Anda di halaman 1dari 27

BAB III

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI

A. Pengkajian Fisioterapi

Pemeriksaan merupakan komponen yang penting dalam manajemen

penatalaksanaan fisioterapi. Bertujuan untuk menegakkan diagnosis dan pedoman

dalam pelaksanaan terapi terhadap keluhan yang dialami pasien.

1. Anamnesis

Anamnesis adalah tanya jawab atau wawancara mengenai suatu penyakit yang

diderita oleh pasien. Gejala atau symptom yang diungkapkan oleh pasien merupakan

informasi yang penting di dalam proses membuat diagnosis, yang akan memberikan

petunjuk untuk memahami adanya kelainan. Berdasarkan dengan siapa mengadakan

tanya jawab, ada 2 macam anamnesis yaitu auto anamnesis dan hetero anamnesis.

Pada pemeriksaan ini penulis melakukan wawancara secara hetero anamnesis.

a. Anamnesis umum

Data yang didapat dari anamnesis umum meliputi: (1) nama: Tn. R, (2) umur:

78 tahun, (3) jenis kelamin: laki-laki, (4) agama: Islam, (5) pekerjaan: petani, (6)

alamat: Bamban 03/04, Bancak, Semarang

b. Anamnesis khusus

1) Keluhan utama

27
28

Hasil anamnesis keluhan utama pasien yaitu pasien mengeluhkan sesak napas,

batuk berdahak, dan badan lemas.

2) Riwayat penyakit sekarang

Hasil anamnesis riwayat penyakit sekarang didapatkan data bahwa pada

bulan Oktober pasien pertama kali mengalami sesak napas yang dialami selama 2

kali. Kemudian pada tanggal 06 November 2019 pasien mengeluhkan badannya

lemas dan demam, sesak napas dan disertai batuk berdahak. Kemudian pasien dibawa

ke Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga dan dirawat inap.

3) Riwayat penyakit dahulu

Hasil anamnesis riwayat penyakit dahulu diperoleh bahwa pasien mengalami

Congestive Hearth Failure (CHF) dengan Atrial Fibrillation (AF).

4) Riwayat penyakit penyerta

Hasil anamnesis riwayat penyakit penyerta diperoleh bahwa pasien menderita

CHF dengan AF dan PPOK eksaserbasi akut.

5) Riwayat pribadi

Hasil anamnesis riwayat pribadi diperoleh bahwa pasien merupakan seorang

petani yang mempunyai riwayat merokok.

6) Riwayat keluarga

Hasil anamnesis riwayat keluarga diperoleh hasil bahwa tidak ada anggota

keluarga yang menderita penyakit serupa.


29

c. Anamnesis sistem

Berdasarkan hasil anamnesis sistem didapatkan data yang berkenaan dengan

penyakit pasien antara lain: (1) kepala & leher: tidak ada keluhan, (2) kardiovaskuler:

pasien mengeluh nyeri dada atau angina, (3) respirasi: pasien mengeluh sesak napas

dan batuk berdahak, (4) gastrointestinalis: tidak ada keluhan, (5) urogenitalis: tidak

ada keluhan, (6) muskuloskeletal: adanya spasme pada otot intercostalis, (7)

nervorum: tidak ada keluhan.

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan vital sign, inspeksi,

palpasi, perkusi, auskultasi, pemeriksaan gerak dasar dan pemeriksaan spesifik.

a. Vital sign

Pemeriksaan vital sign meliputi:

1) Tekanan darah

Tekanan darah diukur dengan menggunakan alat pengukur tekanan darah

yang disebut tensimeter. Pengukuran tekanan darah dilakukan sebelum pemberian

tindakan fisioterapi. Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan di 2 tempat yaitu di

lengan atas (arteria brachilis) dan di paha (arteria poplitea). Langkah-langkah

mengukur tekanan darah adalah posisikan pasien tidur terlentang di bed secara rileks

dan bebaskan lengan dari pakaian, pasang manset dengan dibalutkan pada lengan atas

kanan secara rata dan rapat dan tidak menekan jaringan yang ada dibawahnya dengan

jarak kurang lebih 2 cm dari fossa cubiti, palpasi atau raba arteri brachialis, letakkan
30

stetoskop di atas arteri brachialis, pompa tensimeter sampai denyut nadi tidak

terdengar, dengan perlahan-lahan kendorkan kancing tensimeter sambil dengarkan

dan lihat jarum sehingga dapat mengetahui kapan denyut saat detik pertama dan detik

terakhir. Pada pasien didapatkan hasil tekanan darah adalah 120/90 mmHg

(prehypertension).

