pindah ke tempat tinggal yang
lebih kumuh. Parahnya lagi semua kebangkrutan ini karena papa terlibat kasus korupsi
dan sekarang dia menjadi polisi buronan (Menangis)
Brandon, Ivan, Anna dan Tommy memasang raut muka tegang dan memandang hina ke
pada Elsa yang sedang menangis.
Elsa: Aku sudah nggak punya apa-apa sekarang, tapi kalian masih mau kan temenan
sama aku? Kita bisa berteman sejak lima tahun lalu.
Anna menjauh dari kursinya yang tadi berada di dekat kursi Elsa. Ia merapat ke arah
Brandon yang berada disebelahnya.
Anna: Ya, kamu tahu sendiri lah, Sa kita ini sekelompok pemuda-pemuda kaya. Jadi,
mana mungkin kamu bisa menuruti gaya hidup kita?
Tommy: Mending kamu pulang dan tengok keadaan orang tuamu, Sa.
Ivan dan Brandon hanya memandang dingin kearah Elsa. Elsa pun menatap mereka
dengan tatapan yang sangat menyedihkan.
Elsa: Kupikir persahabatan kita selama lima tahun ini berarti. Tetapi ketika aku jatuh
miskin, kalian meninggalkanku begitu saja!
Brandon : Sudahlah, Sa. Pulanglah. Betul tadi apa kata Tommy. Sudah bagus
makananmu ku bayari!
Elsa bangkit berdiri dari kursinya kemudian menatap sedih keempat temannya.
Kemudian ia meninggalkan mereka dan keluar dari kafe.
Ivan: Gila si Elsa, masa kita disuruh anggep dia teman sih. Sementara dia sudah melarat.
Aku jadi nggak nafsu makan.
Tiba-tiba Anna yang sudah hampir sampai ke mobilnya, berlari mendekati Brandon dan
Ivan.
Anna: Teman-teman! Barusan aku dapat kabar kalo ada seorang gadis yang ciri-cirinya
mirip Elsa ingin melompat dari fly over!
Ivan: Serius?!
Anna: Masa kayak gini bohong? Coba cek handphone kalian! Brandon dan Ivan
memeriksa ponsel masing-masing dan menerima kabar yang sama dari siaran pesan.
Brandon : Yuk, kita langsung ke fly itu! Kamu bareng kita aja, Anna! Hubungi Tommy,
suruh dia langsung kesana.
Anna, Ivan dan Brandon masuk ke dalam mobil. Brandon mengemudikan mobil kearah
fly over tempat dimana Elsa ingin bunuh diri. Tiba-tiba di separuh perjalanan, handphone
Ivan berbunyi dan raut muka Ivan berubah menjadi sangat tegang.
Ivan: Teman-teman…. Kita terlambat. Elsa melompat dari fly over tersebut dan dia tewas.
Ivan: Kita langsung ke Rumah Sakit Permata Biru aja, jenazah Elsa dibawa kesana.
Brandon menarik nafas panjang ke mudia mengemudikan mobilnya kearah rumah sakit
itu.
Sesampainya di sana, mereka bertiga berlari dan didepan ruang jenazah sudah ada ibu
dan Helen, kakak Elsa yang duduk membisu.
Anna: Kak, maafkan kami. Ini semua salah kami. Kalau kami kasih support ke Elsa, pasti
jadinya tidak akan seperti ini. Tetapi kami malah meninggalkan Elsa begitu saja saat ia
membutuhkan kami.
Helen membalas pelukan Anna dan mengusap punggung Anna dengan lembut. Helen
tidak dapat menahan air matanya.
Helen: Sudahlah, kami sudah memaafkan kalian. Ini semua sudah digariskan oleh Yang
Maha Kuasa. Aku cuma memohon agar kalian terus mendoakan Elsa agar ia tenang di
sana.
Brandon dan Ivan terkesiap menatap Helen yang tidak marah kepada mereka dan malah
memaafkannya.
Ivan: Kami mohon maaf sebesar-besarnya, Kak. Kami pasti terus mendoakan Elsa.
Helen: Tidak perlu minta maaf terus menerus, Van. Elsa hanya tidak kuat menerima
kenyataan bahwa kami semua jatuh miskin. Aku sangat mengerti karena sejak kecil ia
hidup dengan bergelimang harta.
Brandon, Ivan dan Anna takjub akan kebesaran hati Helen dan semenjak itu mereka
bertekad untuk lebih menghargai orang lain dan menggunakan uang sebagai tolak ukur.