TABEL 3.1

NILAI TEKANAN DARAH

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


Normal < 120 < 80
Prehypertension 120-139 80-89
Stage 1 hypertension 140-159 90-99
Stage 2 hypertension ≥ 160 ≥ 100
Isolated systolic ≥ 160 ≤ 90
hypertension
Sumber : Hudaya, (2012)

2) Denyut nadi

` Pemeriksaan denyut nadi dilakukan secara manual pada arteri radialis.

Langkah-langkah pemeriksaan denyut nadi adalah posisikan pasien senyaman

mungkin, palpasi arteri radialis pada lengan bawah menggunakan 3 jari, hitung

berapa kali denyut nadi selama 1 menit. Denyut nadi normal pada orang dewasa

berkisar 60-90 per menit. Pada pasien pemeriksaan denyut nadi didapatkan hasil 65

kali per menit (normal).


31

3) Pernapasan

Pemeriksaan pernapasan dilakukan secara manual dengan melihat pernapasan

yang dominan dari pasien. Prosedur pemeriksaan pernapasan adalah posisikan pasien

senyaman mungkin, hitung frekuensi pernapasan pasien dengan melihat pola

pernapasan selama 1 menit. Frekuensi normal pada laki-laki dewasa 18-22 kali per

menit, pada wanita dewasa sedikit lebih cepat, pada anak-anak bisa sampai 40 kali

per menit (Hudaya, 2012). Pada pasien pemeriksaan pernapasan didapatkan hasil 30

kali per menit maka hasilnya adalah pasien mengalami dispnea.

4) Suhu tubuh

Pemeriksaan suhu tubuh diukur dengan menggunakan alat yang disebut

termometer. Pengukuran dapat dilakukan secara axillar. Suhu tubuh normal adalah

36˚C-37˚C. Pada pasien pemeriksaan suhu tubuh didapatkan hasil 36,3˚C maka suhu

tubuh pasien normal.

5) Tinggi badan

Pemeriksaan tinggi badan menggunakan meteran, pasien berdiri tegak pada

dinding dan tumit menempel pada dinding lalu ukur tinggi pasien dari ujung kaki

sampai ujung kepala. Pada pemeriksaan tinggi badan didapatkan hasil 170 cm.

6) Berat badan

Pemeriksaan berat badan dilakukan dengan menggunakan timbangan, pasien

diminta menimbang lalu catat hasilnya. Pada pemeriksaan tinggi badan didapatkan

hasil 55 Kg.
32

b. Inspeksi

Inspeksi dibedakan menjadi 2 yaitu inspeksi statis dan inspeksi dinamis. Hasil

inspeksi statis didapatkan hasil berupa: terpasang infus dan oksigen, tidak ada

sianosis, bentuk dada adalah barrel chest, pasien mengalami batuk, postur tubuh

pasien kifosis, wajah pucat, adanya clubbing finger. Sedangkan hasil inspeksi dinamis

didapatkan hasil berupa: pola pernapasan lebih dominan pernapasan dada, pernapasan

cepat dan dangkal.

c. Palpasi

Pemeriksaan dimana terapis merasakan ukuran, tekstur, kekuatan, letak

sesuatu. Dari palpasi didapatkan hasil berupa: suhu tubuh teraba normal, ekspansi

dada berkurang, lebih dominan menggunakan pernapasan dada, adanya spasme pada

otot intercostalis.

d. Perkusi

Pemeriksaan dimana terapis mengetuk permukaan tubuh dengan jari tangan

untuk mengetahui keadaan organ-organ didalam tubuh. Dibandingkan kedua sisi di

zona atas, tengah, dan bawah pada dada. Dari perkusi terdengar suara redup pada

segmen lateral basal paru kanan lobus bawah.

e. Auskultasi

Auskultasi adalah pemeriksaan dengan cara mendengarkan menggunakan

stetoskop. Dari pemeriksaan auskultasi terapis dapat mendengarkan suara pernapasan

yang normal atau patologis, untuk mengetahui lokasi mukus yang terakumulasi. Hasil
33

yang diperoleh dari auskultasi yaitu terdengar suara wheezing dan ronchi pada

segmen lateral basal paru kanan lobus bawah.

f. Pemeriksaan gerak dasar

1) Pemeriksaan gerak dasar aktif

Pada pemeriksaan ini pasien diminta untuk menggerakkan anggota badannya

secara mandiri. Hasil yang diperoleh adalah pasien mampu menggerakkan bahu dan

leher secara mandiri tetapi ada keterbatasan gerak saat fleksi bahu.

2) Pemeriksaan gerak pasif

Pada pemeriksaan ini pasien menggerakan anggota badannya dengan bantuan

terapis. Hasil yang diperoleh adalah terdapat keterbatasan gerak fleksi bahu karena

adanya nyeri.

3) Pemeriksaan gerak isometrik

Tidak dilakukan pemeriksaan gerak isometrik.

g. Pemeriksaan kognitif, intrapersonal, interpersonal

Pemeriksaan kognitif diketahui bahwa pasien memiliki daya ingat yang sudah

tidak baik. Pemeriksaan intrapersonal diketahui pasien mempunyai keinginan untuk

sembuh. Pemeriksaan interpersonal diketahui pasien tidak mampu berkomunikasi

secara baik dengan terapis, sehingga membutuhkan pengulangan instruksi saat terapi.

h. Kemampuan fungsional dasar dan lingkungan aktivitas

1) Kemampuan fungsional dasar


34

Dari hasil pemeriksaan fungsional dasar didapatkan pasien mampu miring ke

kanan dan kiri secara mandiri tetapi memerlukan bantuan untuk duduk, berdiri, dan

berjalan.

2) Aktivitas fungsional

Dari hasil pemeriksaan aktivitas fungsional didapatkan pasien memerlukan

bantuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri dan aktivitas sehari-hari.

3) Lingkungan aktivitas

Dari hasil pemeriksaan lingkungan aktivitas didapatkan hasil lingkungan

rumah pasien mendukung kesembuhan karena tidak ada tangga dan tidak ada

keluarga yang merokok.

3. Pemeriksaan spesifik

Pemeriksaan spesifik adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk memperoleh

informasi yang lebih lengkap yang belum tercakup dalam pemeriksaan fungsi dasar.

a. Pemeriksaan nyeri dengan Visual Analogue Scale

Pemeriksaan Visual Analogue Scale (VAS) ini mengukur derajat nyeri dengan

menunjukkan satu titik pada garis skala nyari 0-10 cm. Salah satu ujung titik

menunjukkan tidak nyeri dan ujung satu menunjukkan nyeri tidak tertahankan. Pasien

diminta untuk mendeskripsikan nyeri yang dirasakan dengan cara menunjukkan skala

nyeri yang telah ditunjukkan diatas (Pudjiastuti & Utomo, 2003). Pada pemeriksaan

ini didapatkan hasil nyeri diam, nyeri tekan, dan nyeri gerak. VAS digunakan untuk

mengukur derajat nyeri pada otot pernapasan. Hasil dari pemeriksaan ini yaitu: nyeri
35

diam saat posisi berbaring: 3,4 cm, nyeri tekan pada intercostalis: 4,9 cm, nyeri gerak

saat fleksi shoulder: 6,7 cm.

b. Pemeriksaan derajat sesak napas dengan skala BORG

Pemeriksaan skala BORG digunakan untuk mengukur derajat sesak napas

sebelum dan sesudah latihan. Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui sesak napas

yang dirasakan pasien bertambah atau berkurang.

TABEL 3.2

DERAJAT SESAK NAPAS MENURUT SKALA BORG


Skala Derajat Sesak Napas
0 Tidak ada sesak napas
0,5 Sangat, sangat sedikit
1 Sangat sedikit
2 Ringan
3 Sedang
4 Agak berat
5 Parah (berat)
6
7, 8, 9 Sangat parah
10 Sangat, sangat parah
Sumber: McConnel (2013)

Hasil pemeriksaan derajat sesak napas dengan skala BORG diperoleh nilai 5

(parah atau berat).


36

TABEL 3.3

DERAJAT BERAT AKTIVITAS MENURUT SKALA BORG

Skala Derajat Berat Aktivitas


6 Setara dengan berbaring
7 Sangat, sangat ringan
8
9 Sangat ringan
10
11 Masih wajar
12
13 Sedikit berat
14
15 Berat
16
17 Sangat berat
18
19 Sangat, sangat berat
20 Aktivitas paling berat
Sumber: Trisnowiyanto, (2012)

Hasil pemeriksaan skala BORG untuk pengukuran derajat berat aktivitas

diperoleh nilai 13 (sesak sedikit berat).

c. Pemeriksaan ekspansi sangkar thoraks

Pemeriksaan ekspansi sangkar thoraks digunakan sebagai faktor penentu

pengembangan paru dengan mengukur menggunakan alat yang disebut pita ukur.

Dari pemeriksaan ini terapis dapat mengetahui gangguan mobilisasi thoraks ke arah
37

inspirasi atau ekspirasi. Prosedur pengukuran dilakukan pada axilla, intercostalis 4,

dan procesus xypoideus. Terapis melingkarkan pita ukur dan meminta pasien untuk

menghirup napas maksimal dan menghembuskan napas maksimal. Kemudian terapis

menghitung selisih antara inspirasi maksimal dan ekspirasi maksimal tersebut.

Pemeriksaan dikatakan normal jika hasil selisih berkisar 3,5-5 cm (Huriah &

Ningtyas, 2017).

TABEL 3.4

EKSPANSI SANGKAR THORAKS

Acuan Inspirasi Ekspirasi Selisih


Axilla 78,3 cm 76,7 cm 1,6 cm
Intercostalis 4 90,7 cm 89,7 cm 1 cm
Proc. Xypoideus 70,3 cm 69,3 cm 1 cm
Sumber: Data Primer (2019)

Hasil pemeriksaan ekspansi sangkar thoraks dengan menggunakan pita ukur

didapatkan hasil yaitu penurunan ekspansi sangkar thoraks pada axilla, intercostalis

4, processus xypoideus.

d. Pemeriksaan kemampuan toleransi aktivitas

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunkan six minute walking test.

Pemeriksaan ini dilakukan di jalur yang sudah ditetapkan. Pasien diminta untuk

berjalan sesuai jalur tanpa bicara. Pemeriksaan dilakukan selama 6 menit, cek tekanan

darah, pernapasan, denyut nadi di awal dan akhir. Sediakan tempat duduk untuk

pasien istirahat. Pemeriksaan kemampuan toleransi aktivitas pasien pada tanggal 12


38

November 2019, kondisi umum pasien kurang baik dengan nilai derajat sesak napas 5

(sesak parah) dan nilai derajat berat aktivitas 13 (sesak sedikit berat), sehingga tidak

dilakukan pemeriksaan kemampuan aktivitas fungsional menggunakan six minute

walking test dikarenakan kondisi pasien yang tidak memungkinkan.

B. Problematika Fisioterapi

Menurut International Classification of Functional Disability and Health

(ICF-DH-10) problematika fisioterapi ada 3 yaitu Impairment, Functional limitation,

dan Participation retriction.

1. Impairment

Impairment adalah gangguan yang terjadi pada jaringan tubuh. Impairment

yang timbul adalah adanya sesak napas (b4402 depth of respiration), adanya

hipersekresi mukus (b4408 respiration functions, other specified), pola pernapasan

tidak normal (b4400 respiration rate), adanya batuk (b4408 respiration functions,

other specified), adanya nyeri dada (b4459 respiratory muscle functions,

unspectified), adanya spasme otot intercostalis (s43038 muscle of respiration,

unspecified).

2. Functional limitation

Functional limitation adalah gangguan penurunan aktivitas. Gangguan yang

dialami pasien pada kasus ini adalah pasien mudah merasa lelah, penurunan kapasitas
39

fisik dalam beraktivitas sehari-hari seperti berjalan ke kamar mandi membutuhkan

bantuan (d4500 walking short distance).

3. Participation restriction

Participation retriction adalah gangguan yang terjadi pada aktivitas

fungsional. Problematikanya adalah pasien tidak mampu bersosialisasi di masyarakat

karena masih di rawat inap (d779 particular interpersonal relationship, other

specified and unspectified).

C. Tujuan Fisioterapi

1. Tujuan jangka pendek

Tujuan jangka pendek yaitu tujuan yang dicapai dalam waktu dekat, meliputi

mengurangi sesak napas, membersihkan jalan napas, memperbaiki pola napas,

mengurangi batuk, mengurangi nyeri dada, mengurangi spasme, pasien mampu

melakukan aktivitas fungsional secara mandiri dengan bantuan minimal.

2. Tujuan jangka panjang

Tujuan jangka panjang adalah tujuan yang dicapai dalam waktu lama yaitu

meningkatkan kemampuan aktivitas fungsional pasien.

D. Teknologi Intervensi Alternatif

Teknologi intervensi yang dapat digunakan dalam kasus pneumonia adalah

ACBT, deep breathing exercise, huffing, postural drainage, segmental breathing


40

exercise, nebulizer, infra red, clapping, latihan batuk efektif. Dalam kasus ini

modalitas yang digunakan adalah nebulizer, postural drainage, clapping, latihan

batuk efektif, deep breathing exercise dengan kombinasi pursed lip breathing.

E. Pelaksanaan Tindakan Fisioterapi

Berdasarkan dengan problematika fisioterapi yang telah dijelaskan. Maka

program tindakan fisioterapi adalah nebulizer, postural drainage, clapping, latihan

batuk efektif, deep breathing exercise dengan kombinasi pursed lip breathing.

1. Nebulizer

Nebulizer adalah suatu alat yang dapat mengubah obat dalam bentuk cairan

menjadi uap atau aerosol agar dapat dihirup.

a. Persiapan alat

Siapkan satu set nebulizer, masker nebulizer dan obat yang akan digunakan.

Pastikan kabel sudah terpasang di stop kontak. Lalu masukan obat ke nebulizer.

b. Persiapan pasien

Posisikan pasien senyaman mungkin dan pasang masker pada pasien,

kemudian jelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien.

c. Pelaksanaan terapi

Apabila pasien sudah siap, tekan tombol “ON” dan minta pasien untuk tarik

napas lewat hidung lalu dihembuskan lewat mulut. Penguapan ini dilakukan sampai

obat habis, lalu matikan dengan menekan tombol “OFF”. Terapi ini dilakukan selama
41

3-10 menit. Apabila akan dilakukan lagi nebulasi disarankan diberi jeda waktu 15-20

menit (Tanto, 2014).

2. Postural drainage

Setelah dilakukan pemeriksaan auskultasi maka akan diketahui dimana letak

mukus berada. Postural drainage adalah penempatan posisi pasien yang benar dan

membawa udara agar tekanan dalam rongga dada lebih rendah dari tekanan atmosfer

sehingga udara dapat bergerak ke paru saat inspirasi. Tujuan dari postural drainage

adalah mengeluarkan apa saja yang terkumpul dalam rongga pleura agar rongga

pleura normal (Muttaqin, 2008).

Prosedur pelaksanaan postural drainage adalah terapis berada di samping bed

pasien. Pasien berada di bed. Terapis menentukan posisi pasien dengan benar sesuai

dengan letak mukus yang didapat dari hasil pemeriksaan. Pasien diposisikan

berbaring miring ke kiri pada posisi trendelenburg dengan kaki bed ditinggikan 45

sampai 50 cm. Dikarenakan bed di rumah sakit tidak memungkinkan untuk

diposisikan trendelenburg, maka terapis memodifikasi posisi pasien berbaring miring

ke kiri dengan diganjal bantal pada pinggang sampai kaki. Postural drainage

dilakukan selama 10-20 menit untuk orang dewasa (Wong, 2000). Dalam satu hari

bisa dilakukan pengulangan postural drainage 2-3 kali (Hussein, 2011). Ditambah

dengan metode clapping dengan waktu 3-5 menit pada segmen tersebut (Watchie,

2010).
42

Gambar 3.1
Pelaksanaan postural drainage (Data primer, 2019)

3. Clapping

Tujuan dari clapping adalah untuk membantu mengeluarkan dahak dengan

memberikan getaran pada dinding thoraks yang akan ditransmisikan ke jaringan paru

untuk menimbulkan getaran pada saluran napas.

a. Persiapan pasien dan terapis

Posisikan pasien senyaman mungkin di bed dan dijelaskan prosedur yang

akan dilakukan.

b. Pelaksanaan terapi

Terapis berada disamping bed dan posisi tangan membentuk seperti mangkok.

Kemudian terapis menepuk-nepuk pada segmen yang terdapat sekresi mukus.


43

Clapping dilakukan dengan kecepatan 100-300 kali tiap menit (Dean, 2002).

Clapping dilakukan selama postural drainage.

Gambar 3.2
Pelaksanaan clapping (Data primer, 2019)

4. Latihan batuk efektif

Batuk efektif adalah suatu metode batuk dengan benar, dimana pasien dapat

menghemat energi sehingga tidak mudah lelah mengeluarkan dahak secara maksimal

(Karmain, 2011, dikutip oleh Rivaldi, 2018).

a. Persipan pasien

Posisikan pasien duduk senyaman mungkin lalu terapis menjelaskan prosedur

yang akan dilakukan.


44

b. Pelaksanaan terapi

Prosedur pelaksanaannya adalah mengambil napas secara pelan dan keluarkan

napas secara perlahan selama 3-4 detik, tarik napas kembali secara pelan, tahan

selama 3 detik untuk mempersiapkan melakukan batuk, angkat dagu sedikit ke atas

dan gunakan otot perut untuk mengeluarkan napas cepat sebanyak satu kali hal ini

membantu epiglotis terbuka dan mempermudah pengeluaran mukus dan pasien

diminta untuk membatukkan dengan kuat, kontrol napas, kemudian ambil napas pelan

dan keluarkan perlahan. Lakukan pengulangan dengan dua kali pengeluaran napas

cepat (Putri and Soemarno, 2013). Istirahat 2-3 menit kemudian diulangi kembali

untuk latihan mulai dari langkah awal (Nugroho & Kristiani, 2011).

Gambar 3.3
Pelaksanaan latihan batuk efektif (Data primer, 2019)
45

5. Deep breathing exercise dengan kombinasi pursed lip breathing

Deep breathing exercise dimaksudkan untuk melatih cara bernapas ketika

terjadi sesak napas karena pasien sesak cenderung tegang yang membuat pasien tidak

dapat mengatur pernapasannya sehingga mengakibatkan bertambahnya penyempitan

pernapasan di bronkus (Windarti, 2011, dikutip oleh Rivaldi, 2018). Pursed lip

breathing merupakan salah satu teknik latihan pernapasan yang melibatkan

pernapasan melalui perlawanan yang diciptakan dengan penyempitan bibir. Pursed

lip breathing meningkatkan volume tidal dan volume akhir ekspirasi paru dan

dampaknya adalah meningkatkan kapasitas otot-otot pernapasan untuk memenuhi

kebutuhan dalam memberikan tekanan pernapasan (Ambrosino & Serradori, 2006).

Pada saat melakukan pernapasan otot inspirasi mengeluarkan energi yang lebih

sehingga terjadi spasme pada otot tersebut, maka dengan modalitas breathing

exercise energi yang dikeluarkan oleh otot dapat berkurang karena terjadi rileksasi

(Rab, 2010). Pursed lip breathing ini dilakukan bersamaan dengan deep breathing

exercise.

a. Persiapan pasien

Posisikan pasien senyaman mungkin lalu terapis menjelaskan prosedur yang

akan dilakukan.

b. Pelaksanaan terapi

Terapis memberikan stimulasi pada thoraks dengan tangannya untuk

merangsang penambahan ekspansi sangkar thoraks, pasien diminta untuk menarik

napas sedalam mungkin melalui hidung, pasien harus mengembangkan perutnya,


46

kemudian hembuskan napas melalui mulut dengan perlahan dan dalam keadaan bibir

mengerucut seperti meniup makanan panas. Diakhir ekspirasi terapis memberikan

penekanan pada bagian lateral dari lower costae. Latihan ini dilakukan 6-8 kali

pengulangan, istirahat 2 menit selama 15 menit.

Gambar 3.4
Pelaksanaan deep breathing exercise dengan kombinasi pursed lip breathing (Data
primer, 2019)

F. Edukasi

Program edukasi yang diberikan kepada pasien dan keluarga pasien karena

peran keluarga menjadi penting, mengingat kognitif pasien yang kurang baik.

Edukasi kepada pasien diberikan untuk mencegah kekambuhan yaitu dengan meminta

pasien untuk tidak melakukan aktivitas yang terlalu berat karena kelelahan
47

merupakan faktor pemicu kekambuhan sesak napas, menghindari tempat yang

berdebu, menutup mulut saat batuk. Pasien diminta melakukan latihan batuk efektif

apabila merasa dahak sulit untuk dikeluarkan. Pasien dianjurkan untuk melakukan six

minute walking dengan membuat jalur dengan jarak yang telah ditetapkan kemudian

berjalan kaki bolak-balik selama 6 menit dan tidak boleh berlari, serta boleh istirahat

jika diperlukan sesuai yang telah diajarkan untuk meningkatkan kemampuan aktivitas

fungsional, dapat dilakukan saat pagi hari.

G. Evaluasi

Evaluasi dilakukan setelah tindakan fisioterapi dilakukan. Bertujuan untuk

mengetahui hasil terapi sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Evaluasi yang

akan dilakukan pada kasus pneumonia adalah dengan: nyeri dengan VAS, derajat

sesak napas dengan skala BORG, ekspansi sangkar thoraks dengan antropometri

sangkar thoraks, kemampuan toleransi aktivitas dengan six minute walking test.

1. Evaluasi nyeri dengan Visual Analogue Scale

Hasil evaluasi mengenai nyeri dari pertemuan pertama (T1) sampai pertemuan

terakhir (T3) didapatkan hasil terdapat penurunan nyeri yang dirasakan pasien.
48

TABEL 3.5

EVALUASI NYERI DENGAN VAS

Jenis nyeri T1 T2 T3
Nyeri diam saat 3,4 cm / 10 cm 2,9 cm / 10 cm 1 cm / 10 cm
berbaring
Nyeri tekan di 4,9 cm / 10 cm 3,3 cm / 10 cm 2,4 cm / 10 cm
intercostalis
Nyeri gerak saat 6,7 cm / 10 cm 6,2 cm / 10 cm 5,1 cm / 10 cm
fleksi shoulder
Sumber : Data Primer (2019)

2. Evaluasi derajat sesak napas dengan skala BORG

Hasil evaluasi derajat sesak napas dari T1 sampai T3 didapatkan hasil

penurunan derajat sesak napas baik saat diam maupun saat beraktivitas.

TABEL 3.6

EVALUASI DERAJAT SESAK NAPAS DENGAN SKALA BORG

Terapi Nilai Keterangan


T1 5 Sesak parah
T2 4 Sesak agak berat
T3 3 Sesak sedang
Sumber : Data Primer (2019)
49

TABEL 3.7

EVALUASI SKALA BORG UNTUK PENGUKURAN DERAJAT BERAT

AKTIVITAS

Terapi Nilai Keterangan


T1 13 Sedikit berat
T3 11 Masih wajar
Sumber : Data Primer (2019)

3. Evaluasi ekspansi sangkar thoraks dengan antropometri sangkar thoraks

Hasil evaluasi ekspansi sangkar thoraks didapatkan hasil peningkatan ekspansi

sangkar thoraks.

TABEL 3.8

EVALUASI EKSPANSI SANGKAR THORAKS DENGAN ANTROPOMETRI

SANGKAR THORAKS

Acuan (dalam Cm) T1 T2 T3


Axilla 78,3-76,7 (1,6) 78,3-76,7 (1,6) 79,9-78,1 (1,8)
Intercostalis 4 90,7-89,7 (1) 90,7-89,7 (1) 90,8-89,7 (1,1)
Processus Xypoideus 70,3-69,3 (1) 70,3-69,3 (1) 70,4-69,2 (1,2)
Sumber : Data Primer (2019)

4. Evaluasi kemampuan toleransi aktivitas dengan six minute walking test

Hasil evaluasi kemampuan toleransi aktivitas pasien dengan six minute

walking test mengalami peningkatan.


50

TABEL 3.9

EVALUASI KEMAMPUAN TOLERANSI AKTIVITAS DENGAN SIX MINUTE

WALKING TEST

Terapi Rest Hasil


Jarak T1 Pasien tidak
memungkinkan
untuk melakukan
T3 Dimenit ke 3 12 meter
Sumber : Data Primer (2019)

H. Pembahasan

Pasien bernama Tn. R dengan jenis kelamin laki-laki berusia 78 tahun

diagnosa medis pneumonia dengan problematika fisioterapi berupa adanya batuk,

adanya hipersekresi mukus, pola pernapasan tidak normal, adanya sesak napas,

adanya nyeri dada, adanya spasme otot intercostalis. Pasien telah diberikan

penatalaksanaan fisioterapi berupa nebulizer, postural drainage, clapping, latihan

batuk efektif, deep breathing exercise dengan kombinasi pursed lip breathing selama

3 kali terapi.

Intervensi nebulizer merupakan jenis bronkodilator aktif dalam meningkatkan

dilatasi bronkus pada kasus pneumonia, sehingga mengurangi penyempitan bronkus

dan udara dapat masuk ke sistem jalan napas. Nebulizer bertujuan untuk mengurangi

sesak napas dan melancarkan dahak.


51

Intervensi postural drainage adalah penempatan posisi pasien yang benar dan

membawa udara agar tekanan dalam rongga dada lebih rendah dari tekanan atmosfer

sehingga udara dapat bergerak ke paru saat inspirasi. Tujuan dari postural drainage

adalah mengeluarkan apa saja yang terkumpul dalam rongga pleura agar rongga

pleura normal (Muttaqin, 2008).

Pemberian modalitas clapping dilakukan oleh fisioterapis dengan penepukan

ringan pada dinding dada dengan tangan dimana tangan membentuk seperti mangkuk

(Potter dan Perry, 2006). Tujuan dari clapping adalah untuk membantu mengeluarkan

dahak dengan memberikan getaran pada dinding thoraks yang akan ditransmisikan ke

jaringan paru untuk menimbulkan getaran pada saluran napas. Getaran pada saluran

napas diharapkan dapat melepaskan dahak. Dalam posisi postural drainage dilakukan

pula clapping pada dinding thoraks.

Pada pasien ini ditemukan akumulasi mukus pada segmen lateral basal paru

kanan lobus bawah, sehingga dilakukan postural drainage dengan posisi berbaring

miring ke kiri dengan bagian pinggang sampai tungkai diganjal menggunakan bantal

sehingga posisi kepala lebih rendah untuk membantu mengeluarkan mukus, karena

bed tidak dapat dinaikkan lurus pada posisi kaki. Postural drainage dilakukan selama

10-20 menit dan disertai dengan clapping pada dada dan punggung pasien.

Modalitas yang selanjutnya adalah latihan batuk efektif merupakan tindakan

yang dilakukan untuk membersihkan sekresi saluran napas. Pasien dapat menghemat

energi sehingga tidak mudah lelah mengeluarkan dahak secara maksimal.


52

Intervensi deep breathing exercise dimaksudkan untuk melatih cara bernapas

ketika terjadi sesak napas karena pasien sesak cenderung tegang yang membuat

pasien tidak dapat mengatur pernapasannya sehingga mengakibatkan bertambahnya

penyempitan pernapasan di bronkus (Windarti, 2011, dikutip oleh Rivaldi 2018).

Intervensi pursed lip breathing yang dilakukan saat ekspirasi bertujuan untuk

meningkatkan volume tidal dan volume akhir ekspirasi paru dan dampaknya adalah

meningkatkan kapasitas otot-otot pernapasan untuk memenuhi kebutuhan dalam

memberikan tekanan pernapasan. Pada saat melakukan pernapasan otot inspirasi

mengeluarkan energi yang lebih sehingga terjadi spasme pada otot tersebut, maka

dengan modalitas breathing exercise energi yang dikeluarkan oleh otot dapat

berkurang karena terjadi rileksasi (Rab, 2010).

Pasien bernama Tn. R dengan jenis kelamin laki-laki berusia 78 tahun

diagnosa medis pneumonia setelah mendapatkan penanganan fisioterapi di Rumah

Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga sebanyak 3 kali terapi menunjukkan adanya

perbaikan kondisi yang ditandai dengan berkurangnya nyeri, berkurangnya sesak

napas, peningkatan ekspansi sangkar thoraks, peningkatan kemampuan toleransi

aktivitas fungsional.

Kombinasi terapi yang dilakukan berupa nebulizer, postural drainage,

clapping, latihan batuk efektif, dan deep breathing exercise dengan kombinasi pursed

lip breathing dapat menurunkan beban mekanika pernapasan yaitu mukus yang

terdapat di dalam paru mudah untuk dikeluarkan sehingga hambatan pada jalan napas
53

sudah berkurang yang menjadikan derajat sesak napas berkurang. Dengan

berkurangnya derajat sesak napas pasien, maka pola pernapasan pasien membaik.

Anda mungkin juga menyukai